Anda di halaman 1dari 15

Tugas Hukum Acara Tata Usaha Negara

Amelia Gloria B.R.

A.70.S1

1907350414

Sejarah dan Perkembangan Hukum Acara

Tata Usaha Negara di Indonesia


Pendahuluan

Hukum tata usaha negara adalah serangkaian kaidah, norma, dan prinsip hukum yang mengatur
penyelenggaraan hukum administrasi negara. Pada hukum Indonesia, kekuasaan hukum tata
usaha negara diselenggarakan oleh sebuah Peradilan Tata Usaha Negara di dalam lingkungan
Mahkamah Agung. Hukum tata usaha negara mengatur tentang proses dan tata cara berperkara
di PTUN, sehingga kerap pula disebut sebagai hukum acara PTUN. Secara umum, hukum acara
PTUN mengatur tentang tindakan seseorang/pribadi maupun badan hukum yang
mempertahakan hak-hak dan cara untuk mempertahankan dan menegakan hukum administrasi
negara di muka peradilan tata usaha negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
Pembahasan

Hukum tata usaha negara mengatur tentang proses dan tata cara berperkara di PTUN, sehingga
kerap pula disebut sebagai hukum acara PTUN. Secara umum, hukum acara PTUN mengatur
tentang tindakan seseorang/pribadi maupun badan hukum yang mempertahakan hak-hak dan
cara untuk mempertahankan dan menegakan hukum administrasi negara di muka peradilan tata
usaha negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara
Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. Peradilan Tata Usaha Negara
adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata
Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peradilan Tata Usaha Negara terdiri atas :

1. Pengadilan Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota, dengan


daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tata Usaha Negara (biasa
disingkat: PTUN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara yang mempunyai kedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai
Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) memiliki fungsi
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan yang termasuk dalam ranah sengketa
Tata Usaha Negara yang mana adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi
untuk menyelenggarakan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Melalui
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan TUN diberikan wewenang
(kompetensi absolut) dalam hal mengontrol tindakan pemerintah seperti
menyelesaikan, memeriksa dan memutuskan sengketa tata usaha negara. Pengadilan
Tata Usaha Negara dibentuk melalui Keputusan Presiden dengan daerah hukum
meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri
dari Pimpinan (Ketua PTUN dan Wakil Ketua PTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan
Sekretaris. Saat ini terdapat 28 Pengadilan Tata Usaha Negara yang tersebar di seluruh
Indonesia.
2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibu kota provinsi, dengan
daerah hukum meliputi wilayah provinsi. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(disingkat PTTUN) adalah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara yang bertindak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding. Sebagai Pengadilan
Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memiliki tugas dan wewenang
untuk memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding. Selain
itu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang untuk
memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
3. Pengadilan Khusus, yaitu Pengadilan Pajak yang berkedudukan pada ibu kota negara.
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di
Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap
sengketa pajak. Di mana yang dimaksud sengketa pajak adalah sengketa yang timbul
dibidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada
Pengadilan pajak. Itu termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
undang-undang penagihan dengan surat paksa.

Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekuasaan, yaitu
Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan
Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan) Jo.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan lingkungan peradilan yang
terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 pada tanggal 29 Desember 1986, adapun tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha
Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga
masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi,
seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga
masyarakat. Dengan terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) menjadi
bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 pada tanggal 14 Januari 1991,
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) resmi beroperasi, salah satunya adalah
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA yang berkedudukan di ibukota
Kabupaten/Kota, dengan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.

Pada Masa Hindia Belanda, Pengadilan Tata Usaha Negara dikenal dengan sistem
administratief beroep. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS
1950, dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi, yaitu:

1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata


2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa
3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya
diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.

Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut
disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan
sengketa administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara di mana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa,
memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada
Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif. Perubahan
UUD 1945 membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan
kehakiman, dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Konsekuensi dari perubahan ini adalah pengalihan
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Sebelumnya, pembinaan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah eksekutif, yakni
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara
Departemen Kehakiman dan HAM. Terhitung sejak 31 Maret 2004, organasi,
administrasi, dan finansial PTUN dialihkan dari Departemen Kehakiman dan HAM ke
Mahkamah Agung. Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan
kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah
Mahkamah Agung.

Peradilan TUN sendiri menurut sejarahnya pertama kali dibentuk di Perancis kemudian
diikuti oleh Belanda, sedangkan di Indonesia pemikiran untuk membentuk Peradilan
TUN sudah dimulai sejak tahun 1948 melalui pasal 66 Undang-undang No. 19 Tahun
1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman yang menyebutkan
bahwa Jika dengan Undang-undang atau berdasar atas Undang-undang tidak ditetapkan
badan-badan kehakiman lain untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara dalam
soal tata usaha pemerintahan, maka PT dalam tingkatan pertama dan MA dalam
tingkatan kedua memeriksan dan memutus perkara-perkara itu. Namun demikian oleh
karena Menteri Kehakiman pada saat itu belum sempat menetapkan saat berlakunya
Undang-undang tersebut berdasar pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun1948 sampai
berlakunya konstitusi RIS 27 Desember 1949, maka undang-undang ini tidak sempat
diberlakukan.

Kemudian pada tahun 1960 berdasarkan TAP MPRS No. II/MPRS/1960 diamanatkan
supaya segera dibentuk Peradilan Administrasi Negara. Tindak lanjut dari amanat TAP
MPRS tersebut maka diterbitkan UU No 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengakomodir keberadaan Peradilan Tata Usaha
Negara yaitu melalui pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa Peradilan administrasi
merupakan salah satu bagian dalam lingkungan Peradilan di Indonesia. Salah satu
upaya mewujudkan keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud
ketentuan pasal 7 tersebut, maka pada tanggal 16 Februari 1965. Menteri Kehakiman
RI melalui surat kep. No. J.58/12/17 membentuk Panja Penyusunan RUU Peradilan
Administrasi yang kemudian disahkan dalam sidang Pleno Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional (LPHN) pada tanggal 10 Januari 1966 akan tetapi draf final RUU
tersebut tidak pernah disampaikan oleh pemerintah kepada DPRGR.
Selanjutnya sebagai upaya mewujudkan terbentuknya Peradilan TUN di Indonesia
maka Presiden RI pada tanggal 13 Mei 1972 melalui surat No. R.07/PUN/V/1972
menyampaikan RUU Peradilan Tun kepada DPR RI, akan tetapi pembahasan RUU
tersebut tidak terselesaikan. Sepuluh tahun kemudian tepatnya tanggal 31 Mei 1982.
Pemerintahan yang diwakili Menteri Kehakiman Ali Said, SH kembali menyampaikan
RUU Peratun ke DPR, namun oleh karena beberapa hal terkait materi RUU Peratun
yang merupakan lembaga baru dalam sistem hukum di Indonesia cukup kompleks,
pembahasan RUU Peratun tersebut tidak terselesaikan. Pada tanggal 16 April 1986
Presiden kembali menyampaikan RUU Peratun Kepada DPR RI melalui surat No.
R.04/PU/IV/1986 untuk mendapatkan persetujuan dan akhirnya setelah dilakukan
pembahasan di DPR, maka pada tanggal 29 Desember 1986 diUndangkanlah UU No.
5 Tahun 1986 tentang Peratun.

Bedasarkan ketentuan pasal 5 ayat 1 No. 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan TUN dilaksanakan oleh Pengadilan TUN dan
Pengadilan Tinggi TUN. Pengadilan TUN dibentuk dengan Keppres (pasal 9) dan
Pengadilan Tinggi TUN dibentuk dengan UU (Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1986).
Pelaksanaan dari dua ketentuan tersebut diundangkanlah UU No. 10 tahun 1990 tentang
pembentukan PT TUN Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang serta Keppres No. 52 Tahun
1990 tentang pembentukan Pengadilan TUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya
dan Ujung Pandang pada tanggal 30 Oktober 1990.

Sesungguhnya niat untuk membentuk suatu Peradilan Tata Usaha Negara telah ada
sejak Negara Republik Indonesia baru merdeka, yaitu terbukti dengan dicantumkannya
dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 mengenai Peraturan tentang Susunan
dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman yang dalam Pasal 6 ayat (1) disebut dengan
istilah Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, lengkapnya berbunyi:

“Jika dengan Undang-Undang atau berdasar atas UndangUndang tidak ditetapkan


badan-badan Kehakiman lain untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara dalam
soal Tata Usaha Pemerintahan, maka Pengadilan Tinggi dalam tingkatan pertama dan
Mahkamah Agung dalam tingkatan kedua memeriksa dan memutus perkara-perkara
itu”.

Kemudian berdasarkan atas ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara


(MPRS) Republik Indonesia Nomor ll/MPRS/1960 yang memerintahkan agar segera
diadakan suatu Peradilan Administrasi Negara, maka oleh Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1960 telah disusun suatu naskah Rancangan
Undang-undang (RUU) tentang Peradilan Administrasi Negara. Selanjutnya pada tahun
1964 dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman - di mana dalam pasal 7 ayat (1)
disebutkan bahwa salah satu dari lingkungan Peradilan adalah Peradilan Administrasi
Negara, maka sebagai tindak lanjut daripada pasal 7 ayat (1) tersebut, oleh Menteri
Kehakiman Republik Indonesia, dengan Surat Keputusan Nomor J.S.8/12/17 tertanggal
16 Februari 1965 dibentuklah Panitia Kerja Penyusun RUU Peradilan Tata Usaha
Negara.

Pada masa Pemerintahan Orde Baru, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor


14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman - sebagai
pengganti daripada Undangundang Nomor 19 tahun 1964 - di mana dalam Undang-
undang Nomor 14 tahun 1970, pasal 10 ayat (1) disebutkan : Bahwa Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata
Usaha Negara. Berhubung karena eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara itu telah
dijamin dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, maka sebagai tindak awal,
Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI) telah mencoba mengambil
prakarsa/inisiatif, dalam musyawarah Nasional awal Agustus 1972 di Prapat Sumatra
Utara membahas masalah Peradilan Administrasi Negara tersebut sebagai respon
positif menyambut kehadiran Peradilan Administrasi Negara itu. Kemudian untuk
persiapan selanjutnya - oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia bekerjasama
dengan Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung pada tahun 1975 telah
mengadakan suatu penelitian mengenai Peradilan Tata Usaha Negara. Mengingat
begitu pentingnya jaminan akan eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara secara juridis
maka dalam Tap MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara,
bidang hukum, sub d jaminan itupun telah pula dipatrikan. Bahkan Presiden Soeharto
dalam pidatonya di hadapan sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 16
Agustus 1978 yang diulangi beliau kembali pada peringatan Nuzul Qur'an di Masjid
Istiqlal, dimana antara lain beliau menjelaskan bahwa tugas besar dalam tahapan ketiga
Pembangunan jangka panjang bukan hanya meneruskan dan meluaskan pembangunan,
tetapi juga mempertegas wajah keadilan di segala lapangan.

Dari uraian tersebut di atas, maka nyatalah bahwa keinginan untuk merumuskan dan
mewujudkan suatu Peradilan Administrasi Negara yang sudah dimulai sejak tahun 1948
telah berlangsung lama. Baik yang dilakukan oleh kalangan yudikatif, eksekutif,
maupun dari kalangan perguruan tinggi dan kalangan profesi.

MODERNISASI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI ERA REVOLUSI


INDUSTRI 4.0 UNTUK MENDORONG KEMAJUAN PERADABAN HUKUM
INDONESIA

Peratun mulai berevolusi seiring dengan evolusi kewenangan dan evolusi pola pikir
serta pola kerja berbasis Information and Communication Technology (ICT) yang
bertujuan untuk melahirkan keadilan yang hakiki bagi para pencari keadilan dan
mendorong kemajuan peradaban hukum Indonesia. Pada tahun 2008, di mana era
keterbukaan atau transparansi semakin menguat, kepada Peratun mulai diberikan
tambahan kewenangan untuk memeriksa sengketa keterbukaan informasi public
melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Menurut Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) UU ini, PTUN berwenang untuk
menguatkan atau membatalkan putusan dari Komisi Informasi. Euphoria keterbukaan
informasi publik membuat beberapa PTUN “kebanjiran” perkara terkait dengan
keterbukaan informasi publik. Namun anehnya, kebanyakan sengketa keterbukaan
informasi publik di beberapa PTUN hanya diajukan oleh pihak tertentu yang sama
namun mengajukan permohonan informasi dalam jumlah masif dan sporadis, fenomena
seperti dikenal sebagai suatu vexatious litigation. Menyikapi situasi ini, Pimpinan MA
mulai menerapkan kewajiban adanya kepentingan yang dirugikan dari tidak diperoleh
informasi kepada si pemohon informasi yang semula tidak pernah dipertimbangkan.

Begitu bernilainya sebuah informasi publik, sehingga MA memberi guidance


(petunjuk) berupa hukum acara melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor
2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan.
Berdasarkan Peraturan ini, maka PTUN dalam menangani sengketa informasi akan
memeriksa dengan acara sederhana dan hanya diberi waktu 60 (enam puluh) hari sejak
Majelis Hakim ditetapkan sudah harus menjatuhkan putusan. Dalam kasus ini terhadap
putusan PTUN tidak dapat diajukan banding ke PT.TUN, melainkan langsung kasasi
ke MA, dan MA hanya memiliki waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Majelis Hakim
ditetapkan sudah harus menjatuhkan putusan. Terkait hal tersebut, MA secara sigap
membekali para hakim Peratun melalui sejumlah pendidikan dan pelatihan terkait
substansi maupun hukum acara mengenai keterbukaan informasi publik seperti
Pendidikan dan Pelatihan Teknis Fungsional Keterbukaan Informasi Publik (KIP) bagi
Hakim Peratun yang diselenggarakan oleh Balitbang Diklat Kumdil MA RI. Pada
rentang tahun 2008 sampai dengan awal tahun 2011, Peratun sendiri belum memiliki
panduan yang jelas dan rinci bagaimana menjalankan wewenang baru tersebut. Pada
periode tahun 2008- 2011 ini juga, Komisi Informasi juga sempat ditempatkan sebagai
Tergugat/Termohon di persidangan PTUN. Baru pada tahun 2011 MA memberikan
panduan melalui Perma Nomor 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Informasi Publik di Pengadilan. Peraturan ini antara lain menegaskan bahwa para pihak
di PTUN (pemohon keberatan dan termohon keberatan) merupakan para pihak awal
yang bersengketa di Komisi Informasi, sedangkan Komisi Informasi ditempatkan
sebagai sebuah quasi peradilan. Dengan diterbitkannya Perma Nomor 2 Tahun 2011
ini, maka penyelesaian sengketa keterbukaan informasi publik menjadi lebih ideal
karena ada keseimbangan antara pemohon informasi dan termohon informasi.
Selanjutnya pada tahun 2012, jajaran Peratun kembali diberi kewenangan oleh
pembentuk Undang-Undang untuk menyelesaikan sengketa terhadap penetapan lokasi
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum melalui UndangUndang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum. Sebagaimana pada sengketa keterbukaan informasi publik, sengketa terhadap
penetapan lokasi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum juga
bersifat khusus karena pemerintah membutuhkan keadilan yang berkepastian dalam
waktu yang cepat. MA selanjutnya menerbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2016 tentang
Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara, dimana PTUN hanya diberi
waktu 30 hari sejak diterimanya gugatan sudah harus menjatuhkan putusan. Putusan
tersebut tidak dapat diajukan banding ke PT.TUN melainkan langsung kasasi ke MA.
Dalam hal ini MA hanya memiliki waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Majelis Hakim
ditetapkan sudah harus menjatuhkan putusan. Dalam hal gugatan masyarakat
terdampak atau terpengaruh dikabulkan, maka Pemerintah harus mencari lokasi baru,
sedangkan apabila gugatan ditolak maka pembangunan dapat segera dilanjutkan.

Tahun 2014, ketika Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan (selanjutnya disebut UU AP) disahkan, kewenangan Peratun kembali
diperluas, tidak hanya berwenang melakukan pengujian terhadap KTUN (beschikking),
akan tetapi juga berwenang untuk melakukan pengujian secara yuridis tindakan faktual
(feitelijke handelingen), dan ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat TUN (Pasal 21 UU AP), yang menghendaki
dalam hal penyalahgunaan wewenang tersebut terkait dugaan tindak pidana korupsi
pendekatan administratif sebagai primum remedium sedangkan pendekatan penal
(pidana) sebagai ultimum remedium (Putusan MK Nomor 25/PUUXIV/2016), serta
keputusan/tindakan fiktif positif. Pemberian wewenang kepada Peratun untuk menguji
keputusan/Tindakan fiktif positif sangat berdampak luar biasa bagi masyarakat,
khususnya bagi Pemerintah, karena telah mengubah mindset Badan atau Pejabat
Pemerintahan agar lebih berorientasi pada pelayanan terhadap masyarakat dan lebih
responsif terhadap permohonan masyarakat. Jika dahulu permohonan anggota
masyarakat yang tidak ditanggapi sesuai aturan dasarnya atau dalam tenggang waktu 4
(empat) bulan dianggap ditolak (fiktif negatif), maka saat ini permohonan anggota
masyarakat yang tidak ditanggapi dalam tenggang waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak
permohonan secara lengkap diterima, atau sesuai aturan dasarnya maka permohonan
dianggap dikabulkan (fiktif positif).

Putusan PTUN atas permohonan fiktif positif bersifat final dan mengikat tanpa dapat
dilakukan upaya hukum, dan kewenangan yang besar ini pula dimanfaatkan oleh para
pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan “penyelundupan hukum” dengan
cara mengajukan permohonan pembatalan terhadap Surat Keputusan (SK) yang
seharusnya diajukan melalui gugatan. Ketika permohonan pembatalan SK tersebut
tidak dijawab oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan, maka seolah-olah pemohon
menganggap telah memenuhi kriteria sebagai permohonan fiktif positif. Hal tersebutlah
yang kemudian mendasari MA menerbitkan Perma Nomor 8 Tahun 2017 tentang
Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna
Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan sebagai
pengganti dari Perma Nomor 5 Tahun 2015. Perma Nomor 8 Tahun 2017 ini
memberikan petunjuk (guidance) terhadap kriteria permohonan fiktif positif di PTUN,
yaitu:
1. Permohonan dalam lingkup kewenangan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
2. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan.
3. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, dan
4. Permohonan untuk kepentingan pemohon secara langsung.

Diharapkan melalui Perma tersebut, tidak ada lagi “penyelundupan hukum” di tingkat
PTUN. Namun demikian, dalam praktiknya permohonan fiktif positif ini masih juga
dicederai oleh “kongkalingkong” antara pemohon dan termohon yang dapat merugikan
kepentingan pihak ketiga. Oleh karenanya meskipun sesungguhnya di dalam
permohonan fiktif positif tidak dimungkinkan dilakukan upaya hukum, namun demi
untuk melakukan corrective justice (koreksi putusan demi keadilan), pada akhirnya MA
menerima permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam permohonan fiktif positif.
Kaidah hukum tersebut tercermin dalam Putusan MA Nomor 32 PK/TUN/2017.

Lebih lanjut pada tahun 2016, Peratun kembali diberi wewenang tambahan untuk
menguji sengketa penghapusan merek terdaftar oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia berdasarkan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis. Di tahun yang sama Peratun juga diberi kewenangan
berdasarkan Pasal 154 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang untuk mengadili sengketa tata usaha negara
pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Menurut UU ini pengadilan tingkat pertama untuk
sengketa Pilkada adalah PT.TUN setelah menempuh upaya administratif di Bawaslu.
Sedangkan untuk sengketa pelanggaran administrasi pemilihan langsung diajukan ke
MA setelah menempuh upaya administratif di Bawaslu. Kewenangan ini sudah
dijalankan dengan sangat baik pada gelaran Pilkada serentak tahun 2017 di 101 daerah
yang melaksanakan pemilihan kepala daerah.
Tahun 2017 Peratun juga diberi wewenang berdasarkan Pasal 469 ayat (2) UU Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk mengadili sengketa proses pemilihan
umum yang putusannya juga bersifat final dan mengikat terkait tiga hal, yaitu verifikasi
partai politik peserta Pemilu, Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan dan penetapan
calon presiden dan wakil presiden. Kewenangan tersebut juga sudah dilaksanakan pada
Pemilu 2019. Tahun 2018, Peratun diberi wewenang melalui Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk memeriksa keberatan
atas ditetapkannya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada akhir tahun 2018
MA mewajibkan ditempuhnya upaya administrasi bagi pihak yang akan mengajukan
gugatan di Peratun melalui Perma Nomor 6 Tahun 2018. Perma ini menjadi pendorong
bagi Badan atau Pejabat TUN untuk segera menyediakan lembaga penyelesai upaya
administrasi.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan bahasan yang telah disajikan di atas, dapat disampaikan
beberapa simpulan sebagai berikut: Pertama, Seiring dengan perkembangan politi
hukum nasional, secara evolutif kewenangan Peratun menjadi sangat luas, semula
hanya berwenang menguji KTUN (beschikking) saat ini hampir semua tindak
pemerintahan (bestuurshandelingen) menjadi kewenangan Peratun. Semangat
perluasan kewenangan Peratun tersebut dimaksudkan agar Peratun sebagai salah satu
pilar negara hukum dapat memberikan perlindungan hukum terhadap tindak
pemerintahan (rechtsbescherming tegen overheids) yang lebih optimal sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman (era inovasi diskruptif); Kedua, Pemberian kewenangan
yang begitu luas tidak secara otomatis bahwa hukum positif yang menjadi alat uji
(ground review) itu operasional dalam penegakannya, karena hukum itu bersifat statis
sedangkan perkembangan masyarakat sangat dinamis. Oleh karena itu, menegakkan
hukum hanya sekedar menerapkan bunyi UU saja tidak cukup. Teks hukum itu harus
dimaknai sesuai konteks dan kontekstualisasinya agar relevan dengan kebutuhan
hukum masyarakat. Dalam konteks ini, pendekatan hukum progresif sangat relevan
diterapkan dalam penyelesaian sengketa. Berdasarkan penelusuran data pada direktori
putusan MA, ditemukan beberapa putusan yang berkarakter landmark decision, yang
kemudian diikuti secara terus menerus oleh pengadilan-pengadilan di bawahnya, antara
lain: (i) Putusan MA mengenai upaya hukum atas permohonan fiktif positif yang
dipandang sebagai corrective justice; (ii) Putusan MA atas sengketa legalitas BANI,
yang mengedepankan aspek substantif daripada aspek formal administratif. Ketiga, Era
Revolusi Industri 4.0 membawa konsekuensi pada pelayanan publik di bidang
administrasi negara melalui pemerintahan yang berbasis TI (e-Government).

Merespon perkembangan tersebut, Peratun sebagai salah satu lingkungan Peradilan di


bawah MA telah menerapkan sistem peradilan elektronik (e-Court). Semangat
diterapkannya e-Court ini adalah agar akses terhadap keadilan (access to justice)
menjadi semakin luas dan prinsip peradilan yang cepat (speedy trial) menjadi semakin
efektif dan efisien. Modernisasi peradilan juga mengubah pola pikir dan budaya kerja
aparatur peradilan, sehingga berdampak positif pada peningkatan produktifitas
penyelesaian perkara. Keempat, Penerapan e-Court yang terus berkembang pada setiap
tahap proses peradilan, akan berdampak pada semakin berkurangnya penggunaan
kertas. Kita telah memulai budaya baru yang disebut paperless culture, sebagai upaya
untuk menjaga lingkungan secara berkelanjutan demi masa depan bumi yang lebih baik.
Hal ini berdampak pada pelestarian lingkungan sekaligus menunjukan peradaban baru
yakni komitmen bersama dunia pengadilan terhadap pelestarian alam. Melalui langkah
sederhana dengan meminimalisasi penggunaan kertas oleh Lembaga pengadilan di
Indonesia, akan melahirkan pengadilan yang ramah lingkungan (ecocourt). Kelima,
Dalam praktik ditemukan perbedaan persepsi (meeting of mind) diantara hakim Peratun
dalam menyikapi kedudukan bukti elektronik dan tata cara pembuktiannya dalam
persidangan, karena UU Peratun tidak mengatur secara tegas mengenai kedua hal
tersebut, meskipun dalam UU AP dan UU sektoral lain memungkinkan adanya bukti
elektronik.

Bertolak dari simpulan di atas, diharapkan, Pertama, ada harmonisasi UU Peratun


dengan UU AP dan UU sektoral lain yang terkait; Kedua, ada sinergitas antara lembaga
yudisial dengan perguruan tinggi untuk mengkaji putusan-putusan dari sudut pandang
akademis. Hasil pengkajian itu dapat menjadi umpan balik (feedback), baik bagi
lembaga yudisial itu sendiri, pemerintah maupun legislatif; Ketiga, ada ketersediaan
anggaran yang memadai bagi lembaga yudisial untuk perawatan sistem TI dan
meningkatkan ketrampilan sumber daya manusianya. Ketersediaan profesi hukum
dengan pengetahuan dan keterampilan hukum yang juga menguasai teknologi;
Keempat, ada perubahan peradaban yang mendorong aktivitas kerja yang tidak hanya
berorientasi pada perubahan perilaku, budaya dan kinerja, tetapi juga meningkatkan
kualitas lingkungan hidup; Kelima, ada pengkajian yang mendalam terhadap prinsip
pembuktian bebas terbatas dalam Hukum Acara Peratun dalam kaitannya dengan alat
bukti elektronik. Disamping itu juga perlu ada Regulasi MA yang berisi kedudukan dan
pedoman pemeriksaan alat bukti elektronik guna mengisi kekosongan hukum acara.

Anda mungkin juga menyukai