Anda di halaman 1dari 3

Agresi Militer Belanda 2

Agresi Militer Belanda 2 dimulai ketika pihak Belanda yang tetap bersikukuh menguasai
Indonesia mencari dalih untuk dapat melanggar perjanjian yang telah disepakati. Bahkan pihak
Belanda menuduh jika pihak Indonesia tidak menjalankan isi perundinganRenville. Oleh karena
itu pihak TNI dan pemerintah Indonesia sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda
akan melakukan aksi militernva untuk menghancurkan republik dengan kekuatan senjata. Untuk
menghadapi kekuatan Belanda itu, didirikan Markas Besar Komando Djawa (NIBKD) vang
dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution dan Markas Resar Ko.mando Sumatra (MBKS)
yang dipimpin oleh Kolonel Hidayat.
Persiapan untuk menyelenggarakan pemerintahan rniliter juga dilakukan. Dalam pemerintahan
militer, kecamatan merupakan basis utama pertahanan dengan kekuatan utama tenaga rakyat
yang ada di desa-desa. Pasukan TNI dan pejabat-pejabat pemerintah mempunyai tugas-tugas
sebagai koordinator perlawanan di desa-desa. Tempat untuk mengungsikan kepala negara dan
tokoh-tokoh pemerintah telah disiapkan. Pada hakikatnya Republik Indonesia telah siap
menghadapi Agresi Militer Belanda 2. Seperti yang telah diduga Belanda benar-benar melakukan
serangannya.

Serangan Agresi Militer Belanda 2

Serangan dibuka tanggal 19 Desember 1948. Dengan taktik perang kilat (blitkrieg), Belanda
melancarkan serangan di semua front di daerah Republik Indonesia. Serangan diawali dengan
penerjunan pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo (sekarang Adi Sucipto) dan dengan
gerak cepat berhasil menduduki kota Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.
Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota, walaupun mereka tahu bahwa dengan
demikian mereka akan ditawan oleh musuh. Alasannya, agar mereka dapat melakukan kegiatan
diplomasi dengan pihak Belanda.
Di samping itu, Belanda tidak mungkin menjalankan serangan secara terus-menerus karena
presiden Panglima Tertinggi Angkatan Perang Indonesia dan wakil presiden menteri pertahanan
sudah berada di tangan mereka. Sementara itu, beberapa bulan sebelum Belanda melakukan
serangan terhadap kota Yogyakarta, Jenderal Sudirman (Panglima Besar Angkatan Perang)
menderita sakit paru-paru yang sangat parah sehingga harus dirawat di rumah sakit dan
kemudian dirawat di rumah. Ia berpesan jika Belanda menyerang kembali, maka ia akan
memegang kembali pimpinan Angkatan Perang dan memimpin prajurit-prajuritnya melakukan
perlawanan gerilya.
Peranan Jenderal Sudirman dalam Agresi Militer Belanda 2
Janji itu ditepati, pada saat Belanda menyerang Yogyakarta ia bangkit dari tempat tidurnya dan
mengajak presiden untuk memimpin gerilya, tetapi ajakan tersebut ditolak. Dengan diiringi
ajudan dan pasukan pengawalnya, Jenderal Sudirman naik gunung-turun gunung, serta keluar-
masuk hutan menembus teriknya matahari dan derasnya hujan untuk memimpin perlawanan
rakyat semesta. Bahkan beliau dan para pengawalnya sempat menetap selama 99 hari sejak
tanggal 31 Maret 1949 hingga 7 Juli 1949 di desa Pakis, Sobo, Kecamatan Nawangan, Pacitan,
Jawa Timur.
Dari rumah markas gerilya itulah Panglima Besar Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya,
termasuk memberi perintah serangan umum. Pada masa yang paling gelap bagi Republik
Indonesia, Jenderal Sudirman memberikan pegangan dan kekuatan batin kepada rakyat dan
prajurit yang berjuang untuk kelangsungan hidup negaranya. Sementara itu MBKD dan MBKS
kembali diaktifkan di bawah komando panglimanya masing-masing. Pemerintah militer tetap
melakukan kegiatarmya. Dengan demilcian, Republik Indonesia masih berdiri tegak.
Belanda mengira dengan jatuhnya kota Yogyakarta, kekuatan TNI akan hancur berantakan.
Dengan demikian, berarti kampanye militer mereka telah selesai, tinggal melaksanakan operasi
pembersihan yang memerlukan waktu satu dua bulan. Ternyata dugaan Belanda itu keliru sama
sekali. Pada pukulan pertama ternyata pasukan TNI tidak hancur. Pasukan Belanda dibiarkan
bergerak maju untuk menguasai daerah perkotaan. Sedangkan pasukan mundur ke daerah
pedalaman untuk merencanakan pelaksanaan Wingate Operation dan menyusun daerah
perlawanan (wehrkreis).
Titik Balik  Agresi Militer Belanda 2
Dalam waktu satu bulan, pasukan TNI telah berhasil melakukan konsolidasi dan mulai
memberikan pukulan secara teratur kepada musuh. Seluruh Jawa dan Sumatra menjadi satu
daerah gerilya yang menyeluruh. Tekanan terhadap pasukan Belanda ditingkatkan.
Penghadangan terhadap konvoi perbekalan tentara Belanda berhasil dilakukan. Serangan umum
yang dilaksanakan terhadap kota-kota yang diduduki Belanda mulai dilaksanakan oleh pasukan
TNI. Serangan yang paling terkenal adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota
Yogyakarta di bawah pimpinan Komandan Brigade X Letnan Kolonel Soeharto.
Pasukan I N I berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Sementara itu, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX menolak kerja sama dari Belanda. Sultan mendukung segala tindakan
para pemimpin gerilya. Di samping itu, perjuangan dalam rangka menegakkan kedaulatan
Republik Indonesia juga dilakukan di luar negeri. Dengan modal sumbangan pesawat rakyat
Aceh, W. Supomo membentuk armada udara komersial vang berpangkalan di Myanmar
(Burma). Hasil penerbangan komersial itu dijadikan modal untuk membiayai pemakilan
Republik Indonesia di luar negeri. Selain itu, dibuka komunikasi radio antara Wonosari,
Bukittinggi, Rangoon (sekarang Yangoon), dan New Delhi.

Agresi Militer Belanda 2 ternyata menarik perhatian PBB, karena Belanda secara terang-
terangan tidak mengakui lagi Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan
oleh PBB. Pada tanggal 24 Januari 1949 Dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar
Republik Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan. Kegagalan Belanda di
medan tempur dan tekanan Amerika Serikat yang mengancam akan memutuskan bantuan
ekonomi dan keuangan memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.

Anda mungkin juga menyukai