Anda di halaman 1dari 43

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

ANGGOTA FRONT PEMBELA ISLAM OLEH OKNUM POLISI

DRAF PROPOSAL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Jurusan Ilmu Hukum Pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar

Oleh:

ASRIANTO ABADI
NIM: 10400118002

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2021

1
DRAF PROPOSAL

Nama : Asrianto Abadi


NIM : 10400118002
Jurusan : Ilmu Hukum
Fakultas : Syariah dan Hukum
Judul : ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN ANGGOTA FRONT PEMBELA ISLAM
OLEH OKNUM POLISI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ernest Renan seorang filsuf Prancis memberikan pengertian tentang

nasionalisme, dia berpendapat bahwa nasionalisme merupakan kesadaran

untuk bersatu tanpa adanya paksaan demi untuk mewujudkan sebuah

komitmen dan kepentingan kolektif, yang pada akhirnya menciptakan

sebuah identitas bangsa. Nasionalisme setidaknya membutuhkan

penjabaran konsep negara, bangsa, etnisitas, dan identitas nasional.

Anthony Smith juga memberikan pandangannya tentang nasionalisme,

menurut dia nasionalisme juga dapat berupa ideologi, atau suatu bentuk

sikap, ataupun keduanya. Dalam ideologi, nasionalisme sendiri

mengejawantahkan system dari pemikiran-pemikiran yang menuntut hak

menentukan nasib sendiri (self determination).1

1
Darma Agung, M.Si, Memperkokoh Identitas Nasional Untuk Meningkatkan
nasionalisme, vol.69 (Jakarta: Puskom Publik Kemhan, 2017), h. 6-7.

2
Menurut Sarman, sempitnya kerangka berfikir terhadap sebagian

masyarakat tentang nasionalisme. Menurutnya, pengertian nasionalisme

hanya dimaknai sebatas kecintaan terhadap tanah air yang reserve, yang

merupakan lambang patriotisme sebagai bentuk perjuangan yang seolah-

olah menghalalkan segala cara demi negara yang dicintai. Pengertian

tersebut menyebabkan makna daripad nasionalisme tidak lagi relevan

dengan persoalan-persoalan yang terjadi di zaman sekarang. Konsekuensi

dari perbedaan konteks nasionalisme inilah kemudian menyebabkan orang

tidak lagi bergantung hanya kepada identitas nasional, yang sifatnya

makrokosmos abstrak, namun lebih menekankan terhadap identitas yang

lebih konkrit seperti demokrasi, pemerintah yang bersih, negara modern dan

perlindungan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, seseorang mustahil akan

menemukan kebanggaan terhadap identitas nasional apabila seorang warga

negara tidak mendapatkan kebanggaan terhadap diri negaranya sendiri. 2

Allah SWT berfirman:

ِ ‫ت َم ْن ٰا َمنَ ِم ْن ُه ْم بِ ه‬
‫اّٰلل َو ْاليَ ْو ِم‬ ِ ‫ار ُز ْق ا َ ْهلَهٗ ِمنَ الث َّ َم ٰر‬ْ ‫ب اجْ عَ ْل ٰهذَا بَلَدًا ٰا ِمنًا َّو‬ ِ ‫َواِذْ قَا َل اِب ْٰر ٖه ُم َر‬
‫صي ُْر‬ ِ ‫س ْال َم‬َ ْ‫ار ِۗ َوبِئ‬ ِ َّ‫ب الن‬ِ ‫عذَا‬َ ‫ط ُّر ٗه اِ ٰلى‬
َ ‫ض‬ ْٰ
ْ َ ‫اْل ِخ ِۗ ِر قَا َل َو َم ْن َكفَ َر فَا ُ َمتِعُهٗ قَ ِلي ًًْل ث ُ َّم ا‬
Terjemahan:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, Jadikanlah


(negeri Mekah) ini, negeri yang aman, dan berikanlah rezeki berupa
buah-buahan kepada penduduknya, yaitu diantara mereka yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian,” Dia (Allah) berfirman, “
Dan kepada orang kafir Aku beri kesenangan sementara, kemudian

Anggraeni Kusumawardani & Faturochman, “Nasionalisme,” Buletin Psikologi, Tahun


2

XII no.2 (Desember 2004), h. 63-64.


https://journal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/viewFile/7469/5808&ved (diakses 22 Maret
2021).

3
Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruknya
tempat kembali”. ( Q.S. al-Baqarah:126).

Masalah radikalisme Islam makin besar dalam konstelasi politik

Indonesia disebabkan karena pengikutnya makin meningkat. Tujuan dari

gerakan-gerakan inipun makin lama semakin berbeda, serta polanya pun

tidak sama. Ada yang hanya perjuangannya tanpa mengubah ideologi

negara menjadi “negara Islam”, tetapi ada pula yang berupaya

menggantikan ideologi negara menjadi “negara Islam”. Polanya pun

berbeda-beda, seperti gerakan moral ideologi semisal Majelis Mujahidin

Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sampai kepada gaya militer

seperti laskar jihad, dan FPI.3

Kelompok radikal di kalangan umat muslim Indonesia bukanlah

sesuatu yang baru. Pada awal abad ke-20, radikalisme muslim diambil alih

oleh sekelompok Serikat Islam (SI) yang membuat kalangan pribumi dalam

hal peningkatan semangat dan ekonomi kian parah.4 Gerakan radikalisme

Timur tengah yang sangat menekankan agenda-agenda politik tidak seperti

yang terjadi di Indonesia yang baru sebatas pada tuntutan dipenuhinya

aspirasi ideologi Islam, seperti pemberlakuan syariat Islam atau piagam

Jakarta.5

3
Endang Turmudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta :LIPI Press,2005),
h. 5.
4
Khamami zada, Islam Radikalisme, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 87
5
Azyumardi Azra, “Muslimin Indonesia: Viabilitas “Garis keras” , dalam Datra edisi
khusus 2000, h. 45.

4
Pemicu kemunculan Islam radikal di Indonesia diakibatkan oleh 2

aspek; Awal, aspek internal dari dalam umat Islam sendiri yang setelah itu

menyalahi norma- norma agama. Kedua, aspek eksternal di luar umat Islam,

baik yang dicoba penguasa ataupun hegemoni Barat. Di sisi lain, aksi

terorisme di Indonesia semenjak dini 2000- an tengah menyusut. Tetapi

radikalisme agama yang ialah pangkal terorisme senantiasa berkembang

produktif di sebagian golongan warga. Tidak hanya radikalisme agama, aksi

teror juga makin bermunculan disebabkan sebagian aspek, semacam anti

persatuan, separatisme, serta lain- lain. Syamsul Bakri, membagi aspek

faktor timbulnya gerakan radikalisme ke dalam 5 aspek: 6

Pertama, aspek sosial- politik. Indikasi sosial- politik lebih pas jadi

pemicu kekerasan agama daripada indikasi keagamaan. Radikalisme yang

ialah gerakan salah kaprah oleh Barat itu lebih pas dilihat pangkal

permasalahannya dari konteks sosial- politik dalam struktur historisitas

warga. Sebagaimana ungkapan Azyumardi Azra kalau penolong utama

dalam timbulnya radikalisme merupakan memburuknya posisi negara-

negara muslim dalam konflik utara- selatan.

Kedua, aspek sentimen keagamaan. Sentimen keagamaan adalah

salah satu penyebab gerakan radikalisme yang harus kita akui, termasuk di

dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh

kekuatan tertentu. Secara terang-terangan kelompok-kelompok yang

6
Syamsul Bakri dalam Radikalisme Agama & Tantangan kebangsaan, 10-12

5
mengatas namakan agama itu kemudian muncul di tengah masyarakat

dengan emosi kemarahan menolak pemimpin kafir. Propaganda dan demo

besar-besaran merupakan wujud kemarahan yang di pertontonkan di depan

media serta di berbagai daerah. Sikap tersebut apakah murni

mengatasnamakan agama ataukah justru hanya merupakan permainan elite

politik.

Ketiga, aspek kultural. Latar belakang munculnya radikalisme juga

diakibatkan oleh faktor ini. Hal ini wajar karena memang secara kultural,

sebagaimana diungkapkan oleh Musa Asy’ari bahwa usaha untuk

melepaskan diri dari jeratan jarring-jaring kebudayaan yang dianggap tidak

sesuai memang selalu ditemukan dalam masyarakat. Sedangkan yang

diartikan aspek kultural adalah sebagai upaya tiruan terhadap budaya

sekularisme Barat. Sekularisme di Indonesia senantiasa dikait-kaitkan

dengan kapitalisme, liberalisme, atheisme sebagai sebuah paham anti

agama.

Keempat, aspek ideologis antri westernisme. Werternisme ialah

pemikiran yang membahayakan muslim dalam mengaplikasikan syariat

Islam. Sehingga symbol- simbol barat wajib dihancurkan demi penegakkan

syariat Islam. Pandangan hidup fundamentalisme selaku pandangan hidup

anti westernisme. Kelima, aspek kebijakan pemerintah. Ketidaksanggupan

pemerintah di negara-negara Islam untuk membuat kebijakan yang pantas

dan memperbaiki situasi merupakan salah satu faktor berkembangnya

kemarahan sebagian umat islam.

6
Pada hakekatnya, secara normatif tidak ada satupun agama di dunia

ini yang mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan tindak kekerasan

terhadap sesama manusia. Namun dalam implementasinya, agama yang

diyakini mengandung nilai-nilai luhur dan kedamaian itu, kerap kali

dijadikan sebagai alat pembenar bagi sikap dan perilaku kekerasan

(violence) dalam upaya memaksakan kehendak dengan menatasnamakan

agama.

Konflik dan kekerasan yang muncul salah satu faktornya adalah

agama yang berperan di dalamnya, baik internal atau dari dalam maupun

antar umat beragama memang sulit dibantah. Hal itu antara lain yang terlihat

dalam kejadian paling kontroversial di Indonesia, yaitu lahir dan tumbuhnya

satu gerakan yang dikenal dengan FPI (Front Pembela Islam) dengan semua

aktivitasnya. Sisi kontroversial dari FPI ini bukanlah pemahaman agama

yang komitmen dan bertekad untuk menegakkan moralitas keagamaan dan

membasmi kemungkaran (nahi munkar), namun gerakannya lebih kepada

aksi-aksi kekerasan. FPI adalah organisasi massa Islam bergaris keras yang

berpusat di Jakarta. FPI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1998 di Pondok

Pesantren al-Um, Ciputat, Jakarta Selatan, oleh beberapa Habaib, Ulama,

Mubaligh, dan aktivis Muslim beserta ratusan santri. 7 Namun, Pemerintah

resmi membubarkan FPI melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) enam

7
Fahruddin Faiz, “Front Pembela Islam: Antara Kekerasan dan Kematangan Beragama,”
vol. 8 no. 2 (Desember 2014), h. 348-355

7
Menteri dan kepala Lembaga yang diumumkan pada Rabu, 30 Desember

2020.8

Sebelum dibubarkan, terjadi kasus yang sangat mengagetkan

masyarakat, yaitu kasus penembakan terhadap anggota FPI, hal tersebut

terjadi pada senin, 7 Desember 2020, dini hari sekitar pukul 00.30 di Tol

Cikampek Kilometer 50.9 Tentunya hal tersebut menimbulkan banyak

sekali sorotan dari berbagai kalangan untuk segera mengusut tuntas kasus

tersebut.

Jalan tol Jakarta-Cikampek kilometer 50 menjadi saksi bisu

pertikaian antara organisasi masyarakat Front Pembel Islam (FPI) dengan

polisi, enam anggota FPI tewas karena tembakan polisi yang semuanya

diarahkan ke dada sebelah kiri. Menurut laporan majalah Tempo, keenam

korban masih hidup ketika diringkus.

Tindak pidana pembunuhan diatur di dalam Pasal 338 KUHP, yaitu

yang berbunyi: “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain,

diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima

belas tahun”. Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh oknum

polisi berbeda dengan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh

masyarakat biasa, karena kepolisian memiliki standar operasional prosedur

yang tidak boleh dilanggar.

8
https://www.google.com/amp/s/nasiona.tempo.co/amp/1419642/fpi-dibubarkan-rizieq-
shihab-minta-pengikutnya-rileks (diakses 23 Maret 2021)
9
https://www.google.com/amp/s/metro.tempo.co/amp/1417943/kaleidoskop-2020-serba-
serbi-kasus-penembakan-6-laskar-fpi (diakses 23 Maret 2021)

8
Oleh karena itu, penembakan oleh oknum polisi perlu dikaji dari sisi

prosedurnya karena pembunuhan dilakukan oleh oknum polisi. Apakah

pembunuhan tersebut sudah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP)

Kepolisian untuk menentukan tindakan oknum polisi tersebut masuk

kategori tindak pidana pembunuhan atau kesalahan prosedur.

Anggota Polri eksklusifnya sebagai penyidik awal dalam

penyelidikan perkara-perkara pidana perlu memahami makna serta arti

hukum dalam rangka penerapan tugas-tugas yang diembannya. Sehingga

menegakkan hukum memang dengan cara-cara hukum bukan dengan cara-

cara kekerasan lewat dalih pendekatan kekuasaan rasanya jelas bahwa untuk

melakukan tugas dengan sebaik-baiknya penting buat diketahui oleh

petugas kepolisian dalam batas-batas manakah boleh melakukan tugasnya.

Berkaitan dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh anggota

kepolisian, hukum tidak dapat secara kaku untuk diberlakukan kepada

siapapun serta dalam keadaan apapun, tetapi dalam kondisi tertentu petugas

penegak hukum dapat melaksanakan aksi yang dikira benar serta cocok

dengan penilaiannya sendiri yang dalam hal ini disebut dengan diskresi.

Peraturan kapolri Nomor 1 Tahun 2009 menjelaskan bahwa

kebijakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang untuk

menghindari, membatasi ataupun menghentikan tindakan pelaku kejahatan

ataupun tersangka yang sedang berupaya maupun sedang melakukan

perilaku yang berlawanan dengan hukum ataupun menghindari pelaku

9
kejahatan atau tersangka melarikan diri ataupun melakukan aksi yang

membahayakan anggota polri ataupun warga serta pula untuk melindungi

diri ataupun warga dari ancaman ataupun perbuatan pelaku kejahatan

ataupun tersangka yang bisa menimbulkan cedera parah ataupun

mematikan, juga melindungi kehormatan kesusilaan atau harta benda diri

sendiri ataupun masyarakat dari serangan yang melawan hak dan/atau

mengancam jiwa manusia.

Dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum ayat 3 huruf c

KUHAP yang berbunyi “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,

dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap

tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperolah kekuatan hukum tetap”.

Perihal ini jelas dikatakan bahwa tindakan pihak kepolisian dalm

melakukan penembakan terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak

kejahatan tidak bisa dibenarkan, sebab bertentangan dengan pasal 3c

peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, mengenai asas proporsionalitas,

yang berarti bahwa pemakaian kekuatan mesti dilakukan secara seimbang

antara ancaman yang dialami dan tingkat kekuatan maupun respon anggota

polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian korban dan penderitaan yang

berlebihan.

10
Berdasarkan pemikiran dan latar belakang yang dikemukakan di

atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang:

“ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN ANGGOTA FRONT PEMBELA ISLAM OLEH

OKNUM POLISI”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka muncul pokok masalah

yaitu “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Anggota

Front Pembela Islam Oleh Oknum Polisi”. Berdasarkan uraian pokok

masalah maka dapat dikemukakan sub masalah yaitu :

1. Bagaimana analisis Hukum pidana terhadap tindak pidana

pembunuhan yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap anggota FPI ?

2. Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana terhadap kasus

pembunuhan anggota FPI oleh oknum polisi ?

C. Pengertian Judul

Dari latar belakang di atas pada kesempatan ini, peneliti demi

menghindari kesalah-pahaman dalam mendefinisikan dan memahami

penelitian ini, maka peneliti akan memaparkan pengertian beberapa variable

yang dianggap penting. Antara lain:

11
a. Analisis Yuridis

Analisis merupakan aktivitas merangkum beberapa

informasi besar setelah itu mengelompokkan ataupun

memisahkan unsur- unsur dan bagian- bagian yang berarti buat

berikutnya mengkaitkan informasi yang dikumpulkan buat

menanggapi kasus. Analisis ialah aktivitas buat menggambarkan

pola-pola secara tetap dalam informasi sehingga hasil analisis

bisa dipelajari serta diterjemahkan serta mempunyai makna.10

Yuridis merupakan seluruh perihal yang memiliki arti

hukum. Ketentuan ini bertabiat baku serta mengikat seluruh

orang di daerah dimana hukum tersebut berlaku, sehingga bila

terdapat yang melanggar hukum tersebut dapat dikenai

hukuman.

Dalam riset ini yang diartikan oleh penulis selaku

tinjauan yuridis merupakan aktivitas buat mencari serta

memecah komponen- komponen dari sesuatu kasus buat dikaji

lebih dalam dan setelah itu menghubungkannya dengan hukum,

kaidah hukum dan norma hukum yang berlaku selaku

pemecahan permasalahannya. 11

10
Surayin, 2005, Analisis Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung, Yrama Widya, h.
10
11
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar
Maju, h. 83-88

12
b. Pembunuhan

Pengertian pembunuhan merupakan sesuatu aktifitas

yang dilakukan oleh seorang yang menyebabkan seorang atau

sebagian orang meninggal dunia. Tindak pidana pembunuhan, di

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tercantum ke dalam

kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa

(misdrijven tegen het leven) merupakan bentuk penyerangan

terhadap nyawa orang lain.

D. Kajian Pustaka

Setelah peneliti melakukan penelusuran di temukan beberapa

penelitian yang membahas mengenai penembakan oleh oknum polisi dalan

perspektif hukum pidana nasional dan internasional yang dijadikan penulis

sebagai kajian pustaka dalam penelitian ini, antara lain :

1. Kombes. Pol. Dr. Ismu Gunadi, S.H., CN., M.M dan Dr. Jonaedi Efendi,

S.H.I., M.H dalam bukunya yang berjudul “Cepat dan Mudah

Memahami Hukum Pidana”, 2014. Buku ini memuat mengenai konsep

dasar hukum pidana Indonesia, yang tentunya memudahkan penulis

dalam penelitiannya. Teori-teori yang terdapat di dalam buku ini

digunakan oleh penulis dalam menyusun penelitian ini. 12

12
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana (Cet. I;
Jakarta: Kencana, 2014)

13
2. Skripsi Muhammad Rai Harahap dengan judul “Analisis Kelalaian

Penggunaan Senjata Api Oleh Aparat Kepolisian” (Studi Putusan

Penembakan Kepala RS.Bhayangkara) Tahun 2014. Skripsi ini

mengkaji tentang masalah kelalaian oleh kepolisian dalam

menggunakan senjata api. Sedangkan tujuan daripada skripsi tersebut

adalah untuk mengetahui bagaimana regulasi yang mengatur tentang

kelalaian penggunaan senjata api, untuk mengetahui sanksi hukuman

terhadap aparat kepolisian yang melakukan kelalaian, serta mengetahui

faktor-faktor yang menjadi sebab kelalaian penggunaan senjata api oleh

aparat kepolisian. 13

3. Skripsi Laode Sakti Karim Laksana dengan judul “Tinjauan

Kriminologis Terhadap Penyalahgunaan Senjata Api Oleh Anggota

Kepolisian Republik Indonesia” (Studi Kasus di Kota Kendari Tahun

2012-2014) Tahun 2015. Skripsi ini mengkaji tentang anggota

kepolisian Republik Indonesia menyalahgunakan senjata api di Kota

Kendari dengan menggunakan tinjauan kriminologis. Dengan tujuan

mengetahui sebab-sebab yang menjadi faktor penyalahgunaan senjata

api oleh kepolisian dan untuk mengetahui bagaimana upaya

penanggulangan yang dapat dilakukan oleh aparat kepolisian dalam

upaya pencegahan kelalaian tersebut.14

13
Muhammad Rai Harahap, “Analisis Kelalaian Penggunaan Senjata Api Oleh Aparat
Kepolisian” (Studi Putusan Penembakan Kepala RS.Bhayangkara Tahun 2014), (Skripsi UIN
Alauddin, Makassar, 2014).
14
Laode Sakti Karim Laksana, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Penyalahgunaan
Senjata Api Oleh Anggota Kepolisian Republik Indonesia” (Studi Kasus di Kota Kendari Tahun
2012-2014), (Skripsi Universitas Hasanuddin, Makassar, 2015).

14
4. Buku Dr. Fadli Andi Natsif, S.H., M.H. dengan judul “HUKUM

KEJAHATAN HAM: PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA

DAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL”. Buku ini membahas

mengenai konsep dasar mengenai kejahatan HAM dalam perspektif

Hukum pidana Indonesia dan Hukum pidana Internasional. Konsep

penyusunan materi yang disajikan pun mudah dipahami sehingga

membuat peneliti muda dalam menemukan teori-teori yang berkaitan

dengan penelitian.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian

Pustaka atau Yuridis normatif. Penelitian pustaka atau yuridis normative

adalah suatu metode yang digunakan dengan mempelajari buku-buku

literatur dan peraturan perundang-undangan, termasuk putusan

pengadilan yang relevan.

2. Pendekatan Penelitian

Adapun pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini

adalah pendekatan kualitatif. Karena dalam pendekatan kualitatif data

hasil penelitian diperoleh secara langsung. Dan dalam penelitian ini

peneliti juga menggunakan pendekatan hukum pidana nasional dan

pidana internasional yaitu pendekatan yang menelusuri aturan-aturan

15
yang terkait dengan tindak pidana nasional dan internasional, dengan

masalah yang akan dibahas.

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian yaitu :

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui field

research atau penelitian lapangan melalui wawancara. Dalam

penelitian ini, peneliti memperoleh sumber data dari berbagai

responden dan informan data yang diperoleh secara langsung

melalui wawancara dengan Pihak Kepolisian Republik

Indonesia.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data-data yang diperoleh

dari bukubuku, literature, majalah, internet, karya ilmiah, buku,

makalahmakalah, dan hasil riset yang relevan serta fakta-fakta

lapangan yang berkaitan dengan penelitian ini sebagai data

pelengkap terkait dengan sumber data primer.

c. Sumber Data Tersier

Sumber data tersier yaitu bahan tambahan yang

menjelaskan bahan primer dan bahan sekunder, yaitu berupa

ensiklopedia maupun kamus ilmiah.

16
4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode

pengumpulan data sebagai berikut :

a. Observasi

Observasi adalah teknik untuk mengumpulkan data

sesuai dengan hasil penelitian tentang obyek penelitian yang

sedang dilakukan. Observasi adalah suatu proses yang

kompleks, terdiri dari berbagai proses biologis dan psikologis

melalui diskusi menggunakan indera.15

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan data dengan cara

melakukan analisis terhadap dokumen yang berisikan data yang

membantu pelaksaan analisis dalam penelitian. Metode

Dokumentasi, peneliti gunakan mendapatkan data berupa

dokumen yang berfungsi untuk melengkapi data penelitian.

c. Wawancara

Wawancara merupakan kegiatan tanya-jawab antara

peneliti dengan pihak yang terkait dengan penelitian.

15
Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1986), h. 172.

17
5. Instrumen Penelitian

Adapun instrumen penelitian yang digunakan untuk

mendapatkan data-data penelitian saat setelah memasuki tahap

pengumpulan data lapangan adalah wawancara, dokumen, observasi

dan media elektronik seperti handphone (HP).

6. Teknik Pengolahan Analisis Data

1. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data adalah sistematika proses pengelola data

yang ditemukan kemudian diartikan sesuai dengan tujuan,

rancangan, dan sifat penelitiannya. Metode pengolahan data dalam

penelitian ini antara lain:

a. Identifikasi data adalah pengenalan dan pengelompokan

data sesuai dengan judul skripsi yang memiliki hubungan

yang relevan. Data yang diambil adalah data yang

berhubungan dengan pokok masalah penelitian.

b. Reduksi data adalah kegiatan memilih data yang relevan

dengan pembahasan agar pembuatan dan penulisan skripsi

menjadi efektif dan mudah dipahami oleh para pembaca

serta tidak berputar-putar dalam membahas satu masalah.

c. Editing data yaitu proses pemeriksaan data hasil penelitian

yang bertujuan untuk mengetahui relevansi (hubungan) dan

18
keabsahan data yang akan dideskripsikan dalam menemukan

jawaban pokok permasalahan. Hal ini bertujuan

mendapatkan data yang berkualitas dan faktual sesuai

dengan literatur yang didapatkan dari sumber bacaan.

2. Analisis Data

Analisis informasi/data merupakan suatu yang diperoleh dari

pihak kepolisian setelah itu diolah kedalam wujud yang gampang di

baca serta di interprestasikan. Tata cara analisis informasi

merupakan metode yang digunakan buat mencerna informasi. Ada

pula tata cara yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

analisis deskriptif. Tata cara analisis ini digunakan buat

mendeskripsikan ciri permasalahan penelitian, data serta item-item

dari tiap-tiap variabel, artinya di dalam skripsi ini, peneliti hendak

menganalisis Permasalahan Pembunuhan Anggota FPI Oleh Oknum

Polisi.

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini berkisar pada dua hal pokok antara lain :

a. Untuk mengetahui analisis Hukum pidana terhadap tindak

pidana pembunuhan yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap

anggota FPI.

19
b. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana

terhadap kasus pembunuhan anggota FPI oleh oknum polisi.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi keilmuan

kepada peneliti lain dengan tema yang sama.

b. Praktis

Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman

disamping itu diharapkan hasil penelitian berguna bagi

masyarakat untuk lebih memahami penyelesaian dari kasus

pembunuhan anggota FPI oleh oknum polisi.

20
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Umum Tentang Pembunuhan

1. Pengertian Pembunuhan

Pembunuhan adalah seseorang atau beberapa orang meninggal

yang diakibatkan oleh aktivitas yang dilakukan seseorang. Tindak pidana

pembunuhan, menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

masuk kategori kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa

(misdrijventegen het leven) ialah berbentuk penyerangan terhadap nyawa

orang lain.

Menurut Ramianto, yang dilansir dari Anwar dalam bukunya

Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP, buku II), Pembunuhan

(doodslage), yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Sedangkan menurut

Wojoqwasito sebagaimana yang dilansir oleh Rahmat Hakim, dalam buku

Hukum Pidana Islam,perampasan nyawa seseorang maka itu disebut

pembunuhan.

Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa

pembunuhan merupakan tindak pidana yang jenisnya terdiri dari beberapa

bagian, di dalam KUHP pembunuhan terdapat beberapa pasal yang

mengatur mengenai pembunuhan. Di dalam KUHP pada buku II bab XIX

di atur mengenai tindak pidana pembunuhan sebagaimana yang berlaku di

Indonesia.

21
2. Macam-macam pembunuhan dalam KUHP

KUHP mengatur secara eksplisit mengenai macam-macam tindak

pidana pembunuhan.16:

a. Pembunuhan biasa

Terdapat di dalam pasal 338, yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,

diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama lima

belas tahun”.

Adapun unsur-unsur daripada tindak pidana ini yaitu, unsur

objektif yaitu menghilangkan jiwa orang lain dan unsur subjektif

yaitu sengaja melakukan perbuatan itu. Menurut H.A.K. Moch.

Anwar, melenyapkan jiwa orang lain dalam kejahatan ini tidak

dirumuskan bentuk perbuatannya, akan tetapi menghilangkan jiwa

sesorang akibat perbuatanya itu.

Untuk dapat disebut menghilangkan jiwa, seseorang harus

melakukan suatu perbuatan yang dapat mengakibatkan hilangnya

nyawa orang lain. Menurut Tongat, pasal 338 KUHP dalam tindak

pidana pembunuhan, bahwa aktivitas itu menghilangkan nyawa

16
Bambang Waluyo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Bulan Bintang,
2000) h. 145

22
orang lain haruslah merupakan perbuatan positif dan aktif walaupun

perbuatan itu sekecil apapun dan tidak merupakan perbuatan pasif.

b. Tindak pidana pembunuhan disertai perbuatan lain

Tindak pidana ini diatur dalam pasal 339 KUHP, yang berbunyi:

“Perbuatan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan

pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau

mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri

maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,

ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya

secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup

atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

Unsur yang harus diperhatikan dalam tindak pidana ini,

yaitu:

a. Objektif, yang meliputi dari tindakan pembunuhan biasa (doodslag),

dan ada perbuatan atau tindakan lain yang mengikuti tindak pidana

tersebut..

b. Subjektif, yaitu tindakan itu dilakukan dengan tujuan untuk

mempersipakan, mempermudah, jika tertangkap dirinya dan pelaku

lainnya yang terlibat dengan dirinya dapat melepaskan diri.

Perbuatan ini disertai, diikuti, dan diahului dengan perbuatan

lain, itulah kemudian yang membedakan antara tindak pidana

pembunuhan yang diatur dalam pasal 338 KUHP. Adapun makna

daripada diikuti, disertai, atau didahului dengan perbuatan lain

23
adalah perbuatan itu di persiapkan terlebih dahulu. Menurut H.A.K

Moch. Anwar (1994:92), mengatakan bahwa unsur didahului oleh

perbuatan lain berarti pembunuhan dengan maksud untuk

mempersiapkan agar perbuatan lain itu dapat dialkukan atau

mungkin dilakukan, unsur disertai oleh perbuatan lain yang dapat

dihukum adalah mempermudah pelaksaanan pembunuhan dengan

menggunakan tindakan lain atau tindak pidana lain, dan unsur

diikuti oleh perbuatan lain dapat dihukum berarti untuk menghindari

hukuman pada saat pelaku nantinya kepergok pada saat melakukan

tindak pidana.

Apabila pembunuhan yang didahului, disertai, dan diikuti

oleh tindak pidana lain itu berupa pembunuhan yang direncanakan

terlebih dahulu (moord), maka yang terjadi adalah pembarengan

tindak pidana yang diatur dalam pasal 340 KUHP dalam bentuk

pembarengan (samenloop).

c. Tindak pidana pembunuhan yang direncanakan

Tindak pidana pembunuhan berencana diatur dalam pasal 340 KUHP,

atau yang dikenal dengan istilah pembunuhan yang direncanakan

terlebih dahulu (moord). Adapun bunyi pasal 340 KUHP tentang

pembunuhan berencana yaitu:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan sengaja terlebih dahulu

merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan

24
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau

selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Pembunuhan yang direncanakan ini ada dua unsur yaitu,

unsur objektif yang berkenan dengan menghilangkan nyawa orang lain

yang perbuatannya itu direncanakan terlebih dahulu. Sedangkan unsur

subjektif yaitu sengaja melakukan perbuatan itu dan dengan melawan

hukum.

Menurut Soesilo, “direncanakan terlebih dahulu”

(voorbedacbte) yaitu: si pelaku masih ada tempo untuk memikirkan

maksud untuk membunuh dan bagaimana pelaksanaan pembunuhan itu

nantinya. Tempo ini tidak terlalu sempit juga tidak terlalu lama, yang

terpenting di dalam tempo atau rentang waktu tersebut si pelaku

“dengan tenang dan sadar” memikirkan maksud dan bagaimana

pelaksanannya nanti.17

Pada dasarnya apabila dicermati secara mendalam, ada tiga

syarat yang terkandung di dalam pasal 340 KUHP mengenai unsur

dengan rencana terlebih dahulu, yaitu:

a. Kehendak yang diputuskan dalam keadaan tenang

b. Waktu untuk berfikir cukup sejak timbulnya niat (kehendak) sampai

dengan pelaksanaan kehendak itu.

c. Pelaksanaan kehendak itu dilakukan dalam keadaan tenang.

17
R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP) serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politeia, 1988), h.241

25
Menurut Hermin Hediati Koeswaji, unsur “kesengajaan” juga

termuat di dalam pasal 340 yang dimana hal tersebut mengandung

pengertian bahwa unsur-unsur lain yang letaknya di belakang unsur

“kesengajaan” tersebut haruslah dianggap dijiwai atau diliputi oleh

unsur “kesengajaan”18

B. Tinjauan Umum Tentang FPI

FPI ialah organisasi massa Islam yang beridiologi radikal yang

berpusat di Jakarta. Disebut FRONT karena menegakkan amar ma;ruf nahi

munkar yang merupakan orientasi dasar kegiatan yang dikembangkan yang

berupa tindakan konkrit berupa aksi nyata. Kata PEMBELA dengan

melakukan pembelaan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dengan

menggunakan sikap-sikap proaktif. Adapun kata ISLAM menunjukkan

bahwa atas dasar ajaran Islam lah kemudian perjuangan FPI itu berjalan. 19

Menurut Habib Rizieq, merajalelanya kezhaliman dan meraknya

maksiat di tengah masyarakat inilah yang kemudian menjadi latar belakang

berdirinya FPI, faktor yang berdampak terhadap kerusakan dimana-dimana

bahkan mengundang berbagai musibah di Indonesia. Sehingga melawan

dan memerangi kezhaliman itulah yang merupakan tugas daripada umat

yang harus dilaksanakan, untuk itulah Front Pembela Islam dilahirkan.

18
Hermin Hediati Koeswaji, Kejahatan Terhadap Nyawa, Asas-asas, kasus, dan
Permasalahannya (Surabaya: Sinar WIjaya, 1984). h. 39
19
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, xiv.

26
FPI mempunyai kelompok yang disebut Laskar Pembela Islam

(LPI). LPI merupakan bagian organisasi FPI yang kontroversial karena

sering melakukan tindakan-tindakan “penertiban” (sweeping) terutama pada

bulan Ramadhan terkait dengan kegiatan-kegiatan yang bertentangan

dengan syariat dan ajaran Islam yang seringkali berujung pada kekerasan.

Berawal dari keresahan dan keprihatinan terhadap masyarakat dan negara

seperti yang dikemukakan sebelumnya maka para aktifis dakwah

mendeklarasikan organisasi FPI pada tanggal 17 Agustus 1998 di halaman

pondok pesantren Al Um, Kampung Utan Ciputat Jakarta Selatan yang di

prakarsai oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh yang disaksikan ratusan

santri yang berasal dari daerah Jabodetabek. Tokoh yang memprakarsai

berdirinya organisasi FPI adalah Habib Muhammad Rizieq Syihab. 20

Rumusan latar belakang berdirinya FPI adalah: 21

a. Ada penderitaan Panjang umat Islam di Indonesia yang diakibatkan

banykanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa

yang diakibatkan oleh lemahnya kontrol sosial penguasa.

b. Ada kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin marak terjadi di

sektor masyarakat.

c. Mempertahankan harkat dan martabat Islam dan seluruh ummat islam

merupakan kewajiban yang harus dijaga dan dilaksanakan.

20
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, h. 126.
21
Habieb Rizieq, Dialog FPI Amar Ma’ruf Nahi Munkar, h. 90

27
Mencermati dan memahami daripada latar belakang berdirinya FPI,

dapat diambil kesimpulan bahwa berdirinya FPI merupakan reaksi dan

antusiasme masyarakat yang tidak puas terhadap persoalan sosio-politik

(sistem) yang terjadi di era reformasi.

FPI didirikan memiliki visi-misi sebagai berikut: Visi gerakan FPI

adalah menjauhkan kemungkaran dengan menggunakan penegakan amar

ma’ruf nahi munkar merupakan solusi yang efektif. Misi gerakan FPI adalah

menegakkan amar ma;ruf nahi munkar secara sempurna di dalam setiap

sendi-sendi kehidupan masyarakat dengan tujuan umat sholihat yang hidup

dalam baldatun thayyibatun dengan limpahan keberkahan dan keridhaan

Allah SWT.

Doktrin perjuangan FPI yang dimaksudkan yaitu untuk memberi

suntikan semangat perjuangan kepada aktifis FPI, sehingga mereka mampu

melaksanakan perjuangan FPI dengan baik dan konsisten, ada 5 (lima)

doktrin perjuangan FPI, yaitu: 22

a. Mengikhlaskan niat

b. Memulai dari diri sendiri

c. Kebenaran harus ditegakkan

d. Setiap orang pasti mati

e. Mujahid di atas para mujahidnya

22
Habieb Rizieq, Dialog FPI Amar Ma’ruf Nahi Munkar, h. 145

28
Aqidah FPI adalah Ahlussunah wal jama’ah dan asasnya ialah amar

ma’ruf nahi munkar yang berdasarkan Islam. Sesuai dengan aqidahnya

maka segenap pengikut Ahlussunah wal jama’ah telah sepakat menjadikan

pedoman yaitu hadits shahih baik mutawatir maupun ahad, aqidah, syariat

dan akhlaq itu merupakan kewajiban.23

Pada tabligh akbar perayaan ulang tahun FPI tahun 2002 menuntut

supaya syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi,

“Negara bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan

meningkatkan“ Kewajiban melaksanakan syariat Islam untuk pemeluk-

pemeluknya” pada amandemen UUD 1945 yang lagi dibahas di MPR

sembari bawa spanduk yang bertulis“ Syariat Islam ataupun Disintegritas

bangsa”.

Pada tahun 1998, lewat aksi- aksi kontroversial seperti itu yang

membuat FPI jadi sangat populer, paling utama yang dicoba oleh laskar

paramiliternya ialah Laskar Pembela Islam. Rangkaian aksi penutupan klub

malam, tempat prostitusi, serta tempat- tempat lain yang diklaim selaku

tempat maksiat, ancaman terhadap masyarakat negeri tertentu,

penangkapan(sweepeing) terhadap masyarakat negeri tertentu, konflik

dengan organisasi berbasis agama lain yang setelah itu ialah wajah FPI yang

kerap di publikasikan di media massa.

C. Tinjauan Umum Tentang Polisi

23
Habieb Rizieq, Dialog FPI Amar Ma’ruf Nahi Munkar, h. 142

29
1. Pengertian Polisi

Makna kata polisi pada dikala saat ini berbeda dengan makna yang

asli yang terdapat pada mulanya. Penafsiran polisi masing- masing negeri

juga berbeda- beda, sebab perbandingan Bahasa serta kebiasan- kebiasaan

dari negeri tersebut sehingga membagikan sebutan tertentu. Semacam

sebagian sebutan yang kita dapati berbeda- beda bagi bahasanya semacam“

police” di Inggris,“ polizie” di Jerman,“ politie” di Belanda yang setelah itu

diadopsi di Indonesia jadi“ polisi”.

Menurut Soebroto Brotodiredjo, pada awalnya pengertian polisi

berasal dari Bahasa Yunani yaitu “politeia” yang berarti pemerintahan suatu

polis atau kota. Menurut Poerwadrminta, memberikan pandangan terkait

arti dari kata polisi sebagai pegawai negara yang bertugas menjaga kemanan

atau lembaga pemerintahan yang bertugas menjaga keamanan dan

ketertiban umum sperti menangkap orang yang melanggar aturan.

Pengertian polisi juga termuat di dalam Pasal 5 ayat 1 UU No.2

Tahun 2002, yang berbunyi:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang

berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan

dalam negeri”.

30
Dalam pengertian di atas, sebutan polisi pada awalnya meliputi

bidang tugas yang luas. Aspek pengawasan kesehatan umum merupaka

isitilah yang dipergunakan, sedangkan usaha penanggulangan pelanggaran

politik diartikan secara sangat khusus, dan sejak saat itu telah meluas

meliputi semua aspek peraturan dan ketertiban umum.

2. Tugas dan Fungsi Polisi

Istilah penegak hukum (law enforcement officer) bisa diartikan

hanya polisi tetapi juga dapat diartikan sebagai jaksa dalam arti sempit.

Akan tetapi di Indonesia dalam arti luas di maksudkan pula dengan Hakim

dan kecenderungan kuat juga memasukkan pengacara (advokat).

Peranan polri berdasarkan Pasal 1 ayat 5 UU No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu:

“keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi

dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses

pembangunan nasional yang ditandai oleh terjaminnya tertib oleh tegaknya

hukum serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan

membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam

menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran

hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya dapat meresahkan

masyarakat”.

31
Peranan Porli yang dijelaskan di atas adalah sesuai dengan fungsi

Kepolisian yang ditetapkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian, sebagai berikut:

a. Di dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002, fungsi Kepolisian adalah:

“Salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan masyarakat”.

b. Dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002,

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang

berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan

dalam negeri”.

c. Dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 5 UU

No. 2 Tahun 2002, maka sesuai dengan pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002,

Kepolisian mempunyai tugas pokok:

1. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Penegakan hukum;

3. Perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

d. Pasal 14 UU No. 2 Tahun 2002, mengatur mengenai pelaksanaan tugas

pokok sesuai yang dimaksud pasal 13 UU No. 2 tahun 2002, bertugas:

1. Melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap

kesibukan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

32
2. Melakukan segala kegiatan dalam rangka menjamin kelancaran,

kemanan, dan ketertiban lalu lintas di jalan;

3. Pembinaan warga penduduk untuk menumbuhkan kesadaran hukum

penduduk serta ketaatan warga terhadap hukum yang berlaku;

4. Ikut serta dalam pembinaan hukum nasional;

5. Pemeliharaan ketertiban dan menjamin keamanan umum;

Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa Polri dalam menjalankan

tugasnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai

pekerja sosial pada aspek sosial kemasyarakatan. 24 Sedangkan secara

universal bahwa fungsi Lembaga kepolisian mencakup dua hal, yaitu

pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam penegakan hukum.

3. Prosedur Penggunaan Senjata Api Oleh Polisi

a. Penggunaan senjata api oleh polisi di dalam penegakan hukum

Petugas kepolisian dalam hal menggunakan senjata api harus

meniliki pedoman dengan beberapa ketentuan yang harus diperhatikan,

yaitu:25

1. Syarat-syarat penggunaan senjata api

a. Apabila mendapati sesorang yang diduga keras melakukan tindak

pidana makan ada tahapan dalam melakukan penembakan yaitu,

24
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Bahan Seminar, 2005, h. 5.
25
Standar Universal Penggunaan Senpi Bagi Aparat Penegak Hukum tahun 2009

33
melakukan tembakan peringatan di udara, boleh melakukan akan

tetapi harus memperhatikan aturan yang berlaku.

b. Berdasarkan dasar permasalahannya, misalnya dalam

penggerebekan sarang narkoba maka secara otomatis senjata api

adalah upaya menghentikan pelaku.

c. Dilakukan apabila ada serangan guna untuk melindungi diri atau

melindungi jiwa orang lain dari serangan seseorang yang diduga

melakukan tindak pidana (Pasal 48 KUHP dan Pasal 49 KUHP).

d. Dilakukan sebagai usaha paling akhir dalam hal ksanakan tugas atau

perintah (Pasal 50 KUHP).

e. Dilakukan harus menjunjung tinggi HAM, tidak sadis dan

berlebihan dengan memperhatikan norma yang berlaku.

f. Melakukannya harus dengan cara-cara memperhatikan keamanan

lingkungan dan masyarakat sekitar tempat kejadian sehingga tidak

menjadi akibat yang lebih luas dan merugikan kepentingan umum.

g. Apabila seseorang yang dianggap melakukan tindak pidana itu

dilumpuhkan maka segera memberikan pertolongan.

2. Pertanggungjawaban hukum terhadap polisi yang melakukan

penyalahgunaan senjata api.

Penyalahgunaan senjata api oleh polisi dalam hal

mempertanggungjawabkannya dapat dilihat dari kasus yang dilakukan,

apabila seorang polisi membunuh seseorang atas dasar penyalahgunaan

maka pertanggungjawabannya ialah polisi tersebut akan masuk ranah

34
peradilan umum yang diatur dalam Pasal 2 PP Indonesia No. 3 Tahun

2003 tentang pelaksanaan teknis Institusional Peradilan Umum Bagi

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Apabila seorang polisi

lalai dalam mempergunakan senjata api maka perilaku tersebut

dikenakan sanksi disiplin sesuai dengan PP Republik Indonesia Nomor

2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri, hukumnnya tergantung

kepada yang memberikan hukuman.

D. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana

1. Pengertian Hukum Pidana

Dalam mendefinisikan Hukum pidana seharusnya diartikan sesuai

dengan objek pandang yang mejadi tujuannya. Secara umum, prinsip hukum

pidana memiliki dua pengertian, yaitu ius poenale dan ius puniend. Ius

poenale adalah pengertian Hukum pidana objektif. Menurut Mezger,

pengertian hukum pidana dalam sudut pandang objektif adalah kaidah-

kaidah hukum yang menghubungkan pada jenis perbuatan tertentu yang

telah mencakup unsur-unsur tertentu suatu akibat yang berupa pidana. 26

Selain itu Simons juga memberikan pengertian hukum pidana objektif

sebagai semua tindakan-tindakan keharusan (gebod) dan larangan (verbod)

yang dibuat oleh Lembaga yang berwenang dalam hal ini pemerintah, yang

pada pelanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi yaitu pidana. 27

26
Ida Bagus Surya Dama Jaya, Hukum Pidana Mteril & Formil: Pengantar Hukum
Pidana, USAID-The Asia Foundation-Kemitraan Partnership, Jakarta, 2015, h. 2.
27
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem,
Jakarta, 1986, h. 13

35
Sedangkan ius puniendi, atau hukum pidana secara subjektif

menurut Sudarto memiliki dua definisi, yaitu:

a. Secara luas, yaitu keterkaitan kekuasaan negara untuk

menjatuhkan tentang ketentuan ancaman pidana terhadap suatu

tindakan.

b. Secara sempit, yaitu kekuasaan negara untuk menuntut tindakan-

tindakan pidana, menetapkan dan melakukan pemidanaan

terhadap pelaku-pekau tindak pidana.

2. Pembagian Hukum Pidana

Pembagian hukum pidana dapan dikelompokkan sebagai berikut:

a. Menurut wilayah berlakunya;

 Pidana umum (keberlakuannya mencakup semua wilayah

Indonesia, meliputi KUHP dan aturan tersebar di luar KUHP);

 Pidana lokal (Perda untuk daerah-daerah tertentu).

b. Menurut bentuknya;

 Hukum pidana tertulis, terdiri dari 2 yaitu hukum pidana yang

dikodifikasi yaitu KUHP, dan hukum pidana yang tidak

dikodifikasi yaitu tindak pidana khusu yang diatur dalam aturan

tersendiri misalnya UU tindak pidana ekonomi, dan sebagainya;

 Hukum pidana tidak tertulis (Hukum Pidana Adat), hukum yang

berlaku hanya untuk masyarakat-masyarakat tertentu saja.

c. Hukum pidana umum dan khusus

36
 Hukum pidana umum, yaitu aturan-aturan hukum pidana yang

keberlakuannya untuk semua orang;

 Hukum pidana khusus, yaitu aturan-aturan yang secara khusus

mengatur tentang tindak pidana tertentu.

d. Hukum pidana materil dan formil

 Hukum pidana materil adalah hukum yang berlaku yang

berisikan tingkah laku yang diancam pidana, siapa yang dapat

dipertanggung jawabkan dan berbagai macam pidana yang bisa

dijatuhkan;

 Hukum pidana formil yaitu seperangkat aturan atau norma yang

menjadi acuan aparat penegakan hukum yakni polisi, jaksa,

hakim dalam melakukan fungsi dan kewajibannya dalam hal

penyidikan, penuntutan, sampai kepada menjatuhkan putusan

terhadap kasus pidana.

3. Sumber Hukum Pidana

Hukum pidana dapat dijumpai dalam beberapa sumber, yaitu:

a. KUHP (Wet Boek van Strafrecht) sebagai sumber pokok hukum

pidana di Indonesia yang memiliki 3 buku yaitu, Buku I

membahas tentang Bagian Umum, Buku II membahasa tentang

Kejahatan, dan Buku III membahas tentang Pelanggaran;

b. Undang-undang diluar KUHP yang berupa tindak pidana

khusus, misalnya UU KPK, UU Narkotika, dan sebagainya;

c. Yurisprudensi

37
d. Hukum adat, yaitu perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang di

daerah-daerah tertentu menurut kalangan masyarakat yang tidak

tercantum di dalam KUHP.

4. Sifat Hukum Pidana

Hukum yang mengatur keperluan pubik (masyarakat umum) disebut

dengan hukum publik, apabila kita melihat sifat hukum publik tersebut

dalam kaitannya dengan hukum pidana maka akan ditemukan ciri-ciri

hukum publik, yaitu:

a. Mengakomodir hubungan antara kepentingan negara atau

masyarakat dengan orang-perorang;

b. Keududkan penguasa adalah lebih tinggi dari orang masyarakat;

c. Apabila seseorang melaksanakan tindak pidana itu kemudian

penuntutannya tidak berdasarkan pada perorangan (yang

dirugikan) melainkan pada pemerintah yang berwenang dalam

hal ini negara yang menuntutnya berdasarkan kewenangannya

Kebanyakan dari sarjana hukum berpendapat bahwa hukum pidana

merupakan hukum publik. Diantaranya Simons, Pompe, Van Hamel, Van

Scravendijk, Tresna, Van Hattum dan Han Bing Siong. Mengatur hubungan

antara negara dengan masyarakat merupakan sifat hukum publik maka

merupakan sifat daripada hukum pidana.

Namun secara historis, menunjukkan bahwa mulanya sifat hukum

pidana juga bersifat hukum publik. Beberapa sarjana yang berpandangan

38
bahwa hukum pidana bersifat privat antara lain Van kan, Paul Scholten,

Logeman, Binding dan Utrecht. Mereka mengatakan bahwa hukum pada

umumnya tidak membahas kaidah-kaidah (norma) baru, melainkan norma

hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya (hukum

perdata, hukum tata negara dan sebagainya) dan juga sudah ada sanksinya.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat dipahami bahwa tidak semua

sarjana hukum berpendapat bahwa hukum pidana adalah hukum publik.

Berdasarkan perkembangannya hukum pidana pada awalnya merupakan

hukum privat kemudian seiring berjalannya waktu berkembang menjadi

hukum publik, kemudian meletakkan kekuasaan negara untuk menjalankan

hukum tersebut demi upaya menciptakan ketertiban.

39
DAFTAR PUSTAKA

Anshar, R. U., & Setiyono, J. (2020). Tugas dan Fungsi Polisi Sebagai Penegak

Hukum dalam Perspektif Pancasila. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia,

2(3), 359–372.

Asrori, A. (2017). RADIKALISME DI INDONESIA: Antara Historisitas dan

Antropisitas. Kalam, 9(2), 253.

Faiz, F. (2017). FRONT PEMBELA ISLAM: Antara Kekerasan dan Kematangan

Beragama. Kalam, 8(2), 347.

Huda, S. (2019). Fpi: Potret Gerakan Islam Radikal Di Indonesia. Jurnal Studi

Agama, Vol 5, No, p 1-16.

Kusumawardani, A., & Psikologi, B. (1951). NASIONALISME. Archives de

Médecine Sociale, 7(1), 38–48.

RI, K. (2017). Memperkokoh Identitas Nasional Untuk Meningkatkan

Nasionalisme. Media Informasi Kementrian Pertahanan, 69(53), 81.

Sari, I., & Si, M. (2014). Kejahatan-Kejahatan Internasional (Tindak Pidana

Internasional) Dan Peranan International Criminal Court (Icc) Dalam

Penegakan Hukum Pidana International. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara,

6(1), 38–65.

Sofyan, A., & Azisa, N. (2016). Buku Ajar Buku Ajar Hukum Pidana (Kadarudin

(ed.)). Pustaka Pena.

Tarigan, R. H. (2016). PERTANGGUNGJAWABAN POLISI TERHADAP

40
PENYALAHGUNAAN SENJATA API UNTUK MENJALANKAN

TUGAS KEPOLISIAN. Jurnal Hukum, 1–9.

Tasaripa, K. (2013). Tugas Dan Fungsi Kepolisian Sebagai Penegak Hukum.

Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, 1, Edisi 2, Volume 1.

Umar, B. W. (2017). Peran dan Posisi Polri Merawat Kebhinnekaan dalam Arus

Modernisme , Pluralisme , dan Postmodernisme. April, 47–54.

Wicaksana, A. R. (2015). Kewenangan tembak di tempat oleh aparat kepolisian

terhadap pelaku kejahatan. 114–121.

Yuniarto, B. (2016). Kedudukan dan Fungsi Polisi Dalam Sistem Politik.

Yusuf, I. (n.d.). Pembunuhan dalam perspektif hukum islam. 1–11.

41
KOMPOSISI BAB

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

B. Rumusan Masalah

C. Pengertian Judul

D. Kajian Pustaka

E. Metodologi Penelitian

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Umum Tentang Pembunuhan

1. Pengertian Pembunuhan

2. Macam-macam Pembunuhan Dalam KUHP

B. Tinjauan Umum Tentang FPI

C. Tinjauan Umum Tentang Polisi

1. Pengertian Polisi

2. Tugas dan Fungsi Polisi

3. Prosedur Penggunaan Senjata Api Oleh Polisi

D. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana

1. Pengertian Hukum Pidana

2. Pembagian Hukum Pidana

3. Sumber-sumber Hukum Pidana

4. Sifat Hukum Pidana

42
BAB III ANALISIS HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM POLISI

TERHADAP ANGGOTA FPI.

A. Analisis Dasar Hukum Pidana

B. Analisis Tindak Pidana Pembunuhan

BAB IV KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP

KASUS PEMBUNUHAN ANGGOTA FPI OLEH OKNUM POLISI.

A. Konsep Pertanggungjawaban

B. Status Hukum antara anggota Front Pembela Islam dan Oknum Polisi

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Implikasi Penelitian

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

43

Anda mungkin juga menyukai