Anda di halaman 1dari 218

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional mengamanatkan bahwa bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ruang
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara
kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk di dalam bumi, maupun
sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara
bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna dan dikelola secara berkelanjutan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam konteks tersebut, penataan ruang diyakini sebagai pendekatan
yang tepat dalam mewujudkan keterpaduan pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan secara berdaya guna dan berhasil guna. Diharapkan
dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang, kualitas ruang wilayah
nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan
umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional UUDNRI
Tahun 1945.1 Penyelenggaraan tata ruang di Indonesia telah diatur dengan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR).
UUPR mengatur bahwa masing-masing daerah harus menetapkan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi maupuan kabupaten/kota. Penetapan
RTRW ini sangat terkait dan mempengaruhi masalah perlindungan lahan
pertanian pangan yang berkelanjutan, serta penyelamatan kawasan hutan.
Dasar hukum penyelenggaraan tata ruang di Indonesia diatur melalui
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya
disebut UU Penataan Ruang) yang disahkan di Jakarta pada tanggal 26 April
2007. Arah pengaturan dari UU ini adalah:
- Untuk memperkukuh ketahanan nasional berdasarkan wawasan nusantara,
demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara pusat
dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan;

1
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 007 Nomor 68 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725, konsideran menimbang huruf a.

1
- Penyelenggaraan penataan ruang yang komprehensif, holistik,
terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian
lingkungan hidup;
- Penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan
lingkungan buatan, dan keterpaduan penggunaannya;
- Memberi perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif tahadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang; dan
- Penataan ruang didasarkan pada pendekatan sistem, fungsi utama
kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis
kawasan.
Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling
terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang melalui produk rencana tata ruang berupa
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hieratki terdiri dari
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
(RTRW Kab/Kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum
di dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi
perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai UU
utama (core) dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka UU Penataan
Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat
mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor
pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumber daya alam maupun sumber
daya buatan.2
Terkait agenda pembangunan nasional (Nawa Cita) yang termaktub
dalam Buku I Lampiran Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang
RPJMN 2015-2019, terdapat 4 (empat) agenda yang terkait dengan Tata
Ruang, yaitu:3
1. Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara.
Agenda pertama mencakup 10 (sepuluh) sub agenda, salah satu sub
agenda yang terkait tata ruang dan pertanahan yaitu memperkuat jati diri

2
I Wayan Parsa, dkk, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Penegakan Hukum
Penataan Ruang Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Tahun
2014, hlm 4.
3
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Buku Saku Rangkuman Buku I dan Buku II Terkait
Tata Ruang dan Pertanahan RPJMN Tahun 2015-2019, BAPERATURAN PEMERINTAHENAS,
Tahun 2015, hlm 10-16.

2
sebagai Negara Maritim. Strategi pembangunan yang diterapkan adalah
menyempurnakan sistem penataan ruang nasional dengan memasukkan
wilayah laut sebagai satu kesatuan dalam rencana penataan ruang
nasional/regional;
2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis
dan terpercaya.
Agenda kedua mencakup 5 (lima) sub agenda, salah satu sub agenda
yang terkait dengan tata ruang dan pertanahan yaitu meningkatkan
partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan publik;
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan.
Terdapat 3 (tiga) sub agenda yang terkait dengan tata ruang yaitu (1)
pengembangan kawasan perbatasan; (2) pengembangan daerah tertinggal
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerataan
pembangunan dan mengurangi kesenjangan pembangunan antara daerah
tertinggal dengan daerah maju dari 112 kabupaten pada tahun 2015-2019;
(3) pembangunan desa dan kawasan pedesaan.
4. Pemerataan Pembangunan Antarwilayah terutama Kawasan Timur
Indonesia.
Arah kebijakan utama pembangunan wilayah nasional difokuskan
untuk mempercepat pemerataan pembangunan antarwilayah. Oleh
karena itu, diperlukan arah pengembangan wilayah yang dapat
mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah KTI, yaitu
Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua, dengan tetap
menjaga momentum pertumbuhan di Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera.
Dalam pembangunan Bidang Tata Ruang terdapat 3 (tiga) isu strategis
yaitu:4
1. Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Siklus pelaksanaan penataan ruang, sebagaimana diatur oleh UU
Penataan Ruang, terdiri dari perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Mempertimbangkan masih ada RTR
dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K)
yang belum selesai, maka tahapan pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang belum dapat dilaksanakan secara efektif. Salah satu
faktor penyebab belum seluruh daerah memiliki RTR dan RZWP-3-K
adalah belum tersedianya peta berskala besar. Untuk mendukung

4
Ibid., hlm. 41-42.

3
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, dibutuhkan juga
skema insentif sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;
2. Kelembagaan Penyelenggaraan Penataan Ruang
Permasalahan kelembagaan mencakup masih belum memadainya
kualitas, kuantitas dan kompetensi SDM Bidang Tata Ruang, yang
berdampak pada cenderung rendahnya kualitas RTR. Untuk Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (Peraturan Pemerintah) Bidang Tata Ruang, selain
kualitas dan kuantitas yang masih harus ditingkatkan, wadah dan tata
kerjanya belum terdefinisikan dengan baik untuk menunjang
kinerjanya. Selain itu, masyarakat pengguna ruang juga belum berperan
aktif dalam penyelenggaraan penataan ruang. Minimnya pedoman yang
dapat menjadi panduan bagi Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan penataan ruang juga menimbulkan banyak kendala.
3. Rencana Tata Ruang sebagai acuan pembangunan berbagai sektor
Sebagai peraturan perundangan yang mewadahi Bidang Tata Ruang,
seluruh amanat UU Penataan Ruang harus dilengkapi dan selaras
dengan aturan sektoral lain. Namun saat ini RTR belum menjadi
pedoman bagi pembangunan sektoral. Selain itu, RTR juga belum
selaras dengan rencana pembangunan yang menjadi acuan pembiayaan
pembangunan.
Untuk menjawab isu-isu strategis Bidang Tata Ruang, sasaran
pembangunan bidang tata ruang untuk Tahun 2015-2019 adalah:5
1. Tersedianya peraturan perundang-undangan bidang tata ruang yang
lengkap, harmonis, dan berkualitas;
2. Meningkatnya kapasitas kelembagaan bidang tata ruang, dalam jangka
pendek, yang akan segera diselesaikan adalah penyusunan pedoman
perlindungan Peraturan Pemerintah Bidang Tata Ruang;
3. Meningkatnya kualitas dan kuantitas RTR serta terwujudnya tertib
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam jangka
pendek, yang akan segera diselesaikan adalah penetapan Revisi Perpres
Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur yang dilengkapi dengan lembaga dan/atau
pengelola Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur,
penyediaan peta dasar skala 1:5.000 untuk penyusunan Rencana Detil

5
Ibid., hlm. 42.

4
Tata Ruang (RDTR) pada KSN dan daerah yang diprioritaskan, serta
penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan; dan
4. Meningkatnya kualitas pengawasan penyelenggaraan penataan ruang.
Berdasarkan isu strategis subbidang Tata Ruang tahun 2015-2019,
maka disusun arah kebijakan dan strategi: 6
1. Meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif dan
harmonis dengan strategi: (a) penyusunan peraturan perundangan
amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 berupa peraturan perundangan
Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) dan regulasi turunannya
dalam rangka mendukung agenda Penguatan Sistem Pertahanan; (b)
penyusunan regulasi turunan UU Nomor 27 Tahun 2007 jo UU Nomor 1
Tahun 2014 terkait RZWP-3-K; (c) harmonisasi peraturan perundangan
yang berkaitan dengan Bidang Tata Ruang termasuk di dalamnya
peraturan insentif untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)
dalam rangka mendukung Agenda Kedaulatan Pangan; (d)
penginternalisasian kebijakan sektoral dalam NSPK Bidang Tata Ruang;
dan (e) pengintegrasian RTR dengan rencana pembangunan.
2. Meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang, untuk
mendukung pengendalian pemanfaatan ruang. Kebijakan tersebut
dicapai melalui strategi: (a) pembangunan sistem informasi penataan
ruang yang terintegrasi; (b) pembentukan perangkat Peraturan
Pemerintah yang handal dengan menyusun pedoman perlindungan
Peraturan Pemerintah Bidang Tata Ruang; serta (c) membuka partisipasi
publik melalui pembentukan forum masyarakat dan dunia usaha untuk
pengendalian pemanfaatan ruang yang optimal sesuai dengan amanat
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata
Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
3. Meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang, dengan strategi:
(a) peningkatan kualitas produk dan penyelesaian serta peninjauan
kembali RTR, baik RTRWN, RTR Laut Nasional, RTR Pulau/Kepulauan,
RTR KSN (termasuk penetapan revisi Perpres RTR KSN Jabodetabekjur),
RTRW yang telah mengintegrasikan LP2B dan prinsip-prinsip RZWP3K;
dan (b) percepatan penyediaan data pendukung pelaksanaan penataan
ruang yang mutakhir termasuk peta skala 1:5.000 untuk RDTR.

6
Ibid., hlm. 43.

5
4. Melaksanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang, melalui
pemantauan dan evaluasi yang terukur untuk menjamin kesesuaian
pemanfaatan ruang yang telah disusun.
UU Penataan Ruang memiliki keterkaitan dengan beberapa
peraturan perundang-undangan (PUU) lain, seperti PUU yang mengatur
mengenai perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, pertambangan
minerba, kehutanan, perumahan dan kawasan pemukiman, wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil dan lain-lain, serta beberapa peraturan pelaksana
lainnya. Keterkaitan di antara PUU tersebut perlu dilakukan analisis dan
evaluasinya, baik dari dimensi asas, potensi disharmoni maupun
efektivitasnya.

B. PERMASALAHAN
Permasalahan yang dibahas dalam analisis dan evaluasi hukum ini
adalah:
1. Apakah materi muatan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan masalah penataan ruang terpadu, sudah sesuai dengan jenis
peraturan perundang-undangan?
2. Apakah rumusan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penataan ruang terpadu telah dirumuskan secara jelas?
3. Bagaimana penilaian kesesuaian norma peraturan perundang-undangan
yang terkait penataan ruang terpadu?
4. Apakah ada potensi disharmoni pengaturan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang terkait penataan ruang terpadu?
5. Apakah implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penataan ruang terpadu sudah efektif?

C. TUJUAN KEGIATAN
Tujuan dilaksanakannya kegiatan analisis dan evaluasi hukum dalam
rangka penyelamatan dan pemanfaatan kawasan hutan adalah:
1. Menilai kesesuaian antara jenis peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan penataan ruang terpadu;
2. Menganalisis kejelasan rumusan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan penataan ruang terpadu;
3. Menilai kesesuaian norma peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penataan ruang terpadu;
4. Menilai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penataan
ruang terpadu berpotensi tumpang tindih atau disharmoni pengaturan;

6
5. Menganalisis efektivitas implementasi peraturan perundang-undangan
terkait dengan penataan ruang terpadu.

D. RUANG LINGKUP ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM


Hasil inventarisasi PUU yang terkait dengan penataan ruang,
ditemukan sebanyak 69 (enam puluh sembilan) PUU, yang terdiri dari: 18
(delapan belas) Undang-Undang, 16 (enam belas) PERATURAN PEMERINTAH,
13 (tiga belas) Peraturan Presiden, 1 (satu) Keputusan Presiden dan 21 (dua
puluh satu) Peraturan Menteri. Daftar inventarisasi ini diambil dari hasil
inventarisasi PUU yang terkait dengan Penataan Ruang, kemudian PUU yang
mempunyai kedekatan substansi dengan penataan ruang dari UU hingga
peraturan pelaksananya. Dasar hukum yang di maksud dalam matrik ini
merupakan penjabaran dari konsideran mengingat dan menimbang yang
menjadi landasan dibentuknya suatu PUU di maksud.
Hasil inventarisasi PUU adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang

No Judul UU Dasar Hukum


mor
1. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A,
tentang Penataan Ruang dan Pasal 33 Ayat (3) UU Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
2. UU Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 5 Ayat (1), Pasal 18B Ayat (2),
tentang Pengelolaan Wilayah Pasal 20, Pasal 25A, serta Pasal 33 Ayat
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, (3) dan Ayat (4) UU Dasar Negara
sebagaimana telah diubah dengan Republik Indonesia Tahun 1945;
UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
3. UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 Ayat (1), Pasal
tentang Pemerintahan Daerah 17 Ayat (1) dan Ayat (3), Pasal 18, Pasal
18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D
Ayat (2), dan Pasal 23E Ayat (2) UU
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
4. UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pasal 5 Ayat (1), Pasal 10, Pasal 11,
Pertahanan Negara Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 27
Ayat (3), dan Pasal 30 UU Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

7
No Judul UU Dasar Hukum
mor
5. UU Nomor 38 Tahun 2004 Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, Pasal 33 Ayat
tentang Jalan (3), dan Pasal 34 Ayat (3) UU Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
6. UU Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1),
tentang Kehutanan Pasal 27, dan Pasal 33 UU Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
7. UU Nomor 39 Tahun 2009 Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 Ayat
tentang Kawasan Ekonomi Khusus (2), dan Pasal 33 UU Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945

8. UU Nomor 41 Tahun 2009 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 Ayat (2),
tentang Perlindungan Lahan Pasal 28A, Pasal 28C, dan Pasal 33 UU
Pertanian Pangan Berkelanjutan Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
9. UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C Ayat (1),
Perumahan dan Kawasan Pasal 28H Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat
Permukiman (4), Pasal 33 Ayat (3), serta Pasal 34
Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) UU
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
10. UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A,
Informasi Geospasial Pasal 28F, dan Pasal 33 Ayat (3) dan
Ayat (4) UU Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
11. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1), dan
Konservasi Sumber Daya Alam Pasal 33 UU Dasar Negara Republik
HAyati dan Ekosistemnya Indonesia Tahun 1945;
12. UU Nomor 28 Tahun 2002 Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1)
tentang Bangunan Gedung UU Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Keempat
UU Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
13. UU Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 20 dan Pasal 21 UU Dasar
tentang Penanggulangan Bencana Negara Republik Indonesia Tahun 1945
14. UU Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H Ayat (1),
tentang Perlindungan dan serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UU
Pengelolaan Lingkungan Hidup Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
15. UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pasal 5 Ayat 1, Pasal 20 dan Pasal 33
Perindustrian UU Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945

8
No Judul UU Dasar Hukum
mor
16. UU Nomor 32 Tahun 2014 Pasal 20, Pasal 22D Ayat (1), Pasal 25A,
tentang Kelautan dan Pasal 33 Ayat (3) UU Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
17. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pasal 5 Ayat (I), Pasal 20 dan Pasal 33
Pertambangan Minerba Ayat (2) dan Ayat (3) UU Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
18. UU Nomor 20 Tahun 2011 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 (H) Ayat 1,
tentang Rumah Susun Ayat 2, dan Ayat 4 UU Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945

2. Peraturan Pemerintah
No Judul PERATURAN PEMERINTAH Delegasi
mor
1. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Pasal 19 dan Pasal 32 UU Nomor 4
Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Bangun dan Lingkungan Siap Permukiman
Bangun yang Berdiri Sendiri
2. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Pasal 9 UU Nomor 41 Tahun 1999
Tahun 2002 tentang Hutan Kota tentang Kehutanan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Pasal 16 Ayat 2 UU Nomor 26 Tahun
Tahun 2004 tentang 2007 tentang Penataan Ruang
Penatagunaan Tanah
4. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Pasal 43 sampai dengan Pasal 57 UU
Tahun 2005 tentang Jalan Tol Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
5. Peraturan Pemerintah 36 Tahun UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang
2005 tentang Peraturan Pelaksana Bangunan Gedung. (Tidak diatur jelas
UU Nomor 28 Tahun 2002 Pasal pendelegasinya)
tentang Bangunan Gedung
6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Pasal 30 UU Nomor 25 Tahun 2004
Tahun 2006 tentang Tata Cara tentang Sistem Perencanaan
Pengendalian dan Evaluasi Pengembangan Nasional
Pelaksanaan Rencana
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Pasal 22, Pasal 39, Pasal 66, dan Pasal
Tahun 2007 tentang Tata Hutan 80 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
dan Penyusunan Rencana Kehutanan
Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
8. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Pasal 13 Ayat 4, Pasal 16 Ayat 4, Pasal

9
No Judul PERATURAN PEMERINTAH Delegasi
mor
Tahun 2010 tentang 37 Ayat 8, Pasal 38 Ayat 6, Pasal 40,
Penyelenggaraan Penataan Ruang Pasal 41 Ayat 3, Pasal 47 Ayat 2, Pasal
48 Ayat 5, Pasal 48 Ayat 6 dan Pasal 64
UU Nomor 26 Thun 2007 tentang
Penataan Ruang.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Pasal 65 Ayat 3 UU Nomor 26 Tahun
Tahun 2010 tentang Bentuk dan 2007 tentang Penataan Ruang.
Tata Cara Peran Masyarakat
dalam Penataan Ruang
10. Peraturan Pemerintah Nomor 50 UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Tahun 2011 tentang Rencana Kepariwisataan. (Tidak diatur jelas
Induk Pembangunan Pasal pendelegasinya)
Kepariwisataan Nasional Tahun
2010 – 2025
11. Peraturan Pemerintah Nomor 40 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Tahun 2012 tentang Penerbangan. (Tidak diatur jelas Pasal
Pembangunan dan Pelestarian pendelegasinya)
Lingkungan Hidup Bandar Udara
12. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Pasal 14 Ayat 17 UU Nomor 26 Tahun
Tahun 2013 tentang Ketelitian 2006 tentang Penataan Ruang.
Peta Rencana Tata Ruang
13. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Pasal 17 Ayat 5, Pasal 28 Ayat 3, Pasal
Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut 31 Ayat 3, Pasal 39 Ayat 3, Pasal 53
UU Informasi Geospasial, dan 5 Ayat 3, Pasal 57 Ayat 3 dan Pasal 63
(lima) Peraturan Kepala Badan Ayat 3 UU Nomor 4 Tahun 2011
Informasi Geospasial (BIG) tentang Informasi Geospasial
14. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Pasal 11 UU Nomor 1 Tahun 2011
Tahun 2014 tentang Pembinaan tentang Perumahan dan Kawasan
Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman dan Pasal 12 UU Nomor
Kawasan Permukiman 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
15. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Pasal 63 Ayat 5 dan Pasal 108 UU
Tahun 2015 tentang Kawasan Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Industri Perindustrian.
16. Peraturan Pemerintah No 26 Pasal 20 Ayat 6 UU Nomor 26 Tahun
Tahun 2008 tentang Rencana Tata 2007 tentang Penataan Ruang
Ruang Wilayah Nasional

10
3. Peraturan Presiden
No Judul Perpres Delegasi
mor
1. Perpres Nomor 54 Tahun 2008 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang Penataan Ruang Kawasan Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Bekasi, Puncak, Cianjur
2. Perpres Nomor 45 Tahun 2011 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang Rencana Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Kawasan Perkotaan Denpasar, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Badung, Gianyar dan Tabanan
3. Perpres Nomor 55 Tahun 2011 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang Rencana Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Kawasan Perkotaan Makasar, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Maros, Sungguminasa, Takalar
4. Perpres Nomor 62 Tahun 2011 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang Rencana Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Deli Serdang dan Karo
5. Perpres Nomor 87 Tahun 2011 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang Rencana Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Kawasan Batam, Bintan, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Karimun

6. Perpres Nomor 58 Tahun 2014 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah


tentang RTR Kawasan Borobudur Nomor 26 Tahun 2008 tentang
dan Sekitarnya Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
7. Perpres Nomor 70 Tahun 2014 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang RTR Kawasan Taman Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Nasional Gunung Merapi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Sekitarnya
8. Perpres Nomor 81 Tahun 2014 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang RTR Kawasan Danau Toba Nomor 26 Tahun 2008 tentang
dan Sekitarnya Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
9. Perpres Nomor 179 Tahun 2014 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang Rencana Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Kawasan Perbatasan Negara di Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Provinsi Nusa Tenggara Timur
10. Perpres Nomor 31 Tahun 2015 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang Rencana Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Kawasan Perbatasan Negara di Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Kalimantan

11
No Judul Perpres Delegasi
mor
11. Perpres Nomor 32 Tahun 2015 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang Rencana Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Kawasan Perbatasan Negara di Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Provinsi Papua
12. Perpres Nomor 33 Tahun 2015 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang Rencana Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Kawasan Perbatasan Negara di Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Maluku
13. Perpres Nomor 34 Tahun 2015 Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah
tentang Rencana Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Kawasan Perbatasan Negara di Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Provinsi Maluku Utara dan
Provinsi Papua Barat

4. Keputusan Presiden
No Judul Kepres Delegasi
mor
1. Kepres Nomor 34 Tahun 2003 Keputusan Majelis Permusyawaratan
tentang Kebijakan Nasional Di Rakyat Republik Indonesia Nomor
Bidang Pertanahan IX/MPR/2001 tentang pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam , perlu diwujudkan konsePasali,
kebijaksanaan dan sistem pertanahan
nasional yang utuh dan terpadu

5. Jenis Peraturan Menteri


No Judul Peraturan Menteri Delegasi
1. Permen PU Nomor 20 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
PRT/M/2007 tentang Teknik Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas
Analisis Aspek Fisik dan Pasal pendelegasinya)
Lingkungan, Ekonomi serta Sosial
Budaya dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang

2. Permen PU Nomor 21 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang


PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas
Penataan Ruang Kawasan Rawan Pasal pendelegasinya)
Letusan Gunung Berapi dan
Kawasan Rawan Gempa Bumi

12
No Judul Peraturan Menteri Delegasi
3. Permen PU Nomor 22 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas
Penataan Ruang Kawasan Rawan Pasal pendelegasinya)
Bencana Longsor
4. Permen PU Nomor 40 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
PRT/M/2007 tentang Kawasan Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas
Reklamasi Pantai Pasal pendelegasinya)
5. Permen PU Nomor 41 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas
Kriteria Teknis Kawasan Budidaya Pasal pendelegasinya)
6. Permen PU Nomor 5 PRT/M/2008 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
tentang Penyediaan dan Penataan Ruang dan Pasal 189 UU
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Di Kawasan Perkotaan Pemerintah Daerah
7. Permen PU Nomor 11 Pasal 18 UU Nomor 26 Tahun 2007
PRT/M/2009 tentang Pedoman tentang Penataan Ruang
Persetujuan Substansi dalam
Penetapan Rancangan Perda
Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi dan Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Kota Beserta
Rinciannya
8. Permen PU Nomor 13 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
PRT/M/2009 tentang Penyidik Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas
PERATURAN PEMERINTAHNS Pasal pendelegasinya)
Penataan Ruang
9. Permen PU Nomor 15 Pasal 18 Ayat 3 UU Nomor 26 Tahun
PRT/M/2009 tentang Pedoman 2007 tentang Penataan Ruang
Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi
10. Permen PU Nomor 16 PRT/M/ Pasal 18 Ayat 3 UU Nomor 26 Tahun
2009 tentang Pedoman 2007 tentang Penataan Ruang
Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten
11. Permen PU Nomor17 PRT/M/2009 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
tentang Pedoman Penyusunan Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pasal pendelegasinya)
12. Permen ATR/BPN Nomor 37 Tahun Pasal 24 Ayat 2 dan Pasal 27 Ayat 2 UU
2016 tentang Pedoman Nomo 26 Tahun 2007 tentang
Penyusunan Rencana Tata Ruang Penataan Ruang
Kawasan Strategis Provinsi dan
Rencana Tata Ruang Kawasan

13
No Judul Peraturan Menteri Delegasi
Strategis Kabupaten
13. Permen PU Nomor 14 PT/M/2010 PERATURAN PEMERINTAH Nomor 65
tentang Standar Pelayanan Tahun 2005 tentang Pedoman
Minimal Bidang Pekerjaan Umum Penyusunan dan Penerapan Standar
dan Penataan Ruang Pelayanan Minimal
14. Permenhut Nomor P. 28/Menhut- Pasal 18 Ayat 1 UU Nomor 26 Tahun
Ii/2009 tentang Tata Cara 2007 tentang Penataan Ruang
Pelaksanaan Konsultasi Dalam
Rangka Pemberian Persetujuan
Substansi Kehutanan Atas
Rancangan Perda Tentang Rencana
Tata Ruang Daerah
15. Permendagri Nomor 13 Tahun Pasal 400 Ayat 2 UU Nomor 23 Tahun
2016 tentang Evaluasi Rancangan 2014 tentang Pemerintah Daerah
Perda Tentang Rencana Tata
Ruang Daerah
16. Permendagri Nomor 56 Tahun Pasal 12 Ayat 2 Peraturan Pemerintah
2014 tentang Tata Cara Peran Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk
Serta Masyarakat Dalam dan Tata Cara
Perencanaan Tata Ruang Daerah
17. Permen PU Nomor 6 PRT/M/2006 Peraturan Pemerintah Nomor 36
tentang Pedoman Tata Cara Tahun 2005 tentang Peraturan
Penunjukkan Badan pengelola Pelaksana UU Nomor 28 Tahun 2002
Kawasan Siap Bangun dan tentang Bangunan Gedung.
Penyelenggara Lingkungan Siap
Bangun yang Bediri Sendiri
18. Permen PU Nomor 32 Peraturan Pemerintah Nomor 80
PRT/M/2006 tentang Petunjuk Tahun 1999 tentang Kawasan Siap
Kawasan Siap Bangun dan Bangun dan Lingkungan Siap Bangun
Lingkungan Siap Bangun yang yang Berdiri Sendiri.
Berdiri Sendiri
19. Permen ATR/BPN Nomor 32 Tahun (Tidak diatur dengan jelas
2016 tentang Sistem Kendali Mutu pendelegasiannya)
Program Pertanahan, Agraria dan
Tata Ruang
20. Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 (Tidak diatur dengan jelas
tentang Penataan Ruang Terbuka pendelegasiannya)
Hijau Kawasan Perkotaan
21. Permendagri Nomor 69 Tahun (Tidak diatur dengan jelas
2007 tentang Kerja Sama pendelagasiannya)
Pembangunan Perkotaan

14
Dari 69 (enam puluh sembilan) PUU hasil inventarisasi tersebut,
Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Penataan Ruang Terpadu
melakukan analisis terhadap 47 (empat puluh tujuh) PUU, yaitu: 18 (delapan
belas) Undang-undang, 16 (enam belas) Peraturan Pemerintah dan 13 (tiga
belas) Peraturan Presiden. Sedangkan Peraturan Menteri diharapkan dapat
dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga non Kementerian
terkait.
E. Metode Analisis dan Evaluasi Hukum
Metode yang digunakan dalam melakukan analisis dan evaluasi hukum
terhadap peraturan perundang-undangan menggunakan penilaian
berdasarkan 5 (lima) dimensi penilaian, yaitu:
1. Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-Undangan;
2. Kejelasan Rumusan;
3. Kesesuaian Norma;
4. Potensi Disharmoni Ketentuan:
5. Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan.
Setiap dimensi memiliki variabel dan indikator penilaiannya masing-
masing. Berikut variabel dan indikator dari masing-masing dimensi tersebut:

1. Variabel dan Indikator Penilaian Ketepatan Jenis PUU


NO PUU VARIABEL INDIKATOR
1. UU Mengatur lebih lanjut Ada 39 Pasal,yang memerintahkan
ketentuan UUD NRI Tahun secara tegas (lihat ket.)
1945, yang diamanatkan
secara tegas dalam Pasal
UUD 1945
Mengatur lebih lanjut Terkait pelaksanaan HAM dan
ketentuan UUD NRI Tahun pembatasan HAM
1945, yang diamanatkan Terkait pembatasan hak dan
tidak secara tegas dalam kewajiban warga Negara
Pasal UUD 1945 Terkait pelaksanaan dan penegakan
kedaulatan Negara serta pembagian
kekuasaan Negara
Terkait Wilayah Negara dan
pembagian daerah
Terkait Keuangan Negara
Pengaturan yang dapat membebani
harta kekayaan warga Negara
Perintah Undang-Undang
untuk diatur dengan

15
NO PUU VARIABEL INDIKATOR
Undang-Undang
Tindak lanjut Putusan MK
Pengesahan Perjanjian Terkait masalah politik, perdamaian,
Internasional tertentu yang pertahanan, dan keamanan Negara;
perlu diatur dengan UU Terkait perubahan wilayah atau
penetapan batas wilayah Negara
Republik Indonesia;
Terkait kedaulatan atau hak berdaulat
Negara;
Terkait Hak Asasi Manusia dan
lingkungan hidup;
Terkait pembentukan kaidah hukum
baru;
Terkait pinjaman dan/atau hibah luar
Negeri.
2. PerPERA Dalam hal ihwal Adanya kebutuhan yang mendesak
TURAN kegentingan yang memaksa untuk menyelesaikan masalah hukum
PEMERI secara cepat
NTAH Adanya kekosongan UU/belum ada
UU yang mengatur
Mengatasi kekosongan UU dengan
proses pembentukan UU secara
normal/biasa (yang dimulai dari
perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan dan
pengundangan) tidak dapat dilakukan,
karena kondisi yang mendesak
membutuhkan kepastian dan
penyelesaian dengan cepat
Materi muatan Materi yang diatur dalam
PerPeraturan Pemerintah harus
termasuk dalam kewenangan
presiden, tidak boleh di luar
kewenangan presiden
Materi muatan tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi
Materi yang diatur adalah materi yang
harus diatur dengan UU, bukan materi
yang sejatinya untuk melaksanakan
UU
3. PERATU Melaksanakan ketentuan Diperintahkan secara tegas
RAN Undang-Undang Tidak diperintahkan secara tegas,

16
NO PUU VARIABEL INDIKATOR
PEMERI namun diperlukan untuk
NTAH melaksanakan ketentuan UU
Tindak lanjut Putusan MA Materi muatan Peraturan Pemerintah
tidak melebihi hasil Putusan MA
4. Perpres Melaksanakan lebih lanjut Diperintahkan secara tegas
perintah Undang-Undang (delegasian)
Melaksanakan lebih lanjut Diperintahkan secara tegas
perintah PERATURAN (delegasian)
PEMERINTAH
Untuk melaksanakan Tidak ada perintah dari PUU yang
penyelenggaraan lebih tinggi
kekuasaan pemerintahan
Tindak lanjut Putusan MA
5. Permen Delegasi Permen yang didelegasikan oleh UU,
materi muatannya hanya terbatas
untuk yang bersifat teknis
administratif (petunjuk Nomor 211
Lampiran II UU 12/2011)
Atribusi Tidak bertentangan dengan PUU di
atasnya
Mengatur struktur organisasi
Mengatur standar kerja
Mengatur metode kerja
6. Perda Penyelenggaraan otonomi
daerah (kewenangan
atributif)
Penyelenggaraan tugas
pembantuan (kewenangan
delegatif)
Penjabaran lebih lanjut dari
Peraturan Perundangan-
Undangan yang lebih tinggi
(kewenangan delegatif)
Tindak lanjut Putusan MA
dan Keputusan Menteri
Keterangan:
Pada Dimensi Ketepatan Jenis PUU ini, komponen yang dinilai adalah:
- Judul, dengan bobot penilaian sebanyak: 10%
- Pembukaan (konsiderans Menimbang dan Dasar Hukum), dengan bobot
penilaian sebanyak: 20%
- Batang tubuh, dengan bobot penilaian sebanyak: 50%

17
- Penjelasan, dengan bobot penilaian sebanyak: 20%.

2. Variabel dan Indikator Penilaian Kejelasan Rumusan


NO VARIABEL INDIKATOR
1 Kesesuaian dengan Judul
sistematika dan teknik Mencerminkan isi PUU
penyusunan PUU Tidak mengandung singkatan atau akronim
Ketentuan umum
Berisi batasan pengertian atau definisi
Berisi hal-hal lain yang bersifat umum yang
berlaku bagi Pasal atau beberapa Pasal
berikutnya
Ditulis dengan sistematika umum-khusus
Materi pokok yang diatur
Ditulis dengan sistematika umum-khusus
Apakah perumusan sanksi administrasi dan
sanksi keperdataan sudah sesuai dengan
petunjuk
Ketentuan Pidana (jika ada)
Mencantumkan unsur-unsur pidana secara
jelas
Tidak merujuk kembali ketentuan di PUU
lain
Diatur setelah pengaturan materi pokok
Mencantumkan tegas kualifikasi pidana
(kumulatif, alternatif, atau kumulatif
alternatif)
Ketentuan Peralihan (jika ada)
Lihat petunjuk Nomor 127 s.d 135 Lampiran
II UU 12/2011
Ketentuan Penutup
Lihat petunjuk Nomor 136 s.d 159 Lampiran
II UU 12/2011
2 Penggunaan bahasa, Konsisten antar ketentuan
istilah, kata Tidak menimbulkan ambiguitas/multitafsir
Tepat
Tegas
Jelas
Efisien
Mudah dipahami
Tidak subjektif

18
3. Variabel dan Indikator Penilaian Kesesuaian Norma (dengan asas
materiil)
NO VARIABEL INDIKATOR
1 Pengayoman Adanya ketentuan yang menjamin perlindungan
masyarakat/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
menyebabkan tidak terjaminnya perlindungan
masyarakat
Adanya ketentuan yang menjamin keberlanjutan
generasi kini dan generasi yang akan datang/tidak
ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan
tidak terjaminnya keberlanjutan generasi kini dan yang
akan datang
Adanya ketentuan yang menjamin ketertiban
umum/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
mengakibatkan rusaknya ketertiban umum
2 Kemanusiaan Adanya ketentuan yang menjamin Perlindungan
HAM/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
menghambat perlindungan HAM
Adanya ketentuan yang menjamin Pemajuan
HAM/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
menghambat pemajuan HAM
Adanya ketentuan yang menjamin Penegakan
HAM/tidak ditemukannya ketentuan yang
menghambat penegakan HAM
Adanya ketentuan yang menjamin Pemenuhan
HAM/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
menghambat pemenuhan HAM
Adanya ketentuan yang menjamin Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul/tidak ditemukannya
ketentuan yang melarang kemerdekaan berserikat
berkumpul
3 Kebangsaan Adanya ketentuan yang mengatur tentang pembatasan
keikutsertaan pihak asing /tidak ditemukannya
ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terbatasnya
keikutsertaan pihak asing
Adanya ketentuan yang dapat mendorong peningkatan
kemandirian bangsa/tidak ditemukannya ketentuan
yang dapat menghambat kemandirian bangsa
Adanya ketentuan yang dapat mendorong peningkatan
kesejahteraan bangsa/tidak ditemukannya ketentuan
yang menghambat peningkatan kesejahteraan bangsa
Adanya ketentuan yang menjamin pengutamaan

19
NO VARIABEL INDIKATOR
kepemilikan dan peranan nasional/tidak ditemukannya
ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terjaminnya
pengutamaan kepemilikan dan peranan nasional

4 Kekeluargaan Adanya ketentuan yang menjamin pelaksanaan


musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
pengambilan keputusan/tidak ditemukannya
ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya
pelaksanaan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam pengambilan keputusan
Adanya ketentuan yang menjamin pelibatan seluruh
pihak terdampak dalam pembentukan kebijakan/tidak
ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak
terjaminnya pelibatan seluruh pihak terdampak dalam
pembentukan kebijakan
Adanya ketentuan yang menjamin akses informasi
publik dalam proses pengambilan keputusan/tidak
ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak
terjaminnya akses informasi publik dalam proses
pengambilan keputusan
Adanya ketentuan yang menjamin pemberian peluang
kepada masyarakat dalam memberikan pendapat
terhadap pengambilan keputusan/tidak ditemukannya
ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya
pemberian peluang kepada masyarakat dalam
memberikan pendapat terhadap pengambilan
keputusan
Adanya ketentuan yang menjamin masyarakat
memberikan penilaian proses politik dan
pemerintahan/tidak ditemukannya ketentuan yang
menyebabkan tidak terjaminnya masyarakat
memberikan penilaian proses politik dan pemerintahan
Adanya ketentuan yang menjamin sistem kerja yang
kooperatif dan kolaboratif/tidak ditemukannya
ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya
sistem kerja yang kooperatif dan kolaboratif

5 Kenusantaraan Adanya ketentuan yang mengedepankan kepentingan


nasional/tidak ditemukannya ketentuan yang
mengesampingkan kepentingan nasional
Adanya ketentuan yang mengedepankan kepemilikan
dan keikutsertaan nasional/tidak ditemukannya

20
NO VARIABEL INDIKATOR
ketentuan yang mengesampingkan kepemilikan dan
keikutsertaan nasional
Adanya ketentuan yang jelas mengenai pembagian
kewenangan antar sektor secara proporsional
Adanya ketentuan yang jelas mengenai pembagian
kewenangan pusat dan daerah
Adanya ketentuan yang menjamin kepentingan seluruh
wilayah Indonesia/tidak ada ketentuan yang
mengandung resiko yang membahayakan bagi
Kepentingan seluruh wilayah Indonesia
6 Bhineka Memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku
Tunggal Ika dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya
nasional/tidak ditemukannya ketentuan yang
mengabaikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya nasional
Adanya ketentuan yang menjamin pengakuan dan
perlindungan nilai-nilai budaya lokal (kearifan
lokal)/tidak ditemukannya ketentuan yang berpotensi
mengabaikan pengakuan dan perlindungan nilai-nilai
budaya lokal (kearifan lokal)
Adanya ketentuan yang menjamin keterlibatan
masyarakat hukum adat
7 Keadilan Adanya ketentuan yang mengatur peluang yang sama
bagi setiap warga negara untuk mendapatkan akses
pemanfaatan sumber daya/tidak ditemukannya
ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya
peluang yang sama bagi setiap warga negara untuk
mendapatkan akses pemanfaatan sumber daya
Adanya ketentuan yang menjamin penggantian
kerugian kepada masyarakat terkena dampak negatif
Adanya ketentuan yang menjamin keterlibatan
masyarakat marjinal/tidak ditemukannya ketentuan
yang menyebabkan tidak terjaminnya keterlibatan
masyarakat marjinal

Adanya ketentuan yang berpihak pada masyarakat


daerah terpencil/tidak ditemukannya kebijakan yang
menyebabkan tidak terjaminnya kepentingan
masyarakat daerah terpencil
Adanya ketentuan mengenai afirmatif action sebagai
ikhtiar mengatasi kesenjangan sosial
Adanya ketentuan yang jelas terkait dengan nilai-nilai

21
NO VARIABEL INDIKATOR
keadilan/tidak ditemukan ketentuan yang
bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
8 Kesamaan Adanya ketentuan pengakuan pada hak kelompok
Kedudukan minoritas/tidak ditemukan ketentuan yang
Dalam Hukum menghambat hak kelompok minoritas
dan Adanya ketentuan yang menjamin non diskriminasi,
Pemerintahan baik secara eksplisit, maupun implisit
(dampak/efek)/tidak ditemukannya ketentuan yang
diskriminatif, baik secara eksplisit, maupun implisit
(dampak/efek)
Adanya ketentuan yang menjamin keterlibatan
perempuan/tidak ditemukannya ketentuan yang
menghambat keterlibatan perempuan
9 Ketertiban dan Adanya ketentuan yang jelas mengenai koordinasi
Kepastian Adanya ketentuan yang jelas mengenai penyelesaian
Hukum konflik
Adanya ketentuan yang jelas mengenai sanksi
terhadap pelanggaran
Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang
melakukan pengawasan dan penegakan hukum
Adanya ketentuan yang jelas mengenai tindakan yang
harus diambil atas peraturan-peraturan yang
bertentangan atau tumpang tindih.
Adanya ketentuan yang menjamin transparansi
(keterbukaan)/tidak ditemukannya ketentuan yang
menyebabkan tidak terjaminnya tranparansi
(keterbukaan)
Adanya ketentuan yang menjamin akuntabilitas
pengelolaan/tidak ditemukan ketentuan yang dapat
menyebabkan tidak terjaminnya akuntabilitas
pengelolaan
Adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas
dan efisien/tidak ditemukannya ketentuan mengenai
prosedur yang jelas dan efisien
10 Keseimbanga, Adanya ketentuan yang mengedepankan fungsi
Keserasian, kepentingan umum/tidak ditemukannya ketentuan
Dan yang menyebabkan terabaikannya fungsi kepentingan
Keselarasan umum
Adanya ketentuan yang mengedepankan prinsip
kehati-hatian/tidak ditemukannya ketentuan yang
menyebabkan terabaikannya prinsip kehati-hatian
Adanya ketentuan yang memberikan pembatasan pada

22
NO VARIABEL INDIKATOR
kepemilikan individu dan korporasi/tidak
ditemukannya ketentuan yang membatasi kepemilikan
individu dan korporasi.
Adanya ketentuan yang memberikan pembatasan pada
kepentingan individu dan korporasi/tidak
ditemukannya ketentuan yang membatasi kepentingan
individu dan korporasi.

4. Variabel dan Indikator Penilaian Potensi Disharmoni Pengaturan


NO VARIABEL INDIKATOR
1 Kewenangan Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
memberikan kewenangan yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan
kewenangan yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewenangan yang sama
pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
memberikan kewenangan yang berbeda
Ada Pengaturan mengenai kewenangan yang tidak
konsisten/saling bertentangan antar Pasal (dalam PUU
yang sama)
2 Hak Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
memberikan hak yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
memberikan hak yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hak yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
memberikan hak tersebut pada subyek yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hak yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan hak
tersebut pada subyek yang berbeda
Ada pengaturan mengenai hak yang tidak
konsisten/saling bertentangan antar Pasal (dalam PUU
yang sama)
3 Kewajiban Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua)

23
NO VARIABEL INDIKATOR
atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi memberikan
kewajiban yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua)
atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan kewajiban
yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewajiban yang sama pada
2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
membebankan kewajiban tersebut pada subyek yang
berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewajiban yang sama pada
2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi membebankan
kewajiban tersebut pada subyek yang berbeda
Ada Pengaturan mengenai kewajiban yang tidak
konsisten/saling bertentangan antar Pasal (dalam PUU
yang sama)
4 Perlindungan Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
memberikan perlindungan yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan
perlindungan yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai perlindungan yang sama
pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
memberikan perlindungan tersebut pada subyek yang
berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewajiban yang sama pada
2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan
perlindungan tersebut pada subyek yang berbeda
Ada pengaturan mengenai perlindungan yang tidak
konsisten/saling bertentangan antar Pasal (dalam PUU
yang sama)
5 Penegakan Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2
Hukum (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
memiliki hukum acara yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memiliki hukum
acara yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewajiban yang sama pada
2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi
membebankan sanksi yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewajiban yang sama pada
2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi membebankan

24
NO VARIABEL INDIKATOR
sanksi yang berbeda
Ada pengaturan mengenai penegakan hukum yang tidak
konsisten/saling bertentangan antar Pasal (dalam PUU
yang sama)

5. Variabel dan Indikator Penilaian Efektivitas Pelaksanaan PUU


NO VARIABEL INDIKATOR
1. Aspek Operasional Pengaturan dalam PUU masih diberlakukan
atau Tidaknya PUU secara efektif
2. Aspek Rasio Beban dan Perhitungan manfaat harus lebih besar daripada
Manfaat (Cost and beban/biaya atau nilai rasio benefit terhadap
Benefit Ratio) cost harus di atas angka 1 (B/C > 1)
3. Aspek Relevansi Pengaturan dalam PUU masih relevan untuk
Dengan Situasi Saat Ini diberlakukan secara efisien
4. Aspek Kekosongan Dari segi peraturan pelaksananya
Pengaturan
5. Aspek Koordinasi Kelembagaan yang melaksanakan pengaturan
Kelembagaan/Tata dalam PUU jelas dan tidak tumpang tindih
Organisasi Pembagian kewenangan dan tugasnya jelas
6. Aspek Sumber Daya Tercukupinya SDM yang dibutuhkan dalam
Manusia menerapkan pengaturan dalam PUU
Terpenuhinya kepasitas, integritas dan kualitas
SDM yang dibutuhkan dalam menerapkan
pengaturan dalam PUU
Terpenuhinya kuantitas SDM yang dibutuhkan
dalam menerapkan pengaturan dalam PUU
7. Aspek Sarana Infrastruktur dan anggaran sudah tersedia
Prasarana dalam menerapkan pengaturan dalam PUU
8. Aspek Budaya Hukum Dari segi pemahaman masyarakat pada
Masyarakat pengaturan PUU
Dari segi kesadaran/kepatuhan masyarakat pada
pengaturan PUU
9. Aspek Akses Informasi Ketersediaan informasi dalam menerapkan
Masyarakat pengaturan PUU
Kemudahan akses informasi
10. Aspek Penegakan Ditinjau dari rumusan sanksi pidananya
Hukum Ditinjau dari aparat penegak hukumnya
11. Aspek Partisipasi Dari segi partisipasi aktif dari masyarakat
Masyarakat pemangku kepentingan
Dari segi terbukanya akses untuk partisipasi
masyarakat

25
NO VARIABEL INDIKATOR
Dari segi kemudahan prosedur akses partisipasi
masyarakat

12. Aspek Standar Ketersediaan SOP yang jelas, lengkap dan


Operasional Pelaksana benar-benar diterapkan
13. Aspek Teknologi
Penunjang Pelayanan
14. Aspek Pelayanan dan Penentuan Standar Pelayanan Minumum (SPM)
Batasan Waktu
15. Aspek Public Complain
16. Aspek Pengawasan

26
BAB II
ANALISIS DAN EVALUASI BERDASARKAN
KETEPATAN JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Penilaian ketepatan jenis peraturan ditinjau dari berbagai sudut pandang,


yaitu dimulai dari namanya, politik hukumnya, dasar hukumnya, maupun dari
materi muatannya. Penamaan suatu peraturan perundang-undangan seharusnya
mencerminkan materi muatannya. Hal ini juga dijelaskan dalam Lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
petunjuk Nomor 3 disebutkan dalam petunjuk tersebut bahwa nama Peraturan
Perundang-Undangan (PUU) dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan
satu kata atau frasa, tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi
peraturan perundang-undangan.
Politik hukum suatu peraturan perundang-undangan dapat diketahui dari
konsiderans menimbang dan penjelasan umumnya, dari penjelasan tersebut
dapat diketahui arah kebijakan yang ingin dicapai dengan PUU dimaksud. Dengan
demikian dapat dianalisis apakah materi muatan yang tercantum dalam
ketentuan pasal sudah sejalan dengan arah yang ingin dicapai.
Analisis juga ditinjau dari dasar hukum yang mengamanatkan
dibentuknya suatu PUU. Pada dasarnya UU merupakan pelaksanaan dari amanat
atau penjabaran dari ketentuan pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, PERATURAN
PEMERINTAH pelaksanaan amanat atau menjalankan ketentuan pasal dalam UU,
Perpres pelaksanaan amanat atau penjabaran ketentuan pasal dari UU atau
PERATURAN PEMERINTAH dan/atau dalam rangka melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Sedangkan Peraturan Menteri
pelaksanaan amanat atau penjabaran ketentuan pasal dalam PERATURAN
PEMERINTAH atau perpres, Peraturan Menteri dapat pula mengatur lebih lanjut
atas dasar kewenangan pendelegasian dari UU, namun hanya sebatas peraturan
yang bersifat teknis administratif (petunjuk Nomor 211 Lampiran II UU Nomor 12
Tahun 2011). Pada bagian dasar hukum dalam suatu PUU, memuat dasar

27
kewenangan pembentukan PUU (dasar hukum formil) dan PUU yang secara
materiil dirujuk dalam membentuk PUU lebih lanjut (dasar hukum materiil).
Suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang
tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut yang berupa norma dasar (Grundnorm).
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka dapat dianalisis apakah
materi muatan dalam suatu PUU tersebut sesuai dengan tingkat hierarkinya.
Dengan demikian, materi muatan masing-masing hierarki dapat dibedakan,
perbedaan tersebut dilihat dari cara perumusan normanya pada masing-masing
jenis peraturan peraturan perundang-undangan. Norma dalam peraturan
perundang-undangan pada jenjang yang semakin ke atas, maka seharusnya
semakin abstrak, begitu juga sebaliknya. Norma dalam peraturan perundang-
undangan pada jenjang yang semakin ke bawah mudah dilaksanakan, begitu juga
sebaliknya.

Dari hasil analisis terhadap 47 (empat puluh tujuh) PUU, berdasarkan


ketepatan jenis peraturan perundang-undangan (PUU), ditemukan 3 (tiga) UU
yang dinilai tidak tepat jenis PUU nya dan beberapa catatan penting terhadap 2
(dua) PUU.
UU yang dinilai tidak tepat jenis PUU nya yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
Batang tubuh dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung ini berisikan perihal pengaturan mengenai fungsi, persyaratan,
penyelenggaraan, pembinaan, sanksi dan lain sebagainya yang dapat
dikatakan merupakan unsur-unsur yang bersifat teknis. Jika dibandingkan
dengan Peraturan pelaksana dari UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung yaitu PERATURAN PEMERINTAH Nomor 36 Tahun 2005
tentang Bangunan Gedung maupun Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan

28
Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan
Bangunan Gedung, isi batang tubuh dari ketiga Peraturan Perundang-
undangan tersebut berisikan unsur teknis yang tidak terlalu banyak
perbedaan. Dapat dikatakan materi muatan pada UU Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung ini lebih tepat jika dituangkan menjadi jenis PUU
dibawah UU. Seperti yang terdapat didalam Penjelasan umum Undang-
Undang tersebut yang menguraikan perihal bangunan gedung merupakan
salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu dalam pengaturan
bangunan tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang. Dari uraian
tersebut dapat menjadi dasar bahwa Undang-Undang dapat dijadikan
PERATURAN PEMERINTAH dengan merujuk pada Undang Undang Nomor 26
Tahun 2007 atau bisa juga dijadikan Peraturan Presiden maupun Peraturan
Menteri. Oleh karena itu Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung tidak tepat diuangkan dalam bentuk UU, karena tidak
dalam rangka mengatur lebih lanjut UUD 1945, sehingga direkomendasikan
untuk diatur dalam jenis PUU dibawahnya, dapat menjadi PERATURAN
PEMERINTAH (dengan merujuk UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang), Peraturan presiden maupun Peraturan Menteri yang bersifat lebih
teknis.

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;


UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak tepat
dituangkan dalam jenis UU, sebab tidak didasarkan pada Pasal tertentu
secara tegas dalam UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, mengingat
pentingnya masalah penanggulangan bencana merupakan masalah yang
penting dalam rangka melindungi warga negaranya maka persoalan
penanggulangan bencana dapat dituangkan dalam jenis peraturan
perundang-undangan yang tepat yaitu dalam bentuk Peraturan Presiden.

29
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial;
Sebagian besar ketentuan pasal merupakan aturan teknis pemetaan. Hanya
sebagian kecil yang mengatur masalah pembatasan hak dan kewajiban warga
Negara secara umum yang merupakan materi muatan UU, yaitu Pasal 23
Ayat (4), Pasal 50, Pasal 52, Pasal 55 dan Pasal 56 . Dapat dikatakan bahwa
sebagian besar materi muatan UU ini berisi pedoman dalam pemetaan, yang
merupakan materi muatan PUU di bawah UU.
UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial tidak tepat
dituangkan dalam jenis UU. Namun demikian, mengingat pentingnya masalah
IG bagi perencanaan pembangunan bidang eknomi, social, budaya dan
ketahanan nasional yang berhubungan dengan ruang kebumian, maka IG
dapat dituangkan dalam jenis PERATURAN PEMERINTAH (jika dapat dianggap
sebagai pelaksanaan dari UU 14/2008 tentang KIP) atau Perpres (jika lebih
menekankan pada penataan kelembagaan penyelenggara IG, dan bukan
dalam rangka melaksanan UU di atasnya).

Selain ketidaktepatan jenis PUU tiga UU di atas, ada pula catatan terhadap 2
(dua) PUU lain, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah


Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Materi pengaturan yang terkait penataan ruang pesisir dan pulau-
pulau kecil hendaknya diatur secara integral ke dalam UU Nomor 26 Tahun
2007 tentang penataan ruang, karena pada hakekatnya ruang pesisir dan
pulau-pulau kecil adalah juga daratan, karena di bawahnya masih terdapat
dasar/ tanah yang dapat diukur. Sehingga, materi pengaturan UU Nomor 27
Tahun 2007 hanya terbatas yang berkenaan dengan pengeloalaan WP3K,
dengan memperhatikan penataan ruangnya. Jika ruang wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dikecualikan dari UU Nomor 26 Tahun 2007 akan

30
berpotensi terjadi konflik kewenangan antara Kementerian ATR/BPN dan
Kementerian KKP.
Ditinjau dari politik hukum (arah pengaturan) dari UU ini, seperti yang
diuraikan pada Penjelasan Umum UU Nomor 27 Tahun 2007, bahwa UU ini
ingin mengatur pemanfaatan atau pengelolaan WP3K yang tidak hanya
berorientasi pada eksploitasi, akan tetapi juga memperhatikan kelestarian
sumber daya, kesadaran nilai strategi WP3K secara berkelanjutan, terpadu
dan berbasis pemberdayaan masyarakat lokal, terintegrasi dengan
pembangunan daerah. Disebutkann pula bahwa Norma-norma Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan pada
norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-
undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang
telah diundangkan. Sedangkan UU 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU 27
Tahun 2007, merupakan penyempurnaan dari makna penguasaan Negara
terhadap sumber daya WP3K yang semula diatur dengan HP-3 menjadi Ijin.
Oleh karenanya, seharusnya UU PWP3K tidak mengatur masalah
perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang menjadi ranah UU
Nomor 26 Tahun 2007, melainkan hanya mengatur masalah pengelolaan yang
harus memperhatikan kelestarian ekosistem, nilai strategis, berkelanjutan,
terpadu dan berbasis masyarakat lokal. Oleh karenanya, UU ini sebaiknya
diubah dengan hanya memfokuskan diri pada pengelolaan, tanpa mengatur
perencanaan dan pengendalian penafaatan ruang nya.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan


Tanah.

Peraturan Pemerintah ini melaksanaan Pasal 16 UU Nomor 24 Tahun


2004 tentang Penataan Ruang, yang berbunyi:
“Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna
air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya

31
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) butir a, diatur dengan
Peraturan Pemerintah”.
UU ini sudah dicabut dan diganti dengan UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Pasal 33 pada UU No, 26 Tahun 2007 diamanatkan
agar Penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Kemudian Pasal 78 (Ketentuan Penutup) memerintahkan agar
Peraturn Pemerintah yang diamanatkan UU ini diselesaikan paling lambat 2
tahun sejak diundangkan, yaitu pada tahun 2006. Namun Peraturan
Pemerintah tentang Penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan
udara dan penatagunaan sumber daya alam lainnya hingga saat ini belum
dibentuk.
Mengacu pada Pasal 76 (Ketentuan Peralihan), walaupun isi dari
Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2004 mengacu pada UU yang sudah
dicabut (UU No 24 tahun 1992), namun sebenarnya masih relevan untuk
diberlakukan dan tidak bertentangan dengan UU No 26 Tahun 2007. Oleh
karena itu Peraturan Pemerintah ini masih layak diberlakukan sampai ada
perubahannya yang didasarkan pada UU No 26 Tahun 2007.

32
BAB III
ANALISIS DAN EVALUASI BERDASARKAN
KEJELASAN RUMUSAN

Penilaian kejelasan rumusan ini akan menilai apakah peraturan perundang-


undangan harus disusun sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan, dengan memperhatikan sistematika, pilihan kata atau istilah, teknik
penulisan, dengan menggunakan bahasa peraturan perundang-undangan yang
lugas dan pasti, hemat kata, objektif dan menekan rasa subjektif, membakukan
makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten, memberikan
definisi atau batasan artian secara cermat. Sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Variabel dan indikator yang digunakan dalam melakukan penilaian kejelasan
rumusan yaitu:
1. Variabel kesesuaian dengan sistematika dan teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan dengan menggunakan indikator:
- Judul: mencerminkan isi PUU; tidak mengandung singkatan atau akronim
- Ketentuan Umum : berisi batasan pengertian atau definisi; berisi hal-hal
lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal
berikutnya, ditulis dengan sistematika umum-khusus
- Materi pokok yang diatur : ditulis dengan sistematika umum-khusus;
apakah perumusan sanksi administrasi dan sanksi keperdataan sudah
sesuai dengan petunjuk
- Ketentuan pidana: mencantumkan unsur-unsur pidana secara jelas; tidak
merujuk kembali ketentuan di PUU lain; diatur setelah pengaturan materi
pokok; mencantumkan tegas kualifikasi pidana (kumulatif, alternatif, atau
kumulatif alternatif); ketentuan peralihan (jika ada): lihat petunjuk no.127
s/d 135 Lampiran II UU No.12 tahun 2011
- Ketentuan penutup: lihat petunjuk No.136 s/d 159 Lampiran II UU No.12
tahun 2011.

33
2. Variabel penggunaan bahasa, istilah dan kata dengan menggunakan
indikator:
- Konsisten antar ketentuan
- Tidak menimbulkan ambiguitas/multitafsir
- Tepat
- Tegas
- Jelas
- Efisien
- Mudah dipahami
- Tidak subjektif

Ada beberapa catatan penting dari hasil analisis berdasarkan kejelasan


rumusan yang perlu diperhatikan secara umum pada setiap PUU, yaitu:
1. Mengenai penuangan asas dalam norma.
Bahwa norma merupakan ‘pancaran’ dari asas (asas adalah nilai yang
‘menjiwai’ norma). Oleh karenanya, asas itu sendiri pada prinsipnya tidak
tertulis dalam norma, jika dinormakan, harus ada maksud tertentu dari
pengaturan tersebut, misalnya, untuk mengatur
pengecualian/penyimpangan dari asas atau untuk memunculkan suatu asas
atau beberapa asas tertentu (khusus), di luar asas-asas materiil umum
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011
(Bagir Manan, “Asas-Asas Hukum dan Non Hukum yang Diperlukan Dalam
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-
Undangan”, Pada Acara Capacity Building Penyusunan Naskah Akademik, Di
Jakarta, 9 Desember 2009). Asas yang dinormakan ini, sebagaimana
petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 seharusnya
termuat dalam bagian Ketentuan Umum, tanpa dituangkan dalam pasal atau
bab tertentu.

34
2. Mengenai penuangan maksud dan/atau tujuan dalam norma.
Pada prinsipnya ‘maksud dan/atau tujuan‘ tidak tertulis dalam norma
ketentuan, karena maksud, tujuan dan arah pengaturan, sudah tertuang
dalam konsiderans menimbang dan/atau penjelasan umumnya, secara rinci
lagi tertuang dalam Naskah Akademiknya.
3. Mengenai pengertian norma.
Perlu diingat apa sebenarnya yang dimaksud dengan norma. Pada prinsipnya
norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam
hubungannya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya atau dapat
juga diartikan sebagai ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak
atau bertingkah laku dalam masyarakat (Suharyono, Makalah Bahasan
Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta, 2010). Adapun norma terdiri dari
dua kategori, yaitu norma tingkah laku dan meta norma. Norma tingkah
laku berisi tentang perintah (gebod), larangan (verbod), pembebasan
(vrijsteling/dispensasi) dan izin (toesteming). Norma tingkah laku ini
membutuhkan operator norma untuk dapat dilaksanakan. Operator norma
berupa kata kerja seperti kata ‘wajib’, ‘harus’, ‘dapat’, ‘bebas’, ‘dilarang’.
Dengan operator norma, maka norma tingkah laku memiliki akibat hukum
berupa sanksi. Sedangkan meta norma dapat berisi tentang pengakuan,
perubahan, kewenangan, definisi (yang tertuang dalam pasal 1 ketentuan
umum) dan penilaian. Sehingga dapat dipahami bahwa asas dan tujuan
secara an sich tidak tepat dituangkan dalam norma, kecuali ada masksud
tertentu, atau ada hal khusus mengenai asas.
Dari 47 daftar PUU terkait penataan ruang terpadu yang telah dilakukan
analisis dan evaluasi masih terdapat ketidaksesuaian dengan sistematika dan
teknik penyusunan PUU terkait penempatan asas, maksud dan tujuan yang
diatur dalam pasal tersendiri yang seharusnya masuk dalam ketentuan umum,
diantaranya yaitu:

35
1. UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam HAyati
dan Ekosistemnya;
2. UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
3. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah
dengan UU No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Pemerintah
Pengganti UU No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang;
4. UU No 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
5. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
6. UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
7. UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
8. UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
9. UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan;
10. UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman;
11. UU No 4 Tahun 2011 tentang Informai Geospasial;
12. UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;
13. UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan UU No 1 Tahun
2014;
14. UU No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian;
15. UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan;
16. Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap
Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri;
17. Peraturan Pemerintah No 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota;
18. Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah;
19. Peraturaan Pemerintah No 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol;

36
20. Peraturan Pemerintah No 39 tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan;
21. Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata
Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang;
22. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut UU
Informasi Geospasial
23. Peraturan Pemerintah No 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri;
24. Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianju;
25. Perpres No 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan;
26. Perpres No 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar;
27. Perpres No 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Batam;
28. Perpres No 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Danau Toba dan Sekitarnya;
29. Perpres No 31 Tahun 2015 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan;
30. Perpres No 179 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur;
31. Perpres No 32 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Papua;
32. Perpres No 33 tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Maluku;
33. Perpres No 34 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua
Barat;

37
34. Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah No 13 Tahun 2017.

Dari 47 (empat puluh tujuh) PUU yang telah dilakukan penilaian pada
variabel penggunaan bahasa, istilah, kata masih terdapat adanya ketidak
konsistenan antar ketentuan, ambigu atau multitafsir, tidak tepat dan tidak
tegas. PUU dimaksud antara lain adalah:
1. UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;
2. UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
3. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
4. UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
5. UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman;
6. UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial;
7. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No 3 Tahun 2008;
8. Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang;
9. Perpres No 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar;
10. Perpres No 31 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Kalimantan;
11. Perpres No 179 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur;
12. Perpres No 32 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Papua;
13. Perpres No 33 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Maluku;

38
14. Perpres No 34 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat

Pada variabel penegakan hukum, ditemukan beberapa PUU yang memiliki


pengaturan terkait penegakan hukum yaitu:
1. Pada UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pada Pasal 44 dan
45, 46 dan 47, dimana pengaturan mengenai sanksi administrasi dan
sanksi pidana disarankan untuk dipisahkan dan tidak di dalam satu bab
yang sama yang berisikan sanksi keperdataan dan sanksi pidana;
2. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah
dengan UU No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti
UU No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang. Pada Pasal 80 terkait
sanksi, dimana sanksi administrasi seharusnya diatur secara terintegrasi
dengan Pasal yang dikenai sanksi;
3. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam Pasal 75-
79 dikaitkan dengan Pasal 150 Ayat (1), (2) dan (3) mengenai sanksi
administratif, dimana seharusnya sanksi administratif dalam Pasal 150
disusun menjadi bagian dalam masing-masing pasal yang dengan norma
yang memberikan sanksi adminitratif;
4. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
- Pada Pasal 57 tidak menjelaskan jenis sanksi secara detail apakah
sanksi tersebut merupakan sanksi administratif, sanksi pidana atau
sanksi perdata, sementara dalam Pasal 57 hanya disebutkan sanksi
sesuai dengan ketentuan PUU dan di penjelasan pasalnya dikatakan
cukup jelas.
- Kemudian di Pasal 61, 62, 63 dan 64 yang mengatur persoalan sanksi,
apabila norma yang memberikan sanksi administrasi atau keprdataan
lebih dari satu pasal, maka sanksi administrasi atau sanksi

39
keperdataan tersebut dirumuskan dalam satu pasal terakhir dari
bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan
ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi
perdata dansanksi adminitrstif dalam satu bab. Oleh karena itu Pasal
64, 62 dan 64 seharusnya disusun dalam satu pasal.
- Bab IX Ketentuan Pidana Pasal 69, 70, 71, 72, 73, 74 dan Pasal 75.
Terkait adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan
tindak pidana pelanggaran dalam KUHP, maka rumusan ketentuan
pidana harus dinyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang
diancam pidana, apakah itu kejahatan atau pelanggaran;
5. UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Terdapat ketidak konsistenan antara Pasal 101, 102 dan 108 terkait
penerapan sanksi pidana.
- Pasal 101 mengatur sanksi bagi setiap orang yang melepaskan
dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan atau izin lingkungan, dipidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000 dan paling banyak Rp3.000.000.000;
- Pasal 102 mengatur sanksi bagi setiap orang yang melakukan
pengelolaan limbah B3 tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000;
- Pasal 108 mengatur sanksi bagi setiap orang yang melakukan
pembakaran lahan seluas maksimum 2 hektar dipidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

40
denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp
10.000.000.000.
Tindak pidana dari ketiga Pasal tersebut sama beratnya, terutama
dampak yang ditimbulkan dari perbuatan pidananya, tapi sanksi yang
diberikan tidak sama. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam pelaksanaannya.
6. Terdapat beberapa PUU dimana sanksi administrasi tidak diletakkan pada
bagian dari Pasal yang dikenai sanksi. PUU tersebut antara lain:
- Pasal 70 UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan;
- Pasal 150 Ayat (1), (2) dan (3) UU No 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Pemukiman;

41
BAB IV
ANALISIS EVALUASI BERDASARKAN
KESESUAIAN NORMA DENGAN ASAS MATERIIL

Penilaian kesesuaian norma dimaksudkan untuk memastikan bahwa


ketentuan yang diatur sudah sesuai dengan asas materiil umum peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2011 dan asas materiil khusus (Pasal 6 Ayat (2)) yang harus
menjiwai ketentuan peraturan perundang-undangan. Asas materiil umum
peraturan perundang undangan yang disebutkan dalam Pasal 6 UU Nomor
12 Tahun 2011, yaitu:
1) Asas Pengayoman
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan untuk ketentraman masyarakat.
2) Asas Kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
3) Asas Kebangsaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4) Asas Kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
5) Asas Kenusantaraan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi
muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
6) Asas Bhineka Tunggal Ika
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus

42
daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
7) Asas Keadilan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
8) Asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh
memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
9) Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian
hukum.
10) Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Sedangkan asas materiil khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat
(2) UU No 12 Tahun 2011 adalah asas lain sesuai dengan bidang hukum PUU
yang bersangkutan, antara lain:
a. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah;
b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara
lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Kesepuluh asas materiil umum dan asas materiil khusus dari suatu PUU
menjadi variabel penilaian terhadap ketentuan pasal yang ada dalam masing-
masing PUU terkait dengan masalah Penataan Ruang. Dari variabel tersebut
diturunkan lagi menjadi beberapa indikator penilaian. Dari 47 PUU terkait
Penataan Ruang yang dianalisis, 19 PUU di antaranya masih terdapat ketentuan
pasal yang tidak sesuai dengan asas materiil. Berikut data hasil penilaian PUU
terkait masalah Penataan Ruang, yang ditinjau dari dimensi kesesuaian norma
dengan asas materiil:
1. UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam HAyati dan
Ekosistemnya.
Terdapat ketidak sesuaian dengan variabel kemanusiaan dalam indikator
jaminan terhadap keikutsertaan masyarakat lokal yaitu Pasal 37;

43
2. UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Terdapat ketidak sesuaian dengan variabel ketertiban dan kepastian
hukum dengan indikator ketentuan yang jelas mengenai akuntabilitas
pengelolaan yaitu Pasal 39;
3. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah
dengan UU No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti
UU No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
Terdapat ketidaksesuaian dengan variabel kebangsaan dalam indikator
tidak ditemukannya ketentuan yang membatasi keikutsertaan pihak asing
yaitu Pasal 54;
4. UU No 38 Tahun 2004 tentang Jalan
- Pasal 14 tidak sesuai dengan variabel kenusantaraan dengan indikator
pembagian kewenangan pusat dan daerah;
- Pasal 51 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dengan indikator
transparansi/keterbukaan;
- Pasal 59 tidak sesuai dengan variabel keadilan dengan indikator
adanya penggantian kerugian pada masyarakat daerah terpencil;
- Pasal 61 tidak sesuai dengan variabel keadilan dengan indikator
adanya penggantian kerugian kepada masyarakat yang terkena
dampak negatif;
5. UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 10 Ayat (4) tidak sesuai dengan variabel kenusantaraan dengan
indikator pembagian kewenangan antara pusat dan daerah;
6. UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Pasal 14 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator aturan dan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah;
7. UU No 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
- Pasal 5 tidak sesuai dengan variabel pengayoman dan keseimbangan
dengan indikator tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
menyebabkan tidak terjaminnya perlindungan masyarakat;
- Pasal 8 tidak sesuai dengan variabel kekeluargaan dengan indikator
adanya ketentuan yang menjamin pelibatan seluruh pihak terdampak
dalam pembentukan kebijakan;
- Pasal 10 dan Pasal 11 tidak sesuai dengan variabel pengayoman
dengan indikator tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
menyebabkan tidak terjaminnya perlindungan masyarakat dan

44
variabel keseimbangan, keserasian dan keselarasan dengan indikator
tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya
prinsip kehati-hatian;
8. UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
- Pasal 42 Ayat (2) tidak sesuai dengan ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator akuntabilitas pengelolaan;
- Pasal 60, Pasal 66 Ayat (4), (5) dan (6), Pasal 109 Ayat (1) tidak sesuai
dengan asas kenusantaraan dengan indikator pembagian kewenangan
pusat dan daerah;
- Pasal 137, Pasal 139 dan Pasal 140 tidak sesuai dengan variabel
ketertiban dan kepastian hukum dengan indikator kejelasan sanksi
terhadap pelanggaran;
- Pasal 146 Ayat (2) tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan
kepastian hukum dengan indikator pengelolaan;
9. UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
Pasal 54 tidak sesuai dengan variabel kebangsaan dan kenusantaraan
dengan indikator tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
menyebabkan tidak terbatasnya keikutsertaan pihak asing dan tidak
ditemukannya ketentuan yang mengesampingkan kepentingan nasional;
10. UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
- Pasal 43 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator kejelasan mengenai pihak yang melakukan
pengawasan dan penegakan hukum;
- Pasal 16 Ayat (2) tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan
kepastian hukum dengan indikator ketentuan yang jelas mengenai
akuntabilitas pengelolaan;
11. UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil sebagaimana diubah dengan UU No 1 Tahun 2014
- Pasal 7 tidak sesuai dengan variabel keseimbangan, keserasian dan
keselarasan dengan indikator mengedepankan prinsip kehati-hatian;
- Pasal 48 tidak sesuai dengan variabel kebangsaan dengan indikator
tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terbatasnya keikutsertaan pihak asing;
12. UU No 3 Tahun 2004 tentang Perindustrian
- Pasal 22 tidak sesuai dengan variabel kebangsaan dengan indikator
pengutamaan kepemilikan dan peranan nasional;
- Pasal 23, Pasal 92 tidak sesuai dengan variabel kebangsaan dengan
indikator pembatasan keikutsertaan pihak asing;

45
- Pasal 24 tidak sesuai dengan ketertiban dan kepastian hukum dengan
indikator transparansi/keterbukaan;
- Pasal 26 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator kejelasan aturan mengenai koordinasi;
- Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 tidak sesuai dengan variabel
kebangsaan dengan indikator pembatasan keikutsertaan pihak asing;
- Pasal 32 tidak sesuai dengan variabel pengayoman dengan indikator
jaminan terhadap keberlanjutan generasi kini dan generasi yang akan
datang;
- Pasal 51 tidak sesuai dengan variabel keseimbangan, keserasian dan
keselarasan dengan indikator mengedepankan prinsip kehati-hatian;
- Pasal 91 tidak sesuai dengan vaiabel kebangsaan dengan indikator
peningkatan kemandirian bangsa;
13. UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 249-251 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian
hukum dengan variabel adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang
jelas dan efisien;
14. Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap bangun
dan lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri
- Pasal 15 tidak sesuai dengan varabel keadilan dengan indikator
memperlakukan semua orang secara seimbang tanpa diskriminasi;
- Pasal 18 Ayat (3), Pasal 23, Pasal 25, Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (5),
Pasal 33, Pasal 36 Ayat (2), Pasal 38 Ayat (2), Pasal 44 Ayat (2), Pasal
48 Ayat (1) dan Pasal 51 Ayat (5) tidak sesuai dengan variabel
ketertiban dan kepastian hukum dengan indikator aturan dan
kebijakan berdasarkan kajian ilmiah;
15. UU No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
Pasal 19 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator adanya ketentuan yang menjamin akuntabilitas
pengelolaan/tidak ditemukan ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terjaminnya akuntabilitas pengelola;
16. Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Pasal 11 tidak sesuai dengan variabel keseimbangan, keserasian dan
keselarasan dengan indikator mengedepankan kepentingan umum dan
mengedepankan prinsip kehati-hatian;
17. Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang

46
Pasal 10 Ayat (4) tidak sesuai dengan variabel kenusantaraan dengan
indikator pembagian kewenangan antara pusat dan daerah;
18. Peraturan Pemerintah No 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman
Pasal 15-16 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang
melakukan pengawasan dan penegakan hukum;
19. Peraturan Pemerintah No 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
- Pasal 41 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang
melakukan pengawasan dan penegakan hukum;
- Pasal 43 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator adanya ketentuan yang menjamin transparansi
(keterbukaan)/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan
tidak terjaminnya transparansi (keterbukaan);
- Pasal 44 dan 46 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian
hukum dengan indikator adanya ketentuan yang menjamin prosedur
yang jelas dan efisien/tidak ditemukannya ketentuan mengenai
prosedur yang jelas dan efisien;
- Pasal 51-52 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian
hukum dengan indikator adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak
yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum;

47
BAB V

ANALISIS DAN EVALUASI BERDASARKAN


POTENSI DISHARMONI ANTAR KETENTUAN

Sebelum membahas beberapa ketentuan pasal yang berpotensi


disharmoni, terlebih dahulu perlu dibahas konsep penataan ruang
sebagai mana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU 26 Tahun 2007
memiliki makna yang terpadu/integral, dengan makna pengelolaan ruang
yang dimaksud Pasal 6 Ayat (5). Disebutkan dalam pasal 6 tersebut bahwa
pengelolaannya dilakukan dengan mengacu pada undang-undang
tersendiri. Hal ini perlu dilakukan persamaan persePasali mengenai
makna terminologi “pengelolaan” dalam Pasal 6 Ayat (5) itu sendiri, yang
menyebutkan bahwa “Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur
dengan undang-undang tersendiri”.
Pengelolaan dapat diterjemahkan dalam beberapa sudut pandang, yaitu:
- Pengelolaan diterjemahkan sebagai suatu proses manajemen (POAC)
sehingga harus dilakukan perencanaan tersendiri diluar penataan
ruang wilayah, atau
- Pengelolaan diterjemahkan sebagai proses kegiatan yang dilakukan
pasca perencanaan/penataan ruang wilayah karena ruang laut
dianggap sebagai satu kesatuan ruang dalam terminologi wilayah
bersama dengan darat dan udara, sehingga yang diatur hanya
pengelolaannya saja.
Pasal 1 angka1 secara tegas disebutkan apa yang dimaksud Ruang,
yaitu: “wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya”. Artinya bahwa penataan ruang seharusnya
merupakan satu kesatuan. Jika politik hukum menghendaki makna
keterpaduan penataan ruang baik darat, laut dan udara, maka idealnya

48
UU 26/2007 dan UU 27/2007 diintegrasikan. Oleh karenanya, hal-hal yang
terkait penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil hendaknya diatur
secara integral ke dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang, sehingga
materi pengaturan UU 27/2007 hanya berkenaan dengan pengeloalaan
WP3K, dengan memperhatikan penataan ruangnya.
Penilaian Potensi Disharmoni Pengaturan ini dilakukan dengan
pendekatan normatif, untuk mengetahui disharmoni pengaturan
mengenai: 1) kewenangan, 2) hak, 3) kewajiban, 4) perlindungan, dan
5) penegakan hukum. Dari hasil penilaian potensi disharmoni pengaturan
terhadap kewenangan, hak, kewajiban, perlindungan dan penegakan
hukum yang dilakukan terhadap 47 PUU terkait pentatan ruang,
ditemukan beberapa ketentuan pasal yang berpotnesi disharmoni.
Penilaian berdasarkan potensi disharmoni terhadap PUU yang terkait
dengan masalah penataan ruang, ditinjau antara pasal ketentuan dalam
satu PUU atau antar ketentuan pasal dari satu atau dua PUU, baik antara
PUU yang setingkat maupun yang bertingkat secara vertikal antara lain
yaitu:
- Pasal 54 dan Pasal 55 UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial;
- Pasal 7 Ayat (2), (3), (4), dan (5) UU Nomor UU Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wlayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014;
- Pasal 9, Pasal 1 huruf 34 UU Nomor 26 TAhun 2007 tentang
Penataan Ruang;
- Pasal 23 Ayat (6), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 26 Ayat (7), Pasal 27 Ayat (1)
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
- Pasal 14, 15, 17, 20. 27, 29 Peraaturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
2013 tentang Tingkat Ketelitian Peta;

49
- Pasal 26 Ayat (4) UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah
Provinsi DKI;
- Pasal 361 Ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang berpotensi
disharmoni dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 dan UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dalam variabel kewenangan.
- Pasal 54 dan Pasal 55 UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial berpotensi disharmoni dengan pasal 23 Ayat (4) pada
undang-undang yang sama dalam variabel masalah kewenangan.
- UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah di ubah dengan UU Nomor1
Tahun 2014, Pasal 7 Ayat (2), (3), (4), (5) berpotensi disharmoni
dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lampiran mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren
huruf Y Nomor1) dalam variabel masalah kewenangan.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 9 dan Pasal
1 huruf 34 berpotensi disharmoni dengan undang-undang yang sama,
Pasal 1 huruf 1 dalam variabel masalah kewenangan.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 23 Ayat (6),
Pasal 24 Ayat (1), Pasal 26 Ayat (7), Pasal 27 Ayat (1). Disebutkan
bahwa rencana tata ruang dan rencana rinci tata ruang wilayah
provinsi, kabupaten, kota ditetapkan dengan peraturan daerah
berpotensi disharmoni dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (sebagaimana telah
di ubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014) Pasal 9 dan Permen

50
Kelautan dan Perikanan Nomor 16/MEN/2008 tentang Pengelolaan
WP3K, Pasal 27 Ayat (1), dalam variabel masalah kewenangan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Tingkat Ketelitian
Peta (Pasal 14, 15, 17, 20, 27, 29) berpotensi disharmoni dengan
Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 16/MEN/2008 tentang
Perencanaan WP3K (Pasal 18 dan 19) dalam variabel Masalah
Perlindungan.
- UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI (Pasal 26
Ayat (4)) berpotensi disharmoni dengan UU Nomor 23 Tahun 2014
(Pasal 27 Ayat (2) huruf c) dalam variabel Masalah kewenangan.
- UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 361
Ayat (3) berpotensi disharmoni dengan UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang jo. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang dalam variabel Masalah
Kewenangan.
- Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pengaturan Jarak Bebas
SUTET berpotensi disharmoni dengan Permen ESDM Nomor 18 Tahun
2015 dalam variabel Masalah Kewenangan.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang berpotensi
disharmoni dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaran Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 2009 tentang BKPRN, dan Permendagri Nomor 50
Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang berpotensi
disharmoni dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, UU Nomor 22
Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 21 Tahun 2014
tentang Panas Bumi, UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan

51
Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan, dan UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang berpotensi
disharmoni dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam variabel kewenangan.

52
BAB VI
ANALISIS DAN EVALUASI BERDASARKAN
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai


tujuan yang hendak dicapai, dapat dilaksanakan, serta berdayaguna dan
berhasilguna sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a s/d huruf e UU No.12
tahun 2011.Penilaian terhadap efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-
undangan perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana manfaat dari suatu
peraturan perundang-undangan tersebut, apakah sesuai dengan yang diharpkan.
Efektivitas pelaksanaan PUU ini didukung dengan data empiris hasil pelaksanaan
diskusi publik di daerah dan FGD, narasumber, dan kelompok pakar serta hasil
temuan tim pokja.
Variabel yang digunakan dalam melakukan penilaian efektivitas peraturan
perundang-undangan meiputi:
- Operasional atau tidaknya suatu PUU;
- Rasio beban dan manfaat (cost and benefit ratio);
- Relevansi dengan situasi saat ini;
- Kekosongan pengaturan;
- Koordinasi kelembagaan/tata organisasi;
- Sumber daya manusia;
- Sarana dan prarsarana;
- Budaya hukum;
- Akses informasi masyarakat;
- Penegakan hukum;
- Partisipasi masyarakat;
- SOP;
- Teknologi penunjang pelayanan;
- Pelayanan dan batasan waktu;
- Public complain; dan
- Pengawasan

Hasil penilaian terhadap efektivitas implementasi peraturan perundang-


undangan terkait Penataan Ruang Terpadu dapat dilihat sebagai berikut:
1. UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Bab X Ketentuan
Pidana Pasal 64-Pasal68) tidak sesuai dengan variabel aspek penegakan
hukum dengan indikator ditinjau dari rumusan sanksi pidananya.

53
2. UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Pasal63 dan Pasal64) tidak
sesuai dengan variabel aspek penegakan hukum dengan indikator ditinjau
dari rumusan sanksi pidana.
3. UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Pasal14 Ayat (2),
Pasal 22 Ayat (1), Pasal25 Ayat (1), Pasal 28) tidak sesuai dengan variabel
aspek operasional atau tidaknya PUU dengan indikator pengaturan dalam
PUU masih belum dilaksanakan secara efektif.
4. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang tidak sesuai dengan variabel aspek kekosongan
hukum dengan indikator yang belum diatur.
5. UU Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Pasal, 18) ,
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Tingkat Ketelitian
Peta, Permen KP Nomor 16/MEN/2008 tentang Perencanaan WP3K tidak
sesuai dengan variabel aspek sarpras dengan indikator kurang
memadainya sarana dan prasarana.
6. Pasal 15 Ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016
tentang Perangkat Daerah tidak sesuai dengan variabel aspek tata
organisasi dengan indikator pembagian kewenangan dan tugasnya masih
belum tegas.
7. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria tidak sesuai
dengan variabel aspek kekosongan pengaturan dengan indikator dari segi
pengaturannya.
8. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria tidak sesuai
dengan variabel aspek kelembagaan dengan indikator segi
pengaturannya.
9. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 23, Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 2010 Pasal 18, Permen PUU Nomor 20 Tahun 2011 Pasal 3 tidak
sesuai dengan variabel aspek materi hukum dengan indikator tidak efektif
implementasinya.
10. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 29, Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 2010 Pasal 36, Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tidak sesuai
dengan variabel kelembagaan dan aparatur dengan indikator aspek
sarana dan prasarana.
11. UU 26 tahun 2007 Pasal 16, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
Pasal 88-89 tidak sesuai dengan variabel materi hukum dengan indikator
tidak adanya pengaturan (kekosongan hukum).
12. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 32 Ayat (1) tidak sesuai dengan variabel
materi hukum dengan indikator kekosongan hukum.

54
13. Pengaturan kepemilikan lahan (Perkep BPN Nomor 7 Tahun 2007) tidak
sesuai dengan variabel budaya hukum dengan indikator aspek kepastian
hukum masyarakat.
14. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 38 tidak sesuai dengan variabel materi
hukum dengan indikator belum ada pengaturannya (kekosongan hukum).
15. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 78 Huruf b dan c tidak sesuai dengan
pelayanan hukum dengan indikator pengawasan.
16. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah Pasal 12,
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 Pasal 15, tidak sesuai
dengan variabel kelembagaan dengan indikator tata organisasi.
17. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tidak sesuai dengan
variabel kelembagaan dengan indikator kewenangan.

55
BAB VII
PENUTUP

A. Simpulan
1. Dari hasil analisis berdasarkan ketepatan jenis PUU, terhadap 47 (empat
puluh tujuh) PUU, terdapat 3 (tiga) PUU yang tidak tepat jenis PUU nya,
dan beberapa catatan penting terhadap 2 (dua) PUU yang perlu
dievaluasi. PUU yang dimaksud adalah:
UU yang dinilai tidak tepat jenis PUU nya yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
3. Undang-Undang Nomor 24Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana;

Sedangkan PUU yang memiliki catatan penting yaitu:


1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014;
2. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.

2. Dari hasil analisis berdasarkan kejelasan rumusan, terdapat 47 (empat


puluh tujuh) PUU terkait Penataan Ruang yang dievaluasi, masih belum
memenuhi kejelasan rumusannya. Berikut data hasil penilaiannya:
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistem perlu diubah pada Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 27, Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3) serta perlu dicabut pada Pasal
2 karena tidak sesuai dengan variabel penulisan norma-norma dalam
UU ini sehingga perlu diubah dalam penulisannya.
2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertanahan Negara
perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 22 karena tidak sesuai
dengan variabel penggunaan bahasa, istilah ataupun katanya tidak
ada ketegasan dan kejelasan serta pada beberapa pasal dinilai kurang
konsisten.
3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 39, Pasal 44, Pasal
45, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 49 karena tidak sesuai dengan

56
variabel penulisan, ada beberapa pengaturan yang tidak perlu
dijadikan terpisah serta adanya hal-hal yang belum diatur di dalam UU
ini.
4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Penetapan PERATURAN PEMERINTAH Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
perlu diubah pada Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 serta
perlu dicabut pada Pasal 80, Pasal 83A dan Pasal 83B karena tidak
sesuai dengan variabel penulisan, masih diperlukan adanya revisi
penulisan norma pada UU ini.
5) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan perlu diubah
pada Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 karena tidak sesuai dengan variabel
penyusunan, perlu adanya revisi terkait penyusunan ruang lingkup
yang cukup dimasukkan kedalam ketentuan umum saja.
6) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana perlu diubah pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 60 ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) dan Pasal 75 - Pasal 79 karena tidak sesuai dengan
variabel penyusunan, sehingga diperlukan adanya revisi.
7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang perlu
diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (3), Pasal 10 ayat (7), Pasal
11 ayat (6), Pasal 57, Pasal 61 - Pasal 64, dan Pasal 69 – Pasal 75
karena tidak sesuai dengan variabel penyusunan, terkait dengan
sanksi masih terdapat sanksi-sanksi yang diatur secara terpisah serta
terdapat beberapa pasal yang masih inkonsistensi antarketentuan.
8) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 6 karena
tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan sehingga diperlukan
adanya revisi.
9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), (4), Pasal 46, Pasal 66, Pasal 69 ayat (1),
Pasal 98, Pasal 99, Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 108 karena tidak
sesuai dengan variabel Bahasa, istilah dan kata serta terdapat teknik
penulisan yang kurang tepat yang dapat memicu permasalahan dan
konflik baru.

57
10) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) perlu diubah pada Pasal 1, Pasal 8 dan Pasal 20 ayat (1)
karena tidak sesuai dengan variabel Bahasa, istilah dan kata,
diperlukan adanya ketegasan penggunaan variabel tersebut dalam UU
ini.
11) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 10 - Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 70 serta perlu dicabut
pada Pasal 8, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penulisan,
sehingga perlu adanya revisi pada penulisan tujuan dan ruang lingkup
serta tidak perlu adanya pemisahan pada pengaturan terkait sanksi.
12) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 60 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 64 ayat (4), Pasal 150
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Bab XVI Ketentuan Pidana Pasal 151 –
Pasal 163, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan
sehingga diperlukan adanya revisi.
13) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
perlu diubah pada Pasal Pasal 2, Pasal 3, Pasal 23 ayat (4), Pasal 24
ayat (2), Pasal 54 Pasal 55, Pasal 63, karena tidak sesuai dengan
variabel teknik penulisan.
14) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun tentang
Informasi Geospasial perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
97, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 117, dan Pasal 119, karena tidak sesuai
dengan variabel teknik penyusunan serta adanya kekosongan
pengaturan terhadap satu pasal yang merujuk pada PUU lain namun
belum adanya PUU tersebut.
15) Undang-Undang Nomor UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wlayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (telah dilakukan
pada tahun 2016) perlu diubah pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 71, dan
Pasal 72, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan,
pengaturan terkait sanksi penyusunannya direkomendasikann untuk
disatukan.
16) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian perlu
diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 107, karena tidak
sesuai dengan variabel teknik penyusunan.

58
17) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah perlu diubah pada Pasal 12 karena perlu adanya penyesuaian
dengan nomenklatur lembaga yang ada.
18) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan perlu
diubah pada Pasal 2, karena tidak sesuai dengan variabel teknik
penyusunan, terkait dengan maksud dan tujuan seharusnya masuk
dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal
atau bab.
19) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap
Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri perlu diubah
pada Pasal 2 Bab IX Ketentuan Lain, karena tidak sesuai dengan
variable teknik penyusunan.
20) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
perlu diubah pada Pasal 2, karena tidak sesuai dengan variabel teknik
penyusunan, terkait dengan tujuan penyelenggaraan hutan kota
dapat dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-
undang dan dalam naskah akademiknya.
21) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 9 ayat (1), karena
Asas tidak termasuk dalam kategori meta norma yang harus
dituangkan dalam ketentuan pasal atau bab tersendiri, namun dalam
ketentuan umum.
22) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol perlu
diubah pada Pasal 2, karena tidak sesuai dengan variabel teknik
penyusunan, terkait dengan maksud, tujuan dan penyelenggaraan
jalan tol dapat dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran
undang-undang dan dalam naskah akademiknya.
23) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung perlu diubah pada Pasal 2 dan Pasal 3, karena tidak sesuai
dengan variabel teknik penyusunan.
24) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan perlu
diubah pada Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4, karena tidak sesuai dengan
variabel teknik penyusunan.
25) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
sebagaimana telah diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH Nomor
3 Tahun 2008 perlu diubah pada Pasal 33 (Nama PERATURAN
PEMERINTAH), karena tidak sesuai dengan variabel penggunaan

59
Bahasa, istilah dan kalimat pada UU ini perlu adanya kejelasan dan
ketegasan.
26) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang perlu diubah pada Pasal 1, Pasal 2
dan Pasal 51, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan
dan penggunaan Bahasa.
27) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan
Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang perlu
diubah pada Pasal 4, karena tidak sesuai dengan variabel teknik
penyusunan.
28) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan
dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara perlu diubah pada
Pasal 2, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan.
29) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut
UU Informasi Geospasial perlu diubah pada Pasal 2, karena tidak
sesuai dengan variabel teknik penyusunan.
30) Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu diubah
pada Pasal 12 ayat (2), karena tidak sesuai dengan variabel Bahasa,
istilah dan kata pada UU ini direkomendasikan untuk lebih tegas, jelas
dan singkat.
31) Permenhut Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pembatasan Luasan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam,
IUPHHK Hutan Tanaman Industri, Atau IUPHHK Restorasi Ekosistem
Pada Hutan Produksi perlu diubah pada Pasal 2, karena tidak sesuai
dengan variabel teknik penyusunan.
32) Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan
Industri perlu diubah pada Pasal 2 ayat (2), karena tidak sesuai
dengan variabel teknik penyusunan.
33) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang
Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur
perlu diubah pada Pasal 2 dan Pasal 5, karena tidak sesuai dengan
variabel teknik penyusunan.
34) Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan
perlu diubah pada Pasal 2 dan Pasal 6, karena tidak sesuai dengan
variabel teknik penyusunan.

60
35) Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan
Takalar perlu diubah pada Pasal 6 dan Pasal 26, karena tidak sesuai
dengan variabel teknik penyusunan.
36) Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo
perlu diubah pada Pasal 3, karena tidak sesuai dengan variabel
penggunaan Bahasa/kata pada UU ini perlu adanya perubahan,
khususnya pada kata berperan sebaiknya diganti dengan kata harus
digunakan.
37) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun perlu diubah pada Pasal
3 dan Pasal 6, karena tidak sesuai dengan variabel penggunaan
Bahasa/kata pada UU ini perlu adanya perubahan, khususnya pada
kata berperan sebaiknya diganti dengan kata harus digunakan.
38) Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya perlu diubah pada Pasal 3
dan Pasal 21 ayat (7), karena tidak sesuai dengan variabel
penggunaan Bahasa/kata pada UU ini perlu adanya perubahan,
khususnya pada kata berperan sebaiknya diganti dengan kata harus
digunakan.
39) Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merap perlu diubah pada
Pasal 3, karena tidak sesuai dengan variabel penggunaan Bahasa/kata
pada UU ini perlu adanya perubahan, khususnya pada kata berperan
sebaiknya diganti dengan kata harus digunakan.
40) Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Danau Toba dan Sekitarnya perlu diubah pada Pasal 3 dan Pasal 6,
karena tidak sesuai dengan variabel penggunaan Bahasa/kata pada
UU ini perlu adanya perubahan, khususnya pada kata berperan
sebaiknya diganti dengan kata harus digunakan.
41) Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan perlu diubah pada
Pasal 2 , Pasal 3 , Pasal 17, Pasal 21, Pasal 45 ayat (3), Pasal 47 ayat
(3), Pasal 64, dan Pasal 83 ayat (3), karena tidak sesuai dengan
variabel teknik penyusunan dan penggunaan Bahasa, perlu adanya
perubahan di dalam penggunaan Bahasa ataupun singkatan pada UU
ini.
42) Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur

61
perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), Pasal 17, Pasal 21,
Pasal 46 ayat (3), Pasal 49 ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 52 ayat (3),
Pasal 81 , dan Pasal 89 ayat (3), karena tidak sesuai dengan variabel
teknik penyusunan, suatu Peraturan tidak memerlukan pasal
tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup dan perlu adanya
kejelasan terkait instrumen hukum yang digunakan.
43) Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Papua perlu diubah
Pasal 2 , Pasal 3 Pasal 17 ayat (7), Pasal 18 ayat (5), Pasal 22 ayat (5)
Pasal 33 ayat (7), Pasal 34 ayat (4), Pasal 35, Pasal 51 ayat (3), Pasal 52
ayat (3), Pasal 64 ayat (3), Pasal 77, Pasal 110 huruf c, dan Pasal 129,
karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan, suatu
Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang
ruang lingkup dan perlu adanya kejelasan terkait instrumen hukum
yang digunakan.
44) Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku perlu diubah
pada Pasal 2 , Pasal 3 , Pasal 9 ayat (1) , Pasal 17 ayat (7), Pasal 22
ayat (5), Pasal 32 ayat (7), Pasal 33 ayat (4), Pasal 35, Pasal 42 ayat (1),
Pasal 46 ayat (3), Pasal 49 ayat (4), Pasal 50 ayat (3), Pasal 61 ayat (3),
dan Pasal 73, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan,
suatu Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur
tentang ruang lingkup dan perlu adanya kejelasan terkait instrumen
hukum yang digunakan.
45) Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara dan
Provinsi Papua Barat perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 17 ayat
(7), Pasal 21 ayat (5), Pasal 23 ayat (4), Pasal 32 ayat (7), Pasal 33 ayat
(4), Pasal 34, Pasal 45 ayat (3), Pasal 47 ayat (3), Pasal 48 ayat (3),
Pasal 60 ayat (3), Pasal 73, Pasal 81 ayat (4) huruf c, dan Pasal 89 ayat
(3), karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan, suatu
Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang
ruang lingkup dan perlu adanya kejelasan terkait instrumen hukum
yang digunakan.
46) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 perlu diubah pada Pasal
37, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan.

3. Dari hasil analisis berdasarkan kesesuaian norma dengan asas materiil, 19


(sembilan belas) PUU dinilai masih terdapat ketentuan pasal yang tidak
sesuai dengan asas materiil. Berikut data hasil penilaian tersebut:

62
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu diubah pada Pasal 37
karena tidak sesuai dengan variabel jaminan terhadap keikutsertaan
masyarakat local.
2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
perlu diubah pada Pasal 39 karena tidak sesuai dengan variabel
ketentuan yang jelas mengenai akuntabilitas pengelolaan.
3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 perlu diubah pada Pasal 39 karena tidak sesuai dengan variabel
Tidak ditemukannya ketentuan yang membatasi keikutsertaan pihak
asing.
4) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan perlu diubah
pada Pasal 13, Pasal 14, Pasal 51, Pasal 59, Pasal 61, dan Pasal 65
karena tidak sesuai dengan variabel:
- Peluang yang sama bagi setiap warga negara terhaap akses
pemanfaatan sumber daya;
- Mengedepankan fungsi kepentingan umum;
- Mengedepankan fungsi kepentingan umum;
- Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran;
- Pengedepanan kepemilikan dan keikutsertaan nasional;
- Pembagian kewenangan pusat dan daerah;
- Transparansi /keterbukaan;
- Adanya penggantian kerugian pada masyarakat daerah terpencil;
- Adanya penggantian kerugian kepada masyarakat terjena dampak
negatif;
- Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran.
5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang perlu
diubah pada Pasal 10 ayat (4) karena tidak sesuai dengan variabel
pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.
6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan &
Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu diubah pada Pasal 14 karena
tidak sesuai dengan variabel aturan dan kebijakan berdasarkan kajian
ilmiah.
7) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus perlu diubah pada Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 11
karena tidak sesuai dengan variabel:
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terjaminnya perlindungan masyarakat;

63
- Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya
prinsip kehati-hatian;
- Adanya ketentuan yang menjamin pelibatan seluruh pihak
terdampak dalam pembentukan kebijakan;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terjaminnya perlindungan masyarakat;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya
prinsip kehati-hatian;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terjaminnya perlindungan masyarakat;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya
prinsip kehati-hatian
8) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Pemukiman perlu diubah pada Pasal 42 ayat (2), Pasal 50
ayat (2), Pasal 60, Pasal 66 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 109,
Pasal 137, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 146 ayat (2) karena tidak sesuai
dengan variabel:
- Akuntabilitas pengelolaan;
- Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah;
- Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran
9) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
perlu diubah pada Pasal 54 karena tidak sesuai dengan variabel:
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terbatasnya keikutsertaan pihak asing;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang mengesampingkan
kepentingan nasional.
10) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun perlu
diubah pada Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 43, karena tidak sesuai
dengan variabel:
- Kejelasan mengenai pihak yang melakukan pengawasan dan
penegakkan hukum;
- Transparansi/keterbukaan;
- Ketentuan yang jelas mengenai akuntabilitas pengelolaan.
11) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Sebagaimana Telah diubah Dengan UU
Nomor 1 Tahun 2014 perlu diubah pada Pasal 7 dan Pasal 48 karena
tidak sesuai dengan variabel:
- Mengedepankan prinsip kehati-hatian;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terbatasnya keikutsertaan pihak asing.
12) 12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian perlu
diubah pada Pasal Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, Pasal 27,

64
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 91 dan Pasal 92, karena
tidak sesuai dengan variabel:
- Pengutamaan kepemilikan dan peranan nasional;
- Pembatasan keikutsertaan pihak asing;
- Transparansi/keterbukaan;
- Kejelasan aturan mengenai koordinasi;
- Mengedepankan prinsip kehati-hatian;
- Peningkatan kemandirian bangsa.
13) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
perlu diubah pada Pasal 249 – Pasal 251 karena tidak sesuai dengan
variabel adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas dan
efisien.
14) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap
Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri perlu diubah
pada Pasal 15, Pasal 18 ayat (3), Pasal 23, pasal 25, Pasal 28 ayat (2)
dan ayat (5), Pasal 33, Pasal 36 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 44
ayat (2), pasal 48 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (5), karena tidak sesuai
dengan variabel:
- Memperlakukan semua orang secara seimbang tanpa diskriminasi;
- Aturan dan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah.
15) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota
perlu diubah pada Pasal 19 karena tidak sesuai dengan variabel:
- Adanya ketentuan yang menjamin akuntabilitas
pengelolaan/tidak;
- Ditemukan ketentuan yang dapat menyebabkan tidka terjaminnya
akuntabilitas pengelola.
16) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah perlu diubah pada Pasal 11 karena tidak sesuai dengan
variabel:
- Mengedepankan kepentingan umum;
- Mengedepankan prinsip kehati-hatian.
17) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang perlu diubah pada Pasal 10 ayat (4)
karena tidak sesuai dengan variabel pembagian kewenangan antara
pusat dan daerah.
18) Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu diubah
pada Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18 karena tidak sesuai
dengan variabel:
- Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang melakukan
pengawasan dan penegakan hukum;
- Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang melakukan
pengawasan dan penegakan hukum.

65
19) Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan
Industri perlu diubah pada Pasal 41, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 46, Pasal
51 dan Pasal 52 karena tidak sesuai dengan variabel:
- Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang melakukan
pengawasan dan penegakan hukum;
- Adanya ketentuan yang menjamin transparansi (keterbukaan)/
tidak;
- Ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya
transparansi (keterbukaan);
- Adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas dan efisien;
- Tidak ditemukannya ketentuan mengenai prosedur yang jelas dan
efisien.
4. Dari hasil penilaian berdasarkan potensi disharmoni, terdapat beberapa
ketentuan pasal yang disharmoni, baik dari aspek kewenangan,
perlindungan maupun penegakan hukumnya.
a. Aspek kewenangan:
- UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil sebagaimana diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 terkait
pengelolaan penataan ruang darat dan ruang laut dan juga terkait
kewenangan antara Kementerian Agraria/Tata Ruang dengan
Kementerian Kelautan Perikanan.
- UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, yaitu
antara Pasal 54, 55 dengan Pasal 23 Ayat 4 terkait dengan
kebolehan penyelenggaraan Informasi Geospasial Tematik (IGT).
IGT merupakan bagian dari IG sehingga ketentuan Pasal 54 dapat
disalahartikan bahwa IGT juga dapat diselenggarakan oleh pihak
lain selain pemerintah.
- UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lampiran UU mengenai pembagian urusan
pemerintah konkuren huruf Y Nomor 1), dimana pembagian urusan
pemerintahan konkuren sub bidang kelautan, pesisir dan pulau-
pulau kecil (huruf Y Nomor 1), pada lampiran ini tidak memberikan
tugas perencanaan WP3K kepada Pemda.
- UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan UU No 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil terkait amanat penetapan RTRW dengan Perda, sementara
RZWP3K juga dituangkan dalam Perda tersendiri yang terpisah

66
dengan RTRW. Jika RTRW dan RZWP3K sama-sama disusun &
ditetapkan dalam Perda yang berbeda, maka berpotensi tumpang
tindih pengaturan terhadap wilayah administrasi kecamatan yang
ada dipesisir, sehingga keterpaduan penatan ruang wilayah menjadi
sulit diwujudkan.
- UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang terkait penetapan rencana detail tata ruang,
dimana menurut UU Pemda penetapan RDTR merupakan
kewenangan Pemerintah Pusat sementara menurut UU Penataan
Ruang dan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang penetapan RDTR merupakan kewenangan
pemerinta daerah.
- Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pengaturan Jarak Bebas
SUTET dengan Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2015 tentang Ruang
Bebas dan Jarak Bebas Minimum pada Saluran Udara Tegangan
Tinggi, Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi dan Daluran Udara
Tegangan Tinggi Arus Searah Untuk Penyaluran Tenaga Listrik
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang terkait kelembagaan Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang tidak memiliki
hubungan hierarki dengan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
(BKPRN) yang sudah dibubarkan, sebab pembentukan BKPRD
bukan amanat dari Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2009
tentang Pembentukan BKPRN.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011
tengan Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dimana kawasan pertambangan tidak diatur dalam perda

67
tata ruang, kemudian juga terkait dengan persetujuan dan
penyelesaian hak atas tanah.

b. Aspek Perlindungan
Tidak seragamnya skala peta dasar RTRW dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 dan RZWP3K dalam Permen KP
Nomor 16/MEN/2008. Dengan demikian, penanganan penataan
ruang masih belum dapat memperoleh data peta yang seragam.

5. Dari hasi penilaian berdasarkan efektivitas pelaksanaan PUU hasil analisis


berdasarkan efektivitas pelaksanaan PUU di bidang kehutanan, masih
terdapat beberapa kendala, baik dari aspek substansi hukum, struktur
hukum maupun budaya hukumya, yaitu:
1) Masalah Substansi Hukum
- Masih terdapat kendala dalam penilaian legalitas pertanian di
beberapa daerah;
- Belum adanya pengaturan property right untuk ruang bawah tanah
(ruang dalam bumi) sebagai penjabaran/turunan UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;
- Nomenklatur yang terlalu bervariasi menyebabkan pengaturan
yang tidak efektif;
- Belum terdapat peraturan terkait proses peninjauan kembali RDTR
dan PZ, sehingga proses revisi dalam rangka peninjauan kembali
dilakukan dengan proses yang sama dengan penyusunan baru;
- Tidak menjadi acuan oleh SKPD dalam penyusunan
program/kegiatan karena belum terdapat ketentuan tentang
penatagunaan tanah, air dan udara yang mengatur ketentuan
teknisnya;
- Belum terdapat peraturan terkait insentif dan disinsentif dalam
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
2) Masalah Struktur Hukum
- Masih sangat terbatasnya sarana dan prasarana Badan Informasi
Geospasial yang harusnya menyediakan peta dasar dengan skala
terkecil 1:10.000 dalam menunjang penataan ruang wilayah;
- Belum tuntasnya penataan kelembagaan di daerah pasca
pembentukan Kementerian ATR/BPN yang menggabungkan
masalah agrarian dan tata ruang;

68
- Keterbatasan lahan dalam penerapan 30% Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di perkotaan.
3) Masalah Budaya Hukum
- Rasio pidana penjara dan denda yang tidak berpola dan kurang
mempertimbangkan tingkat solvency masyarakat dan korporasi
pada UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
- Masyarakat tidak mendapatkan status hak milik pada lokasi yang
tidak sesuai dengan zonasinya. Padahal terdapat kegiatan-kegiatan
yang diizinkan terbatas, diizinkan bersyarat pada zona-zona
tersebut;
- Lemahnya pengawasan dan sanksi dalam penetapan RTRW di
daerah, sebab dalam pelaksanaannya ternyata banyak provinsi
yang RTRW-nya baru ditetapkan lebih dari 5 (lima) tahun sejak
ditetapkannya UU tersebut khususnya provinsi yang wilayahnya
mempunyai kawasan hutan yang relatif luas seperti Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau, Kepulauan
Riau dan Sumatera Utara.

B. Rekomendasi Umum

- Perlu dikaji ulang terminologi pengelolaan dalam perspektif UU Nomor 26


Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan UU Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

- Perlu dikaji ulang definisi ruang menurut UU Nomor 26 Tahun 2007


tentang Penataan Ruang, dimana ruang adalah wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, sementara substansi yang diatur hanya
ruang darat;

- Perlu didorong agar provinsi lebih mempercepat penyusunan RTRW


Provinsi, karena secara berjenjang/hierarki RTRW Provinsi akan menjadi
rujukan bagi penetapan RTRW Kab/Kota;

- Perlu mendorong Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk mengejar


kekurangan data skala terkecil seluruh Indonesia, mengingat penyediaan
peta skala besar yang disediakan BIG sangat diperlukan sementara
kemampuan yang ada saat ini belum memadai;

69
- Perlu percepatan penataan organisasi yang mengurusi tata ruang secara
terintegrasi dengan land use dan land register (sperti yang ada di pusat) di
seluruh daerah;

- Perlu diatur mengenai property right untuk ruang bawah tanah (ruang
dalam Bumi);

- Perlu ada solusi antara kebutuhan RTH dengan luas lahan perkotaan yang
semakin sempit. Misalnya bekerjasama dengan pengembang untuk
menyediakan RTH 30%. Memaksimalkan ruang-ruang kosong di
perkotaan untuk dijadikan taman kota, fasilitas publik dan lainnya.

C. Rekomendasi Khusus
Rekomendasi terhadap masing-masing ketentuan peraturan perundang-
undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
direkomendasikan diubah.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati & Ekosistemnya direkomendasikan diubah.
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
direkomendasikan diubah.
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
direkomendasikan diubah.
5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan direkomendasikan
diubah.
6. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
direkomendasikan diubah.
7. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara direkomendasikan diubah.
8. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup direkomendasikan diubah.
9. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) direkomendasikan diubah.
10. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan direkomendasikan diubah.

70
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan
Pemukiman direkomendasikan diubah.
12. UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial direkomendasikan
diubah.
13. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun direkomendasikan
diubah.
14. UU Nomor UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1
Tahun 2014 (telah dilakukan pada tahun 2016) direkomendasikan diubah.
15. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
direkomendasikan diubah.
16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan dengan UU Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah direkomendasikan diubah.
17. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
direkomendasikan diubah.
18. Undang-Undang Nomor UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
direkomendasikan dipertahankan.
19. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap
Bangun Dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri
direkomendasikan di ubah.
20. Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota
direkomendasikan diubah.
21. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah direkomendasikan di ubah.
22. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol
direkomendasikan diubah.
23. Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
direkomendasikan diubah.
24. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
direkomendasikan diubah.
25. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
sebagaimana telah diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH Nomor 3
Tahun 2008 direkomendasikan di ubah.

71
26. Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 direkomendasikan di ubah.
27. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang direkomendasikan di ubah.
28. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata
Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang direkomendasikan di
ubah.
29. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan
Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara direkomendasikan diubah.
30. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan
Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman
direkomendasikan di ubah.
31. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
direkomendasikan di ubah.
32. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut UU
Informasi Geospasial direkomendasikan diubah.
33. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025 tetap.
34. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta
Rencana Tata Ruang direkomendasikan di ubah.
35. Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakart,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur direkomendasikan di
ubah.
36. Perpres Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan direkomendasikan di
ubah.
37. Perpres Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar
direkomendasikan di ubah.
38. Perpres Nomor 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo direkomendasikan di
ubah.
39. Perpres Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Batam, Bintan, dan Karimun direkomendasikan di ubah.
40. Perpres Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Borobudur dan Sekitarnya direkomendasikan di ubah.
41. Perpres Nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Taman Nasional Gunung Merapi direkomendasikan di ubah.
42. Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Danau Toba dan Sekitarnya direkomendasikan di ubah.

72
43. Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perbatasan Negara Di Kalimantan direkomendasikan di ubah.
44. Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur
direkomendasikan di ubah.
45. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Papua direkomendasikan di ubah.
46. Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku direkomendasikan di
ubah.
47. Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara Dan Provinsi Papua
Barat direkomendasikan di ubah.

73
Lampiran

TABEL ANALISIS MASING-MASING PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


BERDASARKAN 5 (LIMA) DIMENSI ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


Terdiri dari 80 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang direkomendasikan di Ubah

NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI


DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Sebagaimana petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun ubah
Rumusan 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

2. Pasal 3 Kejelasan - Tujuan harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar ubah
Rumusan agar dapat dioperasionalkan.
- Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan UU
diubah dan dimasukkan dalam Bab I Ketentuan Umum atau
Penjelasan Umum atau tercermin dalam Naskah Akademik.
3. Pasal 7 Ayat (3) Kejelasan - Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada Ayat ubah
Rumusan (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Dalam penjelasannya ketentuan PUU nya tidak disebutkan PUU

74
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
yang mana atau apa saja yang terkait, sehingga kurang jelas.
- Sebaiknya dalam penjelasan juga dirujuk ketentuan PUU yang
dimaksud.
4. Pasal 10 Ayat Kejelasan - Dalam hal Pemerintah Daerah Provinsi tidak dapat memenuhi ubah
(7) Rumusan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah
mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
- Dalam penjelasannya ketentuan PUU nya tidak disebutkan PUU
yang mana atau apa saja yang terkait, sehingga kurang jelas.
- Sebaiknya dalam penjelasan juga dirujuk ketentuan PUU yang
dimaksud.
5. Pasal 11 Ayat Kejelasan - Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak dapat ubah
(6) Rumusan memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang,
Pemerintah Daerah Provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Dalam penjelasannya ketentuan PUU nya tidak disebutkan PUU
yang mana atau apa saja yang terkait, sehingga kurang jelas.
- Sebaiknya dalam penjelasan juga dirujuk ketentuan PUU yang
dimaksud.
6. Pasal 57 Kejelasan - Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang ubah
Rumusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Ayat (2), pihak yang
melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pasal ini tidak sesuai dengan teknik penyusunan PUU
- Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan Peraturan

75
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Perundang-undangan, dikatakan bahwa substansi yang berupa
sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran
norma dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang
memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
- Selain itu, dalam Pasal 57 juga tidak menjelaskan jenis sanksi secara
detail apakah sanksi tersebut merupakan sanksi administartif, sanksi
pidana atau sanksi perdatan. Dalam Pasal 57 hanya disebutkan
sanksi sesuai dengan ketentuan PUU, dan di penjelasan pasalnya
dikatakan cukup jelas.
- Oleh karena itu direkomendasikan diatur kejelasan sanksinya untuk
memenuhi asas kepastian hukum.
7. Pasal 61, 62 Kejelasan - Pasal 61, 62 dan 63 dan 64 mengatur persoalan sanksi. ubah
dan 63, 64 Rumusan - Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dikatakan bahwa substansi yang berupa
sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran
norma dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang
memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
- Kemudian jika norma yang memberikan sanksi administratif atau
keperdataan lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi
keperdataan tersebut dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian
(pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan
sanksi yang sekaligus memuat sanki pidana, sanksi perdata, dan
sanki administratif dalam satu bab;].
- Oleh karena itu Pasal 61, 62 dan 64 seharusnya disusun dalam satu
pasal.

76
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
8. Pasal 10 Ayat Kejelasan - Pada penjelasan pasal tidak dijelaskan tugas pembantuan itu apa. ubah
(4) Rumusan Oleh karena itu ditambahkan maksud dari tugas pembantuan
sehingga ada kejelasan pembagian kewenangannya.

9. Pasal 14 Ayat Efektivitas - Masih terdapat kendala dalam penilaian legalitas pertanahan di ubah
(2), Pasal 22 beberapa daerah sehingga seringkali Perda RTRW provinsi lebih
Ayat (1), Pasal lambat ditetapkan dibandingkan dengan Perda RTRW Kab/kota.
25 Ayat (1), - Dari segi Aspek operasional atau tidaknya PUU, Pengaturan dalam
Pasal 28 PUU masih blm dilaksanakan secara efektif.

10. - Efektivitas - Kawasan pertambangan tidak diperintahkan untuk diatur dalam Direkomendasikan
perda tata ruang, wilaya pertambangan mempunyai pedoman mewajibkan kawasan
tersendiri, sehingga seringkali tidak sinkron dengan RTRW yang tambang agar masuk
sudah dicanangkan, terutama gesekan antara kawasan hutan, dalam RTRW daerah,
kawasan pertanian dan kawasan pertambangan. hal ini dapat
- Hal ini juga dikarenakan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba tidak dituangkan dalam
mengatur bahwa wilayah pertambangan merupakan bagian integral perubahan UU tentang
dari penataan ruang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka Minerba.
2 disebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktur ruang dan
pola ruang, artinya penataan ruang membutuhkan penanganan
yang komprehensif, termasuk wilayah pertambangan.

77
2. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati & Ekosistemnya
Terdiri dari 45 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati & Ekosistemnya
direkomendasikan di Ubah

NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI


YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
1. Pasal 2 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 ubah
Rumusan tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

2. Pasal 3 Kejelasan - Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dari UU dan ubah
Rumusan naskah akademiknya. Jika sangat didirekomendasikankan, maka
harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar
agar dapat dioperasionalkan.
- Direkomendasikan ditambahkan kata “harus” sebagai operator
norma tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi jika
tidak tercapai tujuannya.
3. Pasal 4 Kejelasan - Bunyi pasal ini menyebutkan bahwa konservasi sumber daya ubah
Rumusan alam hayati dan ekosistemnya “merupakan” tanggung jawab
dan kewajiban Pemerintah dan masyarakat. Norma yang
dituliskan pada pasal ini hanya berupa pernyataan tanpa

78
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
mengandung suatu operator normanya. Sebaiknya norma
tertulis operator misalnya kata “harus” sehingga memiliki
konsekuensi jika tidak dilaksanakan.
4. Pasal 27 Kejelasan - Peran serta yang dimaksud dalam UU ini menunjukkan bahwa ubah
Rumusan masyarakat berada di posisi menerima keputusan atau
kebijakaan konservasi dan harus diarahkan, digerakkan, diberi
penyuluhan dan pendidikan supaya sadar akan konservasi.
Pengertian peran serta ini faktanya tidak dapat menjadi solusi
terhadap permasalahan yang terjadi di dalam praktek
konservasi di lapangan. Karena permasalahannya bukan
mengajak masyarakat untuk sadar konservasi, namun
menempatkan masyarakat langsung sebagai pelaku dan mitra
dalam upaya konservasi itu sendiri.
5. Pasal 40 Ayat Kejelasan - Ancaman pidana bagi yang melanggar paling lama 5 (lima) ubah
(2) dan Ayat Rumusan tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta
(3) rupiah). Dengan belum adanya kasus yang dikenakan dengan
ancaman tersebut, membuktikan bahwa kebijakan yang ada
tidak enforceability (memiliki daya paksa). Demikian juga
ancaman tersebut tidak membuat jera atau takut bagi
pelanggar ketentuan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan masih
maraknya kegiatan illegal logging di kawasan konservasi.
Kondisi ini juga lebih didorong tidak jelasnya kepastian hukum.
6. Pasal 37 Kesesuaian - Pada Ayat (1) dinyatakan bahwa tentang “peran serta rakyat”. ubah
Norma Peran serta yang dimaksud menunjukkan bahwa masyarakat

79
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
ddengan Asas berada di posisi menerima keputusan atau kebijakaan
konservasi dan harus diarahkan, digerakkan, diberi penyuluhan
dan pendidikan supaya sadar akan konservasi. Pengertian peran
serta ini faktanya tidak dapat menjadi solusi terhadap
permasalahan yang terjadi di dalam praktek konservasi di
lapangan. Karena permasalahannya bukan mengajak
masyarakat untuk sadar konservasi, namun menempatkan
masyarakat langsung sebagai pelaku dan mitra dalam upaya
konservasi itu sendiri.
- Dalam prakteknya di lapangan, rakyat seringkali dijadikan
sebagai korban dalam penunjukan atau penetapan suatu
wilayah menjadi kawasan konservasi, baik Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, maupun
Taman Nasional. Masyarakat di sekitar wilayah konservasi tidak
dilibatkan secara aktif dalam penunjukkan atau penetapan
tersebut, hak dan kearifan masyarakat sering kali diabaikan
dalam pengelolaan kawasan konservasi tersebut.
- Bahkan di beberapa lokasi, masyarakat yang sudah lama tinggal
di dalam kawasan konservasi diusir akibat penunjukan atau
penetapan tersebut. Konflik di dalam kawasan konservasi
Indonesia tidak dapat terelakkan karena menempatkan rakyat
atau masyarakat di dalam dan sekitar konservasi bukan menjadi
bagian dalam pengelolaan konservasi.

80
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
- TIDAK SESUAI DENGAN ASAS Kemanusiaan, DENGAN
INDIKATOR: Jaminan terhadap keikutsertaan masyarakat lokal

7. Konsep Potensi Salah satu konflik yang timbul dari tata kelola konservasi adalah ubah
konservasi disharmoni adanya ketidaksamaan persePasali terhadap “hutan konservasi”.
dalam UU (perbedaan Pendefinisian hutan konservasi selama ini menunjukkan ketidak
konsep/definisi) konsitenan sebagai akibat perbedaan penafsiran definisi yang
terdapat pada perbagai PUU, yaitu:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak
menyebutkan istilah kawasan konservasi, tetapi menggunakan
istilah Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian
Alam (KPA).
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan adanya
“kawasan konservasi” pada Pasal 23 Ayat (1) huruf e. proses
dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan
cagar budaya.
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
tidak digunakan istilah kawasan konservasi, tetapi hutan
konservasi, yang terdiri dari kawasan hutan suaka alam,
kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru. Di dalam

81
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
Undang-Undang ini fungsi lindung dipisahkan dari fungsi
konservasi. Jadi, hutan lindung tidak termasuk hutan konservasi.
8. - Efektivitas Adanya tumpang tindih dan ketidak jelasan pengertian dari istilah- ubah
pelaksanaan istilah yang digunakan untuk menamakan kategori maupun tujuan
PUU (aspek dari kategori. Misalnya, dari sudut bahasa dan ekologi, apa
kekosongan sebenarnya arti yang tepat dari “konservasi”, “pelestarian”,
hukum/aturan) “pengawetan”, “perlindungan”, “cagar”, dan “suaka”? Dalam
ketentuan peraturan-peraturan yang ada, khususnya menurut
ketentuan Pasal 1, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
disebutkan bahwa “Konservasi sumber daya alam hayati adalah
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaanya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya”. Definisi tersebut tidak menjelaskan
bagaimana sifat atau cara pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati,
tetapi menjelaskan pemanfaatan Sumber Daya Alam Hayati.
Pemanfaatan hanyalah sebagian kecil dari pengelolaan. Jadi definisi
tersebut juga tidak memberikan penjelasan tentang istilah
konservasi.

82
3. UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Terdiri dari 49 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi : Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung direkomendasikan di Ubah. UU ini tidak tepat
diuangkan dalam bentuk UU, karena tidak dalam rangka mengatur lebih lanjut UUD 1945, sehingga direkomendasikan
untuk diatur dalam jenis PUU dibawahnya, bisa dalam jenis Peraturan Pemerintah (dengan merujuk UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri yang bersifat lebih teknis.

NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI


DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
1. - Nama UU; Ketepatan A. Analisis terhadap nama UU: Direkomendasikan
- Dasar Hukum Jenis PUU Di dalam petunjuk Nomor 3 Lampiran II Undang-Undang dikaji kembali apakah
UU; Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan IG direkomendasikan
- Politik Hukum Perundang-Undangan maka dapat dikatakan bahwa judul diatur dengan UU, atau
UU. Undang-Undang tersebut sudah memenuhi petunjuk yang PUU di bawahnya.
terdapat di dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tersebut dengan hanya menggunakan kata Pengaturan IG dapat
secara singkat namun secara esensial maknanya telah dan diatur denga
mencerminkan isi peraturan perundang-undangan. PERATURAN
PEMERINTAH (dengan
B. Analisis terhadap dasar hukum mengingat: merujuk UU Nomor 26
Di dalam bagian dasar hukum mengingat disebutkan 2 Pasal Tahun 2007 tentang
UUD 1945 yaitu Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1): Penataan Ruang), atau
Peraturan Presiden
- Pasal 5 Ayat (1), di dalam Pasal ini adalah untuk maupun Peraturan
menunjukkan bahwa pembentukan Undang-Undang ini Menteri yang bersifat
dibentuk oleh pejabat yang tepat dalam hal ini Presiden

83
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
sebagai kepala Pemerintahan. lebih teknis.
- Pasal 20 Ayat (1), sama hal nya dengan Pasal 5 Ayat (1),
di dalam Pasal 20 Ayat (1) ini menunjukkan bahwa
Undang-Undang ini dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang sah dalam
pembentukan Undang-Undang.

Di dalam dasar hukum mengingat pada Undang-Undang ini


hanyalah merujuk kepada 2 Pasal di dalam UUD NRI Tahun
1945 yang menunjukkan bahwa pembentukan Undang-
Undang ini adalah dibentuk oleh lembaga ataupun pejabat
yang tepat dan berwenang. Dapat dikatakan bahwa ada
kekosongan landasan materiil dalam Undang-Undang ini
karena tidak ada landasan materiil yang dapat menjadi
dasar hukum yang melatarbelakangi Undang-Undang
tersebut.

Batang tubuh dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun


2002 tentang Bangunan Gedung ini berisikan perihal
pengaturan mengenai fungsi, persyaratan,
penyelenggaraan, pembinaan, sanksi dan lain sebagainya
yang dapat dikatakan merupakan unsur-unsur yang bersifat
teknis. Jika dibandingkan dengan Peraturan pelaksana dari
UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yaitu
PERATURAN PEMERINTAH Nomor 36 Tahun 2005 tentang

84
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Bangunan Gedung maupun Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016
tentang Izin Mendirikan Bangunan Gedung, isi batang
tubuh dari ketiga Peraturan Perundang-undangan tersebut
berisikan unsur teknis yang tidak terlalu banyak perbedaan.
Dapat dikatakan materi muatan pada UU Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung ini lebih tepat jika
dituangkan menjadi jenis PUU dibawah UU. Seperti yang
terdapat didalam Penjelasan umum Undang-Undang
tersebut yang menguraikan perihal bangunan gedung
merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh
karena itu dalam pengaturan bangunan tetap mengacu
pada pengaturan penataan ruang. Dari uraian tersebut
dapat menjadi dasar bahwa apabila Undang Undang
dijadikan PERATURAN PEMERINTAH maka dapat merujuk
pada Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 atau bisa juga
dijadikan Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri.

Mengenai kebutuhan sanksi pada Undang Undang ini


maka dapat diatur dengan adanya sanksi administratif
seperti contohnya sanksi denda, pembekuan hingga
pencabutan sertifikat dan/atau izin ataupun bisa dengan
sanksi paksa yang dilakukan oleh pemerintah
(besturdwang).

85
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
c. Analisis terhadap Politik Hukum

Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan


kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis
dalam pembentukan watak, perwujudan produkti√itas, dan
jati diri manusia. oleh karena itu, penyelenggaraan
bangunan gedung direkomendasikan diatur dan dibina
demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta
penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan
bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri serta
seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa bangunan gedung


menjadi penting sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya untuk mencapai berbagai sasaran yang
menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional.

Dari penjelasan tersebut dapat tersajikan dengan jelas,


bahwa kebutuhan pengaturan mengenai Bangunan Gedung
menjadi hal yang penting, namun tidak tepat jika
dituangkan dalam PUU jenis Undang-Undang.

Kesimpulan Analisis:

Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan


Gedung tidak tepat dituangkan dalam bentuk UU, karena tidak
dalam rangka mengatur lebih lanjut UUD 1945, sehingga

86
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
direkomendasikan untuk diatur dalam jenis PUU dibawahnya,
dapat menjadi PERATURAN PEMERINTAH (dengan merujuk UU
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), Peraturan
Presiden maupun Peraturan Menteri yang bersifat lebih teknis.

2. Pasal 2 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun Ubah


Rumusan 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk
huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas,
maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum
dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

3. Pasal 3 Kejelasan Sesuai dengan petunjuk yang terdapat di Lampiran II Undang- Ubah
Rumusan Undang Nomor 12 Tahun 2011 angka 98, tujuan yang terdapat
di Pasal 3 Undang-undang Nomo 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung yang mengatur mengenai tujuan pengaturan
bangunan gedung tidak direkomendasikan diatur dengan pasal
tersendiri.

4. Pasal 4 Kejelasan Ruang lingkup tidak direkomendasikan dibuat dalam pasal Ubah
Rumusan tersendiri, tetapi dimasukkan dalam pasal ketentuan umum
dengan megikuti petunjuk dalam lampiran II Nomor 109 huruf a
UU Pembentukan PUU dimana pengertian yang mengatur
tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang
berlingkup khusus

5. Pasal 39 Kejelasan Di dalam Pasal 39 berisikan pengaturan mengenai Ubah

87
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Rumusan Pembongkaran. Namun di dalam pasal ini tidak ada pengaturan
yang lebih terperinci mengenai pembongkaran bangunan
gedung tersebut. Sepatutnya pengaturan mengenai
pembongkaran Bangunan Gedung menjadi satu perhatian
khusus yang diatur secara jelas dan lengkap.

6. Pasal 44 dan Pasal Kejelasan Pengaturan mengenai sanksi administrasi dan sanki pidana Ubah
45 Rumusan disarankan untuk dipisahkan dan tidak didalam satu bab yang
sama yang berisikan sanksi administratif, sanksi keperdataan
dan sanksi pidana. Di dalam sanksi administrasi pun terintegrasi
dengan mengurutkan dengan pasal sebelumnya yang berisikan
pelanggaran apabila dilakukan .

7. Pasal 46 dan Pasal Kejelasan Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan Ubah
47 Rumusan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang
berisi norma larangan atau perintah. Dalam memurumuskan
ketentutan pidana direkomendasikan diperhatikan asas-asas
umum ketentuan pidana yang terdapat dalam buku kesatu
Kitab Undang-Undan Hukum Pidana, karena ketentutan dalam
buku kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana
menurut peraturan-perundang-undangan lain, kecuali jika oleh
Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Di dalam Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 ini direkomendasikan adanya
pertimbangan lebih lanjut dalam menentukan lamanya pidana
atau banyaknya denda karena mempengaruhi dampak yang

88
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
akan timbul oleh tindak pidana di dalam masyarakat.

Disarankan adanya pemisahan antara sanksi pidana dan sanksi


administrasi, tidak di dalam satu bab yang sama. Pengkhususan
penyebutan sanksi pidana yang akan dijerat oleh pelaku
pelanggaran juga diharapkan lebih memiliki penjelasan yang
lebih terperinci agar tidak timbulnya multi tafsir di kemudian
hari.

8. Pasal 49 Kejelasan Penyimpangan dapat saja terjadi saat/sebelum mulai Ubah


Rumusan berlakunya peraturan perundang-undangan, hendaknya
dinyatakan secara tegas dengan peraturan perundang-
undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan perundang-
undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

9. Pasal 39 Kesesuaian Di dalam Pasal 39 berisikan pengaturan mengenai Ubah


Norma Pembongkaran. Namun di dalam pasal ini tidak ada pengaturan
(1) Bangunan yang lebih terperinci mengenai pembongkaran bangunan
gedung dapat gedung tersebut. Sepatutnya pengaturan mengenai
dibongkar apabila: a. pembongkaran Bangunan Gedung menjadi satu perhatian
tidak laik fungsi dan khusus yang diatur secara jelas dan lengkap.
tidak dapat
diperbaiki; b. dapat TIDAK SESUAI DENGAN ASAS Ketertiban dan kepastian hukum,
menimbulkan DENGAN INDIKATOR : Ketentuan yang jelas mengenai
bahaya dalam akuntabilitas pengelolaan:
pemanfaatan

89
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
bangunan gedung
dan/atau
lingkungannya; c.
tidak memiliki izin
mendirikan
bangunan

4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
Terdiri dari 84 (delapan puluh empat) pasal.
Status pasal:
- Pasal 1 angka 6, Pasal 4 Ayat (3) dan Pasal 5 Ayat (1), (2), dan (3) dibatalkan oleh MK (Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012);
- Penambahan 2 pasal sisipan, yaitu Pasal 83A dan Pasal 83B berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
PERATURAN PEMERINTAH Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang;
- Pasal 50 Ayat (1), Ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf j, huruf k, dan Pasal 78 Ayat (1), Ayat (2) dicabut oleh UU Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Rekomendasi:
UU ini direkomendasikan di Ubah dalam rangka simplifikasi regulasi, dan mengintegrasikan substansi dari UU No 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan kedalam UU Kehutanan karena kedua UU ini memiliki obyek dan politik
hukum yang sama. Hal-hal yang bersifat teknis dapat diturunkan dalam bentuk PERATURAN PEMERINTAH atau Perpres. Sedangkan
pengaturan pokok serta sanksi pidana mengenai pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dapat diintegrasikan ke dalam satu
UU Kehutanan secara utuh.

90
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 1 Kejelasan Rumusan Kata “Negara” pada Pasal 1 Angka 6 dibatalkan Ubah
oleh MK (Putusan MK. Nomor 35/PUU-X/2012).
Sehingga direkomendasikan diubah dengan bunyi
“Hutan adat adalah hutan yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat”.

2. Pasal 2 Kejelasan Rumusan Dalam teknik penulisan norma, penyebutan asas Ubah
tidak didirekomendasikankan, karena tidak akan
operasional (tidak memiliki operator norma). Asas
adalah nilai-nilai yang menjiawai seluruh norma
yang berisi pengaturan. Hal ini sejalan dengan
petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
PUU. Oleh karena itu sebaiknya norma yang
menyebutkan asas-asas dicabut, cukup dielaborasi
asas dalam naskah akademik. Jika memang ada
suatu asas yang penting untuk
dinormakan/normanisasi asas, maka
direkomendasikan kalimat norma yang standar
dan operasional.

3. Pasal 3 Kejelasan Rumusan Ketentuan ini pada dasarnya juga pernyataan Ubah
mengenai tujuan penyelenggaraan pangan, yang
seharusnya temuat dalam penjelasan umum UU
dan dalam naskah akademiknya. Jika sangat

91
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
didirekomendasikankan, maka harus dituangkan
dalam bentuk penulisan norma yang benar agar
dapat dioperasionalkam.

Misalnya rumusan diganti dengan:


penyelenggaraan kehutanan harus ditujukan
untuk:...... “ (Kata “harus” di sini berfungsi sebagai
operator norma, dan dengan demikian memiliki
konsekuensi jika penyelenggaraan kehutanan
tidak ditujukan sebagaimana yang dimaksud).

4. Pasal 4 Kejelasan Rumusan Pasal 4 Ayat (3) dibatalkan oleh MK (Putusan MK. Ubah
Nomor 35/PUU-X/2012). Pasal 4 Ayat (3)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak
dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang

5. Pasal 5 Kejelasan Rumusan Pasal 5 Ayat (1), (2), (3) dibatalkan oleh MK Ubah
(Putusan. MK. Nomor 35/PUU-X/2012).

- Pasal 5 Ayat (1) bertentangan dengan Undang-

92
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hutan
negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
huruf a, tidak termasuk hutan adat.
- Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
- Pasal 5 Ayat (2) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
- Pasal 5 Ayat (3), Frasa “dan Ayat (2)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga pasal dimaksud menjadi “Pemerintah
menetapkan status hutan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1); dan hutan adat
ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan
masih ada dan diakui keberadaannya”.
6. Pasal 80 Kejelasan Rumusan Sanksi adminsitratif seharusnya diatur secara Ubah
terintegrasi dengan pasal yang dikenai sanksi.

93
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Petunjuk Nomor 64 Lampiran II UU Nomor
12/2011:

“Substansi yang berupa sanksi administratif atau


sanksi keperdataan atas pelanggaran norma
tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal)
dengan norma yang memberikan sanksi
administratif atau sanksi keperdataan”.

Petunjuk Nomor 65:

“Jika norma yang memberikan sanksi


administratif atau keperdataan terdapat lebih
dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi
keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir
dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian
tidak merumuskan ketentuan sanksi yang
sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata,
dan sanksi administratif dalam satu bab.”

7. Pasal 83A, Kejelasan Rumusan Penambahan oleh PERATURAN PEMERINTAH Ubah


Pasal 83B Nomor 1 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2004. Tambahan pasal ini bertentangan
ketentuan Pasal 38, yang melarang penambangan
terbuka di kawasan hutan lindung.

94
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Bunyi Pasal 83A:

“Semua perizinan atau perjanjian di bidang


pertambangan di kawasan hutan yang telah ada
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap
berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian
dimaksud.”

Catatan:

Direkomendasikan meninjau kembali PERATURAN


PEMERINTAH Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan
yang Berada di Kawasan Hutan. PERATURAN
PEMERINTAH ini memuat list 13 usaha
pertambahan yang melakukan peratambangan di
kawasan hutan. Status: masih berlaku.

8. Pasal 54 Kesesuaian Norma Pada Ayat (3) dinyatakan bahwa izin melakukan Direkomendasikan
penelitian kehutanan Indonesia dapat diberikan merevisi penjelasan
kepada peneliti asing dengan mengacu pada pasal 54 Ayat (3)
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dan pada Ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah
wajib melindungi hasi penemuan ilmiah
pengetahuan dan teknologi di bidang kehutanan

95
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
sesuai dengan PUU yang berlaku.

Catatan:

Dalam penjelasan direkomendasikan disebutkan


rujukan PUU nya, yaitu:

- Pasal 17 UU 18 /2002 tentang Sistem Nasional


Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi;
- PERATURAN PEMERINTAH 41/2006 tentang
Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian dan
Pengembangan Bagi Perguruan Tinggi Asing,
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing,
Badan Usaha Asing, Dan Orang Asing;
- PERATURAN PEMERINTAH 12/2010 tentang
Penelitian dan Pengembangan, Serta
Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.
9. UU Kehutanan Potensi Disharmoni Permasalahan yang menjadi polemik antara Ubah
(aspek Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pasal 5 Ayat (3) Kewenangan) Pertanahan Nasional dengan Kementerian
Jo. Pasal 15 Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah
Peraturan penerbitan sertipikat yang merupakan pengakuan
Pemerintah atas kepastian hukum terhadap penguasaan tanah
Nomor oleh masyarakat yang terletak pada kawasan
44/2004 hutan.
tentang

96
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Perencanaan Izin yang dikeluarkan didalam kawasan hutan acap
Kehutanan disebut bukan sebagai izin untuk memanfaatkan
tanah, melainkan izin untuk memanfaatkan
sumber daya hutan di atasnya, meski dalam
beberapa hal ini tidak dapat disangkal adalah
sebagai salah satu bentuk izin pemanfaatan tanah.
Sebagai contoh, Izin pemanfaatan hutan tanaman
dimana pemegang izin dapat menanami kawasan
hutan adalah pula izin untuk memanfaatkan tanah
tersebut.
Pasal 5 (3) UU 41/1999 menyatakan bahwa
penetapan status hutan dilakukan oleh
Pemerintah, diatur lebih lanjut dalam Pasal 15
PERATURAN PEMERINTAH 44/2004 bahwa
pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh
Menteri (Ment. LHK). Hal ini bertentangan dengan
Pasal 19 UU Nomor 5/1960 (UUPA) yang
mengatur bahwa pendaftaran tanah dilakukan
oleh BPN dan Pasal 2 Ayat (4) hanya memberikan
dasar hukum bahwa penguasaan tanah hanya
dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
swatantra dan masyarakat hukum adat, jika
didirekomendasikankan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional.
Sehingga dengan kata lain, penguasaan Kement.

97
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
LHK terhadap tanah dalam kawasan hutan Negara
tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Permasalahn ini bisa disebabkan oleh berbagai


faktor, di antaranya:
- Tidak integralnya kawasan hutan dalam proses
penataan ruang, karena paradigma kehutanan
adalah unit produksi, bukan bagian dari proses
pengaturan tata ruang.
- Permasalahan hutan bukan diletakkan pada
sumber daya yang ada di dalam hutan, namun
lebih kepada masalah tenurial. Masalah
penguasaan tanaha seringkali menjadi sumber
konflik di antara pemangku kepentingan (antar
kementerian, antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, antara masyarakat dengan
pemerintah atau antara masyarakat local
dengan pemegang konsensi/lisensi yang
diberikan oleh pemerintah).
- Adanya dualisme kebijakan administrasi
pertanahan, di mana legalitas pemanfaatan
tanah di kawasan hutan adalah izin Kemenhut,
sedangkan di luar kawasan hutan menjadi
kewenangan BPN. Hal ini berimplikasi pada
munculnya aturan yang berbeda pada bidang

98
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
pertanian di dalam dan di luar kehutanan,
kepastian hukum menjadi tidak terjamin.
10. Pasal 3 huruf b Potensi Disharmoni - konsep ‘fungsi lindung’ pola ruang yang ada Direkomendasikan
dan Pasal 6 (Perbedaan dalamPasal 1 huruf 20, 21, Pasal 17, Pasal 20, dilakukan harmonisasi
konsep/terminologi) Pasal 23, Pasal 26 dan Pasal 33 UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan
‘fungsi lindung’ kawasan hutan dalam Pasal 3
huruf b dan Pasal 6 UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.

Pasal 1 huruf 9, Potensi Disharmoni - konsep konsep ‘konservasi’ dalam Pasal 1 huruf
Pasal 3, Pasal (Perbedaan 9, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 36 dan Pasal
6, Pasal 7, konsep/terminologi) 37 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pasal 36 dan Kehutanan dan dengan konservasi yang
Pasal 37 dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
Pasal 24 Potensi Disharmoni - konsep ‘taman nasional’ yang diatur dalam
(Perbedaan Pasal 24 UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan
konsep/terminologi) ‘taman nasional laut’ yang menjadi
kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan,
sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan
Pasal 78A UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan WP3K.

99
5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Terdiri dari 68 (enam puluh delapan) pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya
Rekomendasi : UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 Ubah
Rumusan tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS Kebangsaan DENGAN INDIKATOR:


Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terbatasnya keikutsertaan pihak asing

2. Pasal 3 Kejelasan Tujuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat Ubah
Rumusan dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-
undang dan dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai
tujuan ini dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan
maka dirumuskan dalam salah satu butir pasal tentang ketentuan
umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam petunjuk Nomor 98
huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan
Perundang-Undangan.

3. Pasal 4 Kejelasan Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada pasal 1 Ubah
Rumusan tentang ketentuan umum.

100
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
4. Pasal 5 Kesesuaian Peran jalan sebagai sarana transportasi sudah tercermin dalam pasal Ubah
Norma ini, sehingga ketentuan dalam pasal ini sudah sesuai dengan asas
dengan materi muatan
Asas
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keadilan
INDIKATOR: Peluang yang sama bagi setiap warga negara terhaap
akses pemanfaatan sumber daya.
5. Pasal 6 Kesesuaian Fungsi jalan sesuai peruntukannya bagi lalu lintas umum serta Ubah
Norma kelancaran distribusi barang dan jasa yang di butuhkan masyarakat
dengan umum. Ketentuan dalam pasal ini sudah sesuai dengan asas materi
Asas muatan.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keserasian, dan Keselarasan

INDIKATOR: Mengedepankan fungsi kepentingan umum

6. Pasal 7 Kesesuaian Pembagian sistem jaringan jalan atas jaringan jalan primer dan Ubah
Norma sekunder merupakan satu sistem yang mengedepankan pembagian
dengan dari fungsi suatu jalan untuk pelayanan distribusi barang dan jasa
Asas untuk kepentingan umum. Ketentuan dalam pasal ini sudah sesuai
dengan asas materi muatan

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keseimbangan, Keserasian, dan


Keselarasan

INDIKATOR: Mengedepankan fungsi kepentingan umum

101
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
7. Pasal 12 Kesesuaian Yang dimaksud dengan perbuatan yang mengakibatkan Ubah
Norma terganggunya fungsi jalan adalah setiap bentuk tindakan atau
dengan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi jalan, seperti terganggunya
Asas jarak atau sudut pandang, timbulnya hambatan samping yang
menurunkan kecepatan atau menimbulkan kecelakaan lalu lintas,
serta terjadinya kerusakan prasarana, bangunan pelengkap, atau
perlengkapan jalan. Pasal ini sudah sesuai dengan asas materi
muatan.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum

INDIKATOR: Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran

8. Pasal 13 Kesesuaian Jalan merupakan fasilitas umum yang harus dikuasai oleh negara, Ubah
Norma karena berpengaruh kepada hajat hidup orang banyak. Ketentuan
dengan pasal ini sudah sesuai dengan asas materi muatan
Asas
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kenusantaraan

INDIKATOR: Pengedepanan kepemilikan dan keikutsertaan nasional

9. Pasal 14 Kesesuaian Dalam Ayat (2) mengenai wewenang penyelenggaraan jalan nasional Ubah
Norma selain tentang pengaturan, pembinaan, pembangunan dan
dengan pengawasan juga harus ditambahkan mengenai perencanaannya
Asas sehingga pembangunan jalan akan sinergis dengan rencana RTRW.
Ketentuan pasal ini mesti diubah.

102
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kenusantaraan

INDIKATOR: Pembagian kewenangan pusat dan daerah

10. Pasal 51 Kesesuaian Seharusnya pemerintah tidak melakukan kerjasama dengan Ubah
Norma pengusahaan jalan tol, cukup dilakukan oleh BUMN saja.
dengan
Asas TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

INDIKATOR: Transparansi/keterbukaan

11. Pasal 59 Kesesuaian Ketentuan dalam pasal ini bertentangan dengan pasal 58 sehingga Ubah
Norma akan terjadi kesewenang-wenangan dalam pelaksanaannya
dengan
Asas TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keadilan

INDIKATOR: Adanya penggantian kerugian pada masyarakat daerah


terpencil

12. Pasal 61 Kesesuaian Pembangunan jalan tol memerlukan pengadaan tanah. Pengadaan Ubah
Norma tanah tersebut berhubungan erat dengan tanah milik masyarakat,
dengan serta berhubungan dengan RTRW yang sudah ditetapkan oleh karena
Asas itu direkomendasikan dipikirkan mengenai penggunaan tanah
tersebut, jangan sampai merubah fungsi tanah yang sudah
ditetapkan sebagai lahan yang memang direkomendasikan dijaga
kelestariannya seperti LP2B. Jadi dalam pasal ini direkomendasikan
penjelasan khusus mengenai tanah yang akan digunakan untuk jalan

103
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
tol tidak boleh mengganggu LP2B.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keadilan

INDIKATOR: Adanya penggantian kerugian kepada masyarakat


terkena dampak negatif.

13. Pasal 65 Kesesuaian Terhadap badan usaha yang melakukan pelanggaran terhadap jalan Ubah
Norma maka pidana denda yang dijatuhkan ditambah sepertiga dari denda
dengan yang dijatuhkan. Ketentuan pasal ini sudah sesuai dengan asas
Asas materi muatan

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

INDIKATOR: Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran

14. Pasal 63, Pasal Efektivitas - Sebanyak 27 pasal mendelegasikan PERATURAN PEMERINTAH Direkomendasikan
64 - Terdapat PERATURAN PEMERINTAH dengan judul yang sama dikaji kembali
(PERATURAN PEMERINTAH 24/2006 tentang Jalan) mengenai sanksi
- Rasio pidana penjara dan denda tidak berpola, dan kurang pidana dengan
mempertimbangkan tingkat solvency masyarakat dan korporasi. mempertimbangkan
cost and benefit agar
pelaksanaannya efektif
TP Denda Penjara/ dan efisien.
kurungan
Sengaja (Pasal 63)
melakukan kegiatan yang 18 bln 1,5 Mliar

104
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
mengakibatkan terganggunya
fungsi jalan
melakukan kegiatan yang 9 bln 500 juta
mengakibatkan terganggunya
fungsi jalan di dalam ruang milik
jalan
melakukan kegiatan yang 3 bln 200 juta
mengakibatkan terganggunya
fungsi jalan di dalam ruang
pengawasan jalan
melakukan kegiatan 2 thn 2 Miliar
penyelenggaraan jalan
sebagaimana dimaksud pada
Pasal 42
melakukan kegiatan 15 thn 15 Miliar
pengusahaan jalan tol
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54
Lalai (Pasal 64)
mengakibatkan terganggunya 3 bln 300 juta
fungsi jalan di dalam ruang
manfaat jalan
mengakibatkan terganggunya 2 bln 200 juta
fungsi jalan di dalam ruang milik
jalan

105
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
mengakibatkan terganggunya 12 hari 120 juta
fungsi jalan di dalam ruang
pengawasan jalan,
selain pengguna jalan tol dan 7 hari 1,5 juta
petugas jalan tol yang karena
kelalaiannya memasuki jalan tol

6. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


Terdiri dari 83 pasal.
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi : UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana direkomendasikan di ubah. UU ini tidak tepat dituangkan
dalam jenis UU, sebab tidak didasarkan pada Pasal tertentu secara tegas dalam UUD NRI Tahun 1945. Namun
demikian, mengingat pentingnya masalah penanggulangan bencana merupakan masalah yang penting dalam rangka
melindungi warga negaranya maka persoalan penanggulangan bencana dapat dituangkan dalam jenis peraturan
perundang-undangan yang tepat yaitu dalam bentuk Peraturan Presiden.
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
1. - Nama UU; Ketepatan 1. Analisis terhadap “nama” UU: Direkomendasikan
- Dasar Hukum Jenis PUU Dalam petunjuk Nomor 3 Lampiran II UU 12/2011, dinyatakan dikaji kembali apakah
UU; bahwa nama PUU menggunakan kata atau frasa, yang secara pengaturan ini
- Politik Hukum esensial maknanya telah mencerminkan isi dari PUU itu sendiri. direkomendasikan
UU. Ditinjau dari namanya, “Penanggulangan Bencana”, dituangkan dalam jenis
penanggulangan memiliki pengertian proses, cara, perbuatan UU atau PUU di bawah

106
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
menanggulangi; sementara bencana menurut KBBI memiliki UU. Pengaturan ini
pengertian sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) dapat dituangkan
kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Dalam Pasal 1 angka 1 dapalam jensi Perpres.
dikatakan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak Pasalikologis.

Dilihat dari materi muatan UU Penanggulangan Bencana, maka


Penamaan UU Penanggulangan Bencana sudah sesuai.

A. Analisis terhadap dasar hukum mengingat:


Dalam bagian dasar hukum mengingat UU Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan 2 (dua)
pasal UUD NRI Tahun 1945 yaitu: Pasal 20 dan Pasal 21 UUD
NRI Tahun 1945.

- Pasal 20
Pada dasarnya penyebutan Pasal 20 adalah untuk memenuhi
asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (Pasal 5
huruf b UU 12 Tahun 2011). Namun seharusnya dalam
konsideran mengingat tidak disebutkan Pasal 20 secara utuh,
melainkan hanya Pasal 20 Ayat (1) saja yang terkait dengan
ketepatan kelembagaan pembentuk (landasan formil);

107
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)

- Pasal 21
Pasal 21 UUDNRI Tahun 1945 pada dasarnya sama dengan
Pasal 20 yaitu terkait dengan hak DPR dalam mengajukan RUU.

B. Analisis terhadap Politik Hukum (arah pengaturan):


Politik hukum UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana dapat ditinjau dari konsideran
menimbang dan/atau penjelasan umumnya.

Dalam konsideran menimbang, dikatakan bahwa Negara


Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap
kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas
bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang
berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam UUD
NRI Tahun 1945; Bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan
demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang
disebabkan oleh factor alam, factor non alam maupun faktor
manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia
yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak Psikologis yang
dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan

108
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
nasional.

- Dalam penjelasan umum dikatakan bahwa nasional yaitu


serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum, pada
saat maupun sesudah terjadinya bencana. Selama ini masih
dirasakan adanya kelemahan baik dalam pelaksanaan
penanggulangan bencana maupun yang terkait dengan
landasan hukumnya, karena belum ada undang-undang yang
secara khusus menangani bencana.
- Materi muatan UU ini berisikan ketentuan-ketentuan pokok
sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan
tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, yang dilaksanakan secara terencana,
terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap
tanggap darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah. Badan penanggulangan
bencana tersebut terdiri dari unsur pengarah dan unsur
pelaksana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas
dan fungsi antara lain pengkoordinasian penyelenggaraan
penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu
sesuai dengan kewenangannya.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan

109
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
dengan memperhatikan hak masyarakat yang antara lain
mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar,
mendapatkan perlindungan sosial, mendapatkan
pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan.
4. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan
memberikan kesempatan secara luas kepada lembaga
usaha dan lembaga internasional.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada
tahap pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca
bencana, karena masing-masing tahapan mempunyai
karakteristik penanganan yang berbeda.
6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan
bencana selain didukung dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, juga disediakan dana siap pakai dengan
pertanggungjawaban melalui mekanisme khusus.
7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan
bencana dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat pada setiap tahapan bencana, agar tidak
terjadi penyimpangan dalam penggunaan dana
penanggulangan bencana.
8. Untuk menjamin ditaatinya undang-undang ini dan
sekaligus memberikan efek jera terhadap para pihak, baik

110
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
karena kelalaian maupun karena kesengajaan sehingga
menyebabkan terjadinya bencana yang menimbulkan
kerugian, baik terhadap harta benda maupun matinya
orang, menghambat kemudahan akses dalam kegiatan
penanggulangan bencana, dan penyalahgunaan
pengelolaan sumber daya bantuan bencana dikenakan
sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana denda,
dengan menerapkan pidana minimum dan maksimum.
Kesimpulan Analisis:

UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak


tepat dituangkan dalam jenis UU, sebab tidak didasarkan pada
Pasal tertentu secara tegas dalam UUD NRI Tahun 1945. Namun
demikian, mengingat pentingnya masalah penanggulangan
bencana merupakan masalah yang penting dalam rangka
melindungi warga negaranya maka persoalan penanggulangan
bencana dapat dituangkan dalam jenis peraturan perundang-
undangan yang tepat yaitu dalam bentuk Peraturan Presiden.

2. Pasal 3 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 Ubah
Rumusan tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

3. Pasal 4 Kejelasan - Tujuan harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang Ubah

111
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Rumusan benar agar dapat dioperasionalkan.
- Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan UU
diubah dan dimasukkan dalam Bab I Ketentuan Umum atau
penjelasan umum atau tercermin dalam Naskah Akademik.
4. Pasal 60 Ayat (3), Kejelasan - Ayat (3) Pemerintah daerah dapat membentuk atau menunjuk Ubah
(4) dan (5) Rumusan Badan Hukum.
- Ayat (4) Pembentukan atau penunjukan badan hukum
ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya.
- Ayat (5) Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, pembentukan atau
penunjukan badan hukum ditetapkan oleh Gubernur.
- Dalam penjelasan dikatakan cukup jelas.
- Dari Ayat-Ayat tersebut diatas bermakna ambigu atau
menimbulkan suatu ketidakjelasan. Ketidakjelasan tentang
bagaimana mekanisme penunjukannya. Sebab, hal ini terkait
dengan kewenangan seorang pejabat Gubernur ataupun
Bupati/Walikota dalam menjalankan kewenangannya. Ayat ini
sangat rentan untuk diselewengkan.
- Oleh karena itu, Ayat tersebut harus diubah dengan
penambahan penjelasan pada penjelasannya atau mekanisme
penunjukan diatur dalam ketentuan tersendiri yang disebutkan
dalam Ayat berikutnya.
5. Pasal 75-79 Kejelasan - Pasal 150 Ayat (1), (2) dan (3) mengatur mengenai sanksi Ubah
Rumusan administrative.
- Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan Peraturan

112
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Perundang-undangan, dikatakan bahwa substansi yang berupa
sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran
norma dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma
yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan;
- Oleh karena itu seharusnya sanksi administratif dalam pasal
150 disusun menjadi bagian dalam masing-masing pasal yang
dengan norma yang memberikan sanksi administrative.

7. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara


Terdiri dari 175 (seratus tujuh puluh lima) Pasal.
Status pasal:
- Terdapat perubahan norma pada Pasal 6 Ayat (1) huruf e, Pasal 9 Ayat (2), Pasal 14 Ayat (1), dan Pasal 17, karena dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi oleh Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012;
- Terdapat perubahan norma pada Pasal 22 huruf e, huruf f dan Pasal 52 Ayat (1), karena dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh
putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010;
- Terdapat perubahan norma pada Pasal 55 Ayat (1) dan Pasal 6 Ayat (1), karena dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh putusan
MK Nomor 30/PUU-VIII/2010;
- Terdapat perubahan norma pada Pasal 10 huruf b, karena dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh putusan MK Nomor 32/PUU-
VIII/2010.
Rekomendasi : UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara direkomendasikan di ubah.

113
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
1. Pasal 2 Kejelasan Sebagaimana petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 Ubah
Rumusan tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan
bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya
masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal
atau bab.

2. Pasal 3 Kejelasan Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dari UU dan naskah Ubah
Rumusan akademiknya. Jika sangat didirekomendasikankan, maka harus dituangkan
dalam bentuk penulisan norma tingkah laku yang membutuhkan operator
norma agar dapat dioperasionalkan.

Misalnya rumusan diganti dengan: “pengelolaan mineral batubara harus


ditujukan untuk:...... “ (Kata “harus” di sini berfungsi sebagai operator norma,
dan dengan demikian memiliki konsekuensi jika pengelolaan energi tidak
ditujukan sebagaimana yang dimaksud).

3. Pasal 4 Kesesuaian Ketentuan ini mempertegas bahwa penguasaan sumber daya minerba di Ubah
Norma tangan Negara, untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Pada
dengan Asas hakekatnya ketentuan ini merupakan penjabaran dari apa yang dimaksud
oleh Pasal 33 Ayat (3), yaitu bahwa:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Namun demikian, pada Ayat (2) menyebutkan bahwa penguasaan minerba


diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemda direkomendasikan ditinjau

114
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
ulang, karena bahan galian minerba merupakan asset strategis nasional.
Selain itu dari segi teknologi dan dampak lingkungan tidak semua pemda
menguasai persoalannya, sehingga banyak menimbulkan ekspoitasi yang
merusak lingkungan tanpa penanganan dari Pemda.

4. Pasal 6 Kesesuaian (Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012) Ubah


Norma
dengan Asas Ayat (1) huruf e dibatalkan oleh MK, sepanjang tidak dimaknai setelah
ditentukan oleh Pemda.

Frasa “setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah” dalam Pasal 6 Ayat


(1) huruf e, Pasal 9 Ayat (2), Pasal 14 Ayat (1), dan Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang
tidak dimaknai “setelah ditentukan oleh pemerintah daerah”.

Bunyi Pasal 6 Ayat (1) huruf e:

“Penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah


daerah dan berkonsultasi dengan DPR RI”.

Bunyi Pasal 1 angka 29:

“Wilayah Pertambangan (WP) adalah wilayah yang memiliki potensi mineral


dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi

115
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.”

Lampiran UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda huruf CC Pembagian Urusan


Pem Konkuren Bid ESDM, table Nomor 2 Sub Urusan Minerba.

Urusan Pemerintah Pusat:

“a. Penetapan wilayah pertambangan sebagai bagian dari rencana tata


ruang wilayah nasional, yang terdiri atas wilayah usaha pertambangan,
wilayah pertambangan rakyat dan wilayah pencadangan negara serta
wilayah usaha pertambangan khusus.

b. penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara


serta wilayah izin usaha pertambangan khusus. c. Penetapan wilayah izin
usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan lintas Daerah
Provinsi dan wilayah laut lebih dari 12 mil.

d. dst”.

Urusan Pemerintah Daerah Provinsi:

a. Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan


batuan dalam 1 (satu) Daerah Provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12
mil.

b. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara dalam


rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha

116
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
pertambangan Daerah yang berada dalam 1 (satu) Daerah Provinsi
termasuk wilayah laut sampai dengan 12 mil laut.

c. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan


dalam rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha
pertambangan yang berada dalam 1 (satu) Daerah Provinsi termasuk
wilayah laut sampai dengan 12 mil laut.

d. dst.”

5. Pasal 7 Potensi Rincian Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan Ubah
Disharmoni minerba, direkomendasikan disesuaikan pembagian urusan pemerintahan
(aspek konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
kewenangan)

6. Pasal 8 Potensi Rincian Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan Ubah


Disharmoni pertambangan minerba, direkomendasikan disesuaikan pembagian urusan
(aspek pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang
kewenangan) Pemda.

7. Pasal 14 Kejelasan Penetapan WUP berkoordinasi dengan DPR dan pemda setempat. Ubah
Norma Ayat (1) di batalkan oleh MK (Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012) sepanjang
tidak dimaknai ‘setelah ditentukan oleh Pmeda’.
8. Pasal 15 Kesesuaian Direkomendasikan disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren Ubah
Norma sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.

117
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
dengan Asas

9. Pasal 17 Kejelasan Penetapan WUP berkoordinasi dengan DPR dan pemda setempat, dibatalkan Ubah
Norma oleh MK (Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012), sepanjang tidak dimaknai
‘setelah ditentukan oleh Pmeda’.

10. Pasal 21 Potensi Direkomendasikan disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren Ubah
Disharmoni sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
(aspek
kewenangan)

11. Pasal 23 Potensi Kewenangan Bupati/Walikota direkomendasikan disesuaikan dengan UU Ubah


Disharmoni 23/2014.
(aspek
kewenangan)

12. Pasal 27 Kesesuaian WPN untuk kepentingan strategis nasional, yaitu untuk cadangan komoditas Ubah
Norma tertentu dan daerah konservasi untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan
dengan Asas lingkungan.

Catatan:

Namun pada Ayat (4), juga pada Bab X dan Bab XI yang mengatur IUPK, asas
berkelanjutan menjadi lemah. Perubahan WPN menjadi WIUPK tidak jelas
arah dan kebijakan yang akan dituju. Pasal ini juga berpotensi bertentangan
dengan masalah konservasi hutan yang diatur dalam Pasal 38 Ayat (4) UU 4

118
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
tahun 1999 tentang Kehutanan. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 1 Tahun
2004 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang menambahkan Pasal
83A dan 83B yang meyangkut IUP pada hakekanya hanya untuk menghindari
ketidakpastian pada masalah ijin usaha pertambangan. Untuk itu
direkomendasikan diatur bahwa ijin pertambangan di wilayah hutan
konservasi tidak boleh diperpanjang.

13. Pasal 28 Kesesuaian Ketentuan ini pada dasarnya mengatur pengecualian bagi pasal sebelumnya Ubah
Norma (Pasal 27) mengenai WPN. Untuk memastikan asas keberlanjutan berjalan
dengan Asas dengan baik, maka ketentuan pasa ini direkomendasikan pengaturan yang
lebih tegas, yaitu dengan mengubah kata “dapat” menjadi kata “wajib”.
Sehingga berbunyi: “perubahan status WPN sebagaimana dimaskdu dalam
Pasal 27 menjadi WPUK wajib mempertimbangkan:…..”. Dengan demikian
ketentuan ini memilki konsekwensi jika tidak mempertimbangkan kriteria-
kriteria dimaksud. Untuk itu pasal ini direkomendasikan diubah.

14. Pasal 37 Potensi Direkomendasikan disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren Ubah
Disharmoni sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
(aspek
kewenangan)

15. Pasal 40 Potensi Syarat-syarat dan kriteria yang harus dipenuhi pemegang IUP. Ayat (6) dan Ubah
Disharmoni (3) yang member kewenangan kepada Bupati/Walikota sudah tidak sesuai
(aspek dengan UU 23/2014 tentang Pemda, mengenai pembagian urusan
kewenangan) pemerintahan konkuren sub bidang Minerba, yang sudah tidak memberikan

119
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
kewenangan kepada bupati/walikota untuk mengeluarkan ijin.

16. Pasal 43 Kesesuaian Mineral dan batu bara yang tergali pada masa eksplorasi atas dasar IUP, Ubah
Norma wajib dilaporkan dan jika ingin menjual, wajib seizin pemerintah.
dengan Asas Direkomendasikan ditambahkan sanksinya jika ada pelanggaranya, yang
terintgrasi dengan pasal ini.

Catatan:

Pasal 43 Ayat (2) ambigu dengan aturan yang terkandung dalam Pasal 36 dan
Pasal 41. Yaitu bahwa satu IUP hanya diperuntukan bagi IUP tertentu
(eksplorasi dan/atau operasi produksi). Ditegaskan oleh Pasal 41 bahwa IUP
tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUP. Namun
dengan adanya pasal 43 Ayat (2) ini justru memberi peluang bagi pelanggaran
dari pasal 41. Pasal ini harus disempurnakan, bagaimana sebenarnya
kebijakan Pemerintah terhadap IUP ini.

17. Pasal 44 Potensi Pemberian izin sementara oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Ubah
Disharmoni direkomendasikan disesuaikan dengan pembagian urusan pemerintahan
(aspek konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
kewenangan)

18. Pasal 48 Potensi Pemberian IUP pengoperasian produk, direkomendasikan disesuaikan Ubah
Disharmoni dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba
(aspek menurut UU 23/2014 tentang Pemda.

120
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
kewenangan)

19. Pasal 51 Kesesuaian Cara pemberian WIUP logam dengan lelang. Ubah
Norma
dengan Asas Catatan:

Pasal 51 terkait dengan Pasal 1 angka 31. Ketentuan ini tidak mencerminkan
asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan dengan indikator
pembatasan kepemilikan individu dan korporasi. Wilayah pertambangan dan
wilayah usaha pertambangan seharusnya sepenuhnya dikuasai oleh Negara,
oleh karenanya tidak boleh direduksi dengan menyerahkannya kepada
perorangan/korporasoi pemegang IUP. Karena “wilayah” pada hakekatnya
merupakan penguasaan. Akan sangat riskan dengan menyerahkan 100.000
hektar wilayah kepada perseorangan/korporasi. Untuk mengatur mengenai
besara luas usaha pertambangan apakah tidak cukup dengan
menyebutkannya dalam ketentuan mengenai IUP nya, sehingga tidak ada lagi
ketentuan mengenai WIUP.

20. Pasal 67 Potensi Pelimpahan kewenangan kepada camat dari Walikota/Bupati untuk Ubah
Disharmoni pemberian IPR, tidak dapat dilakukan lagi karena tidak sesuai dengan
(aspek pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan
kewenangan) sebagaimana diatur dalam UU 23/2014, dimana Bupati/Walikota sudah tidak
lagi mempunyai kewenangan pemberian izin.

21. Pasal 81 Kesesuaian Mineral dan batu bara yang tergali pada masa eksplorasi atas dasar IUPK, Ubah
Norma wajib dilaporkan dan jika ingin menjual, wajib seizin Pemerintah.

121
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
dengan Asas Direkomendasikan ditambahkan sanksinya jika ada pelanggaranya, yang
terintgrasi dengan pasal ini

22. Paasal 93 Kejelasan Ketentuan ini mengandung larangan, namun sanksinya tidak dilekatkan pada Ubah
Norma pasal ini, maka direkomendasikan diubah agar larangan dan sanksi
administratifnya terintegrasi dalam satu pasal.

23. Pasal 104 Potensi Direkomendasikan disesuaikan dengan pembagian urusan Ubah
Disharmoni pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan sebagaimana diatur
(aspek dalam UU Nomor 23 Tahun 2014.
kewenangan)

24. Pasal 114 Potensi Direkomendasikan penyesuaian kewenangan Bupati/Walikota sesuai dengan Ubah
Disharmoni UU 23/2014.
(aspek
kewenangan)

25. Pasal 118 Potensi Pengembalian IUP dn IUPK kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Ubah
Disharmoni direkomendasikan disesuaikan Pembagian urusan pemerintahan konkuren
(aspek sub bidang pertambangan sebagaimana diatur dalam UU 23/2014, dimana
kewenangan) Bupati/Walikota sudah tidak lagi mempunyai kewenangan memberian izin.

26. Pasal 119 Potensi Kemungkinan IUP dan IUPK dicabut dengan alasan kepentingan umum dan Ubah
Disharmoni LH direkomendasikan dipertahankan, namun normanya disesuaikan
(aspek kewenangan masing-masing, antara Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota.

122
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
kewenangan)

27. Pasal 122 Potensi Pengembalian IUP /IUPK yang sudah berakhir kepada Ubah
Disharmoni Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota, direkomendasikan disesuaikan dengan
(aspek kewenangan Bupati/Walikota sebagaimana diatur dalam UU 23 Tahun 2014
kewenangan) tentang Pemda.

28. Pasal 121 Kesesuaian Pada Ayat (1) bagi pemegang IUP atau IUPK yang berakhir karena alasan Ubah
Norma tertentu (dikembalikan atau dicabut) tetap wajib menyelesaikan dan
dengan Asas memenuhi kewajibannya. Namun pada Ayat (2) pasal ini dinegasikan dengan
kemungkinan dapat dianggap telah dipenuhi, dengan persetujuan Menteri,
Gubernur/Bupati/Walikota. Untuk menghindari ini sebaiknya diberi
perbedaan, mana yang dapat dianggap telah selesai, dan mana yang tidak
bias dianggap telah selesai kewajibannya. Jika berakhir dengan alasan dicabut
karena tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP/IUPK
sebaiknya tidak bisa dianggap telah selesai, sehingga direkomendasikan ada
pengecualian saja.

29. Pasal 139 D4 (aspek Pembinaan yang dimaksud: pemberian pedoman dan standar, bimbingan, Ubah
kewenangan) supervisi, pendidikan, pelatihan perencanaan, penelitan dan lain-lain. Pada
Ayat (3) pelimpahan kewenangan pembinaan dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah, direkomendasikan disesuaikan dengan pembagian
urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan (UU 23 Tahun
2014).

123
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
30. Pasal 140 D4 (aspek Pengawasan dilakukan oleh menteri dan dilaksanakan oleh Pemerintah Ubah
kewenangan) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Khusus untuk Kabupaten/Kota
direkomendasikan disesuaikan.

31. Pasal 141 Kesesuaian Direkomendasikan diberikan kewenangan yang tegas dan jelas kepada Ubah
Norma inspektur tambang, sehingga tidak hanya mengawasi keselamatan kerja,
dengan Asas tetapi juga benar-benar mengawasi pengelolaan lingkungan hidup, pasca
tambang, juga pengawasan jumlah produksi, jumlah ekspor dan kualitas
bahan tambang serta material hasil tambang lainnya untuk dijual atau
diekspor.

32. Pasal 143 D4 (aspek Bupati/Walikota tidak lagi diberikan kewenangan penerbitan izin maupun Ubah
kewenangan) pembinaan dan pengawasan di bidang minerba. Maka ketentuan ini harus
disesuaikan.

33. Pasal 151 Kejelasan Jenis-jenis sanksi administratif didirekomendasikankan untuk menjamin Ubah
rumusan kepastian hukum, namun teknik penulisan sanksi administratif menurut
teknik penulisan PUU dalam Lampiran II UU 12/2011, diletakan pada masing-
masing larangan yang dikenakan sanksi, bukan dilekatkan pada satu pasal,
berbeda dengan teknik penulisan ketentuan pidana (petunjuk Nomor 64-66
lampiran II UU 12 Tahun 2011). Oleh karena itu ketentuan ini harus dicabut,
dan seluruh ketetnuan sanksi dilekatkan pada pasal-pasal yang memiliki
sanksi administratif.

34. - Efektivitas Kawasan pertambangan tidak diperintahkan untuk diatur dalam Perda Tata UU Minerba
(aspek Ruang, wilayah pertambangan mempunyai pedoman tersendiri, sehingga direkomendasikan

124
NO BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
kekosongan seringkali tidak sinkron dengan RTRW yang sudah dicanangkan, terutama mengatur mengenai
hukum) gesekan antara kawasan hutan, kawasan pertanian dan kawasan kewajiban penentuan
pertambangan. WP yang merujuk pada
tata ruang wilayah.

8. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Terdiri dari 127 pasal.
Status pasal : terdapat perubahan norma pada Pasal 59 auat (4) dan Pasal 95 Ayat (1), karena dinyatakan bertentangan
dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekukatan hukum mengikat oleh putusan MK Nomor18/PUU-XII/2014,
tanggal 27 Oktober 2014.
Rekomendasi : UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup direkomendasikan di ubah

NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI


YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
1. Pasal 2 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 Ubah
Rumusan tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

125
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
2. Pasal 3 Kejelasan - Tujuan seharusnya dituangkan dalam ketentuan atau penjelasan Ubah
Rumusan umum dari suatu peraturan perundang-undangan tanpa dirumuskan
tersendiri dalam pasal atau bab. Hal ini sesuai dengan Lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3 nomor 98 mengenai isi ketentuan
umum.
- Jika sangat didirekomendasikankan, maka harus dituangkan dalam
bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkan.
- Direkomendasikan ditambahkan kata “harus” sebagai operator
norma tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi jika tidak
tercapai tujuannya.
3. Pasal 14 Kesesuaian Pasal ini membahas tentang instrumen pencegahan pencemaran Ubah
Norma dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
dengan
Asas Instrumen yang telah dijelaskan dalam pasal tersebut diatas adalah
sudah cukup lengkap untuk melindungi lingkungan hidup dari
pencemaran dan kerusakan, namun dalam penerapannya justru
beberapa instrumen tidak diperhatikan sama sekali, contohnya
instrumen perizinan, kadangkala pejabat yang berwenang dalam
memberikan izin sama sekali tidak memperhatikan aspek risiko
lingkungan, dan memberikan izin pengelolaan tersebut dengan sangat
mudah hanya demi pemasukan daerah. Alhasil tidak sedikit sungai-
sungai di Indonesia yang mengalami kerusakan lingkungan karena
diakibatkan hal tersebut. Instrumen AMDAL, banyak perusahaan di
Indonesia yang masih tidak memiliki dokumen AMDAL, sehingga
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh minimnya penanggulangan

126
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
akibat pun terjadi.

TIDASK SESUAI DNG ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

DG INDIKATOR: Aturan dan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah.

4. Pasal 20 Kejelasan - Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar Ubah
Rumusan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Selanjutnya pada Pasal 20 dinyatakan baku mutu lingkungan
meliputi, baku mutu air, baku mutu air limbah, baku mutu air laut,
baku mutu udara ambient, baku mutu emisi, baku mutu gangguan,
dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait
temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut,
didirekomendasikankan proses yang tidak sederhana dan
membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan
dalam waktu cepat.
5. Pasal 26 Ayat Kejelasan - Dalam pasal ini, tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimana Ubah
(2) dan (4) Rumusan “bentuk informasi yang transparan dan lengkap” tersebut dan upaya
hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut tidak dilakukan,
begitupula dalam Ayat (4) “masyarakat sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL”
juga tidak diikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan

127
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
dalam hal yang seperti apa masyarakat menolak dokumen tersebut,
sehingga justru mereduksi hak-hak masyarakat dalam proses awal
pembangunan.
6. Pasal 46 Kejelasan - Ketentuan ini akan sangat merugikan karena pencemarnya tidak Ubah
Rumusan diungkit sama sekali, dan anehnya di penjelasannya juga tertulis
“cukup jelas”, padahal ketentuan dalam pasal ini bisa melepaskan
pencemarnya begitu saja dan pemulihan justru dibebankan kepada
pemerintah.
7. Pasal 66 Kejelasan - Dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa ketentuan ini Ubah
Rumusan dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang
menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup dan perlindungan dimaksudkan untuk mencegah
tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan
perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.
- Kalimat terakhir yang sekaligus penutup dari penjelasan tersebut
“dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan merupakan
kalimat kunci yang dimaksudkan untuk mematahkan/mementahkan
janji dari pasal 66. Artinya diberlakukannya hak perlindungan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 masih harus ditentukan dan
diuji lagi oleh peradilan.
- Bahwa disidang peradilan segala sesuatu (apapun) masih mungkin
terjadi termasuk mengabaikan pemberlakuan pasal 66 karena hakim
bebas dan memiliki hak mutlak untuk menentukan/menjatuhkan
putusannya.

128
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS

8. Pasal 69 Ayat Kejelasan - Dalam penjelasan pasal 69 Ayat (1) huruf h sebagaimana yang Ubah
(1) Rumusan dimaksud kearifan lokal dalam pasal 69 Ayat (2) yaitu, kearifan lokal
yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran
lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga
untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat
bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Jika
hal ini tidak tersosialisasikan ke masyarakat, terutama masyarakat
pedesaan bisa saja akan menimbulkan permasalahan dan konflik
baru.
9. Pasal 98 dan Kejelasan - Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana, Ubah
99 Rumusan biasanya dijabarkan secara rinci, tetapi dalam Pasal 98 dan Pasal 99
terdapat kesalahan fatal karena diabaikannya (dihilangkan) unsur
perbuatan melawan hukum yang seharusnya ada.
10. Pasal 101, Kejelasan - Sanksi hukum dalam Pasal 101 berbunyi ”setiap orang yang Ubah
102, dan 108 Rumusan melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
- Dalam Pasal 102 berbunyi ”setiap orang yang melakukan pengelolaan
limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 Ayat (4),

129
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).” Hal ini justru menunjukkan
ketidakpedulian Negara terhadap nilai keadilan akibat kejahatan yg
berkaitan limbah B3, apalagi jika dibandingkan dengan sanksi hukum
dalam Pasal 108 UU PLH.
- Pasal 108 UU PLH sangat penting untuk dilakukan sosialisasi, karena
hal ini bisa menimbulkan kesalah pahaman dan kesewenang-
wenangan dalam penerapannya. Dalam masyarakat pedesaan, masih
banyak lahan milik masyarakat (perorangan) yang luasnya diatas 2
(dua) hektar. Sebagimana bunyi pasal 108 bahwa “Setiap orang yang
melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
Ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

130
9. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Terdiri dari 50 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
1. Pasal 1 Kejelasan Direkomendasikan penambahan butir yang menjelaskan mengenai Ubah
Rumusan siapa/pihak mana yang dimaksud dengan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, agar jelas dalam pelaksanaan ketentuan pasal selanjutnya.
2. Pasal 5 Kesesuaian Ketentuan Pasal 5 yang memberikan peluang bagi badan usaha untuk Ubah
Norma mengusulkan KEK kepada Dewan Nasional, sebaiknya dihilangkan, karena
dengan badan usaha adalah badan yang berorientasi pada profit, sehingga
Asas memiliki potensi untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya
tanpa memandang kepentingan umum. Oleh karenanya, jika ada badan
usaha yang memiliki usul KEK, sebaiknya disalurkan pada Pemerintahan
(Provinsi/Kabupaten/Kota), agar dapat dipastikan oleh pemerintah
bahwa usulan ini memang untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian sebaiknya pengusulan KEK hanya dapat
datang dari Pemerintah Kabupaten/Kota atau Provinsi saja.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Pengayoman, dan Keseimbangan,
Keserasian, Dan Keselarasan
INDIKATOR:
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terjaminnya perlindungan masyarakat;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya

131
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
prinsip kehati-hatian.
3. Pasal 8 Kejelasan Pasal ini mengatur bahwa dalam hal tertentu pemerintah dapat Ubah
Rumusan menetapkan wilayah KEK tanpa melalui proses pengusulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5. Artinya, bahwa pasal ini ingin memberi
pengecualian terhadap ketentuan Pasal 5, namun tidak memberikan
kriteria pengecualian tersebut, sehingga berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum. Jika mengecualian ini akan diatur lebih lanjut,
maka sebaiknya disebutkan secara tegas bahwa pengecualian ini akan
diatur lebih lanjut pada peraturan pelaksanaannya. Ketentuan
pengecualian ini dapat ditambahakan pada Pasal 9, sehingga menyatakan
bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan KEK dan
pengecualiannya diatur dengan PERATURAN PEMERINTAH”.
Ketentuan yang berbunyi “Dalam hal tertentu, Pemerintah dapat
menetapkan suatu wilayah sebagai KEK tanpa melalui proses pengusulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5” Sebaiknya diikuti dengan
prasyarat bahwa penentuan ini tidak bertentangan dengan RTRW dan
tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung dan masyarakat setempat
Kesesuaian yang akan terkena dampak. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi
Norma ekonomi yang dianut oleh UU ini, sebagaimana disebutkan dalam
dengan Panjelasan Umumnya.
Asas TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: kekeluargaan
INDIKATOR: Adanyaketentuan yang menjamin pelibatan seluruh pihak
terdampak dalam pembentukan kebijakan
4. Pasal 10 Kesesuaian Berpotensi menimbulkan conflict of interest dari badan usaha yang Ubah

132
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
Norma mengusulkan (sebagaimana diatur dalam Pasal 5) dan yang akan
dengan ditunjuk pemerintah dalam melaksanakan pembangunan KEK.
Asas TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Pengayoman, dan Keseimbangan,
Keserasian, dan Keselarasan
INDIKATOR:
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terjaminnya perlindungan masyarakat;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya
prinsip kehati-hatian.
5. Pasal 11 Kesesuaian Idem (lihat analisis Nomor 2 dan Nomor4) Ubah
Norma
dengan
Asas
6. Pasal 20 Ayat Kejelasan Pasal 20 Ayat (1) yang mengatur mengenai komposisi Dewan Kawasan Ubah
(1) Rumusan tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 14 Ayat (3) yang menyatakan
bahwa Dewan Kawasan terdiri atas wakil dari pemerintah dan wakil dari
pemerintah daerah. Dalam Pasal 20 Ayat (1) disebutkan bahwa: Dewan
Kawasan atas ketua, yaitu Gubernur, wakil ketua, yaitu Bupati/Walikota,
dan anggota, yaitu unsur Pemerintah di Provinsi, dan unsur Pemerintah
Kabupaten/Kota. Di sini tidak menyebutkan wakil Pemerintah dalam
komposisi Dewan Kawasan, melainkan hanya wakil dari pemerintah
daerah. Oleh karenanya, dalam ketentuan umum Pasal 1
direkomendasikan dijelaskan siapa yang dimaksud pemerintah dan siapa
yang dimaksud dengan pemerintah daerah.

133
10. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Terdiri dari 77 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan direkomendasikan di ubah

NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI


YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
1. Pasal 2 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Ubah
Rumusan Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa
ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya
masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam
pasal atau bab.

2. Pasal 3 Kejelasan Tujuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat Ubah
Rumusan dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-undang dan
dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini
dibutuhkan dalam suatu PUU, maka dirumuskan dalam salah satu butir
pasa1 tentang ketentuan umum (baca petunjuk Nomor 98 huruf c,
Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3).

3. Pasal 4 Kejelasan Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada pasal 1 Di Cabut
Rumusan tentang ketentuan umum.

4. Pasal 8 Ketentuan dalam pasal 8 ini sudah tercermin dalam pasal 7 Ayat (1), Ubah
penambahan dalam pasal 8 tidak direkomendasikan di lakukan karena

134
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
hanya pengulangan saja

5. Pasl 10 – 16 Kejelasan Berisi tentang pedoman perencanaan LP2B. Namun pelanggaran Ubah
Rumusan terhadap ketentuan perencanaan ini tidak memiliki konsekwensi atau
sanksi, sehingga berpotensi tidak efektif.

6. Pasal 17 Kejelasan Berisi pedoman bahwa LP2B dimuat dalam RPJP, RPJMN dan RKP. Namun Ubah
Rumusan tidak memiliki konsekwensi apapun jika ketentuan ini tidak dilaksanakan.
Sehingga ketentuan ini berpotensi tidak efektif. Untuk itu
direkomendasikan dipertimbangkan kembali rumusannya.

7. Pasal 18 – 25 Kejelasan Berisi pedoman mengenai penetapan, namun tidak memiliki Ubah
Rumusan konsekwensi, sehingga berpotensi tidak efektif .

8. Pasal 64 Ketepatan Tidak menyebutkan secara tegas, jenis PUU yang akan mengatur lebih Ubah
jenis PUU lanjut. Hal ini sebagaimana petunjuk Nomor 200 dalam Lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011, bahwa pendelegasian kewenangan mengatur
harus menyebutkan dengan tegas jenis PUU nya.

Dengan tidak disebutkannya dengan jelas jenis PUU yang didelegasikan,


telah terbit UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani, yang secara teknis cukup diatur dalam PUU di
bawah UU.

9. Pasal 70 Kejelasan Sanksi administratif seharusnya diatur secara terintegrasi dengan pasal Ubah

135
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
Rumusan yang dikenai sanksi.

Petunjuk Nomor 64 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011:

“Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan


atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian
(pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi
keperdataan”.

Petunjuk Nomor 65:

“Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan


terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi
keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal)
tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang
sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif
dalam satu bab.”

10. Pasal 72 Kesesuaian Ratio sanksi pidana tidak berpola. Ubah, disesuaikan
Norma dengan tingkat
dengan solvency masyarakat
Asas dan korporasi yang
menjadi subjek hukum,
serta beban keuangan
Negara dengan cost

136
NOMOR BAGIAN DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
YANG (TETAP/UBAH/CABUT)
DIANALISIS
and benefit analysis.

11. Pasal 73 Kesesuaian Menganut sanksi pidana minimal khusus, sehingga Ubah
Norma didirekomendasikankan pengaturan yang memberikan pedoman
dengan bagaimana cara penerapan sanksi pidana minimal khusus tersebut, agar
Asas terjadi kepastian hukum dalam penegakannya.

12. Pasal 74 Kesesuaian Mengatur tanggung jawab korporasi, namun pengenaan sanksi Ubah
Norma pidananya hanya pada pengurusnya. Untuk dapat membidik
dengan korporasinya, maka sebaiknya rumusan normanya lebih dipertegas, yaitu
Asas dengan meyebutkan bahwa sanksi pidana dijatuhkan kepada
pengurusnya, dan sanksi denda kepada korporasinya (bukan kepada
pengurusnya).
Contoh:
“Dalam hal ….dilakukan oleh korporasi, maka sanksi pidana dikenakan
kepada pengurusnya paling banyak……dan sanksi denda kepada
korporasi paling banyak…..”.
Sanksi pidana minimal khusus, memerlukan pengaturan yang
memberikan pedoman bagaimana cara penerapan sanksi pidana minimal
khusus tersebut, agar terjadi kepastian hukum dalam penegakannya.

137
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan Pemukiman
Terdiri dari 167 pasal.
Status pasal : Pasal 22 Ayat (3) dinyatakan bertentangan dengan kosntitusi dan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh Putusan MK
Nomor 14/PUU- X/2012
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun Ubah
Rumusan 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk
huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan
asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam
ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam
pasal atau bab.

2. Pasal 3 Kejelasan Jika tujuan dari undang-undang ini direkomendasikan untuk Ubah
Rumusan dinormakan, seharusnya dituangkan dalam bentuk penulisan
norma yang benar agar dapat dioperasionalkan.

3. Pasal 4 Kejelasan Ruang lingkup tidak direkomendasikan dibuat dalam pasal Ubah
Rumusan tersendiri, tetapi dimasukkan dalam pasal ketentuan umum
dengan megikuti petunjuk dalam lampiran II Nomor 109
huruf a UU Pembentukan PUU dimana pengertian yang
mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu
dari yang berlingkup khusus

4. Pasal 60 Ayat (3), (4) dan Kejelasan - Ayat (3) Pemerintah Daerah dapat membentuk atau Ubah
(5) Rumusan menunjuk Badan Hukum.

138
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
- Ayat (4) Pembentukan atau penunjukan badan hukum
ditetapkan oleh Bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
- Ayat (5) khusus untuk wilayah DKI Jakarta, pembentukan
atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh
Gubernur.
- Dalam penjelasan dikatakan cukup jelas.
- Dari Ayat-ayat tersebut diatas bermakna ambigu atau
menimbulkan suatu ketidakjelasan. Ketidakjelasan
tentang bagaimana mekanisme penunjukannya. Sebab,
hal ini terkait dengan kewenangan seorang pejabat
Gubernur ataupun Bupati/Walikota dalam menjalankan
kewenangannya. Ayat ini sangat rentan untuk
diselewengkan.
- Oleh karena itu, Ayat tersebut haru diubah dengan
penambahan penjelasan pada penjelasannya atau
mekanisme penunjukan diatur dalam ketentuan
tersendiri yang disebutkan dalam Ayat berikutnya.
5. Pasal 64 Ayat (4) Kejelasan - Perencanaan kawasan pemukiman dapat dilakukan oleh Ubah
Rumusan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang.
- Dalam penjelasan disebutkan cukup jelas.
- Penggunaan kata “dan” pada Ayat tersebut dalam teknis
penyusunan perundang-undangan memiliki makna
kumulatif. Dalam arti perencanaan tersebut dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Setiap Orang

139
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
secara bersama.
- Seharusnya menggunakan dan/atau sehingga
perencanaan tersebut dapat dilakukan baik secara
kumulatif atau alternatif.
6. Pasal 150 Ayat (1), (2) dan Kejelasan - Pasal 150 Ayat (1), (2) dan (3) mengatur mengenai sanksi Ubah
(3) Rumusan administratif.
- Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dikatakan bahwa
substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi
keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan
menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang
memberikan sanksi administratif atau sanksi
keperdataan.
- Oleh karena itu seharusnya sanksi administratif dalam
Pasal 150 disusun menjadi bagian dalam masing-masing
pasal yang dengan norma yang memberikan sanksi
administratif.
7. Bab XVI Ketentuan Pidana Kejelasan - Penegakan hukum untuk sanksi pidana Ubah
Rumusan direkomendasikan merujuk pada hukum materiil dan
hukum formil dalam hukum pidana (KUHP dan KUHAP).
Pasal 151, 152, 153, 154, Dalam KUHP membedakan antara aturan umum untuk
155, 156, 157, 158, 159, kejahatan dan aturan umum untuk pelanggaran (antara
160, 161, 162, 163 lain dalam aturan atau ketentuan tentang percobaan,
concursus daluwarsa dan sebagainya). Tidak
ditetapkanya kualifikasi delik apakah tindak pidana yang

140
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
dimuat tersebut apakah kejahatan ataukah pelanggaran
telah menyebabkan tidak dapat
diberlakukannya beberapa aturan umum dalam KUHP.
- Petunjuk Nomor 121 Lampiran II UU 12/2011
menyatakan bahwa sehubungan adanya pembedaan
antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana
pelanggaran dalam KUHP, maka rumusan ketentuan
pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari
perbatan yang diancam pidana, apakah kejahatan atau
pelanggaran.
- Oleh karena itu direkomendasikan ada penambahan
pasal yang menyatakan kualifikasi perbuatan yang
diancam pidana pada pasal Pasal 151-163 apakah
pelanggaran atau kejahatan.
-
Rekomendasi:

Diubah, dengan penambahan Ayat pada pasal dengan frasa:

“Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (…) adalah


kejahatan” atau

“Tindak pidana sebagaimana di maksud pada Ayat (…)


adalah pelanggaran

8. Pasal 42 Ayat (2) Kesesuaian Pada tataran implementasi banyak pengembang yang
Norma melakukan perjanjian pendahuluan padahal belum ada

141
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
dengan bangunan sama sekali. Penegakan hukumnya lemah.
Asas

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian


hukum

INDIKATOR: Akuntabilitas pengelolaan

9. Pasal 50 Ayat (2) Ketentuan sewa menyewa rumah telah diatur dalam Ubah
KUHPerdata (BW), tidak direkomendasikan dituangkan
dalam PERATURAN PEMERINTAH tersendiri, kecuali akan
mengatur hal-hal khusus yang tidak bertentangan dengan
asas-asas hukum perdata.

10. Pasal 60 Kesesuaian Pada Ayat (4) dikatakan bahwa pembentukan atau Ubah
Norma penunjukan badan hukum ditetapkan oleh Bupati/walikota
dengan sesuai dengan kewenangannya.
Asas
Hal ini sudah tidak sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan UU
No 9 Tahun 2015, dimana kewenangan Bupati/Walikota
sudah ditarik menjadi kewenangan Gubernur.

Oleh karena itu, Ayat (4) dan (5) bisa dijadikan 1 pasal
menjadi:

“pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan

142
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
oleh Gubernur sesuai dengan kewenangannya.”

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kenusantaraan

INDIKATOR: Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah

11. Pasal 66 Ayat (4), (5), (6) Kesesuaian Hal ini sudah tidak sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014 Ubah
Norma tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan UU
dengan No 9 Tahun 2015, dimana kewenangan Bupati/Walikota
Asas sudah ditarik menjadi kewenangan Gubernur.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kenusantaraan

INDIKATOR: Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah

12. Pasal 109 Ayat (2), (3), (4) Kesesuaian Hal ini sudah tidak sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014 Ubah
Norma tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan UU
dengan No 9 Tahun 2015, dimana kewenangan Bupati/Walikota
Asas sudah ditarik menjadi kewenangan Gubernur.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kenusantaraan

INDIKATOR: Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah

13. Pasal 137 Kesesuaian Pada kenyataannnya banyak pengembang yang menjual Ubah
Norma satuan lingkungan perumahan dengan status tanah girik,
dengan akta jual beli.

143
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Asas TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian
Hukum

INDIKATOR: Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran

14. Pasal 139 Kesesuaian Pasal ini berpotensi bermasalah di implementasi. Ubah
Norma
dengan Tidak sedikit lahan yang berstatus jalur hijau dibangun
Asas perumahan dan/atau permukiman, sehingga belum
optimal pengawasan dan penegakan hukumnya.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian


Hukum

INDIKATOR: Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran

15. Pasaal 140 Kesesuaian Pasal ini berpotensi bermasalah di implementasi. Ubah
Norma Sebagaimana kita sering lihat, banyak perumahan dan
dengan permukiman yang dibangun di bawah suhu tegangan tinggi
Asas (sutet) listrik, di bantaran kali ataupun di lereng bukit yang
kemungkinan bias longsor.

Oleh karena itu pasal ini bermasalah di pengawasan


maupun penegakan hukumnya

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian


Hukum

144
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
INDIKATOR: Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran

16. Pasal 146 Ayat (2) Kesesuaian Kavling tanah matang ukuran kecil. Berapa luas yang Ubah
Norma dikategorikan ukuran kecil, seharusnya dijelaskan di
dengan penjelasan sehingga pasti.
Asas
Namun demikian, dalam penjelasan disebutkan cukup
jelas.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian


Hukum

INDIKATOR: Akuntabilitas pengelolaan

17. Pasal 50 Ayat (2) Kesesuaian Ketentuan sewa menyewa rumah telah diatur dalam Ubah
Norma KUHPerdata (BW), tidak direkomendasikan dituangkan
dengan dalam PERATURAN PEMERINTAH tersendiri, kecuali akan
Asas mengatur hal-hal khusus yang tidak bertentangan dengan
asas-asas hukum perdata.

145
12. UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
Terdiri dari 71 pasal.
Status pasal : berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial direkomendasikan di ubah. UU ini tidak tepat
dituangkan dalam jenis UU. Namun demikian, mengingat pentingnya masalah IG bagi perencanaan pembangunan bidang
eknomi, social, budaya dan Ketahanan Nasional Yang Berhubungan Dengan Ruang Kebumian, Maka IG Dapat Dituangkan
Dalam Jenis PERATURAN PEMERINTAH (jika dapat dianggap sebagai pelaksanaan dari UU 14/2008 tentang KIP) atau
Perpres (jika lebih menekankan pada penataan kelembagaan penyelenggara IG, dan bukan dalam rangka melaksanan UU di
atasnya).
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
1. - Nama UU; Ketepatan A. Analisis terhadap “nama” UU: Ubah
- Dasar Hukum Jenis PUU Dalam petunjuk Nomor 3 Lampiran II UU 12/2011, dinyatakan
UU; bahwa nama PUU menggunakan kata atau frasa, yang secara
- Politik Hukum esensial maknanya telah mencerminkan isi dari PUU itu sendiri.
UU. Ditinjau dari namanya, “Informasi Geospasial” dapat diasumsikan
bahwa UU ini beisi tentang informasi. Informasi adalah suatu
keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang
mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun
penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang
disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara
elektronik ataupun nonelektronik (Pasal 1 UU 14/2008 tentang
KIP). Dari pengertiannya dapat dillihat bahwa informasi adalah
suatu persoalan yang sangat teknis aplikatif. Sampai pada analisis
nama ini, maka PUU yang pokok materi muatannya adalah

146
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
mengenai informasi tidak tepat dituangkan dalam jenis UU.

B. Analisis terhadap dasar hukum mengingat:


Dalam bagian dasar hukum mengingat UU 4/2011 tentang IG,
disebutkan 5 (lima) pasal UUD 1945, yaitu: Pasal 5 Ayat (1), Pasal
20, Pasal 25A, Pasal 28F dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4).

- Pasal 5 (1)
Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukan bahwa
pembentukan UU ini dibentuk oleh kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat (asas kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat, sebagaimana Pasal 5 huruf b UU
12/2011), dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
(landasan formil)

- Pasal 20
Pada dasarnya penyebutan Pasal 20 adalah sama maknanya
dengan penyebutkan Pasal 5 (1), yaitu untuk menenuhi asas
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (Pasal 5
huruf b UU 12/2011). Namun seharusnya Pasal 20 tidak
disebutkan secara utuh, melainkan hanya Ayat (1) yang terkait
dengan ketepatan kelembagaan pembentuk. (landasan formil)

- Pasal 25A
Pasal 25A UUD 1945 mengamanatkan bahwa batas-batas
wilayah dan hak-hak atas wilayah NKRI ditetapkan dengan
undang-undang. Makna dari pasal ini adalah bahwa jika kita

147
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
ingin menetapkan batas-batas wilayah dan hak-hak NKRI maka
hal tersebut dituangkan dalam UU. Apakah UU 4/2011 tentang
IG ini berisi tentang penetapan batas-batas wilayah dan/atau
hak-hak NKRI atas wilayah tersebut?

Hal ini dapat terjawab dengan meninjau batang tubuh dari UU


ini. Dalam Pasal 1 huruf 4 disebutkan bahwa IG adalah DG yang
sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu
dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan,
dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan
ruang kebumian. Artinya bahwa ada penegasan baha IG ini
pada hakekatnya digunakan sebagai ‘alat bantu’. Pasal-pasal
selanjutnya berisi mengenai definisi peristilahan IG, jenis-jenis
IG, pedoman teknis penggunaan dan perumusan IG.

Dari hasil tinjauan batang tubuh UU ini, tidak ada ketentuan


yang mengatur mengenai batas-batas wilayah dan hak-hak
NKRI atas batas wilayah tersebut, selain masalah teknis. Oleh
karenanya, materi muatan IG ini lebih tepat jika dituangkan
dalam jenis PUU di bawah UU. Jenisnya bisa dengan
PERATURAN PEMERINTAH atau Perpres jika tidak ada UU yang
menjadi dasar hukumnya. Pengaturan masalah IG dan lembaga
yang melaksankan dalam PUU di bawah UU tidak
menghilangkan arti penting IG itu sendiri. Sedangnkan
kebutuhakn akan ketentuan sanksi tetap dapat diakomodir,
yaitu dengan mengatur sanksi administratif, misalnya:

148
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
pembekuan izin, pencabutan izin, denda administratif atau
daya paksa polisional.

Merujuk pada hasil penelitian Mas Achmad Santosa, bahwa


penegakan hukum administrasi direkomendasikan didorong
khususnya di bidang SDALH, karena dianggap lebih efektif
dibandingkan dengan penegakan hukum pidana atau perdata.
Hal ini ditunjukan dengan kenyataan bahwa hukum
administrasi lebih murah/efisien, karena ada kewajiban
swapantau (self monitoring) oleh target penegakan hukum
adminsitrasi, biaya pengumpulan bukti-bukti hukum (legal
evidence) lebih kecil daripada yang dibutuhkan di pengadilan
(pidana /perdata). Selain itu, proses penegakan hukum
adminstrasi pun lebih cepat karena memungkinkan pemerintah
langsung menjatuhkan sanksi untuk memperbaiki kondisi
ketidaktaatan (non compliance). (Mas Achmad Santosa, Alam
pun Butuh Hukum dan Keadilan, Jakarta: as@-prima pustaka,
2016, hlm. 89)

- Pasal 28F
Pasal 28F menyatakan bahwa bahwa setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, berhak
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan infomrasi dengan menggunakan segala jenis

149
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
saluran yang tersedia.

Semangat yang terkandung dalam pasal ini adalah bahwa


setiap orang, dalam hal ini warga Negara, berhak atas
komunikasi dan informasi, dengan mencari, memperoleh,
mengolah dan menyampaikan dengan segala jenis saluran.
Untuk mewujudkan perlindungan, penghormatan dan
pemenuhan hak warga negara akan infomrasi ini telah berlaku
UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
(KIP), yang di dalamnya telah ditentukan ada informasi yang
wajib di sediakan dan diumumkan, sebagai hak informasi
publik.

Dalam konteks UU 4/2001 tentang IG, bukan termasuk apa


yang dimaksudkan oleh Pasal 28F tersebut. Karena UU IG ini
merupakan bentuk dari tugas dan fungsi dari sebuah lembaga
yang melaksanakan pemetaan (lihat sejarah berdirinya
Bakorsurtanal), maka sebenarnya, pengaturan masalah IG ini
justru dalam rangka mendukung UU 14/2008, yaitu bahwa
informasi yang dihasilkan oleh lembaga yang melaksanakan IG
harus memberikan informasinya kepada public, krn IG adalah
termasuk dalam kategori “informasi mengenai kegiatan dan
kinerja Badan Publik terkait”, sebagaimana diatur dalam Pasal 9
UU 14/2008 tentang KIP.

- Pasal 33 Ayat (3) dan (4)

150
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Baik dari segi isi, sejarah penyantuman maupun penafsiran MK,
menunjukan bahwa Pasal 33 merupakan satu kesatuan yang
utuh, Ayat yang satu berkaitan dengan Ayat yang lain. Makna
Pasal 33 UUD 1945 ini berintikan bahwa perekonomian
nasional dilaksanakan dengan asas kekeluargaan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan oleh karenanya
cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat
hidup orang banyak direkomendasikan dikuasai oleh Negara.

Oleh karena Pasal 33 ini harus dilihat secara utuh, maka tidak
tepat jika hanya sebagian Ayat saja yang dijadikan sebagai
dasar hukum membentuk suatu UU. (lihat contoh kasus JR UU
7/2004 tentang SDAir, Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013
hlm. 131-145) juga membahas dan menafsirkan Ayat (1) dan (2)
dan (4), walaupun UU ini hanya menggunakan Ayat (3) dan (5)
sebagai landasan hukumnya).

Berdasarkan dari pertimbangan tigas aspek (isi, sejarah dan


pendapat MK), maka dapat dipahami makna Pasal 33 ini adalah
bahwa dalam menerapkan roda perekonomian nasional dan
pemanfaatan SDA harus dalam rangka menjamin kepentingan
masyarakat secara kolektif dan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, serta adanya penguasaan Negara atas
cabang-cabang produksi strategis (menguasai hajat hidup
orang banyak). Jika tidak menjiwai ketiga kriteria tersebut,
maka suatu UU tidak dapat melegitimasi Pasal 33 UUD 1945

151
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
sebagai dasar hukum pembentukannya. Beberapa unsur yang
harus ada ketika suatu UU yang menyatakan dirinya sebagai
pengaturan lebih lanjut Pasal 33 UUD 1945 dapat disebutkan
sebagai berikut:

 Adanya cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup


orang banyak, yang harus dikuasai oleh negara;
 Adanya pembatasan hak-hak individual/swasta untuk
kepentingan kolektif, dalam mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat;
yang ingin diatur dengan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi.

Dalam konteks UU 4/2011 tentang IG, unsur2 tersebut tidak


terdapat dalam substansi pengaturan IG.

C. Analisis terhadap Politik Hukum (arah pengaturan):


Politik hukum UU 4/2011 tentang IG dapat ditinjau dari
konsideran menimbang dan/atau penjelasan umum nya.

Dalam Penjelasan Umum UU 4/2011, disebutkan bahwa IG


adalah alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan
keputusan dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan
dengan ruang kebumian. Pengaturan mengenai IG ini diarahkan
pada adanya jaminan kemutakhiran dan keakuratan serta
penyelenggaraan secara terpadu. IG juga harus dilakukan sebagai
pelayanan publik oleh aparat pemerintah yang menyediakan IG
bagi kepentingan masyarakat. Selain dari pentingnya keakuratan

152
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
dan keterbukaan IG, pengaturan ini juga menekankan masalah
kelembagaan penyelenggara IG berikut SDM nya.

Dari penjelasan umum ini dapat tersajikan dengan jelas, bahwa


kebutuhan hak pengaturan mengenai IG penting, namun tidak
tepat jika dituangkan dalam PUU jenis Undang-Undang.

D. Analisis terhadap materi pokok yang diatur:


Sebagian besar ketentuan pasal merupakan aturan teknis
pemetaan. Hanya sebagian kecil yang mengatur masalah
pembatasan hak dan kewajiban warga Negara secara umum yang
merupakan materi muatan UU, yaitu Pasal 23 Ayat (4), Pasal 50,
Pasal 52, Pasal 55 dan Pasal 56 . Dapat dikatakan bahwa sebagian
besar materi muatan UU ini berisi pedoman dalam pemetaan,
yang merupakan materi muatan PUU di bawah UU.

Kesimpulan analisis:

UU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Informasi Geospasial tidak tepat


dituangkan dalam jenis UU. Namun demikian, mengingat
pentingnya masalah IG bagi perencanaan pembangunan bidang
eknomi, sosial, budaya dan ketahanan nasional yang berhubungan
dengan ruang kebumian, maka IG dapat dituangkan dalam jenis
PERATURAN PEMERINTAH (jika dapat dianggap sebagai
pelaksanaan dari UU 14/2008 tentang KIP) atau Perpres (jika lebih
menekankan pada penataan kelembagaan penyelenggara IG, dan

153
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
bukan dalam rangka melaksanan UU di atasnya).

2. Pasal 2 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 Ubah
Rumusan tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

3. Pasal 3 Kejelasan Tujuan UU pada dasarnya telah tercermin dalam konsiderans Ubah
Rumusan menimbang dan lebih rinci tercantum dalam dalam penjelasan
umum pada lampiran undang-undang dan lebih rinci lagi terdapat
dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini
dibtuhkan dalam suaut peraturan perundang-undangan maka
dirumuskan dalam salah satu butir pasal tentang ketentuan umum.
Hal ini sebagaimana dimaksud dalam petunjuk Nomor 98 huruf c,
Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan
Perundang-Undangan

4. Pasal 23 Ayat (4) Kejelasan Bunyi ketentuan: Ubah


Rumusan
" Setiap orang dapat menyelenggarakan IGT hanya untuk
kepentingan sendiri dan selain yang diselenggarakan oleh Instansi
Pemerintah atau Pemerintah Daerah".

Bunyi ketentuan ini tidak efektif, sehingga tidak jelas maksudnya.


Jika ingin mengatur mengenai pengecualian, maka lebih efektif jika
ditulis secara langsung. Misalnya, "IGT hanya dapat

154
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, kecuali
IGT yang diselenggarakan untuk kepentingan sendiri".

5. Pasal 24 (2) Kejelasan Bunyi ketentuan: Ubah


Rumusan
"Badan dapat menyelenggarakan IGT dalam hal IGT yang belum
diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah selain Badan atau yang
belum diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah".

Bunyi ketentuan ini tidak efektif sehingga tidak jelas maksudnya.


jika norma ini ingin memebrikan izin kepada badan untuk
menyelenggarakan IGT sendiri, maka dapat dirumuskan sebagai
berikut:

"Dalam hal IGT belum diselenggarakan oleh Pemerintah dan


Pemerintah Daerah"

6. Pasal 54 Kejelasan Bunyi pasal ambigu, karena disebutkan bahwa IG diselenggarakan Ubah
Rumusan oleh instansi Pemerintah dan Pemda, namun dapat dilaksanakan
oleh setiap orang. Pasal ini juga berpotensi disharmoni dengan
Pasal 23 Ayat (4). Karena IGT sebagaimana diatur dalam Pasal 23
merupakan bagian dari IG.

Kesesuaian Pasal ini selain ambigu dengan ketentuan Pasal 23 Ayat (4), juga Ubah
Norma berpotensi memberi peluang bagi keterlibatan asing dalam
dengan Asas melaksanakan IG, yang terkait dengan keamanan dan pertahanan
Negara, karena pada prinsipnya pemetaan wilayah Indonesia

155
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
seharusnya merupakan otoritas Negara. Oleh karenanya, ketentuan
yang menyebutkan “dapat dilaksanakan oleh setiap orang”,
sebaiknya diikuti dengan ketentuan secara umum mengenai
pembatasan siapa yang dimaksud setiap orang dan bagaimana
keterlibatan pihak asing pada makna “setiap orang” tersebut.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan, dan Kenusantaraan

INDIKATOR:

- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak


terbatasnya keikutsertaan pihak asing;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang mengesampingkan
kepentingan nasional.
7. Pasal 55 Kejelasan Ambigu dengan Pasal 23 (4)
Rumusan
Pada Ayat (2) sebaiknya disebutkan rujukan PUU yang dimaksud.

8. Pasal 63 Kejelasan - Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan Peraturan Ubah


Rumusan Perundang-undangan, dikatakan bahwa substansi yang berupa
sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran
norma dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma
yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan;
- Kemudian jika norma yang memberikan sanksi administratif
atau keperdataan lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau
sanksi keperdataan tersebut dirumuskan dalam pasal terakhir
dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak

156
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi
pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.
9. Pasal 54 dan Potensi Pasal 54 dan Pasal 55 berpotensi bertentangan dengan Pasal 23 Direkomendasikan
disharmoni Ayat (4) pada UU yang sama. diubah
Pasal 55 (aspek
kewenangan) Kebolehan penyelenggaraan IG oleh setiap orang selain Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berpotensi disharmoni dengan Pasal 23
Ayat (4) yang menentukan bahwa IGT hanya boleh diselenggarakan
oleh Pemerintah atau Pemda, kecuali untuk kepentingan pribadi.
IGT merupakan bagian dari IG, sehingga ketentuan Pasal 54 dapat
disalah artikan bahwa IGT juga dapat diselenggarakan oleh pihak
lain selain Pemerintah atau Pemda.

10. UU Nomor 4 Efektivitas Dalam merumuskan pidana denda hendaknya memperhitungkan Ketentuan sanksi
Tahun 2011 kemampuan rata-rata ekonomi pelaku tindak pidana serta efisiensi hendaknya lebih
tentang Informasi bagi beban keuangan Negara. Pada Pasal 64 – Pasal 68 dapat difokuskan pada sanksi
Geospasial dilihat rasio/perbandingan antara pidana penjara dan pidana administrasi saja, agar
dendanya sebagai berikut: lebih efektif dan
(Bab X Ketentuan efisien. Jika sanksi
Pidana Pasal 64 – Sanksi pidana: alternatif pidana sangat
Pasal 68) dibutuhkan,
Pasal Pid. Penjara Pid. Denda
direkomendasikan
64 Ayat (1) 2 thn 500 Jt diubah menjadi hanya
Ayat (2) 5 thn 1,25 M pidana denda saja,
65 Ayat 1 thn 250 Jt tanpa alternatif pidana
(1,2) penjara.

157
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Ayat (3) 3 thn 750 Jt Namun, oleh karena
66 Ayat (1, 6 bln 125 Jt UU ini lebih tepat
2) dituangkan dalam PUU
Ayat (3) 3 thn 750 Jt di bawah UU
67 3 thn 750 Jt (PERATURAN
68 Ayat (1) 2 thn 500 Jt PEMERINTAH atau
Ayat (2) 3 thn 750 Jt Perpres), maka sanksi
Rasio penjara : denda adalah 6 bln : 125 jt yang boleh
dinormakan hanya
- Ditinjau dari sudut solvency atau tingkat kecukupan kemampuan sanksi administratif.
keuangan dari pelaku tindak pidana untuk membayar hukuman
denda (Romli Atmasasmita & Kodrat Wibowo, Analisis Ekonomi
Mikro tentang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016,
hlm. 105). Kemampuan rata-rata ekonomi masyarakat Indonesia
adalah berpenghasilan adalah 47,96 juta pertahun atau kurang
lebih 4 juta per bulan (BPASAL, 2016). Artinya pendapatan orang
Indonesia hanya 38% dari jumlah pidana denda yang ditentukan.
Bercermin pada pendapatan perkapita tersebut, perhitungan
pidana yang maksimal mencapai 125 juta, agaknya kurang efektif.
Tingkat solvency yang rendah akan mengakibatkan efek
pencegahan menjadi tidak efektif bekerja. Karena dapat diprediksi
orang akan lebih memilih pidana penjara.
Dari sudut pandang ini direkomendasikan dianalisis apakah sanksi
denda ini mengarah pada pelaku orang per orang atau lebih
mengarah pada korporasi. Jika memang sanksi denda ini untuk

158
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
menjaring korporasi maka perhitungan tingkat solvency akan
berbeda, sehingga jumlah sanksi pidana denda dapat dirumuskan
secara maksimal.

Metode pngitungan denda dapat dengan cara: memungut denda


yang sama besar atau lebih besar beberapa persen dari manfaat
yang mungkin diperoleh dari kejahatan yang dilakukan (Romli
Atmasasmita, ibid, hlm. 108).

- Ditinjau dari efisiensi terhadap beban keuangan Negara, maka


dapat diperhitungakan jika pidana penjara harus dijalankan maka
cost yang harus dikeluarkan Negara untuk membiayai terpidana
kasus IG ini adalah 6 bulan-5 tahun dikali biaya makan terpidana.
Berdasarkan data bahwa anggaran makanan per orang sebesar 15
ribu per hari bagi tahanan/napi di LP, atau 30 ribu perhari bagi
tahanan di kepolisian. Anggaran ini juga masih ditambah potensi
beban biaya pengobatan bagi napi yang sakit, dan
kedirekomendasikanan primer lainnya. Saat ini jumlah tahanan
dan napi di seluruh Indonesia yang menjadi tanggungan Negara
adalah 225.992 orang (data Ditjen Pemasyarakatn 2017). Untuk
anggaran makanan mereka dibutuhkan anggaran sebanyak 3,389
Milyar Rupiah per hari.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kiranya direkomendasikan
diformulasikan kembali mengenai sanksi pidana penjara bagi
pelanggaran-pelanggaran di bidang IG, untuk dapat mengefisienkan
politik pidana dan pemidanaan secara keseluruhan di Negara

159
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Indonesia.

11. Masalah tingkat Efektivitas Sangat terbatasnya ketersediaan peta dasar dengan skala terkecil Direkomendasikan
ketelitian skala (1: 10.000) dalam menunjang penataan ruang wilayah. harmonisasi kembali
peta mengenai ketelitian
Hal ini terkait dengan adanya ketidakseragaman ketentuan skala peta, agar
mengenai tingkat ketelitian peta pada beberapa PUU. Di antaranya: seragam dan dapat

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 8 Tahun 2013 tentang Tingkat dipergunakan secara


Ketelitian Peta (Pasal 14, 15, 17, 18, 20. 27, 29) dengan Permen integral.
Kelautan dan Perikanan Nomor 16/MEN/2008 tentang Perencanaan
WP3K (Pasal 18 dan 19).

Skala Peta Dasar RTRW menurut PERATURAN PEMERINTAH Nomor


8/2013 dan RZWP3K menurut Permen KP Nomor 16/MEN/2008:

Wilayah RTRW RZWP3K

Provinsi 1: 250.000 1:250.000


(Pasal 14) (Pasal 18)
Kabupaten 1: 50.000 1:50.000
(Pasal 15) (Pasal 19)
Kota 1: 25.000 1:50.000
(Pasal 17) (Pasal 19)
Kawasan 1:10.000 -
perkotaan 1:50.000 (kwsn mencakup 2
wil. ab/kota)

160
NOMOR BAGIAN YG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
(Pasal 27)
Kawasan 1:10.000 -
perdesaan 1:50.000 (kwsn mencakup 2
wil.kab/kota)
(Pasal 29)
Wilayah 1:500.000 -
pulau/kepulauan (Pasal 20)
Rencana rinci - 1:10.000

13. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun


Terdiri dari 120 pasal.
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang rumah Susun direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALLISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 Ubah
Rumusan tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

2. Pasal 3 Kejelasan Tujuan dasar dari penyelenggaraan rumah susun lebih tepat dimuat Ubah
Rumusan dalam penjelasan umum undang-undang maupun naskah akademik.
Kalaupun direkomendasikan dinormakan, seharusnya disebutkan di

161
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALLISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
dalam salah satu butir pasal 1 tentang ketentuan umum.

3. Pasal 4 Kejelasan Ruang lingkup merupakan salah satu dasar yang tidak Ubah
Rumusan direkomendasikan menjadi satu pasal tersendiri, alangkah baiknya jika
tergabung didalam Pasal 1 tentang ketentuan umum.

4. Pasal 43 Kesesuaian Di dalam Pasal ini tidak ada pengaturan mengenai pengawasan dari Ubah
Norma pemerintah terkait Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PERATURAN
dengan PEMERINTAH). Pengaturan mengenai PERATURAN PEMERINTAH
Asas hanya antara pihak pembeli dan pihak pengembang saja, seharusnya
ada campur tangan pemerintah dalam hal pengawasan dan
pembinaannya.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

INDIKATOR:

- Kejelasan mengenai pihak yang melakukan pengawasan dan


penegakkan hukum
- Transparansi/keterbukaan
5. Pasal 16 Kesesuaian Disebutkan dalam Pasal 16 (2): Ubah
Norma
dengan “Pelaku pembangunan rumah susun komersial sebagaimana
Asas dimaksud pada Ayat (1) wajib menyediakan rumah susun umum
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai
rumah susun komersial yang dibangun.”

162
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALLISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Pada kenyataannya tidak ada penerapannya, sampai saat ini Pihak
pengembang tidak menjalankan kewajiban sesuai dengan apa yang
telah diatur oleh Pasal ini.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

INDIKATOR: Ketentuan yang jelas mengenai akuntabilitas pengelolaan

6. Pasal 97 Kejelasan Pasal ini berisi mengenai larangan mengingkari ketentuan Pasal 16 Ubah
Rumusan Ayat (2), sedangkan Pasal 16 Ayat (2) harus ditindaklanjuti dengan
PERATURAN PEMERINTAH, padahal PERATURAN PEMERINTAH
mengenai kewajiban menyediakan rumah susun umum sekurang-
kurangnya 20% dari total luas rumah susun komersil yang dibangun,
hingga saat ini belum ada (catatan: Pasal 119 UU ini menyatakan
bahwa peraturan pelaksanaan yang diamanatkan UU ini diselesaikan
paling lambat 1 tahun setelah diundangkan). Sehingga Pasal 97 ini
menjadi tidak berdaya guna, kecuali pada pasal ini diberikan jangka
waktu penyesuaian bagi pelaksanaan pembangunan 20% rumah susun
umum dari total luas rumah susun komersil yang telah dibangun.

7. Pasal 107 dan 108 Kejelasan Didalam Pasal 107 dan 108 yang mengatur mengenai sanksi Ubah
Rumusan administratif seharusnya diatur secara terintegrasi dengan pasal yang
dikenai sanksi. Sesuai dengan apa yang ada di Lampiran II Nomor 64
dan Nomor 65 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa:

“Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan


terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi

163
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALLISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal)
tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang
sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi
administratif dalam satu bab”

8. Pasal 117 Kejelasan Didalam pasal tersebut adanya penggabungan dua pasal namun tidak Ubah
Rumusan memiliki kesamaan unsur pasal yang satu dengan pasal yang lainnya.
Di dalam sebuah Peraturan Perundang-undangan harus menyebutkan
secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar.
Sebaiknya adanya pemisahan didalam dua pasal yang digabungkan
tersebut. hal yang paling penting bahwa setiap pembentuk Peraturan
Perundang-undangan harus berhati-hati dalam merumuskan
ketentuan pidana itu sendiri. Pidana adalah jalan terakhir dalam
upaya penegakan hukum setelah sanksi-sanksi yang lain dirasa tidak
dapat memenuhi hukum. Sifat ultimum remidium pidana hendaknya
dijadikan landasan dalam pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.

9. Pasal 119 Kejelasan Penyimpangan dapat saja terjadi saat/sebelum mulai berlakunya Ubah
Rumusan peraturan perundang-undangan, hendaknya dinyatakan secara tegas
dengan peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan
peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih
tinggi.

164
14. UU Nomor UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 1 Tahun 2014 (telah dilakukan pada tahun 2016)
- Terdiri dari 80 pasal, dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, maka jumlah pasal menjadi bertambah 7 pasal sisipan.
Status Pasal:
- Pasal 1 angka 17, 18, 19, 23, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 38, 44, Pasal 14 Ayat (1) dan (7), Pasal 16, Pasal17, Pasal 18. Pasal 19, Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 30, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60, Pasal 63 Ayat (2), Pasal 71 dan Pasal 75 diubah oleh UU Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007 (sebagai tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010).
- Rekomendasi : UU ini direkomendasikan di ubah dengan hanya memfokuskan pada materi hukum pengelolaan asaja, tanpa mengatur
perencanaan
dan pengendalian terkait penataam ruangnya.

NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI


DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
1. - Politik hukum D1 - Materi pengaturan yang terkait penataan ruang pesisir dan UU ini sebaiknya
UU; pulau-pulau kecil hendaknya diatur secara integral ke dalam diubah dengan hanya
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, karena memfokuskan diri
pada hakekatnya ruang pesisir dan pulau-pulau kecil adalah pada pengelolaan,
juga daratan, karena di bawahnya masih terdapat dasar/ tanpa mengatur
tanah yang dapat diukur. Sehingga, materi pengaturan UU perencanaan dan
Nomor 27 Tahun 2007 hanya terbatas yang berkenaan pengendalian
dengan pengeloalaan WP3K, dengan memperhatikan penataan ruangnya.
penataan ruangnya. Jika ruang wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil dikecualikan dari UU Nomor 26 Tahun 2007 akan
berpotensi terjadi konflik kewenangan antara Kementerian
ATR/BPN dan Kementerian KKP.
- Ditinjau dari politik hukum (arah pengaturan) dari UU ini,

165
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
seperti yang diuraikan pada Penjelasan Umum UU Nomor 27
Tahun 2007, bahwa UU ini ingin mengatur pemanfaatan atau
pengelolaan WP3K yang tidak hanya berorientasi pada
eksploitasi, akan tetapi juga memperhatikan kelestarian
sumber daya, kesadaran nilai strategi WP3K secara
berkelanjutan, terpadu dan berbasis pemberdayaan
masyarakat lokal, terintegrasi dengan pembangunan daerah.
Disebutkann pula bahwa norma-norma Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan
pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem
peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih
spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan.
Sedangkan UU 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU 27 Tahun
2007, merupapkan penyempurnaan dari makna penguasaan
Negara terhadap sumber daya WP3K yang semula diatur
dengan HP-3 menjadi Izin.
- Ditegaskan pula dalam penjelasan Pasal 9 UU 27/2007
menyebutkan bahwa RZWP3K merupakan bagian dari tata
ruang wilayah, namun terjadi penafsiran yang bervariasi, ada
yang menganggap RZWP3K diatur dengan perda tersendiri,
ada pula yang menganggap terintegrasi dengan Perda RTRW.
- Oleh karenanya, seharusnya UU PWP3K tidak mengatur
masalah perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang
yang menjadi ranah UU 26/2007, melainkan hanya mengatur
masalah pengelolaan yang harus memperhatikan kelestarian

166
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
ekosistem, nilai strategis, berkelanjutan, terpadu dan berbasis
masyarakat lokal.
- Oleh karenanya, UU ini sebaiknya diubah dengan hanya
memfokuskan diri pada pengelolaan, tanpa mengatur
perencanaan dan pengendalian penafaatan ruangnya.
2. Pasal 3 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 Ubah
Rumusan tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud
dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

3. Pasal 4 Kejelasan Tujuan UU pada dasarnya telah tercermin dalam konsiderans Ubah
Rumusan menimbang dan lebih rinci tercantum dalam dalam penjelasan
umum pada lampiran undang-undang dan lebih rinci lagi terdapat
dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini
dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan maka
dirumuskan dalam salah satu butir pasal tentang ketentuan
umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam petunjuk Nomor 98
huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan
Perundang-Undangan.

4. Pasal 7 Kesesuaian Perencanaan pengelolaan WP3K yang cukup terperinci Ubah


Norma mencerminkan asas keberlanjutan, dengan indikator kewajiban
dengan Asas perencanaan pengelolaan didasarkan prinsip kehati-hatian.

Catatan:

167
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Namun pada Ayat (2), (3), (4), (5), berpotensi konflik karena tidak
harmonis dengan UU 23/2014 tentang Pemda, khususnya pada
Lampiran UU 23/2014 mengenai pembagian urusan pemerintahan
konkuren sub bidang kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil
(huruf Y Nomor 1) , pada lampiran ini tidak memberikan tugas
perencanaan WP3K kepada Pemda. Untuk itu, pasal 7 Ayat (2),
(3), (4) dan (5) direkomendasikan dilakukan revisi, jika memang
perencanaan WP3K oleh Pemda masih dibutuhkan.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keseimbangan, keserasian dan


keselarasan

INDIKATOR: Mengedepankjan prinsip kehati-hatian

5. Pasal 48 Kesesuaian Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan dapat Ubah


Norma bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pihak asing.
dengan Asas Namun tidak mengatur pembatasan keikutsertaan asing dalam
pemberian pendidikan, pelatihan dan penyuluhan di WP3K. Maka
direkomendasikan ditambahakan mengenai pembatasan
keikutsertaan asing tersebut, berupa persyaratan dan perizinan.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan

INDIKATOR: Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat


menyebabkan tidak terbatasnya keikutsertaan pihak asing

6. Pasal 71 - pasal 72 Kejelasan Sanksi adminsitratif seharusnya diatur secara terintegrasi dengan Ubah

168
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Rumusan pasal yang dikenai sanksi.

Petunjuk Nomor 64 Lampiran II UU Nomor 12/2011:

“Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi


keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan
menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan
sanksi administratif atau sanksi keperdataan”.

Petunjuk Nomor 65:

“Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau


keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif
atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari
bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan
ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi
perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.”

7. Pasal 7 Potensi - UU Nomor 32 Tahun 2014 menggaris bawahi bahwa direkomendasikan


disharmoni perencanaan ruang laut merupakan bagian dari konteks segera disesuaikan
Pasal 9 Ayat (4) (aspek pengelolaan ruang laut. Lebih lanjut, dalam Pasal 43 UU antara ketentuan-
perlindungan) Nomor 32 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Perencanaan Ruang ketentuan tersebut:
Laut meliputi:
a.perencanaan tata ruang Laut nasional; a. Dalam hal tata
b. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; ruang laut nasional
dan seyogyanya
c. perencanaan zonasi kawasan Laut. diintegrasikan ke

169
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
- Perencanaan tata ruang laut nasional akan mengarah kepada dalam rencana tata
suatu rencana tata ruang laut nasional. Sementara dalam UU ruang wilayah
Nomor 26 Tahun 2007 rencana tata ruang wilayah nasional nasional yang juga
juga meliputi wilayah darat, laut, udara, dan dalam bumi. mencakup ruang
- Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan udara, ruang laut,
menghasilkan suatu rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau- dan ruang dalam
pulau kecil (RZWP3K), dimana RZWP3K tersebut diatur lebih bumi.
lanjut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, b. Sementara itu,
dimana dalam hal ini diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 untuk Rencana
dalam rangka pengelolaan WP3K. Zonasi
- Perencanaan zonasi kawasan laut merupakan perencanaan antarwilayah
untuk menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis seyogyanya diatur
nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, sesuai kewenangan
dan rencana zonasi kawasan antar wilayah, dimana untuk masing-masing,
memberikan arahan pemanfaatan ruang di KSN, KSNT, dan untuk jarak sampai
kawasan antarwilayah. Permasalahan yang muncul kemudian dengan 12 mil
adalah adanya banyak irisan antara rencana zonasi kawasan diatur dengan
laut dengan RZWP3K. Mengingat tidak dikenal hieratki antara RZWP3K Provinsi,
rencana zonasi kawasan laut dengan RZWP3K, kecuali terkait sementara untuk
kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah yang di atas 12 mil
provinsi. Hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik antara diatur dengan RZ
pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi. kawasan laut.

170
15. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
Terdiri dari 125 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi Khusus : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 Ubah
Rumusan tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

2. Pasal 3 Kejelasan Jika ketetentuan mengenai tujuan ini dibutuhkan dalam suatu Ubah
Rumusan peraturan perundang-undangan, maka dirumuskan dalam salah satu
butir pasal tentang ketentuan umum yang terdapat dalam petunjuk
Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Peraturan Perundang-Undangan.

3. Pasal 4 Kejelasan Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada pasal 1 Ubah
Rumusan tentang ketentuan umum.

4. Pasal 22 Kesesuaian Pasal ini menyebutkan bahwa pembina industri dapat bermitra Ubah
Norma dengan asosiasi industri dalam melakukan pembinaan dan
dengan pengembangan industri. Yang dimaksud pembina adalah aparatur
Asas pemerintah baik pusat maupun daerah, sehingga sebagai pembina
industri ini seharusnya tidak bermitra kepada asosiasi industri tapi
lebih tepatnya melakukan pengawasan dan pembinaan kepada

171
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
asosiasi industri. Ketentuan ini direkomendasikan diubah .

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan

INDIKATOR: Pengutamaan kepemilikan dan peranan nasional

5. Pasal 23 Kesesuaian Dalam hal konsultan asing yang dipekerjakan di Indonesia harus Ubah
Norma benar-benar di batasi jangan sampai konsultan industri dalam negeri
dengan menjadi tersisih, dalam hal ini direkomendasikan ada pengaturan
Asas yang benar-benar ketat mengenai penggunaan konsultan asing ini.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan

INDIKATOR: Pembatasan keikutsertaan pihak asing

6. Pasal 24 Kesesuaian Dalam pasal 24 Ayat (1) ada penyebutan kata keadaan tertentu Ubah
Norma pasal ini ambigu, dan dapat disalah gunakan pasal ini
dengan direkomendasikan diubah dan diperjelas pengertian dari keadaan
Asas tertentu.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum

INDIKATOR: Transparansi/keterbukaan

7. Pasal 26 Kesesuaian Dalam pasal ini menteri memfasilitasi pembentukan lembaga Ubah
Norma sertifikasi profesi dan tempat uji kompetensi, seharusnya tidak
dengan cuma memfasilitasi saja tetapi juga bagaimana mengembangkan

172
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
Asas tenaga sertifikasi dan uji kompetensi ini .

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum

INDIKATOR: Kejelasan aturan mengenai koordinasi

8. Pasal 27 Kesesuaian Ayat (2) penulisan kata kondisi tertentu ini dapat dimaknai beragam Ubah
Norma dan bersifat ambigu sehingga dapat dijadikan alasan pihak industri
dengan untuk menggunakan tenaga kerja asing dan/atau konsultan asing.
Asas Ketentuan dalam pasal ini direkomendasikan diubah.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan

INDIKATOR: Pembatasan keikutsertaan pihak asing

9. Pasal 28 Kesesuaian Untuk pasal ini dalam hal penggunaan standar kompetensi kerja Ubah
Norma nasional untuk tenaga asing direkomendasikan ada pembedaan
dengan antara TKA dengan TKI. Sehingga ketentuan dalam pasal ini
Asas direkomendasikan diubah.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan

INDIKATOR: Pembatasan keikutsertaan pihak asing

10. Pasal 29 Kesesuaian Seharusnya kata “dapat“ diganti dengan kata harus karena kata Ubah
Norma dapat bermakna bisa dilakukan bisa juga tidak.
dengan
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan

173
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
Asas INDIKATOR: Pembatasan keikutsertaan pihak asing

11. Pasal 32 Kesesuaian Dalam pasal 32 Ayat (1) kata “dapat” sebaiknya diubah dengan kata Ubah
Norma “harus” sehingga memang ada pelarangan yang serius dalam hal
dengan pembatasana ekspor sumber daya alam.
Asas

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Pengayoman

INDIKATOR: Jaminan terhadap keberlajutan generasi kini dan


generasi yang akan datang

12. Pasal 51 Kesesuaian Pasal 51 Ayat (1) kata “sukarela” sebainya diganti dengan “harus” Ubah
Norma sehinggga perusahaan industri menerapkan SNI terhdap semua
dengan produksinya.
Asas

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keseimbangan, Keserasian dan


Keselarasan

INDIKATOR: Mengedepankan prinsip kehati-hatian

13. Pasal 91 Kesesuaian Kerjasama internasional ini jangan sampai mematikan produksi Ubah
Norma dalam negeri sehingga dalam pasal ini direkomendasikan dibuat
dengan aturan-aturan yang mempersulit pelaksanaan kerjasama

174
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
Asas internasional.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan

INDIKATOR: Peningkatan kemandirian bangsa

14. Pasal 92 Kesesuaian Pemberian fasilitas kerja sama internasional ini jangan sampai Ubah
Norma menghancurkan industri kecil sehingga direkomendasikan adanya
dengan aturan yang lebih diperketat.
Asas
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan

INDIKATOR: Pembatasan keikutsertaan pihak asing

15. Pasal 107 D2 Sanksi administratif seharusnya diatur secara terintegrasi dengan Ubah
pasal yang dikenai sanksi.

Petunjuk Nomor 64 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun


2011:

“Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi


keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi
satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi
administratif atau sanksi keperdataan”.

Petunjuk Nomor 65:

175
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
“Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau
keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau
sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian
(pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan
sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan
sanksi administratif dalam satu bab.

16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan dengan UU Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Terdiri dari 411 pasal.
Status pasal:
- Terdapat perubahan norma dalam semua pasal yang terkait pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota, Menjadi UU;
- Terdapat perubahan norma pada Pasal 63, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 88, Pasal 101, dan Pasal 154 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua UU 23 Tahun 2014;
- Terdapat perubahan norma dalam pasal Pasal 251 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4), Ayat (5), Ayat (7), Ayat (8) terkait Frasa
‘Perda Kabupaten/Kota’ , dan ‘Perda povinsi’ karena dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat oleh Putusan MK Nomor 137/ PUU-XII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016, tanggal 30 Mei 2017;
- Terdapat perubahan norma dalam Pasal 158 Ayat (1) huruf c, karena dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai
kekuatan mengikat oleh Putusan MK Nomor 7/PUU-XIII/2015.
- Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah direkomendasikan di ubah

176
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 12 Direkomendasikan disesuaikan dengan nomenklatur lembaga yang Ubah
ada, yaitu kementerian Agraria dan Tata Ruang. Sedangkan kedua
bidang tersebut berbeda jenis urusan. Tata ruang merupakan
urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan
digandengkan dengan urusan pekerjaan umum, sedangkan
pertanahan (agraria) merupakan urusan wajib yang tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar. Sehingga kelembagaan yang mengurusai
masalah pertanahan dan tata ruang di daerah tidak linier dengan
urusan Kementerian di pusat.

2. Pasal 249-251 Kesesuaian Pasal 249 menyatakan bahwa Perkada yang sudah ditetapkan Ubah
Norma dalam waktu 7 hari harus diserahkan kepada Gubernur/Menteri
(kecuali butir dengan Asas untuk dinilai apakah bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi,
ketentuan /frasa kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Jika lebih dari 7 hari tidak
yang tlh dibatalkan menyerahkan dikenakan sanksi. Dalam hal hasil penilaian tersebut
MK) (menurut Pasal 251) Perda yang bertentangan dengan ketiga
unsur dimaksud, maka Perda/Perkada tersebut akan dibatalkan.
Namun tidak diatur berapa lama Gubernur/Menteri harus
menyelesaikan penilaian Perda/Perkada tersebut, sehingga
direkomendasikan dibatalkan.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum

INDIKATOR: Adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas


dan efisien

177
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
3. Pasal 361 Ayat (3) Potensi Berpotensi disharmoni dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang - Direkomendasikan
disharmoni Penataan Ruang jo. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 15 Tahun diiintegrasikan antara
(aspek 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. ketentuan Pasal 361
kewenangan) UU Nomor 23 Tahun
Ketentuan Pasal 361 Ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang 2014 dengan UU
Pemerintahan Daerah mengatur bahwa Kewenangan Pemerintah Nomor 26 Tahun
Pusat di kawasan perbatasan meliputi seluruh kewenangan 2007 melalui
tentang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan perbatasan sesuai Penetapan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai PERATURAN
wilayah negara. Selain kewenangan tersebut, Pemerintah Pusat PEMERINTAH
mempunyai kewenangan untuk tersendiri sebagai
a. penetapan rencana detail tata ruang; pelaksanaan Pasal
b. pengendalian dan izin pemanfaatan ruang; dan 361 UU Nomor 23
c. pembangunan sarana dan prasarana kawasan. Tahun 2014, atau
melakukan
Perubahan
Sementara itu, menurut UU Nomor 23 Tahun 2007 jo. PERATURAN PERATURAN
PEMERINTAH Nomor 15 Tahun 2010, tidak dikenal RDTR yang PEMERINTAH Nomor
ditetapkan oleh pemerintah pusat, namun diatur bahwa RDTR 15 Tahun 2010.
merupakan rencana rinci dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) - Dalam PERATURAN
Kabupaten/Kota, yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah. PEMERINTAH
tersebut diatur
terkait Norma,
Standar, Prosedur,
dan Ketentuan

178
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
terkait penetapan
RDTR di Kawasan
Perbatasan, serta
diatur pula bentuk
peraturan penetapan
RDTR tersebut,
apakah dengan
Peraturan Presiden,
Peraturan Menteri
ATR, atau bentuk
peraturan lain.
- Disamping itu, dalam
rangka pembagian
kewenangan izin
pemanfaatan ruang,
direkomendasikan
pula dibentuk
PERATURAN
PEMERINTAH guna
melaksanakan Pasal
361 UU Nomor 23
Tahun 2014 guna
pembagian
kewenangan
tersebut, yang mana

179
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
menjadi kewenangan
pemerintah pusat
dan yang mana
menjadi kewenangan
pemerintah daerah.
4. Pasal 27 Ayat (2) Potensi Berpotensi disharmoni dengan UU 29/2007 tentang Pemerintahan Direkomendasikan
huruf c disharmoni Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara harmonisasi antara UU
(aspek Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 26 Ayat (4). Nomor 29 Tahun 2007
kewenangan) tentang Pemprov DKI
Di dalam Pasal 26 Ayat (4) huruf a UU Nomor 29/2007 disebutkan (Pasal 26 Ayat (4))
bahwa kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meliputi dengan UU 23 Tahun
penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang tata ruang. 2014 (Pasal 27 Ayat (2)
Namun, di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang huruf c.
Pemerintahan Daerah pasal 27 Ayat (2) huruf c menyebutkan
bahwa kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber
daya alam di laut meliputi pengaturan tata ruang.

Salah satu instrumen pengaturan tata ruang dan pelaksanaan


kebijakan tata ruang adalah berupa perizinan.

Terdapat beberapa peraturan perundangan sektoral di tingkat


pusat (PERATURAN PEMERINTAH, Perpres, Permen) yang ternyata
juga mengatur perizinan pada ruang laut yang sama. Hal ini
menyebabkan adanya konflik kewenangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Contohnya adalah kewenangan perizinan untuk
reklamasi yang tumpang tindih antara Pemprov DKI Jakarta,

180
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISIS (TETAP/UBAH/CABUT)
Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian
Perhubungan. Termasuk rencana Pengembangan Terpadu Pesisir
Ibukota Negara (PTPIN)/NCICD yang merupakan kebijakan
Pemerintah Pusat namun berada pada ruang laut Provinsi DKI
Jakarta.

17. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara


Terdiri dari 29 (dua puluh Sembilan) pasal
Status : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi Khusus : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Pasal ini memuat definisi yang seharusnya berada pada pasal 1 Ubah
Rumusan
2. Pasal 4 Kejelasan Substansi pasal ini telah diatur dalam Ketentuan Umum sehingga Ubah
Rumusan duplikat dengan substansi Pasal 1 angka 1
3. Pasal 5 Kejelasan substansi pasal ini seharusnya termuat dalam pasal 1 Ubah
Rumusan
4. Pasal 7 Kejelasan UU ini hanya memberikan penjelasan terkait ancaman militer Ubah
Rumusan namun tidak memberikan penjelasan mengenai ancaman non
militer

181
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
5. Pasal 8 Kejelasan UU ini tidak memberikan rumusan yang jelas mengenai perbedaan Ubah
Rumusan sumber daya nasional yang tergolong sebagai komponen cadangan
dan sumber daya nasional yang tergolong komponen pendukung.
6. Pasal 9 Kejelasan  UU ini tidak jelas merumuskan mengenai pendidikan Ubah
Rumusan kewarganegaraan dalam hal pertahanan negara kaitannya
dengan rezim pendidikan nasional, selain itu UU ini juga tidak
menjelaskan apa yag dimaksud dengan pengabdian sesuai
dengan profesi kaitannya dengan pertahanan negara.
 Keberadaan pasal mengenai bela negara tidak tepat berada di
dalam Pasal 9, substansi dalam pasal ini masih terlalu umum
sehingga tidak selaras dengan keberadaan Pasal 8 dan Pasal 10
yang membahas mengenai komponen cadangan, komponen
pendukung, dan TNI.
7. Pasal 15 Kejelasan UU ini tidak mengatur dalam bentuk hukum apa kebijakan umum Ubah
Rumusan pertahanan negara ditetapkan. Dalam prakteknya kebijakan
pertahanan negara ditetapkan melalui Perpres
8. Pasal 16 Kejelasan  UU ini tidak jelas dalam merumuskan perbedaan antara Ubah
Rumusan kebijakan umum yang ditetapkan oleh Presiden, kebijakan yang
ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada Ayat (3),
buku putih sebagamana dimaksud pada Ayat (4) serta kebijakan
umum penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada
Ayat (5).
 Ayat (7) tidak sempurna perumusannya sehingga menimbulkan
penafsiran ganda apakah penyusunan dan pelaksanaan

182
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk
kepentingan pertahanan hanya dilakukan oleh Menteri atau
harus bekerja sama dengan pimpinan departemen dan instansi
pemerintah lainnya.
9. Pasal 17 Kejelasan Tata cara pengangkatan dan pemberhentian panglima menurut Ubah
Rumusan materi muatannya harus diatur melalui Peraturan Presiden
sedangkan penetapan panglima dapat dilakukan melalui Keputusan
Presiden.
10. Pasal 20 Kejelasan - Ketentuan Ayat (2) tidak konsisten mengenai ruang lingkup Ubah
Rumusan sumber daya nasional yang seharusnya sumber daya manusia,
sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan
prasarana nasional. Dalam pasal ini sumber daya nasional yang
berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan,
nilai-nilai, teknologi, dan dana
- Materi muatan yang akan diatur lebih lanjut dalam delegasi
Ayat (2) akan tumpang tindih dengan pengaturan mengenai
komponen cadangan dan komponen pendukung yang juga
merupakan delegasi dari pasal 8 Ayat (3). Tumpang tindih
tersebut karena adanya kesamaan objek yang akan diatur yaitu
sumber daya nasional berupa sumber daya manusia, sumber
daya alam, sumber daya buatan.
- Materi yang akan didelegasikan pada Ayat (3) rumusannya tidak
jelas, apakah akan mendelegasikan materi mengenai
pembangunan di daerah atau materi mengenai pembinaan
kemampuan pertahanan

183
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
11. Pasal 22 Kejelasan Penetapan wilayah sebagai instalasi militer seharusnya dilakukan Ubah
Rumusan melalui Perpres berikut kriteria wilayah seperti apa yang dapat
dijadikan sebagai instalasi militer dan latihan militer.

18. UU Nomor UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan


Terdiri dari 74 Pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya
Kesimpulan analisis : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan direkomendasikan diubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 Ubah
Rumusan tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

184
19. PERATURAN PEMERINTAH Nomor80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun Dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri
Terdiri dari 60 Pasal
Status Pasal : berlaku seluruhnya
Kesimpulan analisis : PERATURAN PEMERINTAH Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun
Yang Berdiri Sendiri direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Tujuan Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun dapat Ubah
Rumusan dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-undang
dan dalam naskah akademiknya. Jika ketentuan mengenai tujuan ini
dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka
dirumuskan dalam salah satu butir pasa1 tentang ketentuan umum
yang terdapat dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.

2. Bab IX Ketentuan Kejelasan Bab Ketentuan Lain tidak didirekomendasikankan cukup dimasukkan Ubah
Lain Rumusan kedalam satu pasal di dalam materi pokok yang diatur (lihat lampiran
II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan mengenai teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan.

3. Pasal 15 Kesesuaian Kata “diupayakan” sebaiknya dihilangkan dan diganti dengan kata Ubah
Norma “jaminan” sehingga apabila ada pembuatan kasiba dan lisiba
dengan masyarakat akan tetap merasa aman tempat tingalnya tidak digusur.
Asas
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keadilan

185
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
INDIKATOR: Memperlakukan semua orang secara seimbang tanpa
diskriminasi

4. Pasal 18 Ayat (3) Kesesuaian Tidak disebutkan secara jelas ketentuan PUU yang mana yang Ubah
Norma digunakan apakah Perpres, PERATURAN PEMERINTAH, atau Permen.
dengan
Asas TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

INDIKATOR: Aturan dan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah

2. Pasal 23, pasal 25, Kesesuaian Tidak disebutkan secara jelas ketentuan PUU yang mana yang Ubah
Pasal 28 Ayat (2) Norma digunakan apakah Perpres, PERATURAN PEMERINTAH, atau Permen.
dan Ayat (5), pasal dengan
33, pasal 36 Ayat Asas TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
(2), pasal 38 Ayat INDIKATOR: Aturan dan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah
(2), pasal 44 Ayat
(2), pasal 48 Ayat
(1), pasal 51 Ayat
(5)

186
20. PERATURAN PEMERINTAH No 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota
Terdiri dari 40 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Kesimpulan analisis : Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Tujuan penyelenggaraan hutan kota dapat dituangkan dalam Ubah
Rumusan penjelasan umum dalam lampiran undang-undang dan dalam
naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini
dibutuhkan dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan, maka
dirumuskan dalam salah satu butir Pasal 1 tentang Ketentuan
Umum yang terdapat dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
2. Pasal 19 Kesesuaian Ketentuan Ayat (2) mengenai pemberian insentif tidak dijelaskan Ubah
Norma dengan lebih detil berapa besaran insentif yang akan diberikan.
dengan Pada Ayat (3) disebutkan diatur dengan Perda ini juga
Asas direkomendasikan di jelaskan mengenai besarannya, karena
anggaran Pemda juga diperuntukan bagi pembiayaan masing-
masing sektor. Pemda memperhitungkan ketersediaan anggaran,
dalam hal ini insentif sebagaimana diatur dalam PERATURAN
PEMERINTAH ini. Hal-hal seperti ini direkomendasikan untuk
dipertimbangkan agar PUU dapat implementatif dengan baik.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang menjamin akuntabilitas
pengelolaan .

187
21. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Terdiri dari 30 Pasal
Status Pasal berlaku seluruhnya
Kesimpulan Analisis : Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah direkomendasik an untuk di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Asas merupakan nilai-nilai yang harus menjiwai norma dalam suatu Ubah
Rumusan peraturan perundang-undangan. Asas tidak termasuk dalam kategori
meta norma yang harus dituangkan dalam ketentuan pasal.

Hal ini juga ditegaskan dalam petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU


Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU, yang
menyebutkan bahwa hal-hal yang bersifat umum yang berlaku bagi
pasal atau beberapa pasal berikutnya, antara lain ketentuan yang
mencerminkan ‘asas’, ‘maksud’ dan ‘tujuan’ tanpa dirumuskan
tersendiri dalam pasal atau bab, maka termasuk dalam ketentuan
umum.

2. Pasal 3 Kejelasan Hal ini juga ditegaskan dalam petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Ubah
Rumusan Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PUU, yang
menyebutkan bahwa hal-hal yang bersifat umum yang berlaku bagi
pasal atau beberapa pasal berikutnya, antara lain ketentuan yang
mencerminkan ‘asas’, ‘maksud’ dan ‘tujuan’ tanpa dirumuskan
tersendiri dalam pasal atau bab, maka termasuk dalam ketentuan
umum.

188
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
3. Pasal 9 Ayat (1) Kejelasan Ayat (1) tidak didirekomendasikankan karena kalimatnya terulang Ubah
Rumusan pada Ayat (2) dengan tambahan keterangan yang lebih tegas dan
jelas. Artinya ketiadaan Ayat (1) tidak mempengaruhi isi Pasal 9.

4. Pasal 11 Kesesuaian Janis hak atas tanah sebagaimana disebutkan Pasal 16 Ayat (1) UU Ubah
Norma Nomor 5/1960 tentang UUPA adalah:
dengan
Asas a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak sewa;
f. hak membuka tanah;
g. hak memungut hasil hutan;
h. hak-hak lain.
Sedangkan kawasan lindung menurut Penjelasan Pasal 5 Ayat (2) UU
26 Tahun 2007 adalah:

- Kawasan yang memberi perlindungan bagi kawasan bawahannya


(mis: kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan
resapan air);
- Kawasan perindungan setempat (mis: sempadan pantai,
sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan
sekitar mata air);
- Kawasan suaka alam dan cagar budaya (mis: hutan bakau, taman
nasional, hutan raya, taman wisata alam, suaka margasatwa);

189
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
- Kawasan rawan bencana alam;
- Kaawasan lindung lain (mis: taman buru, cagar biosfer, kawasan
perlindungan plasma nutfah, terumbu karan).
Oleh karenanya, dalam pasal ini lebih tepat jika ditegaskan ‘hak atas
tanah’ jenis apa yang dapat diberikan pada tanah dalam kawasan
lindung dan kawasan cagar budaya yang belum ada hak atas
tanahnya. Karena jika diberikan hak milik pada kawasan lindung dan
kawasan cagar budaya, sangat berpotensi merusak fungsi lindung
dan fungsi cagar budayanya.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keseimbangan, keserasian dan


keselarasan

INDIKATOR:

- Mengedepankan kepentingan umum;


- Mengedepankjan prinsip kehati-hatian.

190
22. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol
Terdiri dari 95 Pasal
Status pasal :Berlaku seluruhnya
Rekomendasi Khusus : Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol direkomendasikan diubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Maksud, tujuan dan penyelenggaraan jalan tol dapat dituangkan Ubah
Rumusan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-undang dan dalam
naskah akademiknya. Jika ketentuan mengenai tujuan ini
dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka
dirumuskan dalam salah satu butir Pasal 1 tentang ketentuan umum
yang terdapat dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Sedangkan ruang lingkup cukup dimasukkan dalam ketentuan
umum.

23. PERATURAN PEMERINTAH 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung
Terdiri dari 120 Pasal
Status : pasal berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung direkomendasikan diubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada Pasal 1 Ubah

191
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
Rumusan tentang ketentuan umum.

2. Pasal 3 Kejelasan - Penyebutan tujuan pengaturan bentuk dan tata cara peran serta Ubah
Rumusan masyarakat dalam penataan ruang tidak didirekomendasikankan
karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma).
- Tujuan dapat dituangkan dalam ketentuan umum atau dalam
Naskah Akademiknya.
- Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan
penyelenggaraan penataan ruang. diubah dan dimasukkan
dalam Bab I Ketentuan Umum atau tercermin dalam Naskah
Akademik.

24. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Terdiri dari 21 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : PERATURAN PEMERINTAH Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan direkomendasikan diubah

NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI


DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Merujuk kepada Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Ubah
Rumusan Nomor 98. Maka disarankan didalam Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun
2011 tentang Rumah Susun untuk dapat diubah dikarenakan tidak
operasional.

192
2. Pasal 3 Kejelasan Tujuan dasar dari penyelenggaraan rumah susun sepatutnya Ubah
Rumusan termuat di dalam penjelasan umum undang-undang maupun naskah
akademik. Kalaupun tetap disebutkan, seharusnya disebutkan di
dalam salah satu butir Pasal 1 tentang Ketentuan Umum.

3. Pasal 4 Kejelasan Ruang lingkup merupakan salah satu dasar yang tidak Ubah
Rumusan direkomendasikan menjadi satu pasal tersendiri, alangkah baiknya
jika tergabung didalam Pasal 1 tentang ketentuan umum.

25. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan sebagaimana telah diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH Nomor 3 Tahun 2008
Catatan : Terdiri dari 144 pasal, 1 pasal sisipan (Pasal 132A), 37 pasal diubah (diubah, ditambahkan, dihapus Ayat/hurufnya),
yaitu Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 13, Pasal 14, Pasal25, Pasal Pasal 26, Pasal 29, Pasal 33, Pasal 26, Pasal 28,
Pasal40, Pasal 44, Pasal 50, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 56, Pasal 57, Pasal61, Pasal 62, Pasal 65, Pasal70,
Pasal 71, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 81, Pasal 96, Pasal 118, Pasal 120, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 130, Pasal 132,
Pasal 133, Pasal 134, dan Pasal 141.
Kesimpulan : Analisis PERATURAN PEMERINTAH Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 direkomendasikan di
ubah

NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI


DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Nama PERATURAN Kejelasan Merujuk pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Ubah
PEMERINTAH Rumusan maka berdasarkan fungsinya hutan di bagi dalam 3 kategori, yaitu
hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Agar fokus
dan tidak menimbulkan kerancuan, sebaiknya PERATURAN

193
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
PEMERINTAH ini terfokus pada pengaturan masalah hutan
produksi.

2. Pasal 33 Kejelasan Kata ‘dan’ hendaknya diganti dengan kata ‘atau’. Karena huruf a Ubah
Rumusan sampai huruf f tidak dimaksudkan secara kumulatif, melainkan
alternatif.

26. PERATURAN PEMERINTAH No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, sebagaimana telah diubah dengan
PERATURAN PEMERINTAH Nomor 13 Tahun 2017
Terdiri dari 127 pasal.
Status pasal:
 Diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH 13/2017: 45 pasal (Pasal: 5, 6, 7, 8, 14, 15, 18, 21, 26, 28, 30, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40,
41, 42, 42, 43, 51, 52, 53, 55, 57, 59, 63, 64, 66, 68, 78, 82, 95, 99, 100, 101, 103, 107, 108 110, 114)
 Dihapus dengan PERATURAN PEMERINTAH 13/2017: 1 pasal (Pasal 58)
 Ditambahkan pasal sisipan dengan PERATURAN PEMERINTAH 13/2017: 4 pasal (Pasal 40A, 68A, 107A dan 114A)
Rekomendasi: PERATURAN PEMERINTAH Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, sebagaimana telah
diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH Nomor 13 Tahun 2017 direkomendasikan di ubah

NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI


DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ketentuan Umum Ubah
Rumusan

194
2. Pasal 3 Kejelasan Peran, fungsi juga seharusnya masuk dalam Bab I Ketentuan Umum. Ubah
Rumusan

27. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
Terdiri dari 209 Pasal
Status Pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 1 Kejelasan - Definisi penyelenggaraan menurut KBBI, proses Ubah
Rumusan menyelenggarakan dalam berbagai arti (seperti
pelaksanaan, penuaian);
- Merujuk pada Pasal 1 angka 7, penyelenggaraan penataan
ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan
ruang;
- Dalam Lapiran II UU Pembentukan PUU, petunjuk No. 103
mengatakan bahwa apabila rumusan definisi dari suatu
PUU dirumuskan kembali dalam PUU yang akan dibentuk,
maka rumusan definisi tersebut harus sama dengan
rumusan definisi dalam PUU yang telah berlaku;
- Dalam UU 26/2007, diatur dalam Pasal 1 angka 6 bahwa
penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang
meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan
pengawasan penataan ruang;

195
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
- Dengan demikian, definisi penyelenggaraan penataan
ruang antara PERATURAN PEMERINTAH sudah sesuai
dengan UU;
2. Pasal 2 Kejelasan Sebagaimana petunjuk dalam Lampiran UU 12/2011, Ubah
Rumusan sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan
penyelenggaraan penataan ruang diubah dan dimasukkan
dalam Bab I Ketentuan Umum atau tercermin dalam
Naskah Akademik.

3. Pasal 51 Kejelasan - Pada Pasal 51, kriteria kawasan strategis dari sudut Ubah
Rumusan kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
meliputi:
- Kalimat meliputi menunjukkan kumulatif dari semua
alternatif yang ada, sehingga pada huruf f, seharusnya
kata ‘dan’, bukan ‘atau’.
4. Pasal 3, Pasal 4, Potensi Ketentuan Pasal 361 Ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 Direkomendasikan
Pasal 39, Pasal 40 disharmoni tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa Kewenangan harmonisasi terhadap
(5), Pasal 59, Pasal Pemerintah Pusat di kawasan perbatasan meliputi seluruh pasal2 terkait RDTR
60, Pasal 61, Pasal kewenangan tentang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan dengan Pasal 361 Ayat
62, Pasal 156, perbatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- (3) UU 23/2014
Pasal 158 dan undangan mengenai wilayah negara. Selain kewenangan tentang Pemda.
Pasal 165. tersebut, Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk
a. penetapan rencana detail tata ruang;
b. pengendalian dan izin pemanfaatan ruang; dan
c. pembangunan sarana dan prasarana kawasan.

196
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
Sementara itu, menurut UU Nomor 23 Tahun 2007 jo.
PERATURAN PEMERINTAH Nomor 15 Tahun 2010, tidak
dikenal RDTR yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, namun
diatur bahwa RDTR merupakan rencana rinci dari rencana tata
ruang wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota, yang ditetapkan oleh
pemerintahan daerah.

28. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang
Terdiri dari 29 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan
Ruang direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 4 Kejelasan - Ketentuan yang mencerminkan tujuan seharusnya tertuang Ubah
Rumusan dalam ketentuan umum, dan secara rinci dapat dilihat dalam
Naskah Akademiknya.
- Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan
penyelenggaraan penataan ruang diubah dan dimasukkan
dalam Bab I Ketentuan Umum atau tercermin dalam Naskah
Akademik.

197
29. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara
Terdiri dari 49 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara
direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Tujuan pembangunan bandar udara beserta penempatan lokasi Ubah
pembangunannya merupakan hal yang mendasar yang sepatutnya
cukup terdapat di penjelasan umum saja.

30. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman
Terdiri dari 19 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan
Permukiman direkomendasikan untuk di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 12 Ayat (2) Kejelasan Dalam merumuskan ketentuan peraturan perundang-undangan, Ubah
Rumusan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat dan mudah dimengerti
(lihat ketentuan Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 244),
sehingga ketentuan pasal 12 Ayat (2) menjadi: materi pendidikan

198
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi:

a. Teknis manajerial;
b. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
dan/atau
Keahlian perencanaan dan perancangan rumah serta perencanaan
prasarana, sarana, dan utilitas umum.

2. Pasal 15- pasal 16 Kesesuaian Tidak dijelaskan siapa yang ditunjuk untuk melakukan Ubah
Norma pendampingan dan pemberdayaan ini, sehingga direkomendasikan
dengan diperjelas lagi lembaga yang memang berhak melakukan
Asas pendampingan dan pemberdayaan.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

INDIKATOR: Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang


melakukan pengawasan dan penegakan hukum

3. Pasal 17-pasal 18 Kesesuaian Tidak dijelaskan secara jelas bagaimana proses pengembangan Ubah
Norma sistem informasi dan komunikasi yang dilakukan dan siapa yang
dengan bertanggung jawab untuk menyusun dan mengembangkannya.
Asas
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

INDIKATOR: Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang


melakukan pengawasan dan penegakan hukum

199
31. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
Terdiri dari 74 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Indsutri direkomendasikan untuk di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Ayat (2) Kejelasan Ketentuan yang mencerminkan tujuan sebaiknya dituangkan dalam Ubah
Rumusan ketentuan umum, dan lebih rinci dapat dituangkan dalam
penjelasan umum dalam lampiran undang-undang, lebih detail lagi
dapat dilihat naskah akademiknya. Jika ketentuan mengenai tujuan
ini dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab tentang ketentuan
umum yang terdapat dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.

2. Pasal 41 Kesesuaian Pemberian insentif perpajakan ini direkomendasikan di Ubah


Norma koordinasikan lagi dengan kementerian keuangan, karena
dengan kementerian keuangan tidak mengenai pengaturan pemberian
Asas insentif ini, karena dengan pemberina insentif pajak kepada
indutstri otomatis tidak ada pemasukan bagi kasa negera terkait
penerimaan pajak.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

INDIKATOR: Adanya ketentuan yang jelas mengnai pihak yang


melakukan pengawasan dan penegakan hukum

200
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
3. Pasal 43 Kesesuaian Tidak ada kejelasan bagaimana proses pemebwrian insentif yang Ubah
Norma diberikan oleh daerah dan bagaimana pengaturannya mengenai
dengan isentif itu diatur sehingga ada pasal ini direkomendasikan dijelaskan
Asas dengan lebih rinci mengenai pemberia insentif ini.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastan hukum

INDIKATOR: Adanya ketentuan yang menjamin transparansi


(keterbukaan)

4. Pasal 44 Kesesuaian Apakah direkomendasikan dibuat lagi komite akreditasi kawasan Ubah
Norma industri, mengapa tidak disatukan saja dengan komite kawasan
dengan industri
Asas
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

INDIKATOR: Adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas


dan efisien

5. Pasal 46 Kesesuaian Apakah direkomendasikan Badan Layanan Umum, mengapa tidak Ubah
Norma memberdayakan ditjen pengembangan perwilayahan industri
dengan (PERATURAN PEMERINTAH), karena pembangunan kawasan industri
Asas ini memang sudah menjadi tugasnya pemerintah, korelasi antara
antara membentuk BLU akan dengan berkembangnya pertumbuhan
industri sebaiknya terlebih dahulu dikaji cost and benefitnya.

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

201
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas
dan efisien

6. Pasal 51-pasal 52 Kesesuaian Saat ini komite kawasan industri belum dibentuk, sebaiknya harus Ubah
Norma segera dibentuk mengingat PERATURAN PEMERINTAH ini sudah
dengan diterbitkan sejak tahun 2015.
Asas

TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum

INDIKATOR: Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang


melakukan pengawasan dan penegakan hukum

32. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut UU Informasi Geospasial
Terdiri dari 126 (seratus dua puluh enam) pasal
Berlaku seluruhnya
Rekomendasi: Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut UU Informasi Geospasial direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada Pasal 1 Ubah
Rumusan tentang Ketentuan Umum.

202
33. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025
Terdiri dari 80 (delapan puluh) pasal
Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : PERATURAN PEMERINTAH Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun
2010 – 2025 tetap
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Sudah sesuai dengan parameter 5 dimensi penilaian Analisis dan Tetap
Evaluasi Hukum.

34. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang
Terdiri dari 34 (tiga puluh empat) pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 14, 15, 17, 20. Potensi Ketentuan ini dan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor Direkomendasikan
27, 29 disharmoni 16/MEN/2008 tentang Perencanaan WP3K (Pasal 18 dan 19), harmonisasi kembali
berpotensi disharmoni dalam pelaksanaannya. Karena terdapat mengenai pengaturan
perbedaan skala peta yang diatur oleh kedua PUU tersebut. Berikut skala peta, agar
perbedaan skala peta dimaksud: seragam dan dapat
dilaksanakan secara
Skala Peta Dasar RTRW menurut PERATURAN PEMERINTAH 8/2013 efisien dan efektif.
dan RZWP3K menurut Permen KP Nomor 16/MEN/2008:

203
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
Wilayah RTRW RZWP3K

Provinsi 1: 250.000 1:250.000


(Pasal 14) (Pasal 18)
Kabupaten 1: 50.000 1:50.000
(Pasal 15) (Pasal 19)
Kota 1: 25.000 1:50.000
(Pasal 17) (Pasal 19)
Kawasan 1:10.000 -
perkotaan 1:50.000 (kwsn mencakup 2
wil. ab/kota)
(Pasal 27)
Kawasan 1:10.000 -
perdesaan 1:50.000 (kwsn mencakup 2
wil.kab/kota)
(Pasal 29)
Wilayah 1:500.000 -
pulau/kepulauan (Pasal 20)
Rencana rinci - 1:10.000

204
35. Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakart, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur
Terdiri dari 73 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakart, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak,
Cianjur direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan - Tujuan UU pada dasarnya telah tercermin dalam konsiderans Ubah
Rumusan menimbang dan lebih rincci tercantum dalam dalam penjelasan
umum pada lampiran undang-undang dan lebih rinci lagi
terdapat dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan
mengenai tujuan ini dibtuhkan dalam suaut peraturan
perundang-undangan maka dirumuskan dalam salah satu butir
Pasal 1 tentang Ketentuan Umum. Hal ini sebagaimana
dimaksud dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
- Tujuan dapat dituangkan dalam ketentuan umum atau dalam
Naskah Akademiknya.
- Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan
penataan ruang di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangeran,
Bekasi, Puncak dan Cianjur diubah dan dimasukkan dalam Bab I
Ketentuan Umum atau tercermin dalam Naskah Akademik.
2. Pasal 5 Kejelasan Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada pasal 1 Ubah
Rumusan tentang Ketentuan Umum.

205
36. Perpres Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan
Terdiri dari 123 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Perpres Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan
Tabanan direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada Pasal 1 Ubah
Rumusan tentang Ketentuan Umum.

2. Pasal 6 Kejelasan Tujuan penataan ruang kawasan sepatutnya termuat didalam Ubah
Rumusan penjelasan umum undang-undang maupun naskah akademik.
Kalaupun tetap disebutkan, seharusnya disebutkan di dalam salah
satu butir Pasal 1 tentang Ketentuan Umum.

37. Perpres Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar
Terdiri darin 153 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Perpres Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan
Takalar direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 6 Kejelasan Tujuan UU pada dasarnya telah tercermin dalam konsiderans Ubah
Rumusan menimbang dan lebih rinci tercantum dalam dalam penjelasan umum
pada lampiran undang-undang dan lebih rinci lagi terdapat dalam

206
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini
dibtuhkan dalam suaut peraturan perundang-undangan maka
dirumuskan dalam salah satu butir Pasal 1 tentang Ketentuan Umum.
Hal ini sebagaimana dimaksud dalam petunjuk Nomor 98 huruf c,
Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-
Undangan.

2. Pasal 26 Kejelasan Direkomendasikan dijelaskan “ketentuan peraturan perundang- Ubah


Rumusan undangan” yang dimaksud. Sehingga jelas apa yang menjadi acuan
penetapan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan jalan, karena
mengingat PUU ini berjenis Peraturan Presiden yang seharusnya
sifatnya melaksanakan peraturan yang mendelegasikannya sehingga
harus lebih konkret.

38. Perpres Nomor 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo
Terdiri dari 148 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Perpres Nomor 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo
direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 3 Kejelasan Pasal berbunyi: “Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan “berperan” Ubah
Rumusan sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
....”

207
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
Kata “berperan” sebaiknya diganti menjadi “harus digunakan”
sehingga memiliki nilai ketegasan dalam normanya dan wajib untuk
dilaksanakan (memiliki operator norma).

39. Perpres Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun
Terdiri dari 147 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Perpres Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun direkomendasikan di
ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 3 Kejelasan Pasal berbunyi: “Rencana Tata Ruang Kawasan BBK “berperan” Ubah
Rumusan sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
....”

Kata “berperan” sebaiknya diganti menjadi “harus digunakan”


sehingga memiliki nilai ketegasan dalam normanya dan wajib untuk
dilaksanakan (memiliki operator norma).

2. Pasal 6 Kejelasan - Penyebutan tujuan penataan ruang kawasan BBK tidak Ubah
Rumusan didirekomendasikankan, karena tidak akan operasional (tidak
memiliki operator norma). Jika sangat didirekomendasikankan,
maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar
agar dapat dioperasionalkan.
- Direkomendasikan ditambahkan kata “harus” sebagai operator

208
norma tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi jika
tidak tercapai tujuannya.

40. Perpres Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya
Terdiri dari 50 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Perpres Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya direkomendasikan di
ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 3 Kejelasan Pasal berbunyi: “Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur Ubah
Rumusan “berperan” sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional ....”

Kata “berperan” sebaiknya diganti menjadi “harus digunakan”


sehingga memiliki nilai ketegasan dalam normanya dan wajib untuk
dilaksanakan (memiliki operator norma).

2. Pasal 21 Ayat (7) Kejelasan Pasal berbunyi: “... sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- Ubah
Rumusan undangan.” Ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dimaksud harus dijelaskan agar perpres ini sebagai aturan pelaksana
dapat lebih konkret dan operasional.

209
41. Perpres Nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi
Terdiri dari 88 Pasal
Status pasal berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Perpres Nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi
direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 3 Kejelasan Pasal berbunyi: “Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Ubah
Rumusan Gunung Berapi “berperan” sebagai alat operasionalisasi Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional ....”

Kata “berperan” sebaiknya diganti menjadi “harus digunakan”


sehingga memiliki nilai ketegasan dalam normanya dan wajib untuk
dilaksanakan (memiliki operator norma).

42. Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya
Terdiri dari 140 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya direkomendasikan di
ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 3 Kejelasan Pasal berbunyi: “Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba Ubah
Rumusan “berperan” sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional ....”

210
Kata “berperan” sebaiknya diganti menjadi “harus digunakan”
sehingga memiliki nilai ketegasan dalam normanya dan wajib untuk
dilaksanakan (memiliki operator norma).

2. Pasal 6 Kejelasan - Penyebutan tujuan penataan ruang kawasan Danau Toba tidak Ubah
Rumusan didirekomendasikankan, karena tidak akan operasional (tidak
memiliki operator norma). Jika sangat didirekomendasikankan,
maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang
benar agar dapat dioperasionalkan.
- Direkomendasikan ditambahkan kata “harus” sebagai operator
norma tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi jika
tidak tercapai tujuannya.

43. Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara Di Kalimantan
Terdiri dari 118 pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara Di Kalimantan
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Berdasarkan teknik penyusunan PUU, suatu Peraturan tidak Ubah
Rumusan memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup.

2. Pasal 3 Kejelasan Peran, fungsi dan tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ubah
Rumusan Ketentuan Umum.

3. Pasal 17 Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan untuk menetapkan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan

211
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
jalan.

4. Pasal 21 Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan terkait pengaturan alur pelayaran.

5. Pasal 45 Ayat (3) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan terkait pengaturan tersebut.
Pasal 47 Ayat (3)
Pasal 64
6. Pasal 83 Ayat (3) Kejelasan Keterangan mengenai PLTU, PLTM, PLTGB, PLTMG, PLTB, PLTS Ubah
Rumusan sebaiknya tidak disingkat mengingat di ketentuan umum juga tidak
memberi singkatan

44. Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Terdiri dari 137 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa
Tenggara Timur direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Berdasarkan teknik penyusunan PUU, suatu Peraturan tidak Ubah
Rumusan memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup.
2. Pasal 3 Kejelasan Peran, fungsi dan tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ubah
Rumusan Ketentuan Umum.

212
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
3. Pasal 9 Ayat (1) Kejelasan Pemberian singkatan NKRI seharusnya sudah diberikan sejak Bab I Ubah
Rumusan Pasal 1 Ketentuan Umum atau apabila tidak dicantumkan berulang-
ulang dalam pasal lain maka tak direkomendasikan diberikan
singkatan.
4. Pasal 17 Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan untuk menetapkan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan
jalan.
5. Pasal 21 Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan terkait pengaturan alur pelayaran.
6. Pasal 46 Ayat (3) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan terkait pengaturan tersebut.
Pasal 49 Ayat (3)
Pasal 50 Ayat (3)
Pasal 52 Ayat (3)
Pasal 81
7. Pasal 89 Ayat (3) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas bagaimana kriteria kegiatan yang Ubah
Rumusan dapat menganggu fungsi pusat pelayanan pintu gerbang.

213
45. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Papua
Terdiri dari 134 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi Khusus : Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi
Papua direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Berdasarkan teknik penyusunan PUU, suatu Peraturan tidak Ubah
Rumusan memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup.
2. Pasal 3 Kejelasan Peran, fungsi dan tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ubah
Rumusan Ketentuan Umum.
3. Pasal 17 Ayat (7) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan untuk menetapkan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan
jalan.
4. Pasal 18 Ayat (5) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan untuk menetapkan fasilitas operasi kereta api.
5. Pasal 22 Ayat (5) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan terkait pengaturan alur pelayaran.
6. Pasal 33 Ayat (7) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
Rumusan
7. Pasal 34 Ayat (4) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
Rumusan
8. Pasal 35 Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
Rumusan
9. Pasal 51 Ayat (3) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan terkait pengaturan tersebut.
Pasal 52 Ayat (3)

214
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
Pasal 64 Ayat (3)
Pasal 77
10. Pasal 110 huruf c Kejelasan Direkomendasikan diperjelas kegiatan seperti apa yang dapat Ubah
Rumusan menggangu fungsi kawasan zona B6.
11. Pasal 129 Kejelasan “masyarakat” harus diawali dengan huruf kapital. Ubah
Rumusan

46. Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku
Terdiri dari 128 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi Khusus : Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi
Maluku direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIATUR (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Berdasarkan teknik penyusunan PUU, suatu Peraturan tidak Ubah
Rumusan memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup.
2. Pasal 3 Kejelasan Peran, fungsi dan tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ubah
Rumusan Ketentuan Umum.
3. Pasal 9 Ayat (1) Kejelasan Seharusnya singkatan NKRI diberikan pada Ketentuan Umum Pasal 1 Ubah
Rumusan atau tidak direkomendasikan diberikan singkatan.
4. Pasal 17 Ayat (7) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan untuk menetapkan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan
jalan.

215
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIATUR (TETAP/UBAH/CABUT)
5. Pasal 22 Ayat (5) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan terkait pengaturan alur pelayaran.
6. Pasal 32 Ayat (7) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
Rumusan
7. Pasal 33 Ayat (4) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
Rumusan
8. Pasal 35 Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
Rumusan
9. Pasal 42 (1) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan terkait pengaturan tersebut .
Pasal 46 (3)
Pasal 49 (4)
Pasal 50 (3)
Pasal 61 (3)
Pasal 73

216
47. Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara Dan
Provinsi Papua Barat
Terdiri dari 129 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku
Utara Dan Provinsi Papua Barat direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Berdasarkan teknik penyusunan PUU, suatu peraturan tidak Ubah
Rumusan memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup.
2. Pasal 3 Kejelasan Peran, fungsi dan tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ubah
Rumusan Ketentuan Umum.
3. Pasal 17 Ayat (7) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan untuk menetapkan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan
jalan.
4. Pasal 21 Ayat (5) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
Rumusan terkait pengaturan alur pelayaran.
5. Pasal 23 Ayat (4) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
Rumusan
6. Pasal 32 Ayat (7) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
Rumusan
7. Pasal 33 Ayat (4) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
Rumusan
8. Pasal 34 Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
Rumusan
9. Pasal 45 Ayat (3) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah

217
NOMOR BAGIAN YANG DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI
DIANALISI (TETAP/UBAH/CABUT)
Pasal 47 Ayat (3) Rumusan terkait pengaturan tersebut.
Pasal 48 Ayat (3)
Pasal 60 Ayat (3)
Pasal 73
10. Pasal 81 Ayat (4) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas kegiatan seperti apa yang dapat Ubah
huruf c Rumusan menggangu fungsi pusat pelayanan.
11. Pasal 89 Ayat (3) Kejelasan Keterangan mengenai PLTU, PLTM, PLTGB, PLTMG, PLTB, PLTS Ubah
Rumusan sebaiknya tidak disngkat mengingat di ketentuan umum juga tidak
memberi singkatan.

218

Anda mungkin juga menyukai