PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik/ Chronic kidney disease merupakan sindrom yang bersifat
menahun dan berlangsung progresif. Sindrom ini terkait dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus. Perjalanan umum gagal ginjal kronis dapat dibagi menjadi 3
stadium. Pada stadium I terjadi penurunan cadangan urin, stadium II terjadi
insufisiensi ginjal dan stadium III dimana 90% nefron telah rusak.Pasien yang telah
mengalami kerusakan glomerulus dan tidak dapat melakukan fungsinya, maka harus
dicuci darah (HD). Jika ginjal mengalami kerusakan maka dapat mengalami asidosis
dan gangguan elektrolit. Oleh karena itu, perawat harus mengetahui perjalanan
penyakit klien dengan gagal ginjal kronis sehingga dapat memberikan asuhan
keperawatan yang komprehensif.
Segala upaya dalam pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk
mencapai derajat kesehatan yang lebih tinggi, yang memungkinkan seorang hidup
lebih produktif baik sosial maupun ekonomi. Salah satu langkah pemerintah untuk
mencapai tujuan tersebut adalah melalui program “ Menuju Indonesia Sehat 2010”.
Akan tetapi pencapaian tujuan tersebut bukanlah hal yang mudah karena rentang
masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat sangat beraneka ragam.Salah satu
masalah kesehatan yang sering ditemukan dalam masyarakat adalah penyakit kronik
kidney disease (CKD). Di Negara maju, angka penderita kronik kidney disease
tergolong cukup tinggi. Di Amerika Serikat misalnya angka kejadian kronik kidney
disease meningkat dalam 10 tahun dari 1990 – 2000. Pada tahun 1990 kasus gagal
ginjal kronik 166 kasus dan pada tahun 2000 mencapai 372.000 angka tersebut
diperkirakan akan terus meningkat pada tahun 2010.
Di Indonesia banyak masyarakat menderita kronik kidney disease,
berdasarkan data dari Indonesia Renal Registry pada tahun 2007 jumlah pasien kronik
kidney disease mencapai 2148 orang dan pasien kronik kidney disease pada tahun
2008 yaitu 2260 orang, terjadi peningkatan jumlah pasien dari tahun 2007 ke tahun
2008 sebanyak 112 orang.Meningkatnya angka kesakitan CKD di Indonesia
diakibatkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat dalam menjaga kesehatan
ginjalnya, kurang pengetahuan masyarakat tentang penyakit ginjal dan yang paling
penting yaitu perekonomian masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Kurangnya
1|Page
penghasilan masyarakat Indonesia mengakibatkan penderita kronik kidney disease
tidak mampu menjalani pengobatan yang ada yaitu cuci darah (Hemodialisa). Seperti
yang kita ketahui bahwa biaya pengobatan ini memerlukan biaya yang sangat mahal.
Akibat dari ketidakmampuan masyarakat menjalani pengobatan yang ada dan
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang proses terapi cuci darah, maka banyak
dari penderita CKD yang tidak tertolong dan akhirnya meninggal.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien
GGK.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian GGK
b. Mengetahui patofisiologi GGK
c. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien GGK
d. Mempelajari contoh kasus gadar pasien GGK serta cara penanganannya
2|Page
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).(Smeltzer
dan Bare, 1997)
Gagal ginjal kronis merupakan kondisi penyakit pada ginjal yang persisten
(keberlangsungan ≥ 3 bulan) dengan:
1. Kerusakan ginjal
2. Kerusakan Glomerular Filtation Rate (GFR) dengan angka GFR ≤ 65 ml/
menit/ 1.73 m2.
Berdasarkan analisa definisi di atas, jelas bahwa GGK merupakan gagal ginjal
akut yang berlangsung lama, sehingga mengakibatkan gangguan yang persisten dan
dampak yang bersifat kontinue. (Mc Clellan, 2006)
Sedangkan National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan dampak dari
kerusakan ginjal adalah sebagai kondisi mikroalbuminuria/ over proteinuria,
abnormalitas sedimentasi, dan abnormalitas gambaran ginjal.
Kronik kidney disease merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia ( retensi urea dan
sampah nitrogen lainnya dalam darah ) ( Brunner, 2004 ).
Kronik kidney disease merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif
dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun). Pada keadaan ini ginjal
kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan
tubuh dalam keadaan asupan makanan yang normal. ( Price, Sylvia, Anderson,2005. )
Kronik kidney disease adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia terjadi
pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit gagal ginjal kronk.
( Ketut suwitra, 2006. )
3|Page
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal
yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) di
dalam darah.
B. Patofisiologi
Pada gagal ginjal kronis, fungsi ginjal menurun secara drastis yang berasal
dari nefron. Insifisiensi dari ginjal tersebut sekitar 20%- 50% dalam hal GFR
(Glomerular Filtration Rate). Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati,
maka nefron- nefron yang tersisa beban kerjanya semakin meningkat sehingga nefron-
nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini
berkaitan dengan tuntutan pada nefron- nefron yang ada untuk meningkatkan
reabsorbsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron- nefron, terjadi
pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang. Pelepasan renin
akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan
hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar
terjadi peningkata filtrasi protein- protein plasma. Kondisi akan bertambah buruk
dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respon dari kerusakan nefron
dan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan manifestasi penumpukan
metabolik- metabolik yang seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi sehingga akan
terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak manifestasi pada setiap organ
tubuh.
C. Pengkajian
1. Primer
A = Airway
Kaji:
Bersihan jalan nafas
Ada/ tidaknya sumbatan jalan nafas
Distress pernafasan
Tanda- tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
B = Breathing dan ventilasi
Kaji:
Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
4|Page
Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
Ada tidaknya penggunaan otot- otot bantu pernafasan dan retraksi
intercostal
C = Circulation
Kaji:
Denyut nadi: irama, kuat lemahnya
Tekanan darah
Warna kulit, kelembaban kulit
Pengisian kapiler
Tanda- tanda perdarahan eksternal dan internal
D = Disability
Kaji:
Tingkat kesadaran: GCS dan AVPU (Alert, respon verbal, respon pain,
Unrespon)
Gerakan ekstermitas
Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
Gangguan sensorik mmotorik
E = Eksposure
Kaji:
Tanda- tanda trauma yang ada
oedema
2. Sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukan pada
pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajian objektif
subjektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan pengkajian dari kepala sampai
kaki.
a. Pengkajian riwayat penyakit:
Komponen yang perlu dikaji:
Keluhan utama dan alasan pasien datang ke rs
Lamanya waktu kejadian sampai dibawa ke rs
5|Page
Tipe cedera, posisi saat cedera dan lokasi cedera
Gambaran mekanisme cedera dan penyakit yang ada (nyeri)
Waktu makan terakhir
Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit sekarang
Metode Pengkajian:
1) Metode yang sering digunakan untuk mengkaji riwayat klien:
S (sign and symptoms): tanda dan gejala yang diobservasi dan dirasakan
klien
A (Allegis): alergi yang dipunyai klien
M (medications): tanyakan obat yang telah diminum klien untuk mengatasi
nyeri
P (pertinent post medical hystori): riwayat penyakit yang diderita klien
L (last oral intake solid or liquid): makan/ minum terakhir: jenis makanan,
ada penurunan atau peningkatan kualitas makan.
E (event leading to injury or illness): pencetus/ kejadian penyebab
keluhan.
6|Page
Ekstermitas: edema pada tungkai, spasitas otot
Kulit: sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun
d. Pemeriksaan diagnostic
1. Pemeriksaan urine
Volume: biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam atau anuria
Warna: biasanya warna keruh
Natrium: meningkat
Protein: proteinuria
2. Darah
BUN/ kreatinin: meningkat, biasanya meningkat dalam kadar proporsi,
kadar kreatinin 10 mg/dl.
Hitung darah lengkap: Ht namun pula adanya anemia Hb: kurang dari
7-8 g/dl.
3. GDA
PH: asidosis (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan
ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan ammonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCo2 menurun natrium
serum mungkin rendah
Kalium: meningkat
Magnesium/ fosfat meningkat di intraseluler
Kalsium menurun
Protein (khususnya albumin 3,5- 5,0 g/dl): kadar semua menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine pemindahan cairan
penurun pemasukan atau penurunan sintesis karena asam amino
esensial.
4. Arteriogram ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravakuler massa.
5. Ultrasono ginjal
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa
6. Biopsi ginjal
Dilakukan secara endoskopik untuk menentukan pelvis ginjal
7. EKG
7|Page
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
3. Diagnos Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan b/d gangguan mekanisme regulasi
b. Ketidakefektifan pola nafas b/d edema polmonal
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
d. Intoleransi aktivitas b/d trah baring
e. Kerusakan integritas kulit b/d gangguan metabolisme
4. Intervensi Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan b/d kegagalan mekanisme regulasi
NOC:
kelebihan volume cairan dapat dikurangi, yang dibuktikan oleh
keseimbangan cairan, keseimbangan elektrolit dan asam basa
NIC:
kaji status cairan: timbang BB, keseimbangan masukan dan haluaran,
turgor kulit dan adanya edema
batasi masukan cairan
jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan cairan
kolaborasi pemberian diuretic
8|Page
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake tidak adekuat
NIC:
Nafsu makan meningkat
Tidak terjadi penurunan BB
Masukan nutrisi adekuat
Hasil laboratorium normal (albumin dan kalium)
NOC:
Pantau nilai laboratorium pasien, khususnya transferrin, albumin dan
elektrolit
Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
Berikan makanan sedikit tapi sering
Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana
memenuhinya
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet sesuai terapi
d. Intoleransi aktivitas b/d tirah baring
NOC:
Menunjukkan toleransi aktivitas
NIC:
Kaji kemampuan pasien melakukan aktivitas
Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber- sumber energy yang
adekuat
Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen waktu untuk
mencegah kelelahan
Penggunaan peralatan, seperti oksigen selama aktivitas
e. Kerusakan integritas kulit b/d gangguan metabolisme
NOC:
Menunjukkan integritas jaringan kulit
NIC:
Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, ekimosis,
kerusakan dan suhu
Pantau intake dan output cairan, hidrasi kulit dan membrane mukosa
Ubah posisi tidur dengan sering
9|Page
Anjurkan menggunakan kompres lembab dan dingin pada area pruritus
5. Evaluasi
a. Tidak terjadi kelebihan volume cairan
b. Pola nafas kembali efektif
c. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
d. Terpenuhinya aktivitas sehari- hari
e. Peningkatan integritas kulit
10 | P a g e
BAB III
TINJAUAN KASUS
Ny. G usia 65 tahun terdiagnosa CKD sejak 5 tahun yang lalu. Ny. G menjalani HD
reguler 2x seminggu. Klien datang ke rs dengan keluhan sesak nafas dan terdapat secret.
Klien tampak pucat dan tampak edema ekstermitas atas dan bawah. Pada pemeriksaan
fisik didapakan capillary refill lebih dari 3 detik, terdapat ekimosis, nafas pasien berbau
ammonia dan tampak ascites pada daerah perut. TTV: TD 210/ 120, RR 34x/ menit, S
36,80C, N 122x/ menit. Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 6, urea 62 mg/ dl, BUN 35
mg/dl, natrium 151 mEql/ L dan kreatinin 2,2 mg/ dl. Dari hasil pemeriksaan BGA
didapatkan hasil bahwa nilai PCO2 rendah sedangakan pH dan HCO3 juga rendah
sehingga disimpulkan bahwa pasien mengalami asidosis metabolic. Saat ini pasien
terpasang oksigen. Kesan hasil pemeriksaan radiologi yaitu oedema pulmonal. Diberikan
terapi medis Dilitiazepam 30 mg/8 jam, captopril 25 mg/8 jam dan infus RL 6 tetes/
menit.
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama: Ny. G
Usia: 65 tahun
Jenis kelamin: perempuan
Agama: Islam
Alamat: Makassar
Diagnose media: CKD
2. Primer
Airway :
Terdapat secret
Breathing :
Sesak nafas
RR 34x/ menit
PCO2 rendah
Terpasang oksigen
11 | P a g e
Nafas berbau ammonia
Circulation:
TD 210/ 120
Klien tampak pucat dan ekstermitas
Nadi 122x/ menit
Capillary refill lebih dari 3 detik
ekimosis
Saat ini terpasang RL
3. Sekunder
Keluhan utama: sesak napas disertai adanya sekret
Riwayat penyakit sekarang: saat ini dirawat dengan keluhan utama sesak
nafas disertai secret, oedema ektermitas, edema pulmonal dan ascites
Riwayat penyakit dahulu: memilki riwayat hipertensi dan terdiagnosa
CKD sejak 5 tahun lalu
Riwayat penyakit keluarga: menurut anak dalam keluarga tidak memilki
penyakit yang sama dengan pasien
Tanda tanda vital (TTV)
TD: 210/120 mmHg
N:122x/menit
RR:34x/menit
S:36,80C
Pengkajian fisik
Kepala: tidak ada lesi, rambut beruban
Mata:
Hidung: terdapat sekret
Mulut: mukosa lembab, terdapat sekret
Dada:
Abdomen: tampak ascites
Ekstermitas: tampak edema pada kedua ekstermitas
Kulit: capillary refill lebih dari 3 detik
Pemeriksaan penunjang
Radiologi: terdapat gambaran edema pulmonal
12 | P a g e
Laboratorium: Hb 6, urea 62 mg/ dl, BUN 35 mg/dl, natrium 151 mEq/ L
dan kreatinin 2,2 mg/ dl. BGA didapatkan hasil bahwa nilai PCO2 rendah
sedangakan pH dan HCO3 juga rendah sehingga disimpulkan bahwa
pasien mengalami asidosis metabolic.
Terapi medis: Dilitiazem 30 mg/8 jam, captopril 25 mg/8 jam, terpasang
infuse RL
B. Diagnose Keperawatan
13 | P a g e
DO: kulit
Edema kedua
ektremitas
Ekimosis
Asites
Capillary refill lebih
dari 3 detik
4 DS: pasien mengeluh Intoleransi aktivitas
sesak
DO:
Tampak pucat
Edema kedua
ektremitas
Terpasang oksigen
Diagnosa keperawatan:
a. Kelebihan volume cairan b/d kegagalan mekanisme regulasi
b. Ketidakefektifan pola nafas b/d edema pulmonal
c. Kerusakan integritas kulit b/d gangguan metabolisme
d. Intoleransi aktivitas b/d tirah baring
C. Intervensi keperawatan
a. Kelebihan volume cairan b/d kegagalan mekanisme regulasi
NOC:
kelebihan volume cairan dapat dikurangi, yang dibuktikan oleh
keseimbangan cairan, keseimbangan elektrolit dan asam basa
NIC:
kaji status cairan: timbang BB, keseimbangan masukan dan haluaran,
turgor kulit dan adanya edema
catat intake dan out[ut cairan
batasi masukan cairan
14 | P a g e
jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan cairan
kolaborasi pemberian diuretic
b. Ketidakefektifan pola nafas b/ d edema pulmonal
NOC:
Menunjukkan pola pernafasan yang efektif
NIC:
Kaji tanda- tanda vital
Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan
Auskultasi suara napas, perhatikan area penurunan/ tidak adanya ventilasi
dan adanya suara napas tambahan
Ajarkan pasien nafas dalam
Atur posisi pasien untuk mengoptimalkan pernapasa (posisi semifowler)
Kolaborasi pemberian oksigen
15 | P a g e
Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen waktu untuk
mencegah kelelahan
Penggunaan peralatan, seperti oksigen selama aktivitas
D. Evaluasi
f. Tidak terjadi kelebihan volume cairan
g. Pola nafas kembali efektif
h. Terpenuhinya aktivitas sehari- hari
i. Peningkatan integritas kulit
16 | P a g e
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis akan membahas tentang kesenjangan yang terjadi antara
teori dengan kasus nyata yang diperoleh melalui pelaksanaan asuhan keperawatan pada
pasien Ny. G. Pelaksanaan asuhan keperawatan ini melalui 5 tahap yaitu : pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi.
1. Pengkajian.
Secara teori pada pengkajian hasilnya yaitu
Pengkajian Fisik
Kepala: edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas urine
Dada: pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
Perut: adanya ascites
Ekstermitas: edema pada tungkai, spasitas otot
Kulit: sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun
Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan urine
Volume: biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam atau anuria
Warna: biasanya warna keruh
Natrium: meningkat
Protein: proteinuria
Darah
BUN/ kreatinin: meningkat, biasanya meningkat dalam kadar proporsi,
kadar kreatinin 10 mg/dl.
Hitung darah lengkap: Ht namun pula adanya anemia Hb: kurang dari 7-8
g/dl
GDA
17 | P a g e
PH: asidosis (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal
untuk mengeksresi hydrogen dan ammonia atau hasil akhir katabolisme
protein. Bikarbonat menurun PCo2 menurun natrium serum mungkin
rendah
Kalium: meningkat
Magnesium/ fosfat meningkat di intraseluler
Kalsium menurun
Sedangkan hasil yang didapatkan pada pengkajian kasus yaitu:
Pemeriksaan Fisik:
Kepala: tidak ada lesi, rambut beruban
Hidung: terdapat secret
Mulut: mukosa lembab, terdapat secret
Abdomen: tampak ascites
Ekstermitas: tampak edema pada kedua ekstermitas
Kulit: capillary refill lebih dari 3 detik
Pemeriksaan penunjang
Radiologi: terdapat gambaran edema pulmonal
Laboratorium: Hb 6, urea 62 mg/ dl, BUN 35 mg/dl, natrium 151 mEq/ L dan
kreatinin 2,2 mg/ dl. BGA didapatkan hasil bahwa nilai PCO2 rendah sedangakan
pH dan HCO3 juga rendah sehingga disimpulkan bahwa pasien mengalami
asidosis metabolic.
Bila dibandingkan antara teori dengan kasus nyata dilapangan, penulis menemukan
adanya kesamaan.
2. Diagnosa Keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada tinjauan teoritis yaitu :
a. Kelebihan volume cairan b/d gangguan mekanisme regulasi
b. Ketidakefektifan pola nafas b/d
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
d. Intoleransi aktivitas b/d tirah baring
e. Kerusakan integritas kulit b/d mekanisme regulasi
18 | P a g e
b. Kelebihan volume cairan b/d gangguan mekanisme regulasi
c. Kerusakan integritas kulit b/d gangguan metabolisme
d. Intoleransi aktivitas b/d tirah baring
3. Intervensi Keperawatan.
19 | P a g e
manajemen waktu untuk mencegah kelelahan dan penggunaan peralatan, seperti
oksigen selama aktivitas.
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan yang didapatkan penulis setelah 3 hari implementasi yaitu :
20 | P a g e
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kronik Kidney Disease adalah suatu gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan keseimbangan
cairan serta elektrolit dan membuang sisa sisa metabolisme sehingga menyebabkan
uremia.pada pasien gagal ginjal kronis atau CKD dengan penurunan kesadaran, gangguan
pola napas serta kelebihan volume cairan diperlukan perawatan secara intensif untuk
mempertahankan status hemodinamik. Factor yang mempengaruhi hemodinamik antara
lain: keseimbangan cairan dan elektrolit, suplai oksigen yang adekuat.
B. Saran.
1. Untuk perawat di Rumah Sakit.
Diharapkan perawat dapat memperhatikan balance cairan, dapat memperhatikan diit
makanan pasien dan dapat lebih peka dalam mendengarkan keluhan – keluhan dan
kemudian memberikan support kepada pasien dengan kronik kidney disease sehingga
dapat mengurangi kecemasannya dan memberikan rasa nyaman.
2. Untuk Pendidikan.
Diharapkan instansi pendidikan semakin meningkatkan mutu pengajaran kepada
mahasiswa/i serta menambahan buku – buku reverensi terbaru di perpustakaan
khususnya tentang perkemihan dan pemanfaatan laboratorium dengan sebaik –
baiknya.
3. Untuk Pasien dan keluarga.
Diharapkan pasien dapat lebih memperhatikan berkaitan dengan diet, asupan cairan
serta obat - obat yang diberikan, serta mengikuti jadwal hemodialisa yang telah
21 | P a g e
ditentukan dan perlu segera memeriksakan diri ke Rumah Sakit bila terjadi masalah
pada kesehatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Nursalam Baticaca, Fransiska B.(200). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan gangguan
Sistem Perkemihan. Jilid 1. Jakarta: Salemba Medika
22 | P a g e