A.70.S1
1907350414
Hukum tata usaha negara adalah serangkaian kaidah, norma, dan prinsip hukum yang mengatur
penyelenggaraan hukum administrasi negara. Pada hukum Indonesia, kekuasaan hukum tata
usaha negara diselenggarakan oleh sebuah Peradilan Tata Usaha Negara di dalam lingkungan
Mahkamah Agung. Hukum tata usaha negara mengatur tentang proses dan tata cara berperkara
di PTUN, sehingga kerap pula disebut sebagai hukum acara PTUN. Secara umum, hukum acara
PTUN mengatur tentang tindakan seseorang/pribadi maupun badan hukum yang
mempertahakan hak-hak dan cara untuk mempertahankan dan menegakan hukum administrasi
negara di muka peradilan tata usaha negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
Pembahasan
Hukum tata usaha negara mengatur tentang proses dan tata cara berperkara di PTUN, sehingga
kerap pula disebut sebagai hukum acara PTUN. Secara umum, hukum acara PTUN mengatur
tentang tindakan seseorang/pribadi maupun badan hukum yang mempertahakan hak-hak dan
cara untuk mempertahankan dan menegakan hukum administrasi negara di muka peradilan tata
usaha negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara
Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. Peradilan Tata Usaha Negara
adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata
Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekuasaan, yaitu
Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan
Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan) Jo.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan lingkungan peradilan yang
terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 pada tanggal 29 Desember 1986, adapun tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha
Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga
masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi,
seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga
masyarakat. Dengan terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) menjadi
bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 pada tanggal 14 Januari 1991,
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) resmi beroperasi, salah satunya adalah
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA yang berkedudukan di ibukota
Kabupaten/Kota, dengan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
Pada Masa Hindia Belanda, Pengadilan Tata Usaha Negara dikenal dengan sistem
administratief beroep. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS
1950, dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi, yaitu:
Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut
disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan
sengketa administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara di mana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa,
memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada
Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif. Perubahan
UUD 1945 membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan
kehakiman, dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Konsekuensi dari perubahan ini adalah pengalihan
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Sebelumnya, pembinaan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah eksekutif, yakni
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara
Departemen Kehakiman dan HAM. Terhitung sejak 31 Maret 2004, organasi,
administrasi, dan finansial PTUN dialihkan dari Departemen Kehakiman dan HAM ke
Mahkamah Agung. Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan
kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah
Mahkamah Agung.
Peradilan TUN sendiri menurut sejarahnya pertama kali dibentuk di Perancis kemudian
diikuti oleh Belanda, sedangkan di Indonesia pemikiran untuk membentuk Peradilan
TUN sudah dimulai sejak tahun 1948 melalui pasal 66 Undang-undang No. 19 Tahun
1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman yang menyebutkan
bahwa Jika dengan Undang-undang atau berdasar atas Undang-undang tidak ditetapkan
badan-badan kehakiman lain untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara dalam
soal tata usaha pemerintahan, maka PT dalam tingkatan pertama dan MA dalam
tingkatan kedua memeriksan dan memutus perkara-perkara itu. Namun demikian oleh
karena Menteri Kehakiman pada saat itu belum sempat menetapkan saat berlakunya
Undang-undang tersebut berdasar pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun1948 sampai
berlakunya konstitusi RIS 27 Desember 1949, maka undang-undang ini tidak sempat
diberlakukan.
Kemudian pada tahun 1960 berdasarkan TAP MPRS No. II/MPRS/1960 diamanatkan
supaya segera dibentuk Peradilan Administrasi Negara. Tindak lanjut dari amanat TAP
MPRS tersebut maka diterbitkan UU No 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengakomodir keberadaan Peradilan Tata Usaha
Negara yaitu melalui pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa Peradilan administrasi
merupakan salah satu bagian dalam lingkungan Peradilan di Indonesia. Salah satu
upaya mewujudkan keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud
ketentuan pasal 7 tersebut, maka pada tanggal 16 Februari 1965. Menteri Kehakiman
RI melalui surat kep. No. J.58/12/17 membentuk Panja Penyusunan RUU Peradilan
Administrasi yang kemudian disahkan dalam sidang Pleno Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional (LPHN) pada tanggal 10 Januari 1966 akan tetapi draf final RUU
tersebut tidak pernah disampaikan oleh pemerintah kepada DPRGR.
Selanjutnya sebagai upaya mewujudkan terbentuknya Peradilan TUN di Indonesia
maka Presiden RI pada tanggal 13 Mei 1972 melalui surat No. R.07/PUN/V/1972
menyampaikan RUU Peradilan Tun kepada DPR RI, akan tetapi pembahasan RUU
tersebut tidak terselesaikan. Sepuluh tahun kemudian tepatnya tanggal 31 Mei 1982.
Pemerintahan yang diwakili Menteri Kehakiman Ali Said, SH kembali menyampaikan
RUU Peratun ke DPR, namun oleh karena beberapa hal terkait materi RUU Peratun
yang merupakan lembaga baru dalam sistem hukum di Indonesia cukup kompleks,
pembahasan RUU Peratun tersebut tidak terselesaikan. Pada tanggal 16 April 1986
Presiden kembali menyampaikan RUU Peratun Kepada DPR RI melalui surat No.
R.04/PU/IV/1986 untuk mendapatkan persetujuan dan akhirnya setelah dilakukan
pembahasan di DPR, maka pada tanggal 29 Desember 1986 diUndangkanlah UU No.
5 Tahun 1986 tentang Peratun.
Bedasarkan ketentuan pasal 5 ayat 1 No. 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan TUN dilaksanakan oleh Pengadilan TUN dan
Pengadilan Tinggi TUN. Pengadilan TUN dibentuk dengan Keppres (pasal 9) dan
Pengadilan Tinggi TUN dibentuk dengan UU (Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1986).
Pelaksanaan dari dua ketentuan tersebut diundangkanlah UU No. 10 tahun 1990 tentang
pembentukan PT TUN Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang serta Keppres No. 52 Tahun
1990 tentang pembentukan Pengadilan TUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya
dan Ujung Pandang pada tanggal 30 Oktober 1990.
Sesungguhnya niat untuk membentuk suatu Peradilan Tata Usaha Negara telah ada
sejak Negara Republik Indonesia baru merdeka, yaitu terbukti dengan dicantumkannya
dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 mengenai Peraturan tentang Susunan
dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman yang dalam Pasal 6 ayat (1) disebut dengan
istilah Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, lengkapnya berbunyi:
Dari uraian tersebut di atas, maka nyatalah bahwa keinginan untuk merumuskan dan
mewujudkan suatu Peradilan Administrasi Negara yang sudah dimulai sejak tahun 1948
telah berlangsung lama. Baik yang dilakukan oleh kalangan yudikatif, eksekutif,
maupun dari kalangan perguruan tinggi dan kalangan profesi.
Peratun mulai berevolusi seiring dengan evolusi kewenangan dan evolusi pola pikir
serta pola kerja berbasis Information and Communication Technology (ICT) yang
bertujuan untuk melahirkan keadilan yang hakiki bagi para pencari keadilan dan
mendorong kemajuan peradaban hukum Indonesia. Pada tahun 2008, di mana era
keterbukaan atau transparansi semakin menguat, kepada Peratun mulai diberikan
tambahan kewenangan untuk memeriksa sengketa keterbukaan informasi public
melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Menurut Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) UU ini, PTUN berwenang untuk
menguatkan atau membatalkan putusan dari Komisi Informasi. Euphoria keterbukaan
informasi publik membuat beberapa PTUN “kebanjiran” perkara terkait dengan
keterbukaan informasi publik. Namun anehnya, kebanyakan sengketa keterbukaan
informasi publik di beberapa PTUN hanya diajukan oleh pihak tertentu yang sama
namun mengajukan permohonan informasi dalam jumlah masif dan sporadis, fenomena
seperti dikenal sebagai suatu vexatious litigation. Menyikapi situasi ini, Pimpinan MA
mulai menerapkan kewajiban adanya kepentingan yang dirugikan dari tidak diperoleh
informasi kepada si pemohon informasi yang semula tidak pernah dipertimbangkan.
Putusan PTUN atas permohonan fiktif positif bersifat final dan mengikat tanpa dapat
dilakukan upaya hukum, dan kewenangan yang besar ini pula dimanfaatkan oleh para
pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan “penyelundupan hukum” dengan
cara mengajukan permohonan pembatalan terhadap Surat Keputusan (SK) yang
seharusnya diajukan melalui gugatan. Ketika permohonan pembatalan SK tersebut
tidak dijawab oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan, maka seolah-olah pemohon
menganggap telah memenuhi kriteria sebagai permohonan fiktif positif. Hal tersebutlah
yang kemudian mendasari MA menerbitkan Perma Nomor 8 Tahun 2017 tentang
Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna
Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan sebagai
pengganti dari Perma Nomor 5 Tahun 2015. Perma Nomor 8 Tahun 2017 ini
memberikan petunjuk (guidance) terhadap kriteria permohonan fiktif positif di PTUN,
yaitu:
1. Permohonan dalam lingkup kewenangan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
2. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan.
3. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, dan
4. Permohonan untuk kepentingan pemohon secara langsung.
Diharapkan melalui Perma tersebut, tidak ada lagi “penyelundupan hukum” di tingkat
PTUN. Namun demikian, dalam praktiknya permohonan fiktif positif ini masih juga
dicederai oleh “kongkalingkong” antara pemohon dan termohon yang dapat merugikan
kepentingan pihak ketiga. Oleh karenanya meskipun sesungguhnya di dalam
permohonan fiktif positif tidak dimungkinkan dilakukan upaya hukum, namun demi
untuk melakukan corrective justice (koreksi putusan demi keadilan), pada akhirnya MA
menerima permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam permohonan fiktif positif.
Kaidah hukum tersebut tercermin dalam Putusan MA Nomor 32 PK/TUN/2017.
Lebih lanjut pada tahun 2016, Peratun kembali diberi wewenang tambahan untuk
menguji sengketa penghapusan merek terdaftar oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia berdasarkan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis. Di tahun yang sama Peratun juga diberi kewenangan
berdasarkan Pasal 154 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang untuk mengadili sengketa tata usaha negara
pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Menurut UU ini pengadilan tingkat pertama untuk
sengketa Pilkada adalah PT.TUN setelah menempuh upaya administratif di Bawaslu.
Sedangkan untuk sengketa pelanggaran administrasi pemilihan langsung diajukan ke
MA setelah menempuh upaya administratif di Bawaslu. Kewenangan ini sudah
dijalankan dengan sangat baik pada gelaran Pilkada serentak tahun 2017 di 101 daerah
yang melaksanakan pemilihan kepala daerah.
Tahun 2017 Peratun juga diberi wewenang berdasarkan Pasal 469 ayat (2) UU Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk mengadili sengketa proses pemilihan
umum yang putusannya juga bersifat final dan mengikat terkait tiga hal, yaitu verifikasi
partai politik peserta Pemilu, Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan dan penetapan
calon presiden dan wakil presiden. Kewenangan tersebut juga sudah dilaksanakan pada
Pemilu 2019. Tahun 2018, Peratun diberi wewenang melalui Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk memeriksa keberatan
atas ditetapkannya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada akhir tahun 2018
MA mewajibkan ditempuhnya upaya administrasi bagi pihak yang akan mengajukan
gugatan di Peratun melalui Perma Nomor 6 Tahun 2018. Perma ini menjadi pendorong
bagi Badan atau Pejabat TUN untuk segera menyediakan lembaga penyelesai upaya
administrasi.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan bahasan yang telah disajikan di atas, dapat disampaikan
beberapa simpulan sebagai berikut: Pertama, Seiring dengan perkembangan politi
hukum nasional, secara evolutif kewenangan Peratun menjadi sangat luas, semula
hanya berwenang menguji KTUN (beschikking) saat ini hampir semua tindak
pemerintahan (bestuurshandelingen) menjadi kewenangan Peratun. Semangat
perluasan kewenangan Peratun tersebut dimaksudkan agar Peratun sebagai salah satu
pilar negara hukum dapat memberikan perlindungan hukum terhadap tindak
pemerintahan (rechtsbescherming tegen overheids) yang lebih optimal sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman (era inovasi diskruptif); Kedua, Pemberian kewenangan
yang begitu luas tidak secara otomatis bahwa hukum positif yang menjadi alat uji
(ground review) itu operasional dalam penegakannya, karena hukum itu bersifat statis
sedangkan perkembangan masyarakat sangat dinamis. Oleh karena itu, menegakkan
hukum hanya sekedar menerapkan bunyi UU saja tidak cukup. Teks hukum itu harus
dimaknai sesuai konteks dan kontekstualisasinya agar relevan dengan kebutuhan
hukum masyarakat. Dalam konteks ini, pendekatan hukum progresif sangat relevan
diterapkan dalam penyelesaian sengketa. Berdasarkan penelusuran data pada direktori
putusan MA, ditemukan beberapa putusan yang berkarakter landmark decision, yang
kemudian diikuti secara terus menerus oleh pengadilan-pengadilan di bawahnya, antara
lain: (i) Putusan MA mengenai upaya hukum atas permohonan fiktif positif yang
dipandang sebagai corrective justice; (ii) Putusan MA atas sengketa legalitas BANI,
yang mengedepankan aspek substantif daripada aspek formal administratif. Ketiga, Era
Revolusi Industri 4.0 membawa konsekuensi pada pelayanan publik di bidang
administrasi negara melalui pemerintahan yang berbasis TI (e-Government).