Pembimbing:
dr. Martanta
Oleh:
Tasya Monica
21360020
Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini dengan
judul “BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)” penyusunan tugas ini di
maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi Tugas yang di berikan
pembimbing.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
2.1. Definisi....................................................................................................... 2
2.2. Epidemiologi.............................................................................................. 2
2.3. Anatomi Prostat......................................................................................... 3
2.4. Etiologi....................................................................................................... 4
2.5. Zona Kelenjar Prostat................................................................................ 5
2.6. Gambaran Klinis........................................................................................ 5
2.7. Faktor Resiko............................................................................................. 6
2.8. Patofisologi......................................................................................................... 7
2.9. Diagnosis............................................................................................................ 8
2.10. Pemeriksaan Fisik............................................................................................... 9
2.11. Pemeriksaan Penunjang...................................................................................... 10
2.12. Komplikasi......................................................................................................... 12
2.13. Penatalaksanaan.................................................................................................. 13
3.1. Kesimpulan................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 25
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan pada
pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya
merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel
kelenjar prostat.
Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun
ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Adanya
BPH ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi
obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan
yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu pembedahan.
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang
penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari
kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan
adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu
tanda dari keganasan prostat.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Benigna Prostat Hiperplasia adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat
mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain itu,
BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada
laki-laki yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut (Cosemary A, 2005).
2.2. Epidemiologi
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat
hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti
belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata
umur penderita berusia 66 tahun (Wei JT, Calhoun E, Jacobsen SJ, 2005).
2
2.3 Anatomi Prostat
Prostat merupakan organ kelenjar dari sistem reproduksi pria. Merupakan kelenjar
yang terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas.
Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan vesica urinaria, uretra, ureter, vas deferens
dan vesica seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul dan dapat diraba pada
pemeriksaan pemeriksaan colok dubur. Ukuran prostat normal adalah tinggi 3 cm yang
merupakan diameter vertikal, lebar 4 cm pada dasar transversal dan lebar anteroposterior 2,5
cm dan dilewati oleh urethra pars prostatica (Kozar Cosemary A, 2005).
3
retropubica (cavum retzii) dan ligamentum puboprostaticum. Ligamentum puboprostaticum
menghubungkan selibung fibrosa prostat dengan facies posterior (Kozar Cosemary A, 2005).
Prostat dikelilingi oleh capsula prostatica yakni jaringan ikat pada permukaan prostat.
Diluar kapsula terdapat fascia prostatica, yang membungkus capsula prostatica, merupakan
bagian dari lapisan visceral fascia pelvis, yang kearah caudal melanjutkan diri menjadi fascia
diaphragmatic urogenitalis superior pada synphisis osseum pubis oleh ligamentum
puboprostaticum mediale (ligamentum pubovesicale). Selain difiksasi oleh ligamentum
puboprostaticum mediale yang mengandung m.pubroprostaticus, juga difiksasi oleh
ligamentum puboprostaticum laterale pada arcus tendineus fascia pelvis (Kozar Cosemary A,
2005).
2.4. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hyperplasia
prostat ; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah : (1) teori
dihidrotestoteron, (2) adanya ketidak seimbangan antara estrogen- testosterone, (3) interaksi
antara sel stroma dan epitel prostat, (4) berkurangnnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori
stem sel (Basuki B.purnomo , 2014).
4
2.5. Zona Kelenjar Prostat
Gambar 3 : Pembesaran prostat benign menyebabkan penyempitan uretra posterior, A.Skema anatomi
zona kelenjar prostat normal, B. Hiperplasia prostat terjadi pada zona transisional menyebabkan
penyempitan lumen uretra posterior.
McNeal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain : zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretra.
Sebagian besar hyperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer (Basuki B.purnomo , 2014).
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di
luar saluran kemih.
6
5. Konsumsi daging merah
6. Sindrom metabolic
7. Inflamasi kronik pada prostat
2.8. Patofisologi
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan keseluruh bagian buli – buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urine dari buli – buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat
jatuh kedalam gagal ginjal (Basuki B.purnomo, 2014).
Obstruksi yang diakibatkan oleh hyperplasia prostat benign tidak hanya disebabkan
oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh
tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli –
buli. Otot polos itu di persarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus
(Basuki B.purnomo, 2014).
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen tsroma terhadap epitel. Kalau pada
prostat normal rasio stroma disbanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH rasio meningkat
menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat
dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini masa prostat yang menyebabkan
obstruksi komponen static sedngan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik
sebagai penyebab obstruksi prostat (Basuki B.purnomo, 2014).
7
2.9. Diagnosis
8
2.10. Pemeriksaan fisik
Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat
retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes yang merupakan
pertanda dari inkontinensia paradoksa.
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal,
permukaan licin dan konsistensi kenyal. Pemeriksaan fisik apabila sudah
terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat
teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan
nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi
retensi total, buli-buli penuh (ditemukan massa supra pubis) yang nyeri dan
9
pekak pada perkusi. Daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk
mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk
melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan
gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis
daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus (Kozar Rosemary A,
2005).
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Sedimen Urine
b. Kultur Urine
c. Faal Ginjal
d. Gula Darah
10
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Ini merupakan pemeriksaan serum. PSA disentesis oleh sel epitel
prostat dan bersifat organ spesifik tapi bukan cancer specific. Kadar PSA
dapat meningkat pada saat retensio urin akut, dan akan menurun perlahan
setelah 72 jam pemasangan kateterisasi. Kadar PSA terus bertambah seiring
bertambahnya usia, namun apabila kadar PSA >4ng/ml pada pasien gejala
LUTS, ini memiliki resiko tinggi Ca Prostat, dipertimbangkan untuk di
lakukan biopsy.
3. Pemeriksaan lain
11
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urin. Aliran yang berkurang sering pada BPH.
Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s dan
terdapat peningkatan residu urin. Post-void residual mengukur jumlah air
seni yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah buang air kecil. PRV
kurang dari 50 mL umum menunjukkan pengosongan kandung kemih
yang memadai dan pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering
menunjukkan sumbatan. Pasien diminta untuk buang air kecil segera
sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG atau kateterisasi.
Keterangan :
2.12. Komplikasi
Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi kandung
kemih, nyeri suprapubik
12
Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba, tidak nyeri
Infeksi traktus urinaria
Batu buli
Hematuri
Inkontinensia-urgensi
Hidroureter
Hidronefrosis
2.13. Penatalaksanaan
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-
kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi
apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja. Namun di antara mereka akhirnya ada
yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya
semakin parah.
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi,
(2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4) mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan
(5) mencegah progresifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa,
pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasive.
BPH adalah penyakit yang progresif, yang artinya semakin bertambah usia, 1) volume
prostat semakin bertambah, 2) laju pancaran urine semakin menurun, 3) keluhan yang
berhubungan dengan miksi semakin bertambah, dan 4) penyulit yang terjadi semakin banyak;
di antaranya adalah retensi urine sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan. Salah satu
marker untuk meramalkan progresifitas prostat adalah serum PSA. Semakin tinggi nilai PSA
(setelah disingkirkan tidak ada kanker prostat), semakin besar kemungkinan BPH
menimbulkan masalah.
a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-
hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya,
misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
13
malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi
buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza
yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan
asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor
yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu
urine, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada
sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
Konservatif dilakukan apabila skor IPSS >7. Watchful waiting ini
pasien diberikan penjelasan mengenai segala sesuatu hal yang mungkin
dapat membperburuk keadaan. (1) Jangan banyak minum dan konsumsi
kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) Batasi penggunaan obat –
obatan influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (3) Jangan
menahan kencing terlalu lama. Pasien diminta untuk datang kontrol
berkala ( 3-6 bulan) untuk menilai perubahan keluhan dirasakan.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik a
(adrenergik ablocker) dan (2) mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidotestosteron (DHT) melalui penghambat 5a-redukstase.
Selain kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai obat golongan
fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.
14
menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya
adalah hipotensi postural dan kelainan kardiovaskuler lain.
Diketemukannya obat penghambat adrenergik-a1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada a 2 dari
fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat penghambat adrenergik-a1
adalah: prazosin yang diberikan dua kali sehari, kemudian menyusul
terazosin, afluzosin, dan doksazosin yang diberikan sekali sehari. Obat-
obatan golongan ini dilaporkan dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju
pancaran urine.
Akhir-akhir ini telah diketemukan pula golongan penghambat
adrenergik-a₁A , yaitu tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos
prostat. Dilaporkan bahwa obat ini mampu memperbaiki pancaran miksi
tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.
INVANSIF
OBSERVASI MEDIKA MENTOSA OPERASI
MINIMAL
Menunggu Penghambat adrenergic -ɑ Postatektomi terbuka TUMT
(Watchful Penghambat reductase -ɑ Endurologi : TUBD
waiting) Fitrofarmaka TUR P Stent uretra
Hormonal TUIP TUNA
TULP
Elektrovaporasi
15
Efek klinis dari pemberian finasteride atau dutasterid dapat terlihat setelah
6 bulan. Efek samping kedua obat : Disfungsi ereksi, Penurunan libido,
Ginekomastia, Muncul bercak kemerahan di kulit
e. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data farmakologis
tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat
fitofarmaka sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan
fitofarmaka bekerja sebagai: anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan
kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast
growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan
metabolisme prostaglandin, efek anti-inflamasi, menurunkan outflow
resistance, dan memperkecil volume prostat. Diantara fitoterapi yang
banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.
f. Operasi
- Pembedahan
16
- Pembedahan terbuka
- Pembedahan Endourologi
17
terbuka. Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan dengan
memakai tenaga elektrik TURP (Transurethral Resection of the
Prostate) atau dengan memakai energi Laser. Operasi terhadap prosat
berupa reseksi (TURP), insisi (TUIP), atau evaporasi. Pada TURP,
kelenjar prostat dipotong menjadi bagian-bagian kecil jaringan prostat
yang dinamakan cip prostat. Selanjutnya cip prostat akan dikeluarkan
dari buli-buli melalui evakuator Ellik.
18
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator
harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam.
Di samping itu beberapa operator memasang sistostomi suprapubik
terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi
penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan cairan non ionik lain
selain H₂O yaitu glisin dapat mengurangi resiko hiponatremia pada
TURP, tetapi karena harganya cukup mahal beberapa klinik urologi di
Indonesia lebih memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi.
Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat
operasi, pasca bedah dini, maupun pasca bedah lanjut.
- Elektrovaporisasi prostat
19
terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih
lama.
- Laser Prostatektomi
20
ditujukan untuk pasien yang mempunyai resiko tinggi terhadap
pembedahan. Tindakan invasif minimal itu diantaranya adalah: (1)
thermoterapi, (2) TUNA (Transurethral edle ablation of the prostate),
(3) pemasangan stent (prostacath), HIFU (High Intensity focused
ultrasound), dan dilatasi dengan balon (transurethral balloon dilatation).
- Termoterapi
- Stent
21
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi
obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di
antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga
urine dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat
dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang
selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak
mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas
kembali secara endoskopi.
Stent yang permanent terbuat dari anyaman dari bahan logam
super alloy, nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini
akan diliputi oleh urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus
membutuhkan anestesi umum atau regional.
Pemasangan alat ini diperuntukkkan bagi pasien yang tidak
mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup
tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior
atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah pemasangan kateter ini,
pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif,
perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis.
- Kontrol berkala
22
Paradigma klasik yang diyakini adalah bahwa pada peningkatan
volume prostat pada BPH akan menyumbat aliran urine, sehingga
menyebabkan keluhan miksi (LUTS). Prostatektomi bertujuan untuk
menghilangkan obstruksi dan dengan sendirinya akan menghilangkan
gejala LUTS. Ternyata paradigma ini tidak semuanya benar. Dari studi
yang dilakukan oleh Neal et al, setelah melakukan follow up sampai 11
bulan, didapatkan bahwa prostatektomi memang akan menghilangkan
gejala obstruksi (voiding), tetapi tidak menghilangkan gejala storage, di
antaranya adalah urgensi (pada 50 % pasien). Studi urodinamika
ternyata didapatkan kelaianan berupa disfungsidetrusor, terutama
overaktivitas detrusor pada 64%.
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan
pengobatan perlu kontrol secara teratur untuk mengetahui
perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol tergantung pada tindakan
apa yang sudah dijalaninya. Pasien yang hanya mendapatkan
pengawasan (watchful waiting) dianjurkan kontrol setelah 6 bulan,
kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan
klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS, uroflometri,
dan residu urine pasca miksi.
Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5a-reduktase
harus dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai
respon terhadap terapi. Kemudian setiap tahun untuk menilai
perubahan gejala miksi. Pasien yang menjalani pengobatan
penghambat 5a-adrenergik harus dinilai respons terhadap pengobatan
setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri,
dan residu urine pasca miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala tanpa
menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan.
Selanjutnya kontrol dilakukan setelah 6 bulan dan kemudian setiap
tahun. Pasien setelah menerima pengobatan secara medikamentosa dan
tidak menunjukkan tanda perbaikan perlu dipikirkan tindakan
pembedahan atau terapi intervensi yang lain.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling
lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk
23
mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapatkan terapi invasif
minimal harus menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu
lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Seto.
2. Wei JT, Calhoun E, Jacobsen SJ. Urologic diseases in America project: benign prostatic
hyperplasia. J Urol 2005, 173:1256–61.
th
3. Kozar Cosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery 8 Edition.
Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.
4. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa aksara,
Jakarta ; 161-703
5. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan. EGC. 1994.
6. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah, EGC,
Jakarta, 1997; 1058-64
7. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan
penerbit IDI, Jakarta ; 1-52.
25