PENDAHULUHAN
Latar belakang
Masalah kestabilan lereng pada tanah merupakan suatu hal yang menarik, karena faktor secara sederhana
dalam kestabilan lereng sebagai gaya- gaya penahan dan gaya- gaya dorong akan mempertanggun
jawabkan terhadap keamanan lereng. Faktor keamanan lereng untuk menyatakan tingkat kestabilan suatu
lereng yang akan mengetahui kemantapan lereng dan perlu tidaknya perhatian pada suatu lereng akan
kemunkinan terjadi kelongsoran.
Faktor perhatian kestabilan lereng yakni gaya penahan dan gaya dorong, gaya penahan merupakan gaya-
gaya yang mempertahankan kemantapan lereng, sedangkan gaya dorong merupakan gaya- gaya yang
mengakibatkan lereng longsor. Kestabilan lereng yang bekerja dengan kestimbangan gaya gesekan dalam
yang berbandingan dengan bobot di kemiringan alami atau sudut gesear dalam akan perlawanan internal
kohesi dibidang geser.
Metode Fellenius (irisan biasa) merupakan metode ini juga dinamakan sebagai metode lingkaran Swedia
dikenal cara perhitungan faktor keamanan yang paling sederhana dengan asumsi yang digunakan dalam
metode ini adalah resultan gaya antara irisan sama dengan nol dan bekerja sejajar dengan permukaan
bidan runtuh, serta bidang runtuh berupa sebuah busur lingkaran. Kondisi kestimbangan yang dapat
dipenuhi oleh metode ini hanya kesetimbangan momen untuk semua irisan pada pusat lingkaran runtuh.
Pada pelaksanaannya, lokasi kegiatan kerja praktek dalam Kondisi existing merupakan kondisi dimana
lokasi tersebut telah ditambang sebelumnya, sedangkan kondisi virgin dimana zona stratigrafi masih
merupakan material asli dan belum dilakukan penggalian atau perubahan zona topografi. Lokasi front
penambangan di bukit Tapuemea pada PT. Antam Tbk. UBPN. SULTRA Tapunopaka, Kabupaten
Konawe Utara, Propinsi Sulawesi Tenggara.
Batasan kerja praktek di Tapunopaka PT. Antam Tbk. SULTRA meliputi faktor keamanan dan distribusi
gaya gesekan dalam
Kerja Praktek yang dilaksanakan di PT Antam Tbk yang merupakan bagian dari kurikulum Program
Studi Teknik Pertambangan, Universitas Sembilanbelas November kolaka, Kerja Praktek dengan judul
“Sutudi Teknis Kestabilan Lereng Dengan Metode Fellenius Pada PT Antam Tbk. UBPN.” adalah
sebagai berikut :
Dapat memperhatikan kestabilan lereng tambang dari keamanan lereng yang dilihat hitungan
faktor keamanan
Laporan kerja praktek ini akan membahas kestabilan lereng yang akan kemampuan penyusung
matrial dengan beberapa bab, Bab tersebut adalah:
BAB I Pendahuluan, berisi perilku karakteristik fisik dan mekanaik (permasalaan umum) terkait
kestabilan lereng, cara perhitungan factor keamanan dengan metode fellenius, dan lokasi kerja praktek
pada PT. Antam Tbk. UBPN.
BAB II Tinjauan umum, berisi sejarah singkat PT. Antam Tbk. UBPN SULTRA, visi dan misi PT.
Antam Tbk. UBPN SULTRA, lokasi dan kesampaian daerah, dan keadaan geografi daerah pada
karakteristik lokasi dan wilaya rawan bencana longsor.
BAB III Landasan Teori, berisi Definisi tanah dan lereng, identifikasi mekanisme keruntuhan, perkiraan
keruntuhan, factor yang mempengaruhi kemantapan leren, berbagai cara analisisi kestabilan lereng, dan
perhitungan factor keamanan lereng (metode fellenius).
BAB IV Metodologi dan hasil kerja praktek, berisi metode kerja praktek dengan tahapan pelaksanaan
yakni; pengenalan lingkungan kerja, studi pendahuluan, studi literature, pengumpulan data, dan
penyelesaian akhir.
BAB V Pembahasan, berisi hasil data kerja praktek (dimensi geometric serta sifat fisik dan mekanik), dan
pembahasan.
BAB II
TINJAUAN UMUM
Kegiatan usaha Perseroan telah dimulai sejak tahun 1968 ketika Perseroan didirikan sebagai Badan Usaha
Milik Negara melalui merjer dari beberapa Perusahaan tambang dan proyek tambang milik pemerintah,
yaitu Badan Pimpinan Umum Perusahaan-perusahaan Tambang Umum Negara, Perusahaan Negara
Tambang Bauksit Indonesia, Perusahaan Negara Tambang Emas Tjikotok, Perusahaan Negara Logam
Mulia, PT Nickel Indonesia, Proyek Intan dan Proyek-proyek Bapetamb. Perseroan didirikan dengan
nama "Perusahaan Negara (PN) Aneka Tambang" di Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli 1968
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1968. Pendirian tersebut diumumkan dalam Tambahan
No. 36, BNRI No. 56, tanggal 5 Juli 1968. Pada tanggal 14 September 1974, berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 26 tahun 1974, status Perusahaan diubah dari Perusahaan Negara menjadi Perusahaan
Negara Perseroan Terbatas ("Perusahaan Perseroan") dan sejak itu dikenal sebagai "Perusahaan Perseroan
(Persero) Aneka Tambang".
Pada tanggal 30 Desember 1974, ANTAM berubah nama menjadi Perseroan Terbatas dengan Akta
Pendirian Perseroan No. 320 tanggal 30 Desember 1974 dibuat di hadapan Warda Sungkar Alurmei, S.H.,
pada waktu itu sebagai pengganti dari Abdul Latief, dahulu notaris di Jakarta jo. Akta Perubahan No. 55
tanggal 14 Maret 1975 dibuat di hadapan Abdul Latief, dahulu notaris di Jakarta mengenai perubahan
status Perseroan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang
No. 9 tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1969
(Lembaran Negara tahun 1969 No. 16.
Bijih nikel di Sulawesi Tenggara yang mulai dieksploitasi sejak tahun 1964 oleh PT. Nikel
(Pertambangan Nikel Indonesia). Sebelumnya, pada tahun 1909 bijih nikel di Pomalaa dieksploitasi dan
ditambang oleh E.C. Abendanon Kemudian beralih ke eksploitasi berikutnya oleh Oost Borneo
Maatschappij (OBM) dan Bone Tolo Maatschappij. Proses penambangan dilakukan oleh OBM dan
hasilnya diekspor ke Jepang sebanyak 150.000 ton bijih nikel dan hal ini berlangsung sampai tahun 1942.
Untuk mendukung pendanaan proyek ekspansi feronikel, pada tahun 1997 Perseroan menawarkan 35%
sahamnya ke publik dan mencatatkannya di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 1999, Perseroan
mencatatkan sahamnya di Australia dengan status foreign exempt entity dan pada tahun 2002 status ini
ditingkatkan menjadi ASX Listing yang memiliki ketentuan lebih ketat.
Pada masa Perang Dunia II yakni tahun 1942-1945 Indonesia diduduki oleh Jepang. Tambang Nikel
Pomalaa selanjutnya dikelola oleh Sumitomo Metal Mining Corp. (SMM) yang berhasil membangun
sebuah pabrik pengolahan yang menghasilkan nikel matte. Selama masa tersebut, pabrik tersebut
menghasilkan 351 ton matte, dimana tiga puluh ton diantaranya berhasil dikapalkan dan sisanya
ditinggalkan di Pomalaa. Hal ini terjadi karena pabrik pengolahan nikel di Pomalaa terlanjur hancur oleh
serangan sekutu hingga instalasi yang ada pada saat itu hancur berantakan.
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, banyak pihak asing yang ingin melakukan eksplorasi di
Pertambangan Nikel Pomalaa tersebut, seperti Freeport Sulfur Co. Oost Borneo Maatschappij serta MMC
yang bergerak di Malili. Namun akibat keadaan keamanan yang kurang memungkinkan saat itu sehingga
usaha tersebut mengalami kegagalan. Baru pada tahun 1957, usaha penambangan bijih nikel dapat
diulangi lagi, kali ini oleh perusahaan NV Perto. Mula-mula yang dikerjakan yaitu hanyalah mengekspor
stok bijih nikel yang tertinggal dari zaman perang Jepang. Pada tahun 1959-1960, perusahaan ini baru
melakukan penggalian di pulau Maniang.
Setelah pembuatan FeNi 1 pada tahun 1976 maka dibuatlah FeNi 2 dan FeNi 3 pada tahun 1992 dan 2003
demi menambah kapasitas produksi. Pada tahun 2014 dibuatlah FeNi 4 sebagai modernisasi dari FeNi 1
untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi 27.000 ton Ni.
Berdasarkan penjelasan diatas PT. ANTAM dijadikan sebagai wadah bagi kami mahasiswa untuk
mendapatkan pengalaman kerja dan menambah wawasan tentang kondisi pertambangan secara nyata,
serta sebagai suatu bentuk kerja sama yang efektif antar mahasiswa Teknik Pertambangan Universitas
Sembilas November dengan PT. ANTAM.
Visi dan misi PT.Antam Tbk. UBPN sultra visi Antam 2030:
"Menjadi Korporasi Global Terkemuka Melalui Diversifikasi Dan Integrasi Usaha Berbasis
Sumber Daya Alam"
Mengoptimalkan sumber daya dengan mengutamakan keberlanjutan, keselamatan kerja dan kelestarian
lingkungan.
Meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan karyawan serta kemandirian masyarakat di sekitar wilayah
operasi.
Jarak dari Kabupaten Kolaka ke Wolawe sejauh ± Km 195 dapat ditempuh dengan menggunakan
kendaraan roda 2 atau roda 4 selama kurang lebih 5 jam.
Transportasi ke Kec. Wolawe ke Tapunopakah lokasi tempat kerja praktek dapat ditempuh dengan
menggunakan perahu selama kurang lebih 1.5 jam.
Aspek geografi yang perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran keadaan daerah mengenai krakteristik
lokasi dan wilayah bencana longsor
2.4.1.1 Topografi
Wilayah Konawe Utara berada pada ketinggian 0 - >2000 mdpl dengan kemiringan lereng antara 0 -
>40%. Kemiringan antara 25% sampai dengan >40% berada pada hulu Sungai Lasolo yang
merupakan wilayah Pegunungan Matarombeo. Wilayah dengan kemiringan lereng 0-8% umumnya
berada pada kaki bukit, lembah antar sungai, dan wilayah di muara-muara sungai. Wilayah dengan
ketinggian >2000 meter dan kemiringan lebih dari 40% berada pada sekitar hulu Sungai Konaweha,
yaitu Pegunungan Mekongga mengarah ke utara sampai Pegunungan Matarombeo umumnya berbukit
hingga bergunung.
Struktur geologi yang dijumpai di wilayah Kabupaten Konawe Utara adalah sesar, lipatan, dan
kekar. Sesar dan kelurusan umumnya berarah barat laut-tenggara searah dengan sesar geser lurus
mengiri Lasolo. Sesar Lasolo bahkan masih aktif hingga saat ini. Sesar tersebut diduga ada kaitannya
dengan Sesar Sorong yang aktif kembali pada Kala Oligosen (Simandjuntak, dkk., 1983). Sesar naik
ditemukan di daerah Wawo sebelah barat Tampakura dan di Tanjung Labuandala di selatan Lasolo, yaitu
beranjaknya Batuan Ofiolit ke atas Batuan Malihan Mekonga, Formasi Meluhu, dan Formasi Matano.
2.4.1.3 Hidrologi
Sungai adalah sistem pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi pada kanan
dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Daerah Pengaliran Sungai adalah
suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air meresap dan/atau
mengalir melalui sungai dan anak-anak sungai yang bersangkutan.
Daerah Aliran Sungai yang melalui Kabupaten Konawe Utara adalah wilayah Sungai Lasolo
Sampara dengan sub wilayah sungai terdiri dari SWS Sungai Lasolo, SWA Lalindu, SWS
Tinobu, SWS Sampara, dan SWS S. Lambuti. SWS Lasolo-Sampara mempunyai 63 DPS dengan
jumlah total luas DPS 14.979,6 km2 dan total panjang sungainya 847,2 km.
Adanya Daerah Aliran Sungai (DAS) perlu dicermati sebagai potensi bagi sumber daya air untuk
keperluan irigasi pertanian, energi listrik, sarana. Hal lain yang harus dicermati terkait dengan
keberadaan daerah aliran sungai yakni kerentanan terhadap bencana banjir seperti halnya yang terjadi
pada titik muara sungai pertemuan Sungai Lasolo dan Sungai Landawe di perbatasan kecamatan Molawe-
Asera adalah yang telah menjadi daerah banjir tahunan.
Kabupaten Konawe Utara memiliki wilayah rawan bencana tanah longsor,. Adapun rincian wilayah
rawan bencana tanah longsormeliputi:
a. Kecamatan Molawe;
b. Kecamatan Sawa;
c. Kecamatan Lembo;
d. Kecamatan Wawolesea;
e. Kecamatan Lasolo;
f. Kecamatan Motui;
g. Kecamatan Andowia;
h. Kecamatan Asera;
i. Kecamatan Oheo;
j. Kecamatan Langgikima;
k. Kecamatan Landawe;
l. Kecamatan Wiwirano.
BAB III
LANDASAN TEORI
Dalam kerja praktek ini sebuah kestabilan lereng akan keamanan lerengnya dengan memperhatikan
identifikasi masalah yang akan terjadi dengan gaya tauld yang berkerja antara Gaya penahan dan Gaya
dorong dilihat dari keamanan lereng yang akan longsor dengan tingkat kestabilang lereng yang tidak sabil
akan teridntifikasi gaya kriterianya yang memperlihatkan tingkat keseriusan dalam memperhatiakn
kestabilan lereng dari perkiraan keruntuhan. Kemantapan lereng tergantung pada Gaya penggerak dan
penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang mengakibatkan lereng
longsor. Sedangkan Gaya penahan adalah gaya-gaya yang mempertahankan kemantapan lereng tersebut.
Jika gaya penahannya lebih kecil dari gaya penggerak, maka lereng tersebut dalam keadaan tidak stabil.
Faktor-faktor penyebab pendahuluan yaitu faktor-faktor yang dapat menyebabkan lereng menjadi
rentan terhadap longsoran sehingga merubah kondisi kestabilan lereng dari sangat aman menjadi
cukup aman.
Faktor-faktor pemicu longsoran yaitu faktor-faktor yang memicu sehingga terjadi pergerakan pada
lereng atau lereng mengalami longsoran. Faktor pemicu akan menurunkan kondisi kestabilan lereng dari
cukup aman menjadi tidak stabil.
3.5 Pencegahan Terjadinya Gerakan Massa Tanah :
1. Mengubah Geometri Kelerengan
Perubahan geometri lereng ini pada prisnsipnya bertujuan untuk mengurangi gaya pendorong dari masa
tanah atau gaya-gaya yang menggerakan yang menyebabkan gerakan lereng. Perbaikan dengan perubahan
geometri lereng ini meliputi pelandaian kemiringan lereng dan pembuatan trap-trap/bangku/teras
(benching) dengan perhitungan yang tepat.
2. Mengendalikan Aliran Air Permukaan
Air merupakan salah satu faktor penyumbang ketidakmantapan lereng, karena akn meninggikan tekanan
air pori. Pengendalian air ini dapat dilakukan dengan cara sistem pengaturan drainase lereng baik dengan
drainase permukaan maupun bawah permukaan (Hardiyatmo. C. H., 2006). Pemilihan metode ini cocok
digunakan dalam upaya pencegahan tetapi jika pada sebelumnya telah terjadi gerakantanah maka
diperlukan beberapa metode penanggulangan sebagai pendukung.
1.) Topografi
Supaya penyelidikan lapangan dapat dilakukan dengan baik harus terdapat peta yang cukup akurat
yang menunjukkan letak dari lubang-lubang bor untuk penyelidikan, daerah pemetaan struktur
geologi serta lokasi dari penampang melintang yang dianalisis.
2.) Geologi
Beberapa kondisi geologi yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng, yaitu: tipe mineral
pembentuk material lereng, bidang-bidang diskontinuitas dan perlapisan,tingkat intensitas
pelapukan, kedalaman pelapukan, sejarah dari keruntuhan sebelumnya dan keadaan tegangan di
tempat. Tipe longsoran yang mungkin terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi dari bidang- bidang tak
menerus pada daerah yang distudi/diselidiki. Berikut ini adalah sketsa dari beberapa bentuk tipe
longsoran dan kondisi bidang-bidang tak menerus yang mempengaruhinya.
Selama proses pekerjaan penggalian lereng kondisi geologi harus terus dikaji dan desain lereng dapat
dimodifikasi ulang apabila ternyata kondisi geologi yang aktual berbeda dengan yang diasumsikan.
Pada umumnya data geologi yang tersedia biasanya sangat terbatas sehingga dapat menghasilkan
beragam interpretasi. Oleh sebab itu kondisi geologi harus selalu diamati selama pekerjaan
berlangsung serta mempertimbangkan kemungkinan adanya perubahan rancangan lereng apabila
kondisi aktual di lapangan berbeda dengan kondisi geologi yang diasumsikan.
3.) Sifat material
Sifat material yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng yaitu parameter kekuatan geser
dan berat satuan material. Parameter kekuatan geser merupakan sifat material terpenting karena faktor
keamanan dinyatakan dalam bentuk perbandingan kekuatan geser yang tersedia dan kekuatan geser
yang diperlukan, sehingga penentuan parameter kekuatan geser harus seakurat mungkin. Parameter
kekuatan geser terdiri dari komponen yaitu kohesi dan sudut geser dalam. Untuk analisis lereng
yang telah mengalami longsoran harus diperhatikan tentang kekuatan geser sisa.
Berdasarkan kondisi pengujian di laboratorium atau pengujian di lapangan terdapat dua tipe kekuatan
geser material yaitu: kekuatan geser takterdrainase dan kekuatan geser terdrainase. Kekuatan geser
takterdrainase digunakan apabila analisis kestabilan lereng dilakukan dengan pendekatan tegangan total,
sedangkan kekuatan geser terdrainase digunakan apabila analisis kestabilan lereng dilakukan dengan
pendekatan tegangan efektif.
4.) Air tanah
Kondisi air tanah merupakan salah satu parameter terpenting dalam analisis kestabilan lereng, karena
seringkali terjadi longsoran yang diakibatkan oleh kenaikan tegangan air pori yang berlebih. Tekanan air
pori tidak diperlukan apabila dilakukan analisis kestabilan dengan tegangan total. Gaya hidrostatik
dengan metode hidrodinamik pada permukaan lereng yang diakibatkan oleh air yang menggenangi
permukaan lereng juga harus dimasukkan dalam perhitungan kestabilan lereng, karena gaya ini
mempunyai efek perkuatan pada lereng.
Secara teoritis kondisi air tanah dapat diketahui dengan mengukur besarnya aliran air tanah (debit).
Kondisi air tanah berhubungan dengan pori tanah dan tekanan air yang bekerja di pori-pori tanah. Secara
umum kondisi air tanah yang dijumpai pada bawah permukaan tanah dapat berup basah, Jenuh, dan
mengalir.
Pada umumnya keberadaan air akan mengurangi kondisi kestabilan lereng yang antara lain karena
menurunkan kekuatan geser material sebagai akibat naiknya tekanan air pori, bertambahnya berat satuan
material.
5.) Pembebanan pada lereng
Data lain yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng yaitu gaya-gaya luar yang bekerja pada
permukaan lereng, seperti beban dinamik dari lalu-lintas, beban statik dari bangunan atau timbunan
di atas lereng, peledakan. Gaya-gaya luar ini harus dimasukkan dalam perhitungan karena dapat
mempunyai efek mengurangi kondisi kestabilan lereng.
6.) Geometri Lereng
Data geometri lereng yang diperlukan yaitu data mengenai sudut kemiringan dan tinggi lereng.
Geometri lereng alami dapat ditentukan dengan membuat penampang vertikal berdasarkan peta
topografi. Sedangkan untuk lereng buatan, geometri lereng ditentukan dari desain lereng yang akan
dibuat.
Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu: cara pengamatan visual, cara komputasi dan cara grafik (Pangular, 1985) sebagai
berikut :
a. Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di lapangan dengan
membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini
memperkirakan lereng stabil maupun tidak stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan
(Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini
dipakai bila tidak ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan
memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng.
b. Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus (Fellenius, Bishop, Janbu,
Sama, Bishop modified dan lain-lain). Cara Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng
dan dianalisis kekuatannya Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan tanah adalah
kuat geser tanah yang dapat terjadi : (a) tak terdrainase, (b) efektif untuk beberapa kasus pembebanan, (c)
meningkat sejalan pening- katan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau dengan kedalaman, (d) ber-
kurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu) atau ter- bentuknya tekanan pori yang
berlebih atau terjadi peningkatan air tanah. Dalam menghitung besar faktor keamanan lereng dalam
analisis lereng tanah melalui metoda sayatan, hanya longsoran yang mempunyai bidang gelincir saya
yang dapat dihitung.
c. Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor, Hoek & Bray, Janbu,
Cousins dan Morganstren). Cara ini dilakukan untuk material homogen dengan struktur sederhana.
Material yang heterogen (terdiri atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus
(cara komputasi). Stereonet, misalnya diagram jaring Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat
menjelaskan arah longsoran atau runtuhan batuan dengan cara mengukur strike/dip kekar-kekar (joints)
dan strike/dip lapisan batuan.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan studi-studi yang menyeluruh tentang
keruntuhan lereng, maka dibagi 3 kelompok rentang Faktor Keamanan (FK) ditinjau dari intensitas
kelongsorannya (Bowles, 1989), sperti yang diperlihatkan pada Tabel berikut:
Tabel 3.2 Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor
BAB IV
METODOLOGI DAN HASIL
KERJA PRAKTEK
5. Pengolahan Data
a. Analisis Data
Meliputi pengolahan data dan analisa dari data-data yang sudah didapat di lapangan. Dan evaluasi dari
keseluruhan kegiatan Kerja Praktek yang kemudian dituangkan dalam penyusunan laporan Kerja Praktek.
b. Kesimpulan
Kesimpulan dari pengolahan data hanya terletak pada kedalaman lereng