Anda di halaman 1dari 7

BAB II 

PEMBAHASAN
2.1 Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling berpengaruh
terhadap penyakit kardiovaskuler. The Third National Health and Nutrition
Examination Survey mengungkapkan bahwa hipertensi mampu meningkatkan risiko
penyakit jantung koroner sebesar 12% dan resiko stroke sebesar 24%. Sering kali
hipertensi tidak menunjukkan gejala sehingga baru disadari bila telah menyebabkan
gangguan organ (Florio O et al., 2012).
Kondisi hipertensi adalah ketika tekanan darah sistolik seseorang mencapai
≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastoliknya ≥90 mmHg pada pemeriksaan
berulang.1 Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu hipertensi
primer (esensial) yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder yang
disebabkan oleh penyakit lain. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi esensial
dan 10% sisanya adalah hipertensi sekunder (Shimizu Y,dkk 2002).
Prevalensi hipertensi pada masyarakat Indonesia tahun 2004 adalah 14% dan
pada tahun 2007 meningkat menjadi 34,9%. Pada kelompok umur 26-34 tahun
prevalensinya sebesar 7%, usia 35-44 tahun sebesar 16% dan usia ≥65 tahun
prevalensinya mencapai 29%.3 Kasus hipertensi yang sudah dicakup oleh tenaga
kesehatan hanya 36,8% sedangkan 63,2% sisanya belum terdiagnosis.
Berdasarkan algoritma yang disusun Joint National Committee on Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC) VII, terapi paling dini
adalah mengubah gaya hidup. Jika hasil yang diinginkan tidak tercapai, maka
diperlukan terapi dengan obat. Secara umum, golongan obat antihipertensi yang
dikenal yaitu diuretik, Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor, Angiotensin
Receptor Blocker (ARB), Calcium Channel Blocker, dan Beta (β) Blocker.
2.2 Kalsium Blocker
Calcium channel blocker menurunkan masuknya Ca2+ ke dalam sel vaskular
dan jantung, mengurangi konsentrasi kalsium intraseluler. Hal ini menyebabkan
relaksasi dan vasodilatasi pada otot polos arteri, sehingga menurunkan tekanan arteri.
Di jantung, calcium channel blocker mengurangi kontraktilitas miokard. Mereka
menekan konduksi jantung, terutama di seluruh node atrioventricular (AV),
memperlambat laju ventrikel.
Antagonis kalsium mempunyai efek vasodilatasi dan menekan kerja jantung
dengan berkurangnya daya dan frekuensi detak jantung. CCB adalah kelompok obat
yang diklasifikasikan ke dalam DHP dan non-DHP, yang mana sebagai hambatan
selektif pembukaan L-channel pada otot polos pembuluh darah dan miokardium.
Nifedipin merupakan DHP pertama yang tersedia untuk pengobatan angina, namun
generasi sekarang tersedia nisoldipin, nicardipin, dan amlodipin(Montalescot et al.,
2013).
Adapun sedikit manfaat klinis, jadi hindari peggunaan CCB dalam penganan
akut pada sindrom koroner akut kecuali ada kebutuhan simtomatik jelas atau
kontraindikasi terhadap beta bloker. Nifedipin merupakan vasodilator kuat dengan
sedikit efek samping yang serius, karena menyebabkan aktivasi refleks simpatik,
takikardia, dan memperburuk iskemi miokardium (Dipiro et al., 2015).
Verapamil merupakan non-DHP yang memiliki banyak indikasi yang
disetujui, termasuk varietas angina, takikardi 33 supraventriukular, dan hipertensi. ß-
Bloker dikombinasi verapamil tidak disarankan (dapat memblok jantung, tetapi dapat
diganti DHP dengan ß-Bloker (Montalescot et al., 2013)
Penurunan denyut jantung, kontraktilitas, dan afterload menurunkan
kebutuhan oksigen miokard, mencegah angina. Calcium channel blocker secara luas
dapat dibagi menjadi dua kelas. Dihydropyridines, termasuk amlodipine dan
nifedipine, relatif selektif untuk pembuluh darah, sedangkan non-dihydropyridines
lebih selektif untuk jantung. Dari non-dihidropiridin, verapamil adalah yang paling
kardioselektif, sedangkan diltiazem juga memiliki beberapa efek pada pembuluh
darah.
Ada beberapa kondisi dan penyakit yang bisa ditangani dengan penggunaan
obat golongan antagonis kalsium, di antaranya:
1. Hipertensi
2. Angina pektoris, Prinzmetal’s angina, dan angina stabil
3. Aritmia
Selain itu, beberapa jenis calcium-channel blockers juga bisa digunakan untuk
mencegah dan mengatasi serangan jantung dan kondisi kurangnya oksigen atau aliran
darah ke otak saat mengalami perdarahan subarachnoid.
Antagonis kalsium tidak boleh digunakan sembarangan. Ikuti
anjuran dokter saat menjalani pengobatan dengan obat ini. Sebelum mengonsumsi
antagonis kalsium, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni :
1. Tidak menggunakan obat golongan antagonis kalsium bila alergi terhadap
obat ini.
2. Tidak mengonsumsi jeruk bali saat menggunakan obat antagonis kalsium.
Konsumsi jeruk bali bersamaan dengan penggunaan antagonis kalsium dapat
mempengaruhi tekanan darah dan detak jantung.
3. Tidak minum minuman beralkohol jika menggunakan obat ini. Alkohol dapat
meningkatkan efektivitas obat dan risiko terjadinya efek samping.
4. Beri tahu dokter jika sedang menggunakan obat penurun tekanan darah lain
atau sedang mengonsumsi obat herbal, vitamin, maupun suplemen lain.
5. Beri tahu dokter jika sedang dan pernah mengalami penyakit jantung, ganguan
ginjal, gangguan hati , gangguan pernapasan, gangguan pada pembuluh
darah, stroke, hipertensi, diabetes, obstruksi usus , radang dan infeksi
gusi, edema otak, dan peningkatan tekanan intrakranial.
6. Beri tahu dokter jika sedang hamil, menyusui, atau merencanakan kehamilan
7. Diskusikan dengan dokter anak mengenai penggunaan obat antagonis kalsium
pada anak-anak, agar jenis obat dan dosis yang diberikan tepat.
8. Bila terjadi reaksi alergi obat atau overdosis setelah menggunakan obat
antagonis kalsium, segera hubungi dokter.
Ada beberapa efek samping yang berpotensi timbul akibat penggunaan obat
antagonis kalsium, antara lain:
1. Sakit kepala atau pusing
2. Mulut terasa kering
3. Tekanan darah rendah
4. Jantung terasa berdetak lebih cepat, lambat, atau tidak beraturan (aritmia)
5. Mual, konstipasi, atau diare
6. Penyakit asam lambung (GERD)
7. Otot terasa lemah atau kram
8. Bengkak pada tungkai dan telapak kaki (edema)
9. Mudah mengantuk
Calcium channel blocker non-dihidropiridin (verapamil dan diltiazem) tidak
boleh diresepkan dengan β-blocker kecuali di bawah pengawasan spesialis yang
ketat. Kedua golongan obat tersebut bersifat inotropik negatif dan kronotropik, dan
bersama-sama dapat menyebabkan gagal jantung, bradikardia, dan bahkan asystole
(Montalescot et al., 2013).
5 Obat golongan Calcium Channel Blocker bekerja menghambat masuknya
kalsium ke dalam sel melalui chanel-L. Calcium Channel Blocker dibagi menjadi 2
golongan besar yaitu non-dihidropiridin dan dihidropiridin. Golongan dihidropiridin
terutama bekerja pada arteri sehingga dapat berfungsi sebagai obat anti hipertensi,
sedangkan golongan non-dihidropiridin mempengaruhi sistem konduksi jantung dan
cenderung melambatkan denyut jantung, efek hipertensinya melalui vasodilatasi
perifer dan penurunan resistensi perifer.
Meskipun penggunaan obat golongan Calcium Channel Blocker secara efektif
dapat menurunkan tekanan darah, namun obat ini juga menimbulkan beberapa efek
samping seperti hipotensi, myocard ischemia, dan edema perifer.6 Sementara efek
sampingnya pada rongga mulut yaitu pembesaran gingiva, xerostomia, ulser dan
angioedema.
Nifedipin merupakan salah satu obat anti hipertensi golongan Calcium
Channel Blocker kelompok dihidropiridin yang sering digunakan karena potensi
relatifnya sebagai vasodilator dianggap paling poten. Pada penelitian in vitro,
nifedipin berikatan di saluran kalsium tipe L di pembuluh darah dengan sifat 3
selektif sehingga tidak mengurangi aktivitas sinus.8 Pada kelenjar submandibula,
terdapat aktivitas enzim Nitric Oxide Synthase (NOS) yang diaktivasi oleh kalsium
intrasel, kemudian NOS akan memproduksi Nitric Oxide (NO) yang berperan dalam
regulasi eksitasi saraf parasimpatis termasuk menginduksi sekresi saliva dari kelenjar
submandibula. Bila kadar kalsium intrasel berkurang, maka NO tidak dapat
mengaktivasi Cyclin Guanosine Monophosphate (cGMP) yang akan membuka kanal
ion dan menginisiasi proses sekresi saliva (Dipiro et al., 2015).
Nifedipine merupakan penghambat sawar kalsium dihidropiridin (DHP).
Nifedipine mencegah ion kalsium masuk ke sawar kalsium pada jantung dan otot
polos, sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah koroner dan perifer. Obat
ini juga memiliki efek inotropik negatif, sehingga menurunkan kontraktilitas
dan afterload jantung. Efek ini membuat konsumsi dan kebutuhan oksigen
miokardium menurun, sehingga dapat berfungsi sebagai antiangina stabil kronik.
Inhibisi ion kalsium nifedipine berlangsung secara selektif, sehingga tidak
mempengaruhi kadar ion kalsium dalam serum.
Sebagai tokolitik, nifedipine bekerja dengan menghambat sawar kalsium tipe L pada
miometrium, sehingga menyebabkan penurunan ion kalsium dan relaksasi
miometrium. Nifedipine juga dapat mempengaruhi reseptor beta-adrenergik dan
mempromosikan relaksasi uterus.
Penggunaan Nifedipin juga dipercaya dapat menghambat adherensi dan
mengaktifkan stimulasi makrofag untuk membunuh fibroblast dari gingiva sehingga
menyebabkan gingiva tumbuh berlebihan.10 Dengan begitu banyaknya jumlah kasus
hipertensi yang ada di masyarakat serta pemakaian Nifedipin sebagai obat
antihipertensi yang sering digunakan, peneliti ingin membuktikan pengaruh
penggunaan Nifedipin terhadap laju aliran saliva dan pembesaran gingiva pada pasien
hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

Shimizu Y, Kataoka M, Seto H, Kido J, Nagta T. 2002. Nifedipine induces gingival


epithelial hyperplasia in rats through inhibition of apoptosis.)
Florio O et al., 2012. Nifedipine Induced Gingival Overgrowth

Anda mungkin juga menyukai