Anda di halaman 1dari 28

PAPER

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)


Makalah ini dibuat sebagai salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
SMF Bedah di Rumah Sakit Haji Medan

Pembimbing:

dr. Martanta
Oleh:

Tasya Monica

21360020

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF BEDAH


RSU HAJI MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MALAHAYATI LAMPUNG
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini dengan
judul “BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)” penyusunan tugas ini di
maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi Tugas yang di berikan
pembimbing.

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Martanta selaku pembimbing


dalam kepaniteraan klinik senior smf bedah serta dalam penyelesaian makalah ini. Dalam
penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan,
baik dari segi penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharpkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan datang.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang........................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 2

2.1. Definisi....................................................................................................... 2
2.2. Epidemiologi.............................................................................................. 2
2.3. Anatomi Prostat......................................................................................... 3
2.4. Etiologi....................................................................................................... 4
2.5. Zona Kelenjar Prostat................................................................................ 5
2.6. Gambaran Klinis........................................................................................ 5
2.7. Faktor Resiko............................................................................................. 6
2.8. Patofisologi......................................................................................................... 7
2.9. Diagnosis............................................................................................................ 8
2.10. Pemeriksaan Fisik............................................................................................... 9
2.11. Pemeriksaan Penunjang...................................................................................... 10
2.12. Komplikasi......................................................................................................... 12
2.13. Penatalaksanaan.................................................................................................. 13

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 24

3.1. Kesimpulan................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan pada
pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya
merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel
kelenjar prostat.

Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun
ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Adanya
BPH ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi
obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan
yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu pembedahan.

Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang
penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari
kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan
adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu
tanda dari keganasan prostat.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Benigna Prostat Hiperplasia adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat
mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain itu,
BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada
laki-laki yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut (Cosemary A, 2005).

Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya hyperplasia


pada sel stroma dan epitel sekitar kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH tumbuh pada pria
yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan testosterone.

Gambar 1. Normal Prostat dan Prostat yang Membesar.

2.2. Epidemiologi

BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat
hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti
belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata
umur penderita berusia 66 tahun (Wei JT, Calhoun E, Jacobsen SJ, 2005).

2
2.3 Anatomi Prostat

Gambar 2. Anatomi Prostat

Prostat merupakan organ kelenjar dari sistem reproduksi pria. Merupakan kelenjar 
yang terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas.
Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan vesica urinaria, uretra, ureter, vas deferens
dan vesica seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul dan dapat diraba pada
pemeriksaan pemeriksaan colok dubur. Ukuran prostat normal adalah tinggi 3 cm yang
merupakan diameter vertikal, lebar 4 cm pada dasar transversal dan lebar anteroposterior 2,5
cm dan dilewati oleh urethra pars prostatica (Kozar Cosemary A, 2005).

Prostat merupakan glandula fibromuskular yang mempunyai bentuk seperti piramid


bentuk seperti piramid terbalik dengan basis (basis prostatae) menghadap ke arah collum
vesicae. Basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesicae urinaria, otot polos berjalan
tanpa terputus dari satu organ ke organ lain. urethra masuk bagian tengah dari basis prostat
(Kozar Cosemary A, 2005).

Apex (apex prostate) menghadap kearah diafragma urogenitale. Urethra


meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior. Facies anterior berbentuk
konveks, fascies posterior berbentuk agak konkaf dan dua buah facies infero-lateralis. Fascies
anterior berada 2,5 cm disebelah dorsal facies posterior symphysis osseum pubis. Celah yang
terbentuk ini terisi oleh jaringan lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum

3
retropubica (cavum retzii) dan ligamentum puboprostaticum. Ligamentum puboprostaticum
menghubungkan selibung fibrosa prostat dengan facies posterior (Kozar Cosemary A, 2005).

Facies posterior prostat menghadap kearah rectum, berhubungan erat dengan


permukaan anterior ampulla recti dan dipisahkan oleh septum rectovesicalis
( fascia/ligamentum denoviller).

Prostat dikelilingi oleh capsula prostatica yakni jaringan ikat pada permukaan prostat.
Diluar kapsula terdapat fascia prostatica, yang membungkus capsula prostatica, merupakan
bagian dari lapisan visceral fascia pelvis, yang kearah caudal melanjutkan diri menjadi fascia
diaphragmatic urogenitalis superior pada synphisis osseum pubis oleh ligamentum
puboprostaticum mediale (ligamentum pubovesicale). Selain difiksasi oleh ligamentum
puboprostaticum mediale yang mengandung m.pubroprostaticus, juga difiksasi oleh
ligamentum puboprostaticum laterale pada arcus tendineus fascia pelvis (Kozar Cosemary A,
2005).

2.4. Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hyperplasia
prostat ; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah : (1) teori
dihidrotestoteron, (2) adanya ketidak seimbangan antara estrogen- testosterone, (3) interaksi
antara sel stroma dan epitel prostat, (4) berkurangnnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori
stem sel (Basuki B.purnomo , 2014).

4
2.5. Zona Kelenjar Prostat

Gambar 3 : Pembesaran prostat benign menyebabkan penyempitan uretra posterior, A.Skema anatomi
zona kelenjar prostat normal, B. Hiperplasia prostat terjadi pada zona transisional menyebabkan
penyempitan lumen uretra posterior.

McNeal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain : zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretra.
Sebagian besar hyperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer (Basuki B.purnomo , 2014).

2.6. Gambaran Klinis

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di
luar saluran kemih.

a) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah


Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala voiding,
storage, dan pasca miksi. Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi
otot buli – buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli – buli mengalami
kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan
dalam bentuk retensi urine akut (Basuki B.purnomo, 2014).
Timbulnya dekompensasi buli –buli biasanya didahului oleh beberapa factor
pencetus, antara lain : (1) volume buli – buli tiba – tiba terisi penuh, yaitu pada cuaca
dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat – obatan atau minuman
yang mengandung diuretikum (alcohol,kopi), dan minum air dalam jumlah yang
berlebihan, (2) massa prostat tiba - tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas
seksual atau mengalami infeksi prostat akut, dan (3) setelah mengkonsumsi obat –
5
obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit
leher buli – buli, antara lain : golongan antikolinergik atau adenergik alfa (Basuki
B.purnomo, 2014).

b) Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hyperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas
berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang meupakan tanda dari infeksi
atau urosepsis (Basuki B.purnomo, 2014).

c) Gejala di luar saluran kemih


Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada
saat miksi sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intra-abdominalis (Basuki
B.purnomo, 2014).
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli – buli yang terisi penuh dan
teraba massa kistus didaerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadamg – kadang
didapatkan urine yang selalu menetas tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan
tanda dari inkontensia paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan : (1) tonus sfingter
ani/reflex bulbo – kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli – buli
neurogenic, (2) mukosa rectum, dan (3) keadaan prostat, antara lain : kemungkinan
adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetris antara lobus dan batas prostat
(Basuki B.purnomo, 2014).
Colok dubur pada pembesaran prostat benign menunjukan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didaptkan
nodul ; sedangkan pada karsiboma prostat, konsistensi prostat keras/teraba nodul dan
mungkin di antara lobus prostat tidak simetris (Basuki B.purnomo, 2014).

2.7. Faktor Resiko

1. Hormonal ( terutama testosterone), estrogen dan prolactin


2. Obesitas
3. Diet rendah serat
4. Konsumsi vitamin E

6
5. Konsumsi daging merah
6. Sindrom metabolic
7. Inflamasi kronik pada prostat

2.8. Patofisologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan


menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urine, buli – buli harus berkontraksi lebih kuat berguna melawan tahanan
itu. Kontraksi yang terus – menerus ini menyebabkan perubahan anatomic buli – buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikal buli – buli.
Perubahan struktur pada buli – buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus (Basuki B.purnomo, 2014).

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan keseluruh bagian buli – buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urine dari buli – buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat
jatuh kedalam gagal ginjal (Basuki B.purnomo, 2014).

Obstruksi yang diakibatkan oleh hyperplasia prostat benign tidak hanya disebabkan
oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh
tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli –
buli. Otot polos itu di persarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus
(Basuki B.purnomo, 2014).

Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen tsroma terhadap epitel. Kalau pada
prostat normal rasio stroma disbanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH rasio meningkat
menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat
dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini masa prostat yang menyebabkan
obstruksi komponen static sedngan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik
sebagai penyebab obstruksi prostat (Basuki B.purnomo, 2014).

7
2.9. Diagnosis

Menegakan diagnosis dimulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik sampai dengan


pemeriksaan penunjang. Anamnesis pasien dapat diarahkan dengan pertanyaan keluhan
gejala iritasi, obstruksi dan post miksi. Dari keluhan subjektif pasien kita nilai dengan
penilaian objektif yaitu menggunakan skoring IPPS (International Prostate Symptom Score ).
IPPS terdiri dari 7 pertanyaan yang masing – masing memiliki nilai 0-5 dengan total
maksimal skor 35. IPPS selain menentukan berat –ringannya keluhan pasien BPH, skoring ini
jiga dapat sebagai pertimbangan dalam menentukan terapi (Basuki B.purnomo, 2014).

Tabel 1. Skor IPSS

8
2.10. Pemeriksaan fisik

Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat
retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes yang merupakan
pertanda dari inkontinensia paradoksa.

1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )


Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan
gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain
sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan:
- Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal
- Pembesaran prostat dan sulcus pada prostat
- Permukaan prostat, bernodul atau tidak (adanya nodul merupakan
salah satu tanda keganasan).
- Nyeri atau tidak

Gambar 4. Pemeriksaan Colok Dubur.

Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal,
permukaan licin dan konsistensi kenyal. Pemeriksaan fisik apabila sudah
terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat
teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan
nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi
retensi total, buli-buli penuh (ditemukan massa supra pubis) yang nyeri dan

9
pekak pada perkusi. Daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk
mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk
melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan
gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis
daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus (Kozar Rosemary A,
2005).

Tabel 2. Derajat Hipertrofi Prostat

2.11. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Sedimen Urine

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada


saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit, bakteri, protein atau
glukosa.

b. Kultur Urine

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus


menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

c. Faal Ginjal

Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih


bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk insufisiensi ginjal
kronis pada pasien yang memiliki postvoid residu (PVR) yang tinggi.

d. Gula Darah

Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang dapat


menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik).

10
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Ini merupakan pemeriksaan serum. PSA disentesis oleh sel epitel
prostat dan bersifat organ spesifik tapi bukan cancer specific. Kadar PSA
dapat meningkat pada saat retensio urin akut, dan akan menurun perlahan
setelah 72 jam pemasangan kateterisasi. Kadar PSA terus bertambah seiring
bertambahnya usia, namun apabila kadar PSA >4ng/ml pada pasien gejala
LUTS, ini memiliki resiko tinggi Ca Prostat, dipertimbangkan untuk di
lakukan biopsy.

2. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia

a. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)


Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe
dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di prostat.
Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar prostat pada
layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah yang abnormal
tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar USG untuk
memandu jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai. Jarum mengumpulkan
beberapa potong jaringan prostat untuk pemeriksaan dengan mikroskop.
Biopsy terutama dilakukan untuk pasien yang dicurigai memiliki
keganasan prostat.
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk
pengukur volume prostat, caranya antara lain :

 Metode “step planimetry”. Yang menghitung volume rata-rata area


horizontal diukur dari dasar sampai puncak.

 Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi


(H/height) lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan rumus :
½ (H x W x L)

3. Pemeriksaan lain

a. Pancaran urin/flow rate :

11
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urin. Aliran yang berkurang sering pada BPH.
Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s dan
terdapat peningkatan residu urin. Post-void residual mengukur jumlah air
seni yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah buang air kecil. PRV
kurang dari 50 mL umum menunjukkan pengosongan kandung kemih
yang memadai dan pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering
menunjukkan sumbatan. Pasien diminta untuk buang air kecil segera
sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG atau kateterisasi.

Grafik 1. Pancaran Urin Normal dan pada BPH

Keterangan :

- Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik,


aliran urin lebih dari 15mL/s, urin residu 9 mL pada
ultrasonografi.

- Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna


hyperplasia prostat, terlihat waktu berkemih memanjang
dengan aliran urin kurang dari 10mL/s, pasien ini urin
residunya 100 mL.

2.12. Komplikasi

 Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi kandung
kemih, nyeri suprapubik

12
 Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba, tidak nyeri
 Infeksi traktus urinaria
 Batu buli
 Hematuri
 Inkontinensia-urgensi
 Hidroureter
 Hidronefrosis

2.13. Penatalaksanaan

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-
kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi
apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja. Namun di antara mereka akhirnya ada
yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya
semakin parah.

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi,
(2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4) mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan
(5) mencegah progresifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa,
pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasive.

BPH adalah penyakit yang progresif, yang artinya semakin bertambah usia, 1) volume
prostat semakin bertambah, 2) laju pancaran urine semakin menurun, 3) keluhan yang
berhubungan dengan miksi semakin bertambah, dan 4) penyulit yang terjadi semakin banyak;
di antaranya adalah retensi urine sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan. Salah satu
marker untuk meramalkan progresifitas prostat adalah serum PSA. Semakin tinggi nilai PSA
(setelah disingkirkan tidak ada kanker prostat), semakin besar kemungkinan BPH
menimbulkan masalah.

a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-
hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya,
misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
13
malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi
buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza
yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan
asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor
yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu
urine, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada
sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
Konservatif dilakukan apabila skor IPSS >7. Watchful waiting ini
pasien diberikan penjelasan mengenai segala sesuatu hal yang mungkin
dapat membperburuk keadaan. (1) Jangan banyak minum dan konsumsi
kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) Batasi penggunaan obat –
obatan influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (3) Jangan
menahan kencing terlalu lama. Pasien diminta untuk datang kontrol
berkala ( 3-6 bulan) untuk menilai perubahan keluhan dirasakan.

b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik a
(adrenergik ablocker) dan (2) mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidotestosteron (DHT) melalui penghambat 5a-redukstase.
Selain kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai obat golongan
fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.

c. Penghambat reseptor adrenergic - ɑ


Caine adalah yang pertama kali melaporkan penggunaan obat
penghambat adrenergik a sebagai salah satu terapi BPH. Pada saat itu
dipakai fenoksibenzamin, yaitu penghambat alfa yang tidak selektif yang
ternyata mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi
keluhan miksi. Sayangnya obat ini tidak disenangi oleh pasien karena

14
menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya
adalah hipotensi postural dan kelainan kardiovaskuler lain.
Diketemukannya obat penghambat adrenergik-a1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada a 2 dari
fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat penghambat adrenergik-a1
adalah: prazosin yang diberikan dua kali sehari, kemudian menyusul
terazosin, afluzosin, dan doksazosin yang diberikan sekali sehari. Obat-
obatan golongan ini dilaporkan dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju
pancaran urine.
Akhir-akhir ini telah diketemukan pula golongan penghambat
adrenergik-a₁A , yaitu tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos
prostat. Dilaporkan bahwa obat ini mampu memperbaiki pancaran miksi
tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.

INVANSIF
OBSERVASI MEDIKA MENTOSA OPERASI
MINIMAL
Menunggu Penghambat adrenergic -ɑ Postatektomi terbuka TUMT
(Watchful Penghambat reductase -ɑ Endurologi : TUBD
waiting) Fitrofarmaka TUR P Stent uretra
Hormonal TUIP TUNA
TULP
Elektrovaporasi

Tabel 3. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benign

d. Penghambat 5 ɑ -redukstase (5 Alfa Reduktase inhibitor / 5 ARI)

Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan


dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron yang dikatalisis oleh enzim 5 a-
redukstase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan
sintesis protein dan replikasi sel prostat menurun. Preparat yang tersedia
mula-mula adalah Finasteride, yang menghambat 5 a reduktase tipe
2.Dilaporkan bahwa pemberian obat ini5 mg sehari yang diberikan sekali
setelah enam bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%;
hal ini memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Saat ini telah
tersedia preparat yang menghambat enzim 5 aAR tipe 1 dan tipe 2 (dual
inhibitor), yaitu Duodart. Contoh obat : Finasteride : digunakan bila
volume prostat >40 ml, Dutasterid : digunakan bila volume prostat >30 ml.

15
Efek klinis dari pemberian finasteride atau dutasterid dapat terlihat setelah
6 bulan. Efek samping kedua obat : Disfungsi ereksi, Penurunan libido,
Ginekomastia, Muncul bercak kemerahan di kulit

e. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data farmakologis
tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat
fitofarmaka sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan
fitofarmaka bekerja sebagai: anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan
kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast
growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan
metabolisme prostaglandin, efek anti-inflamasi, menurunkan outflow
resistance, dan memperkecil volume prostat. Diantara fitoterapi yang
banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.

f. Operasi

- Pembedahan

Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang


yang paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-
obatan atau terapi non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu
yang sangat lama untuk melihat hasil terapi.

Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala


obstruksi dan miksi yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan
dengan cara operasi terbuka, reseksi prostat transuretra (TURP), atau
insisi prostat transuretra (TUIP atau BNI). Pembedahan
direkomendasikan pada pasien BPH yang: (1) tidak menunjukkan
perbaikan setelah terapi medikamentosa, (2) mengalami retensi urine,
(3) infeksi saluran kemih berulang. (4) hematuria, (5) gagal ginjal, dan
(6) timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi
saluran kemih bagian bawah.

16
- Pembedahan terbuka

Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah


metode dari Millin, yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui
pendekatan retropubik infravesika, Freyer melalui pendekatan
suprapubik transvesika, atau transperineal. Prostatektomi terbuka
adalah tindakan yang paling tua yang masih banyak dikerjakan saat ini,
paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH. Prostatektomi
terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprubik transvesikal
(Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Prostatektomi terbuka
dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100 gram).

Gambar 5. Berbagai teknik prostatektomi.

Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah:


inkontinensia urine (3 %), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograd (60-
80 %), dan kontraktur leher buli-buli (3-5 %). Dibandingkan dengan
TURP dan BNI, penyulit yang terjadi berupa striktura uretra dan
ejakulasi retrograd lebih banyak dijumpai pada prostatektomi terbuka.
Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100%, dan angka mortalitas
sebanyak 2%.

- Pembedahan Endourologi

Saat ini tindakan TURP merupakan operasi paling banyak


dikerjakan di seluruh dunia. Operasi ini lebih disenangi karena tidak
diperlukan insisi pada kulit perut, massa mondok lebih cepat, dan
memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan tindakan operasi

17
terbuka. Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan dengan
memakai tenaga elektrik TURP (Transurethral Resection of the
Prostate) atau dengan memakai energi Laser. Operasi terhadap prosat
berupa reseksi (TURP), insisi (TUIP), atau evaporasi. Pada TURP,
kelenjar prostat dipotong menjadi bagian-bagian kecil jaringan prostat
yang dinamakan cip prostat. Selanjutnya cip prostat akan dikeluarkan
dari buli-buli melalui evakuator Ellik.

Gambar 6. Cip hasil reseksi (Kerokan) TURP.

- TURP (Reseksi Prostat Trasuretra)

Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan


mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang
dipergunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar
tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering
dipakai dan harganya cukup murah yaitu H₂O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh
darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H₂O dapat
menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air
atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan
pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah
meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien
akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan
meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99
%.

18
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator
harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam.
Di samping itu beberapa operator memasang sistostomi suprapubik
terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi
penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan cairan non ionik lain
selain H₂O yaitu glisin dapat mengurangi resiko hiponatremia pada
TURP, tetapi karena harganya cukup mahal beberapa klinik urologi di
Indonesia lebih memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi.
Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat
operasi, pasca bedah dini, maupun pasca bedah lanjut.

Tabel 4. SELAMA OPERASI PASCA BEDAH DINI PASCA BEDAH LANJUT


Berbagai Penyulit Perdarahan Perdarahan Inkontensi
Sindroma TRUP Infeksi local atau sistemik Disfungsi ereksi
TURP, Selama
Perforasi Ejakulasi retrogard
Maupun Setelah
Striktura uretra
Pembedahan.

Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada


pembesaran lobus medius, dan pada pasien yang umurnya masih muda
hanya diperlukan insisi kelenjar prostat atau TUIP (transurethral
incision of the prostate) atau insisi leher buli-buli atau BNI (bladder
neck incision). Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan
kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan melakukan colok
dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal, dan
pengukuran kadar PSA.

- Elektrovaporisasi prostat

Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP,


hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan
mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisisai
kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan
perdarahan pada saat operasi, dan masa mondok di rumah sakit lebih
singkat. Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat yang tidak

19
terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih
lama.

- Laser Prostatektomi

Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun


1986, yang dari tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4
jenis energi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium: YAG, KTP:
YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle
fibre, atau intersitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-65°C akan
mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100°C mengalami
vaporisasi.
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser
ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara
poliklinis, penyembuhan lebih cepat, dan dengan hasil yang kurang
lebih sama. Sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap
tahun. Kekurangannya adalah: tidak dapat diperoleh jaringan untuk
pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak
menimbulkan disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2
bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi, dan peak
flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP.

Penggunaan pembedahan dengan energi Laser telah


berkembang dengan pesat akhir-akhir ini. Penelitian klinis memakai
Nd:YAG menunjukkan hasil yang hampir sama dengan cara
desobstruksi TURP, terutama dalam perbaikan skor miksi dan pancaran
urine. Meskipun demikian efek lebih lanjut dari Laser masih belum
diketahui dengan pasti. Teknik ini dianjurkan pada pasien yang
memakai terapi antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak
mungkin dilakukan tindakan TURP karena kesehatannya.

- Tindakan invasif minimal

Selain tindakan invasif seperti yang telah disebutkan di atas,


saat ini sedang dikembangkan tindakan invasif minimal yang terutama

20
ditujukan untuk pasien yang mempunyai resiko tinggi terhadap
pembedahan. Tindakan invasif minimal itu diantaranya adalah: (1)
thermoterapi, (2) TUNA (Transurethral edle ablation of the prostate),
(3) pemasangan stent (prostacath), HIFU (High Intensity focused
ultrasound), dan dilatasi dengan balon (transurethral balloon dilatation).

- Termoterapi

Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan


gelombang mikro pada frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan
melalui antena yang diletakkan di dalam uretra. Dengan pemanasan
yang melebihi 44° C menyebabkan destruksi jaringan pada zona
transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Prosedur ini dapat
dikerjakan secara poliklinis tanpa pemberian pembiusan.
Energi panas yang bersamaan dengan gelombang mikro
dipancarkan melalui kateter yang terpasang di dalam uretra. Besar dan
arah pancaran energi diatur melalui sebuah komputer sehingga dapat
melunakkan jaringan prostat yang membuntu uretra. Morbiditasnya
relatif rendah, dapat dilakukan tanpa anestesi, dan dapat dijalani oleh
pasien yang kondisinya kurang baik jika menjalani pembedahan. Cara
ini direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.

- TUNA (Transurethral needle ablation of the prostate)

Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang


menimbulkan panas sampai mencapai 100° C, sehingga menyebabkan
nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang
dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada
frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra melalui
sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine sehingga jarum
yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat Pasien
sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi
urine, danepididimo-orkitis.

- Stent

21
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi
obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di
antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga
urine dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat
dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang
selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak
mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas
kembali secara endoskopi.
Stent yang permanent terbuat dari anyaman dari bahan logam
super alloy, nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini
akan diliputi oleh urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus
membutuhkan anestesi umum atau regional.
Pemasangan alat ini diperuntukkkan bagi pasien yang tidak
mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup
tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior
atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah pemasangan kateter ini,
pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif,
perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis.

- HIFU (High intensity focused ultrasound)

Energi panas yang ditujukan untuk menim-bulkan nekrosis pada


prostat berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser
piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi
dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan ke
kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data klinis
menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60 % dan Qax rata-rata
meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui,
dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10%
setiap tahun. Meskipun sudah banyak modalitas yang telah
diketemukan untuk mengobati pembesaran prostat, sampai saat ini
terapi yang memberikan hasil paling memuaskan adalah TUR Prostat.

- Kontrol berkala

22
Paradigma klasik yang diyakini adalah bahwa pada peningkatan
volume prostat pada BPH akan menyumbat aliran urine, sehingga
menyebabkan keluhan miksi (LUTS). Prostatektomi bertujuan untuk
menghilangkan obstruksi dan dengan sendirinya akan menghilangkan
gejala LUTS. Ternyata paradigma ini tidak semuanya benar. Dari studi
yang dilakukan oleh Neal et al, setelah melakukan follow up sampai 11
bulan, didapatkan bahwa prostatektomi memang akan menghilangkan
gejala obstruksi (voiding), tetapi tidak menghilangkan gejala storage, di
antaranya adalah urgensi (pada 50 % pasien). Studi urodinamika
ternyata didapatkan kelaianan berupa disfungsidetrusor, terutama
overaktivitas detrusor pada 64%.
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan
pengobatan perlu kontrol secara teratur untuk mengetahui
perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol tergantung pada tindakan
apa yang sudah dijalaninya. Pasien yang hanya mendapatkan
pengawasan (watchful waiting) dianjurkan kontrol setelah 6 bulan,
kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan
klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS, uroflometri,
dan residu urine pasca miksi.
Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5a-reduktase
harus dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai
respon terhadap terapi. Kemudian setiap tahun untuk menilai
perubahan gejala miksi. Pasien yang menjalani pengobatan
penghambat 5a-adrenergik harus dinilai respons terhadap pengobatan
setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri,
dan residu urine pasca miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala tanpa
menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan.
Selanjutnya kontrol dilakukan setelah 6 bulan dan kemudian setiap
tahun. Pasien setelah menerima pengobatan secara medikamentosa dan
tidak menunjukkan tanda perbaikan perlu dipikirkan tindakan
pembedahan atau terapi intervensi yang lain.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling
lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk
23
mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapatkan terapi invasif
minimal harus menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu
lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada


populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat bertambah karena
terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel kelenjar (jaringan dalam
kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini terdiri dari gejala obstruksidan gejala
iritatif.

Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah


konvensional, dan terapi minimal invasif. Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak
dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH
yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi
kanker prostat.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Seto.
2. Wei JT, Calhoun E, Jacobsen SJ. Urologic diseases in America project: benign prostatic
hyperplasia. J Urol 2005, 173:1256–61.
th
3. Kozar Cosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery 8 Edition.
Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.
4. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa aksara,
Jakarta ; 161-703
5. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan. EGC. 1994.
6. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah, EGC,
Jakarta, 1997; 1058-64
7. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan
penerbit IDI, Jakarta ; 1-52.

25

Anda mungkin juga menyukai