Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ANALISIS

HUKUM PERTANAHAN

NAMA: ASRIS NAINI


NIM: D1A019080
KELAS: A1

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2021
A. Latar Belakang
Problematika pertanahan Terus mencuat dalam dinamika Kehidupan bangsa
kita. Berbagai Daerah di nusantara tentunya memiliki Karakteristik permasalahan
pertanahan Yang berbeda diantara satu wilayah Dengan wilayah lainya. Keadaan ini
Semakin nyata sebagai konsekwensi Dari dasar pemahaman dan pandangan Orang
Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang memandang tanah Sebagai sarana
tempat tinggal dan Memberikan penghidupan sehingga Tanah mempunyai fungsi
yang sangat Penting.
Berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang Mulai berlaku pada tanggal 24
September 1960 telah terjadi Perubahan fundamental pada hukum Agraria di
Indonesia terutama pada Hukum pertanahan. Perubahan ini Bersifat mendasar baik
pada struktur Perangkat hukumnya maupun pada Konsepsi dan isinya.
Sebelum berlakunya UUPA, bidang pertanahan dikuasai oleh hukum adat
yang merupakan produk hukum tidak tertulis. Kelahiran UUPA bermaksud
mengadakan pembaharuan hukum dari bentuk tidak tertulis menjadi hukum tertulis,
dibuat oleh dan dengan otoritas yang berwenang dan diadaptasinya asas-asas dan
karakteristik hukum modern yang bersumber dari hukum barat. Pembaruan tersebut
pada hakekatnya membawa konsekuensi pembaharuan sistem yang melibatkan pula
komponen budaya hukum dalam proses operasinya. Pembaruan hukum ini dengan
sendirinya menuntut pembaruan kesadaran hukum (yang merupakan bagian integral
budaya hukum), yaitu kesadaran hukum adat yang tidak tertulis ke kesadaran hukum
tertulis.
Dalam hubungannya dengan Tanah, menurut alam pikiran hukum Adat,
tertanam keyakinan bahwa setiap Kelompok masyarakat hukum adat Tersedia suatu
lingkungan tanahsebagai peninggalan atau pemberian dari suatu kekuatan gaib
sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang jaman.
Falsafat hukum adat tersebut yang kemudian diangkat menjadi konsepsi hukum tanah
nasional yang menurut Boedi Harsono, terwakili dalam satu kata kunci yaitu
komunalistik religious.
Berbeda dengan jual beli yang terjadi menurut UUPA yang memerlukan akta
otentik (akta jual beli) yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). yang berwewenang (Pasal 37 ayat 1 PP.24/1997). PPAT merupakan pejabat
yang eksis sejak berlakunya PP.Nomor 10/1961dan selanjutnya lebih dikembangkan
lagi pengaturanya dalam PP. Nomor 24/1997 yang memerintahkan pembentukan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 (PP.37/1998) tentang Peraturan Jabatan
PPAT dengan Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1999 (PMNA/KBPN.4/1999) sebagai peraturan pelaksanaannya,
yang sekarang berlaku. seperti yang di paparkan diawal paragraf pertama tentang
problematika pertanahan, sampai hari ini konflik agraria antara masyarakat adat dan
korporasi baik swasta dan BUMN yang berbasis untuk pembangunan dan kepentingan
umum masih saja belum menemukan titik terang dalam persoalan penyelesaian nya.
Konflik Agraria Suku Marind Orang Mahuze dan Kebijakan Pemerintah
Indonesia: Studi Film Dokumenter The Mahuzes Karya Watchdoc Film The Mahuzes
merupakan film yang diangkat dari kisah nyata suku Marind marga Mahuze yang
memperjuangkan tanah mereka dari perusahaan yang telah dilindungi dengan
Pemerintah Republik Indonesia dalam program kerja MIFEE ( Perkebunan Pangan
dan Energi Terpadu Merauke). PT ACP (Agriprima Cipta Persada) merupakaan
perusahaan kelapa sawit yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia meminta para
warga Mahuze untuk menjual tanah mereka dan akan dijadikan perkebunan kelapa
sawit. Dalam ketentuan adat suku Malin yang tidak tertulis, Setiap kepala suku yang
menghuni tanah itu sepakat untuk Mempertahankan tanahnya dari ancaman investor
yang ingin merusak wilayah Tersebut. Peristiwa ini membuat para suku adat
mengadakan perdamaian untuk Mempertahankan tanah adat yang mereka miliki
secara turun temurun, dapat di tarik kesimpulan dalam masyarakat ada ini, tanah
memiliki arti yang sangat penting bagi setiap sendi kehidupan mereka.
Namun yang menjadi persoalan adalah, dia satu sisi tanah yang akan di garap
oleh pemerintah melalui perusahaan yang telah di tetapkan oleh pemerintah guna
kepentingan umum memang memiliki dasar hukum pembentukan nya. Produk
hukum tersebut Di antaranya, Undang-Undang (UU) Nomor 27tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 1996 Tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah
(PP) 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis Dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak dari penggunaanKawasan Hutan untuk Kepentingan di Luar Kegiatan
Kehutanan, Peraturan Pemerintah (PP) No 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan, Peraturan Pemerintah (PP) No 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, Inpres No.5 tahun 2008 tentang Fokus
Program Ekonomi tahun 2008-2009 dan Raperda Kabupaten Merauke Tahun 2009
Tentang Merauke Integrated Food and Energy Estate. Program ini merupakan hasil
dari Nota Kesepahaman (MoU) Kerjasama Perdagangan bersama pemerintah
Australia Bagian Utara untuk pengembangan agrobisnis di Papua. Hasil produk
agribisnis tersebut seperti, sayuran, buah-buahan, beras, jagung, dan lain-lain akan
dipasok ke Freeport sebagai perusahaan nasional yang memegang peranan penting
perputaran roda perekonomian Papua.
Melihat persoalan yang sangat kompleks ini nampaknya membuat penulis
ingin melakukan analisis yuridis dari peristiwa yang terjadi, namun bukan dari aspek
historis tentang penguasaan tanah hingga di peruntukan untuk kepentingan
pembangunan ketahanan pangan, namun lebih mengerucut pada persoalan jual beli
yang melibatkan masyarakat suku Mahuze tersebut dengan pihak perusahaan.
B. Analisis
1. Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat dalan Rezim Hukum Nasional
2. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
3. Pemberian Ganti Rugi
C. Pembahasan
1. Pengakuan eksistensi masyarakat adat dalam rezim hukum nasional:
Keberadaan masyarakat hukum adat
Ada berbagai produk hukum nasional yang mana mengakui akan
adanya suatu keberadaan masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.
Dalam UUD 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum
adat, termaktub di dalam pasal 18b ayat 2, yaitu negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat Indonesia dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
Pasal ini, memberikan posisi konstitusif pada masyarakat hukum adat
dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional bagi
pihak penyelenggara negara bagaimana seharusnya komunitas diperlakukan.
Dengan demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang kewajiban
konstitusional bagi negara untuk mengakui dan juga menghormati masyarakat
adat, dan juga sebagai hak konstitusional masyarakat adat untuk memperoleh
pengakuan serta penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya.
Apa yang termaktub di dalam pasal 18b ayat 2 tersebut, sekaligus
merupakan mandat konstitusi yang harus ditaati oleh pihak penyelenggara
negara untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas keberadaan
masyarakat adat dalam suatu bentuk undang-undang. Pasal yang berkaitan
dengan masyarakat adat diatur dalam pasal 28I ayat 3 UUD 1945, yang
menyebutkan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional harus dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Sebelum amandemen terhadap UUD 1945 TAP MPR No.XVII/1998
tentang hak asasi manusia (yang selanjutnya disebut HAM) terlebih dahulu
memuat suatu ketentuan tentang pengakuan atas hak masyarakat ada. Dalam
pasal 41 piagam HAM yang menjadi bagian tak terpisahkan dari TAP MPR
itu, ditegaskan identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Dengan diaturnya pasal ini, maka hak-hak dari masyarakat adat yang
ada, ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati dan
salah satu hak itu menurut pasal ini adalah hak atas tanah ulayat.
Bahkan di dalam TAP MPR No.IX/2001 tentang pembaharuan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam (yang selanjutnya disebut PSDA), hak-hak
masyarakat adat tersebut tidak hanya sebatas hak atas tanah ulayat tetapi juga
menyangkut sumber daya agraria atau sumber daya alam, termasuk keragaman
budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam
pasal 4 bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip: mengakui menghormati dan
melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas
sumber daya agraria atau sumber daya alam.
2. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai
dengan sekarang telah berlaku undang-undang No. 20 tahun 1961, kemudian
dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui PMDN (penanaman modal
dalam negeri) No. 15 tahun 1975 kemudian dicabut dan diganti dengan
Keppres No. 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum
titik namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaan
tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat titik untuk itu perlu dikaji ulang
keberadaan dari Keppres nomor 55 tahun 1993 dan dikaitkan pula dengan
undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan
undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah.
Pengadaan tanah kemudian diatur dengan peraturan presiden nomor 36
tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan peraturan presiden nomor 65 tahun
2006. Sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang
mengatur secara khusus tentang pengadaan tanah.
Di tingkat Kepala badan pertahanan Nasional (BPN), pengadaan tanah
diatur dalam peraturan kepala BPN nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan
pelaksanaan peraturan presiden nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah
diubah dengan peraturan presiden nomor 65 tahun 2006 tentang perubahan
atas peraturan presiden nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
BENTUK-BENTUK PENGADAAN TANAH MENURUT HUKUM
AGRARIA INDONESIA:
Pada prinsipnya hukum agraria Indonesia mengenal dua bentuk pengadaan
tanah yaitu:
A. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
(pembebasan hak atas tanah)
B. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah
Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan
pembebasan tanah ialah jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan
dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan
berdasar pada asas musyawarah.
Sebelumnya oleh perpres nomor 36 tahun 2005 ditentukan secara tegas
bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak
atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah titik namun dengan
dikeluarkannya Perpres nomor 65 tahun 2006 hanya ditegaskan bahwa
pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan titik tidak
dicantumkan secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres
nomor 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara
pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara
pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur
musyawarah gagal. Hal ini ditafsirkan secara imperatif di mana jalur
pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil
jalur pencabutan hak atas tanah.
Jika pada Perpres nomor 36 tahun 2005 terhadap kesan alternatif antara
cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres nomor 65 tahun
2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini
agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan tidak dengan mudah saja
dalam mengambil tindakan dalam kaitanya dengan pengadaan tanah titik
artinya ditinjau dari segi hak asasi manusia (HAM) Perpres nomor 65
tahun 2006 dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan peraturan-peraturan
sebelumnya.
3. Pemberian ganti rugi
Permasalahan pokok dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum adalah mengenai penetapan besarnya
ganti rugi. Ketentuan mengenai pemberian ganti rugi ini telah diatur dalam
ketentuan hukum tanah di negara kita. UUPA mengatur bahwa untuk
kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.
Ganti rugi yang layak didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya dari
tanah atau benda yang bersangkutan. pola penetapan ganti rugi atas tanah
negara kita ditetapkan melalui musyawarah dengan memperhatikan harga
umum setempat disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi tanah. ganti
kerugian yang diberikan dapat berupa: Uang,Tanah pengganti, Pemukiman
Kembali, Gabungan dari dua atau lebih ganti kerugian a b dan c, Bentuk lain
yang disetujui para pihak.
Sedangkan Perpres nomor 36 tahun 2005 Jo. Perpres nomor 65 tahun
2006 dan peraturan Kepala BPN RI tahun 2007 menyebutkan makna ganti
rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik sebagai akibat
pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan tanaman dan atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan
kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi
sebelum terkena pengadaan tanah. Penentuan besar besarnya ganti rugi
didasarkan pada hasil kesepakatan pemilik tanah dengan instansi pemerintah
yang memerlukan tanah titik hasil kesepakatan tersebut kemudian oleh panitia
pengadaan tanah sesuai dengan tugasnya dituangkan dalam berita acara hasil
musyawarah dan selanjutnya menertibkan surat keputusan penetapan besarnya
ganti rugi. Musyawarah antara pemilik tanah dan instansi pemerintah yang
memerlukan tanah tersebut berpedoman pada penilaian harga tanah yang
dilakukan oleh lembaga atau tim penilai harga tanah.
Ganti kerugian menurut hukum tanah nasional ditetapkan menurut nilai
pengganti (replacement value) yang berarti bahwa ganti rugi yang diterima
dapat dimanfaatkan untuk memperoleh penggantian terhadap tanah atau
bangunan atau tanaman semula dalam kualitas yang minimal serta dengan
yang sebelum terkena pengadaan tanah.

D. Kesimpulan
Dari gambaran permasalahan yang terjadi yang telah di uraikan pada bagian
latar belakang tersebut, dapat kita lihat adanya dua perspektif kepentingan dalam
melihat tanah sebagai objek eksploitasi.
Pertama, suku Mahuze melihat tanah adalah pemberian Tuhan yang harus di
jaga dan dilestarikan, tanah yang masih dibaluti hutan oleh suku tersebut dianggap
sebagai tempat untuk mencari berbagai macam kebutuhan untuk hidup. Secara umum,
dalam aspek filosofis masyarakat adat suku Mahuze melihat tanah bukan hanya
sebagai tempat berpijak, tempat membangun rumah, tempat mencari makan dan lain
sebagainya, Namun lebih dari itu mereka menganggap tanah merupakan jantung bagi
keberlangsungan hidup anak cucu mereka. Suku tersebut mengelola tanah dengan
cara komunal, berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, rasa kepemilikan
atas tanah dimiliki secara bersama, tetapi juga menjadi kan kepala suku sebagai wakil
dari Tuhan yang akan membimbing mereka dalam menjaga dan mempertahankan
tanah.
Kedua, perspektif pemerintah guna memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya kepada seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah menggunakan produk
hukum untuk bagaimana tanah yang masih di diami oleh suku Mahuze dialih
fungsikan sebagai lahan Pertanian dan sawit, hal ini dilakukan untuk bagaimana
memberikan kebermanfaatan kepada semua orang yang didasarkan oleh Konstitusi
Pada Pasal 33.
Namun ironisnya, karena perbedaan paradigma tentang objek tanah tersebut
terjadi suatu problematika, yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan instrumen
hukum semata, tapi dengan pendekatan humanistik dan seharusnya pemerintah lebih
mengedepankan hak masyarakat adat.

Anda mungkin juga menyukai