Anda di halaman 1dari 249

PRAKTIK SOSIAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PADA KELOMPOK POSDAYA, DESA NGROTO, KECAMATAN PUJON,


KABUPATEN MALANG

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosiologi
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Peminatan Sosiologi
Pembangunan

Oleh:
ELZA CHLAOEDYA DEFITRI
NIM. 135120100111010

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PRAKTIK SOSIAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PADA KELOMPOK POSDAYA,
POSDAYA, DESA NGROTO, KECAMATAN PUJON,
KABUPATEN MALANG

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh leh Gelar Sarjana Sosiologi
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan
d Peminatan Sosiologi
Pembangunan

Oleh:
ELZA CHLAOEDYA DEFITRI
NIM. 135120100111010

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
HALAMAN PERSETUJUAN

PRAKTIK SOSIAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA KELOMPOK


POSDAYA, DESA NGROTO, KECAMATAN PUJON, KABUPATEN MALANG

SKRIPSI
Disusun Oleh :
ELZA CHLAOEDYA DEFITRI
NIM. 135120100111010

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk diujikan :

Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

Anif Fatma Chawa, M.Si., Ph.D Ayu Kusumastuti, S.Sos., M.Sc


NIP. 19740308 200501 2 001 NIK. 201304 870306 2 001

Tanggal: 29 Agustus 2017 Tanggal: 29 Agustus 2017

Ketua Jurusan Sosiologi

Anif Fatma Chawa, M.Si., Ph.D


NIP. 19740308 200501 2 001
Tanggal: 29 Agustus 2017
HALAMAN PENGESAHAN

PRAKTIK SOSIAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA KELOMPOK


POSDAYA, DESA NGROTO, KECAMATAN PUJON, KABUPATEN MALANG

SKRIPSI
Disusun Oleh :
ELZA CHLAOEDYA DEFITRI
NIM. 135120100111010

Telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam Ujian Sarjana


pada tanggal 13 Oktober 2017

Tim Penguji :
Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

Anif Fatma Chawa, M.Si., Ph.D Ayu Kusumastuti, S.Sos., M.Sc


NIP. 19740308 200501 2 001 NIK. 201304 870306 2 001

Anggota Penguji I, Anggota Penguji II,

Nike Kusumawanti, S.Sos., MA Nyimas Nadya Izana, S.K.Pm., M.Si


NIK. 19830112 201504 2 001 NIK. 2016078 81220 2 001

Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya

Prof. Dr. Unti Ludigdo, SE, M.Si, Ak.


NIP. 19690814 199402 1 001
PERNYATAAN ORIGINALITAS SKRIPSI

Nama : Elza Chlaoedya Defitri


NIM : 135120100111010

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “PRAKTIK

SOSIAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA KELOMPOK POSDAYA, DESA

NGROTO, KECAMATAN PUJON, KABUPATEN MALANG” adalah betul-betul karya

sendiri. Hal-hal yang bukan karya dalam skripsi tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan

dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima

sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang saya peroleh dari skripsi tersebut.

Malang, 01 November 2017


Yang Membuat Pernyataan

Elza Chlaoedya Defitri


NIM.135120100111010
HALAMAN PERSEMBAHAN

Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT, yang utama dari segalanya. Taburan
cinta serta kasih sayang-Mu telah memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta
memperkenalkanku dengan cinta. Terimakasih atas karunia serta kemudahan yang Engkau
berikan, hingga skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan. Kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah mengantarkan saya untuk dekat dengan sang pencipta dan
mengenal agama Allah SWT. Kupersembahkan skripsi untuk orang-orang yang sangat
kukasihi dan kusayangi yang selalu mendukung dan selalu ada dalam setiap langkah saya.
Saya bukan apa-apa jika tanpa dukungan dan motivasi dari kalian semua. Terimakasih untuk:

1. Ibunda Nurul dan Ayahanda Edy Sutrisno yang telah memberikan kasih
sayang yang tulus tiada henti, menjadi motivator utama dalam hidup saya,
mendo’akan yang terbaik untuk saya, menjadi sumber kekuatan dan semangat
saya untuk terus berjuang menggapai cita-cita saya. Terimakasih telah
menghidupi saya dari kecil hingga saat ini, memberikan dukungan materil, dan
selalu sabar menasehati saya.
2. Mama Lyly yang telah menjadi ibu kedua bagi saya, pemberi donasi materil
terimakasih atas perjuangan, do’a, dukungan, dan kasih sayangnya yang tiada
henti. I may not always like you. We may have different arguments and fights
sometimes. But there’s one thing that you should know that I Love You always
and forever.
3. Ketiga Adik saya, Cindy Lorenza Merlyn, Imelda Aprilia Permata, dan Duta
Alam Roumunda, yang menjadi semangat dan alasan terbesar saya untuk cepat
menyelesaikan drama perkuliahan ini. Seriuslah dalam belajar dan jadilah
orang yang membanggakan kelak.
4. Eyang Putri, Eyang Kakung, kerabat, serta keluarga yang selalu mendukung
serta memberikan do’a-do’anya, sehingga saya mempu menyelesaikan
kewajiban-kewajiban saya.
5. Sahabat terbaik saya yang telah dengan setia menemani dan memotivasi saya
dalam 4 tahun ini: Mei, Darul, Shavila, Yunita, Fida, Mayang, Nuzul, Erina,
Suci, Yuni, Amrullah, Adri, Gina, Haris, Andika, Kris, Arista, Mita, Amel
Magri, Amili, Kiki, Novita, Amel Bawon, Fudah, Nur, Candra, Andreas,

iii
Ambar, Anggun, Meria, Atika, Taufik, Roni. Terimakasih atas semangatnya,
candaan receh ter-somplaknya yang selalu diberikan disaat suka maupun duka.
Meskipun ada berbagai macam grup lawakan kita seperti SISA CERIBEL,
SHE LET’S, TKW OTW SKRIPSHIT, SANGE SQUAD, tapi kita tetap satu
AREMA !! hahahaha. Semoga persahabatan kita langgeng dan abadi seperti
kesyantikan 17x mimi peri. Tetap semangat dalam mengejar karir dan cita-cita.
Love you rek.
6. Seluruh teman-teman Sosiologi angkatan 2013 yang sama-sama sedang
berjuang mengerjakan skripsi, yang tak bisa saya sebutkan namanya satu
persatu. Terutama kelas C-Sos. Terimakasih telah menjadi teman yang baik
selama 4 tahun ini. Semangat yo rek.
7. Himpunan Mahasiswa Sosiologi (HIMASIGI) yang banyak memberikan
pengalaman dan menumbuhkan rasa kekeluargaan, serta solidaritas yang
tinggi. SOSIOLOGI SOLID SATU JIWA !
8. Tim Riset Dosen, kak Zenda, kak Bai, kak Sri yang telah dengan tulus
membantu mencari data dan saling berbagi data penelitian. Yang rela bolak-
balik Malang-Pujon disaat panas terik dan hujan. Semoga lelah kita
terbayarkan dengan hasil yang memuaskan. Semoga sukses ya kak.
9. Mas Danu dan Mbak Nurma selaku Asisten Dosen yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk diskusi dan memberikan banyak masukan hingga
selesainya skripsi ini.
10. Keluargaku di Bunga Kopi 8, Gis, Tiwi, Ama, Chintya, Firda, Dea, Cella, Isna,
Nadya, Ferina, Aul, Junika, Ipeh, Nikmah, Sauzan, Mbak Putri, Mbak Nyanya,
Mbak Alfa, Mbak Min, dan Eyang. Terimakasih telah menjadi keluarga
keduaku, memberi support dan semangat, menjadi teman makan bareng, teman
curhat. Maaf jika selama ini saya pernah berbuat salah, semoga bisa kembali
dipertemukan dilain kesempatan.
11. Sahabatku “Mbuts Fam”, Upik, Anggik, Yuninda, Bejo, Dika, Jepun, Arif.
Terimakasih atas semangat dan dukungan tulus yang pernah diberikan.
12. Sahabatku arek-arek Madiun, Rahmah, Irul, Pety, Vanty, Anna, Elok, Sada,
Rini, Mak Reza, Citra, Farradilla, Rika, Erwin, Dofar, Roghib, Iqbal, Tyta,
Kiki, Yuli, Indah, Elin, Vita, Ajeng, Rof’i, Novan terimakasih atas semangat
dan motivasi yang diberikan dalam penyusunan skripsiku.

iv
13. Rekan-rekan di BNP2TKI Jakarta Selatan, P.Nusron, P.Deddy, Mbak Andin,
dll. Terimakasih telah memberikan kesempatan magang dan memberikan
ilmu, saran, dan masukan yang membangun.
14. Mas Arif Nugraha, terimakasih telah menjadi Abang, teman, dan saudara yang
baik. Terimakasih atas motivasi, dukungan, waktu serta kasih sayangnya dalam
penyelesaian skripsi ini. Semoga selalu dilancarkan segala urusan dan karirmu
kedepan.

Demikian ucapan terimakasih yang dapat penulis sampaikan. Mohon maaf jika ada
pihak yang belum saya sebutkan. Akhir kata, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika
dalam proses penyusunan skripsi ini terdapat kesalahan yang di sengaja ataupun tidak
disengaja.

Malang, 29 Oktober 2017

Penulis

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha kuasa, karena atas limpahan rahmat serta
hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Praktik Sosial Pemberdayaan
Masyarakat pada Kelompok Posdaya di Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang,
dengan lancar.

Skripsi ini merupakan karya ilmiah yang disusun dalam upaya untuk menyelesaikan
pendidikan sarjana (S1) pada Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Brawijaya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa adanya dukungan, bantuan, dan Do’a dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Anif Fatma Chawa, M.Si., Ph.D selaku pembimbing utama serta selaku
Ketua Jurusan Sosiologi, dan Mbak Ayu Kusumastuti, S.Sos., M.Sc selaku
pembimbing pendamping yang telah banyak memberikan ilmu, masukan, dan
arahan-arahan, serta selalu sabar dan ikhlas memberikan bimbingannya pada
peneliti dalam upaya menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Nike Kusumawanti, S.Sos., MA dan Mbak Nyimas Nadya Izana, S.K.Pm.,
M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, bantuan kritik, dan
saran yang diberikan kepada penulis yang bertujuan menyempurnakan skripsi ini.
3. Kedua Orang Tua tercinta yang selalu memberikan dukungan materil, moril, dan
do’a.
4. Segenap jajaran Dosen Sosiologi yang telah dengan ikhlas turut memberikan
dukungan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi
ini.
5. Mas Sandi dan Mbak Trintis yang telah sabar dalam membantu mengurus
administrasi dari berkas seminar proposal, sidang kompre, hingga wisuda.
6. Segenap jajaran pemerintah dan bawahannya yang telah memberikan program
Beasiswa BIDIKMISI dan mempercayakan saya sebagai salah satu penerimanya,
sehingga saya bisa menuntut ilmu dan berhasil memperoleh gelar sarjana.
7. Ibu Rusmini selaku Ketua dan Koordinator Umum Posdaya di Desa Ngroto yang
telah bersedia menjadi informan kunci dalam penelitian ini, serta para informan

i
lainnya yang telah memberikan bantuan data dan informasi selama pelaksanaan
penelitian lapangan.
8. Teman, saudara, dan kerabat penulis serta pihak-pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu. Terimakasih atas waktu, do’a, dan motivasinya yang tak
ternilai.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan di waktu mendatang. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Malang, 29 Oktober 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i


HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... ix
DAFTAR BAGAN ................................................................................................................... x
DAFAR GRAFIK ................................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. xii
ABSTRAK ............................................................................................................................. xiii
ABSTRACT .......................................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 12
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 13
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................................... 13
1.4.1 Manfaat Akademis ............................................................................................. 13
1.4.2 Manfaat Praktis .................................................................................................. 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 15
2.1 Penelitian Terdahulu ................................................................................................. 15
2.2 Landasan Konseptual ................................................................................................ 28
2.2.1 Pemberdayaan Masyarakat ................................................................................ 28
2.2.2 Partisipasi .......................................................................................................... 32
2.2.3 Posdaya .............................................................................................................. 39
2.2.4 Kemiskinan di Kalangan Perempuan ................................................................ 40
2.3 Landasan Teoritis ...................................................................................................... 45
2.3.1 Praktik Sosial ..................................................................................................... 45
2.3.2 Agen dan Agensi ............................................................................................... 47
2.3.3 Agensi dan Kekuasaan....................................................................................... 51
2.3.4 Struktur dan Strukturasi ..................................................................................... 53
2.3.5 Dualitas dan Struktur ......................................................................................... 56
2.3.6 Bentuk-Bentuk Institusi ..................................................................................... 59
2.3.7 Ruang dan Waktu .............................................................................................. 63
2.4 Kerangka Berfikir... ...................................................................................................... 64
vi
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................................... 68
3.1 Metode dan Pendekatan Penelitian ........................................................................... 68
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................................... 71
3.3 Fokus Penelitian ........................................................................................................ 73
3.4 Teknik Penentuan Informan...................................................................................... 75
3.5 Sumber dan Jenis Data .............................................................................................. 79
3.6 Teknik Pengumpulan Data........................................................................................ 80
3.7 Teknik Analisis Data ................................................................................................ 85
3.7.1 Analisis Sebelum di Lapangan .......................................................................... 85
3.7.2 Analisis Selama di Lapangan ............................................................................ 86
3.8 Teknik Keabsahan Data ............................................................................................ 90
BAB IV GAMBARAN UMUM ............................................................................................ 93
4.1 Letak Geografis, Sejarah, dan Gambaran Umum Demografis Desa Ngroto ............ 93
4.2 Potensi Sumber Daya Alam dan Mata Pencaharian Penduduk di Desa Ngroto ....... 98
4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Desa Ngroto .......................................... 101
4.3.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Desa Ngroto ............................................. 103
4.3.2 Permasalahan Kemiskinan di Desa Ngroto ..................................................... 105
4.3.3 Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Desa Ngroto............................... 110
4.4 Kehadiran Program Pemberdayaan Posdaya di Desa Ngroto ................................. 112
4.4.1 Karakteristik Anggota yang Tergabung dalam Posdaya ................................. 119
4.5 Deskripsi Informan ................................................................................................. 122
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 129
5.1 Kegiatan Perberdayaan Pada Level Posdaya dan Level Sub-Kelompok ..................... 129
5.1.1 Hambatan dalam Proses Pemberdayaan pada Posdaya ................................... 150
5.2 Pola-Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pemberdayaan Posdaya .......................... 167
5.3 Pemetaan Pelaku Pemberdayaan Pada Posdaya ..................................................... 179
5.4 Praktik Sosial Pemberdayaan Pada Posdaya di Desa Ngroto ................................. 185
5.5 Potensi Keberlanjutan Program Pemberdayaan Masyarakat Pada Posdaya ........... 204
5.5.1 Harapan Anggota Posdaya Untuk Keberlanjutan Posdaya.............................. 204
5.5.2 Pembentukan Kelompok Baru dalam Posdaya ................................................ 208
5.5.3 Akses Bantuan Fasilitas Kelompok Untuk Keberlangsungan Posdaya
.........................................................................................................................210
5.5.4 Rencana Kebijakan Pemerintah Desa Ngroto untuk Kemajuan Posdaya
.........................................................................................................................213
vii
BAB VI PENUTUP.............................................................................................................. 217
6.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 217
6.2 Saran ....................................................................................................................... 221
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 224
LAMPIRAN ......................................................................................................................... 230
DOKUMENTASI ................................................................................................................ 239

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Penelitian Terdahulu ........................................................................... 25


Tabel 2. Ringkasan Bentuk-Bentuk Institusi ........................................................................... 60
Tabel 3 Daftar Nama Informan ............................................................................................... 78
Tabel 4. Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan ................................................................... 94
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur ..................................................... 97
Tabel 6. Mata Pencaharian Penduduk ................................................................................... 100
Tabel 7. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Ngroto ........................................................... 104
Tabel 8. Deskripsi Informan .................................................................................................. 122

ix
DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Pola Hubungan 3 Prinsip Struktural dengan Praktik Sosial ..................................... 61


Bagan 2. Kerangka Berfikir...................................................................................................64

Bagan 3. Struktur Organisasi Posdaya .................................................................................. 115


Bagan 4. Kegiatan Pemberdayaan Pada Posdaya .................................................................. 138

x
DAFAR GRAFIK

Grafik 1. Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan .................................................................. 94


Grafik 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur .................................................... 97

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tiga Tahapan dalam Proses Pemberdayaan .......................................................... 31


Gambar 2. Tangga Partisipasi Masyarakat .............................................................................. 36
Gambar 3. Peta Wilayah Desa Ngroto.................................................................................... 95
Gambar 4. Skema Dualitas Struktur-Agensi dalam Posdaya ............................................... 198
Gambar 5. Lahan Pembibitan Anggota Kelompok Makaryo Bersama ................................. 239
Gambar 6. Hasil produk rajutan Kelompok Rajut ................................................................. 239
Gambar 7. Kegiatan Produksi Kue Kering Kelompok Sarinah Creative .............................. 241
Gambar 8. Hasil Produksi Kelompok Sarinah Creative ........................................................ 242
Gambar 9. Kegiatan Produksi Bawang Goreng Kelompok Sarinah Creative ....................... 243
Gambar 10. Hasil Produksi Bawang Goreng Kelompok Sarinah Creative ........................... 245
Gambar 11. Bantuan Alat Produksi dari Universitas Brawijaya ........................................... 245
Gambar 12. Hasil Produksi Jamu Instant Kelompok Seger Waras ....................................... 246
Gambar 13. Proses Wawancara dengan Anggota Posdaya ................................................... 247
Gambar 14. Proses Wawancara Dengan KepalaDesa Ngroto ............................................... 248
Gambar 15. Visi misi Posdaya .............................................................................................. 248
Gambar 16. Mekanisme Pinjaman Bantuan Kredit Usaha dari Bank UMKM ..................... 249

xii
ABSTRAK

Elza Chlaoedya Defitri (2017). Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Brawijaya. Praktik Sosial Pemberdayaan Masyarakat Pada Kelompok
Posdaya Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Pembimbing: Anif Fatma
Chawa, M.Si.,Ph.D dan Ayu Kusumastuti, S.Sos., M.Sc

Penelitian ini menganalisis praktik sosial pemberdayaan masyarakat pada kelompok


Posdaya. Latar belakang munculnya kajian ini berdasarkan pada adanya permasalahan
kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat yang ada di Desa Ngroto sehingga memunculkan
kegiatan pemberdayaan melalui pendirian Posdaya. Namun dalam kegiatan pemberdayaan
tersebut terdapat permasalahan yang menghambat proses pemberdayaan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis penyebab tidak efektifnya kegiatan pemberdayaan
pada posdaya. Penelitian ini menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens sebagai
landasan analisis. Melalui serangkaian tindakan yang dilakukan oleh agen-agen dengan
memanfaatkan adanya struktur yang berupa aturan dan sumberdaya sehingga menciptakan
keterulangan praktik sosial lintas ruang dan waktu melalui dualitas struktur. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif.
Pemberdayaan pada posdaya menunjukan model pemberdayaan yang bersifat bottom-
up yang dilakukan melalui 3 tahapan yakni penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan
dengan pembentukan kelompok berdasarkan minat dan keahlian anggota. Proses partisipasi
dapat dilihat dari anggota yang dilibatkan dalam perencanaan tahap awal pembentukan
kelompok posdaya, perancangan program, dan pelaksanaan kegiatan. Pada tahap perencanaan
program pemberdayaan awalnya partisipasi mereka tinggi, namun ketika berada dalam fase
praktik pemberdayaan pada posdaya, terdapat dominasi dari ketua posdaya. Sehingga
membuat partisipasi anggota menjadi menurun. Namun demikian tingkat partisipasi yang
dikatakan lebih rendah dari partisipasi aktif ini sebetulnya tidak mengingkari prinsip
partisipasi dalam pemberdayaan yang berusaha untuk melibatkan mereka dalam elemen-
elemen pembangunan berbasis masyarakat.
Praktik pemberdayaan pada posdaya menjadi tidak efektif ketika mucul permasalahan
internal dalam pendirian koperasi posdaya yang menimbulkan pro dan kontra, tidak adanya
transparasi dana di susul dengan hambatan lainnya seperti pembagian bantuan yang tidak
merata, hambatan permodalan, dan lemahnya jaringan pemasaran. Adanya dominasi ketua
posdaya dalam membuat keputusan, memunculkan wacana pemberdayaan berupa hasil dari
keputusan yang dibuat ketua posdaya dengan orang-orang terdekat, melalui forum komunikasi
yang tidak melibatkan semua anggota. Legitimasi ditunjukkan dengan sanksi moral dari
anggota posdaya kepada ketua posdaya berupa kepercayaan anggota yang menurun sehingga
partisipasi anggota kelompok juga ikut menurun. Permasalahan tersebut kemudian menjadi
penghambat berjalannya proses pemberdayaan pada posdaya.

Kata kunci : Pemberdayaan Masyarakat, Partisipasi, Praktik Sosial

xiii
ABSTRACT

Elza Chlaoedya Defitri (2017), Department of Sociology, Faculty of Social and Political
Sciences, Brawijaya University. Social Practice of Community Empowerment in Posdaya
Group of Desa Ngroto Village, Pujon Sub-district, Malang Regency. Advisor: Anif Fatma
Chawa, M.Si., Ph.D and Ayu Kusumastuti, S.Sos., M.Sc

This research to analyze social practices of community empowerment in the posdaya.


The background that emergence of this study based on the poverty problems faced by the
community that existed in the Ngroto Village so it’s appearing empowerment activities
through the establishment of posdaya. But in empowerment activities there is problems that
constrained empowerment processes. The purpose of this research is to analyze cause is
uneffectivity empowerment activities on posdaya. This research using the theory of
structuration, Anthony Giddens as a basic of the analysis. Through a series of the acts
performed by agents that using the structure of rules and resources so as to create repeatly
social practices cross time and space through structure duality. This research is using
methodology descriptive qualitative as a methods.
Empowerment posdaya show on empowerment models that are bottom up. Which is
over 3 the realization stage, capaciting, and powering with the formation of groups on the
basis that interest and expertise members. The process can be seen participation of members
involved in planning an early stage groups posdaya, the design of it programs, and activities.
In following empowerment program as the training, at the beginning, member have a hig
participation. But, when it comes to the phase empowerment practice there’s a domination of
the posdaya’s leader. However the degree of participation is decrease. But than active
participation this is not deny the participation in the empowerment trying to involve them in
development elements based on community.
Empowerment practices in posdaya ineffective when problem presents internally
within the establishment of cooperatives posdaya that cause a pros and contra, the absence of
transparency fund followed by another obstacles as distribution of the assist that not be spread
evenly, modals, and the weakness of marketing. Domination from posdaya’s leader in making
of decision, cause the discourse of empowerment as the product of a decision that make
before by their leader with her closest people, through communication forums which is not
invole the whole members. Legitimation is showed by moral sanctions from posdaya’s
members to their leader such a trust of her team members that descend, so the participation of
the members is descend too. Then the problem constrain the empowerment processes in
posdaya.

Keywords: Community Empowerment, Participation, Social Practice

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang dibutuhkan

untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar menjadi capable dan berdaya,

sehingga dapat memperbaiki kualitas dan standar hidup mereka. Umumnya,

kegiatan pemberdayaan tidak hanya menekan pada aspek ekonomi saja,

melainkan juga pada aspek sosial, politik, budaya, dan psikologis (Friedman,

1992). Sasaran utama dalam pemberdayaan masyarakat adalah mereka yang

lemah, terpinggirkan dalam pembangunan, dan tidak memilki daya serta kekuatan

dalam mengakses sumberdaya produktif. Sehingga tujuan akhir dari proses

pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirian masyarakat agar mereka

dapat meningkatkan taraf hidup keluarga serta mengoptimalkan sumberdaya yang

dimiliki (Widjajanti, 2010: 17).

Selama ini kegiatan pemberdayaan telah banyak dilakukan sebagai upaya

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mengurangi permasalahan

kemiskinan yang dihadapi oleh kelompok masyarakat miskin, baik yang berada di

daerah pedesaan maupun yang berada di daerah perkotaan. Pada umumnya, setiap

negara memiliki sendiri definisi seseorang atau suatu masyarakat yang di

kategorikan miskin. Hal ini dikarenakan kondisi yang disebut miskin bersifat

relatif untuk setiap negara seperti di Indonesia yang melihat kemiskinan dari

1
2

kondisi perekonomian, standar kesejahteraan, dan kondisi sosial. Dimana setiap

definisi ditentukan menurut kriteria atau ukuran-ukuran berdasarkan pada kondisi

tertentu, yaitu pendapatan rata-rata, daya beli atau kemampuan konsumsi rata-rata,

status kependidikan, dan kondisi kesehatan. Pengertian kemiskinan yang saat ini

dijadikan studi pembangunan adalah kemiskinan yang seringkali dijumpai di

negara-negara berkembang dan negara-negara dunia ketiga. Persoalan kemiskinan

masyarakat di negara-negara ini tidak hanya sekedar bentuk ketidakmampuan

dalam memperoleh pendapatan, akan tetapi telah meluas pada bentuk

ketidakberdayaan secara sosial maupun politik (Suryawati, 2004).

Berdasarkan data dari BPS (Badan pusat Statistik), persentase kemiskinan

di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 10,86% atau sebesar 28,01 juta jiwa dari

total jumlah penduduk Indonesia. Sementara di Provinsi Jawa Timur, persentase

penduduk miskin pada tahun 2016 sebesar 12,05% atau sekitar 4.703,30 ribu jiwa.

Kabupaten Malang sebagai salah satu daerah di Jawa Timur, memiliki kondisi

sosial ekonomi yang tidak terlalu baik, dimana jumlah penduduk miskin pada

tahun 2016 sebanyak 11,49% atau sebesar 293,74 ribu jiwa (BPS, 2016). Jika

melihat jumlah rumah tangga misikin di Kabupaten Malang, Kecamatan Pujon

termasuk jumlah tertinggi kedua dengan angka sebesar 7357 setelah Kecamatan

Poncokusumo yang memiliki 7907 jumlah rumah tangga miskin. Kecamatan

Pujon juga memiliki jumlah perempuan kepala rumah tangga yang cukup besar

yakni sekitar 298 dengan persentase sebesar 4,04% dari keseluruhan rumah

tangga miskin yang ada, dan Desa Ngroto yang berada di Kecamatan Pujon

termasuk desa yang memiliki rumah tangga miskin sebanyak 498 Kepala Rumah
3

Tangga termasuk 61 diantaranya adalah Kepala Rumah Tangga Perempuan.

(Haryono, 2015).

Kemiskinan yang terjadi di Desa Ngroto disebabkan karena

ketidakberdayaan masyarakat untuk keluar dari masalah kemiskinan yang

dihadapinya. Kondisi seperti ini tentunya akan menjadi bebanF dalam proses

pembangunan, sehingga diperlukan berbagai upaya pembangunan di wilayah

pedesaan yang ditekankan untuk mengurangi angka kemiskinan yang semakin

hari semakin meningkat. Dimana pembangunan tidak hanya ditekankan hanya

pada infrastruktur desa, namun juga ditekankan pada sumber daya manusianya.

Sehingga, permasalahan tersebut dapat dikurangi jika masyarakat di wilayah

pedesaan mampu memberikan jalan keluar khususnya pada program

pemberdayaan-pemberdayaan meskipun dengan skala kecil seperti dengan

mendirikan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya). Solusi ini mampu menekan

permasalahan sosial seperti kemiskinan dan pengangguran dan memberikan

kontribusi terhadap kinerja pemerintah di Desa Ngroto.

Permasalahan sosial di Desa Ngroto adalah masih banyak terdapat rumah

tangga miskin, pengangguran dan warganya yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

Banyak perempuan miskin pedesaan yang kurang produktif karena pendidikan

rendah yang dimiliki, kurang adanya keterampilan, dan modal yang dimiliki.

Perempuan miskin yang berada di Desa Ngroto memiliki beberapa karakteristik

dimana kategori perempuan kepala rumah tangga adalah dia yang berstatus

sebagai janda (suami meninggal dunia atau telah bercerai), perempuan lajang dari

keluarga yang tidak mampu (Nurmila, 2000). Sehingga mereka menjadi kepala

rumah tangga miskin atau women headed (rumah tangga yang dikepalai oleh
4

perempuan), dimana mereka memiliki tanggungjawab tunggal untuk menghidupi

keluarganya (Mosse, 2007). Selain itu juga terdapat ibu rumah tangga yang

kurang produktif atau mereka yang mengganggur dan hanya mengandalkan

pendapatan dari suaminya. Pemberdayaan yang dilakukan oleh Posdaya lebih

pada ibu-ibu rumah tangga karena di Desa Ngroto merupakan salah satu desa di

kecamatan pujon yang memiliki jumlah rumah tangga miskin perempuan yang

cukup banyak. Sehingga aktor atau agen pemberdaya tergerak untuk melakukan

pemberdayaan pada ibu-ibu rumah tangga yang mayoritas perempuan miskin

pedesaan. Dengan mengajak mereka untuk bersama-sama berpartisipasi

merancang program pemberdayaan.

Aktivitas pemberdayaan di kalangan perempuan dapat mengeluarkan

perempuan dari kerentanan. Orang yang dalam kelompok rentan adalah mereka

yang berada dalam posisi lemah, mudah dipengaruhi dan diasumsikan kurang

memiliki keberdayaan untuk menolong dirinya sendiri, dan memerlukan bantuan

dari orang lain. Sehingga pemberdayaan perempuan disini dapat menjadi solusi

alternatif untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin. Selain itu juga dapat

menjadikan perempuan desa menjadi lebih mandiri, produktif, dan dapat

menyalurkan kapasitas dan kreativitas dirinya melalui kegiatan kewirausahaan

yang bidangnya sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki masing-masing oleh

mereka sehingga mereka mampu memanfaatkan sumberdaya lingkungan dengan

baik.

Menyertakan perempuan di pedesaan untuk berpartisipasi dalam proses

pembangunan merupakan tindakan yang efisien dan mampu memberikan

pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga membuat


5

perempuan mempunyai dua posisi atau status dalam kegiatan bekerja yakni pada

sektor domestik mengurus rumah tangga dan pekerjaan disektor informal dengan

berwirausaha yang mampu menghasilkan pendapatan secara langung (income

earning work). Pola baru pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan

dibidang pekerjaan dalam mencari nafkah akan mengalami perubahan (Boserup,

1970:5). Dengan mendapatkan kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan

sebagai penggerak pembaharuan menjadikan peran perempuan dalam pekerjaan

mencari nafkah semakin nyata dan mampu membawa perubahan pada sistem

perekonomian di masyarakat dan pada alokasi ekonomi keluarga.

Selama ini proses pembangunan di Desa Ngroto dilakukan dengan

menggunakan dua jenis pendekatan yang berbeda yakni pendekatan top down dan

bottom up. Pendekatan yang bersifat top down merupakan sistem pembangunan

yang bersifat sentralistik dengan metode satu komando atau terpusat yang

dirancang untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada dan menunjang

pertumbuhan ekonomi disetiap wilayah yang bersifat seragam atau penyamarataan

bentuk serta metode pembangunan disetiap daerah. Dana-dana pembangunan dan

perencanaan pembangunan ditentukan dari atas. Berbagai permasalahan dan

kebutuhan masyarakat dirumuskan oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat.

Dalam model ini masyarakat sebagai obyek yang menerima dan menikmati hasil

pembangunan.

Berbagai macam program pemberdayaan dari pemerintah yang bersifat top

down telah banyak dilakukan baik di tingkat nasional maupun ditingkat daerah

seperti program KUBE (Kelompok Usaha Bersama), PPK (Program

Pengembangan Kecamatan), Pemberian bantuan ternak sapi limosin bersubsidi,


6

Program Jalin Matra dan program lainnya yang dirancang oleh pemerintah untuk

meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan peningkatan

perekonomian masyarakat di Desa Ngroto. Dampak positif atau kelebihan dari

program pemberdayaan yang bersifat top down yakni program pembangunan

dapat berjalan dengan cepat dan target yang telah ditetapkan juga dapat dicapai

tepat pada waktunya dan semua biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh

pemerintah. Namun tujuan penerapan program pemberdayaan tersebut belum

dicapai secara maksimal karena kebijakan pembangunan yang bersifat terpusat

hanya akan menyebabkan ketergantungan daerah dan membuat daerah tidak

mampu memahami potensi yang tepat untuk pembangunannya. Selain itu

masyarakat akan merasa terabaikan karena suara mereka tidak begitu

diperhitungkan, disini masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil

dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program

terebut dari awal hingga akhir.

Posisi sentral yang mendominir proses pembangunan ini ternyata dapat

melemahkan masyarakat dan dapat menimbulkan hubungan yang timpang pada

masyarakat, karena model top down dirasa kurang menguntungkan bagi proses

pembangunan. Usaha pengembangan masyarakat yang mengesampingkan

keikutsertaan masyarakat tidak akan dapat membawa perubahan sosial seperti

yang dikehendaki oleh pembangunan itu sendiri. Sehingga paradigma

pembangunan ini sedikit mengingkari kebutuhan dan partisipasi masyarakat

dalam pembangunan.

Strategi pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat yang bersifat

bottom up kemudian hadir melalui Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) di Desa


7

Ngroto pada awal tahun 2013. Kehadiran program pemberdayaan ini menekankan

pada pola people center strategy, dimana partisipasi dan aspirasi masyarakat

digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan pembangunan yang dapat

meningkatkan kapasitas masyarakat sendiri. Dengan mengakomodir kepentingan

masyarakat, hasil pembangunan akan tepat sasaran dan dapat dinikmati sesuai

kebutuhan mereka. Setiap permasalahan dan kebutuhan dirumuskan bersama,

sejumlah nilai dan sistem juga dipahami bersama. Dimulai dengan situasi,

kondisi, potensi lokal, dan menempatkan manusia sebagai subyek. Sehingga

masyarakat merasa turut bertanggungjawab terhadap keberhasilan pembangunan

yang notabene memang untuk kepentingan mereka sendiri (Sudjatmoko, 1983).

Dengan sistem pembangunan yang bersifat bottom up yang lebih mengutamakan

kekhasan daerah, dapat mengunggulkan kebijakan yang variatif sesuai dengan

kondisi yang ada.

Kehadiran Posdaya merupakan wujud pembangunan dengan aktivitas

pemberdayaan yang melibatkan partisipasi masyarakat yang mayoritas ibu-ibu

rumah tangga untuk bersama-sama merancang pembangunan yang tepat dengan

melakukan pemberdayaan keluarga melalui program kewirausahaan. Sesuai

dengan visi posdaya sendiri yang ingin mewadahi potensi masyarakat dan turut

serta meningkatkan kesejahteraan demi mewujudkan keluarga mandiri. Posdaya

berbasis BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) berfungsi

sebagai wadah kegiatan penguatan fungsi keluarga secara terpadu dan gotong

royong dari, oleh, dan untuk masyarakat. Selain berada dibawah struktur Posdaya

sendiri, Posdaya berada dibawah naungan Desa Ngroto, dan dibina Universitas

Brawijaya yang ikut serta dalam rintisan dibentuknya Posdaya Desa Ngroto.
8

Program Posdaya dikontrol oleh Dinas Sosial atau lembaga terkait, atas

persetujuan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia.

Berdirinya Posdaya tidak terlepas dari aktor yang memiliki kemampuan

melakukan mobilisasi pembangunan. Peran agen pengerak dalam Posdaya

ditunjukkan melalui keberhasilannya dalam mengkoordinir ibu rumah tangga

yang memiliki sumberdaya untuk membentuk sub-kelompok kewirausahaan dan

menjadi partisipan aktif dalam pemberdayaan tersebut. Sebagai penggagas

terbentuknya kelompok ini, ia berusaha agar para ibu-ibu yang ada di desa Ngroto

punya banyak alternatif untuk menghasilkan pendapatan. Pendapatan dalam hal

ini adalah salah satu indikator bahwa dengan membuka akses untuk manusia bisa

berkreasi dalam memperoleh pendapatan untuk kesejahteraan, merupakan salah

satu indikator dalam pembangunan manusia itu sendiri. Untuk itulah pendirian

Posdaya bertujuan agar dapat meningkatkan kapasitas dan pengetahuan

perempuan pedesaan melalui program pemberdayaan yang ada.

Aktor pemberdaya sebagai agen penggerak membentuk sub-sub kelompok

dalam Posdaya dengan beragam profesi, minat, bakat, keterampilan, dan hobi

yang dimiliki oleh ibu-ibu rumah tangga diwilayah tersebut. Sehingga

pengklasifikasian kelompok tersebut juga berdasarkan minat dan kapasitas yang

dimiliki oleh masing-masing anggota. Program Posdaya tersebut bergerak dalam

bidang kewirausahaan dengan melakukan kegiatan produktif yang mampu

meningkatkan kondisi perekonomian dan dapat membantu mereka untuk

mengembangkan soft skill dan hard skill, meningkatkan kapasitas, dan

menampung kreatifitas mereka. Masing-masing sub-kelompok bergerak dalam


9

berbagai bidang kewirausahaan yang berbeda-beda antara sub-kelompok satu

dengan sub-kelompok lainnya. Terdapat kelompok yang bergerak dalam usaha

pembibitan sayur, usaha pembuatan makanan, usaha pembuatan baju konveksi

(menjahit), usaha rajut, usaha pembuatan jamu TOGA, dan dalam berbagai bidang

usaha lainnya.

Kehadiran posdaya telah mampu mengurangi pengangguran dan

menambah pekerjaan baru bagi masyarakat di Desa Ngroto. Jika sebelumnya

banyak ibu-ibu rumah tangga yang menganggur dan kurang produktif, kini

anggota posdaya melakukan kegiatan produktif melalui berbagai kewirausahaan

yang sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing individu. Selain

itu program pemberdayaan pada Posdaya juga telah membantu pemerintah desa

dalam mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di Desa Ngroto seperti

permasalahan kemiskinan seperti pengangguran, sehingga kehadiran posdaya

dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru sehingga membuat ibu-ibu rumah

tangga yang dulunya kurang produktif menjadi produktif sehingga dapat

membantu peran suami dalam menghasilkan pendapatan untuk meningkatkan

kesejahteraan keluarga. Sehingga berdasarkan keberhasilan Posdaya dalam

kegiatan pemberdayaan masyarakat, kini Desa Ngroto telah mampu menjadi desa

percontohan bagi desa-desa lain yang berada di wilayah Pujon yang juga ikut

mendirikan Posdaya. Desa tersebut seperti Desa Pandansari, Desa Madiredo, Desa

Ngabab, Desa Pujon Kidul, dan desa lain disekitarnya.

Pada tahap awal berdirnya posdaya, partisipasi anggota kelompok posdaya

dalam mengikuti kegiatan pemberdayaan cukup tinggi. Proses partisipasi ini dapat

dilihat dari anggota yang terus dilibatkan dalam proses perencanaan, perancangan
10

program, dan pelaksanaan program pemberdayaan. Partisipasi dilakukan pada

tahap awal pembentukan kelompok Posdaya agar kelompok yang terbentuk dapat

berjalan sesuai dengan harapan anggota. Sesuai dengan definisi partisipasi itu

sendiri yang menyatakan bahwa partisipasi adalah proses aktif yang inisiatifnya

dilakukan dan dibimbing melalui cara berfikir, menggunakan sarana proses oleh

masyarakat sendiri. Apa yang dikerjakan di kelompok posdaya berasal dari ide,

minat, kreativitas serta inisiatif anggotanya. Selain itu partisipasi mereka juga

hadir dalam pelaksanaan kegiatan kelompok, dimana keikutsertaan mereka dalam

kegiatan sub-kelompok sangat tinggi karena mereka selalu hadir dalam setiap

kegiatan yang berkaitan dengan kelompoknya.

Namun dalam pelaksanaan pemberdayaan pada Posdaya, terdapat

beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut terdapat pada lingkup posdaya

secara umum dan pada masing-masing sub-kelompok. Pada lingkup posdaya

terdapat permasalahan terkait pendirian koperasi posdaya yang menimbulkan pro-

kontra dari anggota. Permasalahan tersebut berawal dari rencana pendirian

koperasi posdaya yang tidak melibatkan keputusan dari anggotanya melainkan

hanya melaui perwakilan ketua sub-kelompok. Dalam pendirian koperasi tersebut

dilakukan pemotongan sebesar 20% dari pinjaman modal kredit usaha yang

diperoleh anggota Posdaya dari Bank UMKM Jawa Timur, pemotongan tersebut

sebagai wajib dan simpanan pokok yang digunakan untuk pendirian koperasi.

Setelah koperasi berjalan, kemudian masalah kembali muncul ketika sistem

management tidak tertata dengan baik. Tidak adanya transparasi dana kepada

anggota memunculkan sentimen negatif dari anggota terhadap ketua posdaya dan

menurunkan kepercayaan anggota terhadap pengurus posdaya. Selain itu tidak ada
11

syarat atau ketentuan yang dibebankan atau digunakan sebagai jaminan untuk

peminjaman dana pada koperasi posdaya sehingga banyak anggota yang sampai

saat ini belum melunasi peminjaman dana pada koperasi. Selain itu permasalahan

juga muncul terkait ketidakmerataan pembagian bantuan pada anggota.

Sedangkan hambatan yang terjadi pada level sub-kelompok adalah terkait

hambatan internal dalam melakukan kegiatan produksinya. Hambatan tersebut

berupa kurangnya permodalan, lemahnya jaringan pemasaran produk, dan

terbatasnya sarana dan prasarana usaha. Dari segi permodalan anggota posdaya

seringkali mengalami kesulitan karena hasil penjualan tidak selalu dapat dijadikan

modal kembali, karena dalam prosesnya anggota juga sering mengalami untung

dan rugi. Kendala pemasaran juga disebabkan karena produk yang dihasilkan

belum memiliki izin PIRT dari BPOM, sehingga produk yang dihasilkan oleh

anggota posdaya belum dapat dipasarkan secara bebas. Lemahnya jaringan

pemasaran membuat anggota posdaya kesulitan dalam memasarkan produknya.

Hambatan terkait terbatasnya sarana dan prasarana seperti mesin, atau teknologi

lain yang menjadi faktor penunjang berjalannya produksi membuat anggota

kesulitan dalam melakukan kegiatan produktif.

Sehingga berdasarkan permasalahan pada lingkup posdaya membuat

partisipasi anggota menjadi menurun. Menurunnya partisipasi tersebut karena

adanya permasalahan yang menjadikan kegiatan pemberdayaan pada posdaya

menjadi tidak efektif. Adanya permasalahan tersebut membentuk sebuah praktik

sosial yang menunjukkan dominasi dari ketua posdaya dalam menjalankan

program kegiatan pemberdayaan pada posdaya, dimana signifikasi wacananya

berupa pemberdayaan yang mengarah pada kepentingan beberapa pihak yang


12

memiliki kedekatan dengan ketua posdaya. Dimana sanksi yang diberikan berupa

sanksi moral dari anggota kepada ketua posdaya.

Namun meskipun sempat ada permasalahan, saat ini kegiatan

pemberdayaan pada posdaya tetap berjalan. Walaupun terdapat sebagian anggota

yag tidak aktif dalam kegiatan organisasinya namun mereka aktif dalam kegiatan

produksinya. Sehingga meskipun terdapat permasalahan, kegiatan pemberdayaan

pada posdaya masih memiliki potensi untuk berlanjut. Karena anggota posdaya

antara satu satu sama lain masih saling membutuhkan dan masing-masing anggota

memiliki sense of belonging atau rasa memiliki suatu kelompok atau organisasi

dalam diri anggotanya.

Dalam mengidentifikasi munculnya praktik, peneliti menggunakan teori

strukturasi Anthony Giddens sebagai unit analisis munculnya praktik sosial dalam

pemberdayaan pada saat terjadi permasalahan. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Alasan penggunaan

metode ini karena peneliti ingin mendasarkan analisisnya untuk mendeskripsikan

peristiwa yang sedang berlaku saat ini melalui penggambaran suatu peristiwa ke

dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan menguraikan fenomena, proses,

maupun kondisi sosial yang ada melalui kegiatan observasi atau pengamatan,

wawancara, dan pemanfaatan dokumen (Moleong, 2013:5).

1.2 Rumusan Masalah

1. Mengapa kegiatan pemberdayaan pada posdaya tidak efektif?


13

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis penyebab tidak efektifnya kegiatan pemberdayaan pada

posdaya

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang telah disebutkan diatas, hasil penelitian

diharapkan mampu memberikan manfaat dan kegunaan bagi kalangan

akademisi dan masyarakat, yakni sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Akademis

Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan

ilmu sosial khususnya kajian tentang praktik sosial pemberdayaan pada

posdaya. Selain itu penelitian ini bermanfaat bagi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik sebagai bagian dari pengembangan ilmu sosiologi

pembangunan dan teori strukturasi. Sehingga nantinya dapat dijadikan

sebagai tambahan referensi atau sumbangan pemikiran untuk

pengembangan kebijakan pembangunan serta pemberdayaan sosial ke

masyarakat yang berkaitan dengan praktik sosial pada kegiatan

pemberdayaan perempuan melalui organisasi posdaya. Selain itu juga

dapat dijadikan sebagai upaya untuk mengasah dan menambah wawasan

pengetahuan penulis, mahasiswa, pemerintah, entrepreneur, dan

masyarakat.
14

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai literatur tambahan dan referensi yang dapat digunakan

oleh peneliti berikutnya yang membahas praktik pemberdayaan dalam

posdaya. Selain itu juga dapat digunakan masyarakat dalam menyikapi

perkembangan sosial dan permasalahan yang terjadi di masyarakat,

khususnya terkait masalah kemiskinan, pengangguran, dan terbatasnya

lapangan pekerjaan. Serta memberikan sumbangan pengetahuan bagi

masyarakat Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, terkait

permasalahan pada lingkup posdaya yang membuat pemberdayaan

tersebut menjadi tidak efektif dan menghambat proses pemberdayaan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu, digunakan oleh peneliti untuk membandingkan

penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

peneliti-peneliti sebelumnya. Pada penelitian selanjutnya, peneliti akan

menggunakan tiga penelitian terdahulu sebagai pembanding. Pertama, peneliti

menggunakan penelitian skripsi dari Munawaroh (2016) yang judul “Praktik

Sosial Pemberdayaan Masyarakat Miskin Idiot Melalui Model Kerajinan di

Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo”.

Jenis penelitian yang telah dilakukan oleh Munawaroh adalah penelitian

kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan strukturalis genetis

Pierre Bourdieu yang berkaitan dengan konsep Praktik Sosial, Habitus, Modal,

dan Arena dengan rumus generatif (Habitus x Modal)+ Ranah = Praktik.

Bordieu mengartikan strukturalis genetis sebagai metode pendekatan untuk

mendeskripsikan suatu cara berfikir dan cara mengajukan pertanyaan. Dalam

sebuah struktur, agen memiliki perspektif dan cara bertindak dengan

menyesuaikan keberadaannya di arena masing-masing. Selain mengunakan

menggunakan teori Bourdieu, ia juga menggunakan konsep pemberdayaan

sebagai alat analisis. Pemilihan subjek penelitian adalah dengan menggunakan

purposive sampling, dimana informan dalam penelitian ini adalah pelaku

pemberdayaan yang terdiri dari pelatih dan tuna grahita melalui teknik

pengumpulan data dengan observasi, wawancara,dan studi kepustakaan.

15
16

Permasalahan dalam penelitian ini adalah adanya fenomena kemiskinan

yang dibarengi dengan permasalahan masyarakat dengan down syndrome atau

penderita tuna grahita. Dalam permasalahan yang dihadapi oleh kelompok

tuna grahita, organisasi desa menerapkan program pemberdayaan yang

ditujukan untuk kelompok tersebut. Dimana pemberdayaan dilakukan secara

mandiri oleh masyarakat yang memiliki ide-ide tentang pemberdayaan pada

masyarakat miskin idiot yang bertujuan untuk mengentaskan permasalahan

kemiskinan di wilayah tersebut dan membuat penderita tuna grahita menjadi

produktif dan dapat memanfaatkan waktu luangnya. Bentuk pemberdayaan

melalui pelatihan beternak hewan secara mandiri dan model kerajinan

pembuatan peralatan rumah tangga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam melakukan pemberdayaan di

lokasi (BLK) Balai Pelatihan Kerja, pelatih memiliki beberapa habitus yang

diterapkan bagi kelompok tuna grahita agar pemberdayaan mampu berjalan

dengan baik. Habitus yang ditanamkan pada kelompok tuna grahita adalah

pelatihan intensif yang dilakukan dalam tiap minggunya, dengan intensitas

waktu 2-3 jam. Pelatih selalu menanamkan pemahaman tentang bahasa

Indonesia kepada para tuna grahita selama pelatihan berlangsung, dan

dibarengi dengan pemberian motivasi agar mereka tidak mudah putus asa dan

memberikan reward atas produk yang dihasilkan. Dalam praktik

pemberdayaan ini, modal sosial sangat ditekankan, hal ini nampak melalui

keikutsertaan tuna grahita di lokasi BLK sebagai arena atau ranah, yang

menunjukkan bahwa hanya ada kelompok tuna grahita yang berada dekat

dengan lokasi yang aktif untuk mengikuti program pemberdayaan ini. Pada
17

konsep modal budaya, tuna grahita dibedakan atas beberapa ketegorisasi yakni

ringan, sedang, dan berat.

Persamaan penelitian Munaworoh dengan penelitian yang akan dilakukan

oleh peneliti adalah sama-sama meneliti tentang praktik sosial dalam

pemberdayaan dengan menggunakan metode kualitatif. Permasalahan

penelitian sama-sama berangkat dari permasalahan kemiskinan, sehingga

didirikan pemberdayaan untuk mengatasi hal tersebut. Namun perbedaannya

pada subjek yang diberdayakan dimana Munawaroh menjadikan penderita

tuna grahita (down syndrome) sebagai subjek, sedangkan dalam penelitian ini

perempuan miskin pedesaan sebagai subjek penelitian. Penggerak

pemberdayaan pada penderita tuna grahita adalah organisasi dari desa yang

melakukan pemberdayaan melalui pemberian pelatihan di lokasi BLK.

Sedangkan pada penelitian ini, pembentukan posdaya diinisiasi oleh

anggota masyarakat sebagai agen penggerak yang melihat kondisi rumah

tangga miskin disekitarnya, banyak perempuan yang menganggur dan kurang

produktif. Sehingga muncul ide untuk mendirikan posdaya dengan mengajak

perempuan-perempuan di Desa Ngroto untuk terlibat dalam kegiatan

pemberdayaan melalui upaya penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan.

Pengklasifikasian anggota dalam sub-kelompok yang sesuai dengan minat dan

bakat yang dimilik membuat kegiatan pemberdayaan berlangsung pada dua

level yakni level posdaya dan level sub-kelompok.

Jika Munawaroh menggunakan unit analisis praktik sosial menggunakan

konsep praktik sosial Pierre Bordieu, peneliti menggunakan teori strukturasi


18

Anthony Giddens sebagai kerangka analisis, yang menunjukkan bahwa ketika

kegiatan pemberdayaan masih berbentuk tindakan tingkat partisipasi

anggotanya masih cukup tinggi karena dilibatkan dalam setiap proses

perencanaan dan perancangan program. Namun ketika tindakan tersebut telah

berubah menjadi praktik tingkat partisipasi anggota menjadi menurun karena

terdapat beberapa permasalahan yang membuat terhambatnya proses

pemberdayaan pada posdaya.

Penelitian kedua, yang akan digunakan oleh peneliti sebagai penelitian

terdahulu adalah penelitian hibah internal yang dilakukan oleh tim dosen

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Chawa,dkk

(2016). Penelitian ini berjudul “Dualitas Agensi dan Modal Sosial dalam

Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Kepala Rumah Tangga Miskin di Sektor

Agribisnis”. Penelitian ini menggunakan landasan teori agensi dan modal

sosial Ling & Dale, serta menggunakan metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan studi kasus instrumental. Penelitian ini memfokuskan pada

masalah modal sosial dan pemberdayaan masyarakat serta peran dari agensi

yang diasumsikan mampu memobilisasi modal sosial yang dimiliki oleh

sebuah komunitas.

Hasil penelitian dari Chawa dkk, menunjukkan bahwa kegiatan

pemberdayaan pada Posdaya Desa Ngroto tidak terlepas dari peran agensi

pada level individu maupun level komunitas. Agensi pada level individu

dimiliki oleh ketua posdaya yang memiliki kemampuan menggerakkan

individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemberdayaan kemudian

mengidentifikasi permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh mereka,


19

kemudian membuka akses ekonomi agar mereka dapat memberikan

penghasilan tambahan dalam ekonomi rumah tangga. Sehingga agensi dalam

level individu telah mampu mengevolusi adanya kelompok pemberdayaan

usaha bagi ibu-ibu. Bergabungnya mereka dalam kelompok mampu

meningkatkan interaksi, kerjasama bahkan saluran informasi antar sesama.

Terbentuknya agensi individu juga terbentuk melalui faktor internal individu

mengenai pandangan hidupnya yang gotong-royong, saling membantu, dan

tolong menolong karena manusia pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri. Hal

tersebutlah yang memotivasi individu untuk melakukan tindakan sosialnya.

Selain itu jaringan atau relasi sosial yang dimiliki ketua posdaya dengan

koperasi simpan pinjam memudahkannya dalam mencapai tujuan

pemberdayaan karena ketua posdaya mampu menghubungkan jaringan yang

sebelumnya dengan kelompok posdaya

Sedangkan agensi dalam level komunitas, memiliki kapasitas dalam

meningkatkan modal sosial bonding dan bridging. Dimana dari ke 9 kelompok

yang terdapat pada posdaya agensi hanya mucul pada 2 kelompok saja yakni

pada kelompok griya rajut dan makaryo bersama yang dapat memanfaatkan

jaringan sosial tersebut melalui kapasitas mengorganisir kegiatan, kemampuan

dalam menyebarkan informasi yang bermanfaat pada kelompok, serta

kemampuan dalam pemafaatan teknologi (internet) sebagai sumber

pengetahuan yang bermanfaat bagi anggota kelompok yag diaplikasikan

melalui bentuk pelatihan, sharing pengalaman dan mencari solusi dari

permasalaahan yang sedang di hadapi, serta memanfaatkan teknologi

(internet) sebagai sumber belajar mereka. Keberadaan ketua posdaya juga


20

mampu membangkitkan agensi dalam level komunitas untuk dapat

memberdayakan anggota kelompoknya. Selain itu terbentuknya agensi dalam

level kelompok ini juga tidak terlepas dari jaringan sosial yang dimiliki oleh

individu-individu dalam anggotanya. Modal sosial kelompok juga terbangun

melalui hubungan baik yang sudah dibangun melalui pelanggan dan pasar

sebagai pihak yang berperan dalam distribusi produk yang mereka hasilkan.

Modal sosial bonding mengutamakan pada orientasi kerjasama, gotong

royong, dan tolong menolong dalam kelompok. sedangkan modal sosial

bridging lebih bersifat inklusif dengan orientasi keluar kelompok serta

mengembangkan kerjasama dengan pihak lain.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Chawa, dkk (2016) dengan

penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada penelitian ini adalah kesamaan

lokasi penelitian yang sama-sama dilakukan pada kelompok posdaya yang

berada di Desa Ngroto. Selain itu juga sama-sama meneliti terkait

pemberdayaan. Perbedaannya terletak pada fokus penelitian, yang mana pada

penelitian yang dilakukan oleh Chawa, dkk lebih memfokuskan pada peran

agensi pada level individu dan kelompok dalam pemberdayaan. Serta dualitas

agensi yang ada pada level individu dan level komunitas (kelompok), dan

modal sosial yang digunakan dalam kegiatan pemberdayaan tersebut.

sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih memfokuskan

pada penyebab tidak efektifnya kegiatan pemberdayaan yang berlangsung saat

ini hingga hal tersebut membentuk sebuah praktik sosial yang menunjukkan

dominasi dari ketua posdaya yanhg berperan sebagai expert agent dalam

menjalankan program kegiatan pemberdayaan pada posdaya, dimana


21

signifikasi wacananya berupa pemberdayaan yang mengarah pada kepentingan

beberapa pihak yang memiliki kedekatan dengan ketua posdaya. Dimana

sanksi yang diberikan berupa sanksi moral dari anggota kepada ketua posdaya.

Secara umum, terhambatnya program pemberdayaan pada posdaya disebabkan

karena adanya beberapa permasalahan dalam sistem kelembagaannya secara

umum yakni terkait tidak meratanya pembagian bantuan serta pro-kontra

pendirian koperasi yang pembentukannya tanpa melibatkan musyawarah

dengan seluruh anggota, pemotongan sebanyak 20% dari kredit yang

diperoleh untuk modal usaha, tidak adanya transparasi dana, sehingga hal

tersebut menjadikan menurunnya kepercayaan anggota. Berbeda dengan

penelitian yang dilakukan Chawa, dkk yang mengidentifikasi tindakan agen

secara umum, dalam penelitian ini peneliti menganalisis munculnya pola

praktik sosial terhambatnya program pemberdayaan posdaya yang disebabkan

adanya beberapa hambatan baik dalam lingkup posdaya maupun sub-

kelompok.

Penelitian ketiga, yang akan dipakai oleh peneliti sebagai penelitian

terdahulu adalah skripsi yang ditulis oleh Alfianti (2014) yang berjudul

“Pemberdayaan Perempuan Melalui Program Usaha Sosial Ekonomis

Produktif Keluarga Miskin (USEP-KM) Oleh Dinas Sosial DIY di Hargorejo,

Kokap, Kulonprogo”. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui proses pelaksanaan pemberdayaan perempuan melalui program

USEP-KM oleh Dinas Sosial DIY di Desa Hangorejo, Kecamatan Kokap,

Kabupaten Kulonprogo dan dampaknya bagi perkembangan kehidupan

masyarakat yang ada di desa tersebut. Kelompok USEP-KM tersebut bernama


22

“Binangun Sejahtera”, dan terdiri dari 30 orang anggota sesuai dengan

ketentuan Dinas Sosial DIY. Terdapat beberapa bidang usaha yang bergerak

disana.

Penelitian ini menggunakan unit analisis konsep pemberdayaan

perempuan sebagai alat analisis. Menggunakan metode kualitatif deskriptif.

Subjek dalam penelitian ini adalah staf dan kepala seksi keluarga bermasalah

Dinas Sosial DIY, pengurus, pendamping, dan anggota kelompok USEP-KM

“Binangun Sejahtera”. Teknik pengumpulan data dengan observasi,

wawancara, dokumentasi. Penentuan informan menggunakan teknik purposive

sampling.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alfianti ini menunjukkan proses

pemberdayaan perempuan melalui program USEP-KM oleh Dinas DIY di

Desa Hargorejo, Kokap, Kabupaten Kulonprogo sangatlah panjang. Prosesnya

dimulai dari perencanaan program, peninjauan lokasi, rapat koordinasi,

pembekalan pendamping, seleksi peserta bimbingan keterampilan, pemberian

bantuan, monitoring dan evaluasi sampai kembali kepada penumbuhan USEP-

KM baru. Bentuk pemberdayaan tersebut dapat dilihat dari keseriusan

pembina, pendamping, pengurus dan anggota kelompok secara bersama-sama

mengelola kelompok USEP-KM “Binangun Sejahtera” dengan adanya

struktur organisasi kepengurusan kelompok, adanya kegiatan-kegiatan yang

secara tidak langsung membantu meningkatkan peran dan kemampuan

perempuan atau anggota kelompok dalam bentuk usaha ekonomis produktif.

Ada pertemuan rutin bulanan dan pelatihan keterampilan serta pengelolaan

administrasi dan pelaporan setiap pemasukan dan pengeluaran dana


23

kelompok, sehingga pemberdayaan tersebut lancar hingga saat ini, meskipun

tedapat kendala teknis maupun non teknis seperti jumlah personil kegiatan

yang memadai atau tidak sebanding dengan sasaran yang akan ditangani,

mekanisme pencairan dana kegiatan kurang dan sering terlambat, kurangnya

dukungan sharing dana dari pemerintah kabupaten/kota, sarana dan prasarana

yang kurang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas serta jarak

tempat tinggal anggota yang satu dengan yang lain cukup jauh.

Selain itu dampak yang ditimbulkan dari adanya program USEP-KM ada

dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya dari segi ekonomi,

membantu ibu-ibu yang tergabung dalam anggota, mempunyai usaha dan

dapat membantu mengurangi beban keluarga dan mampu untuk

menumbuhkan dan mengembangkan usaha masing-masing anggota. Adanya

USEP-KM ini membuat usaha mereka menjadi maju dan berkembang,

mengurangi adanya praktik rentenir atau Bank Plecit di Desa Hangorejo,

membantu menyelesaikan masalah terkait dengan kebutuhan yang sifatnya

mendadak. Dari segi sosial dampak positifnya dapat mempererat hubungan

persaudaraan antar sesama anggota kelompok USEP-KM, dengan adanya

susunan kepengurusan struktur organisasi juga membentuk anggota untuk

belajar berorganisasi. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan adalah,

pada awal pembentukan kelompok USEP-KM menimbulkan hubungan yang

kurang harmonis dan perselisihan antara anggota kelompok USEP-KM

“Binangun Sejahtera” dengan warga masyarakat yang tidak tergabung dalam

kelompok tersebut. Akibatnya banyak warga yang iri karena merasa dirinya

pantas untuk bergabung dalam kelompok tersebut namun tidak diikutkan.


24

Selain itu konflik lain yang terjadi adalah terkait banyaknya kelompok simpan

pinjam yang ada di Desa tersebut. Sehingga mereka saling menunggulkan

kelompoknya dan saling manjatuhkan kelompok lain.

Persamaan penelitian Alfianti dengan penelitian ini adalah sama-sama

meneliti pemberdayaan keluarga miskin, dengan metode penelitian kualitatif.

Namun perbedaanya, Alfianti lebih terfokus pada proses pemberdayaan

perempuan melalui program usaha sosial ekonomis produktif keluarga miskin

(USEP-KM) dan bagaimana dampak program tersebut bagi perkembangan

kehidupan masyarakat yang ada di desa tersebut. Program pemberdayaan

tersebut, bersifat top down, karena program tersebut berasal dari dinas sosial

kota DIY. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti lebih

terfokus pada program pemberdayaan yang bersifat bottom up yang lebih

mengutamaan peran dan partisipasi dari masyarat yang mayoritas ibu-ibu

rumah tangga (perempuan miskin pedesaan) untuk bersama-sama merancang

pembangunan yang tepat dengan melakukan pemberdayaan keluarga melalui

Posdaya. Selain itu dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti lebih

terfokus pada peyebab tidak efektifnya kegiatan pemberdayaan pada posdaya

yang menghambat berjalannya proses pemberdayaan. Ketiga penelitian

terdahulu tersebut dijadikan perbandingan peneliti dalam penelitian

selanjutnya, seperti yang diugkapkan pada tabel berikut:


25

Tabel 1. Perbandingan Penelitian Terdahulu


Peneliti Rodhotul Chawa, dkk Evi Alfianti Elza Chlaoedya
Munawaroh (2016) (2014) Defitri
(2016) (2017)

Judul Praktik SosialDualitas Agensi Pemberdayaan Praktik Sosial


pemberdayaan dan Modal Sosial Perempuan Pemberdayaan
Masyarakat Miskin dalam Melalui Program Masyarakat Pada
Idiot melaluiPemberdayaan Usaha Sosial Kelompok Posdaya,
Model Kerajinan Ekonomi Ekonomis Desa Ngroto,
di Desa Perempuan Kepala Produktif Kecamatan Pujon,
Karangpatihan, Rumah Tangga Keluarga Miskin Kabupaten Malang
Kecamatan Miskin di Sektor (USEP-KM) Oleh
Balong, Kabupaten Agribisnis Pada Dinas Sosial DIY
Ponorogo Posdaya di Desa di Hargorejo,
Ngroto, Kecamatan Kokap,
Pujon, Kabupaten Kulonprogo
Malang
Teori/ Teori Praktik Teori Agen dan Konsep Teori Strukturasi
Konsep Sosial Pieree Modal Sosial Ling Pemberdayaan Anthony Giddens,
Bourdieu, Konsep & Dale, konsep Perempuan Konsep Partisipasi
Pemberdayaan pemberdayaan Arnstein, dan Konsep
Pemberdayaan
Metode Kualitatif, dengan Kualitatif dengan Kualitatif Kualitatif Deskriptif,
dan menggunakan pendekatan studi Deskriptif, pengumpulan data
Pendekatan pendekatan kasus, pengumpulan dengan observasi,
strukturalis genetis pengumpulan data data dengan wawancara, dan
Pierre Bordieu, dilakukan dengan observasi, dokumentasi. Teknik
teknik penentuan wawancara dan wawancara, penentuan informan
informan dengan dokumentasi, dokumentasi, menggunakan
purposive teknik penentuan teknik penentuan purposive sampling
sampling informan dengan informan dengan
purposive sampling purposive
sampling

Persamaan Sama-sama meneliti pemberdayaan dan menggunakan metode penelitian kualitatif

Perbedaan Melihat Menganalisis Melihat proses Mengambil fokus


pengaplikasian peran agensi pada pelaksanaan momen ketika terjadi
bentuk praktik level individu dan pemberdayaan permasalahan internal
sosial dalam kelompok terkait perempuan melalui kelompok dalam
pemberdayaan dengan program USEP- proses pemberdayaan
masyarakat miskin pemberdayaan, KM oleh Dinas sehingga kegiatan
idiot dengan serta menganalisis sosial DIY, dan pemberdayaan
penerapan model dualitas agensi dampak dari menjadi tidak efektif
kerajinan di Desa dan modal sosial program tersebut
Karangpatihan dalam proses bagi
pemberdayaan perkembangan
kepala rumah kehidupan
tangga miskin masyarakat di
perempuan Desa Hargorejo
26

Hasil Hasil penelitian Pemberdayaan Proses Pemberdayaan pada


menunjukkan bahwa Posdaya desa pemberdayaan posdaya menunjukan
dalam melakukan Ngroto tidak melalui program model pemberdayaan
pemberdayaan di terlepas dari peran USEP-KM oleh yang bersifat bottom-
lokasi (BLK) Balai agensi pada level Dinas DIY dimulai up yang dilakukan
Pelatihan Kerja, individu maupun dari proses melalui 3 tahapan
pelatih memiliki komunitas. perencanaan yakni penyadaran,
beberapa habitus Agensi pada level program, pengkapasitasan, dan
yang diterapkan individu terbentuk peninjauan lokasi, pendayaan dengan
bagi kelompok tuna karena adanya rapat koordinasi, pembentukan
grahita agar motivasi, pemberian bantuan kelompok
pemberdayaan perhatian, tujuan, monitoring dan berdasarkan minat
mampu berjalan pandangan hidup, evaluasi sampai dan keahlian anggota.
dengan baik. kepemilikan kembali kepada Kegiatan
Habitus yang modal sosial dan penumbuhan pemberdayaan
ditanamkan pada kemampuan USEP-KM baru. dilakukan pada pada
kelompok tuna mengatasi Ada struktur dua level yakni pada
grahita adalah hambatan yang organisasi level Posdaya, dan
pelatihan intensif datang dari kepengurusan level sub-kelompok.
yang dilakukan internal ataupun kelompok dan Partisipasi masyarakat
dalam tiap eksternal individu. kegiatan usaha dalam kegiatan
minggunya, dengan Agensi tersebut ekonomi produktif pemberdayaan
intensitas waktu 2-3 memiliki peran dan pelatihan awalnya tinggi karena
jam. Pelatih selalu dalam keterampilan. pada saat perencanaan
menanamkan mengaktifkan Dampak positif seluruh anggota
pemahaman tentang modal social dapat membantu posdaya masih
bahasa Indonesia kelompok menumbuhkan dan dilibatkan baik dalam
kepada para tuna Posdaya yang mengembangkan identifikasi potensi
grahita selama dibentuk. Modal usaha anggota dan aset sampai pada
pelatihan sosial yang sudah menjadi maju dan klasifikasi sub-
berlangsung, dan terakumulasi berkembang dan kelompok, bahkan
dibarengi dengan dalam Posdaya mengurangi pada tahap
pemberian motivasi yang dibentuk ini adanya praktik pelaksanaan program
agar mereka tidak dalam rentenir. Dampak mereka masih terlibat
mudah putus asa perjalananya juga negatifnya awal secara partisipatif.
dan memberikan memiliki pembentukn Praktik pemberdayaan
dukungan secara kemampuan kelompok pada posdaya menjadi
materiil melalui dalam melatih menimbulkan tidak efektif ketika
pemberian uang dari agensi baru dalam hubungan yang terjadi permasalahan
hasil kerajinan yang level kelompok kurang harmonis Dominasi dari ketua
di produksi. Para untuk menjadi dan perselisihan posdaya dalam
tuna grahita hanya agen perubahan. antara anggota menjalankan program
mengandalkan Selain itu kelompok USEP- kegiatan
modal sosial yakni terbentuknya KM “Binangun pemberdayaan pada
kedekatan dengan agensi dalam Sejahtera” dengan posdaya,
para pelatihnya dan level kelompok warga masyarakat memunculkan
antusias mereka ini juga tidak yang tidak signifikasi wacana
dalam mengikuti tergabung dalam berupa pemberdayaan
terlepas dari
program kelompok tersebut. yang mengarah pada
pemberdayaan. jaringan sosial kepentingan beberapa
kepemilikan modal yang dimiliki pihak yang memiliki
ekonomi, modal oleh individu- kedekatan dengan
simbolik, dan modal individu dalam ketua posdaya.
27

budaya hanya oleh anggotanya. Dimana sanksi yang


pelatih di BLK Modal sosial diberikan berupa
sebagai ranah atau kelompok juga sanksi moral dari
arena. terbangun anggota kepada ketua
melalui posdaya. Secara
umum, terhambatnya
hubungan baik program
yang sudah pemberdayaan pada
dibangun posdaya disebabkan
melalui karena adanya
pelanggan dan beberapa
pasar sebagai permasalahan dalam
pihak yang sistem
berperan dalam kelembagaannya
distribusi produk secara umum yakni
yang mereka terkait tidak
hasilkan. Modal meratanya pembagian
bantuan serta pro-
sosial bonding kontra pendirian
mengutamakan koperasi yang
pada orientasi pembentukannya
kerjasama, tanpa melibatkan
gotong royong, musyawarah dengan
dan tolong seluruh anggota,
menolong dalam pemotongan sebanyak
kelompok. 20% dari kredit yang
sedangkan diperoleh untuk
modal sosial modal usaha, tidak
bridging lebih adanya transparasi
dana, sehingga hal
bersifat inklusif tersebut menjadikan
dengan orientasi menurunnya
keluar kelompok kepercayaan
serta anggota.Permasalahan
mengembangkan tersebut kemudian
kerjasama menjadi penghambat
dengan pihak berjalannya proses
lain. pemberdayaan pada
posdaya.
Namun meskipun
terdapat permasalahan
dan hambata, program
pemberdayaan pada
Posdaya memiliki
potensi untuk
berlanjut.
Sumber: Olah Data Peneliti, (2017)
28

2.2 Landasan Konseptual

2.2.1 Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan secara harfiah berasal dari kata empowerment, yang

dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pemberdayaan atau yang dalam

istilah bahasa inggris disebut dengan to give power or authority to act

yang berarti memberikan kekuasaan atau kewenangan bertindak untuk

melakukan suatu hal (Basrowi dalam Soenyono, 2012). Menurut Prijono

(dalam Soenyono, 2012) pemberdayaan adalah suatu proses usaha yang

mendorong terjadinya suatu perubahan sosial yang memungkinkan orang

yang sebelumnya tidak berdaya menjadi berdaya dan mampu memberikan

perubahan dan pengaruh yang lebih besar di masyarakat baik secara

ekonomi, sosial budaya, maupun politik. Pemberdayaan sebagai proses

untuk mengembangkan, memandirikan, menswadayakan masyarakat yang

ada di lapisan bawah agar mereka mampu memperkuat posisi tawar

menawar dan memiliki kekuatan dalam menghadapi penekanan dalam

segala bidang kehidupan.

Tujuan utama dalam dalam program pemberdayaan masyarakat

adalah memberdayakan masyarakat yang beperan sebagai subjek

pembangunan atau human development. Bahkan beberapa tokoh teoritis

juga menjelaskan, bahwa untuk mencapai tujuan program pemberdayaan

tersebut maka para pelaku pemberdayaan masyarakat harus dapat

meningkatkan kapasitas dan kemampuan dari anggota masyarakat agar

mereka dapat bertanggungjawab atas proses pembangunan yang dilakukan

oleh mereka sendiri (Bhattacharyya, 2004; Kenny, 2006; Swanepoel & de


29

Beer, 2006). Prinsip inilah yang digunakan masyarakat sebagai sumber

utama dan tujuan akhir dari proses pembangunan. Dengan demikian,

program pemberdayaan yang menyasar masyarakat miskin pedesaan akan

dapat dicapai jika menempatkan mereka sebagai subyek utama dalam

proses pemberdayaan dan tujuan utama dari proses pembangunan dan

pemberdayaan masyarakat. Selain itu partisipasi atau keterlibatan

masyarakat dalam membuat keputusan sendiri terkait implementasi

program pembangunan yang menentukan nasib atau masa depan mereka

juga harus ada dalam pemberdayaan masyarakat (Ife, 2013 ; Swanepoel &

De Beer, 2006). Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami

juga dengan dua cara pandang.

1) Pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri

masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat

(beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti

pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan

yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri

bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik

(kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada

masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given.

Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan

kapasitas dalam mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan

dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan

ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut

berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Eko, 2002).


30

2) Pemberdayaan merupakan bagian dari paradigma pembangunan yang

memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang ada pada manusia

dan lingkungannya, mulai dari Sumber Daya Manusia (SDM), aspek

intelektual, aspek material dan fisik, hingga aspek managerial. Sehingga

aspek-aspek tersebut nantinya dapat dikembangkan menjadi aspek sosial

budaya, ekonomi, politik, keamanan, dan lingkungan. Sehingga dalam

pemberdayaan masyarakat terdapat upaya untuk menciptakan dan

meningkatkan kapasitas masyarakat baik secara individu maupun

berkelompok, dengan tujuan agar dapat memecahkan berbagai persoalan

yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan

kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya dalam proses pemberdayaan

masyarakat, khususnya terkait pemberdayaan masyarakat miskin pedesaan

diharapkan para pelaku atau aktor penggerak pemberdayaan masyarakat

mampu meningkatkan kapasitas dan kemampuan kelompok miskin, agar

mereka dapat berdaya dan mampu secara mandiri mengatasi permasalahan

yang sedang dihadapi menggunakan sumberdaya dan pengetahuan yang

mereka miliki.

Prinsip penting dalam sebuah pemberdayaan yakni harus ada

kerjasama sebagai partner, proses pemberdayaan menempatkan

masyarakat sebagai aktor atau subjek yang kompeten, masyarakat harus

melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat

mempengaruhi perubahan sehingga harus mempu mengakses dan

menggunakan sumber daya yang ada secara efektif, masyarakat harus

berpartisipasi dalam memberdayakan diri mereka sendiri baik tujuan


31

maupun hasil juga harus dirumuskan oleh mereka sendiri, tingkat

kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan karena pengetahuan dan

tindakan yang dilakukan akan membawa perubahan.

Menurut Nugroho (2007), pemberdayaan adalah sebuah “proses

menjadi” bukan “proses instan”, oleh karena itu dalam prosesnya

pemberdayaan memiliki tiga tahapan sebagai berikut:

Gambar 1. Tiga Tahapan dalam Proses Pemberdayaan

Penyadaran Pengkapasitasan Pendayaan

Sumber : Wrihatnolo dan Nugroho, (2007)

1. Pada tahap penyadaran, masyarakat yang kurang mampu sebagai target

sasaran harus diberikan pemahaman bahwa mereka mempunyai hak untuk

menjadi mampu dan berada. Oleh karena itu mereka harus diberikan

motivasi bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk keluar dari

kemiskinannya. Sehingga proses ini harus dipercepat dan

dirasionalisasikan hasilnya dengan upaya pemberian pendampingan.

2. Pada tahap pengkapasitasan, dilakukan dengan cara memberikan

pelatihan-pelatihan, sosialisasi, dan kegiatan sejenisnya yang bertujuan

untuk meningkatkan life skill dari masyarakat tersebut. Tahap ini

bertujuan untuk memampukan masyarakat yang kurang mampu sehingga


32

mereka memiliki keterampilan untuk dapat mengelola peluang yang akan

diberikan.

3. Pada tahap pendayaan, diperlukan adanya partisipasi aktif dan

berkelanjutan yang dapat ditempuh dengan memberikan peran yang lebih

besar secara bertahap, masyarakat diberikan peluang yang sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya

serta diakomodasi aspirasinya dan dituntun untuk melakukan self

evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan atas pilihan tersebut.

2.2.2 Partisipasi

Partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris “participation” yang

berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan (Echols & Shadily, 2000:

419). Secara umum, partisipasi dapat dimaknai sebagai peran serta atau

pelibatan seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses

pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk

kegiatan dengan memberikan sebuah masukan atau sumbagsih pemikiran,

tenaga, waktu, keahlian, modal maupun materi, serta ikut memanfaatkan

dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Sumaryadi, 2010:46). Partisipasi

juga memiliki pengertian “a valuentary process by which people including

disadvantaged (income, gender, ethnicity, education) influence or control

the affect them” yang artinya suatu proses yang wajar dimana masyarakat

termasuk yang kurang beruntung (penghasilan, gender, suku, pendidikan)

mempengaruhi atau mengendalikan pengambilan keputusan yang langsung

menyangkut hidup mereka (Narayan, 1995).


33

Proses partisipasi merupakan prinsip dasar yang harus diadopsi

oleh semua pihak setiap melakukan aktivitas pembangunan maupun

pemberdayaan di masyarakat. Dengan adanya partisipasi, akan dapat

memaksimalkan kekuasaan dan kontrol di tangan anggota masyarakat

untuk dapat mengambil keputusan terkait dengan program pembangunan

yang sedang dilakukan yang mana pembangunan tersebut nantinya akan

mempengaruhi nasib dan masa depan mereka selanjutnya.

Partisipasi masyarakat melalui keikutsertaan, keterlibatan, dan

kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu baik secara

langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan tersebut dimulai dari

pembentukan gagasan, perumusan kebijakan, hingga pelaksanaan program.

Dalam proses pembangunan, partisipasi merupakan sesuatu yang harus

ditumbuh kembangkan melalui proses yang aktif dari individu atau

kelompok yang terkait, dengan mengambil inisiatif dan menggunakan

kebebasannya untuk melakukan suatu kegiatan sukarela dan ikut serta

dalam kegiatan pembangunan di masyarakat. Pembangunan menjadi

positif apabila ada partisipasi dari masyarakat dan sebaliknya, kurangnya

partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti terdapat

penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri dan

secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana program.

Terkait dengan proses pembangunan, prinsip human orientation

sangatlah dibutuhkan oleh aktor maupun praktisi pemberdaya, terutama

dalam pogram pemberdayaan masyarakat yakni dengan menmpatkan

masyarakat sebagai subjek dan tujuan utama pada program pembangunan


34

yang sedang dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengupayakan

pemenuhan kebutuhan masyarakat baik yang bersifat fisik maupun non

fisik (psikologis), terutama pada kelompok masyarakat miskin dan

masyararakat pinggiran yang termarginalkan.

Selanjutnya, prinsip partisipasi dari anggota masyarakat sebagai

prinsip kunci yang digunakan dalam program pemberdayaan masyarakat

(commuunity development) yang mana prinsip ini harus ada dalam proses

pemberdayaan masyarakat. Partisipasi disini adalah adanya keterlibatan

anggota masyarakat untuk mampu membuat keputusan sendiri dalam

implementasi program-program pembangunan yang sedang dilakukan,

dimana program tersebut nantinya akan mampu menentukan nasib atau

masa depan mereka (Ife, 2013; Swanepoel & De Beer, 2006). Selain itu

Bhattacharyya (2004), juga menjelaskan prinsip utama dari partisipasi

yang disebut dengan inklusi. Yang mana inklusi ini terkait dengan

keterlibatan anggota masyarakat dalam proses menemukan masalah dan

jalan keluar dari permasalahan tersebut. Yang mana pada proses ini para

anggota masyarakat diberikan kesempatan oleh para pelaku pemberdayaan

masyarakat untuk mengungkapkan permasalahan apa saja yang sedang

mereka hadapi dan dan mendorong mereka menemukan solusi untuk

permasalahan tersebut menggunakan sumberdaya dan pengetahuan yang

mereka miliki.

Proses partisipasi akan selalu erat dengan isu power atau kekuasaan

(Choguill, 1999; Onyx & Benton, 1995; Sherbini, 1986; Arnstein, 1969).

Sehingga dalam hal ini partisipasi merupakan prinsip dasar yang harus
35

diadopsi oleh semua pihak dan sangat dibutuhkan pada proses

pemberdayaan masyarakat terutama dengan memaksimalkan power atau

kekuasaan dan kontrol ditangan anggota masyarakat agar mereka mampu

mengambil keputusan sesuai dengan pengetahuan dan sumberdaya yang

mereka miliki.

Menurut Arnstein (1996), melalui tipologinya yang dikenal dengan

tingkatan partisipasi masyarakat (the ladder of citizen participation),

menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat berdasarkan pada kekuatan

masyarakat guna menentukan suatu produk akhir. Terdapat perbedaan

yang sangat mendasar antar bentuk peran serta yang bersifat semu (empty

ritual) dengan bentuk peran serta yang mempunyai kekuatan nyata (real

power), dimana hal tersebut diperlukan untuk mempengaruhi hasil akhir

dari suatu proses.

Arnstein menggambarkan partisipasi masyarakat sebagai suatu pola

bertingkat (ladder patern) yang terdiri dari 8 tingkatan tangga. Tingkatan

yang paling bawah merupakan tingkatan partisipasi yang sangat rendah,

sedangkang tingkatan yang paling atas merupakan tingkat dimana

partisipasi masyarakat sudah sangat besar dan kuat. Adapun kedelapan

tingkatan tersebut adalah Manipulation (memanipulasi), Therapy

(memulihkan), Informing (menginformasikan), Consultation

(merundingkan), Placation (mendiamkan), Partnership (bekerjasama),

Delegated Power (pendelegasian wewenang), dan Citizen Control (publik

mengontrol). Kemudian Arnstein mengelompokkan delapan anak tangga

tersebut menjadi tiga bagian, jika diurutkan dari tangga terbawah bagian
36

utama merupakan Non participation (tidak ada partisipasi), bagian kedua

Tokenism (delusif), dan bagian ketiga Citizen Power (publik berdaya).

Gambar 2. Tangga Partisipasi Masyarakat

Sumber: Arnstein, (1996)

Berdasarkan tingkatan yang telah digambarkan diatas, pada

tingkatan paling bawah terdapat manipulation, dimana merupakan

tingkatan partisipasi yang paling rendah, karena masyarakat hanya dipakai

namanya saja. Terdapat kegiatan memanipulasi informasi untuk

memperoleh dukungan publik dan menjanjikan keadaan yang lebih baik

meskipun tidak pernah terjadi. Pada tingkatan kedua yakni therapy,

dimana pemegang kekuasaan sedikit memberitahu tentang beberapa

programnya, dengan berpura-pura melibatkan masyarakat. Namun

tujuannya lebih pada mengubah pola pikir masyarakat dari pada

mendapatkan masukan dari masyarakat itu sendiri. Yang ketiga adalah

informing dimana pemegang kekuasaan hanya memberikan informasi

kepada masyarakat terkait program kegiatan, informasi dapat berupa hak,


37

tanggungjawab, dan berbagai pilihan, tetapi tidak ada umpan balik atau

kekuatan untuk negoisasi dari masyarakat, jadi masyarakat tidak

diberdayakan untuk mempengaruhi hasil. Informasi ini diberikan pada

tahapan akhir perencanaan dan masyarakat hanya memiliki sedikit

kesempatan untuk mempengaruhi rencana yang telah disusun.

Pada tingkatan keempat, consultation yakni masyarakat tidak

hanya diberitahu akan tetapi juga diundang untuk berdiskusi dengan

banyak elemen publik tentang berbagai agenda mereka diberi kesempatan

untuk mengemukakan kritik, saran, dan pendapat, meskipun tidak ada

jaminan bahwa nantinya pendapat tersebut akan dipertimbangkan dalam

pengambilan keputusan. Selanjutnya pada tingkatan kelima placation,

yakni pemerintah sebagai pemegang kekuasaan perlu menunjuk sejumlah

orang bagian dari masyarakat untuk menjadi menjadi anggota suatu badan

publik, dimana mereka mempunyai akses tertentu dalam proses

pengambilan keputusan. Meskipun dalam pelaksanaannya usulan

masyarakat tetap diperhatikan karena kedudukan relatif rendah dan

jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan elemen pemerintah,

maka tidak mampu mengambil keputusan. Pada tingkatan keenam yakni

partnership, disini masyarakat berhak untuk berunding dengan pemerintah

sebagai pengambil keputusan, atas kesepakatan bersama kekuasan dibagi

antara masyarakat dengan pemerintah. Untuk itu, maka diambil

kesepakatan saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan,

pengendalian keputusan, penyusunan kebijakan serta pemecahan masalah

yang telah atau akan dihadapi.


38

Pada tingkatan ketujuh, delegated power, dimana masyarakat

diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana

tertentu, dan untuk menyelesaikan permasalahan, pemerintah harus

mengadakan negosiasi dengan masyarakat dan tidak dengan tekanan dari

atas. Dalam hal ini, dimungkinkan masyarakat mempunyai tingkat kendali

atas keputusan pemerintah. Dan pada tingkatan kedelapan yakni citizen

control, pada tingkatan terakhir ini masyarakat dapat berpartisipasi dalam

mengendalikan seluruh proses pengambilan keputusan serta memiliki

kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan

dengan kepentingannya. Dalam hal ini masyarakat juga mempunyai

wewenang dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak luar yang akan

melakukan perubahan. Usaha bersama yang dilakukan oleh warga ini akan

langsung berhubungan dengan bantuan sumber dana yang diperoleh tanpa

melalui pihak ketiga.

Berdasarkan penjelasan 8 tingkatan partisipasi yang telah

dijelaskan diatas, selanjutnya Arnstein membagi tipologi tersebut kedalam

3 kelompok besar, pada kelompok pertama, yakni tidak adanya partisipasi

sama sekali (non participation) yang meliputi manipulation dan therapy.

Selanjutnya pada kelompok kedua, partisipasi masyarakat dalam bentuk

tinggal menerima beberapa ketentuan (degrees of tokenism) yang meliputi

informing, consultation, dan placation. Dan pada kelompok yang terakhir,

partisipasi masyarakat dalam bentuk mempunyai kekuasaan (degrees of

citizen power) yang meliputi partnership, delegated power, dan citizen

power.
39

2.2.3 Posdaya

Posdaya adalah sebuah forum komunikasi, silaturrahmi, advokasi,

penerangan, pendidikan, sekaligus sebagai wadah kegiatan penguatan

fungsi keluarga secara terpadu dan gotong royong dari, oleh, dan untuk

masyarakat. Posdaya berperan sebagai struktur yang menjembatani

masyarakat, dan sebagai sarana bagi masyarakat untuk mengembangkan

diri dibidang kesehatan, pendidikan, ekonomi (kewirausahaan), dan

lingkungan melalui gotong-royong atau kerjasama dalam kelompok atau

masyarakat.

Prinsip Posdaya sendiri dibentuk atas dasar inisiatif lokal atau

disepakati sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan bersama. Dan juga

sebagai pencapaian tujuan dan sasaran yang diwujudkan melalui kegiatan

bersama secara bergotong-royong. Kemudian dilaksanakan secara

berlanjut dengan melihat perkembangan keadaan sasaran, partisipasi, dan

hasil yang diperoleh. Sehingga dapat digali sumber daya untuk melakukan

kegiatan secara mandiri. Yang bertujuan untuk berkembangnya kegiatan

atau upaya pemberdayaan keluarga miskin atau pra sejahtera, dan dapat

mengurangi jumlah masyarakta miskin agar dapat mencapai kehidupan

yang lebih layak.

Dalam hal ini Posdaya dapat dikembangkan sebagai wadah

pelayanan keluarga secara terpadu, utamanya dalam pelayanan kesehatan,

pendidikan, wirausaha, dan pengembangan lingkungan yang memudahkan

keluarga untuk dapat berkembang secara mandiri. dimana dalam konteks


40

pembangunan, tujuan Posdaya adalah agar gotong royong dapat

terpelihara, terbentuknya wadah partisipasi masyarakat, dan menanamkan

sikap mandiri. Kehadiran Posdaya di Desa Ngroto sangatlah membantu

untuk menampung kreativitas serta dapat mengembangkan soft skill dan

hard skill oleh masyarakat setempat. Sehingga, dalam konteks

pemberdayaan masyarakat, Posdaya merupakan agen penggerak yang

dapat mengarahkan anggota Posdaya menyadari akan penguatan kapasitas

dirinya.

Secara umum, Posdaya telah berusaha membantu pemerintah

dalam mengetaskan kemiskinan di Indonesia. Dengan melakukan

pemberdayaan keluarga baik dalam segi kewirausahaan, pendidikan,

maupun yang lainnya. Sehingga dengan adanya kegiatan Posdaya, dapat

membuat aktivitas bersama semakin mudah dan membuat masyarakat

menjadi lebih mandiri.

2.2.4 Kemiskinan di Kalangan Perempuan

Kemiskinan dimaknai sebagai ketidakmampuan seseorang, suatu

keluarga, atau kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

dasarnya, baik pangan maupun non pangan, khususnya pendidikan dasar,

kesehatan dasar, perumahan, dan kebutuhan transportasi.

Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut

dengan kemiskinan absolut. Sedangkan kemiskinan yang terkait dengan

isu seputar ketimpangan dalam pembagian pendapatan disebut dengan

kemiskinan relatif. Walaupun sebenarnya mereka telah hidup dibawah


41

garis kemiskinan, namun mereka masih dibawah kemampuan rata-rata

masyarakat sekitarnya. Sedangkan kemiskinan kultural, bekaitan erat

dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau

berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya. Sekalipun ada usaha dari

pihak lain untuk membantu mereka (Mar‟ie dalam Basuki dan Prasetyo,

2007: 7).

Budaya patriaki pada masyarakat jawa juga sangat mendominasi

dan menempatkan perempuan pada posisi distribusi kekuasaan yang lebih

rendah dibandingkan laki-laki. Akses dan kontrol perempuan terhadap

sumberdaya yang sangat penting dalam menentukan pendapatan

cenderung terbatas. Kurangnya kesempatan tersebut berpengaruh pada

kemiskinan perempuan, karena perempuan paling menderita ketika

masyarakat mengalami kelangkaan sumberdaya (Jacobson, 1989). Jika

kemiskinan di pahami menggunakan pendekatan berbasis hak, kemiskinan

tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi namun juga

kegagalan akan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi

seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan dalam

menjalani kehidupan secara bermartabat (BAPPENAS-Komite

Penanggulangan Kemiskinan, 2005: 15).

Upaya peningkatan kapasitas perempuan dengan memperhatikan

status perempuan dalam pengetasan kemiskinan sangatlah penting. Namun

program pengetasan kemiskinan selama ini cenderung kurang

memperhatikan peran serta perempuan miskin. Perempuan cenderung

ditempatkan sebagai objek bukan sebagai subjek sehingga kurang


42

memberikan hasil yang signifikan. Sehingga dengan adanya

pemberdayaan perempuan untuk pengetasan kemiskinan diharapkan

mampu menekan kemiskinan di perdesaan.

Persoalan perempuan miskin tidak hanya terkait dengan

ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga

ketidaksetaraan relasi kekuasaan antara kelompok miskin dan kelompok

yang lebih kuat. Bagi perempuan miskin, persoalan kemiskinan secara

ekonomi seringkali meminggirkan persoalan-persoalan gender menjadi

sesuatu yang dinilai wajar karena ada beban-beban persoalan yang

dianggap lebih berat, yaitu kemiskinan itu sendiri. Bagi perempuan

miskin, persoalan kemiskinan menjadi lebih berat karena persoalan posisi

tawar tidak hanya dirasakan didalam ruang domestiknya tetapi juga

diruang publik. Dalam isu gender dan kemiskinan, rumah tangga

merupakan sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan.

Ketidaksetaraan dalam alokasi sumberdaya dalam rumah tangga

memperlihatkan laki-laki dan perempuan mengalami bentuk kemiskinan

yang berbeda: 1) Akses terhadap sumber produktif seperti tanah, modal,

hak kepemilikan, kredit, serta pendidikan dan pelatihan, 2) Kontrol

terhadap penggunaan tenaga kerja keluarga, 3) Pembagian kerja yang tidak

seimbang akibat adanya beban kerja reproduktif yang diemban

perempuan, 4) Perbedaan konsumsi makanan, obat-obatan, kesehatan, dan

pendidikan, 5) Perbedaan tanggungjawab dalam pengelolaan keuangan

rumah tangga (CIDA, 1997).


43

Diruang publik, kemiskinan perempuan selalu dikaitkan dengan

tertutupnya ruang-ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan yang

bersifat formal bagi perempuan. Persoalan lain yang dihadapi perempuan

adalah pembangunan disegala bidang dan tingkatan yang seringkali

dianggap tidak atau kurang berpihak kepada perempuan (gender blind

atau gender bias). Program-program secara formal dikuasai oleh laki-laki

dan karena sumber daya yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat

hampir selalu dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial,

ekonomi, dan politik lebih kuat. Maka, adanya marginalisasi terhadap

peran perempuan dalam pengambilan keputusan seringkali diabaikan. Hal

ini terjadi karena perempuan memang jarang dilibatkan dalam proses-

proses pengambilan keputusan yang bersifat formal. Sehingga

tersingkirnya perempuan dari pembangunan menyebabkan munculnya

wacana pelibatan perempuan dalam berbagai pendekatan pembangunan

yang berhubungan dengan peningkatan peran perempuan dalam

pemberdayaan ekonomi dan politik yang diupayakan melalui

pengorganisasian perempuan dalam sebuah komunitas serta adanya upaya

penyadaran hak-hak perempuan dalam ekonomi women in development

dan politik seperti civic education dan vote education.

Menurut gender GAP analisis dari lensa gender, terdapat 4 (empat)

faktor yang menimbulkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki

baik sebagai objek maupun subjek pembangunan. Empat faktor tersebut

antara lain sebagai berikut:


44

1. Faktor akses terhadap sumberdaya. Yakni apakah perencanaan

pembangunan yang dikembangkan telah mempertimbangkan untuk

memberi akses yang adil bagi laki-laki maupun perempuan (keadilan

gender) dalam memanfaatkan dan memperoleh sumber daya

pembangunan. Keadilan gender disini adalah dengan

memperhitungkan kemungkinan dalam memperoleh akses (yang

sama). Mengingat relasi gender, peran gender, streotip gender yang

melekat pada perempuan dan laki-laki dapat berdampak pada

pengalaman dan kendala masing-masing dalam mendapatkan akses

serta manfaat yang diberikan.

2. Faktor manfaat, yang mana apakah perencanaan pembangunan yang

sedang dikembangkan ditujukan untuk memberi manfaat bagi

perempuan dan laki-laki karena peran gender yang berbeda maka apa

yang dianggap bermanfaat bagi laki-laki belum tentu bermanfaat bagi

perempuan, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu kebutuhan serta

aspirasi keduanya harus dipertimbangkan. Namun karena kebanyakan

para perencana adalah laki-laki maka yang sering terabaikan adalah

pertimbangan manfaat perencanaan pembangunan tersebut bagi

perempuan.

3. Faktor partisipasi, yang mana apakah keikutsertaan atau suara

masyarakat terutama kelompok perempuan atau suara perempuan

(dalam hal aspirasi, pengalaman, kebutuhan) dipertimbangkan atau

terakomodasi dalam proses perencanaan pembangunan. Karena pada


45

umumnya suara peempuan kurang atau tidak terwakili karena kendala

gendernya.

4. Faktor kontrol, apakah perencanaan kebijakan program kegiatan

pembangunan memberikan kontrol (penguasaan) yang setara terhadap

sumber-sumber daya pembangunan baik informasi, pengetahuan,

kredit, dan sumberdaya lainnya bagi perempuan dan laki-laki.

Jika dalam melakukan proses perencanaan kebijakan pembangunan

telah mengakomodasi isu gender didalamnya, maka kebijakan yang

dihasilkan juga akan responsif gender. Demikian halnya dalam proses

perencanaan program dan kegiatan dan kegiatan telah responsif gender

maka program kegiatan pembangunan yang dihasilkan juga responsif

gender sebagaimana telah diamanatkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2000

dan Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 (RPJMN, 2004:2009) tentang

keharusan semua bidang pembangunan dari tingkat nasional maupun

daerah untuk melaksanakan pengarusutamaan gender.

2.3 Landasan Teoritis

2.3.1 Praktik Sosial

Dalam kamus Sociology Antropology (2001:259), Praktik sosial

diartikan sebagai “praktik dalam bidang kehidupan dan kegiatan nyata

dalam keseharian manusia”. Anthony Giddens memandang praktik-praktik

sosial yang terus berlangsung sebagai segi analitis terpenting dalam teori

strukturasinya. Ia ingin melihat bagaimana praktik sosial itu dilakukan

secara terus menerus atau dikokohkan, serta bagaimana mereka

direproduksi (Giddens, 1984:131). Menurut Giddens, praktik sosial itu


46

dikaji dan diperbaharui secara terus-menerus menurut informasi baru,

yang pada gilirannya mengubah praktik sosial tersebut secara konstitutif

(Giddens, 1990:38). Adanya interaksi antara agen dan struktur dalam suatu

praktik sosial, dapat dinyatakan sebagai sebuah kebiasaan atau rutinitas

yang direproduksi dalam kehidupan sosial, seperti yang diungkapkan oleh

Giddens (1984).

Dengan demikian, praktik sosial dianggap sebagai basis yang

melandasi keberadaan agen dan masyarakat (Ross 2002: 193). Dan untuk

terlibat dalam praktik-praktik sosial, seorang agen harus mengetahui apa

yang ia kerjakan, meskipun pengetahuan tersebut biasanya tak terucapkan

(Ross 2002: 193). Sebelum terlibat dalam sebuah praktik sosial maka

seseorang diasumsikan telah memiliki pengetahuan praktis mengenai

peraturan yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sosial. Artinya,

praktik sosial yang dilakukan harus berlandaskan atas pengetahuan tentang

peraturan yang ada.

Praktik sosial di lakukan dengan berbekal pengetahuan dan

kesadaran praktis, yang diproduksi atau direproduksi oleh agen

berdasarkan aturan-aturan dan sumberdaya yang terdapat didalam struktur.

Jika ditinjau lebih jauh lagi, salah satu proposisi penting dalam teori

strukturasi Giddens adalah, bahwa melalui praktik sosial yang dilakukan

secara berulang-ulang atau terus menerus, maka disitulah sebuah struktur

diciptakan. Begitupun sebaliknya, dalam hal ini struktur juga merupakan

medium yang memungkinkan munculnya praktik sosial. Dalam hal ini

berarti bahwa terdapat agen di satu sisi yang melakukan praktik sosial
47

dalam konteks tertentu, dan disisi lain terdapat aturan dan sumberdaya

yang memediasi praktik sosial. Yang mana melalui praktik sosial tersebut

nantinya akan terbentuk sebuah struktur baru yang akan mengorganisir

praktik sosial yang dilakukan oleh agen.

Dengan demikian akan terlihat bahwa tanpa adanya sebuah praktik

sosial, maka struktur tidak akan terbentuk. Begitupun sebaliknya, struktur

akan terbentuk melalui pola-pola yang ada pada praktik sosial yang terjadi

dan berlangsung secara berulang-ulang, yang dilakukan melalui sumber

daya tertentu. Dengan kata lain, menurut Giddens, dengan adanya praktik

sosial, mampu mengintegrasikan agen dan struktur. Karena praktik sosial

dalam teori strukturasi dilihat sebagai praktik sosial yang

mengintegrasikan antara agen dan struktur, karena pada kenyataannya

agen dan struktur merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

2.3.2 Agen dan Agensi

Agen adalah orang yang terlibat dalam arus kontinu dalam suatu

tindakan (Priyono, 2002: 19). Giddens (1994), melihat agen sebagai

pelaku dalam praktik sosial, dimana menurutnya suatu masyarakat terdiri

atas praktik-praktik sosial yang diproduksi dan direproduksi melintasi

ruang dan waktu (Kaspersen, 2000: 379). Oleh karena itu menurutnya

penting untuk mendefinisikan praktik sosial menggunakan konsep yang

tidak memperlakukan agen melebihi struktur ataupun sebaliknya. Dimana,

dalam teori strukturasi hubungan antara agen-struktur saling menjalin dan

tidak terpisahkan “mutually constitutive” dalam praktik sosial manusia.


48

Dalam hal ini agen dapat dilihat sebagai individu atau perorangan ataupun

sebagai kelompok.

Dalam sebuah praktik sosial,agen membutuhkan dua faktor penting

yakni rasionalisasi dan motivasi. Rasionalisasi disini adalah

mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak hanya memberikan

perasaan aman terhadap agen namun juga memungkinkan mereka untuk

menghadapi kehidupan sosial mereka secara lebih efisien. Sedangkan

motivasi meliputi keinginan dan hasrat yang mendorong praktik sosial dan

potensi untuk bertindak. Sementara rasionalisasi terus menerus terlibat

dalam praktik sosial. Lebih lanjut, Giddens membedakan dimensi internal

agen dalam tiga bentuk, sebagai berikut:

1. Kesadaran diskursif (discursive consciousness) adalah suatu

kemawasan diri (awareness) yang memiliki bentuk diskursif. Apa

yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor,

hal ini dapat berupa kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang

kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif

mengacu pada serangkaian kapasitas pengetahuan yang dimiliki

dalam merefleksikan atau memberikan penjelasan terkait tindakan

yang dilakukan (Priyono, 2002:28). Kesadaran diskursif juga

memberikan kesempatan pada agen untuk mengubah pola

tindakannya (Kaspersen, 2000:380). Contoh: dalam struktur

kepengurusan atau organisasi Posdaya, pengurus sadar bahwa

dirinya sebagai pengurus Posdaya yang menjalankan amanah.

Mereka paham akan konteks visi, prinsip, dan kegiatan yang ada
49

dalam Posdaya dan mampu memberikan penjelasan secara rinci

atas tindakan yang dilakukannya, dan memiliki beberapa alasan

yang menjadikan dia melakukan sebuah tindakan.

2. Kesadaran praktis (practical consciouness). Yaitu apa yang

diketahui atau dipercaya oleh aktor tentang kondisi-kondisi sosial

yang ada, khususnya kondisi dari tindakannya sendiri. Namun hal

tersebut tidak bisa diekspresikan oleh aktor secara diskursif.

Bedanya dengan kasus ketidaksadaran adalah tidak ada tabir represi

yang menutupi kesadaran praktis. Contoh: melakukan praktik

kewirausahaan seperti menanam bibit, membuat makanan dan kue,

merajut dsb. Hal tersebut dilakukan karena sadar bahwa dirinya

sebagai pelaku wirausaha yang harus melakukan aktivitas tersebut

setiap harinya. Sehinga agen dikatakan memiliki kesadaran praktis

ketika agen tersebut tidak mampu memperikan penjelasan rinci atas

tindakannya akan tetapi telah melakukan tindakannya secara

berulang tanpa mempertanyakannya lagi. Gusus pengetahuan ini

merupakan sumber rasa aman ontologis, yang membuat aktor tahu

bagaimana melangsungkan hidupnya sehari-hari tanpa harus

mempertanyakan terus menerus apa yang akan terjadi atau apa

yang harus dilakukan (Giddens, 1984: 50).

3. Motif atau kognisi tidak sadar (unconscious motives or cognition).

Giddens memakai motivasi tidak sadar sebagai pemicu terhadap

beberapa tindakan agen. Motif lebih merujuk ke potensial bagi

tindakan, dari pada cara tindakan itu dilakukan oleh agen. Motif
50

hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi

yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar

dari tindakan-tindakan agen sehari-hari tidaklah secara langsung

dilandaskan pada motivasi tertentu. Motivasi tak sadar menyangkut

pada keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan

tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri. Contoh: Anggota

Posdaya sebagai agen dikatakan memiliki kesadaran kognitif ketika

ia memiliki sebuah keinginan atau kebutuhan dalam dirinya yang

pada akhirnya membuat dia melakukan sebuah tindakan. Dan tanpa

adanya kebutuhan atau keinginan tersebut maka agen tidak

melakukan suatu tindakan (Priyono, 2002: 28).

Dari ketiga dimensi yang telah dijelaskan tersebut, kesadaran

praktis dinilai lebih menentukan dalam memahami kehidupan sosial

dan merupakan kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai

praktik sosial yang dilakukan lambat laun menjadi struktur, dan

bagaimana struktur itu memampukan praktik sosial yang dilakukan.

Dengan demikian reproduksi sosial berlangsung melalui keterulangan

praktik sosial yang jarang dipertanyakan (Priyono, 2002: 29). Melalui

adanya praktik sosial yang terjadi secara berulang-ulang yang

dilakukan oleh agen, akan menciptakan struktur dan dan refleksivitas

(kesadaran) yang memungkinkan seorang agen untuk memonitor aliran

yang terus menerus terjadi dari adanya aktivitas dan kondisi struktural

yang dihadapi oleh agen. Dalam teori strukturasi, agen diberikan


51

kemampuan untuk mengubah situasi. Yang berarti peran agen dalam

praktik sosial sangatlah besar.

Sedangkan agensi adalah suatu aktivitas atau tindakan yang

dilakukan dengan tujuan tertentu. Giddens mendefinisikan agensi

sebagai tindakan yang dilakukan oleh agen secara terus menerus dan

berkesinambungan. Agensi berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang

pelakunya adalah agendalam suatu rangkaian perilaku tertentu.

Apapun yang terjadi tidak akan terjadi jika agen tidak terlibat

didalamnya. Dalam Central Problem Theory, Giddens juga

menjelaskan bahwa agensi tidak mengacu pada serangkaian tindakan

terpisah yang digabung bersama-sama, namun lebih mengarah pada

perilaku yang berlangsung secara berkesinambungan yang diwujudkan

dalam bentuk praktik sosial, yang mana dalam kata lain agensi adalah

praktik sosial.

2.3.3 Agensi dan Kekuasaan

Terdapat dugaan bahwa menjadi seorang agen harus mampu

menggunakan gugusan kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi

kekuasaan-kekuasaan orang yang disebarkan oleh orang lain. Suatu

tindakan tergantung pada kemampuan individu dalam „mempengaruhi‟

keadaan atau rangkaian peristiwa yang ada sebelumnya. Agen tidak bisa

lagi untuk berbuat seperti itu jika dia kehilangan kemampuan untuk

„mempengaruhi‟ yakni, melaksanakan kekuasaan semacam itu. Kekuasaan

kerap kali didefinisikan dalam kaitan dengan maksud atau kehendak,


52

sebagai kemampuan untuk menggapai hasil-hasil yang diinginkan atau

dimaksudkan. Agen-agen yang terlibat dalam praktik sosial melibatkan

beberapa kategori yaitu expert agent dan lay agent. Agen akan disebut

sebagai expert agent ketika ia mampu memberikan sederet kekuasaan

kausal melalui pengaruh-pengaruh kekuasaan yang disebarkan kepada

orang lain. Sedangkam lay agent adalah agen yang dapat dipengaruhi oleh

expert agent sehingga lay agent berfungsi untuk mendukung tindakan

yang dilakukan oleh expert agent.

Sarana atau sumberdaya (yang terpusat melalui signifikasi dan

legitimasi) merupakan kelengkapan-kelengkapan terstruktur dari sistem-

sistem sosial, yang diproduksi dan direproduksi oleh agen-agen pintar

selama terjadinya interaksi. Kekuasaan tidak secara intrinsik dikaitkan

dengan pencapaian kepentingan golongan tertentu. Dalam konsep ini,

penggunaan kekuasaan memberikan karakter tidak saja pada satu jenis

khusus perbuatan namun pada seluruh tindakan, dengan demikian

kekuasaan bukanlah suatu sumberdaya. Sumberdaya merupakan media

yang digunakan untuk melaksanakan kekuasaan, sebagai unsur rutin

kesegeraan suatu perbuatan dalam reproduksi sosial. Kita tidak boleh

memandang struktur-struktur dominasi yang melekat dalam institusi-

institusi sosial seperti „memerintah tubuh untuk patuh‟.

Kekuasaan dalam sistem sosial yang memiliki suatu kontinuitas

disepanjang ruang dan waktu mengandaikan rutinisasi relasi-relasi

kemandirian dan ketergantungan diantara para aktor atau kelompok dalam

konteks-konteks interaksi sosial. Namun, semua bentuk ketergantungan


53

menawarkan sejumlah sumber daya dimana mereka yang menjadi

bawahan dapat mempengaruhi aktivitas-aktivitas atasannya. Inilah yang

kemudian disebut dengan dialektika kendali (dialectic of control) dalam

sistem-sistem sosial.

2.3.4 Struktur dan Strukturasi

Secara umum struktur dipahami sebagai suatu „penciptaan pola‟

relasi-relasi sosial atau fenomena-fenomena sosial. Giddens (1984),

menyatakan bahwa struktur bukanlah benda, melainkan suatu skemata

yang hanya tampil dalam dan melalui praktik sosial. Struktur bersifat

„virtually‟,artinya hadir didalam dan melalui aktivitas agen manusia, serta

ada dalam pikiran manusia, yang digunakan hanya ketika kita bertindak.

Struktur oleh Giddens dikonsepsikan sebagai aturan „rules‟dan sumber

daya „resources‟ yang memungkinkan praktik sosial hadir disepanjang

ruang dan waktu (Giddens 1984: 17; Haralombos 2004: 969; Turner 1998:

492), seperti yang diungkapkan oleh Giddens dalam Ritzer & Douglas

(2003) bahwa, struktur hanya akan terwujud dengan adanya aturan dan

sumber daya.

Struktur didefinisikan sebagai properti-properti yang berstruktur

(aturan dan sumber daya) yang memungkinkan terjadinya praktik sosial

disepanjang ruang dan waktu (Giddens, 1984: 17). Giddens berpendapat

bahwa struktur hanya ada didalam dan melalui praktik sosial dan dijadikan

pedoman oleh agen dalam menjalankan kehidupan sosialnya. Sementara,

aturan adalah kesepakatan sosial tentang bagaimana harus bertindak


54

(terkadang interpretasinya dalam bentuk hukum atau aturan birokratis),

dan sumberdaya itu mengacu pada kapabilitas untuk membuat sesuatu

terjadi (Giddens, 1981: 170).

Struktur sebagai sumberdaya dibedakan menjadi dua yakni

sumberdaya alokatif dan sumber daya kewenangan autoritatif. Sumber

daya alokatif adalah kegunaan dari gambaran materi dan benda untuk

mengontrol serta menggerakkan pola interaksi dalam suatu konteks.

Sumberdaya alokatif dapat berupa teknologi, alat produksi, pendapatan,

maupun harta benda. Menurut Giddens, sumberdaya tidak begitu saja

hadir atau disediakan oleh alam namun hanya melalui praktik sosial

sumberdaya itu hadir. Sedangkan sumberdaya kewenangan adalah

kemampuan untuk mengontrol dan mengarahkan pola-pola interaksi dalam

suatu konteks yang digunakan untuk membuat orang lain menuruti dan

melakukan keinginan yang diperintahkannya. Hal ini dapat berupa

keterampilan, pengetahuan ahli, posisi dilembaga atau organisasi,

dominasi, dan legitimasi.

Struktur mengatasi ruang dan waktu, artinya struktur tidak ada

dalam ruang dan waktu, sedangkan praktik sosial hanya ada dalam ruang

dan waktu (Priyono, 2002: 19). Lebih jauh lagi disini Giddens

menggarisbawahi bahwa struktur adalah aturan dan sumber daya yang

terbentuk dari adanya perulangan praktik sosial. Struktuk secara aktif

diproduksi, direproduksi, dan diubah oleh agen yang berperan sebagai

aktor yang memiliki kemampuan. Jadi struktur memungkinkan agen untuk

melakukan praktik sosial, “struktur berfungsi sebagai pemberi peluang


55

pada agen”, dan bukan struktur yang memaksa, menekan, dan

mengendalikan praktik sosial, “struktur berfungsi sebagai pembatas”.

Sedangkan strukturasi memusatkan perhatian pada hubungan

dialektika antara agen dan struktur (Giddens, 1989: 23). Strukturasi adalah

kondisi-kondisi yang mengatur keterulangan atau transformasi struktur-

struktur dan karenanya reproduksi sistem-sistem sosial itu sendiri.Salah

satu proposisi utama dalam teori strukturasi adalah bahwa aturan dan

sumberdaya yang digunakan dalam produksi dan reproduksi tindakan

sosial sekaligus merupakan alat reproduksi (dualitas struktur). Seperti

yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada struktur tanpa agen

begitupun sebaliknya tidak akan ada agen tanpa adanya struktur. Karena

bagi Giddens agen dan sruktur ibarat dua sisi dari satu keping uang logam

(Bagguley, 2003: 136; Haralombos, 2004: 969). Sehingga struktur bersifat

memungkinkan agen melakukan praktik sosial „enabling‟, struktur yang

berfungsi memberikan peluang pada agen. Jadi dalam hal ini, strukturasi

merupakan suatu proses yang berkaitan dengan produksi dan reproduksi

struktur, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur dalam kerangka teori

strukturasi sesungguhnya bersifat dinamis karena dapat dikonstruksikan

kembali oleh agen.

Dalam gagasan Giddens, struktur bersifat memberdayakan, dimana

memungkinkan terjadinya praktik sosial. Struktur berada diluar ruang dan

waktu, dan bersifat impersonal. Struktur ada sebagai perilaku aktor

tersituasi yang diproduksi dengan sengaja untuk kepentingan

tertentu.Struktur ada dalam sistem-sistem sosial dan memiliki jejak


56

ingatan bagi orientasi perilaku manusia. Dalam hal ini Giddens

mendefinisikan strukturasi dalam terminologi sebagai strukturasi relasi-

relasi sosial yang dapat melintasi ruang dan waktu karena adanya dualitas

struktur. Dengan demikian, aktor (agen) menerapkan aturan-aturan sosial

yang sesuai dengan budaya mereka yang telah dipelajari melalui

sosialisasi dan pengalaman. Aturan dan sumber daya bersama-sama

digunakan dalam interaksi sosial.

2.3.5 Dualitas dan Struktur

Struktur sebagai perangkat aturan dan sumberdaya yang

diorganisasikan secara rekursif, berada diluar ruang dan waktu, disimpan

dalam koordinasi dan instansiasi atau perwujudan dalam bentuk jejak-jejak

ingatan dan ditandai oleh „ketiadaan subjek‟. Sebaliknya, sistem-sistem

sosial yang secara rutin melibatkan struktur terdiri dari aktifitas-aktifitas

tertentu dari para agen manusia, dan direproduksi sepanjang ruang dan

waktu. Menganalisis strukturasi sistem sosial berarti mempelajari cara-

cara bagaimana sistem yang tertanam dalam aktivitas-aktivitas aktor

tertentu yang berpegang pada aturan-aturan dan sumberdaya-sumberdaya

dalam beragam konteks tindakan, yang diproduksi dan direproduksi dalam

sebuah interaksi.

Dualitas sruktur terletak pada proses dimana struktur sosial

merupakan hasil outcome dan sekaligus menjadi sarana medium praktik

sosial (Giddens, 1979: 5). Dualitas struktur adalah bahwa struktur sosial

dibentuk oleh agensi manusia. Dualitas struktur pelaku terletak pada

proses dimana struktur sosial merupakan hasil dan sekaligus sarana praktik
57

sosial. Artinya dualitas agen dan struktur terletak dalam fakta bahwa suatu

struktur yang menjadi prinsip praktik-praktik sosial diberbagai tempat dan

waktu adalah merupkan suatu perulangan dan terus menerus dari berbagai

praktik sosial yang kita lakukan, dan sebaliknya struktur menjadi medium

bagi berlangsungnya praktik sosial kita (Priyono, 2002: 22). Agen dan

struktur melakukan interaksi yang saling mempengaruhi satu satu sama

lain, inilah yang disebut dengan dualitas struktur. Melalui dualitas struktur,

hubungan antara agen dan struktur dapat terlihat dengan jelas. Dengan

jangkauan pengetahuan yang dimiliki oleh agen dapat menjadikan struktur

sebagai acuan dalam bertindak dan mengubah serta mereproduksi struktur

melalui praktik sosial yang bersifat rutin. Pembentukan agen-agen dan

struktur bukanlah dua gugus fenomena tertentu yang saling terpisah

(dualisme), melainkan menggambarkan suatu dualitas.

Menurut gagasan dualitas struktur, sifat-sifat struktural sistem

sosial keduanya merupakan media dan hasil praktek-praktek yang mereka

organisasikan secara rekursif atau rutin. Dualitas struktur selalu

merupakan landasan utama bagi keterulangan-keterulangan dalam

reproduksi sosial dalam ruang dan waktu. Dualitas selalu melibatkan

sarana-sarana, dan reproduksi sosial berlangsung melalui dualitas struktur

dan praktik sosial. Struktur tidaklah bersifat eksternal atau berada diluar

individu: sebagai jejak-jejak memori, dan seperti yang diwujudkan dalam

praktik-praktik sosial, namun dalam pengertian tertentu ia bersifat internal

atau ada dalam individu. Menurut teori strukturasi, saat memproduksi

tindakan terjadi juga reproduksi dalam konteks menjalani kehidupan sosial


58

sehari-hari. Struktur tidak memiliki keberadaan yang terlepas dari

pengetahuan yang dimiliki oleh agen-agen tentang apa yang mereka

lakukan dalam aktivitas kesehariannya. Agen-agen manusia selalu

mengetahui apa yang mereka lakukan pada tataran kesadaran diskursif

dalam beberapa deskripsi yang ada. Namun apa yang mereka lakukan

mungkin tidak cukup dikenal dalam deskripsi lain dan mereka hampir

tidak mengetahui konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari aktivitas-

aktivitas yang mereka lakukan. Dualitas struktur selalu merupakan

landasan utama bagi keterulangan-keterulangan dalam reproduksi sosial

disepanjang ruang dan waktu. Hal inilah yang kemudian memprasyaratkan

kemampuan intropeksi dan mawas diri (reflexive monitoring) dari para

agen didalam, dan sebagai pembentuk, duree aktivitas sosial sehari-hari.

Struktur adalah sebuah aturan dan sumber daya yang terbentuk dan

membentuk praktik sosial secara berulang. Struktur dan keagenan adalah

sebuah dualitas yang tidak dapat terpisah satu sama lain. Hubungan antara

struktur dan tindakan adalah sebuah elemen dan satu masalah fundamental

bagi teori sosial, khususnya dalam teori sosiologi modern (Arcer, 1998).

Pada dasarnya, kehidupan sosial masyarakat tidak dapat dipisahkan dari

dua faktor tersebut, oleh karena itu Anthony Giddens berupaya

mengintegrasikan antara agen dan struktur melalui teori strukturasinya

(Ritzer & Douglas, 2003).

Hubungan antara agen dan struktur berupa relasi dualitas, bukan

dualisme. Dualitas itu terjadi dalam praktik sosial yang terjadi secara

berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu (Giddens, 1984:2).
59

Dalam pemikiran Giddens, agen dan struktur diibaratkan sebagai dua sisi

dari satu keping uang logam, yang tidak dapat terpisah antara satu sama

lain (Bagguley, 2003:136 ; dan Haralombos, 2004:969). Dengan demikian

teori strukturasi dapat dilihat sebagai suatu upaya dalam mengintegrasikan

agen dan struktur melalui cara yang tepat, yang dimaksudkan untuk

menjelaskan dualitas dan hubungan dialektika antara agen dan struktur

(Bernstein, 1989).

Giddens tidak melihat struktur sebagai bingkai eksternal yang

menekan, namun sebagai bingkai yang memungkinkan dilakukannya

praktik sosial untuk melintasi ruang dan waktu. Menurutnya, relasi anatara

agen dan struktur pada dasarnya harus dilihat sebagai relasi “dualitas

struktur” dimana terjadi hubungan yang koheren didalamnya, struktur

bertindak sebagai medium dan sekaligus hasil dari perulangan praktik

sosial (Kaspersen, 2000:379). Melalui relasi dualitas inilah, secara konstan

masyarakat dibentuk dalam proses strukturasi yang dilakukan terus-

menerus melalui perulangan praktik sosial (Social Practice). Karena

Giddens mendefinisikan praktik sosial sebagai “konsep pokok” dalam

teorinya. Dengan demikian yang menjadi inti dari teori strukturasi

sesungguhnya adalah praktik sosial yang berulang melintasi ruang dan

waktu.

2.3.6 Bentuk-Bentuk Institusi

Modalitas sarana-antara strukturasi berfungsi menjelaskan

dimensi-dimensi utama dari dualitas struktur dalam interaksi, yang


60

menghubungkan kapasitas yang diketahui dari para agen dengan sifat-sifat

struktural. Para aktor menggunakan modalitas strukturasi dalam

reproduksi sistem interaksi, juga menggunakan tanda yang sama untuk

menyusun kembali kelengkapan-kelengkapan struktural mereka. Dalam

teori strukturasinya, Giddens melihat tiga gugus besar struktur dari

berbagai prinsip struktural sebagai berikut:

Tabel 2. Ringkasan Bentuk-Bentuk Institusi

Keterangan : S = Signifikasi, D = Dominasi, L = Legitimasi

Sumber: B. Herry Priyono (2002), halaman 25

1. Struktur signifikasi (signification) menyangkut skemata

simbolik, penyebutan, dan wacana

2. Struktur dominasi (domination) yang menyangkut skemata

penguasaan atas orang (politik), dan barang (ekonomi)

3. Sturuktur legitimasi (legitimation) menyangkut skemata

peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum

Hubungan agensi dan struktur adalah dualitas. Dualitas itu terjadi

dalam praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan

waktu. Agen memiliki kemampuan untuk menciptakan perbedaan di dunia


61

sosial. Lebih kuat lagi, agen tidak mungkin ada tanpa kekuasaan struktur

dalam. Gagasan Giddens ini juga bersifat memberdayakan (enabling).

Bagan 1. Pola Hubungan 3 Prinsip Struktural dengan Praktik Sosial

Sumber: B.Herry Priyono (2002), halaman 25

Berdasarkan dimensi-dimensi dualitas struktur yang telah

digambarkan pada skema diatas adalah konsepsi struktur sebagai sarana

praktik sosial. tindakan dan praktik sosial berkomunikasi selalu

mengandaikan struktur signifikasi tertentu, misalnya tata bahasa.

Modalitas/sarana antara strukturasi berfungsi menjelaskan dimemsi-

dimensi utama dari dualitas struktur dalam interaksi, menghubungkan

kapasitas mengetahui para agen dengan bagian-bagian struktural. Para

aktor menggunakan sarana antara strukturasi dalam reproduksi sistem

interaksi, dan dengan menggunakan tanda (token) yang sama, mereka

membentuk kembali kelengkapan-kelengkapan struktural mereka.

Penguasaan atas barang (ekonomi) dan orang (politik) melibatkan skemata


62

dominasi, sebagaimana penerapan sanksi mengandaikan skemata

legitimasi. Demikian pula sebaliknya, dimana struktur sebagai hasil

(outcome) dari praktik sosial. dualitas selalu melibatkan sarana-sarana.

Sedangkan reproduksi sosial berlangsung melalui struktur dan praktik

sosial.

Para aktor manusia tidak hanya mampu memonitor aktivitas-

aktivitas mereka sendiri dan aktivitas-aktivitas orang lain dalam

perulangan perilaku sehari-hari, mereka juga mampu „memonitor

monitoring itu‟ di dalam kesadaran diskursif. Skema interpretatif atau

bingkai interpretasi adalah cara-cara penjenisan (typification) yang

tersimpan dalam pengetahuan aktor dan diterapkan secara refleksif saat

melangsungkan komunikasi. Pengetahuan yang para aktor gunakan dalam

produksi dan reproduksi interaksi sama seperti pengetahuan yang mampu

membuat mereka menciptakan cerita, mengemukakan alasan dan

sebagainya.

Para agen secara rutin melibatkan bagian-bagian temporal dan

spasial perjumpaan dalam penciptaan makna. Komunikasi sebagai unsur

umum interaksi, merupakan konsep yang lebih mencangkup dibanding

dengan isi komunikasi (yaitu apa yang hendak dikatakan atau dilakukan

oleh seorang aktor). Dalam skema interpretatif atau bingkai interpretasi

dan norma-norma, agar aktivitas seseorang dapat dipertanggungjawabkan

(accountable) maka mereka harus menjelaskan alasan dan memberikan

landasan-landasan normatif yang membenarkan aktivitas tersebut. Unsur

normatif dalam interaksi selalu berpusat pada relasi antara hak dan
63

kewajiban yang diharapkan dari mereka yang ikut andil dalam rangkaian

konteks interaksi.

2.3.7 Ruang dan Waktu

Menurut Giddens, ruang merupakan sesuatu yang harus

dipertimbangkan keterlibatannya dalam pembentukan sistem-sistem

interaksi. Ruang mengacu pada locale atau “tempat peristiwa” yang

dimaknai sebagai tempat interaksi. Unsur locale dalam penelitian ini

adalahDesa Ngroto sebagai tempat rutinitas agen dalam menjalankan

aktivitas atau kegiatan sosialnya yang dirutinisasikan agen dalam

kehidupan sehari-hari.

Sedangkan waktu atau terbentuknya sebuah pengalaman

merupakan suatu bagian yang biasa dan jelas dalam kehidupan manusia

sehari-hari. Waktu berulang institusi-institusi adalah kondisi dan hasil

praktik-praktik yang terorganisasi dalam perulangan kehidupan sehari-

hari, bentuk utama dualitas struktur. Menurut Giddens, waktu dan ruang

secara integral dapat membentuk kegiatan sosial.

Dalam konteks tersebut, tindakan manusia dapat dipandang sebagai

suatu proses, atau dilihat sebagai duree, yang merupakan sebuah aliran

tindakan yang terjadi terus menerus namun bukan sebagai kumpulan

tindakan. Waktu sebagai konfigurasi peristiwa-peristiwa dan tindakan-

tindakan, yang mana terjadi perulangan praktik sosial yang membuat

manusia menempati waktu dan ruang (Giddens, 2008:364).


64

2.4 Kerangka Berfikir Bagan 2. Kerangka Berfikir

Partisipasi Permasalahan setelah posdaya berdiri:

 Pro kontra pendirian koperasi


Perempuan Miskin di Desa Pemberdayaan posdaya :
Ngroto Masyarakat melalui - Anggota tidak dilibatkan
dalam musyawarah
Posdaya - Pemotongan pinjaman kredit
sebesar 20% untuk pendirian
koperasi
- Tidak adanya transparasi
dana
yang menyebabkan
menurunnya kepercayaan
anggota pada pengurus
- Mekanisme peminjaman dana
Dominasi Ketua Signifikasi berupa Legitimasi berupa koperasi tidak disertai dengan
persyaratan atau jaminan yang
Posdaya dalam pemberdayaan yang sanksi moral dari dibebankan pada anggota
menjalankan mengarah pada anggota kepada sehingga banyak anggota yang
tidak mengembalikan dana
program kepentingan ketua Posdaya pinjaman dan menyepelekan
pemberdayan di beberapa pihak hal tersebut
 Tidak meratanya pembagian
Posdaya Ngroto yang memiliki bantuan pada anggota
kedekatan dengan  Hambatan dalam level sub
kelompok:
ketua posdaya - Permodalan
-Terbatasnya jaringan
pemasaran produk
-Terbatasnya sarana dan
prasarana usaha

Sumber : Olah Data Peneliti, (2017)


Alur analisis Saling mempengaruhi

Kerangka teori Fokus penelitian


65

Dalam kerangka berfikir diatas, menjelaskan permasalahan

kemiskinan yang dialami oleh perempuan di Desa Ngroto. Karakteristik

perempuan di Desa Ngroto yakni mereka sebagai Perempuan Kepala

Rumah Tangga (janda) maupun ibu rumah tangga yang miskin dengan

yang memiliki kondisi kemiskinan yakni banyak terdapat pengangguran

karena lapangan kerja terbatas, kurangnya modal untuk usaha menjadi

penyebab ibu-ibu tidak dapat memanfaatkan keterampilan yang mereka

miliki dan menjadi tidak produktif. Sehingga, dengan adanya

permasalahan yang dihadapi oleh perempuan miskin pedesaan tersebut

lalu dibentuklah kegiatan pemberdayaan masyarakat pada Posdaya Desa

Ngroto, dengan tujuan untuk membantu perempuan miskin agar lebih

produktif dan mampu menyadari kapasitas yang dimiliki.

Pengorganisasian perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan

pemberdayaan Posdaya dilakukan oleh agen penggerak yang menginisiasi

mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemberdayaan. Karena

pemberdayaan yang ada di Desa Ngroto bersifat bottom up, sehingga

mengutamakan partisipasi dari perempuan yang diberdayakan untuk

terlibat dalam perumusan kebijakan, dan seluruh kegiatan yang ada

didalamnya. Dalam pemberdayaan masyarakat melalui Posdaya dilakukan

melalui 3 tahapan yakni pertama tahap penyadaran yang dilakukan oleh

agen penggagas terbentuknya Posdaya kepada ibu-ibu, kedua tahap

pengkapasitasan yang dilakukan melalui pelatihan dan sosialisasi, dan

yang ketiga tahap pendayaan melalui pembentukan kelompok dalam sub-


66

sub kelompok yang sesuai dengan minat dan bidang keterampilan soft skill

dan hard skill yang dimiliki..

Dalam hal ini perempuan di Desa Ngroto berperan sebagai agen,

agen disini adalah penggagas terbentuknya Posdaya (expert agent), dan

seluruh anggota yang tergabung dalam Posdaya (lay agent). Sedangkan

Posdaya berperan sebagai struktur yang memiliki aturan normatif yang

tertulis. Selain itu struktur Posdaya juga memiliki sumber daya (resources)

berupa lahan pertanian, perkebunan dan komoditas yang dihasilkan, alat

produksi, teknologi, harta benda yang merupakan sumber daya alokatif.

Bagi giddens, sumber daya tidak begitu saja disediakan oleh alam, namun

hanya melalui praktik sosial sumberdaya itu hadir.

Program pemberdayaan yang ada pada Posdaya lebih pada

peningkatan ekonomi masyarakat yang bertujuan untuk dapat mengatasi

permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh mereka. Berawal dari

adanya partisipasi masyarakat untuk tergabung dalam Posdaya kemudian

mereka dilibatkan dalam proses perencanaan hingga perancangan

program. Tingkat partisipasi awalnya bisa dikatakan cukup tinggi, namun

kemudian tingkat partisipasi anggota menjadi menurun saat pemberdayaan

sudah tidak lagi efektif.

Penyebab tidak efektifnya kegiatan pemberdayaan yang

berlangsung saat ini hingga hal tersebut membentuk sebuah praktik sosial

yang menunjukkan dominasi dari ketua posdaya dalam menjalankan

program kegiatan pemberdayaan pada posdaya, dimana signifikasi


67

wacananya berupa pemberdayaan yang mengarah pada kepentingan

beberapa pihak yang memiliki kedekatan dengan ketua posdaya. Dimana

sanksi yang diberikan berupa sanksi moral dari anggota kepada ketua

posdaya. Secara umum, terhambatnya program pemberdayaan pada

posdaya disebabkan karena adanya beberapa permasalahan dalam sistem

kelembagaannya secara umum yakni terkait tidak meratanya pembagian

bantuan serta pro-kontra pendirian koperasi yang pembentukannya tanpa

melibatkan musyawarah dengan seluruh anggota, pemotongan sebanyak

20% dari kredit yang diperoleh untuk modal usaha, tidak adanya

transparasi dana sehingga hal tersebut menjadikan menurunnya

kepercayaan anggota, mekanisme peminjaman dana koperasi tidak disertai

dengan persyaratan atau jaminan yang dibebankan pada anggota sehingga

banyak anggota yang tidak mengembalikan dana pinjaman dan

menyepelekan hal tersebut. Serta hambatan dalam level sub kelompok

yang terkait dengan permodalan, terbatasnya jaringan pemasaran produk,

serta terbatasnya sarana dan prasarana usaha. Berdasarkan permasalahan

tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan teori strukturasi dari

Anthony Giddens secara lebih mendalam.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Pendekatan Penelitian

Metode penelitian sangatlah dibutuhkan dalam sebuah penelitian, agar

penelitian tersebut dapat dianggap sebagai penelitian yang valid, ilmiah, dan dapat

di pertanggungjawabkan. Pendekatan dalam penelitian ini, peneliti memutuskan

untuk menggunakan pendekatan kualitatif, dimana dalam penelitian ini lebih

menekankan pada makna dan proses dari pada hasil suatu aktivitas. Menurut

beberapa ahli seperti Williams (1995), penelitian kualitatif adalah pengumpulan

data pada suatu latar ilmiah dengan menggunakan metode alamiah yang dilakukan

oleh peneliti yang mempunyai perhatian ilmiah. Sedangkan, menurut Denzin dan

Lincoln (1997), penelitan kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan

menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi

dan dilakukan dengan melibatkan berbagai metode yang ada. Secara umum

penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami (understanding) dunia makna

yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat menurut perspektif masyarakat itu

sendiri. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan kebenaran dan

tergolong sebagai penelitian ilmiah yang dibangun atas dasar teori-teori yang

berkembang dari penelitian dan terkontrol atas dasar empirik.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif

deskriptif yang digunakan sebagai prosedur penelitian dan dapat menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor, 1975;5). Penelitian kualitatif

deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang sedang berlaku saat ini.

68
69

Yang mana didalamnya terdapat upaya mencatat, menganalisis, dan

menginterpretasikan kondisi yang sedang terjadi, atau kata lain penelitian

deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi

mengenai keadaan yang ada dan dirancang untuk mengumpulkan informasi

tentang keadaan-keadaan nyata sekarang yang sedang berlangsung. Pada

hakikatnya penelitian kualitatif deskriptif adalah suatu metode yang digunakan

dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek dengan membuat

deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, fakual, dan akurat mengenai

fakta-fakta atau fenomena yang diselidiki.

Metode ini digunakan oleh peneliti dengan tujuan untuk menggambarkan

suatu peristiwa ke dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan menguraikan

fenomena, proses, maupun kondisi sosial yang ada melalui kegiatan observasi

atau pengamatan, wawancara, dan pemanfaatan dokumen (Moleong, 2013:5).

Selanjutnya penemuan tersebut diuraikan dalam bentuk narasi deskriptif agar

pembaca dapat turut memahami serta berada pada pengalaman peristiwa yang

diuraikan (Stake, 2011; 489).

Penelitian kualitatif juga memiliki beberapa karakteristik penting yang

harus diperhatikan. Beberapa karakteristik tersebut meliputi : 1) Metode kualitatif

dalam sebuah penelitian memungkinkan peneliti untuk dapat mengumpulkan data

di lingkungan alamiahnya, dimana peneliti akan menggali informasi secara

langsung dari informan dilingkungan alamiah tempat mereka tinggal, 2) Menggali

makna dari para informan,dimana data yang telah diperoleh sebelumnya akan

ditelaah untuk dipahami makna dan informasi yang terkandung didalamnya, dan

3) Berupaya untuk dapat memahami serta memiliki pandangan menyeluruh atas


70

masalah yang diteliti berdasarkan informasi yang telah diperoleh dari sudut

pandang informan dan lingkungan alamiahnya (Creswell, 2013).

Berdasarkan semua penjelasan yang telah dijelaskan diatas, metode dan

pendekatan penelitian tersebut nantinya akan diaplikasikan dalam penelitian ini

dan digunakan sebagai acuan untuk memahami secara menyeluruh tentang Praktik

Sosial Pemberdayaan Pada Posdaya Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten

Malang, terkait penyebab tidak efektifnya kegiatan pemberdayaan pada posdaya.

Penelitian kualitatif deskriptif ini menjadi pilihan peneliti karena sesuai dengan

sifat dan tujuan penelitian yang ingin diperoleh dan bukan menguji sebuah

hipotesis, tetapi peneliti berusaha ingin memperoleh sebuah gambaran dan

mendapatkan pemahaman lebih mendalam dengan mendeskripsikan, mencatat,

menganalisis, dan menginterpretasikan kondisi yang sedang terjadi saat ini.

Guna menemukan hasil dalam penelitian ini, maka peneliti melakukan

pengumpulan data, pengolahan data atau analisis data, penyusunan laporan serta

penarikan kesimpulan. Proses ini telah dilakukan peneliti untuk mendapatkan

hasil penelitian secara objektif. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi dilakukan

dengan melihat aktivitas anggota posdaya secara umum yang dilakukan pada tiap-

tiap sub-kelompok yang berbeda. Selanjutnya wawancara dilakukan kepada

semua subjek yang terkait dalam penelitian ini yakni, penggagas terbentuknya

posdaya yang menjadi informan kunci, anggota posdaya serta perangkat desa

yang juga memiliki peranan dalam kegiatan pemberdayaan yang dilakukan dalam

Posdaya. Hasil dari proses observasi dan wawancara di lapangan kemudian

ditambahkan dengan analisis awal oleh peneliti sebelum turun ke lapangan.


71

Selanjutnya dibuat kesimpulan yang berkenaan dengan proses dialektik struktur

dan agen yang terjalin dalam pemberdayaan pada kelompok Posdaya di Desa

Ngroto.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Praktik Sosial Pemberdayaan Masyarakat Pada

Posdaya” ini dilaksanakan di Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.

Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan beberapa alasan dan pertimbangan.

Pertama, Desa Ngroto mempunyai potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang

sangat potensial di bidang agribisnis, oleh karenanya beberapa upaya

pemberdayaan masyarakat Di Desa Ngroto ini mulai terbentuk dengan

didirikannya Posdaya, karena di Kecamatan Pujon banyak rumah tangga miskin

yang jumlahnya mencapai 7357 kepala rumah tangga termasuk di Desa Ngroto itu

sendiri yang berjumlah 498 rumah tangga miskin (Haryono,2015, p.97). Selain itu

jumlah perempuan yang berperan sebagai kepala rumah tangga miskin juga cukup

besar yakni sekitar 298 atau sekitar 40.4% dari keseluruhan rumah tangga miskin

yang ada. Hadirnya Posdaya di Desa Ngroto sangatlah membantu warga setempat

untuk menampung kreatifitas dan mengembangkan soft skill dan hard skill yang

dimiliki oleh warga sekitar. Kehadiran Posdaya melalui program-programnya

telah dapat membantu pemerintah setempat dalam penanggulangan kemiskinan.

Kini Desa Ngroto juga telah menjadi desa percontohan bagi desa-desa lain

disekitarnya terkait aktivitas pemberdayaan melalui program Posdaya (Pos

Pemberdayaan Keluarga).

Kedua, dalam praktik pemberdayaan yang dilakukan pada Posdaya

terdapat permasalahan terkait tidak efektifitasnya kepengurusan Posdaya, yang


72

mana permasalahan tersebut dimulai dari pendirian koperasi pada Posdaya yang

menuai pro dan kontra dari anggota Posdaya. Pendirian koperasi diawali

pemotongan dana pinjaman modal usaha yang diberikan oleh Bank UMKM Jawa

Timur kepada masing-masing anggota Posdaya sebesar 400 ribu. Dalam hal ini

ada anggota yang merasa keberatan dengan dilakukannya pemotongan tersebut,

namun ada juga yang setuju. Selanjutnya, dana yang terkumpul untuk pendirian

koperasi simpan pinjam anggota dipinjam oleh anggota Posdaya, namun uangnya

tidak dikembalikan hingga saat ini. Sehingga hal tersebut membuat Koperasi

Posdaya tidak dapat berjalan. Mekanisme peminjaman dana koperasi tidak disertai

dengan persyaratan atau jaminan yang dibebankan pada anggota sehingga banyak

anggota yang tidak mengembalikan dana pinjaman dan menyepelekan hal

tersebut. Sedangkan anggota yang lain yang belum memiliki kesempatan untuk

meminjam dana koperasi tidak dapat meminjam dana tersebut karena dana yang

ada pada pengurus sudah di pinjam oleh anggota yang lain. Selain itu, tidak ada

upaya dari pengurus untuk menunjukan transparasi nominal dana koperasi yang

terkumpul, yang keluar, dan yang tersisa. Sehingga hal tersebut menimbulkan

sentimen negatif dari sebagian anggota kepada pengurus Posdaya.

Ketiga, terdapat hambatan dalam kegiatan produktif yang dilakukan oleh

anggota Posdaya. Hambatan tersebut dihadapi oleh sub-kelompok maupun

masing-masing anggota. Hambatan tersebut antara lain berupa kurangnya

permodalan, lemahnya jaringan pemasaran produk, terbatasnya sarana dan

prasarana usaha yang menyebabkan, dan ketidakmerataan pembagian bantuan

kepada anggota karena sifat bantuan yang terbatas.


73

Keempat, meskipun terdapat permasalahan dan hambatan namun kegiatan

pemberdayaan pada Posdaya cenderung tendensi memiliki potensi untuk berlanjut

karena masing-masing anggota memiliki sense of belonging atau rasa memiliki

dalam diri anggota untuk bersama-sama maju melakukan kegiatan produktif dan

menjadikan Posdaya sebagai sarana yang dapat menjembatani mereka untuk

mendapatkan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan sharing antar sesama anggota

kelompok. Selain itu pengurus Posdaya juga ingin menjalin relasi dan kerjasama

dengan Pemerintah Kota Malang, pihak Universitas, serta dinas-dinas terkait

sebagai akses untuk memperoleh fasilitas bagi kelompok Posdaya.

Keempat hal tersebut menjadi pertimbangan peneliti dalam menentukan

lokasi penelitian. Selain itu peneliti juga mempertimbangkan lokasi tersebut dari

segi keterjangkauan akses informasi dan akses finansial yang menjadi faktor

penentu dalam melakukan sebuah penelitian. Penelitian ini dimulai dari observasi

awal yang dilakukan sejak bulan Oktober 2016, obervasi lanjutan pada bulan

Januari 2017, dan turun lapang untuk wawancara mendalam dengan informan

pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2017.

3.3 Fokus Penelitian

Fokus penelitian merupakan suatu hal penting yang harus diperhatikan

dalam suatu penelitian. Karena fokus penelitian adalah pokok permasalahan yang

dipilih untuk diteliti (Suprayogo dan Tobrani, 2003:45). Penelitian kualitatif

bertumpu pada fokus penelitian yang memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam

merumuskan masalah penelitian dengan jalan memanfaatkan fokus yang berfungsi

untuk mempertajam penelitian yang akan dilakukan. Fokus penelitian dapat

membatasi studi dan berfungsi untuk memenuhi kriteria keluar masuknya


74

informasi (Moleong, 2001 : 93). Dalam sebuah penelitian sangat penting bagi

peneliti dalam menentukan batasan-batasan penelitian. Hal tersebut dimaksudkan

agar penelitian dapat berjalan dengan baik dan dapat memperoleh hasil yang

diinginkan serta mempermudah peneliti untuk menentukan data yang diperlukan.

Menurut Spradley dalam Sugiyono, (2008: 209) terdapat empat alternatif untuk

menetapkan fokus yakni:

1. Menetapkan fokus pada permasalahan yang disarankan informan

2. Menetapkan fokus berdasarkan domain-domain tertentu (organizing

domain)

3. Menetapkan fokus yang memiliki nilai temuan untuk pengembangan

IPTEK

4. Menetapkan fokus berdasarkan permasalahan yang terkait dengan teori-

teori yang telah ada

Alternatif penetapan fokus penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam

penelitian ini adalah alternatif keempat dimana fokus penelitian terkait “Praktik

Sosial Pemberdayaan Pada Posdaya” peneliti memfokuskan berdasarkan

permasalahan yang terkait dengan teori-teori yang telah ada. Hal ini dikarenakan

setelah ada permasalahan pada posdaya menjadikan kegiatan pemberdayaan

menjadi tidak efektif. Sehingga peneliti ingin menggambarkan pola praktik sosial

yang terjadi pada lingkup Posdaya. Oleh karena itu peneliti menetapkan batasan

penelitian pada:

1) Mengapa kegiatan pemberdayaan pada posdaya tidak efektif


75

Penelitian ini kemudian dianalisis menggunakan teori strukturasi Anthony

Giddens, sebagai pisau analisis yang akan digunakan untuk mendapatkan

gambaran dan analisis mendalam terkait penyebab tidak efektifnya kegiatan

pemberdayaan pada kelompok Posdaya. Oleh karena itu peneliti pengamatinya

melalui praktik sosial yang berlangsung saat ini. Dalam hal ini agen sebagai

pelaku atau aktor berperan penting dalam menjelaskan informasi yang diperlukan

dalam penelitian ini. Agen tersebut antara lain yakni pengurus dan anggota

Posdaya itu sendiri yang mampu melakukan tindakan berdasarkan kapasitas yang

dimiliki.

3.4 Teknik Penentuan Informan

Dalam penelitian kualitatif, peneliti harus menentukan informan atau nara

sumber yang dinilai mampu untuk memberikan informasi, sumber data, atau

sebagai subyek yang nantinya akan diteliti. Informan bukan hanya sebagai sumber

data, melainkan juga sebagai aktor atau pelaku yang ikut menentukan berhasil

tidaknya sebuah penelitian berdasarkan informasi yang diberikan (Suprayogo,

Imam, dan Tobroni, 2001:26). Dalam penelitian ini, peneliti memutuskan untuk

menggunakan model penentuan informan secara purposive. Strategi penentuan

informan menggunakan model purposive ini mengharuskan peneliti untuk

berusaha memilih individu-individu dan tempat tertentu yang menjadi tempat

penelitian karena mereka dapat secara spesifik untuk memberi pemahaman terkait

problem riset dan fenomena dalam studi tesebut. Dan dengan metode tersebut

peneliti dapat merepresentasikan informasi terbaik dari kelompok masyarakat

dimana peneliti melakukan riset, sehingga peneliti memperoleh pemahaman yang

spesifik dan fenomena secara sentral (Creswell, 2014: 207-418).


76

Penentuan informan secara purposive juga didasarkan atas pertimbangan

tujuan peneliti karena informan yang ditunjuk dapat memenuhi beberapa kriteria

peneliti seperti yang peneliti harapkan dan juga informan tersebut mengetahui

situasi yang ada, sehingga dapat membantu peneliti untuk menjelajahi objek,

fenomena, atau situasi sosial yang akan diteliti (Sugiyono 2008: 53-54). Dalam

pemilihan informan, teknik purposive juga didasarkan pada kriteria tertentu yang

dimiliki oleh seseorang untuk bisa dijadikan informan. Selain didasarkan pada

kriteria tertentu dengan teknik ini penentuan informan juga didasarkan pada

kapasitas atau pengetahuan seseorang (Oliver, 2006: 244).

Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah anggota kelompok

Posdaya yang berperan dalam program pemberdayaan dan pengurus yang menjadi

penggerak pemberdayaan pada Posdaya yang dapat menjelaskan skema dualitas

struktur dari praktik pemberdayaan pada Posdaya tersebut. Sehingga peneliti

dapat menarik benang merah atas praktik sosial yang berlangsung. Berdasarkan

kriteria penentuan informan yang telah dijelaskan, peneliti akan

mengklasifikasikan jenis informan menjadi 3 bagian, yakni:

1) Informan Kunci

Informan kunci adalah orang yang akan mengantarkan peneliti untuk

memperoleh informasi dan membantu peneliti untuk mengeksplorasi

fenomena yang terjadi pada lingkup Posdaya. Mereka mengetahui dan

memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian.

Informan kunci disini adalah Ibu Rusmini sebagai Ketua atau koordinator

umum Posdaya yang telah mendirikan Posdaya Desa Ngroto dan menjadi
77

agen penggerak aktivitas pemberdayaan serta menjadi pengurus yang telibat

didalamnya.

2) Informan Utama

Informan utama adalah mereka yang terlibat langsung dalam masalah

penelitian atau dalam interaksi sosial terkait praktik pemberdayaan pada

Posdaya. Informan utama disini adalah ketua kelompok Posdaya yang

menjadi pengurus dan menjadi agen/aktor terbentuknya Posdaya, serta

anggota kelompok Posdaya yang menjadi agen praktik sosial yang berkaitan

dengan permasalahan penelitian dan mengetahui pasti praktik sosial

kelompoknya dalam aktivitas pemberdayaan pada Posdaya. Sehingga

memudahkan peneliti untuk menggali informasi terkait pemberdayaan yang

terjadi sejak awal pendirian Posdaya hingga saat ini, khususnya dalam pola

praktik sosial masyarakat sebagai akibat adanya permasalahan dalam sistem

kelembagaan Posdaya serta hambatan yang dihadapi dalam kegiatan

produktif mereka.

3) Informan Tambahan

Informan tambahan atau informan pendukung adalah informan yang

terdapat dilokasi penelitian dan memiliki data pendukung yang mampu

menceritakan fenomena apa saja yang terjadi pada ruang lingkup penelitian

meskipun mereka tidak terlibat langsung dalam masalah penelitian.

Informan tambahan disini adalah Kepala Desa yang telah mengesahkan SK

(Surat Keputusan) resmi pendirian Posdaya Desa Ngroto dan menjadi

pengawas yang memonitor berlangsungnya kegiatan Posdaya.


78

Berdasarkan pada teknik penentuan informan yang telah disebutkan diatas,

peneliti akan berusaha secara maksimal dan terfokus untuk mendapatkan data

yang obyektif untuk menjelaskaan permasalahan yang ada pada praktik

pemberdayaan tersebut. berikut adalah daftar informan dalam penelitian ini:

Tabel 3 Daftar Nama Informan


No Nama Status Posisi

1. Bu Rusmini Ketua dan Koordinator Umum Posdaya Informan Kunci

2. Bu Mia Ketua sub-kelompok Griya Rajut Informan Utama

3. Bu Markonah Anggota sub-kelompok Griya Rajut Informan Utama

4. Bu Siti Ketua sub-kelompok Makaryo Bersama Informan Utama

5. Bu Nurul Anggota sub-kelompok Makaryo Bersama Informan Utama

6. Bu Ana Ketua sub-kelompok Sarinah Creative Informan Utama

7. Bu Susi Anggota sub-kelompok Sarinah Creative Informan Utama

8. Bu Tari Anggota sub-kelompok Sarinah Creative Informan Utama

9. Bu Mei Ketua sub-kelompok Seger Waras Informan Utama

10. Bu Nita Anggota sub-kelompok Seger Waras Informan Utama

11. Bu Intan Ketua sub-kelompok Tahu Sehat Informan Utama

12. Bu Gina Anggota sub-kelompok Tahu Sehat Informan Utama

13. Bu Dewi Ketua sub-kelompok Srikandi Collection Informan Utama

14. Bu Yani Ketua sub-kelompok Maju Jaya Informan Utama

15. Pak Angga Ketua sub-kelompok Gemah Ripah Informan Utama

16. Pak Budi Kepala Desa Ngroto Informan Tambahan

Sumber : Olah Data Peneliti, (2017)


79

3.5 Sumber dan Jenis Data

a) Data Primer

Data primer adalah data yang dapat diperoleh dari sumber pertama atau

sumber asli (tanpa peantara). Sumber data primer dapat diperoleh peneliti

dengan melakukan wawancara atau hasil observasi langsung. Dalam

penelitian ini data primer diperoleh langsung melalui proses interaksi dan

wawacara dengan masyarakat Desa Ngroto yang tergabung menjadi

pengurus maupun anggota kelompok Posdaya di Desa Ngroto. Sumber data

utama dicatat melalui catatan tertulis, melalui alat perekam, serta

pengambilan dokumentasi atau foto kegiatan produktif yang dilakukan oleh

anggota Posdaya maupun saat proses wawancara berlangsung. Dimana

sikap atau tindakan serta kata-kata yang diucapkan oleh informan baik

informan kunci, informan utama, maupun informan tambahan menjadi

sumber data primer.

b) Data Skunder

Data skunder adalah data yang dapat dikumpulkan melalui data-data

yang dapat diperoleh dari sumber yang berkaitan langsung dengan

permasalahan penelitian. Data skunder dapat diperoleh dari sumber tertulis

baik data monografi desa buku maupun data berupa laporan historis yang

tersusun dalam arsip dan data dokumenter yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian. Data sekunder diperoleh karena data tersebut

sudah tersedia di perpustakaan, biro pusat statistik, arsip yang dimiliki oleh

pemerintah, dsb. Data sekunder yang diperoleh dalam penelitian ini berupa
80

profilDesa Ngroto, Data Monografi Desa Ngroto, Profil Posdaya, Jurnal

penelitian terdahulu terkait Posdaya di Desa Ngroto yang telah dilakukan

sebelumnya, Foto kegiatan produktif pada Posdaya, data dari Badan Pusat

Statistik, buku referensi, jurnal penelitian, serta artikel yang masih relevan

dengan penelitian ini.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang tepat dan strategis untuk

mendapatkan data dan untuk memenuhi standar data yang telah ditetapkan

(Sugiyono, 2008: 62-66). Dengan teknik pengumpulan data, peneliti akan dengan

mudah mendapatkan data yang dapat digunakan sebagai analisis terhadap

fenomena apa saja yang akan diteliti. Teknik pengumpulan data dapat terbagi

menjadi tiga tahapan, yakni pengumpulan data dapat dilakukan dengan

pengamatan atau observasi langsung, wawancara mendalam,dan agar lebih

lengkap hasil penelitian dapat dilakukan dengan kajian dokumen yang berkaitan

dengan fenomena yang diteliti. Berikut ini merupakan uraian dari tiga tahapan

pengumpuan data:

1) Observasi

Observasi langsung merupakan usaha mengumpulkan data dengan cara

terjun langsung ke lokasi penelitian guna mengamati gejala-gejala sosial dan

memahami pola perilaku yang terjadi berkaitan dengan subjek penelitian

(Yin, 2007 :108). Hal ini dimaksudkan agar peneliti mendapatkan dimensi-

dimensi baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena yang akan

diteliti nantinya. Dengan dilakukannya observasi atau pengamatan, peneliti


81

kemungkinan akan dapat mengamati sendiri perilaku atau keadaan yang

sebenarnya, peneliti juga dapat mengamati situasi-situasi yang rumit

(Moleong, 2013 : 174). Secara metodologis, observasi aau pengamatan

sangat penting untuk dilakukan karena pengamatan dapat mengoptimalkan

kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak

sadar, kebiasaan dan lain sebagainya. Observasi atau pengamatan dapat

memungkinkan peneliti menangkap sebuah fenomena secara subjektif

dalam kurun waktu tertentu serta memungkinkan peneliti merasakan apa

yang dirasakan oleh subjek penelitian (Moleong, 2013 : 175).

Dalam observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan mencatat

baik secara terstruktur maupun semi struktur, dengan mengajukan

pertanyaan yang ingin diketahui oleh peneliti dan aktifitas-aktivitas dalam

lokasi penelitian (Creswell, 2009:269). Terdapat empat tipe observasi

berdasarkan bentuk keterlibatannya, yakni partisipan sempurna, partisipan

sebagai pengamat, non partisipan atau pengamat sebagai partisipan, dan

pengamat sempurna. Dalam observasi awal, peneliti telah beberapa kali

mendatangi lokasi penelitian yakni di Desa Ngroto sebagai tempat

berdirinya Posdaya. Dalam hal ini peneliti memposisikan diri sebagai

seorang peneliti yang tidak terlibat langsung dalam aktivitas aktor yang

terlibat dalam penelitian, sehingga observasi ini dapat disebut dengan

observasi non partisipan atau pengamat sebagai partisipan sebagai pihak

luar (outsider) dari kelompok yang diteliti. Sehingga peneliti tidak selalu

terlibat langsung dengan aktivitas mereka tapi masih dapat menyaksikan dan

membuat catatan lapang serta merekam data (Creswell, 2014: 233).


82

Sebagai pengamat partisipan, terdapat beberapa alasan yang menjadi

dasar yakni, berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh peneliti

kondisi di lokasi penelitian lebih memungkinkan bagi peneliti untuk

menjadi pihak luar dari kelompok yang sedang diteliti karena peneliti tidak

terlibat langsung dengan aktivitas yang terjadi di dalamnya. Jika peneliti

ikut serta dalam aktivitas yang dilakukan informan, keberadaan peneliti

justru akan mengganggu aktivitas produktif yang mereka lakukan. Namun

disini peneliti masih dapat melihat aktivitas keseharian dalam kelompok

tersebut dengan menempatkan diri sebagai pengamat partisipan. Dalam hal

ini observasi dilakukan sejak bulan Oktober 2016- Juni 2017.

2) Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dapat dilakukan

secara mendalam dan terbuka kepada informan dengan cara percakapan

yang dilakukan oleh kedua belah pihak yakni peneliti dan informan.

Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2013: 186) wawancara

bertujuan untuk mengontruksi orang, kejadian, organisasi, perasaan,

motivasi, tuntutan, kepedulian, merekontruksi kejadian-kejadian di masa

lalu, memverivikasi serta memperluas informasi yang diperoleh oleh orang

lain. Hal ini bertujuan agar informan dapat mengetahui maksud dari

wawancara yang sedang dilakukan, sehingga informan dapat memberikan

jawaban yang sesuai dengan permasalahan tanpa ada rasa curiga (Moleong,

1989 : 186-189).
83

Proses wawancara haruslah mengalir apa adanya, membutuhkan waktu

yang agak lama, dan dilancutkan pada wawancara berikutnya (Moleong,

1989 : 191). Selain itu wawancara juga harus terstruktur. Peneliti haruslah

menyiapkan bahan atau instrumen pertanyaan (guide interview), yang akan

digunakan sebagai pedoman dalam proses wawancara agar jawaban dan

fokusnya tidak melebar kemana-mana. Pokok-pokok yang menjadi dasar

pertanyaan harus sudah diatur sebelumnya dengan terstruktur, dan

pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya harus didasarkan atas

masalah yang ada dalam rancangan penelitian (Moleong, 2013 : 190). Selain

itu peneliti juga menyiapkan alat bantu yang akan digunakan sebagai alat

bantu untuk membantu kelancaran proses wawancara seperti: tape recorder,

gambar, brosur, dan material lainnya (Sugiyono, 2013: 195).

Wawancara yang dipilih dalam penelitian ini adalah wawancara semi

terstruktur, yang merupakan sebuah upaya untuk menggali permasalahan

penelitian dengan lebih terbuka kepada informan yang terlibat pada

fenomena penelitian (Esterberg dalam Sugiyono, 2005:233). Wawancara

semi terstruktur ini termasuk dalam in-dept interview, yang mana

wawancara dilakukan dengan mempersiapkan guide interview yang berisi

masalah yang telah diteliti. Dengan wawancara semi terstruktur, peneliti

telah mendapatkan informasi yang mendalam mengenai permasalahan atau

fokus penelitian terkait praktik sosial pemberdayaan pada Posdaya.

Disini peneliti membuat 2 jenis guide interview yakni untuk pengurus

dan anggota posdaya serta untuk Pemerintah Desa Ngroto. Peneliti berusaha

untuk melakukan adaptasi dengan informan agar interaksi yang terjalin


84

dapat lebih membaur dan berjalan lancar. Selama proses wawancara peneliti

mengambil momen untuk mendokumentasikan beberapa bukti yang relevan

untuk menjelaskan kondisi yang diteliti dengan merekam hasil wawancara,

serta menggambil gambar untuk dokumentasi. Wawancara dilakukan oleh

peneliti pada saat observasi dan saat turun lapang penelitian sejak bulan

Oktober 2016- bulan Juni 2017.

3) Dokumentasi

Dokumen adalah catatan atau peristiwa yang sudah lama berlalu, dan

dapat berupa gambar atau karya dari informan. Dokumentasi merupakan

data pendukung yang kredibel sebagai teknik pengumpulan data selain

observasi dan wawancara. Dokumen dalam bentuk tulisan dapat berupa

catatan harian, biografi, sejarah kehidupan dan sebagainya. Sedangkan

dokumen dalam bentuk gambar dapat berupa foto, sketsa dan lain

sebagainya. Metode dokumentasi ini sebagai pelengkap metode observasi

dan wawancara (Sugiyono, 2013: 329). Pada teknik dokumentasi peneliti

dapat memperoleh data melalui artikel ilmiah yang berkaitan dengan praktik

sosial pemberdayaan perempuan miskin pedesaan melalui posdaya, data

monografi Desa Ngroto untuk mencari tahu potensi yang dimiliki desa,

karakteristik masyarakat desa, dan kebijakan pembangunan yang dilakukan

oleh pemerintah desa. Peneliti juga mendokumentasikan hasil penelitian

melalui rekaman hasil wawancara dengan 16 informan dan

mendokumentasikan gambar maupun data-data arsip.


85

3.7 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian data kualitatif proses analisis data berlangsung sebelum

peneliti turun ke lapangan, kemudian selama di lapangan, dan setelah di lapangan.

Menurut Sugiyono (2008: 90), analisis data telah dimulai sejak dirumuskan dan

menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan terus berlanjut sampai

penulisan hasil penelitian. Oleh karena itu analisis data yang dilakukan dalam

penelitian ini yaki proses mengumpulkan dan menyusun dengan baik data-data

yang didapatkan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Untuk

mempermudah peneliti dalam proses menganalisis berbagai data dalam penelitian

ini, maka peneliti menggunakan dua pendekatan yakni:

3.7.1 Analisis Sebelum di Lapangan

Sebelum terjun ke lapangan peneliti melakukan analisis terhadap berbagai

data yang berkaitan dengan praktik sosial pemberdayaan masyarakat, partisipasi

masyarakat dalam pemberdayaan, kelompok masyarakat miskin yang di

berdayakan, dan program-program yang ada dalam pemberdayaan khususnya

pada pos pemberdayaan keluarga (Posdaya), yang bersumber baik dari buku,

jurnal, skripsi, artikel, tulisan dari media elektronik, dsb. Selain itu, analisis

terhadap fenomena yang terjadi pada kelompok Posdaya yaitu munculnya

permasalahan terkait sistem kelembagaan pada Posdaya yang kemudian

memunculkan sentimen negatif dan hilangnya kepercayaan dari anggota

kelompok pada pengurus Posdaya. Selain itu juga terdapat hambatan dalam

kegiatan produktif yang dilakukan oleh masing-masing individu dalam sub-


86

kelompok yang berbeda-beda. Hambatan tersebut antara lain terkait permodalan,

terbatasnya sarana dan prasarana produksi, lemahnya jaringan pemasaran, dll.

Untuk memperoleh makna yang berarti maka proses analisis data dilakukan

secara terus menerus, dalam proses ini peneliti diharapkan dapat menemukan hal-

hal penting yang dapat membantu dan mempermudah peneliti untuk mengkaji

praktik sosial pemberdayaan pada kelompok Posdaya yang terkait dengan

penyebab tdak efektifnya kegiatan pemberdayaan pada posdaya. Namun proses

analisis yang dilakukan peneliti sifatnya masih sementara, karena penelitian

berkembang setelah peneliti berada dilapangan dan mengumpulkan data-data yang

terkait dengan masalah penelitian. Langkah ini dilakukan peneliti dengan

menyusun pertanyaan guide interview baik untuk dijadikan sebagai pedoman

wawancara maupun pedoman observasi peneliti selama berada dilapangan.

3.7.2 Analisis Selama di Lapangan

Peneliti menggunakan model analisis dari Miles dan Huberman, yang

mana mereka menyatakan bahwa aktivitas dalam analisis data dalam penelitian

kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai

tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas analisis tersebut meliputi tiga

unsur yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Bungin,

2003: 69). Adapun ketiga unsur yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Reduksi Data (Reduction Data)

Reduksi data merupakan langkah awal dalam menganalisa data. Kegiatan

reduksi data ini bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam memahami data

yang telah dikumpulkan. Data yang telah dikumpulkan melalui observasi awal,
87

observasi lanjutan, wawancara, dan pengumpulan dokumen direduksi dengan cara

merangkum, memilah hal-hal yang pokok dan penting, serta mengklasifikasikan

sesuai fokus yang ada pada masalah dalam penelitian ini. Proses mereduksi data

merupakan bagian dari analisis untuk menajamkan, menggolongkan, membuang

yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan baik sehingga proses

kesimpulan akhir nantinya akan terlaksana dengan baik.

Langkah ini dilakukan peneliti dengan menyajikan pertanyaan guide

interview baik untuk dijadikan sebagai pedoman wawancara maupun pedoman

observasi peneliti selama berada dilapangan. Langkah ini dilakukan untuk

memperkaya data yang diperoleh dari observasi awal. Kemudian peneliti meneliti

kembali rancangan pertanyaan dan hasil analisis sementara untuk diperbaiki

sehingga mampu menjawab permasalahan dalam penelitian yang dilakukan

sekaligus melengkapi data-data yang diperoleh sebelumnya.

Dalam penelitian ini, aspek-aspek yang direduksi adalah hasil observasi

maupun wawancara tetang praktik sosial pemberdayaan pada Posdaya yang

menyangkut tentang sejarah berdirinya Posdaya, partisipasi masyarakat untuk

bergabung dengan posdaya, kegiatan pemberdayaan pada level posdaya dan level

sub-kelompok, hambatan yang dihadapi dalam kegiatan mereka, permasalahan

sistem kelembagaan dalam Posdaya terkait pendirian koperasi yang menyebabkan

adanya sentimen negatif dan berkurangnya kepercayaan anggota kelompok pada

ketua Posdaya sehingga membuat kegiatan pemberdayaan menjadi tidak efektif,

serta potensi keberlanjutan kegiatan pemberdayaan pada Posdaya. Pemenuhan

aspek-aspek ini dimaksudkan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan

penyajian data yang berujung pada penarikan kesimpulan dari hasil penelitian ini.
88

2. Penyajian Data (Display Data)

Dalam tahapan selanjutnya, penyajian data dapat dilakukan dengan bentuk

uraian singkat, bagan, grafik, chart, tabel dan sejenisnya secara jelas untuk

memudahkan dalam memahami masalah-masalah yang di teliti, baik secara

keseluruhan maupun bagian demi bagian. Menurut Miles dan Huberman, yang

paling sering digunakan untuk penyajian data secara kualitatif adalah dengan

menggunakan teks yang bersifat naratif (Sugiyono, 2007: 95).

Sebagaimana dengan proses reduksi data, penyajian data dalam penelitian

ini tidaklah terpisah dari analisis data. Pengumpulan data-data yang diperoleh baik

dari wawancara, observasi, maupun hasil dokumentasi untuk disusun melalui

transkrip wawancara dari ke 16 informan, hal ini dilakukan agar mudah untuk

dianalisis dan dikoding untuk membantu peneliti dalam memfokuskan penelitian.

Kemudian, hal yang peneliti lakukan dalam tahap ini yakni menggambar

secara umum hasil penelitian di mulai dari lokasi penelitian tempat kegiatan

pemberdayaan Posdaya yakni di Desa Ngroto secara umum, yang tergambar

melalui aktivitas sosial dalam kegiatan produktif mereka, ekonomi, pendidikan,

pekerjaan (mata pencaharian), kehadiran posdaya dan karakteristik anggota yang

bergabung di dalamnya, kemudian realitas yang ada pada kegiatan Posdaya yang

dilakukan oleh seluruh anggotanya. Setelah penyajian gambaran umum pada

lokasi penelitian yang dimaksud kemudian peneliti mendeskripsikan praktik

pemberdayaan yang ada di Posdaya pada pembahasan, dimana partisipasi anggota

dalam mengikuti kegiatan pemberdayaan tersebut awalnya cukup tinggi, hal ini
89

dibuktikan dengan keikutsertaan mereka dalam kegiatan posdaya dengan sukarela

dan tanpa paksaan dari pihak manapun, mereka juga selalu aktif dalam mengikuti

pertemuan rutin dan berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam posdaya seperti

kegiatan sosialisasi dan pelatihan dari berbagai pihak luar seperti dari pihak

Universitas, Pemerintahan, Lembaga CSO, dsb. Namun ketika terjadi

permasalahan dalam sistem kelembagaannya kemudian tingkat partisipasi anggota

menjadi menurun.

Dominasi ketua posdaya sebagai expert agent dilakukan dalam pengambilan

keputusan potongan kredit sebesar 20% untuk pendirian koperasi. Posisinya

sebagai ketua menjadikannya sebagai expert agent sehingga hal tersebut menjadi

fasilitas yang membuatnya dapat mempengaruhi keputusan anggotanya.

Hubungan sekema dualitas struktur, secara lebih jelas digambarkan melalui D-S-

L, dimana pembahasan lebih lanjut akan di jelaskan pada bab berikutnya dengan

menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens sebagai unit analisis.

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification)

Penarikan kesimpulan dan verifikasi adalah bagian ketiga dan merupakan

unsur terpenting dalam teknis analisa data pada penelitian kualitatif sebagaimana

model interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Bungin, 2003: 69).

Penarikan kesimpulan ini berubah menjadi kesimpulan akhir yang akurat dan

kredibel karena dalam proses pengumpulan data, peneliti menemukan bukti-bukti

yang kuat, valid, dan konsisten dalam mendukung data-data awal yang dimaksud.

Kesimpulan-kesimpulan yang ada kemudian diverivikasi selama penelitian ini

berrlangsung. Verifikasi ini berupa pemikiran kembali peneliti selama masa

penulisan (penyusunan dan pengolahan data), meninjau ulang catatan-catatan


90

selama masa penelitian (di lapangan), tinjauan kembali dengan seksama dengan

menukar pemikiran dengan para ahli (pembimbing) untuk mengembangkan

kesepakatan intersubjektif, serta membandingkan temuan data lain yang berkaitan

dengan pemberdayaan pada posdaya di Desa Ngroto.

Dari proses pengumpulan data, peneliti mulai mencatat semua fenomena

yang terjadi dalam pemberdayaan pada posdaya, dan mencari penjelasan terhadap

berbagai fenomena yang muncul dan menjadi penyebab tidak efektifnya kegiatan

pemberdayaan pada posdaya, dengan melihat sebab akibat yang terjadi sesuai

dengan masalah penelitian. Kemudian peneliti memberikan kesimpulan pada bab

akhir yang mampu menjawab rumusan masalah mengenai tidak efektifnya

kegiatan pemberdayaan pada posdaya menggunakan informasi yang didapat

mengenai regularitas dalam pemberdayaan pada posdaya bisa terbentuk sehingga

menjadi suatu praktik sosial. Selanjutnya, kesimpulan secara umum dibahas pada

bab terakhir.

3.8 Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data menjadi sebuah konsep penting dalam melakukan

sebuah penelitian. Karena dalam sebuah penelitian, peneliti tidak cukup jika

hanya memperoleh sebuah gambaran dan hasil penelitian tetapi hasil dari

penelitian tersebut nantinya bisa untuk di pertanggungjawabkan dan di percaya

kepercayaan serta validitasnya. Selain itu, keabsahan data juga harus memenuhi

standart bahwa data atau temuan-temuan penelitian haruslah mampu

mendemostrasikan nilai yang benar, menyediakan dasar agar hal itu mampu

diterapkan, memperbolehkan keputusan luar yang dapat dibuat tentang konsistensi


91

dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan serta keputusan-keputusannya

(Moleong, 2013 ; 321).

Keabsahan data, memiliki beberapa jenis atau bentuk. Salah satunya yakni

model triangulasi. Triangulasi merupakan keabsahan data dengan menggunakan

berbagai sumber, cara atau teknik, dan waktu. Pengertian dari triangulasi sendiri

adalah sebuah teknik keabsahaan data dengan cara memeriksa keabsahaan data

yang memanfaatkan sesuatu yang lain, dengan cara membandingkan data yang

sudah diperoleh untuk kemudian mengeceknya. Menurut Moleong (1989 : 30),

triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu

yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan, atau sebagai pembanding

terhadap data itu. Denzin (dalam Moleong, 2013) menjelaskan bahwa ada empat

macam model triangulasi yakni:

1. Triangulasi Sumber

2. Triangulasi Metode

3. Triangulasi Penyidik

4. Triangulasi Teori

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model triangulasi sumber.

Menurut Patton (dalam Moloeng 2013;330) Triangulasi sumber adalah triangulasi

dengan cara membandingkan dan mengecek balik kepercayaan suatu informasi

yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.

Triangulasi sumber ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yakni sebagai

berikut:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil

wawancara
92

2. Membandingkan apa yang dikatakan oleh informan di depan

umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang

situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang

waktu

4. Membandingkan keadaan atau pandangan masyarakat seperti

rakyat biasa, orang yang berpendidikan baik menengah ataupun

tinggi, orang berada, maupun orang pemerintahan

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen

yang berkaitan

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan hasil observasi, beberapa

dokumen, dan hasil wawancara dengan 16 informan. Hasil observasi

dibandingkan dengan hasil wawancara. Kemudian hasil wawancara dengan Ketua

Posdaya dibandingkan dengan hasil wawancara dengan anggota Posdaya dengan

latar belakakang atau sub-kelompok yang berbeda. Kemudian, pembacaan

terhadap data monografi Desa Ngroto dibandingkan dengan hasil wawancara

dengan Kepala Desa Ngroto. Selanjutnya peneliti juga membandingkan penelitian

ini dengan penelitian orang lain untuk mengecek keabsahan data yang diperoleh

dari penelitian yang peneliti lakukan. Sebelumnya, peneliti belum menemukan

penelitian terkait dengan pemberdayaan pada posdaya yang terfokus pada praktik

sosial dan menganalisa penyebab tidak efektifnya kegiatan pemberdayaan yang

terjadi di dalamnya.
BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1 Letak Geografis, Sejarah, dan Gambaran Umum Demografis Desa


Ngroto

Secara geografis, Desa Ngroto terletak pada koordinat 7o82'98" LS –

7o85'23" LS dan 112o44'65" BT – 112o47'23" BT. Dimana berdasarkan

topografinya desa ini berada pada ketinggian 1.144 Mdl atau 1.144 M dari atas

permukaan air laut, memiliki curah hujan 100-200 mm pertahun, kelembaban

antara 60% - 70% suhu rata-rata harian 19-25 derajat celcius. Secara administratif,

Desa Ngroto terletak di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa

Timur. Desa Ngroto sendiri mempunyai 3 dusun yang terbagi menjadi Dusun

Krajan, Dusun Maron, dan Dusun Lebaksari. Dengan terbaginya menjadi tiga

dusun tersebut, Desa Ngroto memiliki 14 Rukun Warga (RW) dan 33 Rukun

Tetangga (RT), dengan rincian Dusun Krajan terdiri dari 12 RW dan 28 RT,

Dusun Maron terdiri dari 1 RW dan 2 RT, Dusun Lebaksari terdiri dari 1 RW dan

3 RT. Sedangkan batas-batas wilayah Desa Ngroto secara umum dengan rincian

sebagai berikut:

1) Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Madiredo dan Desa

Wiyurejho, Kecamatan Pujon

2) Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Ngabab dan Desa

Tawangsari, Kecamatan Pujon

3) Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Desa Sukomulyo, Pujon Kidul,

Kecamatan Pujon

4) Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Pandensari, Pujon Lor,

Kecamatan Pujon

93
94

Adapun luas wilayah Desa Ngroto adalah + 328,384 ha , yang menurut


penggunannya terdiri dari:
Tabel 4. Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan
URAIAN LUAS + Ha

Pemukiman 9,60

Persawahan 133,913

Perkebunan 11

Kuburan/Makam 0,983

Pekarangan 155,844

Perkantoran 0,663

Prasarana Umum lainnya 16,381

Total Luas Wilayah 328,384

Sumber : Data Monografi Desa Ngroto, (2016)

Grafik 1. Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan

Luas

0%5%3% Pemukiman
Persawahan
41% Perkebunan
48% Kuburan
Pekarangan
3%
0% Perkantoran
Prasarana Umum Lainya

Sumber : Data Monografi Desa Ngroto, (2016)


95

Gambar 3. Peta Wilayah Desa Ngroto

Sumber: Data Monografi Desa Ngroto, (2016)


96

Jika melihat sejarah awal mula terbentuknya Desa Ngroto, diawali oleh

datangnya salah satu orang pertama sebagai leluhur pendiri desa yang membuka

lahan atau yang dalam istilah jawa disebut babat alas yang datang ke Desa

Ngroto. Orang pertama tersebut datang dari daerah Pacitan + pada tahun 1830.

Dimana konon beliau masih ada hubungannya sebagai tantama almarhum

Pangeran Diponegoro yang bernama Truno Dipo (beliau menyamar sebagai

penduduk biasa). Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya punden yang letaknnya

berada kurang dari 0,5 km dari desa pada sebelah utara. Dahulu di tanah komplek

punden kenduruhan banyak orang yang menemukan barang-barang kuno seperti

Bendo, Guci, Tumbak, dan sebagainya. Istilah Desa Ngroto sendiri berasal dari

Puncak yang roto atau rata yang lama kelamaan menjai istilah “DESA

NGROTO” yang berarti tanah yang berada di padan merata. Dimana desa ini

menjadi jalur poros atau pos lalu lintas antara Batu dan Ngantang dan sebaliknya

(guna istirahat).

Selanjutnya, di era penjajahan Belanda, Pemerintah VOC (Vereenigde

Oostindische Compagnie) datang ke wilayah Desa Ngroto untuk menjadikan desa

tersebut sebagai tempat pengembangan proyek tanaman kopi, karena mengingat

wilayahnya yang berada di dataran tinggi yang memiliki tanah yang cukup subur

dan berpotensi untuk menghasilkan produk pertanian yang baik. Sejak saat itu,

banyak para pendatang di Desa Ngroto yang berasal dari luar daerah seperti

Bagelen, Pekalongan, Madura, Magelang, dan Pati yang mulai berdatangan ke

Desa Ngroto. Mereka menggabungkan diri pada Pak Truno Dipo, untuk membuka

tanah guna pertanian dan penanaman kopi yang jumlahnya ada 15 rumah

berbentuk gubug-gubug. Dan karena Pak Truno Dipo pada saat itu telah
97

memenuhi syarat-syarat ukuran, maka di angkatlah beliau menjadi Kepala Desa

dan kemudian memimpin Desa Ngroto.

Gambaran umum demografis perkembangan Desa Ngroto pada tahun

2015, memiliki jumlah penduduk yang cukup besar yakni sekitar 6.600 jiwa yang

terdiri dari 1.909 KK (Kepala Keluarga). Dimana pembagian jenis rasio penduduk

berjumlah sekitar 3.368 penduduk laki-laki, dan 3.232 penduduk perempuan.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur


Uraian Jumlah Penduduk
Laki - Laki Perempuan
0–5 204 157
06 -12 399 371
13 – 18 307 306
19 – 30 687 668
31 – 50 1060 1040
51 –60 393 384
61 – 75 268 231
75 Keatas 50 75
JUMLAH 3368 3232
Sumber : Data Monografi Desa Ngroto, (2016)

Grafik 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur

1200
1000
800
600
400 LAKI - LAKI
200 PEREMPUAN
0

Sumber : Data Monografi Desa Ngroto, (2016)

Masyarakat di Desa Ngroto hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Karakteristik masyarakatnya juga sangat majemuk karena bidang


98

perekonomiannya memiliki corak yang sangat bervariasi. Mengingat Desa Ngroto

termasuk desa yang berada pada kawasan agro pertanian dan wisata budaya.

Sehingga masyarakatnya ada yang berprofesi sebagai petani, peternak, dan

pedagang karena sebagian besar warganya merupakan pelaku usaha dengan usaha

yang sesuai dengan skill atau kemampuan yang dimiliki. Banyak masyarakat desa

ini yang menjadi pelaku usaha di kawasan wisata baik di pusat oleh-oleh Dewi sri,

maupun di tempat wisata di Batu dan sekitarnya. Selain itu sebelum menjadi

kawasan agro, Desa Ngroto terkenal dengan desa yang memiliki kultur budaya

dengan berbagai seni seperti seni kuda lumping, bantengan, pencak silat,

ganongan, dan sholawatan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kepala Desa

dalam wawancara berikut:

“Karakteristik masyarakatnya sangat majemuk sekali jadi semuanya itu cukup


damai, rukun, terus kalau dibidang perekonomiannya ini coraknya bervariasi,
kanDesa Ngroto masuk agro wisata budaya ya jadi masyarakatnya ada yang petani,
peternak, pedagang, sebagian ada juga yang pegawai, kalau yang di dewi sri itu
sebagian besar pelaku usahanya ya warga Desa Ngroto.. Kalau potensi ini di agro
dan budaya, kalau agro mungkin dibidang pertanian Desa Ngroto ini terkenal
dengan sentra pembibitan dan hasil sayuran, jadi banyak orang-orang dari luar
daerah itu yang mengambil pembibitan di Desa Ngroto ini. sebelum agro Desa
Ngroto ini terkenal dengan desa yang memiliki kultur budaya karena hampir semua
seni ada di Desa Desa Ngroto ini seperti seni kuda lumping, bantengan, pencak
silat, bahkan di batu dulu pernah ada parade 1000 banteng itu pencetusnya ya
dariDesa Ngroto ini Desa Ngroto joyo, terus ada ganongan, budaya etnik ya,
sholawat ini macem-macem”(Wawancara dengan Pak Lurah Budi, KepalaDesa
Ngroto, pada tanggal 06 Juni 2017).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, menunjukkan bahwa Desa Ngroto

merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam dan budaya yang patut

untuk terus dilestarikan untuk keberlangsungan hidup masyarakatnya.

4.2 Potensi Sumber Daya Alam dan Mata Pencaharian Penduduk di Desa
Ngroto

Berdasarkan letak geografisnya, Desa Ngroto yang berada di daerah

pegunungan atau dataran tinggi menjadikan desa tersebut sebagai desa pertanian
99

holtikultura, karena faktor besarnya potensi pertanian dan perkebunan maka

banyak penduduk di Desa Ngroto yang menanam berbagai macam sayuran, bibit,

dan hasil pertanian lainnya. Beberapa penduduk Desa Ngroto yang juga ada yang

memelihara hewan ternak seperti sapi dan kambing yang mana hasil susu yang

dihasilkan dari ternak tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi susu murni,

dan yogurt berbagai rasa yang disalurkan ke KOP SAE Pujon dan ada juga yang

diproduksi dalam skala rumah tangga. Namun saat ini banyak masyarakatnya

yang berprofesi sebagai pedagang atau pelaku usaha UMKM. Kebanyakan

mereka yang memiliki usaha ini bergabung menjadi anggota dalam organisasi

Posdaya.

Selain itu Desa Ngroto juga memiliki sumber mata air yang cukup banyak

dan berada ditiap-tiap dusun, sumber mata air tersebut digunakan untuk

memenuhi kebutuhan air masyarakat baik untuk konsumsi, usaha, maupun untuk

irigasi pertanian. Di Desa Ngroto sendiri telah terkenal dengan perkebunan kopi

yang dibangun sejak era penjajahan Belanda yang masih ada hingga saat ini.

Selain itu Desa Ngroto juga terkenal dengan sentra pembibitan sejak tahun 1970-

an, terdapat berbagai macam bibit sayuran yang ditanam oleh masyarakat Desa

Ngroto, dan telah dikenal oleh pelanggan yang berasal dari berbagai daerah

seperti Magetan, Tuban, dan kota-kota lainnya. Bibit yang dihasilkan terdapat

berbagai macam jenis seperti bibit kubis, andewi, sawi daging, slada air, dan

aneka jenis lainnya.

Hasil pertanian dan perkebunan biasanya akan dijual di Pasar Pujon dan

Pasar sayur Mantung. Namun banyak pengepul yang datang membeli untuk

selanjutnya di pasarkan kembali oleh pengepul ke luar daerah Pujon. Potensi


100

pertanian selain dilihat dari aspek geografis juga dipengaruhi oleh luasnya lahan

persawahan sebesar 133,913 ha, pekarangan sebesar 155,844 ha, dan perkebunan

seluas 11 ha, lebih besar dari luas pemukiman yang hanya sebesar 9,60 ha.

Sehingga potensi dan posisi desa ini menyebabkan sebagian warganya berprofesi

atau bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Adapun mata

pencaharian penduduk Desa Ngroto dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Mata Pencaharian Penduduk


JENIS PEKERJAAN L P Total
BELUM/TIDAK BEKERJA 400 350 750
BURUH HARIAN LEPAS 157 77 234
BURUH 70 44 114
TANI/PERKEBUNAN
DOKTER 1 3 4
DOSEN 2 2
GURU 23 44 67
KARYAWAN BUMD 2 2
KARYAWAN BUMN 4 1 5
KARYAWAN HONORER 8 4 12
KARYAWAN SWASTA 296 127 423
KEPOLISIAN RI 5 5
TUKANG 29 29
MEKANIK 5 5
MENGURUS RUMAH 2 903 905
TANGGA
PEDAGANG 65 59 124
PEGAWAI NEGERI SIPIL 30 16 46
PELAJAR/MAHASISWA 796 747 1543
PENSIUNAN 19 11 30
PERANGKAT DESA 6 1 7
PERDAGANGAN 83 89 172
PETANI/PEKEBUN 635 365 1000
PETERNAK 23 23
SOPIR 15 15
TENTARA NASIONAL 6 6
INDONESIA
WIRASWASTA 686 391 1077
Grand Total 3368 3232 6600

Sumber : Data Monografi Desa Ngroto, (2016)


101

Berdasarkan uraian tabel mata pencaharian penduduk diatas, mata

pencaharian penduduk yang paling banyak adalah wiraswasta yang bergerak

dalam sektor perdagangan dan usaha lainnya sebesar 1.077 jiwa kemudian

disektor pertanian dan perkebunan sebesar 1000 jiwa, mengurus rumah tangga

sebesar 905 jiwa, belum atau tidak bekerja sebanyak 750 jiwa. Dari jumlah

tersebut terdapat sekitar 1.655 jumlah kalkulasi pengangguran dan mereka yang

pekerjaannya hanya mengurus rumah tangga dan dapat dikategorikan kurang

produktif. Hal inilah yang kemudian dapat menjadi faktor rendahnya

perekonomian keluarga. Sehingga diperlukan berbagai upaya untuk mengatasi

permasalahan tersebut, seperti kegiatan pemberdayaan pada Posdaya yang dapat

meningkatkan kreativitas, soft skill dan hard skill masyarakatnya sehingga SDM

di Desa Ngroto dapat meningkat, yang kemudian berdampak positif terhadap

pertumbuhan perekonomian di wilayah tersebut.

4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Desa Ngroto

Kondisi sosial masyarakat Desa Ngroto yang hidup secara berdampingan

antara satu sama lain, hidup dengan rukun, damai, dan saling gotong-royong. Hal

ini dibuktikan dengan tingginya tingkat keperdulian antara satu sama lain, saling

bekerja sama, dan gotong royong dalam berbagai kegiatan seperti bersih desa,

bangun desa, maupun dalam kegiatan hajatan, dan slametan yang rutin

dilaksanakan. Adapun agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Desa Ngroto

adalah agama islam, hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa bangunan mushola

dan masjid dilingkungan desa tersebut. Namun untuk sarana dan prasarana sosial

butuh untuk segera dilakukan renovasi dan peningkatan fasilitas baik terhadap
102

gedung sekolah, gedung kesehatan (polindes), masjid, musholla, dsb. Demikian

pula dengan kelengkapan prasarana sekolah.

Kondisi ekonomi Desa Ngroto meliputi potensi unggulan desa yang

berkembang di berbagai sektor antara lain sektor pertanian, perdagangan, sektor

industri kecil / UKM, dan sektor pariwisata. Hal ini terbukti dengan tersedianya

lahan pertanian yang cukup luas, Sub Terminal Agribisnis (STA Mantung) yang

menjadi pusat perdagangan hasil pertanian dan banyaknya usaha-usaha industri

rumahan / UKM. Pertumbuhan ekonomi di Desa Ngroto masih di dominasi oleh

sektor pertanian holtikultura. Sedangkan ternak sapi, home industri, dan

perdagangan hanya sebagian masyarakat yang melaksanakan kegiatan tersebut,

karena memerlukan modal atau pembiayaan yang besar serta harus memiliki

keterampilan yang mempuni. Namun jumlah pedagang dan pengusaha UMKM di

Desa Ngroto saat ini sudah cukup banyak.

Tingkat pendapatan masyarakat belum seutuhnya mencukupi kebutuhan

hidup karena harga barang tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat

mereka serta masih minimnya bekal keterampilan yang dimiliki. Banyak ibu

rumah tangga yang tidak bekerja dan hanya berada di rumah saja atau kurang

produktif. Sehingga kehadiran Posdaya Desa Ngroto sangat bermanfaat untuk

membantu mengatasi permasalahan yang ada di Desa Ngroto seperti kemiskinan,

dan pengangguran, dengan harapan mampu membawa perubahan pada kondisi

sosial ekonomi masyarakat Desa Ngroto.

Selain itu pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang telah

berdiri pada tahun 2016, sangat diperlukan keberadaannya dikarenakan banyak

pelaku-pelaku usaha kecil yang tidak memiliki akses guna penambahan modal
103

kerja. Sehingga hadirnya BUMDES tersebut sangat membantu masyarakat dalam

memberikan pinjaman modal untuk membentuk maupun mengembangkan

usahanya, dan juga bertujuan agar masyarakat dapat terhindar dari renternir atau

bank titil, dan pinjaman bank dengan bunga yang tinggi.

Program pengetasan kemiskinan dari pemerintah seperti Jalin Matra yang

di bentuk untuk mengatasi feminisasi kemiskinan juga telah membantu dalam

mengatasi kemiskinan di Desa tersebut dengan memberikan akses interaksi dan

perlindungan terhadap kepala Rumah Tangga Perempuan (KRTP), memperluas

akses terhadap usaha produktif untuk peningkatan ekonomi dan pendapatan

keluarga, mendorong ketahanan sosial ekonomi rumah tangga untuk memenuhi

kebutuhan hidup dasar. Oleh karena itu melalui program tersebut dan fasilitasi

bantuan modal usaha. Pemerintah Desa Ngroto membantu pemerintah Provinsi

untuk mendorong motivasi berusaha (need for achievment), dan peningkatan

kapasitas kemampuan life skill melalui pembedayaan untuk meningkatkan

kapasitas mereka.

4.3.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Desa Ngroto

Selanjutnya terkait tingkat pendidikan penduduk Desa Ngroto, umumnya

mereka menempuh pendidikan hanya sampai tingkat SD/sederajat. Rendahnya

tingkat pendidikan ini lah yang kemudian berdampak pada mata pencaharian

penduduk setempat. Karena umumnya penduduk yang berpendidikan rendah

hanya berprofesi sebagai petani, peternak, pedagang ibu rumah tangga, bahkan

ada juga yang menganggur. Sedangkan mereka yang berpendidikan tinggi

berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) baik sebagai guru, perangkat desa,
104

atau bekerja sebagai karyawan swasta. Adapun tingkat pendidikan masyarakat di

Desa Ngroto dapat dilihat seperti tampak pada tabel berikut:

Tabel 7. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Ngroto


Jenjang Pendidikan L P Total

Akademi/Diploma III/S. 33 36 69
Muda
Belum Tamat SD/Sederajat 335 324 659

Diploma I/II 9 14 23

Diploma IV/Strata I 101 105 206

SLTA/Sederajat 149 157 306

SLTP/Sederajat 158 149 307

Strata II 8 5 13

Tamat SD/Sederajat 1089 1142 2231

Tamat SLTA/Sederajat 554 446 1000

Tamat SLTP/Sederajat 644 613 1257

Tidak/Belum Sekolah 288 241 529

Grand Total 3.368 3.232 6.600

Sumber : Data MonografiDesa Ngroto, (2016)

Berdasarkan tabel diatas, dapat menunjukkan bahwa tingkat pendidikan

penduduk Desa Ngroto sebagian besar adalah Tamat SD/sederajat sebesar 2.231

jiwa, Tamat SLTP/sederajat sebesar 1.257 jiwa, dan Tamat SLTA sebesar 1.000

Jiwa. Dari angka tersebut, maka dapat disimpulkan bahwasannya tingkat

pendidikan warga Desa Ngroto cukup rendah. Faktor kemiskinan juga menjadi

penghambat tingkat pendidikan dan pekerjaan. Umumnya orang yang

berpendidikan tinggi akan bekerja sebagai PNS, TNI/Polri, dan pegawai

Pemerintahan, sedangkan mereka yang berpendidikan rendah mayoritas hanya

bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan yang pas-pasan.


105

Menurut data PPLS Kabupaten Malang tahun 2011, jumlah penduduk

miskin di Desa Ngroto sebanyak 352 KK, dengan tingkat kesejahteran 10%

terendah/desil 1 yang artinya paling miskin. Sedangkan Kepala Keluarga (KK)

yang diperankan oleh perempuan (ibu-ibu) sebagai Kepala Rumah Tangga

Perempuan (KRTP) dengan tingkat kesejahteraan terendah 10% (desil 1) yaitu

sebanyak 61 KK atau sebesar (17,3%). Banyakya usia produktif yang tidak

melanjutkan sampai ke jenjang SLTA dikarenakan terbentur faktor biaya sehingga

perlu diberikan pelatihan-pelatihan guna mempersiapkan Sumber Daya Manusia

(SDM) yang mempuni agar dapat mengisi peluang usaha yang ada. Hal tersebut

dapat dilakukan salah satunya melalui Posdaya dan berbagai program

pemberdayaan lainnya yang dimiliki oleh desa.

4.3.2 Permasalahan Kemiskinan di Desa Ngroto

Kemiskinan seringkali dimaknai sebagai ketidakmampuan seseorang,

keluarga, atau kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya baik

kebutuhan pangan, maupun non pangan khususnya pendidikan dasar, kesehatan

dasar, perumahan, maupun kebutuhan transportasi. Namun kemiskinan yang

terjadi di Desa Ngroto sendiri adalah kemiskinan yang bersifat relatif, yakni

terkait isu seputar ketimpangan dalam pembagian pendapatan. Meskipun mereka

telah hidup dibawah garis kemiskinan, namun mereka masih berada dibawah

kemampuan rata-rata masyarakat disekitarnya. Permasalahan yang terjadi di Desa

Ngroto sendiri adalah terkait masih banyaknya warga miskin, dan pengangguran

yang di dominasi oleh perempuan.


106

Jika melihat konteks perempuan miskin, selama ini perempuan berada pada

distribusi kekuasaan yang paling rendah dibandingkan laki-laki, akses dan kontrol

perempuan terhadap sumberdaya yang sangat penting untuk menentukan

pendapatan cenderung terbatas. Selama ini banyak perempuan di Desa Ngroto

yang bekerja di sektor domestik atau hanya mengurus rumah tangganya saja,

peran mereka disektor publik cenderung terbatas. Kondisi sosial ekonomi

masyarakat Desa Ngroto sebelumnya tidak begitu berkembang, bahkan masih

masih banyak jumlah keluarga miskin, dan pengangguran.

Keluarga miskin di Desa Ngroto memiliki kondisi yang serba pas-pasan,

terdapat Kepala Rumah Tangga Miskin Perempuan yang berstatus janda maupun

cerai dan harus berjuang sendiri dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Karena

tidak ada peran lelaki dalam keluarganya, sehingga mereka bekerja sendiri untuk

dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Umumnya mereka bekerja

sebagai buruh tani, dan ada juga ibu rumah tangga yang masih bersuami yang

aktivitasnya kurang produktif. Kegiatan mereka sehari-hari hanya mengurus

rumah tangganya, dan mereka hanya mengandalkan gaji suaminya untuk

memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan hanya mengandalkan pendapatan

yang diperoleh suaminya hal tersebut dirasa kurang mampu untuk memenuhi

kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan untuk anak mereka.

Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran berdampak pada rendahnya

pendidikan perempuan di Desa Ngroto. Karena dengan adanya kondisi

perekonomian yang cenderung terbatas dan serba kekurangan membuat mayoritas

perempuan miskin disana berpendidikan rendah atau hanya tamat SD saja, jika

ada yang berpendidikan hingga jenjang SMA jumlahnya hanya sedikit.


107

Kemiskinan yang dihadapi oleh mayoritas rumah tangga di Desa Ngroto membuat

tingkat perekonomian masyarakat disana berada pada kategori menengah

kebawah namun masih berpenghasilan meskipun hidupnya pas-pasan. Masyarakat

miskin yang ada di Desa Ngroto cenderung terpinggirkan dan termarginalkan,

karena mereka kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah Desa dan

masyarakat disekitarnya.

Di ruang publik, kemiskinan perempuan selalu dikaitkan dengan tertutupnya

ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan yang bersifat formal bagi

perempuan. Selama ini program pengetasan kemiskinan kurang memperhatikan

peran serta dari perempuan miskin. Perempuan cenderung ditempatkan sebagai

objek bukan sebagai subjek pembangunan sehingga pembangunan tersebut kurang

mampu memberikan hasil yang signifikan bagi perempuan. Sehingga

tersingkirnya perempuan dari kegiatan pembangunan memunculkan sebuah

wacana pelibatan perempuan dalam berbagai pendekatan pembangunan yang

berhubungan dengan peningkatan peran perempuan dalam pemberdayaan

ekonomi dan politik yang diupayakan melalui pengorganisasian perempuan dalam

sebuah komunitas serta adanya upaya penyadaran hak-hak perempuan dalam

ekonomi women in development dan politik seperti civic education dan vote

education. Sehingga dengan adanya pemberdayaan perempuan melalui posdaya,

telah mampu menekan kemiskinan yang ada di Desa Ngroto, hal ini seperti yang

diungkapkan oleh ketua posdaya dalam wawancara berikut:

“Ya kalau dulu masih banyak orang miskin sekarang saja sudah agak berkurang, ya
namanya orang desa apalagi Desa Ngroto yang letaknya di daerah pegunungan ini
rata-rata masyarakat pendapatannya hanya mengandalkan dari hasil pertanian, kalau
mereka yang nggak punya lahan ya jadi buruh tani yang mungkin penghasilannya
hanya cukup untuk makan saja. Jangankan untuk membeli kebutuhan lain nyari
untuk kebutuhan pokok aja kadang susahnya setengah mati. Mereka-mereka yang
dalam kondisi kurang mampu ini kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan
108

disekitarnya sehingga dulunya mereka hidupnya ya gitu-gitu aja, kan jarang orang
sini dulunya yang berdagang atau punya usaha, sekarang aja ini banyak, dulu banyak
pengangguran utamanya ibu-ibu itu banyak yang nggak produktif karena mereka
hanya mengandalkan gaji suami, kalau mereka yang nda punya suami ya terpaksa
harus bekerja sendiri agar bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya”
(Wawancara dengan Bu Rusmini, Ketua dan koordinator umum POSDAYA, pada
tanggal 31 Mei 2017)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, menunjukkan bahwa dulu di Desa

Ngroto masih banyak terdapat kemiskinan dan pengangguran. Mayoritas mata

pencahariaan mereka hanya sebagai petani dan buruh tani dengan penghasilan

yang pas-pasan dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pengangguran yang ada di Desa Ngroto didominasi oleh ibu-ibu yang tidak

bekerja, kurang memiliki kegiatan yang produktif, dan hanya mengandalkan

penghasilan dari suami mereka. Sehingga berangkat dari permasalahan tersebut

Posdaya hadir untuk membantu masyarakat dalam mengurangi permasalahan

tersebut.

Sebagian dari perempuan yang ada di Desa Ngroto memiliki keterampilan

seperti menjahit, merajut, memasak, dan menanam bibit. Bahkan sebelum ada

Posdaya beberapa dari mereka sudah memiliki usaha kecil-kecilan seperti usaha

pembibitan, usaha menjahit, menerima catering, dsb meskipun dalam skala kecil

dan jumlahnya hanya beberapa. Namun banyak juga perempuan miskin di Desa

Ngroto yang sebelumnya kurang memiliki keterampilan dan tidak memiliki modal

untuk usaha sehingga setelah bergabung ke Posdaya dan melalui proses

penyadaran melalui pelatihan dan sosialisasi yang mana melalui proses tersebut

mereka dapat memulai sebuah usaha yang sesuai dengan minat (passion) dan

keterampilan mereka.

Berdasarkan data dilapangan terdapat sekitar 498 Kepala Rumah Tangga

Miskin di Desa Ngroto yang terdiri dari ibu rumah tangga tunggal atau janda, dan
109

yang masih bersuami. Yang mana awalnya mereka berada pada kemiskinan di

tingkat desil 1, namun saat ini naik di desil 2 dan 3. Perubahan tersebut karena

adanya program pengetasan kemiskinan untuk masyarakat Desa Ngroto seperti

Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) yang dibentuk sendiri oleh masyarakat

Desa Ngroto, di tunjang dengan program-program pemberdayaan lain dari

pemerintah desa seperti program Jalin Matra (Jalan Lain Menuju Mandiri dan

Sejahtera) yang mana program tersebut merupakan Program Pemerintah Provinsi

Jawa Timur dalam penanggulangan feminisasi kemiskinan yang memberikan

bantuan pinjaman modal usaha melalui BUMDES Ageng kepada masyarakat. Hal

tersebut sesuai yang diungkapkan oleh Kepala Desa dalam wawancara berikut:

“Ada sekitar 498 kepala rumah tangga miskin itu termasuk janda sama yang masih
bersuami, la itu kami punya program melalui Posdaya bentukan Bu Rusmini dan
Jalin Matra yang programnya dari pak gubernur, yang melalui BUMDES, sehingga
kami punya simpan pinjam yang dipinjamkan khusus RTSM (Rumah Tangga Syarat
Miskin) yang mana nanti kita bantu, biar usaha, nanti pinjamnya sistemnya
perkelompok, dari data 498 itu sekarang sudah 9 kelompok yang sudah terdanai biar
usahnya jalan melalui BUMDES kami, jadi dari RTSM yang awalnya berada di desil
1 sekarang bisa naik di desil 2 dan 3” (Wawancara dengan Pak Lurah Budi, Kepala
Desa Ngroto, pada tanggal 06 Juni 2017)

Sehingga, berdasarkan hal tersebut terdapat perubahan yang cukup signifikan

setelah hadirnya Posdaya pada tahun 2013 sebagai salah satu yang utama. Dimana

Posdaya berperan sebagai struktur sosial yang dibentuk untuk mengorganisasikan

kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa Ngroto, khususnya mereka yang

berstatus perempuan kepala rumah tangga miskin, dan ibu rumah tangga

pengangguran yang kurang produktif. Keberadaan Posdaya telah mampu

membuat mereka menjadi berdaya, sehingga mereka bisa mandiri dalam

mengelola sumberdaya yang ada disekitarnya sehingga aktivitas mereka menjadi

produktif.
110

Kemudian, disusul dengan hadirnya program lain dari pemerintah desa diawal

tahun 2016 seperti Jalin Matra, BUMDES, ditunjang dengan adanya program-

program lainnya seperti UP2K/ ibu-ibu PKK, KUBE (Kelompok Usaha Bersama),

dan program lain dari pemerintah desa yang mampu mengurangi Rumah Tangga

Miskin yang awalnya berada di desil 1 dengan tingkat kesejahteraan 10% atau

terendah, sekarang mampu naik ke desil 2 dan desil 3 dengan tingkat

kesejahteraan masing-masing sebesar 20% dan 30%.

Sejalan dengan pendapat Giddens mengenai agensi, hambatan dapat memicu

sesorang untuk melakukan tindakan. Dalam hal ini kemiskinan awalnya menjadi

sebuah hambatan yang di alami oleh sebagian perempuan di Desa Ngroto.

Namun, dengan adanya agen yang menginisiasi dibentuknya Posdaya sehingga

perempuan miskin di Desa Ngroto semakin memiliki bekal pengetahuan dan

pengalaman yang dapat dari Posdaya di terapkan pada kegiatan pemberdayaan

dari pemerintah desa. Dengan proses yang seperti inilah kemiskinan di Desa

Ngroto semakin berkurang.

4.3.3 Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Desa Ngroto

Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Desa Ngroto mulai tahun

2014 hingga tahun 2019 akan menitik beratkan dan memprioritaskan pada

kebutuhan masyarakat. Berdasarkan musyswarah desa (Musrengbangdes) yang

telah dilakukan, telah disusun usulan kegiatan prioritas yang kemudian dirangkum

oleh tim penyusun RPJM Desa dimana terdapat beberapa potensi desa dan

permasalahan-permasalahan yang menjadi kendalanya. Jika melihat kondisi

geografis maupun sumber daya yang ada di Desa Ngroto, sangat berpotensi untuk

pengembangan argowisata/agribisnis pedesaan serta usaha-usaha yang lain yang


111

berbasis sektor pertanian. Namun untuk mengaktualisasikan hal tersebut, terdapat

permasalahan atau kendala antara lain yakni, besarnya biaya atau investasi,

terbatasnya sumberdaya manusia, masih banyaknya warga miskin, serta kurang

memadainya infrastruktur yang ada, khususnya jalan usaha tani, jaringan irigasi,

serta sarana-sarana yang lain.

Selain itu, pembangunan disegala bidang yang terkait dengan persoalan-

persoalan yang dihadapi oleh masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa adanya

strategi yang tepat sehingga mampu mengatasi masalah yang ada sampai ke

akarnya. Dengan pengalaman masa lalu yang mengunakan pola perencanaan yang

bersifat top down, ternyata tidak bisa langsung mengena pada sasaran yang tepat,

karena masyarakat hanya sebagai sasaran penerima manfaat atau obyek tidak

pernah dilibatkan dalam proses perencanaannya. Dan pembangunan yang sedang

digarap oleh pemerintah terkait belum mampu menyentuh pada permasalahan

yang riil terjadi. Sehingga kemudian perencanaan diubah ke arah bottom up,

dimana masyarakat sebagai pihak yang paling merasakan dampak persoalan

sekaligus sasaran pemanfaat, akan dilibatkan dan dijadikan sebagai subyek yang

akan berpartisipasi dalam proses penggalian gagasan, hingga pengambilan

keputusan serta dalam pelaksanaannya.

Pembentukan RPJMDes dibangun dengan pola MMDD (Menggagas Masa

Depan Desa) melalui strategi PRA (Participatory Rural Appraisal) atau

perencanaan partisipatif, yang mana melalui strategi ini masyarakat akan terus

didorong partisipasinya secara aktif dengan prinsip-prinsip transparansi dan

akuntabilitas dalam menjalankan proses perencanaan ini. Sehingga dari berbagai

permasalahan di Desa Ngroto, pemerintah desa telah berusaha untuk dapat


112

membuat masyarakat mandiri melalui usaha pemberdayaan yang efektif sehingga

diharapkan mereka akan mampu mengatasi permasalahannya secara mandiri dan

berkelanjutan. Usaha pemberdayaan masyarakat dimulai dengan mengenal potensi

atau sumberdaya yang mereka miliki kemudian hal tersebut akan mampu

membantu mereka mengaktualisasikan seluruh kemampuan dan potensi mereka

secara maksimal melalui berbagai kegiatan positif seperti bidang usaha produktif.

Adapun sumber pendapatan desa berasal dari Pendapatan Asli Desa

(PAD), Transfer dari Pemerintah Pusat (DD) dan Transfer dari Pemerintah Daerah

(ADD dan BHP), yang penggunaannya telah dialokasikan untuk pembangunan

desa seperti pembangunan jalan dan drainase, pembinaan kemasyarakatan

dibidang kesenian, keagamaan, dan bantuan operasional PAUD, Pemberdayaan

masyarakat seperti pemberdayaan perempuan, dan penyertaan modal desa ke

BUMDES Ageng yang saat ini digunakan sebagai tempat penyedia pupuk dan

benih untuk masyarakat Desa Ngroto, serta penyedia pinjaman modal usaha.

Selain itu pihak desa juga memiliki program UP2KPKK / UPKU yang dijalankan

oleh ibu-ibu PKK dimana terdapat koperasi simpan pinjam untuk modal usaha

dan memiliki berbagai kegiatan untuk para ibu-ibu. Selain itu juga terdapat

program Jalin Matra yang dikhususkan untuk memberdayakan RTSM (Rumah

Tangga Syarat Miskin).

4.4 Kehadiran Program Pemberdayaan Posdaya di Desa Ngroto

Posdaya merupakan suatu forum komunikasi, silaturahmi, advokasi,

penerangan, dan pendidikan, yang sekaligus menjadi wadah kegiatan penguatan

fungsi keluarga secara terpadu. Posdaya dapat dikembangkan sebagai wadah

pelayanan keluarga secara terpadu, seperti pelayanan dalam bidang kesehatan,


113

pendidikan, wirausaha, serta pengembangan lingkungan yang memudahkan

keluarga berkembang secara mandiri. Hadirnya Posdaya di Desa Ngroto sangat

membantu untuk menampung kreatifitas dan mengembangkan soft skill dan hard

skill yang dimiliki oleh masyarakat. Sehingga dalam konteks pemberdayaan

masyarakat, Posdaya merupakan agen penggerak yang mengarahkan anggota

Posdaya menyadari akan penguatan kapasitas diri mereka.

Posdaya Desa Ngroto dibentuk pada bulan Juli 2013. Pembentukan ini

digagas oleh Bu Rusmini, selaku kordinator atau ketua Posdaya sampai saat ini,

dan disahkan langsung oleh Kepala Desa Ngroto Pak Lurah Budi yang telah

mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk membentuk POSDAYA (Pos

Pemberdayaan Keluarga). Secara umum Posdaya ini berusaha untuk membantu

pemerintah dalam mengetaskan kemiskinan di Indonesia, khususnya di wilayah

Desa Ngroto sendiri, dengan melakukan pemberdayaan keluarga baik dalam segi

kewirausahaan, pendidikan, maupun yang lainnya.

Sejak awal berdiri, Posdaya Desa Ngroto belum memiliki wadah yang

mampu menampung kreativitas dan minat bagi anggotanya. Namun setelah

adanya kunjungan dari pihak LPPM UB, Posdaya Desa Ngroto resmi terbentuk

dan berada dibawah binaan mereka. Sasaran utama Posdaya adalah ibu-ibu rumah

tangga yang memiliki banyak waktu luang agar mereka dapat menjadi ibu-ibu

produktif dan mampu menopang kemandirian ekonomi keluarganya.

Pengelompokan Posdaya sendiri berdasarkan pada interset atau minat masing-

masing ibu rumah tangga, yang mana mereka sendiri yang menentukan

keanggotaan kelompok sesuai dengan potensi atau kapasitas yang mereka miliki.
114

Posdaya sendiri memiliki visi dan misi yang dapat dijadikan patokan

berjalannya program Posdaya. Adapun visinya adalah “mewadahi potensi

masyarakat dan turut serta meningkatkan kesejahteraan demi mewujudkan

keluarga yang mandiri”. Sedangkan misinya adalah, a) Pembinaan karakter

terhadap permasalahan lingkungan keluarga dan pergaulan bebas bagi generasi

muda bangsa, b) Menciptakan pola pikir masyarakat yang berdaya saing tinggi

dalam pengolahan sumber daya alam serta pelestarian lingkungan hidup, c)

Menanamkan pemahaman pentingnya usaha keluarga yang kreatif, mandiri, dan

dinamis, d) Menjalin kerjasama antara masyarakat dan pemerintah desa dalam

upaya meningkatkan taraf hidup bersama melalui unit usaha mikro dalam

pemberdayaan ekonomi keluarga, e) Mewujudkan ketersediaan infrastruktur

kebutuhan dasar masyarakat, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan.

Melalui visi-misi tersebut dalam kegiatan pemberdayaan pada Posdaya ini

diharapkan dimasa mendatang nantinya masyarakat dapat turut aktif dalam setiap

kegiatan yang ada, terutama di tingkat RT, dusun, hingga desa. Hal ini lah yang

kemudian dapat membuat setiap aktivitas bersama akan semakin mudah serta

membuat masyarakat lebih mandiri. Tujuan utama pemberdayaan yang dilakukan

melalui Posdaya adalah untuk meningkatkan kondisi perekonomian keluarga.

Adapun sasaran dari program Posdaya ini adalah para ibu rumah tangga miskin

dikarenakan sebagian besar ibu rumah tangga di Desa Ngroto tidak mempunyai

aktifitas lain untuk menunjang pendapatan keluarga mereka. Untuk

mempermudah koordinasi di dalam kelompok dibentuklah sub-kelompok yang

dibagi berdasarkan spesifikasi usaha dan ketrampilan yang dimiliki oleh para ibu
115

rumah tanggga disana, berikut ini adalah struktur pengurus dan pembagian

kelompok berdasarkan spesifikasi usaha dan ketrampilan di PosdayaDesa Ngroto:

Bagan 3. Struktur Organisasi Posdaya

Sumber: Olah Data Peneliti, (2017)

Berdasarkan gambar struktur lembaga Posdaya diatas, Posdaya dilindung oleh

Pemerintah Desa, dibina oleh Universitas Brawijaya, diketuai oleh penggagas

terbentuknya Posdaya yakni Bu Rusmini, sekretaris Bu Nunik, dan bendahara Bu

Siti. Sedangkan kelompok-kelompok dalam Posdaya terdapat 9 jenis kelompok

yang kemudian terbagi kedalam 18 sub-kelompok. Pengelompokan tersebut

dilakukan berdasarkan minat, dan bakat dari masing-masing anggota kelompok.

Dari 9 jenis kelompok tersebut bergerak dalam berbagai bidang usaha,

diantaranya sebagai berikut:


116

1. Kelompok Makaryo Bersama : Kelompok Posdaya yang kegiatannya

berupa usaha pembibitan sayur

2. Kelompok Griya Rajut : Kelompok yang memiliki usaha produk rajutan

3. Kelompok Sarinah Creative : Kelompok yang bergerak di pembuatan

makanan.

4. Kelompok Seger Waras : Kelompok yang bergerak dalam bidang

pembuatan jamu TOGA

5. Kelompok Maju Jaya : Kelompok yang bergerak dibidang usaha toko

peracangan

6. Kelompok Srikandi Collection : Kelompok yang bergerak di pembuatan

baju konveksi (menjahit)

7. Kelompok Tahu Sehat : Kelompok yang bergerak untuk membuat tahu

dengan berbagai macam rasa sayuran

8. Kelompok Gemah Ripah : Kelompok yang anggotanya memiliki kegiatan

berupa usaha hasil produk pertanian

9. Kelompok PAUD : Bergerak dalam bidang pendidikan anak usia dini

Dari masing-masing sub-kelompok pemberdayaan yang telah disebutkan

diatas, masing-masing memiliki kader yang diangkat sebagai ketua sub-kelompok.

Ketua-ketua dalam sub-kelompok ini bertanggungjawab mengatur kelompoknya.

Biasanya tiap ketua kelompok juga mewakili anggotanya apabila ada kegiatan

yang diadakan oleh koordinator umum seperti adanya kegiatan penyuluhan dari

instansi pemerintah maupun kegiatan pertemuan rutin yang dilaksanakan sendiri

oleh Posdaya di Desa Ngroto. Koordinator umum pernah mencoba melibatkan

seluruh anggota Posdaya dalam acar tersebut. Namun hal tersebut dirasa kurang
117

efektif karena tidak semua anggota Posdaya memiliki waktu untuk menghadiri

kegiatan tersebut, karena sebagian besar dari mereka sibuk beraktivitas mencari

nafkah untuk keluarganya. Sehingga ketua koordinator umum Posdaya hanya

memanggil ketua dari masing-masing sub kelompok jika ada kegiatan di Posdaya.

Selanjutnya ketua sub-kelompok tersebut diharapkan akan menyampaikan

informasi dan kegiatan yang diperoleh kepada anggotanya.

Dalam setiap organisasi atau lembaga kemasyarakatan pasti memiliki

norma atau aturan yang harus dipatuhi oleh anggotanya. Aturan yang ada pada

Posdaya ada yang tertulis dan tidak tertulis. Aturan yang tertulis berupa Surat

Keputusan (SK) yang dilegalkan oleh KepalaDesa Ngroto, yang mana didalamnya

terdapat aturan bahwa anggota yang telah terdaftar dalam Posdaya akan tetap

menjadi anggota Posdaya seumur hidupnya, kecuali jika dia telah meninggal

dunia. Dalam daftar buku anggota kelompok Pos Pemberdayaan Keluarga

(Posdaya) juga telah tercatat siapa-siapa saja anggotanya. Sedangkan aturan yang

tidak tertulis dalam organisasi Posdaya ini berupa norma dan aturan berupa

teguran secara moral yang hanya secara insidental atau hanya dilakukan pada

kesempatan tertentu saja, tidak secara tetap dan rutin, dimana aturannya berupa

sebuah kesepakatan bersama seperti contoh jika ada pertemuan rutin dalam

Posdaya secara umum, seluruh ketua sub-kelompok wajib hadir, dan jika

berhalangan hadir maka harus diwakilkan oleh anggotanya.

Karena pendirian Posdaya ini tidak berbadan hukum, dan hanya

menggunakan SK (Surat Keputusan) dari Kepala Desa setempat. Peraturannya

sampai saat ini tidak ada perubahan, legalitasnya tetap dibawah naungan desa

yang bertugas mengawasi. Dan bagi anggota Posdaya yang sudah terdaftar
118

melalui SK Posdaya, maka seumur hidupnya posisinya adalah sebagai anggota

dalam Posdaya, kecuali pihaknya telah meninggal dunia.

Posdaya juga dibina oleh Universitas Brawijaya yang ikut dalam rintisan

Posdaya, dan sampai saat ini Universitas Brawijaya berperan sebagai pembina

sekaligus penyalur bantuan untuk kelompok Posdaya. Selain itu Posdaya ini

basicnya adalah BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional),

sehingga informasi terkait pendirian Posdaya didapatkan penggagas terbentuknya

Posdaya melalui badan tersebut. Untuk perubahan peraturan sampai saat ini belum

ada, jika pun ada maka pihak Universitas Brawijaya sebagai pembina akan

menyampaikan, karena pihak Universitas memiliki akses secara langsung dengan

BKKBN. Dan untuk sanksi bagi yang melanggar aturan hanyalah sanksi moral

saja seperti pernyataan yang diungkapkan oleh Bu Rusmini selaku ketua dan

koordinator umum Posdaya:

“Ya sanksi moral aja ya, mereka tanpa kita beri sanksi juga akan takut dengan
sendirinya. Orang mau gabung berkelompok itu aja sudah bagus. Dipedesaan itu
nggakdiberi sanksi aja sudah ewuh pakewuh kadang-kadang kalau berpapasan
dengan saya itu menyimpang, kadang yang ndableg-ndableg itu berpapasan
dengan saya ya ketuawa dari jauh “waduh rek ono mbak kanthi ono mbak
kanthi...” kalau ada kendala maslaah uang ya gitu menghindar, susah membuat
orang punya tanggung jawab moral itu nggak gampang” (Wawancara dengan Bu
Rusmini, Ketua dan koordinator umum Posdaya pada tanggal 31 Mei 2017)

Menurut keterangan Bu Rusmini sebagai Ketua dan Koordinator Umum

Posdaya. Jika terdapat anggota yang melanggar aturan akan diberikan sanksi

moral saja. Bahkan Bu Rusmini mengatakan bahwa ada atau tidak adanya sanksi,

anggota Posdaya yang yang basicnya sebagai orang desa akan merasa ewuh-

pakewuh atau merasa sungkan dengan sendirinya. Karena menurut Emile

Durkheim, solidaritas masyarakat desa umumnya masih berpola mekanik. Yang

mana hubungan masyarakat selama ini terjalin dengan akrab dan didasari oleh
119

rasa kekeluargaan. Umumnya masyarakat desa masih memiliki kesadaran kolektif

yang tinggi dan masih menerapkan sistem gotong-royong tanpa ada pembagian

kerja diantara anggota kelompoknya. Begitupun dengan masyarakat Desa Ngroto

yang tergabung dalam kelompok Posdaya yang menerapkan sistem demikian.

4.4.1 Karakteristik Anggota yang Tergabung dalam Posdaya

Anggota yang tergabung dalam Posdaya di Desa Ngroto rata-rata memiliki

usia yang produktif antara 30 hingga 70 tahun, yang mana mereka sudah

berkeluarga dan memiliki banyak waktu luang agar menjadi lebih produktif dan

lebih mandiri dan juga karena mereka merasa butuh untuk mengikuti Posdaya

guna meningkatkan perekonomian yang ada dikeluarganya. Anggota posdya

terdapat sekitar kurang lebih 200 anggota, yang terbagi kedalam 18 kelompok

diantaranya kelompok Sarinah Creative I dan II, Kelompok Makaryo Bersama I

dan II, Kelompok Rajut I dan II, Kelompok Seger Waras I dan II, Kelompok

Srikandi Collection I dan II, Kelompok Gemah Ripah I dan II, Kelompok Tahu

Sehat I, II, dan III, Kelompok Maju Jaya I dan II, dan Kelompok PAUD yang

mana masing-masing kelompok terdapat sekitar 10-25 anggota.

Adapun karakteristik anggota yang tergabung dalam Posdaya rata-rata

miskin dan dapat dikategorikan memiliki kondisi perekonomian yang pas-pasan

atau menengah kebawah namun masih berpenghasilan namun ada juga yang

kondisi perekonomiannya menengah keatas atau bisa dikatakan mampu, hal ini

dapat dilihat dari bangunan rumah yang sudah cukup layak serta usahanya yang

sudah mapan dan memiliki penghasilan yang cukup. Mayoritas anggota kelompok

Posdaya adalah perempuan yang terdapat di semua kelompok, namun terdapat 1

kelompok yang mayoritas anggotanya adalah laki-laki yakni kelompok Gemah


120

Ripah yang bergerak dalam usaha pengepul sayur dari para petani untuk

kemudian dijual kembali (supplier).

Anggota yang tergabung dalam Posdaya memiliki berbagai macam status

mulai dari janda atau kepala rumah tangga tunggal karena cerai mati maupun cerai

hidup sehingga harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi

keluarganya dimana jumlahnya terdapat sekitar 30%, kemudian ibu rumah tangga

yang masih memiliki suami namun kegiatannya kurang produktif sehingga

bergabung ke Posdaya dengan tujuan ingin memanfaatkan keterampilan mereka

dan membantu memenuhi kebutuhan perekonomian keluarganya, karena saat ini

peran perempuan tidak hanya sebagai pendamping suami namun juga membantu

suami untuk memperoleh income tambahan, dimana yang dalam kategori ini

anggotanya terdapat sekitar 60%. Selain itu dalam anggota Posdaya juga terdapat

laki-laki yang jumlahnya sekitar 10%, sebagai kepala rumah tangga yang ingin

meningkatkan pendapatan ekonomi keluarganya melalui Posdaya. Oleh karenanya

Posdaya hadir sebagai sebuah organisasi atau forum yang menjadi wadah

pelayanan keluarga secara terpadu, yang mana utamanya pelayanan dalam

wirausaha dan pengembangan lingkungan yang mana dapat memudahkan

keluarga berkembang secara mandiri. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bu

Rusmini, selaku koordinator umum Posdaya:

“Ya memang rata-rata miskin hidupnya pas-pasan, bisa dikategorikan tingkat


perekonomiannya menengah kebawah tapi masih berpenghasilan,tapi ada juga
anggotanya yang perekonomiannya menengah ke atas ya. Tapi ya
karakteristiknya mereka ada yang kepala rumah tangga tunggal atau janda,
suaminya meninggal, ada yang cerai, ada yang ditinggalkan suami itu sekitar
30%, ada juga mereka yang masih berkelurga dan ingin membantu suaminya
karena penghasilan suaminya pas-pasan makanya mereka ingin membantu
dengan memanfaatkan keterampilan mereka ini dan bergabung di Posdaya la ini
sekitar 60% yang masih berkeluarga. Karena sekarang ini peranan perempuan
kan tidak hanya sebagai pendamping suami tapi juga membantu untuk
121

mendapatkan income tambahan. Dan ada juga laki-laki sebagai kepala rumah
tangga yang ingin meningkatkan taraf hidup keluarganya sekitar 10%, rata-rata
kan begitu. (Wawancara dengan Bu Rusmini, Ketua dan Koordinator umum
Posdaya pada tanggal 31 Mei 2017)

Anggota yang tergabung dalam Posdaya umumnya sudah memiliki

keterampilan, keahlian, dan usaha yang sedang dijalankan meskipun terdapat

anggota yang sebelumnya tidak memiliki keterampilan apapun dan usaha yang

sedang dijalankan, kemudian setelah bergabung dengan Posdaya mereka belajar

bersama-sama dengan anggota yang lain. Di setiap kelompok anggotanya banyak

yang telah memiliki keterampilan yang sesuai dengan bidang dan kemampuan

yang dimilikinya. Seperti keahlian merajut yang dimiliki anggota kelompok Rajut,

keahlian menanam bibit yang dimiliki oleh anggota yang tergabug dalam

kelompok Makaryo Bersama, serta keahlian membuat aneka masakan, dan jajanan

kue kering maupun kue basah yang telah dimiliki anggota Sarinah Creative,

keahlian menjahit yang telah dimiliki oleh anggota kelompok Srikandi Collection,

serta kemampuan berdagang yang dimiliki oleh kelompok Gemah Ripah

(pengepul dan supplier sayur) dan kelompok Maju Jaya (pedagang pracangan),

kelompok Seger Waras yang mempunyai kealian membuat jamu TOGA, dan

kelompok PAUD yang memiliki kemampuan untuk mengajar pendidikan anak

usia dini.

Namun terdapat kelompok yang pembentukannya tidak berdasarkan

keahlian yang dimiliki anggota sebelumnya, yakni kelompok Tahu Sehat, yang

mana anggotanya dulu adalah ibu rumah tangga yang tidak produktif dan tidak

memiliki keahlian yang cukup dalam bidang pembuatan tahu, sehingga

koordinator umum Posdaya memberikan kesempatan kepada anggota tahu sehat

yang terdiri dari 3 kelompok untuk berusaha secara berkelompok dengan belajar
122

membuat tahu sehat menggunakan alat dan mesin pembuat tahu yang dibeli oleh

anggota menggunakan dana kelompok. Dengan harapan nantinya mereka akan

dapat berkembang secara mandiri. Sebelum melakukan praktik membuat tahu

sehat, mereka terlebih dahulu mendapatkan sosialisasi dan pelatihan dari Lembaga

Insan Mandiri. Setelah mendapatkan pelatihan, kemudian mereka menjalankan

usahanya secara mandiri dalam sub-kelompok tersebut. Namun program tersebut

hanya berjalan sekitar 2 tahun saja, karena terdapat kendala dalam produksinya,

terkait minimnya tenaga listrik dan mahalnya biaya produksi yang dimiliki

anggota yang tidak dapat menjangkau mesin pembuat tahu untuk tetap

berproduksi.

4.5 Deskripsi Informan

Pada deskripsi informan berikut ini, peneliti akan mendeskripsikan secara

singkat tokoh yang menjadi informan dalam penelitian ini. Adapun informan

terdiri dari beberapa agen yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan pada

Posdaya di Desa Ngroto seperti ketua atau koordinator umum Posdaya sebagai

informan kunci dan juga informan utama, beberapa ketua dan anggota dari

masing-masing sub-kelompok yang terdiri dari berbagai bidang kegiatan usaha

yang berbeda, serta Kepala Desa sebagai informan tambahan atau informan

pendukung yang telah memberikan pengawasan, dan legalitas berupa SK (Surat

Keputusan) pendirian Posdaya. Berikut ini deskripsi 16 informan yang telah

peneliti wawancarai:

Tabel 8. Deskripsi Informan


No Nama Informan Latar Belakang Informan

1. Rusmini Ibu Rusmini berperan sebagai ketua dan koordinator


(Informan Kunci umum Posdaya dimana beliau juga sebagai agen
123

Sekaligus Informan penggagas terbentuknya Posdaya di Desa Ngroto.


Utama) Beliau lahir di Malang, pada tanggal 18 Januari 1960
dan berusia 57 th. Pendidikan terakhir beliau adalah
SLTA. Namun beliau memiliki berbagai pengalaman
baik dibidang sosial kemasyarakatan dan politik.
Diantaranya yakni beliau pernah menjabat sebagai
anggota DPRD Kabupaten malang Fraksi PDIP pada
tahun 1992-1997, selanjutnya pada tahun 1986 sampai
tahun 2003 beliau menjadi pengurus cabang DPC
PDIP, Beliau juga pernah menjadi Kadiun UMKM, dan
pernah memegang Kelompok Koperasi Margo Mulyo
di Desa Ngroto, selain itu beliau juga berperan aktif
dalam berbagai kegiatan sosial lainnya. Hal inilah yang
membuat beliau memiliki banyak jaringan dan kolega
dari berbagai kalangan. Sehingga beliau bisa menjalin
relasi dan kerjasama dengan pihak luar yang mampu
memberikan akses bantuan pada anggota Posdaya.
Baik berupa sosialisasi dan pelatihan, bantuan
pinjaman modal usaha maupun alat produksi.
Karakteristik kepribadian beliau, sangat humoris dan
memiliki motivasi dan semangat yang tinggi, serta
perduli terhadap sesama.
2. Mia Ibu Mia merupakan ketua kelompok Griya Rajut,
(Informan Utama) Beliau lahir pada tanggal 10 November 1972, dan kini
berusia 45 tahun. Beliau memiliki riwayat pendidikan
terakhir SLTA dan saat ini kegiatan sehari-hari beliau
membuat handycraft yang berbahan dasar rajut seperti
gantungan kunci, tempat tisue, taplak meja, dsb.Beliau
telah memiliki keterampilan ini sejak masih muda.
Untuk pemasaran produknya beliau biasa memasarkan
di tempat-tempat wisata seperti Jatim Park, tempat
oleh-oleh Dewi sri, dsb. Biasanya jika menerima
orderan banyak dari para konsumen, beliau akan
menawarkan pada anggota rajut lainnya untuk
membantu. Beliau dengan ikhlas menjadi ketua Griya
Rajut hanya untuk memperbaiki ekonomi keluarganya
dan anggota Griya Rajut lainnya. Karakteristik
kepribadian beliau adalah sosok yang supel, tekun,
rajin, dan perduli terhadap sesama. Beliau pernah
mendapatkan bantuan mesin jahit dari universitas
Brawijaya yang dapat menunjang produksi rajutnya.
Mesin jahit ini dugunakan untuk membuat puring.
124

3. Markonah Ibu Markonah merupakan anggota kelompok Griya


(Informan Utama) Rajut, beliau berusia 63 tahun. Pendidikan terakhir
beliau adalah SD. Sebelum tergabung dalam kelompok
rajut di Posdaya beliau bekerja sebagai buruh tani,
setelah ada Posdaya beliau berhenti menjadi buruh tani
dan beralih ke rajut dan memiliki usaha sampingan
sebagai penjual gorengan. Beliau memiliki
keterampilan merajut sejak muda, dan merajut ketika
mendapat orderan saja dari konsumen melalui Ibu Mia
sebagai ketua kelompok rajut. Dalam pengerjaannya
biasanya beliau membuat kaos kaki rajut, taplak meja,
tutup kulkas, dsb. Beliau merupakan pribadi yang
pendiam dan murah senyum.
4. Siti Ibu Siti merupakan ketua kelompok Makaryo Bersama
(Informan Utama) atau pembibitan. Beliau juga sebagai bendahara umum
Posdaya. Saat ini beliau berusia 39 tahun. Riwayat
pendidikan beliau adalah lulusan Diploma 3 (D3).
Dalam kegiatan sehari-harinya beliau bekerja sebagai
petani bibit selama 25 tahun. Bibit yang beliau tanam
bermacam-macam jenisnya, seperti sawi daging,
brokoli, andewi, dsb. Beliau telah memiliki pelanggan
tetap yang bersal dari berbagai daerah seperti magetan,
pasuruan, dsb. Sikap sebagai seorang leader sangat
tampak pada bu Siti, beliau mampu menggerakkan
anggotanya dan menjaga kebersamaan anggota
Makaryo Bersama, antar anggota juga saling perduli
antara satu sama lain.
5. Nurul Ibu Nurul merupakan anggota kelompok Makaryo
(Informan Utama) Bersama, beliau berusia 40 tahun. Pendidikan terakhir
beliau SMEA. Dalam kegiatan sehari-harinya beliau
menanam bibit sayur seperti ibu-ibu lainnya yang aktif
dalam pembibitan. Dalam aktivitasnya beliau dibantu
oleh suaminya. Beliau telah menjadi petani bibit
selama 30 tahun. Jenis tanaman yang beliau tanam
seperti kubis, andewi, slederi, sawi daging, dsb.
Pelanggan beliau berasal dari Karangploso, Magetan,
dan daerah lainnya. Beliau merupakan pribadi yang
ramah dan murah senyum.
6. Ana Ibu Ana merupakan ketua dari kelompok Sarinah
(Informan Utama) Creative. Beliau berusia 57 tahun. Pendidikan terakhir
beliau adalah SD. Beliau adalah seorang janda yang
tinggal bersama cucunya yang berusia 7 tahun,
125

anaknya bekerja di Tarakan. Saat ini beliau aktif dalam


kegiatan membuat makanan ringan seperti kue kering
nastar, kastengel,dsb. Biasanya beliau banjir orderan
kue kering saat Hari Raya idul Fitri, Natal, dan ketika
ada Hajatan. Dalam kegiatan sehari-harinya beliau
berdagang di warung kecil miliknya, biasanya beliau
menjual aneka masakan rumahan seperti nasi ampok,
rica-rica, botok, oseng pepaya, rawon, tahu campur,
dsb. Selain berdagang di warungnya beliau juga
berkeliling menjual dagangannya di SD dan dari rumah
ke rumah. Keterampilan memasak beliau sejak masih
muda. Beliau adalah sosok yang ramah, memiliki
semangat dan motivasi hidup yang tinggi, beliau sangat
rajin dan giat dalam bekerja.
7. Susi Ibu Susi merupakan anggota dari kelompok Sarinah
(Informan Utama) Creative. Beliau berusia 45 tahun. Pendidikan terakhir
beliau adalah SD. Dalam kegiatan sehari-harinya beliau
aktif membuat aneka makanan ringan seperti pangsit
bakso, widaran, kacang sembunyi, sagon, dan kue
kering lainnya. Beliau memulai usahanya sejak 15
tahun yang lalu.Dagangannya dikemas dengan packing
yang telah dilengkapi stiker yang terdapat izin PIRT
nya. Dalam produksinya masih dalam skala kecil, yang
dibantu oleh 2 orang anaknya, dan 1 karyawannya.
Untuk pemasaran produknya biasanya hasil
produksinya di ambil oleh agen-agen besar dari Batu,
yang kemudian di kirim ke Lombok, Madura, Bali, dan
wilayah lainnya. Beliau pernah mendapatkan bantuan
mesin penggiling dari Universitas Brawijaya melalui
Posdaya. Beliau adalah sosok yang ulet dan tekun
dalam bekerja.
8. Tari (Informan Ibu Tari merupakan anggota dari kelompok Sarinah
Utama) Creative. Beliau berusia 43 tahun. Pendidikan terakhir
beliau adalah SMA. Dalam kegiatan sehari-harinya
beliau aktif memproduksi bawang goreng selama 10
tahun. Untuk pemasaran produknya di wilayah pujon
saja. Namun beliau juga pernah memasarkan
produknya hingga sampai ke luar Jawa yakni ke NTB,
dan Kalimantan. Saat ini beliau mulai merintis
pemasaran produknya ke wilayah Malang Selatan.
Untuk harga setiap bungkus bawang dihargai mulai
Rp.1000 hingga Rp.80.000, tergantung beratnya.
126

Beliau pernah mendapatkan bantuan berupa mesin


pemotong bawang dari Universitas Brawijaya, yang
sampai saat ini digunakan sebagai alat produksi.
9. Mei Ibu Mei merupakan ketua kelompok Seger Waras yang
(Informan Utama) bergerak dalam bidang pembuatan jamu. Beliau berusia
39 tahun. Pendidikan terakhir beliau adalah Starata 1
(S1), dalam kegiatan sehari-harinya beliau sebagai ibu
rumah tangga biasa. Beliau sudah tidak aktif dalam
pembuatan jamu karena anggota kelompoknya saat ini
banyak yang sibuk dengan aktivitasnya masing-
masing. Sehingga beliau tidak lagi melakukan produksi
jamu. Padahal beliau sangat ingin bisa memproduksi
aneka jamu bersama para anggota Seger Waras, dan
memasarkan produknya secara bersama-sama. Bu Mei
adalah sosok yang tegas dan ramah.
10. Nita Ibu Nita merupakan anggota dari kelompok Seger
(Informan Utama) Waras. Beliau berusia 45 tahun. Pendidikan terakhir
beliau adalah SD. Dalam kegiatan sehari-harinya beliau
aktif dalam memproduksi jamu instan, sepeti
temulawak instan, kunyit instan, kencur instan, jahe
instan, dsb. Dalam pemasaran produknya beliau
biasanya menjual ke toko-toko kecil, cafe, dan pasar.
Ada juga konsumen yang langsung membeli ke rumah
untuk kemudian dijual kembali. Selain berjualan jamu
ia juga berjualan bawang merah dibantu oleh
suaminya. Dalam kegiatan produksinya beliau
mempacking jamunya dengan plastik press sederhana.
Jamunya di hargai mulai kisaran harga Rp.5000 hingga
Rp. 25.000. produk jamu beliau telah terjual sampai
keluar pulau seperti kalimantan. Beliau pernah
mendapatkan bantuan timbangan kodok dari
Universitas Brawijaya melalui Posdaya. Timbangan
tersebut sangat membantu dalam menentukan takaran
pengemasan jamunya. Bu Nita adalah sosok yang
sangat kalem.
11. Intan Ibu Intan merupakan ketua kelompok Tahu Sehat.
(Informan Utama) Beliau berusia 37 tahun. Pendidikan terakhir beliau
adalah SLTA. IBu Intan dulu aktif dalam pembuatan
tahu organik dengan berbagai rasa seperti wortel,
bayam, brokoli, dsb. Ampas tahu biasanya dibuat
nugget. Namun sekarang beliau dan anggota
kelompoknya sudah tidak lagi memproduksi tahu sehat.
127

Kendalanya adalah terbatasnya energi atau daya listrik.


Karena mesin untuk pembuatan tahu membutuhkan
daya yang cukup tinggi. Untuk sekali pembuatan tahu
beliau menghabiskan Rp.200 ribu – Rp.500 ribu untuk
pembelian token listrik. Saat ini mesinnya
menganggur. Untuk kedepannya beliau sangat berharap
ada instansi atau lembaga yang mau menyumbangkan
genset atau alat yang dapat menghasilkan daya listrik
berbahan bakar solar. Dengan pemakaian genset dinilai
akan lebih menghemat biaya produksi. Dengan begitu
harapannya kelompok tahu sehat dapat berjalan
kembali. Ibu Intan merupakan sosok yang baik, ramah,
dan murah senyum.
12. Gina Ibu Gina merupakan anggota kelompok Tahu Sehat.
(Informan Utama) Beliau berusia 35 tahun. Pendidikan terakhir beliau
adalah SMK. Beliau merupakan adik kandung dari Ibu
Intan. Dahulu beliau aktif dalam pembuatan tahu sehat
organik. Beliau juga kerap memberikan pelatihan
kepada mahasiswa KKN yang ingin membuat tahu
sehat. Biasanya beliau dan ibu Intan datang ke rumah
Ibu Rusmini selaku Ketua Umum Posdaya untuk
memberikan pelatihan. Selain itu beliau juga kerap
mengikuti pelatihan keterampilan diluar kota untuk
mewakili desa. Saat ini beliau bekerja di warung nasi
ampok sebagai karyawan. Beliau sangat berharap
kelompok tahu sehat dapat kembali berjalan lagi.
Beliau juga berharap mendapatkan bantuan alat ganset
untuk mempermudah dan menghemat biaya produksi.
Bu Gina adalah sosok yang mempunyai motivasi tinggi
dan humoris.
13. Dewi Ibu Dewi merupakan ketua kelompok Srikandi
(Informan Utama) Collection. Beliau berusia 54 tahun. Pendidikan
terakhir beliau adalah SLTP. Beliau adalah penjahit
yang sangat terkenal di Desa Ngroto. Bahkan beliau
sanggup untuk menghasilkan model jahitan setara
dengan produk butik. Pelanggannya kebanyakan
berasal dari luar Desa Ngroto. Bahkan ada yang dari
Surabaya. Pelanggannya kebanyakan dari kalangan
PNS, dan wanita karir lainnya. Biasanya pelanggannya
menjahit dalam jumlah banyak. Beliau juga menerima
berbagai pesanan. Namun untuk sementara ini beliau
vakum dari menjahit dikarenakan harus merawat
128

suaminya yang sakit stroke. Kegiatan beliau sehari-hari


melatih menjahit orang-orang yang kursus menjait
pada beliau dan mengawasi karyawannya. Jika ada
orderan jahitan, maka yang akan menangani
karyawannya. Ibu Dewi merupakan sosok yang sabar
dan ramah.
14. Yani Ibu Yani merupakan ketua dari kelompok Maju Jaya
(Informan Utama) yang bergerak dalam usaha pracangan. Beliau berusia
58 tahun. Pendidikan terakhir beliau adalah SD. Saat
ini beliau aktif berdagang sayur dan sembako di pasar,
selain itu beliau juga berdagang tahu campur, botok,
dan aneka gorengan dirumahnya sepulangnya dari
berdagang di pasar. Beliau di bantu oleh anak
perempuannya. Ibu Yani adalah sosok pekerja keras,
beliau ramah dan pemalu.
15. Angga Bapak Angga merupakan ketua kelompok Gemah
(Informan Utama) Ripah yang usahanya bergerak dalam bidang
perdagangan. Beliau berusia 43 tahun. Pendidikan
terakhir beliau adalah SD. Dalam kegiatan sehari-
harinya beliau aktif sebagai pedagang atau pengepul
sayur. Beliau memiliki 3 karyawan. Dalam usahanya
beliau dibantu oleh istrinya. Terdapat berbagai macam
jenis sayur seperti cabe, sawi daging, buncis, brokoli,
wortel, kubis, bawang, dsb. Biasanya beliau menjual
dagangannya di pasar pujon dan pasar sayur mantung.
Bahkan beliau juga sering mengirim dagangannya ke
luar kota seperti Tuban dan Jombang. Bapak Angga
merupakan sosok yang tegas dan giat dalam bekerja.
16. Budi Pak Budi adalah Kepala Desa,Desa Ngroto. Beliau
(Informan Tambahan) berusia 48 tahun. Pendidikan terakhir beliau adalah
Strata 1 (S1). Beliau menjabat sebagai lurah sejak
tahun 2013-2019. Beliau juga telah memberikan
legalitas Surat Keputusan (SK) terkait perizinan
pendirian Posdaya. Sebagai Kepala Desa, beliau sangat
memahami karakteristik masyarakat, potensi desa,
program pembangunan di desa, dan berbagai
permasalahan yang ada di Desa Ngroto. Pak Budi
merupakan sosok yang ramah, terbuka, dan murah
senyum.
Sumber : Olah Data Peneliti, (2017)
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kegiatan Perberdayaan Pada Level Posdaya dan Level Sub-Kelompok

Dalam pemberdayaan posdaya di Desa Ngroto terlihat bahwa tujuan dari

pembangunan yang dilakukan adalah manusia yang diwujudkan melalui

peningkatan kapasitas perempuan. Sepeeti tujuan utama dari prgram

pemberdayaan masyarakat secara umum yakni human development, dimana

prinsip ini selalu menekan manusia atau anggota masyarakat sebagai sumber

utama dan tujuan akhir dilakukanya proses pembangunan. Prinsip pembangunan

ini di artikan sebagai kenbebasan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan,

pendidikan, serta akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup

secara layak (Mirza, 2012).

Berdasarkan kondisi sosial yang terjadi di Desa Ngroto yakni terkait

permasalahan kemiskinan, dan pengangguran yang dihadapi kalangan perempuan

kemudian memunculkan pola-pola pemberdayaan pada perempuan melalui

Posdaya yang bertujuan menambah peranan perempuan disektor publik.

Pemberdayaan tersebut dilakukan melalui program-program yang dirancang

bersama agar dapat membawa perubahan dan pengaruh yang lebih besar baik

secara ekonomi, sosial budaya, maupun politik pada kalangan perempuan di Desa

Ngroto. Seperti tujuan utama dalam program pemberdayaan masyarakat, yang

mana pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, serta

129
130

menswadayakan masyarakat yang berperan sebagai subjek pembangunan atau

human development.

Untuk mencapai tujuan dari program pemberdayaan tersebut maka pelaku

pemberdayaan masyarakat harus dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuan

dari anggota masyarakat agar mereka dapat meningkatkan kapasitas dan

kemampuan dari anggota masyarakat sehingga mereka dapat bertanggungjawab

atas proses pembangunan yang dilakukan oleh mereka sendiri (Bhattacharyya,

2004; Kenny, 2006; Swanepoel & de Beer, 2006). Untuk itulah pemberdayaan di

Desa Ngroto bersifat bottom up, yakni dengan menempatkan perempuan sebagai

subyek utama dari proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ada

disana. Posisi mereka tidak lagi sebagai penerima manfaat (beneficiaries) yang

bergantung pada pemberian dari pihak luar maupun pemerintah, melainkan

mereka sebagai agen partisipan yang bertindak yang mampu berbuat secara

mandiri.

Pemberdayaan yang terjadi pada Posdaya dilakukan melalui

pengorganisasian masyarakat khususnya perempuan miskin pedesaan untuk

tergabung kedalam organisasi Posdaya. Posdaya sendiri berperan sebagai wadah,

dan forum komunikasi, silaturahmi, pendidikan, advokasi, serta penguatan fungsi

keluarga, dimana Posdaya berperan sebagai struktur dan sarana yang

menjembatani masyarakat untuk mengembangkan kapasitas diri mereka dalam

melakukan kegiatan yang mandiri. Kehadiran Posdaya dapat membantu

masyarakat Desa Ngroto dalam mengembangkan soft skill dan hard skill yang

dimiliki oleh masyarakat. Melalui pengklasifikasian kelompok yang dibentuk

berdasarkan kesamaan profesi, minat, dan bakat yang dimiliki anggota. Dengan
131

adanya kesamaan minat akan memudahkan mereka untuk berdiskusi,

menghasilkan ide baru, jaringan sosial dan tentu motivasi bersama untuk

menjuadi lebih baik. Sehingga dalam konteks pemberdayaan, Posdaya dapat

menjadi wadah yang mengarahkan anggota posdaya dalam menyadari kapasitas

dirinya. Dalam pembentukan kelompok tersebut, penggagas kelompok ini

berusaha agar ibu-ibu di Desa Ngroto memiliki banyak alternatif untuk

menghasilkan pendapatan melalui kegiatan produktifnya. Pendapatan disini

menjadi indikator dalam pembangunan itu sendiri, yang mana melalui kapasitas

penggagas terbentuknya posdaya dalam membuka akses untuk perempuan di Desa

Ngroto membuat mereka dapat lebih berkreasi dalam memperoleh pendapatan

untuk kesejahteraan mereka. Karena selama ini perempuan-erempuan di pedesaan

seringkali tidak memiliki pendapatan sendiri. Sehingga melalui kegiatan kreatif

pada sub kelompok Posdaya yang sesuai dengan minat dan keahliannya,

diharapkan bisa menghasilkan pendapat sendiri.

Proses pemberdayaan menempatkan perempuan miskin pedesaan yang ada

di Desa Ngroto sebagai agen atau subjek yang kompeten. Keberhasilan program

pemberdayaan di Desa Ngroto telah melalui tiga proses tahapan yakni Pertama,

adalah tahap penyadaran, yang mana dalam tahap ini masyarakat yang kurang

mampu sebagai target sasaran diberikan pemahaman bahwa mereka mempunyai

hak untuk menjadi mampu dan berada. Terlebih lagi dengan kondisi masyarakat

Desa Ngroto yang kurang mampu dan kegiatan sehari-harinya kurang produktif.

“Anggota kami kan banyak yang perempuan jadi bukan berarti mengecilkan arti
peranan suami tidak kalaupun dia bisa berbuat kenapa harus selalu
menggantungkan diri pada penghasilan suami toh rata-rata penghasilan dari para
suami bisa dibilang belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Akhirnya
perempuan-perempuan disini dari pada kegiatan-kegiatannya ngrumpi setelah
masak ya mending ada aktivitas untuk memberikan kontribusi tambahan untuk
kebutuhan rumah tangganya...Saya melihat ibu-ibu banyak yang mengganggur dan
132

kurang produktif ya mungkin ada sebagian yang punya usaha tapi kan mereka
belum punya organisasi yang bisa mereka jadikan wadah untuk sharing, jadi saya
muncul ide untuk coba menggerakkan mereka, memotivasi mereka, agar mau
berkembang melalui Posdaya. Pokoknya saya rangkul saya ajak untuk berfikir,
membuat kebijakan, berusaha, dan harus memiliki semangat tinggi”. (Wawancara
dengan Bu Rusmini selaku ketua dan koordinator umum Posdaya pada tanggal 31
Mei 2017)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bu Rusmini sebagai penggagas

terbentuknya Posdaya telah memberikan motivasi kepada ibu-ibu di Desa Ngroto

bahwa mereka memiliki kemampuan untuk keluar dari kemiskinannya dan

membuat mereka menjadi produktif. Untuk itu dilakukan upaya pendampingan

untuk mereka dengan mengajak begabung pada Posdaya dan terlibat dalam segala

aktivitas yang ada di dalamnya mulai dari pembuatan kebijakan, mengajak mereka

berfikir, berusaha, dan menyemangati mereka. Tahap penyadaran inilah yang

kemudian membuat masyarakat menyadari akan kapasitas dirinya dan mempunyai

kemampuan untuk keluar dari kemiskinannya. Kesadaran yang terbentuk dari para

anggota Posdaya tumbuh melalui upaya penyadaran dan melalui strategi untuk

menumbuhkan kesadaran anggota dalam memanfaatkan sumberdaya lingkungan

yang ada di Desa Ngroto, seperti yang diungkapkan oleh Bu Rusmini sebagai

berikut:

“Ya awalnya saya yang menumbuhkan kesadaran mereka, karena kan kalau
melihat permasalahan kemiskinan disini ini sangat kompleks ya, setelah saya ada
ide untuk mendirikan Posdaya ini saya ajak ibu-ibu untuk bergabung dan
berpartisipasi dalam pemberdayaan. Selanjutnya kesadaran tumbuh dari lingkungan
mereka sendiri yang sudah ada anggota kelompok Posdaya, tetangganya bergabung
ya dari situ. sehingga setelah dari situ mesti datang kesini, “udah bikin aja
kelompok terus cari anggota yang lain” ya saya gitu. Awalnya saya katakan kalau
saya mau bentuk kelompok Posdaya Bu Mia saya suruh cari anggota, terus
berlanjut yang lain datang sendiri minta dibikinkan kelompok.. Strateginya ya yang
sudah menjadi anggota kelompok ya harus tangguh. Karena tantangan UMKM kan
sudah mereka pahami orang berusaha tentunya kan kepingin berhasil semaksimal
mungkin, tapi jangan dikira tangtangan dan hambatan iitu tidak ada mereka ya
harus tau, makanya saya selaku koordinator ya harus memotivasi, harapan boleh
tapi mesti selalu diingat bahwa kegagalan nggak bisa dihindari” (Wawancara
dengan Bu Rusmini selaku ketua dan koordinator umum Posdaya pada tanggal 31
Mei 2017).
133

Kedua tahap pengkapasitasan, tahap ini dilakukan dengan memberikan

pelatihan dan sosialisasi maupun kegiatan sejenisnya yang bertujuan untuk

meningkatkan life skill dan hard skill yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.

Pelatihan dan sosialisasi yang ada pada pemberdayaan Posdaya di Desa Ngroto

telah sering dilakukan. Pelatihan dan sosialisasi ini umumnya membahas seputar

kegiatan kewirausahaan dan berbagai macam keterampilan yang produktif.

Sehingga harapannya anggota posdaya dapat memiliki keterampilan dan dapat

mengelola peluang yang akan diberikan dalam pemberdayaan. Hal ini sesuai

dengan yang diungkapkan Bu Rusmini sebagai berikut:

“Iya jadi pengkapasitasan anggota itu kita lakukan ketika mereka sudah bergabung
ya, kemudian ada sosialisasi dilanjut dengan pelatihan-pelatihan seperti contohnya
pelatihan membuat tahu sehat dari Lembaga Insan Mandri dulu sampai terbentuk
kelompok dan akhirnya jalan, pelatihan dan sosialisasi itu sering sekali, entah dari
UB itu sering anak-anak KKN ngadakan pelatihan bikin kerajinan barang bekas
seperti tudung saji dari botol aqua, bikin es krim, UB ini juga memberikan bantuan
alat produksi,dari UNMER itu pernah pelatihan pembuatan pupuk untuk kelompok
pembibitan, dari Bank UMKM sosialisasi pinjaman kedit usaha, dari Pemerintah
Provinsi juga pernah kasih sosialisasi dan pelatihan usaha mikro kecil menengah
banyak mbak, kalau misalkan tiba-tiba ada sosialisasi atau pelatihan gitu
tergantung saya dapat aksesnya dari mana gitu mbak, kalau nggak ada akses ya
nggak akan ada kegiatan seperti itu (Wawancara dengan Bu Rusmini selaku ketua
dan koordinator umum Posdaya pada tanggal 31 Mei 2017)

Berdasarkan keterangan tersebut, bahwa pada program pemberdayaan

masyarakat di Desa Ngroto tersebut terdapat tahap pengkapasitasan yakni dengan

memberikan sosialisasi dan pelatihan yang bertujuan untuk menambah ilmu

pengetahuan dan keterampilan anggota yang mana apa yang didapat dari proses

sosialisasi dan pelatihan tersebut dapat menjadi bekal yang dikembangkan

menjadi kegiatan yang produktif. Sosialisasi dan pelatihan diberikan kepada

seluruh anggota Posdaya dan merupakan bentuk pemberdayaan pada level

Posdaya. Selain itu sosialisasi dan pelatihan tersebut didapatkan melalui akses
134

yang dibangun oleh ketua umum Posdaya dengan beberapa lembaga dan instansi

seperti dari lembaga Insan Mandiri, UB, UNMER, Bank UMKM, Pemerintah

Provinsi, dsb.

Ketiga tahap pendayaan, dimana pada tahap ini diperlukan partisipasi aktif

dan berkelanjutan yang telah ditempuh dengan memberikan peran yang lebih

besar dan bertahap kepada masyarakat untuk terlibat dalam pemberdayaan pada

Posdaya. Mereka diberikan peluang untuk mengembangkan dirinya secara

mandiri yang sesuai dengan kemampuan, kapasitas, dan kapabilitas yang dimiliki.

“Sesuai aktivitas kelompoknya masing-masing, jadikan saya membentuk kelompok


ini sesuai minat dan bakatnya masing-masing. misal yang kelompok makaryo
bersama aktivitasnya menanam bibit, yang kelompok sarinah creative membuat
jajanan kaya kue kering, kalau ada pesanan catering atau pesanan kue basah gitu,
ya macem-macem ya, mulai gimana caranya meningkatkan produktivitas,
pemasarannya, kendala atau hambatannya kita saling sharing di kelompok itu, nanti
dipecahkan bersama, kalau yang sudah punya kemampuan soft skill atau hard skill
mereka bisa menyalurkan pada yang belum bisa”(Wawancara dengan Bu Rusmini
selaku ketua dan koordinator umum Posdaya pada tanggal 31 Mei 2017)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dimana pada tahap ini perempuan miskin

di Desa Ngroto yang telah tergabung menjadi anggota Posdaya memulai sebuah

usaha baik secara individu maupun kelompok berdasarkan pada pelatihan yang

telah didapatkan sebelumnya. Dan bagi mereka yang sebelumnya telah memiliki

keterampilan baik secara soft skill dan hard skill, dapat mengembangkan

keterampilan yang dimiliki dan menularkannya pada anggota yang lain. Dalam

upaya pendayaan, mereka juga memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di

lingkungan sekitar mereka.

Ketiga tahapan tersebut telah dilakukan dalam upaya pemberdayaan

perempuan miskin pedesaan melalui Posdaya yang ada di Desa Ngroto. Selain itu

prinsip penting dalam kegiatan pemberdayaan yang ada di Desa Ngroto adalah

adanya kerjasama dan gotong royong antar sesama anggota kelompok atau
135

partner dalam kegiatan pemberdayaan. Sehingga pengelompokkan anggota sesuai

minat dan bidang kemampuan yang dimiliki dalam sub-sub kelompok bertujuan

agar supaya mereka dapat menjalin kerjasama antar sesama anggota kelompoknya

maupun antar sub-kelompok lainnya.

Dalam proses pembentukan posdaya, penggagas terbentuknya posdaya

memiliki kapasitas dan tujuan dalam dirinya untuk memberdayakan masyarakat

didesa Ngroto, terutama para ibu-ibu rumah tangga melalui sebuah forum

komunikasi antara ibu-ibu yang memiliki kesamaan minat dan keahlian yang

sama untuk secara bersama-sama dapat membentuk usaha yang menambah

pendapatan. Dalam diri penggagas terbentuknya posdaya terdapat keinginan untuk

memajukan ekonomi para ibu, terdapat pandangan bahwa untuk mecapai

kemajuan harus mengutamakan prinsip gotong royong. Pemberian sosialisasi

sosialisasi dan pengertian ke individu lalu pada komunitas secara keseluruhan

agar mereka tergerak untuk meningkatkan pendapatan ekonomi mereka sesaui

dengan kemampuan apa yang dimiliki.

Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Posdaya di Desa Ngroto

mengarah pada kegiatan ekonomi dan pemanfaatan sumberdaya yang ada seperti

sumberdaya alam yang ada di lingkungannya, maupun sumberdaya manusianya

yang memiliki soft skill dan hard skill yang patut untuk terus dikembangkan.

Posdaya memiliki banyak kegiatan yang berlangsung pada dua level atau tempat,

yakni pada level Posdaya dan level sub-kelompok yang tergabung dalam Posdaya.

Kegiatan pada level Posdaya, kegiatan ini biasanya dilakukan oleh anggota

posdaya di rumah ketua atau koordinator umum Posdaya, sebagai contoh saat

sedang ada acara sosialisasi World Bank terkait pembagian ternak sapi limousine
136

bersubsidi kepada kepala keluarga di Kab. Batu, sosialisasi pengembangan Usaha

Mikro Kecil Menengah dari Bank UMKM Jawa Timur, Pelatihan keterampilan

dari Dinas Kota Malang, sosialisasi dan pelatihan dari Lembaga Insan Mandiri,

sosialisasi dan pelatihan dari Universitas Brawijaya dan Universitas Merdeka,

serta beragam sosialisasi maupun pelatihan yang dilakukan oleh berbagai instansi

dan lembaga lainnya.

Pada level Posdaya, Bu Rusmini selaku ketua dan koordinator umum

Posdaya mengumpulkan seluruh anggota yang tergabung dalam Posdaya. Mereka

diundang untuk menghadiri kegiatan sosialisasi dan pelatihan yang dilakukan oleh

Lembaga, Instansi Pemerintah, maupun dari pihak Universitas tersebut. Biasanya

kegiatan pelatihan dan sosialisasi tersebut dilakukan di Balai Desa maupun

dirumah ketua dan koordinator umum Posdaya. Dalam sosialisasi dan pelatihan

ini semua anggota berkesempatan hadir untuk mengikuti. Biasanya ketua umum

posdaya akan mengirim undangan pada masing-masing ketua sub-kelompok.

Selanjutnya, masing-masing ketua sub-kelompok nantinya akan memberitahu dan

mengajak anggotanya untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Namun terkadang

tidak semua anggota bisa turut hadir dalam kegiatan tersebut, mengingat

kepadatan akitivitas yang dimiliki oleh masing-masing individu membuat mereka

tidak memiliki waktu lebih untuk mengikuti kegiatan di level Posdaya.

Bergabungnya ibu-ibu dalam kelompok mampu meningkatkan interaksi,

kerjasama bahkan saluran informasi antar sesama. Hal ini lah yang

memungkinkan mereka untuk terus saling membantu dan secara kolektif bekerja

bersama-sama. Keuntungan yang didapat tidak hanya pribadi namun juga

kelompok.
137

Pada level Sub-Kelompok, masing-masing kelompok juga memiliki

kegiatan sendiri-sendiri yang berbeda antara sub-kelompok satu dengan sub

kelompok lainnya. Dimana dalam masing-masing sub-kelompok terdapat ketua

yang memiliki kewenangan dalam mengorganisasikan anggotanya, membantu

dalam melakukan pemasaran produk yang dihasilkan oleh anggotanya, dan

membagi job pada anggotanya jika menerima orderan dari pelanggan. Meskipun

unit usahanya dilakukan secara individu, namun dalam kegiatan pemberdayaan

mereka saling tolong-menolong, sering melakukan pertemuan untuk sekedar

sharing berbagi pengalaman, dan mencari solusi penyelesaian masalah dari

permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan produksinya.

Biasanya pertemuan rutin dalam sub-kelompok dilakukan setiap 45 hari

sekali seperti pada kelompok Makaryo Bersama, dalam pertemuan tersebut selain

melakukan sharing juga membahas mengenai simpan pinjam, iuran rutin, dan

bagi hasil. Berbeda dengan kelompok lainnya seperti kelompok Griya Rajut,

Sarinah Creative dan kelompok lainnya yang melakukan pertemuan rutin

kelompok setiap satu bulan sekali bahkan ada yang sesuai kebutuhan (insidental)

atau dilakukan pada kesempatan dan waktu tertentu, mengingat kepadatan

aktivitas dari masing-masing anggota yang tidak menentu. Pertemuan tersebut

biasanya dilakukan dirumah masing-masing ketua sub-kelompok yang memiliki

tanggungjawab dalam mengorganisasikan anggotanya. Dengan hadirnya Posdaya,

mereka dikumpulkan agar lebih efektif menjalin komunikasi dan interaksi.

Anggota pada level sub kelompok berusaha untuk mengorganisasir diri diri untuk

membawa sebuah perubahan dan membawa efek pada komunitas lokal agar

mampu berdaya dalam produksi dan distribusi hasil usahanya. Komunitas ini
138

memanfaatkan relasi sosial bonding dan bridging untuk menghasilkan kerjasana

dan kepercayaan dan gotong royong dalam kelompok yang digunakan juga untuk

membangun relasi di luar kelompok yaitu pelanngan dan juga pihak pasar.

Bagan 4. Kegiatan Pemberdayaan Pada Posdaya

Sumber : Chawa, dkk (2016)

Dari bagan diatas, megilustrasikan kegiatan yang dilakukan oleh anggota

Posdaya di Desa Ngroto, yang mana seperti yang telah diuraikan sebelumnya,

bahwa kegiatan dilakukan pada dua level, yakni level terpusat dalam lingkup

Posdaya secara umum, yang dilakukan secara bersama-sama oleh semua anggota

Posdaya atau ketua pada setiap sub-sub kelompok yang tergabung dalam Posdaya.
139

Dimana kegaitan yang dilakukan pada level Posdaya atau terpusat biasanya adalah

kegiatan sosialisasi, pelatihan, kampanye politik, pertemuan rutin dan kegiatan

yang lainnya yang bersifat umum yang harus diketahui dan dipahami oleh semua

anggota Posdaya.

Berdasarkan hasil penelitian, saat ini anggota Posdaya secara umum hanya

melakukan pertemuan atau musyawarah hanya secara insidental atau sesuai

kebutuhan saja seperti jika ada kegiatan tertentu yang melibatkan seluruh anggota

kelompok, dan membutuhkan partisipasi mereka. Hal ini seperti yang

diungkapkan oleh ketua Posdaya sebagai berikut:

“Kalau aktif dalam organisasinya itu memang sesuai kebutuhan kalau dalam
usahanya semuanya aktif, tidak ada yang tidak bekerja gitu nggak ada, ya
meskipun ada yang bekerjanya tidak setiap hari...
“Ya karena aktivitas mereka yang padat, ya mungkin ada juga masalah lain
pinjaman itu tadi kendalanya, mereka sungkan sama saya makanya jarang datang
kesini, tapi kalau saya mau datang ya ruame, saya undang pas ada even apa gitu
pasti datang semua, sayanya aja yang nggak bisa full untuk mendampingi
mereka” (Wawancara dengan Bu Rusmini selaku ketua, dan koordinator umum
Posdaya)

Kepadatan aktivitas mereka membuat mereka jarang melakukan

pertemuan rutin seperti rapat organisasi Posdaya, selain itu menurut ketua

Posdaya, sebagian anggota kelompok enggan untuk berkoordinasi dengan ketua

sebab pihaknya merasa sungkan karena masih memiliki tunggakan pinjaman pada

Posdaya yang belum terselesaikan. Namun jika ketua kelompok mengundang

seluruh anggota untuk datang rapat, mereka akan memenuhi undangan tersebut.

Sedangkan kegiatan pada level kedua yakni kegiatan atau aktifitas yang

dilakukan atau berlangsung dalam sub kelompok Posdaya antar sesama anggota

sub-sub kelompok masing-masing. Kegiatan ini dilakukan pada satu sub-

kelompok yang berbeda-beda, yang mana kegiatan tersebut saling mendukung dan
140

saling bekerjasama terkait dengan kegiatan produktifitas mereka. Lebih lanjut

lagi, apabila ada pelatihan atau sosialisasi yang terkait dengan keterampilan

khusus pada sub kelompok tertentu, maka pelatihan juga diadakan pada level sub-

kelompok. Seperti contohnya pelatihan pembuatan pupuk organik pada kelompok

Makaryo bersama yang bergerak dalam bidang pembibitan dari Universitas

Merdeka Malang, serta pelatihan Budidaya Lele dari Universitas Brawijaya. Hal

ini sesuai dengan pernyataan dari Bu Siti sebagai berikut:

“Ada dulu pelatihan pupuk organik dari bu endang orang dari Universitas
Merdeka, diajari caranya buat pupuk organik dulu ibu-ibu disini semangat waktu
ada pelatihan kaya gitu, dulu sering di Bu Rusmini juga ada. Kapan hari itu disini
ada pelatihan budaya lele itu dari Universitas Brawijaya” (Wawancara dengan Bu
Siti selaku ketua sub-kelompok Makaryo Bersama pada tanggal 02 juni 2017)

Berdasarkan wawancara tersebut, menunjukkan bahwa kegitan sosialisasi

dan pelatihan juga dilakukan pada level sub-kelompok. Selain itu aktivitas

produktif yang dilakukan pada masing-masing sub-kelompok berbeda antara satu

sama lain. Perbedaan tersebut karena mereka bergerak dalam bidang yang

berbeda-beda antara sub-kelompok satu dan lainnya. Selain itu, setiap individu

memiliki usaha masing-masing yang sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki.

Seperti yang diungkapkan oleh masing-masing anggota sub-kelompok sebagai

berikut:

“Jadi kalau pagi habis nganter cucu ke sekolah terus saya berangkat ngemasi ya
ada pepes, botok, jangan lodeh, rica-rica itu bawa ke sekolahan. Ya tak bawa apa
aja, titip di warung, pasar yang penting gak nganggur, saya juga ada warung
sendiri ini biasanya buka tapi ini karena puasaan aja saya tutup. Ini kalau hari
raya imlek, natal, atau lebaran, gini saya terima orderan kue mbak banyak nih,
udah 200 toples yang order ke saya, kue kering macam-macam saya bisa, rasanya
dijamin enak, karena saya pakai bahan-bahannya pilihan ini harganya bisa
menyesuaikan” (Wawancara dengan Bu Ana, ketua kelompok Sarinah Creative
pada tanggal 31 Mei 2017)

“Ini ada kue kering, kacang sembunyi, stik, widaran, goreng bakso. Ini kue
keringnya ada yang dikemas pakai mika ada yang dikemas pakai toples. Tiap hari
produksi mbak, ini kaya kue kering yang toplesan itu tiap hari saya produksi
banyak karena untuk disetorkan ke agen-agen besar dan melayani pesanan orang
141

hajatan. produk saya ini udah ada izin PIRT dan BPOM nyanya” (Wawancara
dengan Bu Susi, anggota kelompok Sarinah Creative pada tanggal 31 Mei 2017)

“ya bawang goreng merah, bawang goreng putih, bawang bombay goreng,
kadang kalau ada pesanan catering ya catering, kue kering kalau lebaran gini”
(Wawancara dengan Bu Tari, anggota kelompok Sarinah Creative pada tanggal
02 Juni 2017)

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada anggota kelompok

Sarinah Creative tersebut, praktik sosial sosial yang dilakukan berupa kegiatan

produktif dibidang pembuatan makanan. Seperti Bu Ana yang setiap hari

memproduksi aneka sayuran matang untuk dijual, dan memproduksi aneka jenis

kue kering pada saat hari raya natal, imlek, dan idul fitri. Dalam kegiatan

produksinya Bu Ana selalu menggunakan bahan-bahan pilihan untuk menjaga

kualitas produknya, dan harga jual produknya cukup terjangkau karena bisa

menyesuaikan dengan permintaan konsen. Bu Ana telah memiliki banyak

pelanggan yang setiap hari membeli produknya. Selain Bu Ana, setiap hari Bu

Susi juga memproduksi aneka jajanan dan kue kering yang dipasarkan ke agen-

agen besar di Batu, dan pesanan dari berbagai distributor, harga yang ditawarkan

juga relatif terjangkau. Begitu juga dengan Bu Tari yang hampir setiap hari

memproduksi bawang goreng kemasan, bahkan beliau juga menerima pesanan

catering dan kue kering saat lebaran. Seluruh kegiatan produktif tersebut

praktiknya dilakukan secara berulang,dan terpola dalam ruang dan waktu.

Begitupun dengan kelompok Makaryo bersama yang bergerak dibidang

pembibitan sayur. Setiap hari seluruh anggota kelompok tersebut beraktivitas di

ladang masing-masing untuk menanam, dan melakukan perawatan pada bibit yang

ditanamnya. Perawatan dilakukan setiap hari, seperti mencabut rumput

penggangu, memberantas hama penyakit pada bibit tanaman, dan juga melakukan

penyiraman. Panen dilakukan setiap satu bulan sekali, ketika bibit sudah besar dan
142

sudah cukup umur untuk dipanen. Rata-rata mereka memiliki ladang yang berada

di pekarangan rumah, dan dikebun. Kelompok pembibitan umumnya sudah

memiliki pelanggan tetap yang berasal dari luar daerah seperti Batu, Pasuruan,

Probolinggo, Magetan, dan wilayah lainnya yang sering datang untuk membeli

bibit sayur, karena daerah Desa Ngroto dikenal dengan sentra pembibitan yang

telah terkenal diseluruh wilayah di Jawa Timur. Omset yang dihasilkan oleh ibu-

ibu pembibitan rata-rata berkisar antara 3 jt hingga lebih dalam sekali panen,

namun tak jarang mereka merugi jika cuaca sedang tidak bagus, tanaman diserang

hama, dan terancam gagal panen. Aneka benih sayuran yang dihasilkan ada 13

macam, diantaranya sesuai dengan yang disebutkan oleh anggota kelompok pada

saat wawancara :

“Banyak mbak macamnya, ada andewi, sawi daging, slederi, kubis, brokoli,
slada, pakcoi, cabe, tomat, terong hampir semuai itu kita tanam.. Tergantung
musim sama permintaan. Yang paling utama itu menjaga mutu tanaman
pokoknya kualitas itu harus yang utama, kan kalau kualitasnya bagus pelanggan
senang, bibit kita jadi banyak diminati. Karena disini itu ada mbak orang
pembibitan yang memakai obat perangsang tanaman, jadi kelihatannya aja
bibitnya bagus, tapi nanti kalau ditanam hasilnya jelek disini banyak, tapi bukan
anggota makaryo, karena kalau anggota makaryo nggak berani, kami sudah
sepakat untuk tidak menjual bibit yang bagus daunnya aja tapi akarnya jelek,
kalau bisa ya bagus semua tanpa pakai obat perangsang karena kan kasian mbak
sama pembeli yang sudah jauh-jauh datang kesini, nanti petani sayurnya kecewa
dengan hasil tanamnya” (Wawancara dengan Bu Siti, ketua sub-kelompok
Makaryo Bersama pada tanggal 02 Juni 2017)

“Iya.. kalau seledri permeter.. andewi permeter.. sawi daging permeter.. kobis
brokoli itu bijian. Seribuan lah.. kalau harga e kobis 1000 nya 90.000, andewi
30.000 permeter. sama sawi daging 30.000 permeter. biasane sebulan, kadang
umur 25 hari ada orang cari gitu yq siap di jual. Itu kadang ya sampai gak laku
juga. kalau nggak ada yang nyari. Kaya musim sekarang andewi gak laku, gak
ada yang mencari. Kaya gini rugi” (Wawancara dengan Bu Nurul anggota sub-
kelompok Makaryo Bersama pada tanggal 02 Juni 2017)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, kelompok Makaryo Bersama selalu

menggunakan cara-cara organik dalam memproduksi bibit tanaman, mereka

enggan menggunakan obat perangsang yang mempercepat pertumbuhan bibit


143

tanamannya, meskipun pertumbuhan bibit cukup lama, membutuhkan perawatan

ekstra, namun anggota Makaryo tetap mengutamakan kualitas bibitnya, agar tidak

mengecewakan pelanggannya. Harga jual bibit ditentukan berdasarkan jenis

sayuran, ada yang dijual permeter dan ada juga yang dijual bijian, masing-masing

jenis bibit memiliki harga jualnya masing-masing. Biasanya bibit akan dipanen

setiap 25 hingga 30 hari sekali. Terkadang ibu-ibu pembibitan sering merugi

karena bibit yang sudah ditanam tidak dipanen karena tidak ada pelanggan yang

datang untuk mencari bibit, jika gagal panen maka bibit-bibit tersebut akan

dibuang.

“Ya kami dekat mbak kan hidupnya bertetangga, saling membantu antara satu
sama lain, misalkan ada tetangga kami yang bibitnya belum laku nanti kami
bantu jualkan. Nanti kalau jualkan itu pakai sistem kerjasama, jadi misalkan saya
bantu jual punya tetangga nanti tetangga kasih fee ke saya 1000-5000 rupiah ya
istilahnya jadi makelar gitu” (Wawancara dengan Bu Siti, ketua sub-kelompok
pembibitan pada tanggal 02 juni 2017)

Berdasarkan pernyataan Bu Siti tersebut, kelompok makaryo selalu

menggunakan prinsip kerjasama dan gotong-royong antar anggotanya, seperti

kerjasama terkait pemasaran bibit, jika ada anggota kelompok yang bibitnya

belum laku, maka anggota lain akan membantu memasarkan bibit tersebut.

Biasanya akan ada fee atau uang jasa sebesar 1000-5000 rupiah upah dari jasa

memasarkan tersebut. Bahkan jika ada anggota kelompok yang tidak memiliki

modal untuk membeli benih, anggota yang memiliki benih lebih tak segan untuk

meminjamkan terlebih dahulu benihnya kepada anggota lain yang membutuhkan.

Hal ini juga berlaku bagi kelompok Rajut yang saling bekerjasama dengan

anggotanya dalam memproduksi produk rajutan. Kelompok rajut merupakan

kelompok yang bergerak dalam bidang kerajinan handy craft, dan merupakan

satu-satunya sub-kelompok dalam Posdaya yang bergerak dalam bidang usaha


144

pembuatan kerajinan tangan. Untuk menghasilkan sebuah produk rajutan,

memerlukan skill dan keterampilan khusus, karena proses pembuatannya

dikerjakan secara manual dan membutuhkan ketelatenan serta kehati-hatian.

Dalam kelompok rajut sendiri, mayoritas anggotanya sudah memiliki

keterampilan merajut sejak kama, namun ada juga anggota yang baru bisa merajut

pada saat sudah bergabung dengan kelompok rajut. Kelompok rajut biasanya

mengerjakan rajutan saat ada pesanan atau orderan dari pelanggan. Namun

sebagian dari mereka ada yang memproduksi untuk kemudian dititipkan di tempat

wisata, maupun toko souvernir. Adapun produk rajutan yang dihasilkan seperti

yang diungkapkan dalam wawancara berikut :

“Ada gantungan kunci, bros, tempat tissue, taplak meja, tutup kulkas, tutup galon,
kaos kaki,topi bayi, tas, ya pokoknya semua yang berbahan rajut bisa dikerjakan,
kalau kita sulit pola ya tinggal mencontoh cari gambar di internet. Ya agak sulit
karena merajut itu tidak sama seperti menjahit jadi kita harus sangat teliti.
Harganya tergantung kesulitan, kalau sperti bros kaya gini ini dari saya 7 ribu,
gantungan kunci 10-15 ribu, tempat tissue 45-60 rb,tutup galon 70 ribu, tutup
kulkas 100 ribu, taplak 100 ribu ke atas kalau satu set sama sarung bantal ya 350
ribu, kaos kaki 25 ribu, topi bayi 25 ribu, tergantung kesulitan dan tambahan
aksesorisnya kalau harga itu mbak nanti menyesuaikan” (Wawancara dengan Bu
Mia, ketua sub-kelompok Rajut, pada tanggal 31 Mei 2017)

“Ya iya di bagi yang ngatur Bu Mia, kan Bu Mia ketuanya, dia yang dapat job
orderan kalau banyak gitu ya dibagi ke anggotanya nanti sudah disiapkan
benangnya sama pernak-perniknya sama Bu Mia, la nanti arek-arek tinggal
nggarap aja, kalau sudah selesai disetorkan ke Bu Mia, pokoknya Bu Mia yang
ngatur anggotanya, jadi saya produksi kalau ada orderan aja, kadang nyambi
jualan gorengan ini didepan rumah kalau lagi nggak ada pesenan rajut”
(Wawancara dengan Bu Markonah, anggota sub-kelompok Rajut, Wawancara
pada tanggal 31 Mei 2017)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, anggota kelompok rajut

memproduksi berbagai macam produk rajutan seperti gantungan kunci, bross,

taplak meja, dsb. Harga produk rajut pun bervariasi tergantung pada kesulitan

pembuatan dan tambahan pernak-perniknya. Biasanya anggota kelompok rajut

memproduksi rajutan saat ada orderan, dan dikerjakan secara bersama-sama.


145

Biasanya Bu Mia sebagai ketua kelompok rajut akan membagi job pada

anggotanya dan akan diberikan bayaran atas jasa pengerjaannya. Karena Bu Mia

memiliki jaringan pemasaran yang cukup banyak seperti ditempat wisata dan

melalui media sosial, sehingga selain mengerjakan orderan, beliau juga

memproduksi untuk di pasarkan sendiri. Sedangkan bagi anggota seperti Bu

Markonah, yang tidak memiliki modal untuk membeli bahan rajutan, dan tidak

memiliki kemampuan dalam pemasaran produknya, mencoba peruntungan lain

dengan berjualan gorengan jika tidak ada orderan rajutan.

Kemudian pada kelompok Seger Waras yang bergerak pada bidang

produksi jamu instant dan jamu gendong berbahan dasar TOGA, juga rutin

melakukan kegiatan produksi. Pemasaran produknya masih dalam skala kecil

yakni dengan menitipkannya ke toko-toko, menjualnya dicafe, pasar, tetangga,

dan menerima permintaan pesanan dari para distributor yang menjual ulang

produknya maupun pesanan untuk acara hajatan.

“Kalau kelompok saya ini kan anggotanya banyak yang usaha sendiri-
sendiri,yang jelas jamunya macem-macem dari TOGA ya, ya kunyit, jahe,
kencur, sirih, temulawak, dan lain-lain, tapi kan ada yang buat jamu desa yang
kaya jamu gendong itu , dan ada juga anggota yang buat jamu instant, jenisnya ya
macam-macam mbak” (Wawancara dengan Bu Mei, ketua sub-kelompok Seger
Waras pada tanggal 02 Juni 2017)

“Komposisinya dari TOGA, misalnya kunyit gitu nanti ekstraknya dicampur gula
pasir. Nanti ada juga yang pakai gula palem. Kan kalau jamu instan
pembuatannya harus dikristalkan agar dapat menjadi kristal dan prosesnya jauh
lebih susah jika dibandingkan membuat jamu gendong. Kalau jamu gendong kan
tinggal parut terus diambil sarinya dikasih gula lalu direbus, kalau jamu instant
ini harus pakai mesin, dan harus pakai gula pasir buat pengawetnya biar bisa
tahan sampai 6 bulan (Wawancara dengan Bu Nita, anggota kelompok Seger
Waras, pada tanggal 02 Juni 2017)

Dari keterangan tersebut, kelompok Seger Waras selalu rutin melakukan

produksi jamu TOGA. Produk jamu yang dihasilkan memiliki berbagai macam
146

khasiat seperti mengobati pegel linu, mengobati pusing, nyeri haid, menambah

nafsu makan, dsb. Harga yang ditawarkan juga relatif terjangkau yakni mulai dari

Rp.2000 hingga 50.000 rupiah tergantung pada berat kemasannya. Produk jamu

ini belum dapat dipasarkan secara bebas karena belum memiliki izin PIRT.

Namun produk jamu ini aman karena tidak memakai bahan pengawet yang

berbahaya, hanya menggunakan gula sebagai pengawetnya. Jenis gulanya pun ada

2 yakni gula pasir dan gula palem, yang menggunakan campuran gula pasir dapat

dikonsumsi secara umum, namun yang menggunakan campuran gula palem

diracik untuk orang yang menderita penyakit gula atau diabetes.

Selanjutnya praktik sosial pada sub-kelompok Gemah Ripah yang

bergerak pada bidang perdagangan sayur, sebagai pengepul hasil pertanian dari

para petani atau sebagai supplier yang menyuplai pedagang sayur eceran dipasar-

pasar. Dalam praktik usahanya, kelompok Gemah Ripah bergerak secara individu,

masing-masing anggota memiliki usaha masing-masing, kelompok Gemah Ripah

dibentuk seperti kelompk lain yakni berdasarkan kesamaan profesi anggotanya.

Mayoritas anggotanya adalah laki-laki.

“Dagang sayur dirumah ini nanti kalau ada pesenan baru dikirim, ya saya yang
jadi supplier orang-orang dipasar itu, saya yang nyetok i, kadang ya ada yang
ngambil kesini. Ya banyak dari luar kota seperti Tuban, Bojonegoro, Pasuruan
kalau deket-deket sini ya ke Pasar Pujon, Malang. Ngambinya langsung dari
petaninya, la saya ini yang jadi pengepulnya gitu lo mbak, ya petaninya dari
wilayah pujon sini aja, saya yang ngepul, nanti ngecer ke pedagang sayur’.. Jenis
dagangannya slederi, slada air, andewi, kubis, wortel, cabai, bawang merah, daun
bawang e, brokoli, ya macem-macem mbak” (Wawancara dengan Pak Angga,
ketua sub-kelompok Gemah Ripah pada tanggal 06 Juni 2017)

Berdasarkan wawancara tersebut, kelompok Gemah Ripah yang

melakukan usaha sebagai pengepul dan supplier sayur, menjalankan usahanya

secara mandiri. Profesi sebagai pengepul sayur telah digeluti sejak lama bahkan
147

sebelum Posdaya ada. Kemudian setelah berdirinya Posdaya kelompok Gemah

Ripah dibentuk atas kesamaan profesi, dengan tujuan agar memudahkan anggota

kelompok dalam menjalin koordinasi dan kerjasama antara satu sama lain.

Selanjutnya kelompok Srikandi Collection, yang bergerak dalam bidang

jasa menjahit. Dalam praktiknya, kelompok Srikandi menerima jasa menjahit

berbagai macam pakaian mulai anak-anak hingga dewasa,dengan berbagai model.

“Kalau kegiatan di kelompok srikandi ini ya jahit, sendiri-sendiri, tapi nanti


misalkan ada orderan banyak saya bagi ke anggota, nanti saya kasih jahit apa
gitu, tapi kalau motongnya ya saya yang motong, nanti anggota yang bagian jahit
gitu, nanti kalau udah finishingnya ke saya saya cek lagi itu, baru nanti saya
serahkan ke pelanggannya” (Wawancara dengan Bu Dewi, ketua sub-kelompok
Srikandi Collection, pada tanggal 04 Juni 2017)

Dalam kegiatan produksinya, biasanya anggota kelompok melakukan

kegiatan produksi masing-masing, berbeda dengan sub-kelompok lainnya,

kelompok Srikandi yang aktivitasnya bergerak dalam bidang jasa menjahit, dalam

praktiknya, ha nya menjahit ketika jasa mereka dibutuhkan oleh konsumen yang

membutuhkan jasanya. Bu Dewi sebagai ketua kelompok juga tak segan membagi

job kepada anggotanya, ketika ada yang membutuhkan jasa mereka. Bu Dewi

memiliki kemampuan dan keterampilan menjahit sejak lama, bahkan tak jarang

anggota kelompoknya yang dulu belajar menjahit padanya.

Sub-kelompok selanjutnya adalah kelompok Maju Jaya yang bergerak

dalam usaha toko pracangan di Pasar. Dalam kegiatan sehari-harinya, anggota

kelompok berdagang di Pasar, dan ada juga yang berdagang di rumah. Biasanya

anggota kelompok mulai berdagang pagi hingga siang hari. Rata-rata mereka

memiliki kios dan berdagang di Pasar Pujon.


148

“iya jualannya di pasar mulai subuh sampai siang jam 11 itu baru pulang, nanti
sesampainya dirumah berjualan gorengan. Yang di jual macam-macam mbak
kalau toko pracangan ada sembako seperti beras, minyak, telur, sayuran, aneka
macam kebutuhan pokok rumah tangga itu (Wawancara dengan Bu Yani, ketua
Sub-kelompok Maju Jaya)

Dari keterangan tersebut, kegiatan produktif yang dilakukan oleh anggota

kelompok Maju Jaya adalah dengan berdagang sembako dan aneka kebutuhan

pokok di Pasar. Bahkan Bu Yani juga berdagang gorengan sepulangnya dari

pasar, dengan tujuan ingin menambah penghasilan serta memanfaatkan

keterampilan memasak yang dimilikinya, mengingat kondisi pasar yang sering

sepi , sehingga penghasilan yang didapat melalui usaha toko pracangan juga tak

menentu.

Sub-kelompok selanjutnya adalah kelompok PAUD yang bergerak dalam

bidang pendidikan anak usia dini. Kelompok PAUD ini anggotanya adalah

pengurus dan pihak yang ikut dalam rintisan pendirian PAUD dan beberapa staf

pengajar yang bertugas mengajar anak-anak usia dini. Dalam praktikya, sub-

kelompok PAUD bertugas menumbuhkembangkan sikap mandiri dan rasa

percaya diri terhadap anak didiknya, menumbuh kembangkan rasa sosial,

mengajarkan anak didik untuk aktif dan kreatif, dan menumbuhkan minat anak

terhadap pelaksanaan ajaran agama, dan kehidupan sehari-hari.

Sub-kelompok terakhir adalah kelompok Tahu Sehat, yang bergerak dalam

pembuatan tahu sehat tanpa limbah yang dimodifikasi dengan campuran sayur

masyur seprti wortel, bayam, dan sebagainya. Dimana pembuatan tahu dilakukan

dengan alat atau mesin yang dimiliki oleh kelompok. limbah dari tahu (ampas)

tidak dibuang, namun dimanfaatkan untuk membuat nugget, sehingga semua


149

bagian dapat dimanfaatkan dan tidak terbuang. Selain itu Tahu sehat tidak

memakai pengawet pada produknya.

“Dulu berjalan sekitar 2 tahunan, sekarang ini mancet, nggak jalan karena
kendalanya di listrik wattnya besar, berjalan sebentar itupun nggak produksi terus
cuma kalau mau aja, terus kalau ada anak KKN itu, survei dari bank juga kita
praktek, biasanya praktek sering kok praktek dulu di balai desa, di pamong yang
wattnya besar dan kuat” (Wawancara dengan Bu Intan, ketua sub-kelompok Tahu
sehat, pada tanggal 04 Juni 2017)

Saat ini sub-kelompok Tahu Sehat merupakan satu-satunya kelompok

yang tidak berjalan usahanya, karena beberapa kendala dan hambatan seperti

kurangnya biaya produksi, dan terbatasnya alat daya listrik, karena mesin pembuat

tahu memerlukan daya yang besar. Sehingga untuk sementara kelompok tahu

sehat berhenti produksi.

Dalam melakukan kegiatan produktif, anggota-anggota sub kelompok

yang tergabung dalam Posdaya saling mendukung dan bekerjasama antara satu

sama lain. Kegiatan saling dukung dalam melakukan kegiatan produktif tersebut

juga dilakukan oleh anggota dari sub-kelompok yang berbeda. Hal ini juga

ditunjang oleh letak rumah yang saling berdekatan antara satu sama lain, dan

budaya masyarakat desa yang saling membantu dan gotong-royong masih tetap

dipertahankan oleh masyarakat Desa Ngroto, terutama mereka yang tergabung

dalam kegiatan Posdaya. Hal itulah yang membuat mereka bisa saling membantu

dan saling bekerjasama dalam melakukan kegiatan produktif meskipun mereka

berasal dari sub kelompok yang berbeda-beda.

Selain memproduksi macam-macam produk di berbagai bidang, sub-

kelompok yang tergabung dalam Posdaya Desa Ngroto juga telah berupaya

memasarkan produk mereka untuk menambah pendapatan keluarga. Berbagai


150

macam cara telah dilakukan oleh anggota kelompok Posdaya dalam memasarkan

produknya. Mereka memasarkan produknya mulai dari memasarkan produknya

di toko, warung, cafe, menjualnya dipasar, tempat wisata, ada pelanggan sendiri

yang datang bahkan mereka juga mempromosikannya secara online yakni melalui

blog-blog, gup whatsapp, facebook, instagram dan jejaring sosial media lainnya.

5.1.1 Hambatan dalam Proses Pemberdayaan pada Posdaya

Dalam pelaksanaan pemberdayaan pada Posdaya, terdapat beberapa

permasalahan yang mana permasalahan tersebut berawal dari adanya pinjaman

modal, atau kredit usaha yang diajukan oleh anggotan Posdaya Kepada Bank

UMKM Jawa Timur. Yang mana pada saat pencairan bantuan pinajaman kredit

dilakukan pemotongan sepihak oleh ketua atau koordinator umum Posdaya.

Sistem pencairan dana bantuan dari Bank UMKM terlebih dahulu

diserahkan kepada ketua dan koordinator umum Posdaya, kemudian dihimpun

kepada masing-masing ketua dan bendahara sub-kelompok untuk kemudian

disalurkan kepada anggotanya yang meminjam kredit tersebut. sebelum dana

bantuan terealisasi, setiap anggota pada Posdaya telah terlebih dahulu mengajukan

proposal usaha guna untuk melakukan peminjaman dana pada Bank UMKM.

Sebelum dana cair seluruh anggota Posdaya juga telah menerima sosialisasi dan

pelatihan dari Bank UMKM.

Setelah pengajuan proposal, dan di setujui oleh pihak Bank, selanjutnya

dilakukan pengurusan administrasi oleh seluruh anggota, baru sesaat setelah itu

melalui tahap atau proses, sebelum dana dicairkan. Sistem perjanjian kredit

pinjaman telah di tandatangani oleh masing-masing ketua dan bendahara sub-

kelompok. Dalam sistem perjanjian tersebut terdapat nominal pinjaman kredit


151

yang diberikan, angsuran setiap bulannya beserta bunga tiap bulan yang harus

dibayarkan, dan juga persyaratan administrasi lainnya yang harus dipenuhi.

Setelah dana cair, masing-masing anggota kelompok menerima sebesar 2

juta rupiah. Namun dilakukan pemotongan sebesar 400 ribu rupiah oleh pengurus

Posdaya. Uang dari hasil pemotongan tersebut nantinya akan digunakan untuk

pendirian “Koperasi Posdaya”, yang mana dari potongan 400 tersebut rinciannya

adalah sebagai simpanan pokok dan simpanan wajib anggota. Uang yang

terkumpul untuk pendirian koperasi tersebut nantinya akan digunakan secara

operasional dan bergulir, yang mana jika ada anggota kelompok yang

membutuhkan modal uang tersebut akan dipinjamkan ke anggota Posdaya.

Diawal pembentukan Koperasi Posdaya, hanya ketua-ketua sub kelompok

yang diajak berunding, tidak ada anggota yang diajak berdiskusi dan musyawarah

terlebih dahulu terkait rencana pembentukan “Koperasi Posdaya” karena ketua

berharap agar ketua sub kelompok dapat menyampaikan rencana tersebut kepada

masing-masing anggota. Namun saat dana sudah cair dan tersalurkan ke seluruh

anggota, Bu Rusmini sebagai ketua umum Posdaya memanggil seluruh ketua sub-

kelompok untuk mengumumkan jika akan dilakukan pemotongan kredit sebesar

400 ribu untuk keperluan pendirian koperasi. Keputusan tersebut menuai pro-

kontra dari seluruh anggota. Namun karena anggota Posdaya merasa menghormati

beliau kemudian menyerahkan uang tersebut kepada Bu Rusmini, meskipun

banyak dari mereka yang merasa tidak ikhlas dan keberatan dengan adanya

potongan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh informan pada saat proses

wawancara sebagai berikut:

“Ya banyak yang protes mbak waktu itu anggota, kan nggak ada perjanjian
awalnya begitu dana turun cair kok ketuanya langsung dipanggili ke rumah Bu
152

Rusmini terus bicara itu tadi, awalnya ya tanya buat apa-buat apa, terus
dijelaskan sama ketuanya, terus ya manut semua, wong Bu Rusmini yang sudah
carikan pinjaman modal ya, malah saya sama kelompok saya ini nyangoni dulu
sekelompok 300 ribu buat jasanya Bu Rusmini kami iuran, tapi ya diterima sama
Bu Rusmini, padahalkan dia udah dapat fee sendiri dari pihak banknya, wong
saya aja yang wira wiri bayar ke bank batu nggak minta ongkos nggak minta apa.
Ya anggota terus jadi banyak yang getun gitu mbak karena kan nggak semua
kebagian uang pinjaman itu ya, ada yang pinjam nggak dikembalikan, terus ada
yang mau pinjam katanya uangnya habis sudah dipinjam yang lain, ya coba
bayangkan aja mbak, uang 400 ribu itu dikalikan berapa orang aja, banyak
jatuhnya kan puluhan juta itu, makannya terus kepercayaan warga ke Bu Rusmini
jadi berkurang karena nggak ada transparasi dana itu tadi, toh lo koperasinya
terus nggak jalan. La dulu kan ibu-ibu seneng pas dapat bantuan pinjaman itu kan
bayangannya penuh gitu mbak 2 jt, eh la kok moro-moro dipotong, itu
sebelumnya kan nggak ada musyawarah sama kami jadi ya banyak yang kecewa.
Itu bukan dari wewenang bank juga, jadi orang-orang pulang ya langsung syock,
la yok opo mbak wong wes kadung mau nggak mau ya kita manut wong lek
kanthi ketuanya, dia juga yang carikan pinjaman mosok yo katene nglamak mbak
hahaha” (Wawancara dengan Bu Intan, Ketua sub-kelompok Tahu Sehat, pada
tanggal 04 Juni 2017)

Berdasarkan penjelasan dari Bu Intan, bahwa pada pendirian “Koperasi

Posdaya”, pembuatan keputusan dilakukan melalui musyawarah dengan ketua

sub-kelompok saja, tidak ada anggota yang diajak untuk bermusyawarah dan

berdiskusi terkait rencana pembentukan koperasi tersebut. Pemotongan dana

kredit anggota yang dilakukan secara tiba-tiba membuat anggota Posdaya merasa

kaget dengan hal tersebut. Sehingga mereka pasrah dengan keputusan Bu Rusmini

sebagai ketua umum Posdaya. Meskipun mereka keberatan dengan nominal

potongan yang tidak sedikit itu, bagaimanapun mereka tetap harus membayar

angsuran penuh ke Bank disertai dengan jumlah bunga yang dibebankan.

Pada kesepakatan awal, angsuran kredit pinjaman modal setiap bulannya

di serahkan ke Bu Rusmini sebagai ketua Posdaya lalu kemudian pihak Bank yang

mengambil angsuran tersebut kepada pengurus Posdaya. Jadi setiap anggota

memberikan angsuran kepada ketua subkelompok masing-masing, lalu ketua sub-

kelompok menyerahkan angsuran tersebut ke pengurus Posdaya. Pada angsuran


153

pertama dan kedua proses tersebut berjalan dengan lancar. Namun selanjutnya,

mengalami sedikit masalah ketika angsuran anggota yang telah dikumpulkan ke

Posdaya ternyata tidak disetorkan kepada pihak Bank oleh Bu Rusmini. Sehingga

pihak Bank menagih kepada masing-masing ketua dan bendahara sub-kelompok.

“kelompok itu mengumpulkan uang dari anggota yang ngangsur itu, la nanti
ketua yang nyetor ke Bu Rusmini, terus Bu Rusmininya yang setor ke bank. La
tapi masalahnya pas kami udah setor ke Bu Rusmini ternyata Bu Rusmininya
nggak menyetorkan ke bank, jadi pihak bank itu datangi ketua-ketua
kelompoknya, ya awalnya masih lancar aja bulan ke 3, ke 4, sudah mulai nggak
beres itu, terus orang-orang kan akhirnya banyak yang nggak percaya lagi jadi
merasa dimanfaatkan gitu to kami, jadi setelah itu saya yang wira-wiri bayar
angsurannya anggota ke bank di batu sana.. Ya nggak tau ya, bukan suudzon ya
mbak, kata orang-orang ini mungkin uangnya dipakai sendiri sama Bu
Rusmininya, la wong uang kami sudah setor kok terus tiba-tiba pihak bank nagih
ke kami ketua kelompok, ya kami kaget lah waktu itu, wong semua kelompok
digitukan, akhirnya mucul rasa curiga, fikiran negatif, nggak percaya lagi sama
Bu Rusmini jadinya, la semenjak kejadian itu kami yang ngangsur sendiri ke
banknya, nggak lewat Bu Rusmini lagi” (Wawancara dengan IBu Intan, Ketua
kelompok Tahu Sehat, pada tanggal 04 Juni 2017)

Berdasarkan keterangan dari Bu Intan, bahwa permasalahan muncul ketika

proses angsuran modal kredit. Yang mana angsuran yang awalnya terhimpun ke

Bu Rusmini yang dengan maksud memudahkan anggota dalam pembayaran

angsuran, tiba-tiba mengalami kondisi yang tidak beres saat uang angsuran

anggota ternyata tidak disetorkan pada pihak Bank, sehingga pihak bank menagih

ke masing-masing ketua sub-kelompok. Padahal sebelumnya anggota telah

menyerahkan angsuran tersebut ke Bu Rusmini. Kemudian setelah kejadian

tersebut, masing-masing ketua sub kelompok melakukan pembayaran angsuran

secara mandiri ke Bank UMKM cabang Batu.

Kemudian masalah kembali muncul ketika Koperasi Posdaya tidak dapat

berjalan sesuai harapan seluruh anggota Posdaya. Sistem management yang tidak

tertata dengan baik membuat, Koperasi Posdaya mengalami kemandegan dan


154

kerugian. Pasalnya uang koperasi yang telah terkumpul, telah di pinjam oleh

sebagian anggota Posdaya dan tidak kembali hingga saat ini. Sedangkan, anggota

lainnya ada tidak memiliki kesempatan untuk meminjam karena dananya sudah

tidak ada.

“Kalau saya sendiri sungkan mbak mau tanya karena lek kanthi kan masih
saudara sama saya, tapi ada anggota yang tanya itu katanya uangnya ada
dianggota sudah dipinjam-pinjamkan, la tapi lo koperasinya aja nggak jelas, yang
dipinjamkan uang juga orangnya kita nggak tau, harusnya kan terbuka, makanya
wes maleh nggak percaya lagi kita. La wong yang dipinjami uang itu lo orangnya
nggak betul-betul ingin usaha, butuhe dia butuh uang terus langsung dipinjami
sama Lek Kanthi, harusnya kan ada kriterianya yang pinjam itu, terus ada
jaminannya ya meskipun pinjamnya dikelompok sendiri kan kalau ada
jaminannya orang itu nanti bertanggungjawab mengembalikan, kalau sampai
sekarang ini nggak dikembalikan karena pengurusnya nggak tegas itu
tadi”(Wawancara dengan Bu Gina, anggota kelompok Tahu Sehat, pada tanggal
04 Juni 2017)

“Permainan politik memang. Katanya buat koperasi simpan pinjam, pada


kenyataannya kan uangnya dipinjam ya nggak bisa saya mau pinjam udah gak
ada uangnya, dan parahnya gak ada penjelasan ke anggota, dari dana potongan
itu uangnya koperasi terkumpul berapa itu nggak transparan mbak, la
anggapannya anggota kan terus mungkin uang itu dipakai pribadi, soalnya
meskipun dipinjam anggota, anggota yang mana yang pinjam? Gak bisa ngasih
keterangan. Kalau menurut saya ya itu sistemnya yang salah, harusnya uang
pinjaman bank itu nggak usah diberlakukan potongan tapi mending anggotanya
ditarik i aja buat mendirikan koperasi, kalau kaya gitu saya yakin sampai
sekarang Posdaya jalan, jadi semua anggota itu harusnya dikumpulkan dan
ditanyai, biar nggak fatal” (Wawancara dengan Pak Angga, Ketua kelompok
Gemah Ripah, pada tanggal 06 Juni 2017)

Berdasarkan keterangan dari Bu Gina dan Pak Haryono, bahwa

pembentukan koperasi tidak berdasarkan keputusan bersama seluruh anggota

Posdaya, dan keputusannya cenderung dilakukan sepihak oleh pengurus Posdaya

dan para ketua sub-kelompok tanpa adanya rencana dan musyawarah sebelumnya.

Sehingga keputusan yang mendadak dan cenderung tergesa-gesa tersebut

dimaknai oleh anggota sebagai permainan politik dari ketua umum Posdaya.

Bahkan setelah koperasi Posdaya berdiri, tidak ada transparasi dana oleh pengurus

Posdaya kepada seluruh anggota Posdaya. Jumlah uang yang terkumpul, jumlah
155

uang yang keluar, dan sisa uang yang masih tidak di jelaskan secara transparan

oleh pengurus kepada anggotanya. Akibatnya banyak anggota yang berburuk

sangka dan menganggap jika uang tersebut disalahgunakan oleh pengurus.

Pasalnya ketika sebagian anggota dari Posdaya akan meminjam uang tersebut,

ternyata uangnya sudah tidak ada. Karena menurut keterangan dari ketua

Posdaya, uang tersebut telah dipinjamkan kepada anggota Posdaya. Tidak ada

kejelasan dan transparasi jumlah uang koperasi yang masuk, keluar, dan yang

tersisa membuat anggota semakin kesal dan menurunkan tingkat kepercayaan

mereka terhadap ketua.

Bahkan menurut anggota, seharusnya pendirian koperasi harus dengan

perencanaan yang matang terlebih dahulu dari seluruh anggota kelompok. Jika

rencana tersebut disetujui oleh anggota bahkan anggota bersedia iuran untuk

pendirian koperasi. Namun jika tiba-tiba pemotongan dilakukan disaat anggota

memperoleh pinjaman kredit maka hal tersebut dirasa memberatkan. Karena

potongan yang hampir 25% dari jumlah kredit yang diterima guna keperluan

koperasi, tidak semua anggota merasa berikhlas hati dengan keputusan tersebut.

Bahkan tak jarang dari mereka yang merasa bahwa potongan tersebut sangat

membebani mereka, karena selain menerima potongan dari Posdaya juga harus

membayar angsuran dan bunga setiap bulannya selama 2 tahun.

Selain itu, sistem pinjaman koperasi cenderung kurang selektif dan tidak

ada persyaratan sebagaimana koperasi lainnya. Karena seharusnya, pihak

pengurus tidak asal memberikan pinjaman bantuan dana koperasi bagi

anggotanya. Harus ada kriteria tertentu bagi yang meminjam, mulai dari batas

maximal pinjaman, jaminan yang diberikan, serta kegunaan dari pinjaman


156

tersebut, karena dikhawatirkan uang tersebut bukan untuk pengembangan usaha

namun justru untuk keperluan lainnya. Namun prakktiknya justru anggota yang

meminjam dipinjamkan begitu saja tanpa adanya jaminan yang dibebankan.

Seharusnya meskipun Koperasi Posdaya hanya koperasi kelompok, bukan

koperasi yang besar dan berbadan hukum seperti koperasi pada umumnya, tetap

harus terdapat aturan yang mengatur, kebijakan, kriteria dan syarat peminjam

kredit, jaminan, serta yang paling penting harus ada transparasi dana yang jelas

kepada seluruh anggota. Karena beberapa faktor tersebut sangat penting untuk

berlangsungnya keharmonisan dan berjalannya suatu lembaga dan organisasi di

masyarakat. Agar tujuan dari pada pembangunan dan pemberdayaan masyarakat

benar-benar tercaipai dan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan.

Namun menurut penuturan Bu Rusmini sebagai ketua dan dan koordinator

umum Posdaya, terdapat fitnah dari masyarakat yang ditujukan kepada dirinya

saat sebelum dan sesudah pencairan bantuan dana kredit dari Bank UMKM.

Menurutnya masyarakat cenderung bertindak berlebihan. Seperti keterangan dari

Bu Rusmini pada saat wawancara sebagai berikut:

“Mungkin selak orang itu puengen uangnya timbul fitnah, waktu itu suami saya
sedang sakit jantung ya, pas rapat ibu-ibu dibawah sini treak-treak manggilin
saya, begitu itu ada kelompok yang proposalnya udah di acc ada juga yang belum
karena serentak kan pencairan semalang raya waktu itu. Itu fitnahnya mereka
uang itu ada disaya, dia sendiri nggak tau prosedurnya kalo uang itu diterimakan
dikelompok masing-masing itu nggak eruh, ya dikira uangnya diaku nggak
dibagi-bagi “uang kok didekemi dewe ae gak dibagi-bagi” jarene, lo lo padahal
aku iki nggak eruh rupane duite aku itu cuma merekomendasi, gak oleh opo-opo
mbe pak lurah malah dipisuhi wong akeh”. Kan harus ada rekomendasi saya
dengan pak kades dulu baru pinjamannya cair. Tapi ya gitu ada aja fitnah kaya
gitu doh ya alloh rek wes ditulung malah mentung. Ya tapi biarlah mereka kan
nggak tau bagi saya itu tak anggep ibadah wes”. (Wawancara dengan Bu
Rusmini, Ketua dan koordinator umum Posdaya, pada tanggal 31 Mei 2017)

Berdasarkan keterangan dari Bu Rusmini, sentimen dari masyarakat sudah

muncul sejak kredit pinjaman belum cair. Bahkan ada anggota yang memfitnah
157

Bu Rusmini bahwa sebenarnya uang tersebut sudah ada di Bu Rusmini namun

tidak kunjung dibagikan kepada anggota. Menanggapi hal tersebut Bu Rusmini

berusaha tidak terpancing emosi dan berusaha menjelaskan kepada anggotanya

terkait mekanisme pencairan dana kredit tersebut. Menurut Bu Rusmini, beliau

ikhlas membantu anggotanya mencarikan bantuan kredit modal usaha, agar tujuan

awal dari program pemberdayaan pada Posdaya yang digagasnya dapat berjalan

sesuai visi dan misinya, yakni untuk menciptakan kemandirian dan kesejahteraan

anggota Posdaya, dan mampu mengembangkan UMKM yang dijalankan oleh

anggotanya.

Terkait pendirian Koperasi Posdaya hal tersebut dimaksudkan agar

Posdaya memiliki koperasi simpan pinjam, sehingga dengan adanya koperasi

maka harapannya bisa membantu anggota dalam memberikan pinjaman modal

usaha, yang mana uang yang terhimpun dari anggota dan untuk anggota Posdaya.

pada saat proses wawancara Bu Rusmini tidak menjelaskan apakah pendirian

koperasi sudah melalui perencanaan yang matang. Beliau hanya menjelaskan

bahwa pendirian koperasi dimaksudkan agar uang anggota bisa berputar, dan

tujuannya untuk kesejahteraan anggota juga.

Di awal pembentukan Posdaya, anggotanya sudah pernah dimintai iuran

sebesar Rp.125 ribu rupiah, uang tersebut sebagai simpanan pokok dan simpanan

wajib anggota. Namun kemudian uang tersebut sebagian digunakan untuk

membeli alat atau mesin pembuat tahu yang mana mesin tersebut digunakan

untuk kegiatan produksi tahu oleh Sub-Kelompok Tahu Sehat. Mesin tersebut

dibeli dari Lembaga Insan Mandiri sebesar Rp 5 jt rupiah. Namun mesin tersebut

hanya digunakan produksi selama 2 tahun saja, karena adanya faktor penghambat
158

yang membuat sub-kelompok Tahu Sehat tidak dapat produksi lagi dan macet

hingga saat ini.

Sedangkan kemacetan Koperasi Posdaya disebabkan karena uang anggota

yang seharusnya dapat diputar peminjamannya secara bergantian oleh anggota,

justru uangnya saat ini masih ada pada anggota, dan belum dikembalikan ke

Posdaya hingga saat ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bu Rusmini sebagai

berikut:

“Ya mau gimana mbak dipaksao ya kalau nggak ada dan nggak ada kemauan dari
diri sendiri untuk melunasi ya gitu, ya gimana wong itu uang kelompok ya dulu
modal awalnya ya kita patungan buat koperasi Posdaya, 125 ribu per anggota lalu
dibelikan mesin tahu, kemudian potongan pinjaman dari bank jatim 400 ribu
dikalikan kan banyak la itu uangnya i anggota yang pinjam, ada catatannya siapa-
siapa saja yang pinjam, nominalnya berapa. Ada yang pinjam di bank juga belum
dilunasi sampai sekarang ya karena tanggung renteng itu, ada anggota kelompok
yang sudah lunas ada sebagian yang masih punya tanggungan karena
penanggungjawab kan ketua sama bendahara la kalau ini dalam satu kelompok
belum lunas yang kena b i checking ketua sama bendaharanya” (Wawancara
dengan Bu Rusmini, Ketua dan koordinator umum Posdaya, pada tanggal 31 Mei
2017)
Berdasarkan wawancara tersebut, bahwa Bu Rusmini memiliki catatan

siapa-siapa saja yang meminjam uang tersebut. Namun beliau enggan memaksa

anggota yang meminjam uang koperasi untuk dikembalikan karena mereka yang

meminjam tidak memiliki usaha untuk mengembalikan pinjamannya. Bahkan

meliau menjelaskan bahwa masih banyak anggota-anggota Posdaya yang masih

memiliki hutang dengan Koperasi Posdaya dan juga dengan pihak Bank UMKM

yang hingga sampai saat ini masih belum diselesaikan. Menurut Bu Rusmini

anggota yang belum melunasi pinjamannya karena mereka mengandalkan prinsip

tanggung-renteng yang selama ini diterapkan oleh anggota kelompok. yang mana

jika ada anggota yang tidak mampu melunasi pinjaman, akan dibantu terlebih

dahulu oleh anggota lainnya secara bersama-sama melakukan iuran, kemudian


159

nanti jika pihak yang dibantu sudah memiliki uang, pihakya akan mengganti uang

tersebut pada anggota kelompokn ya yang telah membantunya.

Namun prinsip tersebut tidak berjalan lagi, karena banyaknya anggota

yang memiliki hutang, sehingga anggota lain tidak sanggup jika harus

menerapkan prinsip tanggung-renteng. Sehingga hal tersebut menjadi penyebab

kemacetan koperasi Posdaya dan juga berdampak pada kelompok lain yang sudah

lunas angsurannya ke Bank, mereka tidak dapat mengajukan angsuran lagi karena

mereka terkena b i checking dari pihak Bank yang disebabkan oleh anggota yang

masih memiliki tunggakan yang belum dilunasi. Pernyataan Bu Rusmini diperkuat

oleh pernyataan Bu Mia sebagai ketua sub-kelompok Rajut sebagai berikut:

“sulit dijelaskan mbak, apalagi banyak anggota yang belum tau tujuan
dibentuknya koperasi. Jadi banyak yang salah paham bahkan jadi ada yang
menjelekkan bu rusmini, apalahgi menyangkut bantuan yang katanya
pembagiannya tidak merata itu maksudnya tidak begitu. Maunya koperasi di
buat sebagai simpan pinjam, gantian siapa yang membutuhkan, tapi salahnya
yang udah pijam itu nggak mau membayar hutangnya dan juga nggak mau
membungai. Jadi intinya sebenarnya dana yang macet ada di anggota tapi banyak
orang yang nggak ngerti. Kemana larinya simpanan pokok. Sebenarnya kan uang
ada pada anggota ada mbak catatannya semua di Bu Rusmini.

Sebetulnya sudah dicoba mbak mengundang tapi ndak ada respon i, mereka diam
seolah ndak ada masalah ndak ada utang piutang. Ya seperti itu memang ya,
uangnya ada pada mereka tapi gak gelem mbalekno. Wong dulu itu maunya
dibentuk koperasi kelompok simpan pinjam dari anggota untuk anggota biar
uangnya muter tapi faktanya sekarang malah gak mbalik uangnya, karena ada
yang nggak disiplin akhirnya malih mandeg” (Wawancara Dengan Bu Mia,
Ketua Kelompok Rajut, Wawancara Pada Tanggal 31 Mei 2017)

Berdasarkan keterangan dari Bu Mia tersebut, bahwa sebenarnya tidak

berjalannya Koperasi disebabkan oleh adanya ketidakdisiplinan anggota yang

melakukan hutang-piutang karena mereka enggan untuk menyelesaikan

tanggungannya. Selain itu banyak anggota yang belum tau tujuan dibentuknya

koperasi dalam posdaya sehingga banyak yang salah paham. Sehingga Koperasi

Posdaya tidak dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan sejak awal saat
160

musyawarah dengan seluruh ketua sub-kelompok. Menurut Bu Mia, pihak

pengurus Posdaya sudah pernah mengundang anggota yang meminjam uang

kepada Koperasi, namun tidak ada respon dan tanggapan apapun dari mereka.

Sehingga kemudian pengurus membiarkan hal tersebut dan tidak melakukan

tindaklanjut atas permasalahan tersebut, karena tidak ingin terjadi sesuatu yang

tidak diinginkan.

Mengacu dari adanya permasalahan tersebut, bahwa dalam praktik

pemberdayaan yang ada pada Posdaya terdapat sebuah kekuasaan yang

mendominasi dari ketua kelompok Posdaya. Yang mana agen tersebut memiliki

kemampuan untuk mempengaruhi keadaan atau peristiwa yang terjadi. Kekuasaan

disini didefinisikan sebagai maksud atau kehendak sebagai kemampuan untuk

menggapai hasil-hasil yang diinginkan atau dimaksudkan, yang mana dalam

sistem sosial kekuasaan memiliki suatu kontinuitas disepanjang ruang dan waktu

dan terdapat rutinisasi dari relasi-relasi kemandirian dan ketergantungan diantara

para aktor atau kelompok dalam konteks interaksi sosial yang mereka lakukan.

Dalam struktur Posdaya terdapat struktur organisasi terkait kepengurusan

dan keanggotaan yang mana terdapat interaksi yang terjalin antara agen yang

terlibat didalamnya. Kehadiran Bu Rusmini sebagai penggagas terbentuknya

Posdaya menjadikan posisinya sebagai ketua dan koordinator umum Posdaya.

Sebagai ketua ia memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur atau

mempengaruhi anggotanya yang kemudian hal tersebut menjadikan dia sebagai

expert agent. Namun dalam praktiknya, tindakan yang dilakukan oleh Bu Rusmini

dianggap menyalahi sistem yang ada telah memunculkan sebuah sentimen negatif

pada kelompoknya. Begitupun dengan tindakan yang dilakukan oleh anggota


161

kelompok yang juga tidak sesuai dengan sistem yang disepakati yang kemudian

hal tersebut memunculkan permasalahan. Kelembagaan Posdaya merupakan salah

satu unsur yang memegang peranan penting pada kegiatan pemberdayaan dan

pembangunan masyarakat Desa Ngroto. Dengan tidak berjalannya sistem pada

kelembagaan Posdaya dapat menyebabkan adanya rasa ketidakpercayaan dan

sentimen dari masyarakat, khususnya dari anggota Posdaya sendiri, yang

kemudian memuculkan masalah-masalah dalam Posdaya dan menghambat

berjalannya praktik pemberdayaan pada Posdaya.

Selain itu juga terdapat hambatan yang dihadapi oleh anggota Posdaya.

Secara umum hambatan tersebut merupakan hambatan internal yang terjadi dalam

ruang lingkup kelompok. Hambatan tersebut antara lain dapat berupa kurangnya

permodalan, lemahnya jaringan pemasaran produk, terbatasnya sarana dan

prasarana usaha, ketidakmerataan pembagian bantuan kepada anggota, dan tidak

berjalannya sistem kelembagaan Posdaya. Hambatan-hambatan tersebutlah yang

menjadi kendala anggota Posdaya dalam menjalankan usahanya.

Dalam segi permodalan, anggota Posdaya seringkali mengalami kesulitan.

Padahal modal menjadi faktor utama dan penentu berjalannya suatu usaha.

Dengan tidak adanya modal maka anggota Posdaya akan sulit dalam melakukan

kegiatan produktif. Selain kondisi perekonomian anggota Posdaya yang pas-

pasan, kurangnya bantuan keuangan dari pemerintah, serta tingginya suku bunga

kredit yang dibebankan oleh lembaga keuangan menjadi faktor penghambat secara

finansial. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bu Ana dalam wawancara

sebagai berikut:

“Kalau saya hambatannya ini ya di modal aja. Kan jualan hasile nggak mesti,
kalau pemasarannya itu lancar..la gimana mbak kalau mau pinjam di bank juga
162

bunganya besar nggak berani. ini saya kalau pamanya bikin ini itu bingung nanti
modalnya” (Wawancara dengan Bu Ana, ketua sub-kelompok Sarinah Creative
pada tanggal 31 Mei 2017)

“Hambatannya itu dipermodalan mbak, ya itu susah sekali kadang itu kalau orang
ngambil bayarnya belakangan kalau barang sudah laku, kadang dikasih separonya
dulu, la saya untuk beli bahan baku lagi kan kadang suka susah nggak ada uang.
Jadi yang paling utama ya modal produksi ini. Kadang ya saya ini ngakalinya
gini mbak kalau saya nggak punya uang nanti saya datang ke toko buat minta
bahan baku kaya minyak, tepung, gula, telor, mentega itu, la nanti kalau misalkan
bahan itu sudah saya olah jadikan jajanan, jajanan itu saya titipkan lagi ke toko
tempat saya hutang, nanti kalau barang laku ya itungannya belakangan
(Wawancara dengan Bu Susi, anggota sub-kelompok Sarinah Creative pada
tanggal 31 Mei 2017)

Berdasarkan keterangan dari Bu Ana dan Bu Susi, bahwa hambatan dalam

praktik usahanya lebih pada segi permodalan. Karena dengan tidak adanya modal,

mereka tidak dapat melakukan kegiatan produksi sehingga mereka harus

menempuh jalan lain dengan berhutang terlebih dahulu kepada pemilik toko

penjual bahan baku produksi. Mereka tidak memiliki keberanian untuk meminjam

kredit modal di Bank karena bunga yang dibebankan cukup besar. Sehingga

biasanya mereka lebih memilih berhutang bahan baku ke toko kemudian setelah

proses produksi akan diganti dengan barang jadi, atau menunggu hasil dari

penjualan produknya.

Selain dalam segi permodalan, lemahnya jaringan pemasaran produk juga

menjadi hambatan. Karena dengan tidak adanya jaringan pemasaran, anggota

Posdaya sering kesulitan untuk memasarkan produk usahanya. Pemasaran

usahanya rata-rata masih dalam skala kecil seperti mendistribusikannya ke toko,

pasar, dan menunggu pesanan dari konsumen. Biasanya konsumen akan menelfon

jika akan melakukan order. Sebagian besar anggota Posdaya kurang bisa

memanfaatkan media sosial sebagai sarana pemasaran, oleh karena itu jaringan
163

pemasaran produk yang mereka hasilkan dapat dikatakan masih lemah. Meskipun

mereka telah banyak memiliki pelanggan tetap.

“Hambatannya paling ya di modal sama di pemasaran. Kadang modalnya kurang,


terus ini kan belum ada izin PIRT nya, masih ngajukan. Kalau pemasaran jamu
kan agak susah orang kan nggak tiap hari minum jamu, jadi kadang
pemasarannya juga tergantung permintaan, kadang nitip gitu ditoko nggak laku-
laku, karena jarang yang minat mungkin ya, padahal manfaatnya banyak, jamu
ini kan nggak ada pengawetnya jadi aman dikonsumsi dan menyehatkan. Kendala
PIRT ini sama pemasaran ini sebenarnya produk ini menjanjikan kalau PIRT nya
sudah turun, saya bisa memasarkannya bebas” (Wawancara dengan Bu Nita,
Anggota kelompok Seger Waras, pada tanggal 02 Juni 2017)

Dari keterangan Bu Nita, kendala pemasaran juga dapat disebabkan karena

produk yang dihasilkan belum memiliki izin PIRT dari Badan POM, sehingga

produk tersebut tidak dapat dipasarkan secara bebas. Minat dari konsumen yang

tidak setiap hari mengkonsumsi produk juga menjadi kendala pemasaran. Karena

jika minat konsumen rendah, daya beli juga akan rendah, sehingga pemasaran

produk menjadi terhambat.

Hambatan selanjutnya adalah terbatasnya sarana dan prasarana. Karena

sarana dan prasarana menjadi faktor penunjang berjalannya kegiatan produksi.

Jika sarana prasarana produksi kurang memadai maka hal tersebut dapat menjadi

penghambat. Sarana dan prasarana produksi dapat berupa alat produksi, dan

ketersediaan sumberdaya yang dapat menunjang berjalannya kegiatan produksi.

Dalam melakukan kegiatan produksinya, anggota Posdaya memanfaatkan

sumberdaya alam sekitar dan menggunakan mesin yang dapat membantu

berjalannya proses produksi.

“Dulu berjalan sekitar 2 tahunan, sekarang ini mancet, nggak jalan karena
kendalanya di listrik wattnya besar, berjalan sebentar itupun nggak produksi terus
cuma kalau mau aja, terus kalau ada anak KKN itu, survei dari bank juga kita
praktek, biasanya praktek sering kok praktek. dulu di balai desa, di pamong yang
wattnya besar dan kuat (Wawancara dengan Bu Intan, Ketua kelompok Tahu
Sehat, pada tanggal 04 Juni 2017
164

“Ya pertama modalnya sering kurang, terus musim juga pengaruh kalau musim
hujan bibit laris laku keras orang banyak cari tapi kalau hujannya deras tanaman
rusak ya rugi,meskipun udah pakai penutup plastik tapi kadang ambrol
kebanjiran. kalau musim kemarau orang cari bibit jarang, kita kesulitan air,
kadang sampai bibit tinggi-tinggi buang karena panen gak laku ya rugi, sama
kalau ada yang terserang hama itu..kalau itu pasti rugi. Gak laku kaya gitu lo
mbak..seperti kubis itu … puanas gitu ..terus gak ada yang mau..ya siapa yang
butuh musim kaya gini.. Kaya brokoli juga.. modal tana 2 juta terus gak laku..ya
berhenti nanam terusan ,,rugi kaya gitu, susah cari modal lagi. (Wawancara
dengan Bu Nurul, Anggota kelompok Makaryo Bersama, pada tanggal 02 Juni
2017)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bu Intan, kesulitan dalam hal

ketersediaan dan biaya listrik menjadi faktor penghambat tidak berjalannya

kegiatan produksi pada sub-kelompok tahu sehat. Meskipun kegiatan produksi

pada kelompok tersebut ditunjang oleh adanya alat atau mesin pembuat tahu,

namun kendalanya terletak pada besarnya watt listrik dari mesin yang digunakan,

terbatasnya sumberdaya listrik dan biaya produksi yang dimiliki oleh anggota

membuat proses produksi tidak dapat berjalan, sehingga kegiatan produksi tahu

sehat tanpa limbah pada kelompok tersebut harus mengalami kemandegan untuk

sementara waktu. Dalam dinamika kelompok produktif, kelompok tahu sehat

hanya sanggup menjalankan kegiatan produksi tahun selama 2 tahun saja

semenjak awal pendirian Posdaya sejak tahun 2013 lalu, dan sudah berhenti

produksi sejak 2015 lalu.

Tidak berjalannya produktivitas tahu antara lain karena terbatasnya biaya

produksi dan fasilitas penunjang yang digunakan dalam produktivitas tahu sehat

tanpa limbah. Karena mesin produksi yang digunakan dalam pembuatan tahu

sehat memiliki daya listrik yang tinggi, sedangkan kapasitas daya listrik milik

seluruh anggota tidak ada yang besar, rata-rata rumah anggota tahu sehat hanya

memiliki sekitar 900-1000 Watt / Volt Ampere, sedangkan mesin pembuat tahu

memiliki watt yang cukup besar sehingga dalam produksinya kelompok pembuat
165

tahu sering menumpang di balai desa, bahkan dirumah salah satu pamong desa.

Biasanya mereka menghabiskan sekitar 100-200 ribu rupiah untuk membeli token

listrik dalam sekali produksi tahu sehat tanpa limbah. Besarnya biaya produksi

tersebut dirasa membebani anggota kelompok tahu sehat, dan mejadi faktor

utama macetnya kegiatan produksi pada kelompok tersebut.

Selain itu dari keterangan Bu Nurul, selain memiliki hambatan modal yang

sering kurang dalam pembelian benih dan pupuk untuk pembibitan. Cuaca yang

kurang bersahabat juga menjadi penghambat kegiatan produksinya, karena jika

curah hujan tinggi bibit yang ditanam seringkali rusak, dan jika musim panas,

bibit seringkali tidak laku karena jarangnya orang yang mencari bibit. Hal ini juga

dipengaruhi oleh sarana dan prasarana yang memadai, karena jika musim hujan

penutup plastik yang digunakan untuk menutupi bibit kurang bisa menampung air

hujan sehingga ambrol dan bibitpun menjadi rusak. Karena rata-rata anggota

kelompok pembibitan hanya memakai fasilitas seadanya seperti plastik dan

peyangga babmbu yang digunakan untuk melindungi bibit-bibitnya. Bahkan jika

bibit terserang hama, petani akan merugi karena bibit yang dihasilkan akan rusak.

Selain itu adanya pengaruh musim juga menjadi penghambat, karena jika musim

panas sayuran banyak yang tidak laku dipasaran, minat konsumen menjadi rendah

sehingga bibit yang sudah waktunya panen tidak laku karena tidak ada yang

mencari bibit sayur.

Hambatan selanjutnya adalah terkait tidak meratanya pembagian bantuan

alat atau mesin kepada anggota Posdaya. Selama ini Posdaya sering mendapatkan

bantuan berupa alat atau mesin produksi dari Universitas Brawijaya. Namun

bantuan tersebut pembagiannya tidak merata ke anggota-anggota Posdaya. Jumlah


166

bantuan yang jumlahnya terbatas, hanya diberikan bagi anggota-anggota tertentu

saja. Sehingga hal tersebut menyebabkan adanya kecemburuan sosial dan rasa iri

dari anggota lainnya yang tidak mendapatkan bantuan serupa.

“Ya gitu kemarin dapat uang dari orang malang itu juga gitu dipilihin, kalau
seperti plek-plek e Bu Rusmini itu seperti Bu.Harnanik itu plek e yang dapat
oven dari Brawijayaa yang deketnya dia..itu ovennya malah nganggur itu,
kemarin dia bilang “itu ovennya nganggur itu, gak digawe sak loyang-loyange"
gah aku. Males geret aku..saya da oven kecil malah enak itu pakai seadanya aja.
cuman kemarin kan orang-orang dapat dana saya juga gak tahu, dana nya di
Bu.Kanti semua. Saya gak pernah tahu. Ya gitu mbak, jadi anggota itu banyak
yang iri karena “yang lain dapat kok saya nggak dapat” harusnya bantuannya
merata kalau bisa biar gak ada yang cemburu hehe” (Wawancara dengan Bu Ana,
Ketua sub-kelompok Sarinah Creative pada tanggal 31 Mei 2017)

“Dulu sih pernah disuruh nyatet butuhnya apa gitu mesin ini mesin ini, tapi yo
sampek sekarang nggak terealisasi, malah saya dengar kelompok rajut yang dapat
bantuan mesin jahit dari Brawijaya kan, ya nggak tau mbak mungkin sama
ketuanya di kasih ke yang lebih membutuhkan, soalnya dipikir kelompok
skrikandi sudah pada punya mesin jahit sendiri-sendiri padahal ya ada anggotaku
yang mesinnya rusak, tapi harusnya kan adil a mbak, soalnya banyak mbak
kelompok yang dapat bantuan alat itu ya kelompok jamu, kelompok pembuat
jajanan, tapi mau gimana-gimana yang berkuasa yang berhak menentukan ya
hahaha” (Wawancara dengan Bu Dewi, Ketua Kelompok Srikandi Collection,
pada tanggal 04 Juni 2017)

Berdasarkan keterangan dari Bu Ana dan Bu Dewi, bahwa pemberian

bantuan selama ini sifatnya belum dapat merata. Dan hanya kelompok-kelompok

tertentu saja yang mendapatkan bantuan. Seperti bantuan pada kelompok Sarinah

Creative, berdasarkan hasil observasi sudah terdapat tiga anggota pada kelompok

tersebut yang sudah mendapatkan bantuan alat, seperti alat penggiling pastel,

Oven besar dan loyang, serta mesin pemotong bawang. Padahal anggota

kelompok lain juga membutuhkan bantuan. Menurut penuturan dari beberapa

anggota, praktik pemberian bantuan tidak merata dan terkesan dipilih-pilih, hal

tersebutlah yang menimbulkan adanya kecemburuan sosial pada anggota Posdaya.


167

5.2 Pola-Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pemberdayaan Posdaya

Partisipasi masyarakat menjadi modal utama terlaksananya kegiatan

pemberdayaan dalam lingkup Posdaya. Karena dengan adanya partisipasi dan

motivasi masyarakat, organisasi Posdaya dapat terbentuk dan berjalan hingga saat

ini. Derajat partisipasi yang tinggi akan menjadi penentu berjalannya proses

pemberdayaan. Pemberdayaan akan berjalan efektif dan berlanjut (sustainable)

jika anggotanya dilibatkan dalam partisipasinya, dan juga dalam pengambilan

keputusan yang terkait dengan program yang akan dijalankan dalam lingkup

Posdaya yang bersifat bottom-up. Secara garis besar, partisipasi dibedakan atas: 1)

partisipasi pasif, yang mana masyarakat dilibatkan dalam tindakan yang telah di

rancang oleh orang lain, 2)partisipasi aktif, yakni pelibatan diri untuk

mengkontrol solusi dan masalah yang dihadapi (Iqbal, 2007)

Menurut Sumardi (2010), secara umum partisipasi dapat dimaknai sebagai

peran serta atau pelibatan seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses

pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan

dengan memberikan sebuah masukan atau sumbangsih pemikiran, tenaga, waktu,

keahlian, modal, maupun materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-

hasil pembangunan. Jadi dengan adanya partisipasi dari masyarakat dalam

kegiatan pembangunan maupun kegiatan pemberdayaan, akan dapat

memaksimalkan kekuasaan serta kontrol ditangan anggota masyarakat itu sendiri

agar mereka dapat megambil keputusan terkait dengan program pembangunan

yang sedang dilakukan, yang mana nantinya pembangunan tersebut akan dapat

mempengaruhi nasib serta masa depan mereka selanjutnya.


168

Selain itu, adanya partisipasi dari masyarakat melalui keikutsertaan,

keterlibatan, dan kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kegiatan, akan

memudahkan mereka dalam mencapai tujuan pembangunan serta dapat

mengontrol dan memaksimalkan kekuasaan mereka. Dengan memaksimalkan

kontrol dan kekuasaan ditangan masyarakat, maka mereka akan dengan mudah

dalam mengambil keputusan terkait program pembangunan yang sedang

dilakukan.

Pola-pola partisipasi masyarakat Desa Ngroto dalam pemberdayaan

Posdaya ini dapat dilihat dari dinamika partispasi yang terjadi dalam kegiatan

pemberdayaan. Mulai awal pembentukannya, mayoritas masyarakat bergabung

dalam kegiatan pemberdayaan pada Posdaya adalah mereka yang dalam kategori

kurang mampu atau sebagai perempuan miskin pedesaan yang hidupnya serba

pas-pasan, sedangkan mereka yang yang memiliki kondisi perekonomian yang

tergolong mampu justru enggan mengikuti kegiatan pemberdayaan. Hal ini seperti

yang diungkapkan oleh Bu Rusmini dalam wawancara sebagai berikut:

“Yang mau bergabung itu mereka-mereka yang kurang mampu. Orang-orang


yang kondisiya mapan yaudah nggak mau tau.karena bagi mereka segalanya bisa
dibeli dengan duit kok. Di desa pun mau ada karnaval, mau ada lomba senam itu
ya yang mau tampil disitu ya kelompok moderat ya kelompok marginal jarene.
Haha. Susah kok dimasyarakat itu mencari orang-orang yang perduli sesama.
Jangan kan orang yang nggak punya kedudukan apa-apa, ibu kepala desa sendiri
itu lo yang harusnya punya perananan penting terhadap perempuan yang ada di
Desa ini harusnya kan perduli. Tapi nggak perduli sama sekali kok. Harusnya
sebagai istri kepala desa, wes nggak usah jauh-jauh dalam lingkup RT nya sendiri
wes yang kelihatannya kaya gini apa yang harus saya perbuat dengan dia, didesa
ku ini ada program apa sih sekarang lebih-lebih ditunjang BUMDES, ya entah
gimana. Pagi ditengok i apa gimana, nggak sama sekali, malah sibuk dengan
dirinya sendiri. Makanya saya berharap kalian ini nanti minimal dalam sekup
keluarga, tetangga, saudara itu ya digetok tularnya (dari mulut ke mulut) satu
sama lain setidaknya ada keperdulian saja tidak harus berupa materi, peduli
terhadap sesama saling memberikan informasi itu sudah luar biasa”. (Wawancara
dengan Bu Rusmini selaku ketua dan koordinator umum Posdaya pada tanggal 31
Mei 2017)
169

Dari keterangan Bu Rusmini, bahwa partisipasi masyarakat dalam

kegiatan pemberdayaan didominasi oleh masyarakat yang kurang mampu dan

ingin berkembang melalui kegiatan pemberdayaan. Peranan dari masyarakat yang

dalam kategori mampu atau mereka yang punya wewenang mengatur masyarakat

desa justru sangat kurang. Kurangnya keperdulian terhadap sesama membuat

kelompok miskin menjadi termarginalkan atau terpinggirkan karena tidak

mendapatkan perhatian dari masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu dengan

berpartisipasinya masyarakat dalam Posdaya nantinya diharapkan akan mampu

meningkatkan keperdulian terhadap sesama.

Dalam praktiknya, penggagas terbentuknya Posdaya dan seluruh anggota

terus dilibatkan dalam rancangan-rancangan program untuk Posdaya serta

berbagai kegiatan yang dilaksanakan serta yang mereka rasakan sebagai orang

yang diberdayakan. Utamanya dalam kegiatan pengembangan perekonomian dan

Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Hal ini sesuai dengan pernyataan Bu

Rusmini selaku ketua dan koordinator umum Posdaya yang menggagas

terbentuknya Posdaya:

“Ya tentunya motivasi itu kepinginnya walaupun dalam sekup kecil tapi kita
berharap masyarakat itu ikut berpartisipasi dalam pembangunan perekonomian
sebab yang namanya UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) itu tidak
pernah ada istilah gulung tikar karena kalo dia sekali saja tidak bekerja tentunya
kebutuhan sehari-harinya tidak akan tercukupi tanpa dia ada tindakan, dari pada
mereka tidak berbuat apa-apa sama sekali mending kan ya mau berusaha. Selain
itu saya melihat ibu-ibu banyak yang mengganggur dan kurang produktif ya
mungkin ada sebagian yang punya usaha tapi kan mereka belum punya organisasi
yang bisa mereka jadikan wadah untuk sharing, jadi saya muncul ide untuk coba
menggerakkan mereka, memotivasi mereka, agar mau berkembang melalui
Posdaya. Pokoknya saya rangkul saya ajak untuk berfikir, membuat kebijakan,
berusaha, dan harus memiliki semangat tinggi, itu kuncinya kalau mau berhasil”
(Wawancara dengan Bu Rusmini selaku ketua dan koordinator umum Posdaya
pada tanggal 31 Mei 2017)
170

Seperti yang diungkapkan oleh ketua umum Posdaya, bahwasannya

keterlibatan masyarakat sebagai anggota Posdaya dimulai dari awal pembentukan

gagasan dengan mengajak mereka untuk berfikir, merumuskan kebijakan, hingga

pelaksanaan program yang harus disertai dengan usaha dan semangat yang tinggi,

untuk mencapai tujuan yang diinginkan melalui Posdaya yang berperan sebagai

struktur atau wadah yang mampu menjembatani mereka dalam mengembangkan

kegiatan sosial dan ekonomi yang produktif. Dalam proses pembangunan,

partisipasi merupakan sesuatu yang harus ditumbuh kembangkan melalui proses

yang aktif dari individu maupun kelompok dengan mengambil inisiatif dan

menggunakan hak kebebasannya untuk melakukan kegiatan dengan sukarela dan

mau ikut serta dalam kegiatan pembangunan dimasyarakat.

Keikutsertaan anggota untuk berpartisipasi dalam kegiatan Posdaya juga

murni atas kemauan sendiri tanpa adanya unsur paksaan dari pihak tertentu. Jadi

mereka gabung dengan partisipasi sendiri meskipun sebelumnya ada peran agen

yang menginisiasi mereka untuk gabung dengan Posdaya. Hal ini tentunya tidak

terlepas dari peran agen penggagas terbentuknya Posdaya yang menggerakkan dan

menginisiasi masyarakat untuk bergabung menjadi anggota Posdaya dan terlibat

dalam seluruh kegiatan yang ada didalamnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Bu Rusmini selaku ketua dan koordinator umum Posdaya:

“Awalnya kan memang saya yang menginisiasi, jadi kumpul-kumpul gitu kan,
terus spontan aja membentuk kelompok Posdaya ini bersama ibu-ibu, lalu mereka
menunjuk saya sebagai koordinator, lalu saya memandang dari mereka siapa
yang layak jadi sekertaris dan bendahara saya tunjuk, la dengan itu kemudian saja
ajukan ke kepala desa tanpa penolakan ya setelah itu diterima, lalu kami disuruh
mengumpulkan fotokopi KTP saya minta ke anggota-anggota, untuk kemudian di
buatkan SK (Surat Keputusan) dari desa bahwa Posdaya telah berdiri”.
(Wawancara dengan Bu Rusmini selaku Ketua Dan Koordinator Umum Posdaya
Pada Tanggal 31 Mei 2017)
171

Pernyataan dari Bu Rusmini tersebut diperkuat dengan pernyataan Bu Mia

selaku ketua sub-kelompok Rajut yang menyatakan:

“Iya, awalnya Posdaya ada karena Bu Rusmini, beliau yang awalnya


menggerakkan ibu-ibu disini, akhirnya saya juga ikut membantu untuk
mengumpulkan ibu-ibu lain untuk dibentuk sebuah kelompok-kelompok yang
sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. jadi awal mula bisa terbentuk
kelompok dalam Posdaya ini ya karena beliau...
“Terus terang ya mbak, awalnya saya itu yang buka jalan. saya itu kalau pagi
habis belanja door to door lo saya. “mbak arep enek kegiatan ngene sampean
melok a?” door to door awalnya disitu. Makanya prosesnya juga agak susah ya.
Saya habis pulang belanja nawani ibu-ibu itu..
“Ya murni ingin ikut mbak, kalau dari awal ndak mau ya pasti akan menolak
mbak buktinya mereka saya tawarin langsung antusias ikut Posdaya jadi bukan
karena ada unsur keterpaksaan, ingin berkembang dan mendapatkan penghasilan
lebih”. (Wawancara dengan Bu Mia, Ketua Kelompok Rajut, pada tanggal 31
Mei 2017)

Dari keterangan tersebut menunjukan bahwa partisipasi masyarakat mulai

tumbuh sejak adanya agen penggerak yang mengajak mereka untuk terlibat dalam

kegiatan pemberdayaan. Dalam menggerakkan anggota, Bu Mia sebagai agen

Posdaya harus melalui proses yang tidak mudah, karena harus door to door dari

rumah ke rumah. Dari adanya proses tersebut kemudian memunculkan partisipasi

dari anggota yang lain yang murni ingin ikut kegiatan pemberdayaan dan tidak

ada paksaan dari pihak manapun.

Saat ini dapat dikatakan bahwa partisipasi anggota Posdaya dalam

mengikuti kegiatan kelompok cukup tinggi. Hal ini di buktikan mulai dari

pengklasifikasian kelompok yang menunjukkkan bahwa para anggota kelompok

menyadari potensi dan kemampuan yang di miliki sehingga mereka menghimpun

diri atau mengorganisir dalam sub-sub kelompok yang sesuai dengan minat dan

bakatnya masing-masing dan aktif dalam segala kegiatan yang ada pada posdaya

seperti pertemuan rutin, musyawarah, sosialisasi pelatihan dan berbagai macam

kegiatan lainnya. Sehingga dalam proses ini menunjukan bahwa mereka telah
172

berpartisipasi. Tingginya partisipasi anggota untuk bergabung dengan Posdaya ini

dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni faktor sosial ingin menambah ilmu,

pengalaman, dan belajar berorganisasi agar hubungan antar sesama tetangga

semakin mudah. Selanjutnya faktor ekonomi, dimana anggota Posdaya menaruh

harapan bahwa dengan bergabungnya dengan Posdaya akan dapat meningkatkan

kesejahteraan dan perekonomian mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Bu Siti

ketua kelompok Makaryo Bersama yang bergerak dalam pembibitan:

“Ingin meningkatkan kesejahteraan keluarga, ingin ikut organisasi, pengen


belajar kerja sama sama orang, ya nambah pengalaman sama wawasan mbak.
Selain itu juga karena dilingkungan saya ini kan ibu-ibunya profesinya di
pembibitan ya, kami juga merasa satu visi makanya lewat Posdaya kemudian
dibentuk kelompok makaryo bersama ini yang khusus bergerak pada kegiatan
pembibitan”(Wawancara dengan Bu Siti selaku ketua sub-kelompok Makaryo
Bersama pada tanggal 02 juni 2017)

Berdasarkan pernyataan dari ketua sub-kelompok Makaryo bersama

bahwasannya, partisipasinya bergabung dalam kegiatan Posdaya berdasarkan

keinginannya untuk meningkatkan kesejahteraan keluargannya dan ingin belajar

berorganisasi, menambah ilmu, dan pegalamannya, sekaligus belajar bekerjasama

dengan anggota lainnya yang memiliki profesi yang sama dengannya. Partisipasi

dilakukan diawal pembentukan kelompok Posdaya. Hal ini dilakukan agar

kelompok Posdaya yang terbentuk nantinya dapat berjalan sesuai dengan harapan

dari anggotanya. Jadi apa yang dikerjakan oleh kelompok Posdaya benar-benar

berdasarkan ide, minat, kreativitas, serta inisiatif anggotanya.

Selain itu, partisipasi juga hadir tidak hanya dalam tahap pembentukan

kelompok saja, namun juga dalam kegiatan atau aktivitas yang dilaksanakan oleh

anggota dalam masing-masing sub-kelompok. Seperti partisipasi dalam kegiatan

pertemuan rutin yang dilakukan oleh anggota sub-kelompok Makaryo Bersama


173

(pembibitan), hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh ketua

kelompok Makaryo Bersama yang menyatakan:

“Ada pertemuan rutin setiap 45 hari sekali itu kan ada pinjaman modal dari
kelompok. Jadi setiap 45 hari sekali itu kita kembalikan plus bagi hasil, ya
istilahnya ada SHU gitu untuk satu lingkup kelompok. kalau dulu sebelum ada
Posdaya kita kan jalan sendiri-sendiri, kalau sekarang ada yang bisa diajak
kerjasama dan gotong royong, ya semenjak ada organisasi ini kita juga menjadi
semakin nambah pengalaman, jadi sering ketemu, sering kumpul-kumpul, jadi
semuanya itu jadi enak mbak. Kalau ketemu gitu ya sering diskusi soal lahan jadi
kami juga semakin guyup. Kalau ada masalah bisa dipecahkan bersama, misalnya
tanamannya kena penyakit atau hama, nah pas waktu kumpul itu nanti dibahas
saling diomongkan jadi kan tau harus diapakan, jadi ada sharing dari anggota lain
yang punya pengalaman. Dengan hadirnya Posdaya ini juga sangat membantu
dalam segi perekonomian, soalnya pemasarannya lebih cepat karena kita sesama
anggota kan saling kerjasama membantu dalam pemasaran, jadi semakin maju
lah, kalau dulu kan apa-apa sendiri, setelah ada Posdaya jadi enak kami juga
dapat bantuan dari luar kaya gitu..orang-orang di keompok saya ini rajin-rajin
mbak, apalagi yang tua-tua itu semangatnya masih tinggi, saya aja kalah. Kalau
misalkan ada pelatihan atau sosialisasi seperti pembuatan pupuk organik dari
mana gitu anggota langsung antusias” (Wawancara dengan Bu Siti, ketua sub-
kelompok Makaryo Bersama pada tanggal 02 Juni 2017).

Berdasarkan pernyataan dari ketua sub-kelompok pembibitan tersebut,

dapat dikatakan bahwa partisipasi dalam mengikuti kegiatan kelompok sangat

tinggi. Karena anggota selalu hadir dalam kegiatan yang berkaitan dengan

kelompok seperti pertemuan rutin kelompok. Dalam setiap pertemuan rutin

tersebut mereka selalu sharing dan bertukar pendapat, bahkan jika ada masalah

mereka akan saling berdiskusi dan bekerjasama untuk mencari solusi.

Berkumpulnya anggota kelompok yang sesuai dengan kesamaan profesi, minat

dan keahlian anggotanya tersebut, menjadikan keikutsertaan atau partisipasi

mereka dalam setiap kegiatan juga tinggi. Partisipasi juga hadir tidak hanya

dalam pembentukan kelompok, tetapi juga pada saat pelaksanaan kegiatan

kelompok. Seperti contohnya pada kelompok pembibitan, ketika ada kegiatan

pelatihan pupuk misalnya, keikutsertaan anggotanya sangat tinggi, dimana

anggota selalu hadir dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan kelompok. Apa
174

yang dikerjakan dalam kelompok posdayab benar-benar berasal dari ide, minat,

kreatifitas serta inisiatif dari anggotanya. Hal ini tidak terlepas dari awal

keterbentukan kelompok yang berdasarkan pada minat dan keahlian anggotanya,

sehingga hal tersebut yang menjadikan keikutsertaan mereka juga tinggi dalam

setiap kegiatan.

Berdasarkan konsep partisipasi Arnstein, yang menggambarkan tingkat

partisipasi masyarakat berdasarkan pada kekuatan masyarakat, terdapat bentuk

peran serta yang bersifat semu (empty ritual) dan bentuk peran serta yang

memiliki kekuatan nyata (real power), dimana hal ini dapat mempengaruhi hasil

akhir dari suatu proses. Oleh karenanya Arnstein kemudian menggambarkan

partisipasi masyarakat sebagai suatu pola bertingkat yang terdiri atas 8 tingkatan

tangga, yang mana tingkatan paling bawah merupakan tingkatan partisipasi yang

sangat rendah, sedangkan tingkatan yang paling atas merupakan tingkatan yang

paling tinggi. Kedelapan tingkatan tersebut adalah Manipulation (memanipulasi),

Therapy (memulihkan), Informing (menginformasikan), Consultation

(merundingkan), Placation (mendiamkan), Partnership (bekerjasama), Delegated

Power (pendelegasian wewenang), dan Citizen Control (publik mengontrol).

Partisipasi anggota Posdaya untuk bergabung dan terlibat dalam aktivitas

pemberdayaan merupakan bentuk peran serta yang bersifat nyata (real power) dan

dapat dikategorikan kedalam tingkatan yang paling atas yakni, Partnership,

Delegated Power, dan Citizen Control dimana ketiganya merupakan bagian dari

Citizen Power (publik berdaya) yang merupakan kelompok tingkatan partisipasi

yang paling atas. Teori Arnstein digunakan penulis untuk menganalisis tindakan
175

agen dalam berpartisipasi dalam kegiatan pemberdayaan yang masih berbentuk

tindakan

Pada tingkatan partnership, anggota Posdaya yang terlibat dalam kegiatan

pemberdayaan pada Posdaya saling bekerjasama, dan gotong royong dalam setiap

lini kegiatan baik dalam level Posdaya maupun level sub kelompok hal ini

dibuktikan dengan kerjasama yang dilakukan baik dalam aktivitas produksinya,

pembagian orderan dari pelangan yang dibagi pada anggotanya, hingga pada

pemasaran produk yang dihasilkan. Anggota Posdaya juga saling berunding dalam

pengambilan keputusan, kesepakatan saling membagi tanggung jawab dalam

perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijakan serta pemecahan

masalah yang telah atau akan dihadapi. Seperti dalam pendirian posdaya yang

melibatkan perencanaan, perundingan, perancangan, dan pengambilan keputusan

dari seluruh anggota, pengurus, pembina, dan pemerintah desa dalam

perencanaannya. Pendirian posdaya yang Seluruh kebijakan pada tingkatan

partnership ini berlaku pada seluruh anggota Posdaya, baik pengurus umum

Posdaya, ketua-sub kelompok, dan anggota, serta pada pembina Posdaya yakni

Universitas Brawijaya, dan juga pemerintah desa sebagai pihak yang telah

memberikan legalitas Posdaya.

“Ya spontanitas seperti itu, kalau kita ngumpul antara satu sama lain selalu
menyumbangkan ide dan pendapatnya, mereka satu sama lain selalu sharing.
Karena sama-sama orang sini kebetulan, berkumpul juga sudah bertahun-tahun,
saya sendiri sejak tahun 1986 sampai sekarang ya bersedia melayani mereka.
Kalau mereka misalkan belum bisa melunasi pinjaman datang ke saya minta
solusi, terus kalau ada yang produknya belum bisa laku dipasaran minta bantu
saya diuruskan PIRT nya, saya saya itu senang jika bisa bermanfaat untuk orang
lain, ya dari situ kemudian muncul kepercayaan” (Wawancara Dengan Bu
Rusmini Selaku Ketua Dan Koordinator Umum Posdaya Pada Tanggal 31 Mei
2017).
176

Selanjutnya pada tahap delegated power, anggota Posdaya diberikan

limpahan kewenangan dalam menentukan keputusan, kebijakan, maupun rencana

tertentu karena dalam tingkatan ini seluruh anggota Posdaya diberikan

kesempatan untuk menyalurkan ide dan aspirasinya serta diberikan limpahan

kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana tertentu untuk

menyelesaikan permasalahan tanpa ada tekanan dari pihak manapun, sehingga

seluruh anggota Posdaya memiliki kendali atas keputusan yang ada. Seperti yang

diungkapkan dalam wawancara berikut:

“kalau dalam kelompok baik ketua umum atau saya sendiri sebagai ketua sub-
kelompok gak pernah membatasi anggota untuk menyumbangkan ide dan
pendapatnya mbak, ya karena posdaya ini bisa berdiri ya atas partisipasi kita, jadi
dalam penyusunan programpun kita juga selalu musyawarahkan sama-sama.
Bukan hanya pengurus aja yang bisa menentukan program tapi anggota juga
berhak menyumbangkan gagasannya, kan kita juga selalu melakukan pertemuan
rutin, jadi apa yang terkait perkembangan posdaya itu selalu kita diskusikan
misalkan ada masalah dalam posdaya atau hambatan dalam produksinya kita
mencari jalan keluarnya sama-sama. Aspirasi anggota kita tampung dan
musyawarahkan bersama, seperti itu. Dulu pernah waktu pendirian koperasi itu
kita rapat dengan seluruh pengurus termasuk ketua-ketua dalam tiap-tiap sub
kelompok, awalnya ada yang pro dan kontra, tapi setelah melalui pertimbangan-
pertimbangan, ya akhirnya koperasi berdiri meskipun pada akhirya macet kaya
gini, masih belum ada solusi ini karena uangnya ada pada anggota, pengurus
milih membiarkan aja, dari pada timbul masalah” (Wawancara dengan Bu Siti,
ketua sub-kelompok Makaryo Bersama pada tanggal 02 Juni 2017).

Selanjutnya pada tingkatan citizen control seluruh anggota Posdaya juga

berperan dalam mengontrol seluruh kegiatan yang dilakukan, dimana pada

tingkatan ini mereka dapat berpartisipasi dalam mengendalikan seluruh proses

pengambilan keputusan serta memiliki kekuatan untuk mengatur program atau

kelembagaan pada Posdaya yang berkaitan dengan kepentingannya. Dalam hal ini

keterlibatan anggota Posdaya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan

dan mengatur program kelembagaan, dilakukan melalui tindakannya yang selalu

berkoordinasi dengan pengurus Posdaya terkait kegiatan maupun permasalahan


177

dalam kelompoknya, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bu Mia selaku ketua

sub-kelompok Rajut sebagai berikut:

“Kalau kami tidak pernah putus komunikasi dan koordinasi dengan Bu Rusmini,
karena beliau selaku ketua dan koordinator umum yang telah banyak membantu
kami, memberikan kami arahan, bahkan saya dapat bantuan mesin jahit dari UB
ini juga berkat Bu Rusmini yang mengajukan, kami bisa dapat bantuan uang
pinjaman dari bank untuk modal usaha ya berkat iBu Rusmini, ibu-ibu disini juga
banyak yang dapat bantuan seperti oven, mesin penggiling dari UB juga. Karena
rumah kami saling berdekatan apalagi saya ke Bu Rusmini tinggal jalan
rumahnya beliau belakang rumah saya ya saya sering koordinasi dengan beliau,
kalau misalkan pada sibuk dengan urusan masing-masing ya tinggal WA aja
sekarang kan pada punya HP mbak .haha” (Wawancara dengan Bu Mia selaku
ketua sub-kelompok Rajut pada tanggal 31 Mei 2017)

Dari keterangan Bu Mia, yang menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah

berhenti berkoordinasi dengan Bu Rusmini dalam proses kegiatannya, karena

dalam hal ini anggota kelompok Posdaya juga mempunyai wewenang dan dapat

mengadakan negosiasi dengan pihak luar yang akan melakukan perubahan. Usaha

bersama yang dilakukan oleh anggota ini akan langsung berhubungan dengan

bantuan sumber dana yang diperoleh tanpa melalui pihak ketiga. Seperti

pengajuan kredit pinjaman modal usaha yang diajukan oleh anggota Posdaya

kepada Bank UMKM yang telah terealisasi dimana saat pengajuan kredit usaha,

anggota Posdaya bersama-sama membuat proposal untuk diajukan kepihak Bank.

Berdasarkan dinamika partisipasi anggota Posdaya dalam kegiatan

pemberdayaan, bahwa partisipasi mereka mulai dari awal pembentukan Posdaya

dan setelah mereka mendapatkan program pemberdayaan yang menunjukkan

bahwa mereka memiliki derajat partisipasi yang awalnya cukup tinggi dalam

kegiatan tersebut. Anggota Posdaya yang berperan sebagai agen atau pelaku pada

praktik sosial peranannya dapat ditunjukkan dengan tindakan partisipasi yang

dilakukan untuk ikut serta dalam kegiatan pemberdayaan tersebut. Dalam praktik

sosial, motivasi dan partisipasi yang meliputi keinginan dan hasrat menjadi faktor
178

penting yang dapat mendorong terjadinya praktik sosial dan potensi untuk

bertindak melakukan sesuatu, termasuk dalam melakukan kegiatan pemberdayaan

yang bersifat produktif. Karena dalam teori strukturasi agen diberikan kesempatan

untuk dapat merubah situasi yang ada termasuk kondisi kemiskinan yang dialami

oleh kalangan perempuan di Desa Ngroto. Sehingga tahap partisipasi ini hanya

pada saat pembentukan saja.

Namun ketika tindakan agen telah berubah menjadi pola praktik sosial,

ketika terjadi permasalahan dalam posdaya secara umum terkait pro-kontra

pendirian koperasi yang tanpa melibatkan keputusan dari anggota serta, dilakukan

pemotongan sepihak, tidak adanya transparasi dana serta tidak meratanya

pembagian bantuan pada posdaya kemudian membuat partispasi anggota dalam

kegiatan posdaya menjadi menurun dan menimbulkan sentimen negatif dan

ketidakpercayaan anggota pada ketua posdaya. Sehingga dapat diketahui bahwa

partisipasi anggota posdaya saat ini bersifat pasif, artinya mereka melakukan

pelibatan dan keikutsertaan dalam pendirian koperasi yang diinisiasi oleh orang

lain dan tidak berdasarkan atas kepustusan bersama. Namun derajad partisipasi

yang lebih rendah dibandingkan partisipasi aktif ini sama sekali tidak mengingkari

prinsip partisipasi dalam pemberdayaan. Karena mereka tetap berusaha untuk

terlibat dalam elemen-elemen berbasis masyarakat.

Permasalahan dalam kegiatan pemberdayaan merupakan suatu hal yang

wajar, karena dalam kelompok posdaya terdapat banyak agen baik yang pro

maupun yang kontra dengan program yang ada sehingga masing-masing agen

yang pro dan kontra akan mempersuasi anggotanya sehingga pengimplementasian

program tersebut menimbulkan permasalahan di awal pembentukan meskipun


179

pada akhirnya program tersebut tetap berjalan. Sejalan dengan pendapat Giddens,

bahwa dengan adanya hambatan dapat mendorong seseorang untuk bertindak dan

mencari solusi atas hambatan yang dihadapinya. Sehingga partisipasi anggota

dalam kegiatan pemberdayaan posdaya yang awalnya berada dalam taraf citizen

power, menjadi menurun. Yang artinya tetap ada partisipasi namun tingkat

partisipasinya tidak setinggi partisipasi awal.

5.3 Pemetaan Pelaku Pemberdayaan Pada Posdaya

Dalam teori strukturasi Giddens, posisi-posisi sosial tersusun secara

struktural sebagai persinggungan-persinggungan khusus antara signifikasi,

dominasi, dan legitimasi yang berhubungan dengan tipifikasi para agen (Giddens,

1984:83). Berdasarkan permasalahan kemiskinan yang dialami oleh sebagian

besar kalangan perempuan di Desa Ngroto mendorong munculnya beberapa

pelaku yang menginisiasi program pemberdayaan perempuan. Namun demikian,

sejalan dengan penggunaan teori strukturasi sebagai kerangka analisis, kehidupan

sosial tidak dapat dianalisis hanya dari segi individu yang mempengaruhi

masyarakat atau sebaliknya masyarakat adalah cerminan individu. Oleh karena itu

dalam analisisnya Giddens berangkat dari praktik sosial.

Dalam praktik sosial terdapat relasi antara agen dan struktur. Terdapat dua

macam agen, yaitu agen kompeten yang memiliki kapasitas tinggi (expert agent)

dan agen yang kapasitasnya dibawahnya (lay agent). Expert agent adalah agen

yang memiliki kapasitas untuk berindak, dapat mengintervensi lingkungan di

sekitarnya, atau justru sebaliknya expert agent dapat menahan diri dari intervensi

yang ditujukan padanya. Intervensi tersebut berkaitan dengan kapabilitasnya

sebagai agen, baik kapabilitas dalam hal pengetahuan, kekuasaan, ataupun


180

kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar dapat mencapai tujuan yang

sudah di tetapkannya. Tujuan yang dimiliki oleh agen akan menentukan langkah-

langkah atau strategi atau cara apa yang akan pilih dalam mengupayakan hasil

(outcome) maupun teknologi apa yang digunakan dalam praktiknya. Dengan kata

lain, expert agent dapat mempengaruhi proses atau situasi yang berlangsung dan

dapat mengerahkan orang lain ke dalam situasi yang dipengaruhinya.

“To be able to “act otherwise” means being able to intervene in the world,
or to refrain from such intervention, with the effect of influencing a
specific process or state of affairs. This presumes that to be an agent is to
be able to deploy (chronically, in the flow of daily life) a range of causal
powers, including that of influencing those deployed by others.“ (Giddens
A. , 1984, hal. 14)
Merujuk pada pendapat Giddens di atas, pada dasarnya setiap manusia

adalah agen, karena mereka dapat mempengaruhi situasi di sekelilingnya. Bahkan,

keikutsertaan seseorang dalam suatu rapat merupakan suatu bentuk tindakan yang

mempengaruhi, meskipun dia hanya diam dalam rapat tersebut. Namun, yang

membedakan antara expert agent dan lay agent adalah sejauh mana kapasitas yang

dimiliki mereka dan sejauh mana mereka dapat mengolah pengetahuan mereka

dan bagaimana mereka menerapkan pengetahuan mereka dalam tingkah laku

praktis mereka. Kapasitas yang dimaksud dalam ini dapat mengarah pada

kapasitas pengetahuan, kapasitas kekuasaan atau kapasitas mempengaruhi orang

lain. Lay agent dapat mempengaruhi situasi dengan tindakannya, tetapi

kapasitasnya dalam mempengaruhi situasi berbeda dengan kapasitas expert agent

atau dengan kata lain lay agent mampu melakukan tindakan namun dari segi

kapasitas ia berada dibawah expert agent. Pada tabel berikut ini, penulis akan

mengkategorikan posisi expert agent, lay agent , dan actor dalam kegiatan

pemberdayaan pada posdaya:


181

Tabel 9. Agen Dalam Kegiatan Pemberdayaan pada Posdaya


No Nama Status Posisi
1. Bu Rusmini Ketua dan Koordinator umum Posdaya Expert Agent
2. Bu Mia Ketua sub-kelompok Griya Rajut Lay Agent
3. Bu Siti Ketua sub-kelompok Makaryo Bersama Lay Agent
4. Bu Ana Ketua sub-kelompok Sarinah Creative Lay Agent
5. Bu Mei Ketua sub-kelompok Seger Waras Lay Agent
6. Bu Intan Ketua sub-kelompok Tahu Sehat Lay Agent
7. Bu Dewi Ketua sub-kelompok Srikandi Collection Lay Agent

8. Bu Yani Ketua sub-kelompok Maju Jaya Lay Agent


9. Pak Angga Ketua sub-kelompok Gemah Ripah Lay Agent
10. Anggota Seluruh anggota yang bergabung dalam Lay Agent
kelompok posdaya
11. Kepala Desa Pemberi legalitas Posdaya Actor awam
Sumber : Olahan Data Peneliti, 2017

Dalam kasus pemberdayaan perempuan miskin di Desa Ngroto, peneliti

mengidentifikasi peran expert agent dijalankan Bu Rusmini, dan peran lay agent

dari masing-masing ketua sub-kelompok serta dari para anggotanya yang ikut

serta dalam kegiatan pemberdayaan pada posdaya. Bu Rusmini adalah ketua

Posdaya Pemberdayaan Desa Ngroto. Peneliti mengidentifikasinya sebagai expert

agent karena memiliki kapasitas yang cukup besar dalam pelaksanaan

pemberdayaan perempuan miskin di Desa Ngroto. Kapasitas yang paling dominan

ada pada dirinya adalah kapasitas pengetahuan yang merupakan akumulasi dari

pengalaman yang dia dapat selama ini, baik di bidang politik, kegiatan sosial,

seminar dan beberapa kegiatan lain yang membentuk cara berpikirnya seperti saat

ini. Dari akumulasi pengetahuan dan pengalaman itulah Ibu Rusmini melakukan

sharing informasi dan jaringan yang dimilikinya terhadap keberlangsungan

Posdaya Ngroto.

“Saya itu dulu pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten malang Fraksi
PDIP pada tahun 1992-1997, selanjutnya pada tahun 1986 sampai tahun 2003
saya menjadi pengurus cabang DPC PDIP, saya juga pernah menjadi Kadin
182

UMKM, dan pernah memegang Kelompok Koperasi Margo Mulyo di Desa


Ngroto, masih banyak kegiatan sosial lainnya yang sering saya ikuti. Sampai
pada tahun 2012 lalu saya mengumpulkan ibu-ibu warga Ngroto lalu mendirikan
pemberdayaan di posdaya ini. Sampai sekarang juga saya masih sering diundang
ke acara-acara sampai diluar kota. Itu acaranya ada yang acara partai, saya juga
pernah jadi pembicara di acara seminar feminisasi perempuan atau kesetaraan
gender ya. Masih banyak, saya itu sebenarnya senang berorganisasi ikut peran
aktif dalam kegiatan masyarakat saya ini kalau diundang ya berangkat saja
banyak teman saya yang sekarang jadi orang-orang penting” (Hasil wawancara
dengan Bu Rusmini, 31 Mei 2017).

Dari kutipan wawancara di atas, Bu Rusmini memiliki peran yang cukup

dominan pada Posdaya Ngroto, mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun

penggunaan relasi-relasi yang dimiliki untuk menunjang kegiatan produksi

maupun pemasaran produk hasil pemberdayaan. Pengalamannya di bidang politik

membuatnya lebih mudah mengakses informasi, karena perjumpaan-perjumpaan

sosialnya dengan beberapa pihak yang dekat dengan pembuatan kebijakan.

Kondisi ini membantunya mengakumulasi relasi sosial maupun relasi ekonomi.

Relasi-relasi tersebut yang kemudian dia hubungkan dengan keberadaan Posdaya

Ngroto sehingga program-program yang dijalankan oleh Posdaya Ngroto tidak

lepas dari relasi-relasi yang dimiliki oleh Bu Rusmini.

Kapasitas Bu Rusmini dalam mengalokasikan informasi maupun akses

terhadap dana pemberdayaan membuat posisinya sangat dominan. Keterlibatan

Bu Rusmini dalam Posdaya Ngroto tidak hanya dari segi pengorganisasian

internal saja, tetapi juga mengorganisasikan relasi dengan pihak luar. Menurut

Giddens, terdapat dominasi alokatif dan dominasi autoritatif. Dominasi alokatif

berkaitan dengan penguasaan atas materi, sedangkan dominasi autoritatif

berkaitan dengan penguasaan atas orang. Dalam kasus Posdaya Ngroto, dominasi

alokatif terlihat ketika Bu Rusmini mampu mengakses dana untuk pemberdayaan.

Dari dana tersebut kemudian dialokasikan berdasarkan masing-masing sub-


183

pemberdayaan. Aksesibilitas terhadap dana dan identifikasi terhadap potensi

sumberdaya yang ada nantinya akan menentukan teknik atau cara mengolah

sumberdaya yang ada menjadi suatu produk yang dapat dipasarkan. Bu Rusmini

memiliki pengetahuan terkait mekanisme mengakses dana pemberdayaan yang

harus melalui proposal, dan kedekatan relasi dengan beberapa orang membuatnya

lebih mudah mengakses dana tersebut. Hal ini merupakan pengetahuan teknis

yang tidak dimiliki oleh semua anggota Posdaya, sehingga posisinya sangat

dominan.

Adapun lay agent dalam kasus ini adalah ketua sub-pemberdayaan

Posdaya-Ngroto dan para anggota Posdaya. Ketua sub-pemberdayaan memiliki

kapasitas menghubungkan program pemberdayaan antara Bu Rusmini dan

anggotanya sehingga muncul pengorganisasian dalam posdaya tersebut. Ketua

sub-pemberdayaan tidak memiliki kapasitas seperti Bu Rusmini terutama

kepasitas keterampilan dalam mengakses dana. Tetapi mereka memiliki kapasitas

dalam mengorganisasikan anggota dan memonitor program pemberdayaan yang

mereka jalankan. Di samping itu para ketua sub-pemberdayaan tersebut juga

masih terlibat dalam proses produksi sebelum kemudian dipasarkan.

Ketua sub-pemberdayaan juga memiliki kapasitas untuk sharing informasi

antar kelompok sub-pemberdayaan sehingga tidak terfokus pada masing-masing

kelompoknya. Keterbukaan tersebut akan mempermudah pemasaran hasil

sehingga tidak menutup diri hanya pada masing-masing kelompoknya saja. Ketua

kelompok sub-pemberdayaan menyadari bahwa mereka tidak dapat bergantung

sepenuhnya terhadap Bu Rusmini karena mereka sudah sangat bergantung

kepadanya dalam hal akses dana. Oleh karena itu para ketua kelompok sub-
184

pemberdayaan berusaha melakukan peningkatan kapasitas mereka terutama dalam

bidang pemasaran. Tindakan para ketua kelompok tersebut dilandasi oleh

kesadaran diskursif karena mereka sadar bahwa mereka tidak dapat bergantung

dalam segala aspek terhadap Bu Rusmini.

Keberadaan anggota juga sangat berpengaruh, tanpa mereka maka

kegiatan pemberdayaan tidak dapat berjalan. Namun demikian, di sisi lain mereka

tidak dapat melakukan pemberdayaan tanpa adanya intervensi dari Bu Rusmini

dan para ketua sub-pemberdayaan. Kapasitas yang dimiliki oleh para anggota

Posdaya Ngroto masih dalam taraf kapasitas memproduksi. Mereka masih berada

pada tahapan bagaimana memproduksi sumberdaya dengan dana yang ada, belum

pada taraf bagaimana mendapatkan dana untuk memproduksi sumberdaya yang

ada.

Ada yang sudah memiliki usaha seperti dikelompok pembibitan, jahit, sama
prancangan tapi nggak semua ya, sebagian anggota dari kelompok itu
sebelumnya ada juga yang belum memiliki usaha, baru setelah gabung dengan
posdaya mereka mulai merintis usaha. Tapi banyak juga anggota lain yang belum
memiliki usaha, banyak yang nganggur terutama ibu-ibu itu. (Hasil wawancara
dengan Bu Rusmini, 31 Mei 2017).

Dari kutipan wawancara di atas terlihat bahwasannya banyak anggota

Posdaya yang belum berkembang sebelum tergabung dalam Posdaya Ngroto.

Mereka sadar bahwa dengan ikut dalam Posdaya Ngroto akan lebih

menguntungkan karena mereka membutuhkan wadah untuk berkembang. Namun

di sisi lain mereka juga memiliki motif tidak sadar ketika mereka masuk dalam

Posdaya Ngroto mereka adalah subjek dari program pemberdayaan tersebut.

Selanjutnya yang berperan sebagai actor dalam kegiatan pemberdayaan ini

adalah Kepala Desa yang telah memberikan legalitas pendirian Posdaya. Dalam
185

hal ini Kepala Desa tidak bisa disebut sebagai expert agent maupun lay agent

karena ia tidak terlibat langsung dalam kegiatan pemberdayaan yang ada pada

posdaya. Dengan kata lain ia hanya bertugas memberikan perizinan dalam

kegiatan yang dilakukan oleh anggota posdaya, dan bertugas memonitor

berjalannya kegiatan pemberdayaan di Desa Ngroto.

5.4 Praktik Sosial Pemberdayaan Pada Posdaya di Desa Ngroto

Menurut Giddens praktik sosial adalah suatu tindakan yang ditata menurut

ruang dan waktu dan dilakukan secara berulang, berkesinambungan, dan bersifat

rekursif dimana tindakan-tindakan tersebut terus menerus diciptakan oleh aktor

melalui alat-alat yang mereka gunakan untuk mengekspresikan dirinya sendiri

sebagai aktor. Melalui aktivitas dan tindakan tersebut agen-agen memproduksi

kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya aktivitas tersebut.

Pada awal pendirian posdaya Pemerintah Desa sebagai actor yang

memberikan izin pendirian Posdaya di Desa Ngroto. Pemberian izin pendirian

Posdaya yang dilakukan oleh Kepala Desa Ngroto tersebut jika dilihat dari segi

mekanisme aturannya tentunya tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai struktur,

namun jika dilihat dari sudut pandang tindakannya belum dapat dikatakan sebagai

praktik sosial. Otoritas yang dimiliki oleh kepala desa dalam proses pembangunan

Desa Ngroto dan mengelola potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Desa

Ngroto. Proses perizinan terlebih dahulu dilakukan dengan musyawarah oleh

pengurus Posdaya, anggota Posdaya dan perangkat desa, untuk kemudian

dibuatkan SK (Surat Keputusan) sebagai legalitas Posdaya melalui pengumpulan

foto kopi KTP dari seluruh anggota Posdaya, yang mana secara struktur SK

tersebut menjadi aturan yang bersifat tertulis yang mengatur bahwa Pemerintah
186

Desa memiliki otoritas untuk memantau atau memonitor proses berjalannya

kegiatan pemberdayaan pada posdaya, kegiatan apapun yang dilakukan dalam

posdaya harus melalui izin dari Kepala Desa. Seperti yang diungkapkan dalam

wawancara berikut:

“Proses pendiriannya dulu itu melalui izin dari pemerintah desa ya dulu pada tahun
2013 dan berjalan sampai sekarang ini, nah waktu proses perizinan tadi
sebelumnya sudah ada rapat dan musyawarah oleh seluruh anggota kelompok,
segenap pengurus, dan perangkat desa pun ikut hadir. Nah peresmian Posdaya
sendiri itu setelah kepala desa mengeluarkan SK (Surat Keputusan) sebagai
legalitas Posdaya. Waktu itu seluruh anggota wajib mengumpulkan foto kopi KTP
untuk di buatkan SK itu, jadi SK itu nantinya akan berlaku seumur hidup bahwa
telah menjadi anggota Posdaya. Jadi pemerintah desa disini memiliki otoritas
penuh dalam memantau berjalannya kegiatan pemberdayaan pada posdaya, segala
bentuk kegiatan yang ada didalamnya harus melalui izin dari kepala desa misalkan
kalau ada sosialisasi atau pelatihan dari mana gitu.. Hubungan saya dengan ketua
Posdaya sejauh ini kami tidak pernah lose contac, jadi meskipun jarang bertemu
karena kesibukan masing-masing, tapi kami tidak pernah putus komunikasi, jadi
kalau ada apa-apa semisal ada kegiatan sosialisasi atau pelatihan selalu meminta
izin ke saya, dapat bantuan dari mana, Bu Rusmini selalu lapor ke saya kalau gak
bisa ketemu ya via whatsapp, via telfon.. Selama ini hanya ketuanya saja ya yang
sering berkoordinasi dengan saya karena kan anggota nya pada sibuk ya, tapi saya
selalu memantau seluruh anggota kelompok pemberdayaannya sampai dimana gitu
kalau ada keluhan apa sudah saya suruh lapor” (Wawancara dengan Pak Lurah
Budi, KepalaDesa Ngroto, pada tanggal 06 Juni 2017)

Berdasarkan keterangan tersebut pengurus pengurus Posdaya selalu

memberikan laporan dan meminta izin jika akan melakukan kegiatan seperti

sosialisasi dan pelatihan dari pihak luar, pemerintah desa memiliki wewenang

untuk memberikan izin, dan mengawasi atau memonitor berjalannya aktivitas

pemberdayaan tersebut. Dalam hal ini kepala desa berperan sebagai actor yang

memiliki peraturan desa yang terangkum dalam Perdes dan undang-undang desa,

memiliki sumberdaya alokatif berupa potensi lingkungan yang dimiliki Desa

Ngroto, serta kewenangan mengatur masyarakat Desa Ngroto. Seperti yang

diungkapkan oleh Bu Rusmini sebagai berikut:

“Pendirian Posdaya ini ya tentunya berdasarkan izin dari pemerintah desa, kalau
nggak ada izinnya ya Posdaya nggak bisa berdiri. Karena perangkat desa memiliki
187

wewenang dan hak otoritas jadi begitu saya berhasil merangkul ibu-ibu dan dapat
anggota saya langsung mengajukan perizinan itu, alhamdulillah langsung disetujui,
dan dibuatkan SK sebagai legalitas Posdaya ini. Karena pemerintah desa sendiri
pasti juga merasa terbantu dengan adanya program pemberdayaan pada Posdaya ini
nantinya akan dapat membantu pihak desa dalam mengatasi permasalahan yang
ada seperti kemiskinan, pengangguran, ya mungkin belum bisa mengatasi
semuanya tapi paling tidak bisa mengurangi lah. Ya jadi dalam jika ada kegiatan
apa gitu di Posdaya ya harus melalui persetujuan dari pemerintah desa misalkan
mau ada kegiatan sosialisasi atau pelatihan dari mana gitu izin dulu, nanti kalau
sudah ya saya laporan” (Wawancara dengan Bu Rusmini, Ketua dan koordinator
umum POSDAYA, pada tanggal 31 Mei 2017)

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Desa Ngroto dalam memberikan

izin bagi anggota Posdaya untuk melakukan kegiatan pemberdayaan dan

mengelola sumber daya yang ada di desa merupakan otoritas pemerintah desa

untuk mengatur dan mengelola struktur yang ada pada masyarakat. Mengingat

kondisi masyarakat di Desa Ngroto yang masih terdapat banyak keluarga miskin

dan pengangguran, terutama pada perempuan. Dengan modal kekuasaan yang

dimiliki oleh pemerintah desa, maka dapat mempengaruhi masyarakat untuk

menjadikan pemberdayaan pada Posdaya sebagai pembangunan jangka menengah

untuk Desa Ngroto.

Berdasarkan pengetahuan pemerintah desa tentang pendirian kegiatan

pemberdayaan tersebut, disini pemerintah desa mendukung sepenuhnya kegiatan

pemberdayaan yang dilakukan oleh anggota Posdaya dengan harapan mampu

mengurangi permasalahan kemiskinan dan pengangguran yang ada di Desa

Ngroto. Selain itu, pemerintah Desa Ngroto juga memiliki kekuasaan untuk

menjalankan pembangunan desa melalui kebijakan-kebijakan pembangunan

seperti pembangunan infrastruktur, pembangunan pembinaan masyarakat, dan

pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan kewirausahaan seperti yang

diungkapkan oleh perangkat desa dalam wawancara berikut:


188

“Kalau untuk program pembangunan desa itu ada 3, yang pertama pembangunan
infrastruktur, pembangunan pembinaan masyarakat, dan pemberdayaan
masyarakat. Ada empat bidang yang pertama penyelenggaraan pembangunan desa
ini yang mana untuk mengatur semua programnya sehingga masyarakat ketika
butuh pelayanan desa itu gratis, kalau di bidang pembangunan infrastruktur yakni
membangun jalan umum, saluran air. Kalau untuk pembiaannya meningkatkan
aspek masyarakat, pemberdayaannya melalui BUMDES Ageng” (Wawancara
dengan Pak Lurah Budi, KepalaDesa Ngroto, pada tanggal 06 Juni 2017).

Kegiatan pemberdayaan pada posdaya telah menjadi bagian dari Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des) karena telah mampu menekan

angka kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran di Desa Ngroto melalui

aktivitas-aktivitas produktif yang dijalankan oleh para ibu-ibu dalam usaha kecil

menengah (UKM) yang dijalankan oleh mereka. Namun kegiatan pemberdayaan

pada Posdaya lebih bersifat bottom up karena dibentuk sendiri oleh masyarakat

dan melibatkan partisipasi dari mereka dalam proses-prosesnya. Sehingga

pemerintah desa menginginkan Posdaya dapat bersinergi dengan program lain

dari pemerintah desa yang sifatnya top down seperti program Jalin Matra,

BUMDES, UP2K/PKK, dan program lainnya. Dalam hal ini, interaksi yang

terjalin antara pemerintah desa dengan anggota Posdaya yakni melalui

musyawarah dan perjumpaan-perjumpaan yang dilakukan agen-agen dalam

posdaya dengan pemerintah desa dalam ruang lingkup Desa Ngroto.

Dalam teori strukturasi giddens, adanya interaksi antara agen dan struktur

dalam suatu praktik sosial dapat dinyatakan sebagai sebuah kebiasaan atau

rutinitas yang direproduksi dalam kehidupan sosial. Karena reproduksi sosial

berlangsung melalui dualitas struktur dan praktik sosial seperti itu. Dimana antara

agen dan struktur tersebut menggambarkan adanya dualitas yang saling terkait dan

keduanya tidak bisa dipisahkan, bukan dualisme yang saling terpisah. Struktur

dipahami sebagai aturan dan sumberdaya yang terbentuk dari dan membentuk
189

keterulangan praktik sosial. Giddens menyatakan bahwa struktur bukan benda

melainkan sebuah skemata yang bersifat memberdayakan dan memungkinkan

terjadinya praktik sosial atau bisa dikatakan struktur sebagai “sarana”.

Struktur sebagai penciptaan pola relasi-relasi sosial atau fenomena-

fenomena sosial, seperti fenomena sosial terkait kemiskinan yang terjadi pada

perempuan di Desa Ngroto, fenomena tersebut kemudian menciptakan pola-pola

relasi yang hadir melalui aktivitas agen yang digunakan mereka untuk bertindak

melakukan kegiatan pemberdayaan. Dimana dalam konteks Posdaya strukturnya

berupa aturan kesepakatan sosial tentang bagaimana harus bertindak yang di

wujudkan dalam bentuk aturan tertulis maupun tidak tertulis dan sumberdaya

yang dimiliki untuk menggerakkan pola interaksi agen.

Pada sub bab ini peneliti akan menjelaskan permasalahan yang ada pada

posdaya hingga melahirkan praktik sosial. Struktur Posdaya memiliki aturan atau

kesepakatan yang mengatur bagaimana anggotanya harus bertindak. Peraturan

pada Posdaya berupa aturan yang tertulis dan tidak tertulis yang bersifat normatif.

Dimana aturan yang tertulis disini berupa Surat keputusan (SK) sebagai legalitas

Posdaya yang disahkan oleh Pemerintah Desa Ngroto, dimana didalamnya

terdapat aturan bahwa masyarakat yang telah tergabung dalam Posdaya akan

menjadi anggota tetap Posdaya seumur hidupnya, kecuali saat dirinya meninggal

dunia, segala bentuk kegiatan yang dilakukan dalam proses pemberdayaan

Posdaya harus melalui perizinan dari Pemerintah Desa. Sedangkan aturan yang

tidak tertulis berupa kesepakatan bersama dari para anggota yang digunakan

dalam keberlangsungan kegiatan pemberdayaan. Sanksi yang diberikan jika

melanggar aturan adalah sanksi secara moral. Misalkan jika ada anggota yang
190

tidak mengikuti pertemuan rutin akan ada teguran dari anggota kelompoknya,

atau semisal ada anggota yang telat membayar angsuran pinjaman akan diingatkan

dan dikenakan denda atau sanksi administratif. Oleh karena itu disini struktur

dijadikan pedoman oleh agen dalam menjalankan kehidupan sosialnya.

Ketika terlibat dalam praktik pemberdayaan Posdaya, para agen sama-sama

mengetahui aturan dan program yang terdapat didalam Posdaya. Sehingga hal

tersebut menunjukkan bahwa aturan yang telah disepakati bersama merupakan

struktur yang bersifat objektif, karena aturan tersebut melekat pada praktik

pemberdayaan yang ada ada Posdaya serta berada pada jejak ingatan agen dan

terwujud dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para agen. Sehingga sesuai

dengan teori strukturasi Giddens, terjadi hubungan dualitas antara struktur dan

agen yang mana keberadaan struktur Posdaya dalam kegiatan pemberdayaan

menjadi hasil dan sarana yang memungkinkan dilakukannya praktik

pemberdayaan pada Posdaya.

Posisi agen yang berada di luar pemerintah desa membuat mereka lebih

mandiri dalam mencari pendanaan dan kemitraan. Pada tahap tersebut agen

mengalami akumulasi pengetahuan dan pengalaman dari setiap perjumpaannya

dengan pihak-pihak luar. Sehingga relasi yang terjalin tidak hanya dari pihak

pemerintahan tetapi juga dengan pihak Universitas dan CSO. Jalinan relasi yang

heterogen membuat agen mengalami peningkatan kapasitas dalam cara berpikir

yang lebih luas dibandingkan dengan agen yang berasal dari pihak pemerintahan

seperti dari organisasi desa, karena sudut pandang yang digunakan dalam proses

pemberdayaan juga akan lebih kaya.


191

Selain itu struktur Posdaya juga memiliki sumberdaya alokatif yang berupa

alat produksi atau teknologi seperti alat pemotong bawang, alat penggiling pastel,

oven, timbangan, lahan pembibitan, dsb dan pendapatan yang didapatkan

anggotanya dari hasil usahanya. Sedangkan sumberdaya autoritatif atau

kewenangan adalah kemampuan yang dimiliki oleh agen dalam mengontrol dan

mengarahkan pola-pola interaksi, yang mana hal ini dapat berupa keterampilan

dan pengetahuan yang dimiliki agen, serta adanya dominasi yang dilakukan oleh

agen ahli (expert agent). Dimana dalam praktik pemberdayaan ini ketua Posdaya

expert agent yang mampu memberikan sederet kekuasaan kausal melalui

pengaruh-pengaruh kekuasaan yang disebarkan kepada ketua-sub kelompok dan

anggota Posdaya yang berperan sebagai lay agent atau agen yang memiliki

kekuasaan lemah dan dapat dipengaruhi oleh expert agent.

Aktivitas-aktivitas yang saling terkait dalam praktik sosial pemberdayaan,

terus menerus dilakukan oleh masing-masing anggota Posdaya, sehingga aktivitas

pemberdayaan yang produktif terjadi secara berulang-ulang. Aktivitas yang

dilakukan secara berulang-ulang dalam konteks ruang dan waktu yang sama inilah

yang memungkinkan terjadinya suatu praktik berkesinambungan. Dikatakan

berkesinambungan karena anggota Posdaya yang terdiri dari berbagai sub-

kelompok, melakukan aktivitas produktif setiap harinya secara terus menerus dan

berulang.

Pada sub bab ini, peneliti mengidentifikasi konteks pemberdayaan pada

dua fase, yaitu pada fase sebelum adanya permasalahan di tubuh Posdaya dan fase
192

setelah adanya permasalahan di tubuh Posdaya. Identifikasi konteks

pemberdayaan yang dilakukan peneliti dimaksudkan untuk memfokuskan

penelitian pada momen setelah adanya permasalahan di tubuh Posdaya Ngroto itu

sendiri. Peneliti memilih memfokuskan analisis pada masa setelah adanya

permasalahan di Posdaya Ngroto karena pada fase tersebut kegiatan

pemberdayaan sudah dijalankan cukup lama, sehingga konteks pemberdayaan

sudah bukan lagi menjadi sebuah tindakan, tetapi sudah menjadi praktik. Masalah

tersebut menyebabkan praktik pemberdayaan Posdaya Ngroto menjadi tidak

berjalan secara efektif. Namun sebelumnya peneliti akan memaparkan secara

singkat konteks pemberdayaan sebelum terjadi masalah dan setelah adanya

masalah.

Dalam dialektika antara struktur dan agensi, terdapat macam-macam

kesadaran yang mendorong setiap tindakan para agen, yaitu kesadaran praktis,

kesadaran diskursif dan motif tidak sadar. Ketiganya tidak berjalan secara

berurutan, tetapi muncul dalam dualitasnya dengan struktur yang melingkupinya.

Sebelum tergabung ke dalam Posdaya Ngroto, para anggota menjalani

kehidupannya dengan rutinitas yang tidak produktif dari tahun ke tahun. Mereka

menyadari bahwa mereka miskin, tetapi mereka tidak sampai pada akar refleksi

pemikiran mengapa mereka di kalangan sesama perempuan Ngroto terjadi

kemiskinan. Hal ini yang mendorong aktivitas keseharian mereka dengan

kesadaran praktis tanpa mempertanyakan kembali mengapa hal tersebut bisa

terjadi dan bagaimana upaya pemecahannya. Mereka menganggap hal tersebut

adalah sesuatu yang bersifat wajar dan secara rutin mereka hadapi sehingga

menjadi regularitas mereka.


193

Kondisi tersebut kemudian direspon oleh ketua posdaya sebagai expert

agent yang kemudian melakukan pendekatan secara bertahap, mulai dari

penyadaran, perencenaan pendirian Posdaya, pelaksanaan program dan

pengembangan lembaga tersebut. Penyadaran dilakukan melalui bahasa-bahasa

yang digunakan ketua posdaya untuk membingkai fenomena kemiskinan sebagai

sesuatu yang harus dientaskan dari kalangan perempuan Ngroto. Hal ini perlahan

merubah dimensi kesadaran praktis para perempuan Ngroto yang awalnya

menganggap kemiskinan adalah sesuatu yang secara rutin mereka alami menjadi

kesadaran diskursif. Mereka mulai memikirkan akar permasalahan mengapa

kondisi mereka bisa seperti itu dan bagaimana upaya pengentasannya. Kesadaran

diskursif inilah yang mendorong tindakan para perempuan tersebut untuk mulai

mengidentifikasi potensi-potensi apa saja yang mereka miliki, sehingga dapat

digunakan sebagai realisasi dari program pemberdayaan. Pada tahap inilah proses

partisipasi masyarakat berjalan.

Peneliti mengklasifikasikan permasalahan di Posdaya Ngroto ke dalam

dua bagian, yaitu permasalahan di tubuh Posdaya secara keseluruhan dan

permasalahan di dalam Koperasi Posdaya. Permasalahan tersebut mempengaruhi

kecenderungan tingkat partisipasi anggota. Ketika masih di awal pendirian

(sebelum menjadi praktik sosial), tingkat partisipasi masyarakat masih tinggi. Hal

ini dibuktikan dengan keterlibatan anggota secara umum dalam setiap kegiatan,

tidak hanya dalam kegiatan pemberdayaan secara teknis, tetapi juga dalam

kegiatan lain seperti seminar, perkumpulan, pembuatan kebijakan dan

musyawarah. Pertemuan-pertemuan semacam itu menjadi suatu ruang bagi semua

anggota untuk terlibat dan menjadi stimulus untuk mengeluarkan pendapat dan
194

masukan-masukan dalam merancang program dan kegiatan pemberdayaan.

Namun, ketika kegiatan pemberdayaan sudah dijalankan sebagai praktik yang

terus menerus, posisi ketua Posdaya Ngroto menjadi sangat dominan. Dominasi

ketua Posdaya menyebabkan partisipasi anggota menjadi menurun.

Seiring berjalannya waktu, dominasi Ketua Posdaya menyebabkan

beberapa keputusan dan informasi tidak sampai pada anggota Posdaya secara

keseluruhan. Dominasi tersebut mendorong kesadaran diskursif dari para anggota

Posdaya. Sebelumnya mereka hanya menerima setiap instruksi dan keputusan dari

Ketua Posdaya tanpa mempertanyakan kembali alasan di baliknya. Setelah

berjalan menjadi suatu praktik, pemberdayaan yang dilakukan Posdaya Ngroto

mengalami beberapa masalah seperti perputaran dana yang tidak transparan,

pendirian koperasi yang menuai pro dan kontra, pembagian bantuan yang tidak

yang membuat berjalannya sistem posdaya menjadi terhambat. Sehingga

kesadaran para anggota yang tadinya merupakan kesadaran praktis menjadi

kesadaran diskursif. Dominasi yang dilakukan oleh ketua Posdaya mendorong

para anggota untuk berpikir ulang mengenai kepentingan siapa yang sebenarnya

sedang didahulukan oleh ketua Posdaya dalam pembagian bantuan. Mereka

merasa praktik pemberdayaan di Posdaya Ngroto menjadi bergeser dari yang

awalnya kepentingan bersama untuk mengentaskan kemiskinan di kalangan

perempuan Ngroto menjadi mendahulukan kepentingan pihak-pihak tertentu yang

dekat dengan ketua Posdaya.

Sehingga, dari dominasi tersebut muncul signifikasi berupa pemberdayaan

yang mengacu pada kepentingan segelintir orang yang dekat dengan agen yaitu

ketua Posdaya. Posisi yang diuntungkan adalah posisi para pihak yang dekat
195

dengan ketua Posdaya, karena pemberdayaan yang dilakukan akan lebih

mendahulukan pihak-pihak yang berada pada posisi strategis tersebut

dibandingkan pihak lain yang menempati posisi tidak strategis. Kondisi tersebut

juga mempengaruhi kesadaran diskursif para sub ketua kelompok, dari yang

awalnya melakukan kegiatan pemasaran secara satu pintu menjadi berusaha

mencari jaringan pemasaran secara mandiri meskipun dana pemberdayaan tetap

dialirkan melalui ketua Posdaya.

Dengan praktik pemberdayaan yang semacam itu, para anggota lambat

laun memberikan sanksi moral kepada Ketua Posdaya. Sanksi moral tersebut

berupa perlawanan simbolik yang dilakukan di belakang beliau, seperti misalnya

rasan-rasan, dan menggerutu dengan sesama anggota yang juga tidak berada

dalam prioritas pemberdayaan Pada akhirnya sanksi moral tersebut mengerucut ke

dalam bentuk tindakan yang dapat menurunkan tingkat partisipasi, seperti

menggerutu, dan memilih tidak tergabung dalam beberapa kegiatan. Berikut ini

adalah skema yang menjelaskan Pemberdayaan di desa Ngroto menjadi terhambat

karena pada praktiknya agen terlalu mendominasi sehingga yang awalnya sudah

berjalan dengan terbuka dan partisipatif menjadi terhambat:


196

Gambar 4. Skema Dualitas Struktur-Agensi dalam Posdaya Secara Umum

Sumber: Hasil Analisis peneliti, (2017)

Untuk melihat praktik pemberdayaan, peneliti menguraikan dualitas

struktur melalui skema D-S-L. Peneliti menempatkan struktur Dominasi karena

mengacu pada akar permasalahan yang muncul di Posdaya Ngroto adalah karena

posisi ketua posdaya yang mendominasi. Pemberdayaan di Desa Ngroto tidak

dapat lepas dari sosok ketua posdaya sebagai expert agent. Posisi ketua posdaya

sangat dominan dari segi autoritatif, sehingga kapasitasnya mempengaruhi

anggota yang lain sangat kuat. Posisi ini memungkinkan ketua posdaya merasa

dirinya adalah kunci kendali dari pemberdayaan di Posdaya tersebut, sehingga


197

ketua posdaya cenderung melakukan tindakan berdasarkan pertimbangannya

sendiri.

Setelah mengalami regularitas secara terus menerus dari tahun ke tahun,

muncul wacana pendirian koperasi Posdaya yang pada akhirnya menimbulkan

masalah. Permasalahan mulai muncul ketika terjadi ketidak sepahaman dalam

pemotongan kredit secara sepihak hanya berdasarkan hasil perundingan Ketua

Posdaya Ngroto dan para ketua sub-kelompok. Diberlakukan pemotongan

pinjaman sebesar 20% yang diperuntukkan sebagai dana pendirian koperasi.

Penentuan pemotongan biaya yang sebesar 20% tersebut tidak melalui

musyawarah dengan semua anggota, melainkan hanya diputuskan oleh ketua

Posdaya dan ketua sub-kelompok. Pemotongan kredit tersebut dirasakan terlalu

berat oleh para anggotanya, ditambah lagi pengambilan keputusan yang dilakukan

secara sepihak membuat para anggota merasa tidak ada transparansi yang jelas

dalam pengelolaan dana.

Pemotongan anggaran tersebut sebenarnya dimaksudkan sebagai dana

awal pendirian koperasi, tetapi karena mekanisme penyampaian informasi yang

dilakukan secara sepihak dan tidak transparan memicu kecurigaan dari

anggotanya. Kecurigaan dan ketidak sepahaman tersebut pada akhirnya berbuntut

pada tindakan para anggotanya, seperti menunggak membayar cicilan kredit dan

melakukan perlawanan simbolik berupa rasan-rasan dan menggerutu di belakang

Bu Rusmini dan para ketua sub kelompok.Sejauh ini praktik pemberdayaan di

Ngroto masih berjalan, tetapi menjadi tidak efektif karena masalah tersebut.

Peneliti bermaksud menguraikan alasan di balik ketidak efektifan pemberdayaan

di desa Ngroto melalui praktik sosial.


198

Selanjutnya penulis akan mendeskripsikan praktik yang terbangun dalam

skema dualitas melalui pendirian koperasi. Awal permasalahan di Posdaya Ngroto

terjadi karena ruang yang digunakan untuk merumuskan suatu keputusan

pendirian koperasi posdaya menjadi tidak representatif karena hanya mengundang

ketua sub kelompok tanpa adanya perundingan terlebih dahulu dengan para

anggota. Kemudian dilakukan pemotongan sebesar 20% untuk simpanan wajib

dan simpanan pokok koperasi dari dana yang diperoleh melalui Bank UMKM.

Sehingga dari momen tersebut menuai pro dan kontra sampai saat ini.

Pada awalnya, partisipasi masyarakat tergolong tinggi. Hal tersebut dapat

dilihat pada tahap perencanaan awal yang melibatkan semua anggotanya mulai

dari identifikasi potensi dan aset di kalangan anggota yang kemudian menjadi

acuan klasifikasi kelompok-kelompok sub pemberdayaan. Partisipasi tersebut

kemudian menurun ketika terjadi permasalahan di Posdaya itu sendiri. Sehingga

untuk melihat alasan di balik tidak efektifnya pemberdayaan di Desa Ngroto

peneliti harus melihat praktiknya. Apabila digambarkan ke dalam skema, maka

dualitas struktur dan agensi dalam Posdaya Ngroto adalah sebagai berikut:
199

Contoh Skema Dualitas Struktur-Agensi dalam Pendirian Koperasi

Sumber: Hasil Analisis Peneliti, (2017)

Dari skema di atas terlihat bahwa permasalahan pemberdayaan pada

Posdaya bermula ketika ada masalah struktural di dalam tubuh Posdaya itu

sendiri. Permasalahan tersebut muncul karena posisi Bu Rusmini yang terlalu

dominan dalam pengambilan keputusan. Bu Rusmini dengan posisinya sebagai

ketua sekaligus penggagas Posdaya merasa bahwa dirinya memiliki kuasa atas

Posdaya tersebut, sehingga ketika beliau membuat keputusan pemotongan kredit

sebesar 20% untuk pendirian koperasi ditentang oleh para anggota. Masalah

internal dalam Posdaya itu sendirilah yang justru menjadikan praktik

pemberdayaan di Posdaya Ngroto menjadi tidak berjalan secara efektif.


200

Pada awalnya maksud dari tindakan ketua posdaya mengarah positif, yakni

pada niatan mendirikan koperasi agar menunjang perputaran dana yang ada di

Posdaya itu sendiri. Namun posisi Bu Rusmini yang terlalu dominan

menyebabkan seolah-olah semua keputusan adalah hasil dari pemikirannya,

sehingga ketika terjadi permasalahan maka Bu Rusmini yang terlebih dahulu

dianggap sebagai penyebabnya.

Dominasi yang dilakukan bu Rusmini mengarah pada dominasi autoritatif,

yakni kemampuannya mempengaruhi orang lain melalui posisinya atau

fasilitasnya sebagai ketua dan penggagas Posdaya. Dominasi tersebut kemudian

membuat praktik pemberdayaan menjadi tidak efektif. Model pengambilan

keputusan yang dulunya dilakukan dalam forum bersama tidak berlaku ketika

pengambilan keputusan terkait pemotongan kredit pinjaman anggota. Hal tersebut

kemudian berimplikasi pada struktur signifikasi yang bergeser, yakni signifikasi

yang dulunya mengarah pada wacana pengentasan kemiskinan saat ini bergeser

menjadi wacana pengawasan terhadap pelaksanaan pemberdayaan.

Sebelum adanya masalah terkait pemotongan kredit pinjaman, dualitas

struktur dan agensi masih berada pada tatanan S-D-L. Signifikasi pengentasan

kemiskinan di kalangan perempuan menjadi perhatian utama yang menggerakkan

semangat pemberdayaan pada waktu awal berdirinya Posdaya. Sehingga dominasi

yang pada waktu itu berjalan mengarah pada dominasi autoritatif ke arah positif,

bagaimana Bu Rusmini dan ketua sub kelompok mengorganisasikan anggotanya

ke dalam kelompok-kelompok pemberdayaan berdasarkan minat dan aset yang

dimiliki. Di samping itu, Bu Rusmini tetap menjadi agen sentral yang menguasai

perputaran uang. Tetapi pada waktu itu masalah masih belum muncul ke
201

permukaan karena interaksi melalui forum diskusi bersama masih intens

dilakukan, dan melibatkan semua pihak. Berbeda halnya dengan praktik

pemberdayaan yang dilakukan saat ini, dimana dominasi Bu Rusmini pada saat

pendirian koperasi hanya melibatkan ketua sub-kelompok dan membuat

keputusan sepihak dengan memotong dana pinjaman kredit anggota untuk

pendirian koperasi.

Seperti yang diungkapkan oleh informan pada saat proses wawancara

sebagai berikut:

“Ya banyak yang protes mbak waktu itu anggota, kan nggak ada perjanjian
awalnya begitu dana turun cair kok ketuanya langsung dipanggili ke rumah Bu
Rusmini terus bicara itu tadi, awalnya ya tanya buat apa-buat apa, terus
dijelaskan sama ketuanya, terus ya manut semua, wong Bu Rusmini yang sudah
carikan pinjaman modal ya, malah saya sama kelompok saya ini nyangoni dulu
sekelompok 300 ribu buat jasanya Bu Rusmini kami iuran, tapi ya diterima sama
Bu Rusmini, padahalkan dia udah dapat fee sendiri dari pihak banknya, wong
saya aja yang wira wiri bayar ke bank batu nggak minta ongkos nggak minta apa.
Ya anggota terus jadi banyak yang getun gitu mbak karena kan nggak semua
kebagian uang pinjaman itu ya, ada yang pinjam nggak dikembalikan, terus ada
yang mau pinjam katanya uangnya habis sudah dipinjam yang lain, ya coba
bayangkan aja mbak, uang 400 ribu itu dikalikan berapa orang aja, banyak
jatuhnya kan puluhan juta itu, makannya terus kepercayaan warga ke Bu Rusmini
jadi berkurang karena nggak ada transparasi dana itu tadi, toh lo koperasinya
terus nggak jalan. La dulu kan ibu-ibu seneng pas dapat bantuan pinjaman itu kan
bayangannya penuh gitu mbak 2 jt, eh la kok moro-moro dipotong, itu
sebelumnya kan nggak ada musyawarah sama kami jadi ya banyak yang kecewa.
Itu bukan dari wewenang bank juga, jadi orang-orang pulang ya langsung syock,
la yok opo mbak wong wes kadung mau nggak mau ya kita manut wong lek
kanthi ketuanya, dia juga yang carikan pinjaman mosok yo katene nglamak mbak
hahaha” (Wawancara dengan Bu Intan, Ketua sub-kelompok Tahu Sehat, pada
tanggal 04 Juni 2017)

Berdasarkan penjelasan dari Bu Intan, bahwa pada pendirian “Koperasi

Posdaya”, pembuatan keputusan dilakukan melalui musyawarah dengan ketua

sub-kelompok saja, tidak ada anggota yang diajak untuk bermusyawarah dan

berdiskusi terkait rencana pembentukan koperasi tersebut. Pemotongan dana

kredit anggota yang dilakukan secara tiba-tiba membuat anggota Posdaya merasa
202

kaget dengan hal tersebut. Sehingga mereka pasrah dengan keputusan Bu Rusmini

sebagai ketua umum Posdaya.

Setelah mengalami pemotongan dana pinjaman kredit, kepercayaan

anggota terhadap Bu Rusmini menjadi menurun. Hal ini dibuktikan dengan

tindakan para anggota yang menunggak cicilan kredit. Kesadaran para anggota

tadinya berada pada taraf kesadaran praktis, mereka awalnya menerima begitu

saja setiap arahan dari Bu Rusmini karena mereka menganggap Bu Rusmini

sebagai agen yang kapasitasnya di atas mereka dan mereka merasa bergantung

dengannya. Setelah diberlakukan pemotongan kredit sebesar 20% tanpa adanya

sosialisasi sebelumnya kepada seluruh anggota menjadikan para anggota memiliki

kesadaran diskursif. Mereka mulai mempertanyakan mengapa pemotongan kredit

tersebut sebesar 20% dan untuk apa pemotongan tersebut dilakukan. Mereka juga

mempertanyakan mengapa mereka tidak dilibatkan dalam musyawarah ketika

membuat keputusan tersebut.

Adapun struktur legitimasi muncul dalam bentuk aturan yang mengikat

para anggotanya karena sudah terlanjur bersedia jika kreditnya dipotong sebesar

20%, jadi mau tidak mau mereka harus tetap membayar meskipun mereka sering

menunggak cicilan. Legitimasi tersebut membuat para anggota keberatan dalam

membayar cicilan karena di samping harus membayar cicilan pinjaman mereka

juga harus membayar bunga dari pinjaman tersebut. Mereka merasa hal tersebut

terlalu berat ketika menerima pinjaman uang tidak sesuai dengan jumlah yang

mereka butuhkan tetapi harus membayar bunga yang melebihi pinjaman mereka.

Melalui praktik yang seperti inilah program pemberdayaan di Desa Ngroto

menjadi terhambat.
203

Proses pemberdayaan tersebut berlangsung dalam waktu yang bertahap.

Menurut Giddens waktu dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu reversible time,

irreversible time dan longe duree. Reversible time adalah waktu yang dapat

diulang, misalnya dalam penelitian ini adalah pertemuan rutin yang dilakukan sub

kelompok pemberdayaan setiap satu bulan sekali. Irreversible time adalah waktu

yang tidak dapat diulang. Dalam penelitian ini misalnya ketika ada permasalahan

dalam koperasi yang berupa kemacetan kredit simpan pinjam karena beberapa

anggota yang meminjam uang sering menunggak uang tersebut. Hal tersebut akan

tetap melekat dalam ingatan masing-masing individu di dalamnya dan tidak dapat

diulang sehingga sampai saat ini koperasi tersebut mengalami kemandekan.

Adapun longe duree merupakan waktu dalam jangka panjang, dalam penelitian ini

longe duree adalah proses pemberdayaan yang dilakukan dalam waktu ke waktu

secara bertahap (jangka panjang) untuk mengentaskan kemiskinan di kalangan

perempuan Ngroto. Dari yang awalnya pemberdayaan tersebut lebih fokus pada

wacana pengentasan kemiskinan di kalangan perempuan menjadi memonitoring

pelaksanaan pemberdayaan karena adanya keputusan pemotongan kredit secara

sepihak.

Pemberdayaan perempuan Ngroto juga melibatkan pemaknaan atas ruang.

Klasifikasi sub-kelompok merupakan bentuk ruang-ruang sosial yang

membedakan konsentrasi dari masing-masing bidang pemberdayaan Ruang tidak

hanya meliputi ruang fisik, tetapi juga ruang sosial. Ruang sosial menggambarkan

bagaimana manusia memaknai lingkungan fisik dengan aktivitas sosialnya. Dalam

penelitian ini, cakupan ruang yang digunakan untuk bertemu dan musyawarah

mengalami perubahan. Dari yang awalnya melibatkan seluruh anggota Posdaya


204

melalui pertemuan rutin, menjadi keterwakilan ketua sub kelompok dengan ketua

posdaya. Sehingga berdasarkan permasalahan tersebut membuat partisipasi

anggota dalam kegiatan organisasi posdaya menjadi menurun.

Selain permasalahan yang terjadi pada lingkup posdaya secara umum

terkait tidak berjalannya sistem posdaya, tidak meratanya pembagian bantuan dan

terjadinya pro-kontra tehadap pendirian koperasi yang menjebabkan terbentuknya

pola praktik sosial. Terdapat hambatan dalam level sub kelompok berupa

hambatan kurangnya permodalan, lemahnya jaringan pemasaran produk, dan

terbatasnya sarana dan prasarana usaha. Dari segi permodalan anggota posdaya

seringkali mengalami kesulitan karena hasil penjualan tidak selalu dapat dijadikan

modal kembali, karena dalam prosesnya anggota juga sering mengalami untung

dan rugi. Kendala pemasaran juga disebabkan karena produk yang dihasilkan

belum memiliki izin PIRT dari BPOM, sehingga produk yang dihasilkan oleh

anggota posdaya belum dapat dipasarkan secara bebas. Lemahnya jaringan

pemasaran membuat anggota posdaya kesulitan dalam memasarkan produknya.

Hambatan terkait terbatasnya sarana dan prasarana seperti mesin, atau teknologi

lain yang menjadi faktor penunjang berjalannya produksi membuat anggota

kesulitan dalam melakukan kegiatan produktif.

5.5 Potensi Keberlanjutan Program Pemberdayaan Masyarakat Pada


Posdaya

5.5.1 Harapan Anggota Posdaya Untuk Keberlanjutan Posdaya

Program pemberdayaan yang ada pada Posdaya cenderung tendensi

memiliki potensi untuk berlanjut, karena masing-masing anggota memiliki sense

of belonging atau rasa memiliki suatu kelompok atu organisasi dalam diri
205

anggotanya, yang berfungsi sebagai pembentuk identitas dalam diri individu dan

sebagai motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kelompoknya. Karena dalam

pemberdayaan sendiri datangnya bukan dari inisiatif struktur melainkan inisiatif

target pemberdayaan atau dari anggotanya sehingga kunci utama dalam

pemberdayaan adalah partisipasi.

Anggota Posdaya kebanyakan sama-sama ingin maju sehingga

keberlanjutan Posdaya itu ada. Meskipun ada peran yang lebih dominan dari

expert agent yang mengorganisir dan mengatur berjalannya kegiatan

pemberdayaan pada posdaya serta terdapat sedikit hambatan serta permasalahan

dalam prosesnya. Namun, kegiatan pemberdayaan pada posdaya tetap

berlangsung hingga saat ini karena anggotanya masih banyak yang melakukan

kegiatan produktif dan tetap menjalankan program kegiatan pada posdaya seperti

pertemuan rutin kelompok, mengikuti kegiatan pelatihan dan sosialisasi, dan

kegiatan lainnya. Jika melihat dinamika kelompok produktif semenjak awal

pendirian Posdaya pada tahun 2013 hingga saat ini. Dari hasil penelitian tercatat

terdapat 1 dari 9 sub-kelompok yang usahanya saat ini mengalami kemacetan.

Kelompok tersebut bergerak dalam bidang usaha pembuatan Tahu Sehat tanpa

limbah. Tidak berjalannya kelompok tersebut karena adanya kendala dan

hambatan yang menjadi faktor penyebab tidak berjalannya kegiatan usaha pada

sub-kelompok tahu sehat yang terdiri dari 3 kelompok tersebut. Program yang

sudah menghabiskan banyak dana untuk membeli mesin pembuat tahu tersebut

terpaksa harus berhenti untuk sementara waktu, dan berhenti produksi dalam 2

tahun belakangan ini, sehingga hal tersebut membuat anggota kelompok banyak
206

yang mencari pekerjaan lain seperti menjadi pelayan diwarung nasi ampok,

bahkan tak sedikit dari mereka yang saat ini mengangur.

Sedangkan sub-kelompok lainnya saat ini masih banyak yang melakukan

kegiatan produktif. Kegiatan produktif tersebut dilakukan melalui usaha yang

dikelola secara individu sesuai bidang mereka. Namun meskipun usaha mereka

dikelola secara individu , setiap anggota sub-kelompok masih saling bekerja sama

antara satu sama lain. Kerjasama dilakukan baik dalam kegiatan produksinya,

pembagian orderan, maupun dalam pemasarannya.

Keberhasilan program-program Posdaya dalam kegiatan pemberdayaan

bisa dirasakan langsung oleh anggotanya. Dimana semenjak adanya Posdaya,

mereka yang sebelumnya pengangguran dan kurang produktif, sekarang menjadi

produktif dan mampu menjalankan usahanya. Hal ini seperti keterangan dari salah

satu anggota kelompok Sarinah Creative sebagai berikut:

“Ya itu kan basicnya program pemberdayaan ya, nyatanya ibu-ibu disini kan juga
dapat berdaya mbak, dari yang sebelumnya sudah memiliki keterampilan bisa
untuk mengembangkan bakatnya lagi, yang belum bisa bisa saling belajar sama
yang lain, yang tadinya nggak ada modal buat usaha semenjak ada pinjaman
modal melalui Posdaya jadi bisa mendirikan usahanya dan berkembang sampai
sekarang, yang nggak punya alat produksi alhamdulillah banyak anggota
kelompok yang dapat alat produksi, kaya mesin pemotong bawang ini punya
saya, dan yang lain dapat sesuai kebutuhannya”(Wawancara dengan Ibu Nunik,
Anggota kelompok Sarinah Creative, pada tanggal 02 Juni 2017)

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut, membuktikan bahwa program

pemberdayaan pada Posdaya sudah cukup dikatakan berhasil. Karena banyak

anggotanya yang saat ini yang berdaya dan mejalankan kegiatan produktif. Dari

yang sebelumnya menganggur saat ini mereka sudah mampu menjalankan

usahanya dengan menyalurkan keterampilan yang dimiliki, mereka juga mendapat

akses bantuan berupa pinjaman modal usaha dan juga alat produksi yang sangat

membantu mereka dalam menunjang kegiatan produktifitasnya.


207

Selain itu, berdasarkan hambatan-hambatan dan permasalahan yang terjadi

pada kelompok Posdaya, setiap anggota kelompok memiliki harapan dan problem

solving untuk Posdaya. Dimana harapan-harapan dari anggota kelompok posdya,

menginginkan agar Posdaya bisa terus maju dan dapat menjadi wadah bagi

anggotanya dalam mendapatkan bimbingan, sharing informasi seputar kegiatan

pemberdayaan dan UMKM, penyediaan fasilitas, dsb.

“Ya kalau bisa jalan lagi cari orang yang sungguh-sungguh ya yang benar-benar
tlaten, punya keterampilan, kalau dulu kan orang-orang itu asal rekrut karena
cuma memanfaatkan pinjamannya aja, nggak benar-benar dimanfaatkan untuk
modal usaha, terus yang kedua saya berharap kelompok ini yang macet bisa jalan
lagi, dicarikan solusi gimana gitu, kami diajak rembukan, musyawarah, jangan
keputusan sendiri, yang ketiga harus ada transparasi dana, uang kelompok itu
larinya kemana untuk keperluan apa, ya bukannya saya menjelek-jelekkan ya
mbak uang 2 juta kita cuma nerima 1,6 juta, la yang 400 itu kemananya kan
nggak jelas apalagi 400 itu dikalikan berapa jumlah anggota yang pinjam,
katanya uang itu dipinjam-pinjamkan tapi lo nggak jelas banget” (Wawancara
dengan Bu Gina, anggota kelompok Tahu Sehat, pada tanggal 04 Juni 2017)

“Kalau harapan sih ya semoga kelompok kami bisa maju terus, organisasinya
jalan, kerjasama dan gotong-royongnya juga jalan terus, ya pokoknya selalu bisa
memberikan hasil yang baik lah tidak mengecewakan pelanggan. Kalau bisa ya
kami berharap ada bantuan dari pihak manapun, ya kita butuh tambahan modal
karena kan kita sering kekurangan modal” (Wawancara dengan Bu Siti, Ketua
kelompok Makaryo Bersama, pada tanggal 02 Juni 2017)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bu Gina dan Bu Siti, bahwa mereka

menginginkan agar Posdaya bisa maju, kelompok yang saat ini mengalami

kemandegan bisa jalan lagi. Mereka berharap agar nantinya diajak musyawarah

dalam mencari solusi atas permasalahan yang ada pada Posdaya. Selain itu yang

paling penting adalah perbaikan sistem management Posdaya, anggota menuntut

harus ada transparasi dana antara pengurus dan anggota agar kepercayaan anggota

bisa kembali lagi seperti dulu. Dengan begitu, aktivitas dalam Posdaya akan

berjalan sesuai yang diharapkan, dan apa yang menjadi visi misi kelompok dapat

terwujud melalui kerjasama yang terjalin antara mereka. Mereka tidak


208

berkeberatan jika ada dominasi dari ketua yang mempunyai kewenangan

mengatur mereka, asalkan ada transparasi dalam setiap sistemnya.

“Harapannya untuk kelompok ada kemandirian di bidang ekonomi, bergeraknya


dibidang ekonomi, kalau mereka ekonominya mapan kan daya belinya juga
semakin tinggi, terus rumah tangganya jelas tentram dari sisi sosial ekonominya,
kalau ekonomi dalam keluarga goncang kan semakin goyah keluarga. Sosial
ekonomi kan nggak bisa dipisahkan, jarang kan orang kalau ekonominya lagi
bergejolak terus diem yowes opo jare mesti kan usaha” (Wawancara dengan Bu
Rusmini, Ketua dan koordinator umum POSDAYA, pada tanggal 31 Mei 2017)

Selain itu, Bu Rusmini sebagai ketua dan koordinator umum Posdaya juga

berharap nantinya kelompok Posdaya memiliki kemandirian dibidang ekonomi

karena hal tersebut menjadi penentu tingkat kesejahteraan mereka dalam segi

sosial dan ekonomi. Oleh karena itu beliau megharapkan adanya usaha dan

semangat untuk bekerja dari para anggotanya. Sehingga nantinya visi misi

Posdaya dapat terealisasikan sesuai apa yang diharapkan bersama.

5.5.2 Pembentukan Kelompok Baru dalam Posdaya

Setelah hampir 4 tahun pemberdayaan pada Posdaya berjalan dan telah

membentuk sekitar 18 kelompok dari 9 sub-kelompok yang ada, saat ini ketua dan

koordinator umum Posdaya akan membentuk kelompok baru pada Posdaya,

dimana kelompok tersebut nantinya diharapkan dapat menjadi kelompok

produktif yang dapat berjalan seperti kelompok sebelumnya yang telah dianggap

berhasil. Kelompok baru tersebut nantinya direncanakan akan bergerak dalam

bidang pembuatan es krim berbahan dasar sayur wortel untuk para ibu-ibu dan

juga kelompok dibidang jasa bengkel dan cucian motor yang nantinya anggotanya

diambil dari anggota karangtaruna di Desa Ngroto.

Pembentukan kelompok baru tersebut sampai saat ini masih dalam tahap

proses perencanaan dan masih didiskusikan dengan anggota terkait serta kepala
209

desa setempat. Jika musyawarah telah mencapai mufakat, nantinya kelompok baru

tersebut akan dimintakan SK kepada kepala desa sebagai legalitas pendirian

kelompok baru pada Posdaya. Pendirian kelompok baru ini diharapkan dapat

memotivasi dan membangkitkan partisipasi masyarakat agar mereka memiliki

semangat, dapat menyerap pengangguran, serta diharapkan mampu membantu

perekonomian keluarga mereka. Dalam pembentukan kelompok baru ini, tetap

menggunakan sistem pemberdayaan yang bersifat bottom up yakni dengan

mengutamakan partisipasi dan aspirasi dari masyarakat, yang diajak dalam proses

perencanaan dan penentuan kebijakannya.

Sebagai ketua dan koordinator umum Posdaya Bu Rusmini mengharapkan

ada pihak yang membantu, lebih-lebih mau mengambil posisi Bu Rusmini sebagai

ketua Posdaya untuk menggantikan beliau. Beliau berharap ada generasi muda

dariDesa Ngroto yang mau menjadi agen penggerak seperti beliau yang mampu

memberdayakan serta mendayahgunakan potensi SDA dan SDM yang dimiliki

oleh masyarakatDesa Ngroto yang mana nanti dalam prosesnya generasi muda

tersebut akan didampingi, dibina, dan diberikan pengawasan oleh pengurus

Posdaya terdahulu, Pemerintah Desa, dan juga Universitas Brawijaya yang

berperan sebagai pembina Posdaya Desa Ngroto. Menginggat saat ini terdapat

banyak peluang usaha baik dibidang produksi makanan dan bidang jasa, maka hal

tersebut dapat dimanfaatkan untuk mencoba peruntungan baru dengan

berwirausaha.

Sehingga pengurus Posdaya merancang dibentuknya kelompok baru dalam

organisasi Posdaya dengan tujuan setelah dibentuknya kelompok tersebut dan

bergabung dalam organisasi Posdaya mereka akan dengan mudah mendapatkan


210

fasilitas apapun baik dari pemerintah maupun dari kelompok itu sendiri dan

Posdaya nantinya dapat menjadi wadah organisasi bagi mereka. Sehingga segala

macam informasi terkait UMKM dan beragam fasilitas baik dari pemerintah

maupun swasta akan mudah mereka dapatkan karena melalui organisasi yang

mereka ikuti.

5.5.3 Akses Bantuan Fasilitas Kelompok Untuk Keberlangsungan Posdaya

Selama ini, Posdaya telah mendapatkan bantuan dari pihak luar baik dari

instansi maupun lembaga yang bersedia memberikan bantuan kepada Posdaya.

Bantuan tersebut ada yang berupa bantuan uang tunai, bantuan pinjaman modal

usaha, bantuan alat produksi, dan bantuan ilmu seperti pemberian pelatihan dan

sosialisasi. Selama ini bantuan yang didapatkan oleh kelompok Posdaya bukan

secara langsung bantuan tersebut datang namun juga melalui relasi-relasi dengan

pihak luar, pengajuan proposal, dan juga kemampuan anggota dalam melobby

pihak pemberi bantuan.

Selama ini telah banyak bantuan yang masuk dan telah berhasil membantu

anggota Posdaya, bantuan tersebut diantaranya adalah a) Bantuan uang tunai dana

hibah dari Pemerintah Provivinsi Jawa timur yang diberikan kepada sub-

kelompok, b) Bantuan pinjaman modal usaha dari Bank UMKM (Usaha Mikro

Kecil Menengah) dengan bunga cicilan yang rendah dan dapat diangsur selama 2

tahun, c) Bantuan alat produksi seperti mesin jahit yang diberian kepada

kelompok rajut, mesin pemotong bawang, mesin penggiling pastel, dan oven

besar yang diberikan kepada kelompok sarinah creative, dan timbangan yang

diberikan kepada kelompok seger waras, dimana semua mesin tersebut merupakan

bantuan dari Universitas Brawijaya, d) Sosialisasi dan pelatihan usaha mikro kecil
211

menengah dari Bank UMKM, pelatihan keterampilan pemanfaatan barang bekas

dari KKN Universitas Brawijaya, Pelatihan pembuatan tahu sehat tanpa limbah

dari Lembaga Insan Mandiri, sosialisasi dari World Bank terkait pembagian

ternak sapi limousine bersubsidi kepada kepala keluarga di Kab. Batu, pelatihan

pembuatan pupuk organik dari Universitas Merdeka Malang, dsb.

Berdasarkan akses bantuan yang telah didapatkan sebelumnya, kelompok

Posdaya masih mengalami kendala serta hambatan dalam kegiatan produksinya

dan memerlukan fasilitas yang dapat membantu aktivitas dan usahanya, oleh

karena itu saat ini pengurus Posdaya berencana akan mencari terobosan baru

dengan harapan mampu mengatasi hambatan-hambatan yang ada dalam Posdaya

dan juga membantu mencarikan fasilitas untuk anggota Posdaya secara umum.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh pengurus Posdaya pada saat wawancara:

“Ya sambil jalan saya harus mencari terobosan untuk bisa mendapatkan
solusinya, dan sekarang lagi trend bantuan-bantuan dari pemerintah untuk Usaha
Mikro Kecil Menengah ini, pendampingan juga kami bergabung di IKINDO
(Ikatan Pemberdayaan Pedagang Kecil Indonesia), kebetulan ketua umumnya
istri mantan menteri pada saat jaman Gusdur, Alm Pak Cacuk Sugiarto, nah sama
Bu Cacuk saya pernah diundang untuk memberi sambutan di forum pengukuhan
itu, ya satu kehormatan sih bagi diri saya, karena mungkin teman-teman
menganggap saya ada peranan disitu, dengan begitu saya berharap binaan saya
dari Posdaya ini nantinya bisa mendapat fasilitas dari IKINDO, nah saya
koordinasi dengan dinas pasar, dinas koperasi, dinas UKM, ternyata dari dinas
koperasi dan dinas UKM sendiri itu mencari para usaha usaha mikro kecil
menengah ini untuk mendapat fasilitas dari Pemerintah Kabupaten Malang,
bahkan ini targetnya 5000 UKM dalam 1 tahun, dengan demikian informasi itu
langsung kami tangkap la kedepan saya secara pribadi selaku koordinator
Posdaya ini bisa kita ambil sebagai solusi untuk mengatasi hambatan yang ada
dan bisa mendapatkan fasilitas dari pemerintah Kabupaten Malang” (Wawancara
dengan Bu Rusmini selaku Ketua dan Koordinator Umum Posdaya, Pada tanggal
31 Mei 2017)

Dari keterangan tersebut, pengurus Posdaya akan berencana untuk

menjalin kerjasama dengan bergabung di IKINDO (Ikatan Pemberdayaan

Pedagang Kecil Indonesia), dengan harapan Posdaya Desa Ngroto akan

mendapatkan pendampingan, serta bantuan fasilitas dari IKINDO. Pengurus


212

Posdaya telah memiliki jaringan yang akan menghubungkan Posdaya Desa

Ngroto dengan IKINDO, karena kebetulan ketua umum IKINDO Bu Cacuk

mengenal Bu Rusmini sebagai ketua dan koordinator umum Posdaya, bahkan Bu

Rusmini pernah diminta untuk memberikan sambutan pada forum pengukuhan

IKINDO. Kemampuan agensi dari Bu Rusmini berupa keinginan untuk mecarikan

fasilitas bagi anggota kelompoknya, serta kemampuannya dalam melihat masalah

serta solusi menjadi dasar berkembangnya jaringan serta saluran informasi yang

diperoleh dari pihak luar. Bahkan saat ini Bu Rusmini yang mempunyai peranan

sebagai agen juga telah berkoordinasi dengan Dinas Pasar, Dinas Koperasi, dan

Dinas UKM, yang mana dinas-dinas tersebut juga sedang mencari Usaha Mikro

Kecil Menengah (UMKM) yang targetnya sebanyak 5000 UMKM dalam 1 tahun,

dimana harapannya nanti anggota Posdayaakan mendapatkan fasilitas dari

Pemerintah Kabupaten Malang.

Berdasarkan kemampuan agen penggagas terbentuknya Posdaya dalam

memperoleh jaringan komunikasi dan relasi dengan pihak luar untuk memperoleh

bantuan fasilitas yang berorientasi kedalam kelompok Posdaya merupakan

kelebihan kapasitas yang dimiliki oleh agen, sehingga kelompok Posdaya bisa

beradaptasi dan menjalin kerjasama baru dengan pihak dari luar. Dengan adanya

jaringan dengan pihak luar, akan dapat mempermudah kelompok Posdaya dalam

memperoleh informasi, pengetahuan, dan bantuan fasilitas yang bermanfaat bagi

anggota kelompok. Seperti adanya sosialisasi dan pelatihan yang diberikan oleh

instansi atau lembaga dari luar Posdaya, hal tersebut akan dapat memberikan

ilmu, pengalaman, serta sebagai sumber belajar mereka yang kemudian dapat

dijadikan pedoman oleh seluruh anggota kelompok.


213

5.5.4 Rencana Kebijakan Pemerintah Desa Ngroto untuk Kemajuan

Posdaya

Pemerintah Desa Ngroto sebagai pihak pengawas serta pemberi izin

dikeluarkannya Surat keputusan (SK) untuk legalitas pendirian Posdaya, sampai

sejauh ini telah berperan untuk mengawasi dan memantau berjalannya program

pemberdayaan Posdaya di Desa Ngroto. Pemerintah desa sangat mendukung

adanya program kegiatan pemberdayaan pada Posdaya, bahkan PemerintahDesa

Ngroto tidak pernah putus komunikasi dengan pengurus Posdaya dan saling

berkoordinasi antara satu sama lain. Pengurus Posdaya selalu melapor kepada

Kepala Desa jika ada kegiatan dan bantuan dari instansi atau lembaga dari luar

kepada Posdaya. Sebagai pihak yang memonitor Posdaya, pemerintah desa kurang

begitu mengetahui jika dalam Posdaya sendiri terdapat berbagai macam

permasalahan maupun hambatan pada setiap prosesnya. Pihak desa baru

mengetahui saat anggota Posdaya ada yang melapor terkait permasalahan dan

kendala yang sedang dihadapi oleh anggota Posdaya.

Pemerintah desa sendiri sangat mengapresiasi program pemberdayaan

pada Posdaya dan ingin supaya program tersebut dapat berjalan, untuk membantu

pemerintah desa dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran.

Sehingga Posdaya dapat berperan membantu kinerja desa dalam mengurangi

permasalahan kemiskinan dan pengangguran di Desa Ngroto. Yang mana hal

tersebut di realisasikan melalui praktik pemberdayaan masyarakat pada Posdaya.

Saat ini pihak desa telah menjalin kerjasama dengan Posdaya dibidang

usaha pembibitan yang dijalankan oleh sub-kelompok Makaryo Bersama,

pemerintah desa menjadikan pembibitan sebagai produk unggulan desa. Bahkan


214

anggota sub-kelompok yang bergerak dalam bidang pembibitan kini juga telah

bekerjasama atau terhubung dengan BUMDES. Kelompok makaryo bersama kini

mendapatkan bantuan pinjaman modal dari BUMDES AGENG Desa Ngroto yang

dapat dipergunakan oleh kelompok pembibitan dalam mengembangkan usaha

mereka. Bahkan BUMDES juga telah menyediakan benih dan pupuk untuk

kelompok pembibitan dengan harga yang lebih terjangkau, sehingga kelompok

pembibitan saat ini tidak perlu lagi membeli benih dan pupuk diluar karena

BUMDESDesa Ngroto telah menyediakan aneka kebutuhan pertanian. Pihak desa

mengaku bahwa sampai saat ini belum pernah memberikan bantuan secara

materiil kepada kelompok Posdaya. Bahkan bantuan yang diberikan pemerintah

desa kepada kelompok Posdaya melalui BUMDES baru berjalan tahun ini.

Selanjutnya pihak desa berencana akan memberikan bantuan kepada Posdaya

secara umum melalui program Jalin Matra, hal ini sesuai dengan pernyataan

Kepala Desa sebagai berikut:

“Emm sementara belum, tapi ini ada program jalin matra ya karena program Jalin
Matra ini mengarah ke RTSM, jadi kami mendapat bantuan dari pemerintah
provinsi cuma harus masuk BUMDES, kebetulan Jalin Matra ini ketika saya
menjabat, pasa 2014 mau mendirikan BUMDES kan butuh anggaran waktu itu
PAD nya masih belum terlihat, masih dapat ADD 137 juta, nah itu dananya untuk
1 tahun nggak cukup, akhirnya tahun 2015 ada Undang-Undang Kemenag tahun
2014, ya alhamdulillah akhirnya kami dapat bantuan modal akhirnya bisa berdiri
dan jalan pada tahun 2016, nah jalimatra ini berdasarkan data terdapat 470 RTSM
dengan kategori desil 1, dan sampai 2017 sudah menuntaskan RTSM sampai ke
desil 3,ya itu tadi terdapat 9 kelompok ya alhamdulillah lancar. Cuman yang dari
Posdaya kami juga ingin, tujuannya kan disana. Karena sistem managemennya
untuk finansial kurang, sebetulnya bagus ya dan kami ingin bantu. Sebenarnya
kalau Posdaya ini masuknya di PKK, jadi bukan unit personal. Kalau PKK kan
setiap bulan ada pertemuan rutin 2 kali, terus juga bisa mengelola UP2KPKK ada
simpan pinjamnya yang dijalankan untuk ibu-ibu PKK, hampir sama kan sama
Posdaya, sebenarnya saya juga sudah menyediakan tempat untuk Posdaya di balai
desa ini, ya sebagai tempat rapat perkumpulan ibu-ibu, ya sebagai kantornya
Posdaya juga sudah pernah saya sampaikan ke Bu Rusmini”.(Wawancara dengan
Pak Budi, selaku KepalaDesa Ngroto, pada tanggal 06 Juni 2017)
215

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, kepala desa mengungkapkan pihak

desa berencana akan memberikan bantuan kepada Posdaya melalui program Jalin

Matra (Jalan Lain Menuju Mandiri dan sejahtera), dimana program tersebut

merupakan program penanggulangan feminisasi kemiskinan atau untuk RTSM

(Rumah Tangga Syarat Miskin). Sehingga melalui program tersebut diharapkan

akan dapat tercapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, karena dengan adanya

penurunan angka kemiskinan, disparitas, serta kesenjangan yang rendah menjadi

indikator pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk itu pemerintah Provinsi Jawa

Timur mempunyai komitmen untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan

yang berpusat pada rakyat (people centered) yang inklusif dan mengedepankan

partisipasi masyarakat (participatory based development), pertumbuhan ekonomi

yang berpihak pada masyarakat miskin (pro poor growth) dan pengarusutamaan

gender, melalui program Jalin Matra.

Populasi perempuan yang berada pada garis kemiskinan semangkin

meningkat, utamanya pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga

perempuan. Sedangkan di Desa Ngroto masih terdapat sekitar 498 rumah tangga

miskin perempuan yang memerlukan bantuan dari pemerintah desa agar dapat

berdaya dan mandiri. Oleh karena itu program Jalin Matra diharapkan mampu

membantu perempuan kepala rumah tangga miskin tersebut, utamanya mereka

yang sudah bergabung dalam Posdaya, dan memerlukan bantuan pinjaman modal

usaha dengan bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan bunga cicilan di

Bank. Saat ini sudah terdapat 9 kelompok yang sudah terdanai agar usahanya

berjalan melalui BUMDES dan program Jalin Matra, namun dari kelompok

Posdaya sendiri baru terdapat 1 kelompok yang mengikuti program tersebut yakni
216

kelompok Makaryo Bersama yang bergerak dalam bidang pembibitan dan telah

bekerjasama dengan pemerintah desa karena pembibitan saat ini telah diangkat

menjadi produk unggulan desa. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah desa saat ini

berencana untuk membantu seluruh anggota Posdaya dari berbagai sub-kelompok

melalui program Jalin Matra, yang pinjaman modal usahanya dihimpun melalui

BUMDES.

Selain itu pemerintah desa juga berencana untuk menyatukan Posdaya

dengan PKK, dengan harapan antara Posdaya dan Ibu-ibu PKK dapat saling

bekerjasama dan dapat saling menyalurkan keterampilan dan kemampuan antara

satu sama lain. Kelompok PKK sat ini hanya memiliki keterampilan memasak

saja, sedangkan kelompok Posdaya memiliki berbagai keterampilan diberbagai

bidang, sehingga Pemerintah Desa mengharapkan keduanya bisa saling

bekerjasama dan saling bersinergi.

Jika Posdaya dan PKK sudah saling bekerjasama, nantinya anggota

Posdaya juga dapat mengakses bantuan pinjaman modal dari UPKU atau

UP2KPKK yang merupakan koperasi simpan pinjam yang dikelola oleh anggota

PKK. Koperasi UPKU sendiri mengelola keuangan dan usaha binaan dari DPR

yang kegiatan didalamnya terdapat kegiatan pemberdayaan dan usaha untuk

meningkatkan penghasilan keluarga. Sehingga harapannya kedepan Posdaya dan

PKK dapat berjalan beriringan dan saling bekerjasama dalam kegiatan

produktifnya.
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Pemberdayaan perempuan miskin di Desa Ngroto menunjukkan suatu

model pemberdayaan yang bersifat bottom-up. Artinya masyarakat sudah mulai

mengorganisasi diri untuk dapat berdaya, tanpa menunggu program dari

pemerintah. Pemberdayaan tersebut dimulai dari adanya agen yang menginisiasi

perempuan-perempuan miskin di Desa Ngroto untuk bergabung ke dalam suatu

wadah yang kemudian disebut Pos Pemberdayaan Desa Ngroto (Posdaya Ngroto).

Namun, praktik pemberdayaan tersebut mengalami beberapa hambatan yang

terjadi secara bertahap dari awal pendirian sampai saat ini, sehingga saat ini

praktik pemberdayaan menjadi tidak berjalan secara efektif.

Pada awalnya partisipasi masyarakat masih tinggi, dibuktikan dengan

keterlibatan aktif para anggota dalam setiap kali pertemuan rutin dalam

perumusan kebijakan dan program bersama. Namun setelah mengalami

regularitas yang panjang, kegiatan Posdaya menjadi tidak efektif ketika muncul

permasalahan internal dalam lingkup posdaya yang membuat sistem kelembagaan

tidak dapat berjalan dengan baik yakni terkait pembagian bantuan yang tidak

merata kepada anggota dan pro kontra pendirian koperasi yang memunculkan

berbagai permasalahan baru dan menjadikan kegiatan pada pemberdayaan

posdaya menjadi tidak efektif. Sehingga hal tersebut membuat partisipasi anggota

dalam organisasi posdaya menjadi menurun.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa posisi ketua posdaya sebagai

expert agent menjadi sangat dominan. Melalui posisinya sebagai penggagas dan

217
218

ketua Posdaya, ia mampu mempengaruhi keputusan melalui ketua sub kelompok.

Pada praktiknya, ruang yang digunakan untuk bermusyawarah saat pendirian

koperasi tidak mencakup kehadiran seluruh anggota Posdaya melainkan hanya

ketua sub-kelompok. selain itu pembagian bantuan sifatnya tidak merata dan

hanya menyasar pada ihak-pihak tertentu.Hal tersebut menyebabkan para anggota

yang tadinya percaya apa adanya dan mengikuti setiap program dari ketua

posdaya dan ketua sub-kelompok tanpa mengalami keraguan menjadi mulai

berpikir dan mempertanyakan keputusan pendirian koperasi dengan potongan

kredit anggota. Para anggota yang tadinya memiliki kesadaran praktis berubah

menjadi kesadaran diskursif ketika mereka mulai mempertanyakan kembali alasan

di balik pemotongan kredit sebesar 20% tersebut yang digunakan untuk pendirian

koperasi posdaya. Serta pembagian bantuan yang tidak merata dan hanya

menyasar pada pihak-pihak yang dekat dengan ketua posdaya.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dominasi expert agent menyebabkan

signifikasi yang awalnya Posdaya sebagai upaya pengentasan kemiskinan di

kalangan perempuan miskin Ngroto menjadi signifikasi monitoring atau

pengawasan anggota terhadap pelaksanaan program Posdaya selanjutnya. Para

anggota mulai lebih mengawasi proses-proses pengambilan keputusan agar tidak

terjadi peristiwa seperti yang sebelumnya. Legitimasi ditunjukkan dengan sanksi

moral anggota kepada ketua posdaya karena mereka merasa tidak dilibatkan

dalam pembuatan keputusan.

Terdapat perbedaan dominasi yang dimiliki oleh ketua posdaya dan

dominasi yang dimiliki oleh ketua sub kelompok. Dominasi alokatif ketua

posdaya lebih pada bagaimana mendapatkan bantuan baik berupa bantuan dana
219

untuk modal usaha anggota maupun bantuan alat produksi seperti mesin dan

mengoperasionalkan dalam Posdaya secara keseluruhan. Begitu juga dominasi

autoritatif ketua posdaya yang lebih pada bagaiamana mengorganisir seluruh

anggota Posdaya tidak sampai pada level sub-kelompok, karena dalam

pembagian kerja sub-kelompok berada pada otoritas ketua sub-kelompok.

Sedangkan dominasi yang dimiliki oleh ketua sub-kelompok lebih pada dominasi

autoritatif secara teknis. Ketua sub-kelompok lebih mengerti konteks

pemberdayaan sampai pada level terkecil, bagaimana memutar uang untuk

kegiatan produksi, bagaimana membantu pemasaran produk anggotanya,

membagi orderan dengan sesama anggota, dan sebagainya dan mengatasi

hambatan yang terdapat dalam kelompoknya terkait hambatan permodalan,

lemahnya jaringan pemasaran, serta terbatasnya sarana dan prasarana produksi.

Mengacu pada rumusan masalah penelitian, pemberdayaan di Posdaya

Ngroto menjadi tidak berjalan secara efektif karena posisi expert agent terlalu

dominan, sehingga pengambilan keputusan menjadi tidak transparan. Posisinya

sebagai ketua sekaligus penggagas berdirinya Posdaya Ngroto memungkinkan

dirinya bisa mempengaruhi keputusan. Dengan adanya permasalahan tersebut,

signifikasi berubah dari yang awalnya “mengupayakan pengentasan kemiskinan

melalui Posdaya Ngroto” menjadi „”perlunya monitoring terhadap praktik

pemberdayaan di Posdaya Ngroto”. Karena nggota merasa tidak dilibatkan dalam

pembuatan keputusan pemotongan kredit dan harus membayar cicilannya.

Kepercayaan dan pengalokasian dana adalah masalah yang paling krusial

dalam suatu organisasi. Dari sinilah muncul hambatan internal yang cukup

mempengaruhi berjalannya proses pemberdayaan itu sendiri. Mekanisme


220

pengajuan proposal pengajuan kredit pinjaman modal usaha dalam pemberdayaan

melalui kontribusi penuh dari ketua posdaya yang mengajukan kredit tersebut

untuk anggotanya pada Bank UMKM. Meskipun pada proses pengajuannya

masing-masing ketua sub-kelompok juga ikut bertanggungjawab pada kredit yang

diajukan. Karena masing-masing sub-kelompok mengajukan proposal usaha yang

digunakan untuk persyaratan melakukan pinjaman kredit usaha. Namun pada saat

pencairan dana, tidak langsung diserahkan kepada masing-masing ketua-sub

kelompok oleh Bank UMKM, melainkan melalui ketua posdaya terlebih dahulu,

untuk kemudian dibagikan kepada masing-masing sub-kelompok. Posisinya

sebagai ketua yang membuat seluruh anggota Posdaya Ngroto sangat bergantung

dengan ketua posdaya, sehingga perputaran uang yang ada di posdayapun juga

sangat bergantung pada ketuanya.

Pada saat terjadi permasalahan terkait perputaran dana pemberdayaan

melalui pendirian koperasi posdaya, dan pembagian bantuan yang tidak merata

kepercayaan para anggota Posdaya terhadap ketua posdaya menjadi menurun. Hal

ini diperkuat dengan pendirian koperasi yang tidak melibatkan semua anggota

tetapi musyawarah dilakukan hanya dengan perwakilan dari ketua sub-kelompok.

Sehingga pada saat pendirian koperasi tersebut menuai pro-kontra dari anggota,

meskipun pada akhirnya anggota tetap menyerahkan potongan dana sebesar 20%

dari jumlah bantuan kredit yang telah dipinjamkan oleh Bank UMKM. Namun

demikian para anggota Posdaya juga tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya

campur tangan dari ketua posdaya. Permasalahan ini mendobrak kesadaran praktis

para anggota Posdaya maupun ketua sub-kelompok pemberdayaan yang selama


221

ini hanya fokus pada program pemberdayaan tanpa mempertimbangkan

bagaimana dana pemberdayaan tersebut dioperasikan.

Namun demikian, para anggota Posdaya tetap menyadari bahwa posisi ketua

posdaya sangat sentral dan dia yang mengorganisir para perempuan miskin di

Ngroto agar tergabung dalam kelompok pemberdayaan. Di samping itu

pengalaman dan pengetahuan ketua posdaya masih sangat dibutuhkan oleh para

anggotanya. Oleh karena itu meskipun muncul kecemburuan sosial dan

kekecewaaan terhadap Bu Rusmini mereka tetap bersikap baik di depan Bu

Rusmini. Namun di belakang Bu Rusmini mereka tetap mengeluarkan keluhan-

keluhan tersebut dengan cara sharing dengan sesama anggota Posdaya. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat dualitas antara struktur legitimasi dengan agen.

Anggota Posdaya sebagai lay agent menyadari bahwa terdapat norma yang

mengatur mereka agar pemberdayaan tersebut tetap berjalan. Sehingga mereka

tetap bersikap baik di depan ketua posdaya karena mereka tidak ingin konflik

internal membuat proses pemberdayaan menjadi terhenti.

6.2 Saran

Setelah melakukan penelitian terkait praktik sosial pemberdayaan pada

Posdaya, maka peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut:

1. Untuk ketua dan koordinator umum Posdaya, sebaiknya gaya

kepemimpinannya lebih egaliter atau mampu memposisikan dirinya sebagai

bagian dari masyarakat yang diberdayakan sehingga tidak ada sekat antara ketua

dan anggotanya. Selanjutnya dalam sistem management Posdaya harus terdapat

transparasi dana dan keterbukaan dengan anggota Posdaya. Hal ini agar sesuai
222

dengan rencana awal yang mana seluruh anggota Posdaya dilibatkan

partisipasinya dalam pengelolaan Posdaya mulai dari perencanaan dalam

menentukan program-progam pemberdayaan, hingga pada wewenangnya dalam

pengambilan keputusan kebijakan. Sehingga jika sistemnya transparan,

kepercayaan anggota terhadap pengurus akan kembali terbentuk, mengingat saat

ini terdapat beberapa anggota yang tidak percaya lagi kepada pengurus Posdaya.

jika ada ada permasalahan maka segera diambil jalan untuk secepatnya

diselesaikan atau mencari solusi bersama dengan anggotanya.

2. Untuk anggota Posdaya yang memiliki tanggungan hutang piutang sebaiknya

agar segera diselesaikan, agar permasalahan yang krusial terkait pendirian

koperasi posdaya yang sistemnya tidak bisa berjalan dengan baik dapat segera

teratasi. Selain itu, sebaiknya anggota juga dapat menciptakan pola komunikasi

yang baik dengan pengurus Posdaya, agar tidak terjadi kesalahpahaman dan dapat

meminimalisir permasalahan yang ada pada Posdaya sehingga dapat mencari

solusi atas permasalahan tersebut sehingga kegiatan pemberdayaan pada posdaya

dapat berjalan sebagai mana mestinya.

3. Untuk Pemerintah Desa Ngroto, agar lebih berperan aktif dan memperhatikan

anggota yang bergabung dalam Posdaya. Sebagai pihak yang memberikan

legalitas pada Posdaya seharusnya juga mampu memberikan solusi dari adanya

hambatan dan permasalahan yang terjadi pada Posdaya, lebih-lebih jika organisasi

Posdaya diberikan hak dan fasilitas yang sama seperti organisasi binaan desa

seperti UP2KPPK, Karangtaruna, dsb. Karena selama ini Posdaya telah memiliki

peran yang cukup besar membantu pemerintah desa dalam mengurangi angka

pengangguran di Desa Ngroto


223

4. Untuk para akademisi diharapkan mampu melakukan penelitian lanjutan serta

melakukan pengembangan data seperti yang telah di dapatkan pada penelitian

saat ini. Sehingga nantinya akan terdapat lebih banyak data dan mampu

menyempurnakan segala kekurangan yang belum tertulis oleh peneliti pada

penelitian saat ini.


DAFTAR PUSTAKA

Alfianti, Evi. 2014. Pemberdayaan Perempuan Melalui Program Usaha Sosial

Ekonomis Produktif Keluarga Miskin (USEP-KM) Oleh Dinas Sosial DIY

di Hargorejo Kokap Kulonprogo. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta: Skripsi tidak diterbitkan

Alma, Buchari. 2016. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta

Arifin, Haswinar. 2003.Perempuan, Kemiskinan dan Pengambilan Keputusan

Jurnal Analisis Sosial; Vol 8 No.2 Oktober 2003. Bandung: Akatiga

Arnstein, S. 1969. A Ladder of Citizen Participation. AIP Journal, 35, 216-244.

Bappeda. (Juni 2012). Paparan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

(SKPD) Provinsi Jawa Timur Tahun 2011-2014: Surabaya

Bhattacharyya, J. 2004. Theorizing Community Development. Journal of the

Community Development Society, 34(2).

BPS. 2016. Profil Kemiskinan Jawa Timur. BPS: Jawa Timur

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada

Chawa, A. F., Kusumastuti, A., & Purbo, D. 2015. Scaling Up Modal Sosial:

Pengembangan Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan.

Malang: Universitas Brawijaya

Chawa, A. F., Nugroho, A. B., Kusumastuti, A. 2016. Dualitas Agensi dan Modal

Sosial dalam Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Kepala Rumah Tangga

Miskin Di Sektor Agribisnis. Malang: Universitas Brawijaya

224
225

Cholisin. 2011. Pemberdayaan Masyarakat. disampaikan pada Galdi Manajemen

Pemerintahan Desa Bagi Kepala Bagian/Kepala Urusan Hasil Pengisian

Tahun 2011 Di Lingkungan Kabupaten Sleman: Jurnal Universitas Negeri

Yogyakarta

Choguill. 1999. A Ladder of Community Particiaption for Underdeveloped

Countries. Habitat International, 20(3), 431-444.

Convelo G. Cevilla, dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta :

Universitas Indonesia

Creswell, Jhon W. 2009. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

Mixed. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Creswell, Jhon W. 2014. Penelitian Kualitatif dan desain Riset (Memilih Diantara

Lima Pendekatan). Yogyakarta: Pustaka Belajar

Friedman, John. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development.

Massachusetts: Blackwell Publishers

Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi: Dasar-Dasar Pembentukan Struktur

Sosial Masyarakat, terjemahan Maufur & Daryanto.Yogyakarta: Pustaka

Belajar

Haryono, D. (2015). Strategi Pemberdayaan Komunitas Perempuan Miskin

Berbasis Agribisnis Dalam Upaya Mempercepat Penanggulangan

Kemiskinan Di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. Universitas

Brawijaya Malang: Tesis tidak diterbitkan.


226

Iqbal, M., Basuno, E., & Budhi, S. (2007). The Essence and Urgency of

Participatory Action Research in Rural Community-Based Agricultural

Resource Empowerment. Forum Penelitian Agro Ekonomi Pusat Analisis

Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian, 73–89.

Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. 2007. Gender Analysis Pathway

(GAP): Alat Analisis Gender Untuk Perencanaan Pembangunan. Jakarta:

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Kenny, S. 2006. Developing Communities . Melbourne: Thomson.

Mirza, D. S. (2012). Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi,dan Belanja

Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Tengah Tahun 2006-

2009. Economics Development Analysis Journal, 1(1).

http://doi.org/10.15294/EDAJ.V1I2.474

Munawaroh, Rodhotul. 2016. Praktik Sosial Pemberdayaan Masyarakat Miskin

Idiot Melalui Model Kerajinan di Desa Karangpatihan, Kecamatan

Balong Kabupaten Ponorogo. Universitas Negeri Surabaya: Skripsi Tidak

Diterbitkan

Moleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja

Rosdakarya Offset

Mardalis. 1999. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi

Aksara
227

Onyx, J., & Benton, P. 1995. Empowerment and Ageing: Toward Honoured

Places for Crones and Sages. In C. G, & M. M (Reds.), Community

Empowerment: A Reader in Participation and Development. Zed Books.

Priyono B, Herry. 2002. Anthony Giddens Suatu Pengantar.Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia

Profil Posdaya Desa Ngroto. 2013. Profil Posdaya dan Pemberdayaan di Desa

Ngroto Pujon Kabupaten Malang. Malang: Pengurus Posdaya Desa

Ngroto

Rhonda Philips, Robert H. Pittman. 2009. An Introduction To Community

Development. London and New York: Routledge

Robi’ah Syifak, Amelia. 2012. Praktik Sosisal YES (Young Entrepreneur Society)

Dan PMW (Program Mahasiswa Wirausaha) Sebagai Agen

Kewirausahaan UB. Universitas Brawijaya Malang: Skripsi tidak

diterbitkan

Rosdiana, Weni. 2015. Analisis Pemberdayaan Perempuan Desa. Surabaya :

JKMP

Sherbini, E. 1986. Alleviating Rural Poverty in Sub-Saharan Africa. Food Policy,

11(1), 7-11.

Sajogyo, Pujdjiwati. 1983. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Masyarakat

Desa. Jakarta :Rajawali Pers

Situs World Wide Web at https//m.tempo.co, pada tanggal 12 Desember 2016,

pada pukul 20.39 WIB


228

Soenyono. (2012). Sosiologi Pemberdayaan Masyarakat. Surabaya: Jenggala

Pustaka Utama

Sudjana S.,H. 2004. Pendidikan Nonformal: Wawasan, Sejarah Perkembangan,

Filsafat dan Teori Pendukung serta Asas. Bandung: Falah Production

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta

Sunartiningsih. 2004. Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Institusi Lokal.

Yogyakarta: Aditya Media

Sutoro, Eko. 2002. Pemberdayaan Masyarakat Desa. Materi Diklat

Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang diselenggarakan Badan Diklat

Provinsi Kaltim, Samarinda, Desember 2002

Swanepoel, H., & De Beer, F. 2006. Community Development: Breaking the

Cycle of Poverty. South Africa: Juta

Suryawati, Chriswardani. 2004. “Memahami Kemiskinan Secara

Multidimensional”, Jurnal Manajemen Pembangunan dan Kebijakan.

Volume 08, No.03, Edisi September (121-129)

Wicaksono, Bryan. 2015. Peran Yayasan Kreativitas Unit Usaha Muslimah

(KUNTUM) Indonesia Dalam Mengurangi Pengangguran Melalui Praktik

Kewirausahaan Sosial Di Desa Tegalwaru Cimpea Bogor. Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: Skripsi tidak diterbitkan

Widjajanti, Kessi. 2011. Model Pemberdayaan

Masyarakat. Fakultas Ekonomi Universitas


229

Semarang. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume

12, Nomor 1, Juni 2011, hlm.15-2

Wijaksono, Sigit. 2013. Pengaruh Lama Tinggal Terhadap Tingkat Partisipasi

Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Pemukiman. Jurnal Corntech

Vol.4 No.1 Juni 2013, Hal 27

Yin, Robert K. 2009. Studi Kasus Desain & Metode. Jakarta: Grafindo Persada

Zainal Hafid, Aan. 2010. Keberfungsian Sosial Pada Perempuan Rentan” dalam

Secercah Cahaya Menuju Kesejahteraan Perempuan. Kementerian Sosial

RI Direktorat Jendral Pemberdayaan Sosial Direktorat pemberdayaan

Keluarga

Anda mungkin juga menyukai