Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rezim Internasional

Secara konseptual, rezim dilihat dalam ikut mengambil andil pelaksanaan

pengambilan keputusan. Rezim internasional dapat didefinisikan sebagai prinsip-

prinsip, norma-norma, peraturan-peraturan, serta prosedur pembuatan keputusan atas

harapan aktor-aktor yang bersangkutan atas sebuah isu yang terjadi (Krasner,

1983:1). Berdasarkan hal tersebut, maka ciri-ciri utama rezim adalah (Young dan

Osherenko, 1995: 14):

1. Principles

Yaitu kepercayaan atas Fact, Causation, dan Recititude.

2. Norms

Adalah standar perilaku yang dituangkan dalam hak dan kewajiban

3. Rules

Adalah bentuk ketentuan dan larangan yang spesifik berkenaan dengan

perilaku tadi.

4. Decision Making Procedures

Adalah praktek umum untuk membuat dan mengimplementasikan

keputusan bersama (Collective Choices).

13
14

Keempat hal ini lah yang kemudian disadari Krasner bahwa rezim harus

dipahami sebagai hal yang lebih dari sekedar pengaturan yang bersifat sementara

yang dapat berubah karena adanya kekuasaan tertentu. Keohane mencatat bahwa

dasar perbedaan analisis harus dipahami diantara rezim dengan sebuah perjanjian.

Pembentukan rezim adalah sebuah pembentukan fasilitas akan suatu perjanjian.

Krasner mengemukakan, terdapat faktor-faktor penting di dalam pembentukan sebuah

rezim. Faktor-faktor tersebut adalah (Krasner, 1983: 12 – 13):

1. Egoistik kepentingan pribadi (Egoistic self interesti)

Melalui egoistik kepentingan, Krasner menjabarkan bahwa faktor ini melihat

bahwa sebuah kebiasaan dalam jangka panjang dapat menjadi sebuah

kebiasaan yang berakibat pada penggunaan yang egois akan sebuah rezim.

Menurut faktor egoistik kepentingan pribadi, terdapat 3 hal penting dalam

pembentukan rezim, yaitu (i) secara spontan, dimana rezim muncul akibat

adanya pengharapan yang mencakup tindakan banyak individu; (ii) negosiasi,

di mana rezim dibentuk atas perjanjian secara eksplisit; (iii) pemaksaan, di

mana pembentukan rezim dipaksakan suatu aktor dengan adanya pemaksaan

eksternal (Krasner, 1983: 12).

2. Power politik

Terdapat dua perbedaan orientasi dalam pembentukan sebuah power. Pertama

adalah kosmopolitan dan instrumental di mana power digunakan untuk

memberikan perlindungan optimal dari pelaksanaan sistem secara


15

keseluruhan. Sedangkan yang kedua adalah potensi penggunaan secara

khusus. Power digunakan untuk mengangkat suatu aktor di dalam sistem.

3. Norma dan prinsip

Norma dan prinsip merupakan karakteristik yang penting dalam bentuk rezim.

Namun penggunaan prinsip dan norma disesuaikan atau bergantung pada isu

terkait.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, rezim dipahami sebagai norma-norma,

aturan-aturan, dan pembuat keputusan. Fungsi rezim bergantung pada isu yang

diangkat, salah satunya adalah keamanan. Rezim yang mengatur isu keamanan

memiliki salah satu fungsi terpenting yaitu manajemen konflik.

2.2 Manajemen Konflik

Manajemen konflik (Conflict Management) dipandang sebagai cakupan

proses yang menekankan bahwa manusia dapat hidup dalam kondisi yang damai dan

teratur. Manajemen konflik merupakan sebuah cara untuk membatasi sebelum konflik

itu terjadi atau selama konflik itu terjadi dan sesudah konflik itu terjadi.

Pada umumnya, manajemen konflik adalah istilah untuk menggambarkan

suatu metode dan mekanisme yang bertujuan untuk mencegah, meminimalisir, dan

memanajemen konflik di antara pihak-pihak yang berbeda (Swanstrom, 2005: 5).

Manajemen konflik adalah konsep teoritis yang berfokus pada pembatasan,

pengurangan, dan penahanan konflik tanpa perlu menyelesaikannya dan manajemen


16

konflik juga perlu menyiratkan perubahan, dari interaksi yang bersifat desktruktif

menjadi konstruktif (Swanstrom, 2005: 34).

Manajemen konflik dan resolusi konflik merupakan konsep yang berbeda

namun pada waktu bersamaan saling terkait satu sama lain. Proses manajemen

konflik dilaksanakan sebagai fondasi dasar untuk mencapai resolusi konflik yang

lebih efektif. Yang dapat membedakan di antara kedua konsep tersebut adalah

penggunaannnya pada faktor waktu yaitu siklus dari konflik itu sendiri. Karena sifat

dari konflik itu tidak statis namun bersifat dinamis seiring dengan berjalannya waktu,

maka konflik terdiri atas beberapa fase siklus untuk menggambarkan masa eskalasi

dan deskalasi konflik.

Manajemen konflik dilaksanakan ketika konflik itu terbuka (open conflict)

dan ketika kekerasan tampak mungkin akan terjadi dengan syarat sebelum situasi

konflik tersebut berubah menjadi peperangan sebagai upaya dan tujuan untuk

mengurangi ketegangan dan eskalasi konflik lebih jauh.

Mekanisme manajemen konflik diterapkan melalui pengurangan kekuatan

militer, ikut campur dari suatu pihak ketiga, komunikasi yang bersifat formal dan

informal dengan upaya confidence building measure yang bertujuan untuk mengelola

konflik dan mengubah perilaku yang bersifat menghancurkan atau deskruktif menjadi

suatu perilaku konstruktif (Swanstrom, 2005: 13). Sehingga, dengan kata lain

manajemen konflik bertujuan untuk membatasi dan mencegah kekerasan lebih lanjut

dengan mempromosikan perubahan perilaku-perilaku positif di antara pihak-pihak

yang terkait.
17

Swanstrom menyatakan bahwa ketika konflik muncul sedini mungkin yang

ditandai dengan ketegangan dan ancaman di antara pihak-pihak yang bersengketa,

maka konflik potensial tersebut dapat diatur oleh pihak yang terkait maupun oleh

komunitas negara. Tingkat pada konflik ini dapat lebih mudah dimanajemen dengan

mengubah interaksi yang memanas menjadi lebih kondusif. Dalam proses inilah,

confidence building measures menjadi kunci yang penting dalam memperkuat proses

manajemen konflik dengan cara meningkatkan kepercayaan di antara peserta-peserta

yang ada.

Elemen ini dapat dilaksanakan melalui dialog secara formal maupun secara

informal, terutama ketika menggabungkan pertemuan-pertemuan dalam lingkup

informal dan formal secara bersamaan untuk mencapai proses dari manajemen

konflik yang lebih baik.

2.3 Cooperative Security

Meskipun belum memiliki pengertian secara umum, namun cooperative

security telah secara luas digunakan dalam pendekatan-pendekatan Hubungan

Internasional (Cohen, 2001: 3).

Cooperative Security (Keamanan kooperatif) merupakan sebuah konsep baru

yang muncul setelah berakhirnya Perang Dingin. Sebagai upaya memahami

cooperative security itu sendiri, konsep ini dapat terbagi atas 3 tipe (Takahashi, 2000 :

107) :

1. Non-military – type cooperative security


18

Tidak mendefinisikan musuh tertentu, namun dengan mengikutsertakannya

dalam bentuk-bentuk kerja sama secara kooperatif yang tidak terbatas pada

ukuran militer serta adanya keamanan secara komprehensif yang mencakup

pembangunan ekonomi dan sebagai sebuah kebijakan keamanan non-

provokatif yang tidak memberikan ancaman antar satu sama lain dengan

mendorong confidence building measures (CBM) dan kerangka multilateral.

2. Cooperative Security for Ethnics Conflict

Objek dari tipe keamanan ini adalah mencakup konflik domestik dunia ketiga

menyangkut konflik etnis dalam negeri.

3. Collective Security – type Cooperative Security.

Di mana penerapannya adalah penegakan dengan kekuatan yang bertujuan

untuk membangun hubungan kooperatif dengan mencegah kemunculan

senjata penghancur massa dan menghilangkan kemungkinan gencatan senjata

yang berlawanan dengan pembentukan pertahanan militer yang lebih kuat.

Adapun dalam penelitian ini akan mencoba menggunakan tipe yang pertama

yaitu keamanan kooperatif non militer. Nonmilitary – type cooperative security ini

merupakan karakteristik dari multilateralisme yang diutarakan oleh John G. Ruggie,

di mana tipe ini tidak terbatas pada bentuk-bentuk militer, namun mencakup CBM,

dan dalam kerangka multilateral.

Agar pelaksanaannya dapat berguna dan efektif, cooperative security ini perlu

melihat situasi di dalam dan di luar wilayah. Secara umum, terminologi cooperative

security digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan yang lebih damai dan


19

idealistis terhadap keamanan melalui peningkatan harmoni dan kerjasama

internasional (Cohen, 2001: 1). Cooperative security berpaku pada teknik dan proses

pencegahan, manajemen, dan resolusi konflik (Acharya, 2001: 12).

Cooperative security didasarkan pada cara-cara mempromosikan norma-

norma yang berbasis standar internasional, dengan berbagai prinsip, dan kode etik di

antara para mitra regional yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan-ketegangan

regional.

Cooperative security berfokus terutama pada jaminan, dengan maksud

mengembangkan sebuah dialog di antara para peserta dan mempromosikan

confidence building measures dan kemungkinan-kemungkinan dari diplomasi

preventif. (Emmers, 2003: 4)

Konsep cooperatives security didefinisikan sebagai suatu proses di mana

negara-negara dengan kepentingan umum, bekerjasama melalui berbagai mekanisme

yang disepakati untuk mengurangi ketegangan dan kecurigaan, menyelesaikan atau

mengurangi sengketa, membangun kepercayaan, meningkatkan aspek pertumbuhan

ekonomi dan mempertahankan stabilitas kawasan (Moodie, 2000: 25).

Cooperative security menekankan pada pentingnya fleksibilitas, membangun

konsensus, dan konsultasi. Kendaraan utama dari cooperative security adalah dialog

dan upaya mengajak atau bersifat persuasif (Leifer, 2006: 22).

Dalam mendorong pelaksanaan cooperative security, rasa terancam yang

dirasakan bersama oleh negara-negara dalam komunitas regional dapat disandarkan

pada koordinasi dan kerja sama baik dalam hubungan bilateral maupun multilateral
20

melalui suatu institusi kawasan yang sama untuk mempromosikan berbagai macam

interaksi dan kerja sama secara meluas (Acharya, 2009: 15).

Di samping itu, cooperative security juga dipahami sebagai cooperative

security order dan cooperative security policy. Cooperative security order merupakan

sebuah aturan keamanan di mana hubungan internasional antar kekuatan-kekuatan

utama, memiliki prinsip dasar kerja sama, dengan adanya konsensus bahwa masalah

dan konflik terutama harus diselesaikan dengan cara diplomatik dan negara-negara

tersebut perlu menegakkan kekuatan secara kooperatif terhadap konflik yang ada

(Takahashi, 2000: 109).

Sedangkan cooperative security policy sebagai sebuah kebijakan keamanan

tidak menganggap musuh tertentu namun bekerja dengan pembentukan confidence

building measures, dialog keamanan atau mempromosikan kerangka multilateral

yang dianjurkan dalam tipe non militer keamanan kooperatif. Dengan kata lain,

kebijakan kooperatif keamanan berkembang dengan objektivitas untuk membentuk

aturan keamanan kooperatif (Takahashi, 2000: 110).

Syarat-syarat penerapannya adalah ketiadaan musuh tertentu, partisipasi dari

musuh potensial, partisipasi musuh potensial dalam kegiatan-kegiatan secara

kooperatif, serta kondisi lainnya untuk pembentukan multilateralisme dalam

keamanan.

Konsep cooperative security ini didasarkan pada 3 prinsip pokok jika

diterapkan di kawasan Asia Pasifik. Pertama, mengasumsikan bahwa pelembagaan


21

hubungan keamanan di Asia Pasifik harus dilihat sebagai proses yang secara

perlahan-lahan dan bertahap.

Kedua, cooperative security didasarkan pada prinsip inklusif sebagaimana

tujuannya untuk mempromosikan sebuah „kebiasaan dialog‟ di antara negara-negara

regional. Dan ketiga, prinsip dalam cooperative security adalah salah satunya

termasuk tingkat diplomasi informal, yang merujuk pada „track-two-diplomacy’.

(Emmers, 2003:5)

Cooperative Security mengandung sebuah gagasan adanya jaminan,

transparansi, dan membangun kepercayaan (confidence building) sebagai persyaratan

untuk mempromosikan penjalinan kerjasama yang stabil sekalipun itu dengan musuh

(Mihalka, 2001: 61). Tumbuh rasa memiliki sebagai komunitas regional dapat

menjadi kunci bagi kesuksesan Cooperative Security.

Dengan kebersamaan sebagai komunitas regional, maka akan dapat

membangun hubungan yang dapat diterapkan oleh negara-negara dalam kawasan baik

itu yang berkaitan terhadap suatu isu tertentu atau tidak, untuk saling memberikan

pandangan demi kepentingan bersama. Rasa kebersamaan dalam komunitas juga

menekankan penerimaan umum bahwa prinsip terhadap penyelesaian sengketa bukan

didasarkan pada kekerasan namun pada negosiasi (Mihalka, 2001: 64).

2.4 Diplomasi Preventif

Diplomasi preventif mempunyai pengertian sebagai sebuah langkah dari metode

resolusi konflik secara damai yang dilaksanakan sebelum perselisihan atau konflik
22

melewati ambang batas konflik atau tereskalasi. Dengan kata lain, diplomasi

preventif dapat dimaksudkan sebagai suatu konsep yang mencakup serangkaian

mekanisme melalui cara-cara yang damai antara lain seperti negosiasi, mediasi, dan

arbitrase.

Pengertian diplomasi preventif secara komprehensif menurut Sekretaris Jenderal

Boutros-Boutros Ghali (1995, 45): “Diplomasi preventif adalah suatu tindakan yang

bertujuan untuk mencegah sengketa yang timbul di antara pihak-pihak yang ada,

untuk mencegah sengketa yang ada agar tidak meningkat menjadi konflik kekerasan

dan untuk membatasi penyebaran terakhir ketika sengketa itu terjadi” (Zartman, 2001:

2).

Konsep Diplomasi Preventif merupakan bagian dari aspek integral peran

perdamaian dan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1 (Bantarto, 1996: 509).

Diplomasi preventif dapat membebaskan seseorang dari rasa takut, untuk

melakukannya maka segera setelah konflik muncul, mulai membangun kepercayaan

yang diperlukan dan bermanfaat untuk semua, karena perbatasan yang paling aman

adalah perbatasan antara dua negara yang saling bersahabat, maka perlu

dikembangkan kerja sama, saling percaya, dan persahabatan (Djelantik, 2008: 181).

1
Pasal 1 ayat 1 Piagam PBB merumuskan tujuan PBB, yaitu “mengambil tindakan
kolektif yang efektif untuk mencegah dan menghapuskan ancaman terhadap
perdamaian, penindasan tindakan agresi atau pelanggaran perdamaian yang lain,
untuk membawanya dengan cara-cara damai, dan sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan dan hukum internasional, penyesuaian atau penyelesaian sengketa
internasional atau situasi yang mungkin menyebabkan pelanggaran perdamaian”.
23

Diplomasi preventif adalah suatu tonggak penting dalam peningkatan perdamaian

internasional di berbagai belahan dunia secara bersamaan dengan pemeliharaan

perdamaian, pembuatan perdamaian, dan pembangunan perdamaian, oleh karena itu

diplomasi preventif merupakan langkah penting untuk meningkatkan perdamaian

internasional (Luhulima, 1997: 404).

Diplomasi Preventif memiliki instrumen-instrumen yang terbagi atas tujuan

jangka pendek dan jangka panjang. Dalam pengertian jangka waktu yang lebih sempit,

diplomasi preventif bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa yang memiliki

potensi untuk berkembang menjadi sebuah gencatan persenjataan militer. Sedangkan

dalam pengertian jangka waktu yang lebih luas, diplomasi preventif mencoba untuk

membangun kondisi jangka panjang yang dapat mencegah penggunaan senjata

sebagai alat untuk menyelesaikan suatu sengketa (Bantarto, 1996: 510).

Diplomasi preventif merupakan suatu upaya dalam mencegah suatu sengketa

menjadi sebuah konflik terbuka serta membatasi konflik jika terjadi. Dalam mencapai

diplomasi preventif diperlukan adanya keinginan di antara para pihak regional untuk

bekerja sama guna mencegah, memanajemen, dan mengurangi konflik, selain itu

adanya pihak ketiga di luar aktor-aktor yang terlibat persengketaan dapat menjadi

mediator yang dapat dimaksudkan sebagai diplomasi preventif baik itu individu,

negara, atau organisasi regional atau internasional (Valencia: 1997: 117).

Suatu bentuk pendekatan diplomasi preventif dalam kasus Laut China Selatan

dapat diikutsertakan oleh pihak ketiga, baik itu individu, negara, maupun organisasi

internasional yang tidak memiliki kepentingan secara langsung terhadap konflik


24

tersebut. Proses tersebut bergantung pada kapabilitas dan sumber daya dari pihak

ketiga, begitu pun dengan posisinya yang strategis di kawasan agar dapat

memperoleh kepercayaan dari negara-negara lain dan memanajemen konflik dari

pihak-pihak yang bersengketa. Diplomasi preventif itu sendiri dapat dilaksanakan

melalui prinsip-prinsip yang terkandung di dalam ASEAN Treaty Amity and

Cooperation (TAC) dan ASEAN Regional Forum (ARF) (Valencia, 1997: 118).

Sengketa Laut China Selatan membutuhkan Diplomasi Preventif yang bertujuan

untuk mencegah sengketa yang ada menjadi eskalasi konflik dan membatasi

penyebaran konflik bila muncul. Diplomasi Preventif membutuhkan keinginan dari

semua pihak untuk bekerja sama secara kooperatif dalam upaya mencegah konflik,

memanajemen konflik dan mengurangi konflik, yakni dengan menghasilkan dan

mempertahankan semangat kooperatif sebagai prasyarat diplomasi preventif.

Adapun bentuk-bentuk dari Diplomasi Preventif tersebut adalah:

- Penyelesaian konflik (Conflict Settlement): Berfokus untuk mencegah atau

mengakhiri kekerasan dengan menyelesaikan konflik yang paling langsung dan

secara terang-terangan.

- Resolusi konflik (Conflict Resolution): Di sisi lain mencari cara untuk mengangkat

sumber konflik secara bersamaan. Proses ini agak lebih sulit dan membutuhkan

jangka waktu yang lama, termasuk perubahan dalam tujuan, persepsi, dan sikap dari

para pihak yang secara langsung mengalami konflik tersebut.


25

2.5 Peran

Peran merupakan pola tingkah laku, struktur, dan tugas khusus yang berhubungan

dengan status dalam kelompok atau situasi tertentu. Tugas-tugas, kewajiban, dan

komitmen yang dikenal dalam aspek kebijakan luar negeri disebut sebagai peran

(role). Peran dalam segala situasi ditentukan oleh harapan pihak lain dan oleh

individu itu sendiri. (Theodorson, 1969: 352). Konsep peran (role) pertama kali

diperkenalkan oleh K.J Holsti pada tahun 1970 dalam artikelnya yaitu National Role

Conceptions in the Study of Foreign Policy (Benes, 2011: 3). Dalam artikel Holsti

tahun 1987, ia menganalisis hubungan antara konsep peran nasional dan berbagai

model yang berpartisipasi dalam urusan politik dunia (Benes, 2011: 3).

Konsep peran menjelaskan perilaku kebijakan luar negeri dengan menjelajahi

peran yang dimainkan oleh masing-masing negara dalam sistem internasional (Prestre,

1997: 3-4).

Menurut Holsti, konsep peran nasional ialah para pembuat kebijakan yang

mendefinisikan jenis-jenis keputusan, komitmen, aturan, dan tindakan yang sesuai

dengan keadaan dan fungsi negara mereka, bila ada, maka negara harus

menjalankannya atas dasar lanjutan dalam sistem internasional atau sistem di bawah

regional (Benes, 2011: 8).

Adanya berbagai faktor, termasuk permintaan dan kebutuhan dalam negeri,

peristiwa-peristiwa penting atau tren dari lingkungan eksternal, harapan dari

pemerintah negara lainnya, norma hukum, penggunaan umum, dan perjanjian yang

membentuk arahan kebijakan luar negeri, menciptakan persepsi peran dan


26

menempatkan negara dalam posisi di mana pemerintah dari negara tersebut

diharapkan untuk melaksanakan peran-peran tertentu.

Menurut Holsti (1987, 166-170 dalam Benes), tipe-tipe peran dapat diggolongkan

antara lain:

Pemimpin regional (Regional Leader)

Pelindung regional Regional Protector)

Bebas-aktif (Active Independent)

Mediator-Integrator (Mediator, Developer).

Selain itu penting untuk menekankan bahwa individu negara dapat memainkan

beberapa peran secara bersamaan. Menurut Holsti, peran nasional menunjukkan

kinerja dari keputusan dan tindakan kebijakan luar negerinya meliputi sikap,

keputusan, dan tindakan pemerintah atau negara terhadap aktor-aktor lainnya dalam

melaksanakan peran (Benes, 2011: 6).

Judith Goldstein dan Robert Keohane mendefiniskan konsepsi peran sebagai

seperangkat norma yang mengungkapkan adanya perilaku dan tindakan yang

diharapkan dari kebijakan luar negeri suatu negara, yang dapat dilihat sebagai sebuah

peta jalan dari para pembuat keputusan yang bersandar untuk mempermudah dan

memfasilitasi realitas politik yang kompleks (Sekhri, 2009: 427).

Peran dapat dilihat sebagai status atau kewajiban terhadap suatu posisi yang

berhubungan dengan harapan, kepercayaan, sikap, dan motivasi di mana peran yang

dijalankan baik oleh individu maupun organisasi berperilaku sesuai dengan harapan

di lingkungannya.
27

Menurut Soekanto (1990: 270), konsep peran mencakup tiga hal, yaitu:

1. Peran yang meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat

seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini adalah serangkaian peraturan-

peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

2. Peran merupakan sebuah konsep mengenai apa yang dapat dilakukan oleh individu

dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peran dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting sebagai struktur

sosial masyarakat.

2.6 Confidence Building Measures

Confidence building measures adalah seperangkat tindakan secara unilateral,

bilateral, atau multilateral maupun prosedur yang bertindak untuk mengurangi

ketegangan militer di antara sejumlah negara, sebelum, selama, sesudah konflik

terjadi (Higgins, 2006: 109).

Confidence building measures dalam hal ini adalah upaya untuk memperjelas

konflik atau masalah di antara negara-negara yang bersangkutan, melalui penggunaan

berbagai macam ukuran dalam berbagai aspek, baik itu ruang lingkup yang bersifat

formal, informal, unilateral, bilateral, maupun konteks multilateral.

Suatu penelitian ARF (1997) yang dibawahi oleh pemerintah Kanada

mengidentifikasi seperangkat objek umum yang menggarisbawahi upaya-upaya

confidence building measures di kawasan Asia Pasifik, yaitu di antaranya (Institute of

Defence, 2002):
28

1. Mengurangi ketegangan and kecurigaan;

2. Mengurangi resiko terjadinya perang atau perang tanpa adanya perhitungan;

3. Membangun komunikasi dan kerja sama dalam cara yang tidak menekankan

pada penggunaan kekuatan militer;

4. Mewujudkan sebuah pemahaman yang lebih baik dari suatu masalah

keamanan dan prioritas perhatanan;

5. Mengembangkan rasa yang lebih baik dengan membangun strategi saling

percaya di kawasan.

2.7 Konflik

Konflik memiliki sifat yang dinamis dan berubah-ubah seiring dengan waktu

melalui berbagai fase yang berbeda-beda akibat dari kondisi dan reaksi perubahan

internal dan eksternal yang ditimbulkan akibat perbedaan pandangan dan kepentingan

masing-masing negara yang bertikai terhadap suatu isu.

Konflik merupakan persaingan antar kelompok yang berlawanan yang

mencerminkan berbagai macam pendapat, pilihan, kebutuhan, atau kepentingan

(Heywood, 1997: 4). Sedangkan konflik menurut Lewis A. Coser didefinisikan

sebagai perjuangan terhadap nilai-nilai, tuntutan untuk meningkatkan status, kekuatan,

dan sumber daya, di mana tujuan dari pihak lawan yaitu untuk menetralisir, merusak,

atau menyingkirkan para pihak lawan (Coser, 1956: 3).

Dalam memahami sebuah konflik, maka dapat diamati menurut

perkembangan siklus konflik itu sendiri. Pemahaman akan siklus konflik itu
29

bertujuan untuk memahami bagaimana, kapan, dan di mana strategi penerapan

manajemen konflik dan diplomasi preventif itu dilaksanakan, sehingga masa-masa

konflik yang berbeda tersebut dapat dikelola dengan mekanisme-mekanisme yang

dibutuhkan pada saat-saat itu.

Intensitas siklus konflik dapat terbagi atas 5 tingkatan yaitu (Swanstrom, 2005:

11):

1. Stable peace

Situasi ketegangan di antara pihak-pihak bersifat rendah dan adanya kerja

sama yang terjalin di antara mereka, seringkali menyangkut kerja sama

ekonomi, lingkungan, dan isu-isu area yang tidak sensitif.

2. Unstable peace

Situasi di mana ketegangan dan kecurigaan mulai meningkat di antara pihak-

pihak yang terlibat.

3. Open conflict

Ketika konflik terdefinisikan dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya telah

mengambil langkah-langkah untuk mengelolanya, meskipun tidak

mengadopsi unsur-unsur militer.

4. Crisis

Adanya kemungkinan atau resiko munculnya sebuah perang dan penggunaan

kekuatan militer tampaknya menjadi pilihan pengambil keputusan.

5. War
30

Kondisi di mana situasi kekerasan akibat perang terjadi secara terus-menerus

dan cakupannya dapat meluas.

Dari penelaahan tahapan siklus konflik yang berbeda-beda kemudian secara

umum tipe konflik pun dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu (Askandar, 2000: 10):

1) Conflict inter-state

2) Conflict intra-state

Sebuah konflik antar negara (inter-state) merupakan konflik yang didasarkan

pada ketidaksesuaian politik antara dua atau lebih negara terhadap suatu isu, tindakan,

ataupun gabungan dari keduanya seperti sengketa yang terjadi antara Malaysia dan

Singapura atas Pulau Batu Putih, sengketa perbatasan antara Indonesia dan Filipina

atas Laut Celebes, serta perlombaan klaim yang saling tumpang tindih terhadap

Kepulauan Spratly di Laut China Selatan oleh Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei

Darussalam, China dan Taiwan (Askandar, 2000: 11).

Sementara itu, intra-state yang juga disebut sebagai international social

conflict adalah situasi di mana konflik internal suatu negara mendapat perhatian pada

tingkat internasional dan mengundang kepentingan negara-negara lain untuk ikut

terlibat dalam konflik tersebut seperti gerakan separatisme dari pihak Muslim Moro

di Filipina Selatan (Askandar, 2000: 11).

Konflik antar negara seperti uraian serta contoh studi kasus yang telah

dijelaskan di atas dapat diamati berdasarkan negara-negara yang terlibat di dalamnya,

latar belakang konflik tersebut, penggunaan metode manajemen konflik beserta

hasilnya. Isu-isu antar negara dapat diamati dari latar belakang sejarah, banyaknya
31

konflik antar negara disebabkan oleh konflik yang telah berakar pada isu klaim

teritori dan kepentingan antar negara yang terlibat.

Hal itu disebabkan karena klaim teritorial yang bersifat sensitif dan kompleks

menyangkut kedaulatan suatu negara dan sulit untuk diselesaikan akibat ketegangan

dan munculnya rasa saling curiga di antara masing-masing negara yang bertikai

sehingga memengaruhi pola hubungan antar negara tersebut, sementara itu di sisi lain

negara-negara atau gabungan negara dalam organisasi regional yang bersifat netral

mencoba untuk mengelola konflik tersebut dengan mekanisme manajemen konflik

melalui pendekatan formal maupun informal untuk mempertemukan serta menengahi

negara-negara yang bertikai tersebut.


32

2.8 Kerangka Pemikiran

KONFLIK LAUT
CHINA SELATAN

Stabilitas
kawasan

Peran Indonesia
melalui ASEAN
TAC
(Treaty of
Amity and
Cooperation)
Manajemen Konflik

Cooperative Diplomasi
Security Preventif

DOC Lokakarya

Meredam Konflik Laut


China Selatan

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran


33

Keterangan:

: Merupakan garis yang menunjukkan adanya hubungan satu arah

secara langsung

: Merupakan garis yang menunjukkan bahwa B merupakan bagian

A, secara langsung

: Merupakan garis yang menunjukkan adanya keterkaitan secara

tidak langsung

Situasi konflik di Laut China Selatan yang terjadi antara empat anggota ASEAN dan

China serta Taiwan, membuat Indonesia sebagai anggota ASEAN yang bersifat netral

memandangnya sebagai potensi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan

sehingga mempengaruhi stabilitas kawasan. Dengan berpedoman kepada Traktat

Persahabatan dan Kerja sama dalam menyelesaikan sengketa, Indonesia mencoba

berperan untuk memanajemen konflik dengan Diplomasi Preventif yang

dimaksudkan untuk mencegah sengketa agar tidak tereskalasi melalui negosiasi lewat

Lokakarya jalur diplomasi kedua yang diprakarsai Indonesia. Melihat bahwa konflik

teritorial yang bersifat kompleks, maka upaya dari cooperative security adalah

dengan membangun kepercayaan melalui dialog yang bertujuan untuk mengurangi

ketegangan dan kecurigaan dengan mencari cara-cara yang bersifat kooperatif, seperti

yang tertuang di dalam DOC. Sehingga proses selanjutnya adalah bagaimana agar

DOC tersebut dapat mencapai kepada pembentukan kode etik regional yang

merupakan peran Indonesia sebagai ketua untuk mendorong negara-negara yang

bersengketa mencapai implementasi DOC secara penuh.

Anda mungkin juga menyukai