Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

VERTIGO PERIFER

Disusun oleh:
dr. Annisa Bhakti Prativi

Pendamping:
dr. Tatit Eka Atmaja

PROGRAM DOKTER INTERSHIP


RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SOEMARSO WONOGIRI
2021
BERITA ACARA
PRESENTASI LAPORAN KASUS

Pada hari Sabtu, 24 Juli 2021 telah dipresentasikan laporan kasus oleh:
Nama peserta : dr. Annisa Bhakti Prativi
Topik : Vertigo perifer
Pendamping : dr. Tatit Eka Atmaja
Wahana : RSUD Soediran Mangun Soemarso Wonogiri

No Audiens Tanda tangan

1.

2.

3.

4.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Dokter Pendamping

(dr. Tatit Eka Atmaja)


LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. F
Usia : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bulusulur, Wonogiri
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan
Status : Kawin
Masuk RS : 15 Juni 2021

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama: pusing berputar
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Soediran pada tanggal 15 Juni 2021 karena
pusing berputar sejak 8 jam sebelum masuk RS. Pusing timbul mendadak, dirasakan
hilang timbul, pasien nyaman saat menutup mata karena saat membuka mata terasa
berputar dan memberat ketika pindah posisi kepala ke arah kiri atau membuka mata.
Keluhan disertai mual, muntah 2x, nyeri ulu hati. Keringat dingin dan lemas juga
dirasakan. Pasien menyangkal adanya pandangan kabur,kilaan cahaya, penglihatan
ganda, kelemahan anggota gerak, telinga berdenging, penurunan pendengaran,
demam, kejang, perubahan perilaku, ataupun sakit kepala. Pasien juga menyangkal
adanya rasa baal, kesemutan, tidak ada penurunan berat badan, batuk, pilek, sakit
tenggorokan, sesak nafas. Buang air kecil dan buang air besar tidak terdapat keluhan.
Riwayat penyakit dahulu:
- Pasien pernah mengalami keluhan serupa, namun pasien tidak jelas mengingat
seberapa sering, seingat pasien, sekitar dua bulan yang lalu tapi keluhan tidak
separah sekarang, membaik dengan obat warung.
- Pasien tidak memiliki penyakit sistemik.
- Pasien tidak memiliki alergi obat dan makanan.
- Riwayat trauma tidak ada.
- Riwayat opname sebelumnya tidak ada.
- Riwayat operasi sebelumnya tidak ada.
Riwayat penyakit keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan atau penyakit seperti yang
dialami oleh pasien
- Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus tidak ada.
- Riwayat penyakit sistemik lain tidak ada
Riwayat Alergi dalam Keluarga :
- Tidak mempunyai alergi terhadap makanan, udara atau obat-obatan tertentu.

C. PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM
Keadaan Umum : cukup
Kesadaran : compos mentis

TANDA-TANDA VITAL
Tekanan darah: 129/73 mmHg
Nadi : 78 kali per menit, reguler, simetris, isi dan tegangan cukup
Respirasi : 20 kali per menit, vesikuler, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 36,8
BB: 62 kg; PB : 156 cm;

 Kepala
Normocephal
- Mata
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, rangsang cahaya positif.
- Hidung
Tidak didapatkan napas cuping hidung dan sekret
 Leher
Kelenjar getah bening tidak membesar
 Thorax : tidak didapatkan retraksi, dinding dada simetris
- Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung sulit dievaluasi
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, tidak terdengar
bising
- Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan dan kiri simetris
Palpasi : Fremitus dada kanan dan kiri sulit dievaluasi
Perkusi : terdengar suara sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : terdengar suara dasar vesikuler, suara tambahan tidak
terdengar
 Abdomen
Inspeksi : Dinding perut datar
Auskultas : Bising usus (+), peristaltic normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrik (+) undulasi (-), teraba masa (-)
 Ekstremitas :
Tidak ditemukan edema dan akral hangat, arteri Dorsalis Pedis teraba kuat, waktu
pengisian kapiler kurang dari dua detik
 Genital :
Tidak tampak adanya kelainan.
 Status Neurologis
Sikap tubuh                 : normal
Gerakan abnormal       : tidak ada
Kepala                         : pusing berputar
Nervus cranialis
Kana
Kiri
n

N.I Daya penghidu N N

N . II Daya penglihatan N N

Penglihatan warna N N

  Lapang pandang N N

N . III Ptosis N N

  Gerakan mata ke medial N N

  Gerakan mata ke atas N N

  Gerakan mata ke bawah N N

3
  Ukuran pupil 3 mm
mm

  Refleks cahaya langsung N N

Refleks cahaya
  N N
konsensuil

Strabismus divergen – –

N. IV Gerakan mata ke lateral N N


bawah

Strabismus konvergen N N

Menggigit N N

Membuka mulut N N

N. V Sensibilitas muka N N

Refleks kornea N N

N. VI Trismus – –

Gerakan mata ke lateral N N

Strabismus konvergen N N

N VII Kedipan mata N N

Lipatan nasolabial N N

Sudut mulut N N

Mengerutkan dahi N N

Menutup mata N N

Meringis N N

Menggembungkan pipi N N

Mendengar suara
N. VIII N N
berbisik

Mendengar detik arloji N N

N. IX Arkus faring N

Daya kecap lidah 1/3


N
belakang

N.X Bersuara N

Menelan N

N. XI Memalingkan kepala N

Sikap bahu N

Mengangkat bahu N
Trofi otot bahu N

N. XII Sikap lidah N

Menjulurkan lidah N
Leher   : kaku Leher (-), kaku kuduk (-)
Ekstremitas : dalam batas normal
KO =     5555       5555
5555        5555
RF =         +    +                             RP =     –        –
+     +                                         –        –

Sensibilitas      : masih dalam batas normal


Pemeriksaan tambahan
Nistagmus = +/+
Romberg test =+
Stepping test =+

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI
DARAH RUTIN
Haemoglobin : 13,1 gr/dl (14,0 – 18,0 )
Hematokrit : 38,8% (40-54)
Leukosit : 10.800/mm3 (4000 – 11000)
Trombosit : 332.000/mm3 (150.000-400.000)
Eritrosit : 4,53 juta/jam (4,5 - 5,8)
KIMIA KLINIK
GDS : 105 mg/dl (75 - 140)
Ureum : 20 mg/dl (10-50)
Creatinin : 0,80 mg/dl (0,5-0,9)
SGOT : 15 u/I (<37)
SGPT : 17 u/I (<42)
E. DIAGNOSIS KERJA
Vertigo perifer

F. DIAGNOSIS BANDING
- Vertigo sentral
- Labirinitis
- Meniere disease
- Vestibular neuritis

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DISARANKAN


- Head CT-Scan/Head MRI
- Audiometri

H. PENATALAKSANAAN
- Inf RL 20 tpm
- Inj Difenhramine 1 amp /12jam
- Inj Ondancetron 1 amp/8jam
- Inj Ranitidin /12jam
- Tab Flunarizine 2x5mg

I. PROGNOSIS
Ad bonam
ANALISIS KASUS

Pasien pada kasus ini ditegakkan diagnosis vertigo perifer, berdasarkan anamnesis, dan
pemeriksaan fisik.
Diagnosis vertigo perifer ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang pusing berputar
timbul mendadak, dirasakan hilang timbul, saat membuka mata terasa lingkungan berputar,
nyaman saat menutup mata dan memberat ketika pindah posisi kepala ke arah kiri atau
membuka mata. mual, muntah, nyeri ulu hati, keringat dingin dan lemas sesuai dengan klinis
vertigo perifer. Lalu pada pemeriksaan fisik pemeriksaan tambahan neurologis tes
keseimbangan Romberg dan Stepping test (+) serta nistagmus (-/+).
Penatalaksanaan pada kasus ini infus RL 20 tpm sebagai pemelihara keseimbangan eleketrolit
dan kebutuhan cairan, injeksi Difenhidrramine 1 amp /12jam sebagai antihistamin yang dapat
meredakan vertigo memiliki aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat. Efek samping
yang umum dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Injeksi Ranitidin /12jam sebagai antagonis
H2 bertujuan untuk mencegah terjadinya stress ulcer dan mencegah timbulnya perdarahan
lambung, sitoprotektor atau penghambat reseptor H2 perlu diberikan. Tablet Flunarizine
2x5mg diberikan mengurangi aktivitas eksitatori SSP dengan menekan pelepasan glutamat,
menekan aktivitas NMDA spesial channel, bekerja langsung sebagai depresor labirin.
TINJAUAN PUSTAKA

VERTIGO
A. Definisi Vertigo
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar mengelilingi
pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar (Wreksoatmodjo,
2009). Vertigo berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar merujuk pada
sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya
disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan (Wreksoatmodjo, 2009) Vertigo
bisa disebabkan oleh kelainan didalam telinga, didalam saraf yang menghubungkan
telinga dengan otak dan didalam otak itu sendiri (Mardjono, 2008).

B. Patologi gangguan keseimbangan

Dalam kondisi alat keseimbangan baik sentral maupun perifer yang tidak normal atau
adanya gerakan yang aneh /berlebihan,  maka tidak terjadi proses pengolahan yang
wajar dan muncul vertigo. Selain itu terjadi pula respon penyesuaian otot-otot yang
tidak adekuat, sehingga muncul gerakan abnormal dari mata (nistagmus),
unsteadiness/ataksia waktu berdiri/berjalan dan gejala lainnya. Sebab pasti mengapa
terjadi gejala tersebut belum diketahui (Perdossi, 2000).

Vertigo disebabkan oleh gangguan keseimbangan tubuh yang mengakibatkan 


ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan  apa yang dipersepsi oleh
susunan saraf pusat. Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian
tersebut, diantaranya ;

1. Teori konfliks sensoris : rangsang diatas ambang fisiologis akan mengakibatkan


banjir informasi di pusat kesimbangan, sehingga meningkatkan kegiatan SSP,
koordinasi dan menjalar ke sekitarnya, terutama saraf otonom, korteks dan timbul
sindroma vertigo.
2. Teori Neural Mismatch: reaksi timbul akibat rangsang gerakan yang sedang
dihadapi tidak sesuai dengan harapan yang sudah tersimpan di memori dari
pengalaman gerak sebelumnya. Pengalaman gerak dimemori di cerebelum dan
korteks cerebri. Lama kelamaan akan terjadi penyusunan kembali pola gerakan
yang sedang dihadapi sama dengan pola yang ada di memori. Orang menjadi
beradaptasi. Makin besar ketidaksesuaian pola gerakan yang dialami dengan
memori maka makin hebat sindroma yang muncul. Makin lama proses sensory
rearrangement maka makin lama pula adaptasi orang tersebut terjadi.
3. Ketidakseimbangan saraf Otonomik: sindrome terjadi karena ketidakseimbangan
saraf otonom akibat rangsang gerakan. Bila ketidakseimbangan mengarah ke
saraf parasimpatis maka muncul gejala dan bila mengarah ke dominasi saraf
simpatis sindrome menghilang.
4. Teori neurohumoral: munculnya sindrome vertigo berawal dari pelepasan
Corticotropin releasing hormon(CRH) dari hipothalamus akibat rangsang
gerakan. CRH selanjutnya meningkatkan aktifitas saraf simpatis di locus
coeruleus , hipokampus dan korteks serebri melalui mekanisme influks calcium.
Akibatnya keseimbangan saraf otonon mengarah ke dominasi saraf simpatis dan
timbul gejala pucat, rasa dingin di kulit, keringat dingin dan vertigo. Bila
dominasi mengarah ke saraf parasimpatis sebagai akibat otoregulasi, maka
muncul gejala mual, muntah dan hipersalivasi. Rangsangan ke locus coerulus
juga berakibat panik. CRH juga dapat meningkatkan stress hormon lewat jalur
hipothalamus-hipofise-adrenalin. Rangsangan ke korteks limbik menimbulkan
gejala ansietas dan atau depresi. Bila sindroma tersebut berulang akibat
rangsangan atau latihan, maka siklus perubahan dominasi saraf simpatis dan
parasimpatis bergantian tersebut juga berulang sampai suatu ketika terjadi
perubahan sensitifitas reseptor (hiposensitif) dan jumlah reseptor (down
regulation) serta penurunan influks calsium. Dalam keadaan ini pasien tersebut
telah mengalami adaptasi (Perdossi, 2000).
5. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa  rangsangan yang berlebihan menyebabkan 
hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya  terganggu, akibatnya akan
timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
6. Teori sinaps
Merupakan pengembangan dari  teori sebelumnya  yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses
adaptasi, belajar dan daya ingat.
Vertigo akan timbul bila terdapat ketidaksesuaian dalam informasi yang oleh
susunan aferen disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan  aferen yang terpenting
adalah susunan vestibuler yang secara terus menerus menyampaikan  impuls ke
pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan adalah susunan optik dan
susunan propioseptik yang melibatkan jaras yang menghubungkan nuklei
vestibularis dengan nuklei n III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan
vestibulospinalis (Joesoef, 2003).

Jaringan saraf yang terlibat dalam proses timbulnya vertigo adalah:

1. Reseptor alat keseimbangan tubuh. Berperan dalam mengubah rangsang menjadi


bioelektrokimia, terdiri dari reseptor mekanis di vestibulum, reseptor cahaya di
retina dan reseptor mekanis/ propioseptik di kulit, otot, dan sendi.
2. Saraf aferen berperan dalam proses transmisi. Terdiri dari saraf vestibularis, saraf
optikus dan saraf spino-vestibulo-serebelaris.
3. Pusat keseimbangan. Berperan dalam modulasi, komparasi, koordinasi dan
persepsi. Terletak pada inti vestibularis, serebelum, korteks serebri, hipothalamus,
inti okulomtorius dan formatio retikularis (Joesoef, 2003).

C. Etiologi Vertigo
Vertigo secara etiologi dibedakan tipe perifer dan sentral. Vertigo perifer bila lesi
pada labirin dan nervus vestibularis sedangkan sentral bila lesi pada batang otak
sampai ke korteks.Vertigo bukan suatu gejala pusing saja, tetapi merupakan suatu
kumpulan gejala atau satu sindroma yang terdiri dari gejala somatik ( nistagmus,
unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual dan muntah), dan pusing.

VERTIGO SENTRAL
Penyebab vertigo jenis sentral biasanya ada gangguan di batang otak atau di
serebelum. Untuk menentukan gangguan di batang otak, apakah terdapat gejala lain
yang khas misalnya diplopia, parestesia, perubahan sensibilitas dan fungsi motorik,
rasa lemah (Mardjono,2008)
VERTIGO PERIFER
Lamanya vertigo berlangsung :
1. Episode (serangan) vertigo yang berlangsung beberapa detik
Paling sering disebabkan oleh vertigo posisional benigna. Dapat dicetuskan oleh
perubahan posisi kepala. Berlangsung beberapa detik dan kemudian mereda.
Paling sering penyebabnya idiopatik, namun dapat juga akibat trauma kepala,
pembedahan di telinga atau oleh neuronitis vestibular. Prognosis umumnya baik,
gejala menghilang secara spontan.
2. Episode vertigo yang berlangsung beberapa menit atau jam
Dapat dijumpai pada penyakit meniere atau vestibulopati berulang. Penyakit
meniere mempunyai trias gejala yaitu ketajaman pendengaran menurun (tuli),
vertigo dan tinitus.
3. Serangan vertigo yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu
Neuritis vestibular merupakan keluhan yang sering datang ke unit darurat. Pada
penyakit ini, mulainya vertigo dan nausea serta muntah yang menyertainya ialah
mendadak dan gejala lain dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu. Fungsi pendengaran tidak terganggu. Pada pemeriksaan fisik mungkin
dapat dijumpai nistagmus.

Vertigo vestibular menyebabkan nausea dan muntah, setidaknya pada awalnya, serta
kecenderungan untuk jatuh ke sisi lesi. Nistagmus yang menyertainya menginduksi
ilusi pergerakan lingkungan (0silopsia). Sehingga, pasien memilih  untukk menutup
matanya, dan untuk menghindari iritasi lebih lanjut pada sistem vestibular dengan
menjaga kepala pada posisi yang terfiksasi, dengan telinga yang abnormal terletak
dibagian paling atas (Baehr, Frotscher, 2010).

D. Penyebab perifer Vertigo Perifer


 Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)  merupakan penyebab utama vertigo.
Onsetnya lebih seriang terjadi pada usia rata-rata 51 tahun (Mardjono, 2009).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) disebabkan oleh pergerakan otolit
dalan kanalis semisirkularis pada telinga dalam. Hal ini terutama akan mempengaruhi
kanalis posterior dan menyebabkan gejala klasik tapi ini juga dapat mengenai kanalis
anterior dan horizontal.Otoli mengandung Kristal-kristal kecil kalsium karbonat yang
berasal dari utrikulus telinga dalam .Pergerakan dari otolit distimulasi oleh perubahan
posisi dan menimbulkan manifestasi klinik vertigo dan nistagmus.
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) biasanya idiopatik tapi dapat juga
diikuti trauma kepala, infeksi kronik telinga, operasi dan neuritis vestibular
sebelumny, meskipun gejala benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) tidak
terjadi bertahun-tahun setelah episode.

 Ménière’s disease

Ménière’s disease ditandai dengan vertigo yang intermiten diikuti dengan keluhan


pendengaran .Gangguan pendengaran berupa tinnitus (nada rendah), dan tuli sensoris
pada fluktuasi frekuensi yang rendah, dan sensasi penuh pada telinga.Ménière’s
disease terjadi pada sekitar 15% pada kasus vertigo otologik.
Ménière’s disease merupakan akibat dari hipertensi endolimfatik.Hal ini terjadi
karena dilatasi dari membrane labirin bersamaan dengan kanalis semisirularis telinga
dalam dengan peningkatan volume endolimfe.Hal ini dapat terjadi idiopatik atau
sekunder akibat infeksi virus atau bakteri telinga atau gangguan metabolic.

 Vestibular Neuritis
Vestibular neuritis ditandai dengan vertigo, mual, ataxia, dan nistagmus.Hal ini
berhubungan dengan infeksi virus pada nervus vestibularis. Labirintis terjadi dengan
komplek gejala yang sama disertai dengan tinnitus atau penurunan pendengaran.
Keduanya terjadi pada sekitar 15% kasus vertigo otologik.

E. Manifestasi Klinis
Klinis  vertigo perifer dan sentral
Perifer Sentral

Bangkitan vertigo Mendadak Lambat

Derajat vertigo Berat Ringan

Pengaruh gerakan kepala + –

Gejala otonom ++ –

Gangguan pendengaran + –

Ciri-ciri Vertigo perifer Vertigo sentral

Sistem vertebrobasiler dan


Sistem vestibuler (telinga
Lesi gangguan vaskular (otak,
dalam, saraf perifer)
batang otak, serebelum)

Vertigo posisional paroksismal


jinak (BPPV), penyakit iskemik batang otak,
Penyebab maniere, neuronitis vestibuler, vertebrobasiler insufisiensi,
labirintis, neuroma akustik, neoplasma, migren basiler
trauma

Diantaranya :diplopia,
parestesi, gangguan sensibilitas
Gejala gangguan SSP Tidak ada
dan fungsi motorik, disartria,
gangguan serebelar

Masa laten 3-40 detik Tidak ada

Habituasi Ya Tidak

Berdasarkan gejala klinis  yang menonjol, vertigo dibagi 3 kelompok:


1. vertigo paroksismal
2. vertigo yang kronis
3. vertigo dengan serangan akut berangsur berkurang tanpa bebas keluhan
( Harsono, 2000.; Perdossi, 2000).

1. Vertigo paroksismal
Ciri khas: serangan mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, menghilang
sempurna, suatu ketika muncul lagi, dan diantara serangan penderita bebas dari
keluhan. Berdasar gejala penyertanya dibagi:

a. Dengan keluhan telinga, tuli atau telinga berdenging: sindrome Meniere,


arahnoiditis pontoserebelaris, TIA vertebrobasiler, kelainan odontogen, tumor
fossa posterior
b. Tanpa keluhan telinga: TIA vertebrobasiler, epilepsi, migraine, vertigo anak,
labirin picu
c. Timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi: vertigo posisional paroksismal
benigna.
2. Vertigo Kronis
Ciri khas: vertigo menetap lama, keluhan konstan tidak membentuk serangan-
serangan akut.
Berdasar gejala penyertanya dibagi:
a. Dengan keluhan telinga: OMC, tumor serebelopontin, meningitis TB,
labirinitis kronik, lues serebri.
b. Tanpa keluhan telinga: kontusio serebri, hipoglikemia, ensefalitis pontis,
kelainan okuler, kardiovaskuler dan psikologis, post traumatik sindrom,
intoksikasi, kelainan endokrin.
c. Timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi: hipotensi orthostatik, vertigo
servikalis.
3. Vertigo yang serangannya akut
Berangsur-angsur berkurang tetapi tidak pernah bebas serangan.
Berdasar gejala penyertanya dibagi:
a. Dengan keluhan telinga: neuritis N. VIII, trauma labirin, perdarahan labirin,
herpes Zoster otikus.
b. Tanpa keluhan telinga: neuritis vestibularis, sklerosis multipel, oklusi arteri
serebeli inferior posterior,encefalitis vestibularis, sklerosis multiple,
hematobulbi.

Pada umunya diagnosis vertigo tidaklah sulit. Tetapi akan sulit mendiagnosis
lokalisasi lesi dan sangat sulit mendiagnosis etiologinya. Anamnesis memegang
peranan paling vital dalam diagnosis vertigo, karena 50% lebih informasi yang
berguna untuk diagnosis berasal dari anamnesis. Di negara maju pun, anamnesis
merupakan sumber informasi paling penting. (Perdossi, 2000)

F. Tatalaksana Vertigo
a. Terapi kausal : sesuai dengan penyebab
b. Terapi simptomatik :
pengobatan simptomatik vertigo :
 Ca-entry blocker (mengurangi aktivitas eksitatori SSP dengan menekan
pelepasan glutamat, menekan aktivitas NMDA spesial channel, bekerja
langsung sebagai depresor labirin):
Flunarisin (Sibelium) 3x 5-10 mg/hr
 Antihistamin (efek antikolinergik dan merangsang inhibitory-monoaminergik
dengan akibat inhibisi n. Vestibularis
Cinnarizine 3x 25 mg/hr, Dimenhidrinat (Dramamine) 3x 50 mg/hr.
 Histaminik (inhibisi neuron polisipnatik pada n. Vestibularis lateralis):
Betahistine (Merislon) 3 x 8 mg. Betahistin merupakan obat antivertigo yang
bekerja dengan memperlebar sphincter prekapiler sehingga meningkatkan alira
darah pada telinga bagian dalam, dengan demikian menghilagkan
endolymphatic hydrops. Betahistin juga memperbaiki sirkulasi serebral dan
meningkatkan aliran darah arteri karotis interna. Pemberian betahistin
diindikasikan untuk mengurang vertigo yang berhubungan dengan gangguan
keseimbangan yang terjadi pada gangguan sirkulasi darah atau sindroma
meniere dan vertigo perifer.
 Fenotiazine (pada kemoreseptor trigger zone dan pusat muntah di M.
Oblongata): Chlorpromazine (largaktil) : 3 x 25 mg/hr

 Benzodiazepine Clobazam merupakan golongan benzodiazepine yang bekerja


berdasarkan potensial inhibisi neuron dengan asam gama- aminobutirat
(GABA) sebagai mediator. Klobazam memiliki efek antikonvulsi, ansiolitik,
sedative, dan relaksasi otot. Pemberian obat ini diindikasikan untuk mengatasi
asietas da psikoneuroti yang disertai ansietas.

c. Terapi rehabilitasi
1. Manuver Epley CANALITH REPOSITIONING PROCEDURE (CRP)
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.
Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 450, lalu
pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit.
Lalu kepala ditolehkan 900 ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah
menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien
mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara
perlahan (Bittar, 2011).
2. Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal lateral.
Pasien berguling 3600, yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien
menolehkan kepala 900 ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan
tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh
mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 900
dan tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi.
Masing-masing gerakan dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat
dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi (Bittar, 2011).
Gambar 3. Manuver Lempert (Bhattacharyya ,2008)
3. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan posterior.
Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala
dimiringkan 450 ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi
berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo
dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang
berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk lagi (Bittar, 2011).
Gambar 2. Manuver Semont (Bittar, 2011).
4. Forced Prolonged Position
Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral. Tujuannya adalah
untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus pada sisi
telinga yang sakit dan dipertahankan selama 12 jam (Bittar, 2011).
5. Brandt-Daroff exercise
Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat
dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang tetap
simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat
membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi
kebiasaan (Bittar, 2011).
Cara Brandt dan Daroff berupa perubahan posisi kepala yang dilakukan
beberapa kali dalam sehari selama dua sampai tiga minggu. Pasien duduk
tegak ditepi tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung. Dengan posisi
kepala diputar 45° ke satu sisi dan kedua mata tertutup baringkan tubuh
dengan cepat ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik, setelah itu
duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan dengan cepat ke sisi lain,
pertahankan selama 30 detik lalu duduk tegak kembali. Manuver ini
dilakukan tiga kali pada pagi hari sebelum bangun tidur dan tiga kali pada
malam hari sebelum tidur sampai dua kali berturut-turut tidak timbul vertigo
lagi. Terapi ini dapat mengurangi keluhan vertigo pada banyak pasien tetapi
sulit dilakukan pada pasien berusia lanjut karena harus melakukan perubahan
posisi secara berulang-ulang

d. Operasi
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan
sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan
manuver-manuver yang telah disebutkan di atas. Dari literatur dikatakan
indikasi untuk melakukan operasi adalah pada intractable BPPV, yang
biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi vestibular, tidak seperti BPPV
biasa.
Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih,
yaitu singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal
posterior semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik
neurectomi mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang tinggi
DAFTAR PUSTAKA

ABTA, 2002, Brain Tumor Basics in Research Resources Information, American Brain


Tumor Association (abta.org)

Adams R.D., Victor M., Rooper A.H., 2001,  Disease of N. VIII in  Principles of Neurology,
7th ed. McGraw-Hill, New York

Baehr, Frotscher, 2010. Diagnosis topic neurologi Duus.Jakarta : EGC

Bhattacharyya N, Baugh F R, Orvidas L. Clinical Practice Guideline: Benign Paroxysmal


Positional Vertigo. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2008;139: S47-S81.

Bhattacharyya, Neil, Auditory Brainstem Response Audiometry, dikutp dari


situs: http://emedicine.medscape.com, 2008

Bittar et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Diagnosis and Treatment. International
Tinnitus Journal. 2011;16(2): 135-45.

Delaney KA, Bedside diagnosis of vertigo : value of the history and neurological
examination. Academic Emergency Medicine. 2003;10:1388-95

Eaton DA, Roland PS, Dizziness in the older adult, part 1 : Evaluation and general treatment
strategies. Geriatric. 2003;58:28-38

Ernoehazy W., 2001, Brain Abscess in eMedicine Journal ; Volume 2 Number 12

Greenberg, 2001, Handbook of Neurosurgery 5thed, Thieme Medical Publications

Hain, Timothy, 2003, Benign Paroxysmal Positional Vertigo @NEUROLOGY \A\BPPV.htm

Hamid. Muhammad, 2003, Dizziness, Vertigo, and Imbalance @ NEUROLOGY\


Neurotoksikologi dan Vertigo \eMedicine

Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada university Press

Hoffman DA, Stockdale S, Hicks LL, Schwaninger JE, 1996, Diagnosis and Treatment of
Head Injury, Journal of Neurotherapy, Reprint (1-1)3

Huff S.J, 2001, Vertigo and Dizzy in eMedicine Journal ; Volume 2 Number 5

Joesoef AA., Tinjauan Neurobiologi Molekuler dari Vertigo, 2003, Makalah Konas V
Perdossi, Bali
Keith, Marill, 2001, Central verigo, @ NEUROLOGY\ Neurotoksikologi dan Vertigo\
eMedicine – Central Vertigo.htm

Leveque et al. Surgical Therapy in Intractable Benign Paroxysmal Positional Vertigo.


Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2007;136:693-698.

Mardjono, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat

Perdossi, 2000, Vertigo  Patofisiologi, Diagnosis dan Terapi, Jansen Pharmaceiuticals

Sardjono , 2007. Farmakologi dan terapi.Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Sidharta,P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, PT Dian Rakyat, Jakarta

Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary care, BJMP


2010;3(4):a351

Soepardi EA, Inskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga,Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 6. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.

Wreaksoatmodjo, 2004. Vertigo : aspek neurologi. Bogor : Cermin Dunia Kedokteran No.


144.

Anda mungkin juga menyukai