Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman flora

yang melimpah. Dalam bidang perekonomian, sektor pertanian telah memberikan

kontribusi bagi negara terutama devisa. Minyak atsiri merupakan salah satu

komoditas dari sektor pertanian yang mampu meningkatkan devisa Negara. Minyak

atsiri adalah minyak yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder tanaman.

Minyak atsiri dikenal dengan berbagai nama, diantaranya minyak eteris (etherial oil)

karena memiliki sifat eter, minyak terbang (volatile oil) karena sifatnya yang mudah

menguap, atau essential oil karena mengandung intisari dari tanaman bersangkutan

(Richards, 1944).

Saat ini setidaknya ada 150 jenis minyak atsiri yang beredar di pasaran dunia.

Terdapat sekitar 40 jenis minyak atsiri yang dapat diproduksi di Indonesia, namun

hanya 12 jenis minyak atsiri yang baru digunakan secara komersial dan memenuhi

standar ekspor dunia, diantaranya yaitu minyak kayu manis, minyak nilam, minyak

cendana, minyak akar wangi, minyak kenanga, minyak serai wangi, minyak pala,

minyak cengkeh, dan minyak kayu putih. (Balai Besar Kimia dan Kemasan, 2018).

Dari berbagai jenis minyak atsiri yang ada di Indonesia, minyak nilam adalah salah

satu komoditas minyak atsiri yang memiliki prospek cukup besar untuk

dikembangkan. Saat ini minyak atsiri yang berasal dari tanaman nilam memiliki
pangsa pasar ekspor paling besar andilnya dalam perdagangan Indonesia yaitu

mencapai 85% (Ditjenbun Pertanian, 2020).

Minyak atsiri umumnya dihasilkan dari bagian daun, bunga, biji, kulit buah

dan akar atau rhizoma tanaman penghasil minyak atsiri. Minyak nilam merupakan

salah satu minyak atsiri yang diperoleh dari bagian daun tanaman nilam. Terdapat

tiga jenis tanaman nilam yang tumbuh di Indonesia yaitu nilam Aceh (Pogostemon

cablin Benth), nilam Jawa atau nilam hutan (Pogostemon heyneanus Benth) dan

nilam sabun (Pogostemon hortensis Backer). Nilam aceh merupakan jenis tanaman

nilam yang paling luas daerah penyebarannya dan memiliki kandungan minyak

tertinggi dibandingkan kedua jenis tanaman nilam lainnya, yaitu 2,5-5%. Sedangkan

nilam Jawa dan nilam sabun memiliki kandungan minyak masing-masing hanya 0,5-

1,5% (BPP Lembang, 2011).

Sebagai komoditas ekspor minyak nilam memiliki prospek yang baik karena

dibutuhkan secara kontinyu dalam industri kosmetik, parfum dan farmasi. Minyak

nilam digunakan sebagai fiksatif (zat pengikat) dalam industri parfum dan merupakan

salah satu campuran pembuatan produk kosmetika dimana belum ada produk alami

ataupun senyawa sintetis yang mampu menggantikan peran minyak nilam dalam

industri parfum dan kosmetika. Dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak

atsiri yang lain, nilam mempunyai keunggulan tersendiri sebagai unsur pengikat

(fiksatif) yang terbaik dalam industri parfum maupun kosmetika. Hal ini disebabkan

minyak nilam memiliki daya lekat yang kuat sehingga aroma wangi tidak mudah

hilang, dapat larut dalam alkohol dan dapat dicampur dengan minyak eteris lainnya.
Dalam industri farmasi minyak nilam dimanfaatkan sebagai obat-obatan yang

berfungsi sebagai anti inflamantori, anti depresi, divertik, antifungal dan antibakteri

(BPP Lembang, 2011).

Indonesia merupakan pemasok minyak nilam terbesar dunia karena

menguasai sekitar 95% pasar dunia. Dari beberapa jenis minyak atsiri, nilam

mempunyai prospek untuk dikembangkan, mengingat pasar dunia membutuhkan

2.000 ton/tahun minyak nilam dan volume itu cenderung terus meningkat, sementara

produksi yang tersedia baru mencapai 1.200-1500 ton per tahun dan diekspor ke

beberapa Negara diantaranya Singapura, Amerika Serikat, Spanyol, Perancis,

Switzerland, Inggris, dan Negara lainnya. Daerah sentra penghasil minyak nilam di

Indonesia terdapat di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau dan

Nanggroe Aceh Darussalam, kemudian berkembang di provinsi Lampung, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalteng dan daerah lainnya (Ditjen Perkebunan,

2020). Lampung merupakan salah satu provinsi tempat perkebunan tanaman nilam di

pulau sumatera, dimana tanaman nilam menjadi salah satu tanaman unggulan petani

di Kabupaten Lampung Barat. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Kabupaten

Lampung Barat, luas area tanaman nilam mencapai lebih dari 330,7 hektar dengan

hasil minyak nilam mencapai 90 liter/hektar/tahun.

Sampai saat ini Indonesia merupakan penghasil minyak nilam terbesar di

dunia, namun kualitasnya masih fluktuasi bahkan cenderung rendah. Hal ini dapat

disebabkan karena kualitas bahan baku yang kurang bagus atau penggunaan alat

ekstraksi dan teknologi proses yang kurang optimal. Hasil ekstraksi minyak atsiri
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: jenis tanaman, umur tanaman, waktu

panen, perlakuan pendahuluan sebelum ekstraksi dan juga teknik ekstraksi. Oleh

karena itu perlu adanya pengembangan lebih lanjut mengenai teknologi ekstraksi

minyak atsiri untuk mendapatkan proses yang effisien dan produk yang berkualitas

tinggi (Mahfud dkk, 2017).

Ekstraksi minyak atsiri dapat diperoleh melalui metode konvensional atau

metode non-konvensional. Metode konvensional yang umum digunakan untuk

mengektraksi minyak atsiri adalah hidrodistilasi, distilasi uap, hidrosteam distilasi,

dan ekstraksi soxhlet. Namun metode konvensional memiliki beberapa kelemahan

seperti waktu ekstraksi yang cukup lama, konsumsi energi yang tinggi dan yield

minyak nilam yang rendah (Guan dkk, 2007; Da porto dkk, 2013). Sebagian besar

metode konvensional dalam ekstraksi minyak atsiri dilakukan pada suhu tinggi,

sehingga dapat terjadi degradasi dalam minyak yang dapat menurunkan kualitas

minyak tersebut (Nitthiyah dkk, 2017).

Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode non-konvensional dalam

mengekstrak minyak atsiri agar dapat meningkatkan hasil ekstraksi, meningkatkan

kualitas ekstrak dan waktu ekstraksi yang lebih singkat. Beberapa metode non-

konvensional yang telah dikembangkan untuk mengekstrak minyak atsiri, diantaranya

adalah Supercritical Fluid Extraction (SFE), Microwave Assisted Hydrodistillation

(MAHD), Solvent Free Microwave Extraction, Ultrasound Assisted Extraction

(UAE), dan Pressurized Solvent Extraction (Chemat dkk, 2017; Heri dkk, 2018;

Wang dan Weller, 2006).


Microwave Assisted Hydrodistillation (MAHD) adalah metode lanjutan untuk

mengekstraksi minyak atsiri dari tanaman (Golmakani dan Rezaei, 2008). Pada

metode ini, gelombang mikro diubah menjadi energi panas, kemudian menghasilkan

pemanasan pelarut yang ada didalam microwave, sehingga terjadi proses ekstraksi

lebih cepat. Keuntungan menggunakan metode Microwave Assisted Hydrodistillation

(MAHD) adalah waktu ekstraksi yang lebih singkat, penggunaan pelarut yang lebih

sedikit, aliran panas yang lebih efisien kualitas produk yang diekstrak lebih tinggi,

dan lebih ramah lingkungan (Nitthiyah dkk, 2017).

Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai ekstraksi minyak nilam.

Abdurahman dan Sundarajan (2019) melakukan penelitian untuk membandingkan

karakteristik senyawa bioaktif dari minyak nilam yang diekstrak dengan metode

microwave-assisted hydrodistillation (MAHD) dan metode hydrodistilasi. Dari

penelitian ini menunjukkan bahwa yield minyak nilam tertinggi diperoleh

menggunakan metode microwave-assisted hydrodistillation (MAHD) yaitu sebesar

5% dengan waktu ekstraksi 60 menit menggunakan daya microwave sebesar 400 W

dibandingkan dengan mretode hydrodistilasi yang hanya memperoleh yield minyak

nilam sebesar 4% dengan waktu ekstraksi 180 menit menggunakan dan rasio antara

bahan baku dan pelarut sebesar (1:12). Minyak nilam yang dihasilkan pada kondisi

optimal, dilakukan analisis untuk mengidentifikasi senyawa bioaktif dalam minyak

nilam. Diketahui jumlah senyawa bioaktif pada metode microwave-assisted

hydrodistillation (MAHD) sebanyak 16 senyawa, sedangkan menggunakan metode

hydrodistilasi diperoleh 11 senyawa bioaktif.


Mahfud dkk. (2017) melakukan penelitian mengenai pengaruh beberapa

parameter pada ekstraksi minyak atsiri dari daun nilam kering (Pogostemon cablin

Benth) menggunakan metode Solvent-free microwave extraction. Variabel yang

digunakan pada penelitian ini diantaranya adalah daya gelombang mikro, rasio antara

massa bahan baku dengan volume penyuling (F/D), ukuran bahan baku dan waktu

ekstraksi pada hasil minyak esensial. Dari penelitian ini diperoleh kondisi optimal

untuk mendapatkan yield terbaik pada minyak nilam adalah pada daya gelombang

450 W, rasio antara massa bahan baku dengan volume penyuling (F/D) 0,06 g/mL,

menggunakan ukuran bahan baku yang utuh, dan waktu ekstraksi 90 menit. Yield

tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini yaitu sebesar 4,60%.

Pandey dkk. (2020) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh yield dan

kualitas minyak atsiri nilam dengan berbagai metode pengeringan daun nilam. Pada

penelitian ini daun nilam dikeringkan pada 6 kondisi yang berbeda, yaitu dengan

paparan sinar matahari, kondisi pengeringan teduh, dan pengeringan menggunakan

oven pada suhu 30oC, 40oC, 50oC, dan 60oC selama 7 jam/hari dengan total waktu

selama 3 hari. Ditemukan bahwa daun nilam yang dikeringkan menggunakan oven

pada suhu 40oC, menghasilkan minyak atsiri yang berkualitas tinggi dengan yield

sebesar 2,80 ± 0,14%.

Penelitian mengenai minyak atsiri dari Pogostemon cablin Benth juga

dilakukan oleh Kusuma dan Mahfud (2015). Dari penelitian tersebut diperoleh yield

sebesar 2,72% dengan menggunakan metode microwave-assisted hydrodistillation

(MAHD), sedangkan menggunakan metode hydrodistilasi diperoleh yield sebesar


2,61%. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa mengekstrak minyak

atsiri dari daun nilam menggunakan metode Microwave Assisted Hydrodistillation

memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah waktu ekstraksi yang lebih

pendek, hasil yang lebih baik, mengonsumsi energi yang rendah, memiliki

kemungkinan reproduksi yang lebih baik dari aroma alami EO nilam dibandingkan

dengan HD.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode yang baik untuk

ekstraksi minyak atsiri dari daun nilam adalah metode Microwave Assisted

Hydrodistillation. Namun, pada penelitian diatas masih belum ada yang melakukan

penelitian mengenai pengaruh rasio air terhadap bahan baku dalam ekstraksi minyak

atsiri dari daun nilam utuh menggunakan metode Microwave Assisted

Hydrodistillation. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan ekstraksi minyak

atsiri dari daun nilam utuh dengan variasi rasio air terhadap bahan baku 1:5, 1:10, dan

1:5 serta waktu ekstraksi minyak atsiri selama 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 menit

menggunakan daya microwave 400 W.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah yang akan diamati pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh variasi

rasio air terhadap bahan baku dan waktu ekstraksi terhadap yield minyak atsiri daun

nilam yang dihasilkan dengan menggunakan metode microwave-assisted

hydrodistillation (MAHD).

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi rasio air terhadap

bahan baku dan waktu ekstraksi terhadap yield minyak atsiri daun nilam yang

dihasilkan dengan menggunakan metode microwave-assisted hydrodistillation

(MAHD)

1.4. Ruang Lingkup

Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Jurusan Teknik Kimia Universitas

Lampung. Penelitian ini memiliki ruang lingkup dan batasan-batasannya, dimana

bahan baku yang digunakan adalah daun nilam yang diperoleh dari daerah Lampung

akan diekstraksi untuk diambil minyaknya dengan menggunakan metode Microwave

Assisted Hydrodistillation.

Parameter-parameter yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah daya

microwave 400 Watt sebagai varibel tetap. Kemudian menggunakan varias rasio air

dengan bahan baku sebesar 1:5, 1:10, dan 1:5 dan variasi waktu ekstraksi minyak

atsiri selama 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 menit. Berat daun nilam yang digunakan adalah

50 gram. Parameter pengujiannya adalah banyaknya yield minyak daun nilam yang

diperoleh serta mutu minyak atsiri yang meliputi warna, bau, berat jenis, indeks bias,

kelarutan dalam etanol dan analisis GC-MS yang kemudian dibandingkan dengan

data SNI minyak atsiri daun nilam.

(gua sem juga ga ya?)

Anda mungkin juga menyukai