Anda di halaman 1dari 5

Sumber : Mahfud. 2014. PEMIKIRAN IBN TAIMIYAH TENTANG TASAWUF.

Surabaya : INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

Yusuf, Achmad. 2018. MODERASI ISLAM DALAM DIMENSI TRILOGI ISLAM(AKIDAH,


SYARIAH, DAN TASAWUF). Pasuruan : Universitas Yudharta Pasuruan

https://almanhaj.or.id/3681-ajaran-tasawuf-merusak-aqidah-islam.html

Manhaj dan Paradigma Tasawuf

Pengertian Tasawuf

Asal-Usul Kata Sufi Menurut Ibn Taimiyah, Para pemikir, baik klasik maupun kontemporer, berbeda
pendapat seputar asal-muasal kata Sufi atau tasawuf. Perbedaan itu berkutat tentang pertanyaan:
Apakah kata “Sufi ” itu asli bahasa Arab ataukah kata asing yang telah diserap ke dalam bahasa Arab.

Sebagian pemikir Islam seperti al-Raihan, al-Biruni dan sebagian Orientalis dan kaum pembaharu
semisal Van Hammer, ia berpendapat bahwa kata Sufi berasal dari kata Yunani, berarti hikmah. Akan
tetapi, pendapat ini kurang tepat, karena huruf “s” dalam bahasa Yunani bila ditransfer ke dalam
bahasa Arab akan selalu digantikan dengan huruf “siin” bukan “shad”. Jika kata Sufi dianggap sebagai
kata serapan darai sophie, maka bahasa Arabnya menjadi Sufi (dengan huruf “siin” bukan “shad”).
Pendapat ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa kata Sufi itu sudah ada dalam bahasa Arab sebelum
kata sophie dari Yunani.

Sebagian lagi berpendapat bahwa kata Sufi diambil dari akar kata Safa (jernih, bersih). Kaum Sufi
disebut Sufi karena kejernihan batinya serta bersih dalam perbuatannya. Namun pendapat ini, jika
ditinjau dari sudut pandang maknanya bisa jadi benar, namun kurang benar jika ditinjau dari sudut
pandang tata bahasa.

Sedangkan menurut Ibn Taimiyah, kata ini tidak bisa dinisbatkan pada kata Safa’, karena
menisbatkan kata Safa’ adalah Safawi, dan bukan Sufi. Ibn Taimiyah juga tidak menyepakati
pandangan yang mengatakan bahwa Sufi adalah nisbat dari kata ahl al-Suffah (penghuni Suffah) yang
hidup pada zaman Nabi Muhammad Saw. Suffah adalah sebuah tempat tinggal di kota Madinah.
Letaknya di bagian utara masjid Nabawi. Tempat ini di huni oleh orang-orang miskin yang tidak
memiliki kerabat.

Ibn Taimiyah justru memilih mendukung pendapat yang mengatakan, Sufi dinisbatkan pada
sekelompok orang yang mengenakan pakaian Suf (wol). Dengan alasan kaum Sufi disebut Sufi karena
pada umumnya orang yang mengenakan pakaian dari wol adalah orang yang zuhud. Ibn Taimiyah
juga mengatakan: Nama Sufi diberikan kepada mereka yang mengenakan pakaian dari Suf (wol). Dan
ini adalah pendapat yang benar. Namun Ibn Taimiyah tidak setuju jika motif pakaian dijadikan tolak
ukur sebagai bukti kesalehan pemakainya. Ia mengatakan wali-wali Allah Swt tidak membedakan diri
dari orang lain dalam penampilan lahiriahnya selama hukumnya sama-sama mubah.

Sehingga Definisi Tasawuf Menurut Ibn Taimiyah Dalam banyak karanganya sering menggunakan
kata tasawuf mashru’ (tasawuf yang sesuai dengan shari’at) dan zuhud mashru’ (zuhud yang sesuai
dengan ajaran shari’at). Ia menyebutkan bahwa tasawuf mashru’ adalah tasawuf yang dilakukan
oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ibn Taimiyah juga menyebutkan definisi tasawuf yang
disampaikan oleh para Sufi. Menurut mereka tasawuf adalah “menyembunyikan makna-makna dan
meninggalkan klaim-klaim pengakuan”. Para Sufi telah membahas batasan-batasan, garis perjalanan
dan akhlak dalam tasawuf. Sebagian Sufi mengatakan: “Sufi adalah orang yang bersih dari kotoran
dan dirinya dipenuhi oleh pemikiran. Baginya, emas dan batu adalah sama”

Ibn Taimiyah memang tidak menyebutkan definisi kata “tasawuf” secara eksplisit dalam kitab-
kitabnya. Namun demikian, Dr. Mustafa Hilmi mengatakan bahwa Ibn Taimiyah telah menulis
sebuah kalimat yang mendekati definisi benar yang bisa dijadikan rujukan. Kalimat tersebut
berbunyi: “Barang siapa membangun niat, ibadah, dan pendengaran yang berkaitan dengan dasar
dan cabang amal yang yang berupa gerakan hati dan amal badan di atas nilai nilai keimanan, al-
Sunnah, dan petunjuk yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan sahabatnya, maka ia telah
menempuh jalan para Nabi.”

Ibn Taimiyah tidak menyebutkan definisi tasawuf secara eksplisit, karena dia tidak membeda-
bedakan makna yang dikandung dalam kata, fakir, zuhud, dan tasawuf. Karena, yang penting baginya
adalah amal dan tindakan nyata, bukan kata atau simbol. Dalam hal ini Ibn Taimiyah mengatakan :
“Wali Allah adalah orang yang beriman dan bertakwa,” terlepas apakah mereka itu fakir, zuhud, Sufi,
faqih, alim, pedagang, tukang, pejabat, penguasa atau yang lainya. Untuk menguatkan argumenya
tersebut Ibn Taimiyah menyandarkan kepada firman Allah Swt:
۟ ُ‫وا َو َكان‬
َ‫وا يَتَّقُون‬ ۟ ُ‫ ٱلَّ ِذينَ َءامن‬, َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ زَ نُون‬
ٌ ْ‫أَٓاَل إِ َّن أَوْ لِيَٓا َء ٱهَّلل ِ اَل َخو‬
َ
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak(pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. ”
(Yunus: 62-63).

Sejarah Singkat Tasawuf

Para peneliti berbeda pendapat mengenai waktu lahirnya ajaran tasawuf. Sebagian mereka melihat
bahwa Sufi telah dikenal sejak zaman jahiliyah. Sementara itu sebagian lain melihat kata Sufi baru
dikenal pada abad ke II H.

Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kata Sufi muncul pada awal abad ke II H, dan baru dikenal setelah
abad III H. Ia mengatakan, “tasawuf muncul pertama kali di Bashrah”. Dan orang-orang yang
pertama kali membangun kelompok Sufi adalah Abdul Wahid bin Zaid yang merupakan sahabat
dekat Hasan al-Bashri. Praktek zuhud, ibadah, khauf (rasa takut), dan lainya dilakukan secara
berlebihan di kota ini, dan belum pernah dilakukan pada zaman yang lain. Maka dari itu, ada
ungkapan, fiqihnya ala Kufah, dan ibadahnya ala Bashrah.

Hal ini dapat dilihat, misalnya dalam kisah Zurrah bin Aufa, seorang Qadhi di Bashrah. Suatu ketika,
tatkala melakukan shalat fajar Karena takutnya ancaman ini, ia pun pingsan dan mati. ketika ia
membaca firman Allah Swt:

ِ‫فَ ِإ َذ ا نُ ِق ر يِف النَّ اقُ ور‬


َ
Artinya: “Apabila ditiup sangkala”.2 (Al-Mudatsir: 8).

Abu Jubair al-A’ma mati di saat Shalih al-Marri membaca al-Quran untuknya. Diriwayatkan juga
banyak orang yang mati setelah mendengar Abu Jubair membaca ayat al-Qur’an. Dikalangan Sufi ada
kelompok yang pingsan setelah mendengar bacaan al-Quran; suatu keadaan yang tidak dialami di
zaman sahabat.
Beberapa imam dan shaikh membicarakan hal ini, seperti Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H),
Abu Sulaiman al-Darani (wafat 215 H), Sufyan alTsauri (wafat 161 H). Sebagian diantara mereka serta
meriwayatkan hal ini dari Hasan al-Bashri (wafat 110 H).

Sementara itu Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kata Sufi baru muncul pada awal abad II H, dan baru
dikenal dikalangan masyarkat setelah abad III H.

Jenis-Jenis tasawuf

1. “Tasawuf Falsafi” (Tasawuf Tauhid/Ontologi Tasawuf/Ilmu Tasawuf)


Ini jenis tasawuf yang sifatnya teoritis. Mirip dengan filsafat tauhid (kalam/teologi),
aktifitasnya mengkaji dan memahami hakikat dari eksistensi dengan cara yang unik. Jika
filsafat teologi berusaha memahami Tuhan secara rasional, tasawuf falsafi mencoba
menemukan bahasa akal untuk menjelaskan berbagai pengalaman mistis.
2. “Tasawuf Akhlaki” (Tasawuf Syar’i/Fikih Tasawuf/Adab Berguru/Etika)
Tasawuf ini berfokus pada birokrasi atau aturan-aturan formal untuk membentuk sikap dan
perilaku murid. Targetnya adalah perbaikan langsung moral dan etika. Tasawuf ini
menekankan pada adab lahiriah dan batiniah (ada yang menyebutnya dengan “hadap”)
dalam berguru. Sehingga terkenal aturan: “dahulukan adab daripada ilmu”.
3. “Tasawuf Irfani” (Tarekatullah/Makrifatullah)
Inilah puncak atau jenis tasawuf yang dapat mengubah, mengembalikan manusia kepada jati
diri yang fitrah. Antara hamba dengan Allah ada “jarak” yang memisahkan (hijab). Tasawuf
ini merupakan perjalanan manusia untuk kembali kepada Allah, ke asalnya yang suci. Ini
yang disebut “mati sebelum mati” (hadis)

Paradigma Tasawuf

Beberapa nilai-nilai tasawuf yang kontra dengan aqidah Islam:

1. Aqidah Islam telah menetapkan Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk-makhluk-Nya


dari ‘adam (tidak ada sebelumnya), tidak dari Dzat-Nya dan bahwa semesta alam ini
bukan khaliq (pencipta). Sementara dalam kamus Sufi, diyakini bahwa segala yang ada di
alam ini merupakan perwujudan Dzat Allâh Azza wa Jalla dengan aqidahnya yang dikenal
dengan wihdatul wujud, kesatuan wujud.
2. Aqidah Islam berdasarkan nash-nash al-Qur`ân dan Hadits telah menentukan abahwa
Allâh Azza wa Jalla berada di atas langit, bersemayam di atas Arsy sesuai dengan
keagungan dan kebesaran-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ِ ْ‫الرَّ حْ ٰ َمنُ َعلَى ْال َعر‬
‫ش اسْ َت َو ٰى‬
(Yaitu) Rabb yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy [Thâhâ/20:5]
Sementara dalam ilmu Tasawuf diajarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla berada dimana-
mana.
3. Aqidah Islam menyatakan bahwa kenabian mutlak merupakan keutamaan yang Allâh
Azza wa Jalla anugerahkan kepada insan yang Allâh kehendaki. Kenabian dan kerasulan
tidak datang melalui keinginan nabi dan rasul yang bersangkutan atau atas permintaan
mereka kepada Allah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
‫اس ۚ إِنَّ هَّللا َ َسمِي ٌع بَصِ ي ٌر‬
ِ ‫هَّللا ُ َيصْ َطفِي م َِن ْال َماَل ِئ َك ِة ُر ُساًل َوم َِن ال َّن‬
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allâh
Maha Mendengar lagi Maha Melihat [al-Hajj/22:75]
Dalam hal ini, tokoh Sufi memandang kenabian dapat diraih melalui ketekunan
melakukan riyadhah, sampai seorang tokoh Sufi, Ibnu Sab’in[3] mengatakan, “Ibnu
Aminah (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah membatasi sesuatu yang
lingkupnya luas ketika mengatakan, “Tidak ada nabi sepeninggalku”.
4. Aqidah Islam menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi
serta rasul yang lain juga manusia-manusia seperti orang-orang yang lain dan masih
berkewajiban menjalankan syariat. Akan tetapi, Allâh Azza wa Jalla memilih mereka dan
mengutamakan mereka di atas kebanyakan orang sebagai utusan-utusan-Nya. Adapun
golongan Sufi berpandangan bahwa Nabi Muhammad sumber terciptanya makhluk-
makhluk yang lain (keyakinan ini dikenal dengan aqidah Nur Muhammadi). Mereka pun
membawakan hadits-hadits palsu yang menyatakan jika tidak ada Muhammad maka
alam semesta ini tidak akan pernah ada . Mereka pun memandang manusia bila sudah
mencapai derajat tertentu tidak terkena kewajiban menjalankan syariat Islam.
5. Sumber hukum aqidah Islam hanya dua: al-Qur`ân dan Hadits shahih, tidak ada sumber
ketiga atau keempat dan seterusny. Sementara itu, kaum Sufi memiliki sumber aqidah
yang lain yang dikenal dengan istilah al-kasyf dan al-faidh. Mereka secara nyata
meyakininya sebagai landasan keyakinan.
6. Aqidah Islam menjunjung tinggi tauhîdullâh dan datang untuk memberantas syirik
dengan seluruh jenisnya dan praktek penyembahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla .
Sedangkan pada ajaran Tasawuf, praktek syirik sangat kentara dalam bentuk meminta
kepada penghuni kubur, istighotsah kepada orang-orang yang telah mati, pengagungan
kuburan dan lain-lain.
7. Aqidah Islam telah menetapkah hanya Allâh saja yang mengetahui alam gaib. Allâh Azza
wa Jalla berfirman:
ُ ‫ْب إِاَّل هَّللا‬ ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
َ ‫ض ْالغَ ي‬ ِ ‫قُ ْل اَل َيعْ لَ ُم َمنْ فِي ال َّس َم َاوا‬
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang
ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan [an-
Naml/27:65] Dalam hal ini, kaum Sufi menyatakan bahwa syaikh-syaikh tarekat memiliki
kemampuan meneropong dan mengetahui alam gaib melalui jalan kasyf, dan menurut
mereka lagi, mereka meemperoleh ilmu itu dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .

Moderasi Islam Dimensi Tasawuf

Inti tasawwuf adalah takhalliy dan tahalliy, yaknimembersihkan diri dari seluruh sifat terceladan
berhias diri dengan sifat-sifat terpuji.31Pada aspek akhlak-tasawwuf, moderasi Islam dapat
digambarkan dengan sikap tengah:

1. Antara Syari`at dan Hakikat


Di dalammelihat suatu persoalan, tasawwuf tidak hanya menggunakan kacamata
syari`at atau kacamata hakikat saja, akan tetapi menggunakan keduanya. Karena syariat
tanpa hakikat adalah kepalsuan, dan hakikat tanpa syari`at merupakan omong kosong
dan cenderung permissif terhadap kejahatan dan kezhaliman. Pepatah mengatakan:

‫َحقِي َق ٌة ِباَل َش ِري َع ٍة بَاطِ لَ ٌة َو َش ِري َع ٌة ِباَل َحقِي َق ٍة عَاطِ لَ ٌة‬


“Syari‟at tanpahakikat itu bohong, dan hakikat tanpa syari‟at adalah kosong.”
2. Antara Khauf dan Raja`
Tasawwuf mengajarkan perlunya keseimbangan antara khauf(rasa takut) dan
raja`(harapan),33karena khaufyang berlebihan bisa membuat orang gampang putus asa,
sedang raja`yang keterlaluan potensial untuk 30Yusuf Al-Qardlawi, al-Khashais al-Aammah
Li al-Islaam, h. 236.31Akhlak tentu berbeda dengan sopan santun. Yang membedakan
antara akhlak dengan sopan santun yaitu terletak pada perbuatan yang dilakukan
seseorang. Perbuatan seseorang dikatakan akhlak bilamana timbul secara spontanitas
atau merupakan perbuatan yang sudahmenjadi karakter, sedangkan sopan santun
merupakan perbuatan seseorang yang dilakukan dengan penuh rekayasa membuat
orang berani berbuat dosa. Dalam pepatah Arab “Raja‟ dan khauf diumpamakan
dua sayap burung, jika kedua sayap itu mengepak seirama niscaya burung akan terbang,
namun jika tidak demikian maka bisa saja burung itu terbang tapi tidak sempurna atau
justru burung tersebut tidak dapat terbang sama sekali.”
3. Antara Jasmaniyah dan Ruhaniyah
Tasawwuf dimaksudkan untuk menyucikan hati dan meningkatkan kualitas ruhaniyah,
namun harus tetap memperhatikan aspek-aspek jasmaniyah, seperti kekuatan fisik,
kebersihan, dan kesehatan.
4. Antara Zhahirdan Bathin
Tasawwufmemperhatikan aspek zhahirdan bathinsekaligus. Shalat –misalnya-memiliki dua
dimensi; format zhahir dan hakikat bathin. Format zhahirdari shalat adalah takbir,
membaca fatihah, ruku`, sujud, dan lain-lain. Hakikat bathinnya adalah khusyu`, khudhu`,
dan tadharru`di hadapan Allah swt. Kedua dimensi tersebut harus sama-sama ditegakkan
(diperhatikan).

Anda mungkin juga menyukai