Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH ISLAM DAN PERADABAN MELAYU

SEJARAH KESULTANAN DI PALEMBANG, JAMBI DAN

SUMATERA UTARA

Disusun Oleh :
1. Ani Yutia Pratiwi (1830206062)
2. Putri Cantika Ramananda (1910206011)
3. Nia Trijayanti (1920206037)

Dosen Pengampu :
Dina Ariani, M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Swt Tuhan Semesta Alam. Atas segala karunia nikmat-Nya
sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul
“Sejarah Kesultanan Di Palembang, Jambi Dan Sumatera Utara” ini disusun dalam rangka
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Islam dan Peradaban Melayu yang diampu oleh Ibu Dina
Ariani, M.Ag.
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar penulis dan pembaca dapat menambah wawasan
mengenai sejarah dan kesultanan di Palembang, Jambi dan Sumatera Utara. Penulis sudah
berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan informasi terkait materi tersebut dengan
berbagai sumber baik itu buku, ebook dan jurnal.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mohon maaf atas kesalahan dan ketaksempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran untuk
perbaikan makalah ini lebih baik lagi kedepannya.
Wassalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Palembang, 9 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................... 1
C. Tujuan........................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................... 2
A. Sejarah Kesultanan Palembang.................................................................................. 2
1. Masa pembentukan Kesultanan Palembang................................................... 2
2. Masa kejayaan Kesultanan Palembang.......................................................... 4
3. Masa berakhirnya Kesultanan Palembang dan pengaruhnya......................... 8
4. Silsilah Raja-Raja Kesultanan Palembang..................................................... 11
5. Peninggalan Kesultanan Palembang.............................................................. 12
B. Sejarah Kesultanan Jambi.......................................................................................... 13
1. Masa pembentukan Kesultanan Jambi........................................................... 13
2. Masa kejayaan dan berakhirnya Kesultanan Jambi....................................... 14
3. Silsilah Raja-Raja Kesultanan Jambi............................................................. 15
4. Peninggalan Kesultanan Jambi...................................................................... 16
C. Sejarah Kesultanan Sumatera Utara........................................................................... 16
1. Kerajaan Haru Deli Tua................................................................................. 16
2. Kesultanan Deli.............................................................................................. 19
3. Kesultanan Serdang........................................................................................ 21
4. Sejarah Kesultanan Langkat........................................................................... 23
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 26
A. Kesimpulan................................................................................................................ 26
B. Saran........................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 28

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal kedatangan Islam, Pulau Sumatera termasuk daerah
pertama dan terpenting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia.
Dikatakan demikian mengingat letak Sumatra yang strategis dan
berhadapan langsung dengan jalur peradangan dunia, yakni Selat Malaka.
Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515)
dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka
dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang
besar maupun yang kecil.
Di antara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar dan
Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal,
Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku,
Panchur, dan Barus. Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut ada
yang sedang mengalami pertumbuhan, ada pula yang sedang mengalami
perkembangan, dan ada pula yang sedang mengalami keruntuhannya.
Wilayah-wilayah pesisir sumatera utara adalah daerah yang mula-
mula sekali mengenal islam karena geografisnya. Hal ini wajar sebab
dalam konteks abad 15 dan sebelumnya, perhubungan laut lebih intens
dari pada hubungan darat meskipun dalam satu pulau.
Pada Makalah ini akan dibahas mengenai sejarah kesultanan di
Palembang, Jambi dan Sumatera Utara.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Kesultanan di Palembang?
2. Bagaimana Sejarah Kesultanan di Jambi?
3. Bagaimana Sejarah Kesultanan di Sumatera Utara?
C. Manfaat
1. Untuk mengetahui Sejarah Kesultanan di Palembang.
2. Untul mengetahui Sejarah Kesultanan di Jambi.
3. Untuk mengetahui Sejarah Kesultanan di Sumatera Utara.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kesultanan di Palembang


1. Masa Pembentukan Kesultanan Palembang
Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di
Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan
sekarang. Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan
Abdurrahman, seorang bangsawan Palembang keturunan Jawa pada
tahun 1659. Kesultanan Palembang mulai muncul pada abad ke-17 M,
dan berkembang pada abad ke-19 M di kota Palembang, Sumatera
Selatan dan sekitarnya, baik disebelah sungai musi maupun di hulu dan
anak-anaknya, yang dikenal dengan batang hari sembilan. Lokasinya
tidak jauh dari kuala (kurang lebih 90 km) yang bermuara di selat
bangka. Kota Palembang semula termasuk bagian wilayah kerajaan
Buddha sriwijaya yang berkuasa dari tahun 683 m sampai tahun 1371
M.1
Asal usul nama Palembang mempunyai beberapa versi. Salah satu
versi mengaitkan Palembang dengan kata dalam bahasa Jawa, limbang,
yang berarti membersihkan biji atau logam dari tanah atau benda-
benda luar lain. Pemisahan dilakukan dengan bantuan alat berupa
keranjang kecil untuk mengayak tanah berkandungan logam atau biji
di aliran sungai. Pa adalah kata depan yang dipakai orang Jawa untuk
menunjuk suatu tempat berlangsungnya usaha atau keadaan. Versi ini
terkait erat dengan peran Palembang pada masa lalu sebagai tempat
mencuci emas dan biji timah. Versi lain menghubungkan Palembang
dengan kata lemba, yang berarti tanah yang dihanyutkan air ke tepi. 2
Kedua versi ini secara jelas mengindikasikan pentingnya air
sebagai elemen lanskap lingkungan Palembang. Hal tersebut tidaklah
1
Mardanas Safwan, Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1852) (Jakarta: Bharata, 2004), hlm. 30.
2
Nawiyanto dan Endrayadi, Eko Crys, Kesultanan Palembang Darussalam ( Jember : Jember
University Press, 2016), hlm 27.

2
terlalu berlebihan karena dalam berbagai sumber sejarah, Palembang
sering dilukiskan sebagai tempat yang banyak airnya. Dengan kondisi
demikian, tanah kering lebih sulit untuk dijumpai. Dalam
penggambarannya tentang Sumatera, seorang penulis Inggris,William
Marsden, menuliskan bahwa Palembang berada di dataran yang
banyak dijumpai rawa-rawa, dengan letak beberapa mil di atas delta
sungai.
Pada masa pemerintahan Pangeran Seda ing Rejek, Palembang
berusaha menjalin hubungan dengan Mataram. Hal ini dilakukan
seiring dengan munculnya kesulitan-kesulitan sehubungan dengan
kehadiran VOC di Palembang. Sejak tahun 1655 VOC telah
menempatkan perwakilan dagang di Palembang dengan menunjuk
Anthonij Boeij. Tindakan-tindakan Boeij khususnya penahanan jung
Cina dan perampasan lada yang dimuat, serta pembakaran kapal di
Pulau Kembaro telah menyulut amarah Pangeran Seda ing Rejek.
Meskipun Boeij kemudian digantikan oleh Cornelis Ockersz,
ketidakharmonisan hubungan antara VOC dan penguasa Palembang
tidak mereda. Kunjungan Ockersz yang kedua dengan Kapal Jacatra
pada tanggal 25 Juni 1658 menyulut terjadinya bentrokan dan tembak-
menembak akibat tindakan Ockertsz menahan beberapa kapal,
termasuk salah satunya milik putera mahkota Mataram.3
Situasi yang memanas memang telah dicoba diredakan melalui
perdamaian, namun hal ini tampaknya hanya terjadi di permukaan.
Dendam dan amarah ternyata belum menghilang, terbukti pada tanggal
22 Agustus 1658 Kapal Jacatra dan De Watcher diserbu. Ockertsz dan
para pengikutnya terbunuh, jumlahnya mencapai 42 orang, sedangkan
28 orang. lainnya disandera, dan sisanya sebanyak 24 orang
meloloskan diri ke Jambi. Akibat insiden tersebut, VOC menyerbu dan
membakar Keraton Kuto Gawang. Pembakaran dilakukan pasukan
Belanda di bawah pimpinan Laksamana John van der Laen dan John
Truytman terjadi pada 24 November 1659.4
3
Ibid, hlm. 31
4
Ibid, hlm. 32

3
Penguasa Kesultanan Palembang dan pasukannya berusaha keras
melakukan perlawanan. Pertahanan ditambah dengan membuat
benteng dari tanah di tepi Sungai Musi dan hilir Pulau Kembaro, untuk
memperkuat benteng yang sudah ada, yakni Benteng Bamagangan,
Benteng Martapura dan Benteng Menapura. Benteng-benteng tersebut
dilengkapi dengan senjata meriam. Pada Benteng Pulau Kembaro
dipasang 14 buah meriam, sedangkan pada Benteng Bamagangan
diperkuat dengan 24 buah meriam. Sementara itu, Benteng Menapura
diperkuat dengan 9 buah meriam.
Di sepanjang sungai di antara benteng-benteng dipasang tonggak-
tonggak berlapis, sebagian tongggak melintang di tengah sungai
dimana di pasang rakit-rakit dengan bahan yang mudah terbakar untuk
menghancurkan kapal-kapal lawan. Meledaknya Benteng Bamagangan
tanpa diketahui sebabnya telah meruntuhkan moral prajurit Palembang,
ditambah lagi dengan meledaknya granat-granat tangan yang
menimbulkan kebakaran pada rumah-rumah yang terbuat dari kayu.
Ancaman kobaran api dan pasukan Belanda memaksa pasukan
Palembang mengundurkan diri. Hal ini menciptakan keleluasaan bagi
Belanda untuk membakar ludes seluruh kota dan Keraton Kuta
Gawang pada 24 November 1659.
Dari peperangan dengan Palembang ini, pasukan Belanda menyita
75 buah meriam berukuran besar, 150 meriam berukuran kecil terbuat
dari bahan perunggu, dan 295 bedil laras panjang, serta sejumlah
amunisi. Serangan ini pula telah membuat Pangeran Seda ing Rejek
terpaksa meninggalkan istananya, melarikan diri ke daerah Indralaya
selama bebarapa tahun hingga meninggal dunia di Sakatiga.5
2. Masa Kejayaan Kesultanan Palembang
Sultan Abdurrahman memaklumkan diri sebagai pemimpin umat
Islam dengan bergelar Kholifatul Mukminin Sayyidul Imam. Hal ini
sekaligus berarti bahwa agama Islam menjadi agama resmi Kesultanan
Palembang Darussalam. Masa pemerintahan Sultan Abdurrahman

5
Ibid, hlm. 34

4
relatif tenang dan panjang, yakni berlangsung dari tahun 1662 sampai
1706.
Pada masa bawah pemerintahannya, ajaran-ajaran Islam mulai
meresap dan menjadi acuan dasar dalam penataan struktur Kesultanan
Palembang Darussalam, termasuk dalam sistem peradilan yang
didasarkan pada Al-qur’an. Melalui perkawinan politik dengan seorang
putri dari penguasa Bangka, Sultan Abdurrahman akhirnya
mendapatkan warisan Kepulauan Bangka. Masa pemerintahan Sultan
Abdurrahman yang relatif tenang dan berlangsung lebih dari 40 tahun
membawa Palembang pada kemajuan dan kemakmuran yang semakin
meningkat dalam kehidupan masyarakat kesultanan. Palembang
menjadi ibukota Kasultanan Palembang Darussalam dari tahun 1553
hingga 1814. 6
Masa kejayaan Kesultanan Palembang berlangsung pada abad ke-
17 dan ke-18. Pada masa kejayaannya ini Palembang tampil sebagai
poros penting dalam jaringan perdagangan di perairan Malaka dan
pantai utara Jawa. Penulis Inggris, Marsden, menggambarkan
pelabuhan Palembang merupakan pelabuhan yang sangat ramai.
Banyak kapal berkunjung di pelabuhan ini, dari Jawa, Madura, Bali
dan Sulawesi. Beragam komoditas dagang dibawa oleh kapal-kapal
tersebut masuk ke Palembang seperti beras, garam, dan bahan pakaian.
Orang-orang Belanda mengumpulkan lada dan timah dari Palembang
sesuai dengan kontrak antara VOC dengan Sultan Palembang.
Pengangkutan lada dan timah dari Palembang masing-masing kurang
lebih mencapai 2 juta pon.
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Kota
Palembang dibangun menjadi sebuah kota modern. Upaya ini
dilakukan dengan melakukan penataan kampung-kampung dan jalan-
jalan. Sultan Mahmud Badaruddin I juga meletakkan pembangunan
bangunan-bangunan monumental Palembang abad ke-18, termasuk
diantaranya Bangunan Kuto Lamo dan Kuto Besak pada tahun 1737,

6
Ibid, hlm. 36

5
serta bangunan Masjid Agung Palembang.
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I, VOC
memaksakan kontrak monopoli dalam perdagangan lada dan timah
dari Kesultanan Palembang. Dengan pemberlakuan hak monopoli ini,
para pedagang non-Belanda khususnya Inggris dan Portugis tertutup
peluangnya untuk terlibat dalam perdagangan komoditas tersebut.
Pemberian hak monopoli kepada VOC merupakan bentuk kompromi
taktis yang dilakukan untuk melonggarkan tekanan dari VOC,
sehingga Sultan Mahmud Badaruddin I mempunyai kesempatan yang
lebih luas untuk mempersatukan keluarga kesultanan yang terpecah-
belah. 7
Keberadaan Kesultanan Palembang Darussalam sebagai pusat
politik menjadi lebih kuat tatkala di bawah pemerintahan Sultan
Muhammad Badaruddin I (1774-1803). Selama memegang tampuk
kekuasaan, Sultan Muhammad Badaruddin I berhasil membangun
armada laut untuk mengamankan perdagangan maritim di jalur Selat
Malaka dan menegakkan kekuasaan Palembang atas Bangka dan
Belitung. Sultan juga membangun benteng pertahanan di Muntok, serta
melanjutkan pembangunan Kuto Besak yang telah diawali oleh
kakeknya, Sultan Mahmud Badaruddin I.
Capaian lainnya adalah diselesaikannya sengketa perbatasan
dengan Lampung dan kerawanan-kerawanan yang sering terjadi
wilayah lalu lintas perdagangan dan penanaman lada. Kekayaan dan
kemakmuran Palembang tambah meningkat berkat aktivitas
perdagangan yang dilakukannya dengan pedagang-pedagang asing
lain. Bukan itu saja, di bawah Sultan Muhammad Bahauddin,
Kesultanan Palembang menjadi pusat sastra agama Islam yang
terkemuka di Nusantara berkat pengembangan syiar Islam melalui
sastra Melayu, dan mengambil-alih peran yang sebelumnya dimainkan
oleh Aceh yang tengah mengalami kemerosotan.
Setelah Sultan Muhammad Bahauddin meninggal dunia, kekuasaan

7
Ibid, hlm.38

6
Kesultanan Palembang Darussalam diserahkan kepada puteranya yang
bernama Pangeran Ratu yang kemudian bergelar Susuhunan Ratu
Mahmud Badaruddin II. Sultan yang pada masa kecilnya bernama
Raden Hasan ini dinobatkan sebagai sultan pada tahun 1803 Masehi
(1218 H) dan pada tahun 1819 juga memakai gelar Kholifatul
Mukminin.8
Sultan Mahmud Badaruddin II dikenal sebagai figur penguasa
Palembang yang mempunyai keunggulan menonjol. Seorang penulis
Belanda, W.L. de Sturler melukiskan Sultan Mahmud Badaruddin II
sebagai “seorang pemimpin yang memiliki kepribadian yang kuat,
ksatria, pemberani, jantan, cepat bertindak, cekatan, memanfaatkan
waktu yang tepat, teguh pendirian”. Mahmud Badaruddin II dari
Palembang ini juga digambarkan sebagai seorang penguasa yang
pandai dalam berdiplomasi, cerdik dan berwibawa, terdidik dan ahli
dalam strategi perang. Badaruddin II juga diakui sebagai seorang
organisator yang sangat ulung, serta ahli sastra yang produktif. 9
Kualitas yang dimiliki dalam bidang sastra tampak dari karya-
karya yang dihasilkannya, misalnya Hikayat Martalaya, Syair Nuri,
Pantun Sultan Badaruddin, dan Syair Perang Menteng. Menurut
Drewes, Syair Nuri dan Pantun ditulis oleh Sultan Mahmud
Badaruddin II ketika menjalani kehidupan di tempat pengasingannya
di Ternate. Di antara semua kualitas yang dimilikinya, Sultan Mahmud
Badaruddin II lebih luas dikenal pada masa kemerdekaan sebagai
sosok pemimpin-pejuang yang sangat gigih dan berani dalam
melakukan perlawanan terhadap Inggris dan Balanda. Tidak
mengherankan, seorang penulis Barat, H.A. Lovell menggambarkan
Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai “seekor harimau yang tak dapat
dijinakkan”. Hal ini tampak jelas dari serangkaian pertempuran yang
dilakukannya dalam perang Palembang melawan kekuatan asing, yakni
pada tahun 1812 melawan pasukan Inggris dan pada tahun 1819, serta
pada tahun 1821 melawan pasukan pemerintah kolonial Belanda.
8
Ibid, hlm 39
9
Ibid, hlm 40

7
Sudah sepantasnya bahwa di kemudian hari pada masa kemerdekaan,
Sultan Mahmud Badaruddin II mendapat anugerah penghargaan dari
Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu Pahlawan
Kemerdekaan Nasional yang tertuang dalam Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia (Keppres) No. 63/TK/1984.10
3. Masa Berakhirnya Kesultanan Palembang dan Pengaruhnya
Masa berakhirnya Kesultanan Palembang tidak terpisahkan dari
keberhasilan Belanda dalam memaksa Sultan Badaruddin II untuk
menghentikan perlawanannya. Dengan kekuatan militer yang sangat
besar di bawah pimpinan Jenderal Mayor Hendrik Markus Baron De
Kock. Belanda mencoba membalas kekalahannya dan berusaha
mengakhiri perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II. Pengerahan
kekuatan militer secara besar-besaran tidak menjamin penaklukan
Palembang berlangsung dengan mudah karena pihak Kesultanan
Palembang juga telah mempersiapkan diri dengan memperkuat
benteng pertahanan, persenjataan, maupun komando dan
personelnya.11
Ketegangan antara kedua belah pihak mulai meningkat sejak 9 Juni
1821. Kontak-kontak senjata dan pertempuran yang pecah pada pada
hari-hari berikutnya memperlihatkan Palembang tidak mudah
ditundukkan, bahkan Belanda berada di posisi yang sulit karena
banyak jatuh korban di pihaknya. 43 Pihak Belanda pun kemudian
menggunakan muslihat berupa serangan mendadak pada hari Minggu.
Hal ini tidak diduga oleh pihak Palembang akan dilakukan pihak
Belanda mengingat adanya kesepakatan penghentian pertempuran pada
hari Jumat dan Minggu sebagai bentuk penghormatan kedua belah
pihak. Dengan menggunakan muslihat ini dan upaya habishabisan,
pasukan Belanda akhirnya berhasil menguasai Benteng Manguntama
dan mengunci posisi Palembang. Peringatan pun dilayangkan Belanda
kepada Sultan Mahmud Badaruddin II dengan pilihan menghentikan
perlawanan atau menghadapi pembumihangusan keraton, Kota
10
Ibid, hlm 41
11
Ibid, hlm 42

8
Palembang dan rakyatnya. Dihadapkan pada pilihan yang dilematis
tersebut, akhirnya Sultan Mahmud Badaruddin II menerima pilihan
berkorban demi keselamatan rakyatnya.
Pilihan ini membuatnya harus menyerahkan kekuasaan kepada
keponakannya, Prabu Anom (Sultan Najamuddin IV) dan ayahnya,
Husin Dhiauddin (Susuhunan Ahmad Najamuddin II), serta menerima
hukuman berupa pengasingan dirinya di Ternate pada tahun 1821, dan
menjalani hidup jauh dari rakyat dan para pendukungnya. Dalam masa
pengasingannya, Sultan Mahmud Badaruddin II diikuti oleh keempat
istrinya, yakni Ratu Anom Kosima, Mas Ayu Ratu Ulu, Mas Ayu Ratu
Ilir, dan Ratu Alit. Sultan Badaruddin II meninggal di Ternate pada 26
November 1852 setelah kurang lebih selama 32 tahun hidup di
pengasingan dan dimakamkan di Ternate.
Pada tahun 1864 pemerintah kolonial memulangkan sebanyak 18
putera-puteri Sultan Mahmud Badaruddin II dari Ternate ke
Palembang. Mereka yang dipulangkan di antaranya adalah Pangeran
Prabu Wijayo Husin, Pangeran Prabu Menggalo Umar, Pangeran
Prabu Wikramo Abdurrahman, Pengeran Prabu Nato Menggalo,
Pangeran Kesumo Syekh, Pangeran Kesumo Dimekayo Hanan,
Pangeran Suto Wijayo 44 Usman, Pengeran Suto Kramo Akil, dan
Pangeran Putra Dinato Ali. Pemulangan mereka bukan berarti
berakhirnya tindakan pengasingan yang dilakukan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda terhadap keturunan Sultan Mahmud Badaruddin II
dan para pengikutnya yang setia. 12
Sikap anti Belanda yang terus mereka tunjukkan di Palembang
dengan penggalangan rencana perlawanan membuat Residen Tobias
memerintahkan kembali penangkapan sejumlah keturunan Sultan
Mahmud Badaruddin II.
Selanjutnya, mereka dibuang ke berbagai tempat di Hindia
Belanda. Raden Haji Syarif Abdullah, misalnya, dibuang ke Tondano,
sedangkan Raden Muhammad Munzir, Raden Hasan, Raden

12
Ibid, hlm. 43

9
Muhammad Amin, Raden Muhsin, Raden Manan dibuang ke Manado.
Sebagian lainnya dibuang ke Ternate diantaranya Raden Abdul Karim,
Raden Abdul Majid, Raden Nangcik, Raden Muhammad Akib, Raden
Hasan, Raden Muhammad Ali, Raden Adnan, dan Raden Husin
diasingkan ke Ternate. Raden Muhammad Napis, Raden
Abdurrahman, Raden Nak, Raden Muhammad Mansur, dan Raden
Amja dibuang ke Ambon. Ada pula keturunan sultan Palembang dan
pengikutnya yang dibuang ke Kupang dan Rote. Pembuangan
pembuangan tersebut menjadi faktor yang menjelaskan luasnya
penyebaran orang-orang Palembang dan keturunan penguasa
Kesultanan Palembang Darussalam khususnya Sultan Mahmud
Badaruddin II di berbagai wilayah Hindia Belanda, dan keberadaan
penyebaran mereka masih dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia
hingga dewasa ini.
Selain berpengaruh terhadap keluarga kesultanan, penaklukan
militer Belanda atas Kesultanan Palembang Darussalam mempunyai
pengaruh besar terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial budaya
masyarakat Palembang. Secara politis Kesultanan Palembang
Darussalam dihapus keberadaannya pada tahun 1824 oleh Pemerintah
Kolonial Belanda. Penghapusan 45 ini dilakukan menyusul kekalahan
Sultan Mahmud Badarudin II dalam perlawanannya terhadap kekuatan
militer Belanda. Dengan dihapuskannya Kesultanan Palembang
Darussalam, bekas wilayahnya kemudian diintegrasikan ke dalam
kekuasan kolonial.13
Kebijakan kolonial atas Palembang diletakkan oleh J.J. van
Sevenhoven, yang bertindak sebagai penasehat Residen Belanda di
Palembang. Kebijakan yang diperkenalkannya adalah sistem
pemerintahan langsung atas Palembang yang sangat pragmatis
sifatnya. Dalam sistem ini setiap daerah Palembang yang berhasil
dikuasai Belanda diserahkan pengendaliannya kepada komandan
militer, yang berkewajiban mengusahakan dengan cara apapun untuk

13
Ibid, hlm. 43

10
mendapatkan kesediaan pemimpinpemimpin pribumi bekerja sama.
Para pemimpin pribumi ini berfungsi sebagai pendamping komandan
militer Belanda dalam menjalankan roda pemerintahan. 14
Pemerintah Kolonial Belanda membagi bekas wilayah Kesultanan
Palembang Darussalam menjadi dua bagian, yakni Karesidenan
Palembang dan Karesidenan Bangka-Belitung. Pembentukan
Karesidenan Palembang dilakukan pada 1 Juni 1824. Karesidenan ini
dibatasi mulai dari laut melewati Sungai Mesuji hingga Matawolu
dengan garis berkelak-kelok hingga mata air Danau Seroja. Garis
tersebut berlanjut melalui Gunung Pungkau, Bukit Mandah dan
Pematang Tigaman menuju Bukit Pasagi. Secara administratif
Karesidenan Palembang dibagi menjadi 46 beberapa afdeling dengan
masing-masing dipimpin oleh asisten residen. Secara terperinci
wilayah Karesidenan Palembang terdiri dari empat afdeling, yakni:
1. Daerah Ibukota Palembang
2. Afdeling Palembang Ilir, dengan Sekayu sebagai ibukota
3. Afdeling Palembang Ulu, dengan Lahat sebagai ibukota;
4. Afdeling Ogan Ulu dan Komering, dengan ibukota Baturaja.
Wilayah afdeling dibagi-bagi menjadi beberapa onderafdeling,
yakni wilayah administratif yang dikepalai oleh seorang kontrolir.
Dalam menjalankan tugastugasnya, seorang kontrolir dibantu oleh
beberapa demang atau kepala distrik, asisten demang, mantri polisi,
mantri pajak dan mantri kesehatan (Supriyanto, 2013:45).
Pemberlakuan administrasi kolonial menandai integrasi wilayah dan
masyarakat Palembang dalam era kekuasaan imperialis Belanda.15
4. Silsilah Raja – Raja Kesultanan Palembang
1. Ario Dillah/Ario Damar (1455-1486)
2. Pangeran Sedo Ing Lautan (? – 1528)
3. Ki Gede ing Suro Tuo (1528-1545)
4. KI Gede ing Suro Mudo (1546-1575)
5. Ki Mas Adipati (1575-1587)
14
Ibid, hlm. 45
15
Ibid, hlm. 46

11
6. Pangeran Madi ing Angsoko (1588-1623)
7. Pangeran Madi Alit (1623-1624)
8. Pangeran Seda in Pura (1624-1630)
9. Pangeran Seda ing Kenayan (1630-1642)
10. Pangeran Seda Ing Pasarean (1642-1643)
11. Pangeran Mangkurat Seda ing Rejek (1643-1659)
12. Kiai Mas Hindi (Sultan Abdurrahman) (1662-1706)
13. Sultan Muhammad (Ratu) Mansyur Jayo ing Lago (1706-1718)
14. Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1718-1727 )
15. Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (1727-1756)
16. Sultan Ahmad Najamuddin I (1756-1774)
17. Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1803)
18. Sultan Mahmud Badaruddin II (1803-1821)
19. Sultan Husin Dhiauddin/ Sultan Ahmad Najamud-din II (adik
Mahmud Badaruddin II) (1812-1813)
20. Sultan Ahmad Najamuddin III (putra Mahmud Badaruddin II)
(1819-1821)
21. Sultan Ahmad Najamuddin IV (putra Sultan Ahmad Najamuddin
II) ( 1821-1823)16
5. Peninggalan Kesultanan Palembang
1. Prasasti Kedukan Bukit
2. Prasasti Talang Tuo
3. Prasasti Telaga Batu
4. Prasasti Kota Kapur
5. Prasasti Karang Berahi
6. Kitab suci Al-Quran bertuliskan tinta emas
7. Masjid Agung Palembang
8. Masjid Merogan
9. Masjid Suro
10.Benteng Kuto Besak
11.Makam-makam Sultan Palembang, diantaranya Makam Gede Ing

16
Ibid, hlm 31

12
Suro, Makam Candi Angsoko, Makam Sabo Kingking, dll.

B. Sejarah Kesultanan di Jambi


1. Masa Pembentukan Kesultanan Jambi
Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Melayu, dan
kesudahan dijadikan anggota dari Sriwijaya. Pada kesudahan masa
zaman ke-14 Jambi merupakan pengikut Majapahit, dan pengaruh
Jawa masih terus mewarnai kesultanan Jambi selama masa zaman ke-
17 dan ke-18. Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan
bangkitnya Islam di wilayah itu. Pada 1616 Jambi merupakan
pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh, dan pada 1670
kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan
Palembang. Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang. Tahun
1680-an Jambi kehilangan posisi sebagai pelabuhan lada utama,
setelah perang dengan Johor dan konflik internal.
Tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha,
sultan yang terakhir, menyerah Belanda. Jambi digabungkan dengan
keresidenan Palembang. Pada abad XI sebelum islam masuk ke
wilayah ini, jambi pernah menjadipusat kerajaan maritim terbesar di
nusantara, yakni sriwijaya hindu. 17
Namun ketika pusat kerajaan dipindah, popularitas jambi menjadi
tenggelam danmenyebabkan jambi menjadi daerah yang tidak
diperhitungkan, bahkan sejarah jambi menjadi terputus sama sekali.
Jambi baru diperhitungkan perannyasetelah adanya perkembangan
perdagangan laut sekitar abad XVI M.Pertumbuhan perdagangan di
indonesia bagian barat selama abad XVI M sangat menguntungkan
jambi karena adanya kecenderungan ke arahkonsentrasi di beberapa
daerah, yaitu aceh, johor, palembang, banten danjambi, dengan
komoditas utama buah lada.
Bagi jambi, lada dari minangkabau sangat berarti sebagai

17
Hartono margono, dkk, Sejarah sosial jambi (jakarta: kemendikbud, 1984), hlm. 28

13
komoditas utama dan mata pencaharian masyarakat. Tanpa lada
tersebut jambi tidakmemiliki makna yang berarti, karena jambi tidak
mempunyai apapun untukbisa ditawarkan ke dunia internasional
sebagai komoditas. Ini terbukti ketika selama kurang lebih dua tahun
berturut-turut orang memang tidak lagi datang ke jambi, yang
kemudian menyebabkan daerah ini sepi dan perdagangan.
2. Masa Kejayaan dan Berakhirnya Kesultanan Jambi
Kerajaan jambi mengalami kejayaan pada masa Sultan Abdul
Kahar yang memerintah sampai tahun 1643. Pada jamannya, kerajaan
melayu Jambi terus mengalami kemajuan. Hal ini disebabkan karena
Portugis menguasai malaka pada tahun 1511. Akhirnya, para pedagang
itu memilih Jambi.
Setelah masa Raja dan Panembahan berlalu kerajaan Jambi pun
bertukar menjadi Kesultanan Jambi dengan Sultan pertamanya ialah
Parengan Kedak bergelar Sultan Abdul Al-Qahar. Pada awal
kedatangan Belanda tahun 1615, struktur pemerintahan kesultanan
Jambi tetap sebelumnya. Namun pada beberapa puluh tahun
kemudian pemerintahan kerajaan Jambi mengalami pereseran-
pergeseran. Hal ini disebabkan adanya usaha pemerintahan Belanda
yang secara bertahap mempengaruhi dan mencampuri urusan
kesultanan Jambi.
Salah seorang sultan Jambi yang paling antipati dan agresif
terhadab Belanda adalah Sultan Thaha Saifuddin. Selama beliau
menjadi Sultan dari tahun 1855-1904 dan mulai dari tahun 1585 atau
dalam kurun waktu selama lebih kurang 46 tahun beliau terus
menerus bertempur melawan Belanda tanpa kompromi, begitu
gencarnya beliau bertempur melawan Belanda Sampai pihak Belanda
sendiri menyatakan bahwa peperangan dengan Sultan Thaha
Saifuddin adalah peperangan yang tidak mengenal kata damai. Pada
tahun 1904 Sultan Thaha Saifuddin pun wafat dalam perjuangan
beliau melawan Belanda di Betung Berdarah.
Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya

14
Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya
Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi
ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah
Nederlandsch Indie.
3. Silsilah Raja-Raja Kesultanan Jambi
1. Pangeran kedak bergelar Sultan Abdul Al-Qahar anak dari
Panembahan Kota Baru (tahun 1615-1643)
2. Pangeran Depati Anom bergelar Sultan Abdul Jalil (tahun 1643-
1665) pada masa inilah dibuat kontrak dagang pertama antara
kesultanan Jambi dengan VOC.
3. Pangeran penulis, Sultan Abdul Muhyi bergelar Sultan Sri
Ingologo (tahun 1665-1690)
4. Raden Cakra Negara bergelar Sultan Kyai Gede (tahun 1690-
1696)
5. Sultan Muhammad Sah (tahun 1696-1740)
6. Sultan Sri Isterah Ingologo (tahun 1740-1770)
7. Sultan Agung Dilogo, Sultan Ahmad Zainuddin (tahun 1770-
1790)
8. Sri Ingologo bergelar Sultan Mas‟ud Badaruddin (tahun 1790-
1812)
9. Raden Dabting bergelar Sultan Mahmud Mahyuddin (tahun
1812-1833)
10. Sultan Muhammad Fakhruddin bergelar Sultan Keramat
(tahun1833- 1841)
11. Raden Abdurrahman bergelar Sultan Abdurrahman Nazaruddin
(tahun 1841-1855)
12. Jayadiningrat bergelar Sultan Thaha Saifuddin (tahun 1855-
1904
sebagai sultan terakhir kesultanan Jambi diambil alih menjadi

Keresidenan).18
Sultan-sultan yang diangkat oleh Belanda (Sultan Bayang):
18
Adrianus Chatib, Kesultanan Jambi Dalam Konteks Sejarah Nusantara, (Jambi: Kementrian
Agama RI, 2013), hlm. 48.

15
1. Raden Akhmad bergelar Sultan Akhmad Nazaruddin (tahun
1858-1881)
2. Sultan Akhmad Mukyidin (tahun 1881-1885)
3. Pangeran Surio bergelar Sultan Ahmad Zainuddin (tahun 1886-
1899)19
4. Peninggalan Kesultanan Jambi
1. Candi Muara Jambi
2. Kota tua batanghari
3. Menara air
4. Kelenteng hok tek
5. Rumah batu Pangeran Wirokusumo
6. Masjid Al-Falah
7. Istana Abdurrahman Thaha Saifuddin
8. Makam-makam Sultan Aceh

C. Sejarah Kesultanan di Sumatera Utara


1. Kerajaan Haru Deli Tua
Sejak akhir abad ke-16 nama Haru telah berubah menjadi Ghuri
dan kemudian di awal abad ke-17 menjadi “Deli”, tetapi berkali-kali
pula Aceh harus mengirimkan ekspedisi militer yang kuat untuk
menaklukan Deli (bekas wilayah Haru atau Sumatera Timur) pada saat
itu. Di zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, pada tahun 1619 M
dan 1642 M, kembali Deli berontak terhadap Aceh, sehingga menurut
legenda, seorang Panglima Aceh yang perkasa terpaksa di tempatkan
di Deli sebagai Wali Negeri, yaitu Sri Paduka Gocah Pahlawan, yang
kemudian menjadi cikal bakal raja-raja di Deli dan Serdang.20
Ada pendapat bahwa Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan yang
bergelar Laksamana Kuda Bintan itu tidak lain adalah Laksamana
Malem Dagang yang memimpin armada Aceh melawan Portugis 1629
M, Beliau juga yang menaklukan Pahang (1617), Kedah (1620), dan
19
Lindayanti, Dkk, Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, ( Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jambi, 2013), hlm. 132
20
Lubis, Fauziah ,dkk, Dinamika Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Utara, ( Yogyakarta :
Atap Buku, 2019), hlm. 61

16
Nias (1624) dan lain-lain yang kemudian di dekati oleh Laksamana
Beaulieu dengan diberikan hadiah-hadiah. Pada tahun 1412 M
Laksamana Cheng Ho di utus oleh Kaisar Tiongkok mengunjungi
negerinegeri di Nusantara dan Ia juga mengunjungi Haru, di ceritakan
bahwa pengganti (putera) dari Sultan Husin (Sultan Haru) ialah
bernama Tuanku Alamsyah yang kemudian mengirimkan pula misinya
ke Tiongkok, berturut-turut dalam tahun 1419, 1421, dan 1423 M.
Pada tahun 1431 Cheng Ho kembali mengunjungi Haru untuk
membawa persembahan, tetapi setelah misi ini, tidak ada lagi terdengar
misi di kirimkan ke Tiongkok.21
Ma Huan mencatat di dalam “Ying Yai Sheng Lan” dalam tahun
1451 M bahwa Haru dapat dicapai dari Malaka dalam waktu pelayaran
4 hari 4 malam, pada saat memasuki negeri tersebut ada teluk air
tawar, di sebelah barat ada pegunungan besar, di sebelah timur adalah
laut,di sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasai dan di sebelah
selatan negerinya datar, dimana padi di tanam. Mereka menggunakan
sepotong kain yang di sebut “K’aoni” untuk alat pembayaran, Raja dan
rakyat negeri ini beragama Islam. Jika kita bandingkan peta “Mao
K’un” dengan cerita Ma Huan ini maka toponominya cocok, Hani itu
terletak di Deli, Anderson dalam tahun 1823 ketika memasuki Deli
juga melalui “Fresh Water Channel” (terusan air tawar).
Disebutkan lagi bahwa duta Raja Haru bernama Raja Pahlawan
dihina oleh Raja Pasai sehingga terbitlah peperangan. Akibatnya Pasai
di duduki Haru tetapi Pasai kemudian dibantu Malaka sehingga
Malaka juga menjadi Musuh Haru.Dalam suatu perundingan di
Pangkalan Dungun delegasi Haru di pimpin oleh Serbanyaman Raja
Purba dan Raja Kembat.Nama-nama ini berbau Karo, Serbanyaman
adalah salah satu Urung di Deli. Pada pertengahan abad ke-15 ini Haru
mau menghancurkan Pasai (di utara) dan Malaka (di selatan) serta
mengambil alih posisi Sriwijaya zaman dahulu kala ketika
mendominasi selat malaka, tetapi Malaka dilindungi oleh

21
Ibid, hlm. 62

17
Tiongkok.Meskipun Haru lebih dahulu Islam daripada Malaka, tetapi
penyebaran Islam berpusat di Malaka untuk seluruh Nusantara.Pada
abad ke-15 ini Kota Cina telah di tinggalkan dan ibukota Haru naik
lagi ke atas Sungai Deli. 22
Bukti-bukti tentang letaknya ibukota Haru di Deli Tua :
1. Dalam tahun 1612 M Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam
dengan susahpayah berhasil merebut Deli dengan memakai
taktik memggali lubang-lubang pertahanan dan menyerbu
dengan memakai 100 ekor gajah perang, ia mengangkut semua
penduduk Deli untuk di bawa ke Aceh.
2. Di dalam tabal Mahkota Asahan , juga disebut bahwa Asahan
di taklukan oleh Sultan Alaidin Riayat Syah Al Qahhar dari
Aceh,setelah sang Sultan berhasil menaklukan benteng Puteri
Hijau di Deli Tua. Menurut cerita rakyat (Catatan Jhon
Anderson), kapal bisa berlayar sampai ke Deli Tua dalam abad
ke-17.
3. Jika dipelajari peta-peta Tiongkok dari abad ke-15 juga
menunjukan Haru berada di Deli. 4. Di dalam wawancara
dengan Resid
4. Di dalam wawancara dengan Residen Sumatera Timur, J.Faes
dengan wakil senembah bernama Sulong Bahar yang diadakan
di Patumbak pada tanggal 17-8-1879, di ceritakan oleh Sulong
Bahar bahwa cikal bakal dari turunan Kejeruan Senembah
bernama Sibolang Pinggul datang ke Senembah (hulu sungai
serdang) dan menemui Raja yang berkuasa dari marga Karo
dan rakyatnya suku Aru.
5. Pada tahun 1637 M, Syeikh Nuruddin Ar Raniri mengarang
kitab “Bustanussalatin”mengenai kehidupan Sultan Iskandar
Thani. Di situ disebutkan bahwa nama negeri Gori (Guri,Gurai)
dulu bernama Haru. Di dalam peta San Son D’Abbeville (1615
M) tertera juga nama Gare untuk Gori ini dan letaknya dalam

22
Ibid, hlm. 65

18
peta Willem Ijsbrandtsz Bontekoe (Polepon) pada tanggal 10
April 1622 M meletakan nama Rio De Delim (Sungai Deli)
atau sungai petani. Jadi “Gori (Guri)” adalah nama baru untuk
Haru dan nama lama untuk Deli. Diperkebunan Klumpang
(Hamparan Perak) telah ditemukan sebuah kuburan tua yang
dibatu tertulis nama Imam Saddik Bin Abdullah meninggal
tahun 23 Syakban 998 H/ 27 Juni 1590 M. Pada akhir abad ke-
16 M Haru/ Gori telah lenyap dan lahirlah nama DELI.23
2. Kesultanan Deli
Menurut Hikayat Deli, Putra seorang Raja India bernama
Muhammad Dalikhan merantau ke arah Nusantara. Kapalnya karam di
dekat Kuala Pasai dan kemudian terdampar di Pasai. Ketika itu di
Pasai ada kenduri besar karena Rajanya baru mangkat. Muhammad
Dalik diberi makan nasi di atas daun pisang oleh orang Pasai, ia tidak
mau memakannya. Maka orang Pasai pun mengerti bahwa ia bukan
keturunan rakyat biasa. Tidak berapa lama peristiwa itupun, ia pergi ke
Negeri Aceh. Sultan Iskandar Muda sedang mendapat kesulitan
menaklukan 7 orang Rum yang mengacau negeri Aceh. Muhammad
Dalik dapat membunuh satu persatu pengacau tersebut, ia menyaru
dengan memakai nama Lebai Hitam. Atas jasanya membunuh 7
pengacau, Sultan Aceh mengaruniakan gelar Laksamana Kuda Bintan
dan ia di angkat menjadi Laksamana Aceh, Kemudian dia dapat pula
mengalahkan gajah “Gandasuli”. Maka dinaikkan pangkatnya menjadi
Gocah Pahlawan untuk mengepalai orang-orang besar dan Raja-raja
taklukan Aceh. Gocah Pahlawan berhasil lagi menaklukan negeri
Bintan, Pahang dan negeri-negeri Melayu yang lain. Maka ia diberi
gelar Seri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Kuda Bintan.24
Istrinya di fitnah mempunyai perselingkuhan dengan Putra Sultan
Aceh, maka Seri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Kuda Bintan
meninggalkan Aceh dan membuka negeri baru di Sungai Lalang
Percut. Atas kata Percut adalah ”Pocut”, dan menurut kisahnya
23
Ibid, hlm. 68
24
Ibid, hlm. 69

19
timbangan air sungai ini sama beratnya dengan Sungai Krueng Daroy
yang membelah Keraton Aceh. Kekuasaan diberikan oleh Aceh
padanya yaitu sebagai Wakil Sultan Aceh untuk wilayah eks Kerajaan
Haru dari batas Temiang sampai ke Sungai Rokan Pasir Ayam Denak
yaitu dengan gelar Panglima Deli, kekuasaan ini diberikan oleh Aceh
dengan misi :
1. Menghancurkan sisa-sisa perlawanan Haru (yang di bantu
Portugis).
2. Mengembalikan misi Islam ke wilayah pedalaman.
3. Mengatur pemerintahan yang menjadi bahagian dari Imperium
Aceh.
Dengan berlindung kepada kebesaran Imperium Aceh, Seri Paduka
Gocah Pahlawan memantapkan pengaruhnya ke wilayah Kecamatan
Percut Sungai Tuan dan Kecamatan Deli sekarang. Dalam catatan
Laksamana Perancis Augustin De Beaulieu yang mengunjungi Aceh
dicatat juga menganai seorang Panglima Deli gagah perkasa. Gocah
Pahlawan mangkat digantikan oleh Putranya Tuangku Panglima
Perunggit, menurut kisah ia bergelar “Panglima Deli” (1634-1700
M).25
Adanya nama “Deli” (Dilley, Dilly, Delli, Delhi) sebenarnya sudah
tercantum di dalam Daghregister VOC Belanda di Malaka dimulai
sejak april 1641 M. ketika datang surat dari Onderkoopman Janszoon
Menie dari “Maccam Chochel” (makam Tauhid, Ibukota Imperium
Melayu Johor-Riau). Isi surat itu menyatakan angkatan perang Aceh,
(menurut laporan Laksamana Johor) telah berkumpul di Kuala Deli.
Tahun 1641 M adalah tahun setelah direbutnya Malaka oleh Belanda
dari tangan Portugis dibantu oleh Johor. Aceh tidak ikut serta
mengeroyok Portugis karena ia sedang berselisih dengan Johor pada
waktu itu. Menurut Daghregister tanggal 9-9-1641 M Sultan Aceh
mengirim surat kepada Gubernur Jenderal A.Van Diemen bahwa Johor
mulai menggerogoti jajahan-jajahan Aceh dan Belanda boleh

25
Ibid, hlm. 70

20
berdagang ke Deli dan Besitang. Menurut catatan Belanda bulan juni
1642 , sebuah kapal VOC pimpinan Aren Patter yang singgah di
Sungai Deli mengambil budakbudak, telah dikejar orang-orang Batak
sehingga hanya 8 orang budak yang dapat diangkut.26
Periodesasi Kesultanan Deli

1. Seri Paduka Tuanku Gocah Pahlawan (1632-1669 M)


2. Seripaduka Tuanku Panglima Parunggit (1669-1698 M)
3. Seripaduka Tuanku Panglima Padrap (1698-1728 M)
4. Seripaduka Tuanku Panglima Pasutan (1728-1761 M)
5. Seripaduka Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761- 1805 MM
6. Seripaduka Tuanku Panglima Amaluddin Mengedar Alam (1805-
1850 M)
7. Seripaduka Tuan Seripaduka Tuanku Sultan Mahmud Perkasa
Alamsyah (1858-1873 M)
8. Seripaduka Tuanku Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah
(1873- 1924 M)
9. Seripaduka Tuanku Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah
(1924- 1945 M)
10. Seripaduka Tuanku Sultan Osman Al Sani Perkasa Alamsyah
(1945- 1947 M)
11. Seripaduka Tuanku Sultan Azmy Perkasa Alamsyah (1967-1998
M)

12. Seripaduka Tuanku Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alamsyah


(1998- 2005 M)

3. Kesultanan Serdang
Nama Serdang berasal dari nama sebuah pohon serdang, daunnya
itu dipergunakan untuk atap rumah. Berkisar di tahun 1723 M, terjadi
perang suksesi perebutan takhta di Kesultanan Deli. Maka salah
seorang putera dari Sultan Deli, Tuanku Panglima Paderap, bernama
Tuanku Umar Johan Pahlawan Alamsyah, bergelar Kejeruan
Junjugan (1713-1782 M) tidak berhasil merebut haknya atas tahta
26
Ibid, hlm. 71

21
Deli. Tuanku Umar selaku putera gahara (permaisuri) menurut adat
prioritas utama menjadi Sultan, maka terjadi konflik dalam perebutan
dengan abangnya yaitu Panglima Pasutan, karena masih kecil
menderita kekalahan lalu di ungsikan bersama ibunya Tuanku Puan
Sampali (permaisuri) pindah dan mendirikan kampong besar
(Serdang), peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1723 M. 27
Menurut adat melayu yang benar, Tuanku Umar Junjongan yang
seharusnya menjadi pengganti ayahandanya sebagai Sultan Deli,
kerana baginda puter gahara (permaisuri), baginda di singkirkan
abangnya karena masih di bawah umur. Atas perlakuan kepada
Tuanku Umar tersebut, maka 2 orang dari orang besar Deli, yaitu
Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah serta bersama dengan
Seorang Raja Urung Batak Timur yang menghuni wilayah Serdang
bagian hulu di Tanjong Merawa dan juga seorang pembesar dari
Aceh (Kejeruan Lumu), merajakan Tuanku Umar, selaku Sultan
Serdang yang pertama diangkat pada tahun 1723 M itu agar tidak
terjadi perang saudara. Pada masa itulah ditetapkan peranan Sultan
Serdang yaitu :
1. Sebagai Kepala Pemerintahan Kesultanan Serdang
2. Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifahtullah fi’l ardh)
3. Sebagai Kepala Adat Melayu
Periodisasi Kesultanan Serdang
a. Penguasa
1. (1723-1782) Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Syah
bin Tuanku Panglima Paderap (Kejeruan Junjungan),
Raja Serdang
2. (1782-1822) Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Syah
ibni al- Marhum Tuanku Umar (Al-Marhum Kacapuri),
Raja Serdang.
3. (1822-1851) Sultan Thaf Sinar Basyar Syah ibni al-
Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah

27
Ibid, hlm. 86

22
(Al-Marhum Besar), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar
Serdang
4. (1851-1879) Sultan Basyaruddin Syaiful Alam Syah ibni
al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Syah (Al-Marhum
Kota Batu), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
5. (1879-1946) Sultan Sulaiman Syariful Alam Syah ibni
al-Marhum Sultan Bashar un-din (Al-Marhum
Perbaungan), Sultan dan Yang di-
Pertuan Besar Serdang
b. Kepala Rumah Tangga
(1946-1960) Tuanku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan
Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Tengku Putra Mahkota,
Kepala Rumah Tangga Istana Serdang.28

c. Sultan
1. (1960-2001) Sri Sultan Tuanku Abu Nawar Sharifu'llah
Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman
Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga
Istana Serdang
2. (2001-2011) Sri Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar
Shah II ibni al- Marhum Sultan Sulaiman Sharif
ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana
Serdang.
3. (2011) Sri Sultan Tuanku Achmad Thalaa Sharif
ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana
Serdang. 29
4. Sejarah Kesultanan Langkat
Kesultanan Langkat adalah kerajaan yang dahulu memerintah
di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kesultanan Langkat
menjadi makmur karena dibukanya perkebunan karet dan
ditemukannya cadangan minyak di Pangkalan Brandan.
Kesultanan Langkat adalah monarki yang berusia paling tua di
28
Ibid, hlm. 94
29
Ibid, hlm 94

23
antara monarki-monarki Melayu di Sumatera Timur. Pada tahun
1568, di wilayah yang kini disebut Hamparan Perak, salah
seorang petinggi Kerajaan Aru dari Tanah Karo yang bernama
Dewa Shahdan sukses menyelamatkan diri dari serangan Kesultanan
Aceh dan membangun sebuah kerajaan. Kerajaan inilah yang
menjadi cikal-bakal Kesultanan Langkat modern. Nama Langkat
berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat.
Pohon langkat ada buah yang lebih agung dari buah langsat namun
lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pohon ini
dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir
Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura. Hanya
saja, pohon itu kini sudah punah.
Pengganti Dewa Shahdan, Dewa Sakti, tewas dalam
penyerangan yang kembali dilakukan oleh Kesultanan Aceh pada
tahun 1612. Di masa kepemimpinan Raja Kejuruan Hitam (1750-
1818), serangan terhadap Langkat berasal dari Kerajaan Belanda.
Langkat sebelumnya adalah bawahan Kesultanan Aceh sampai
awal masa seratus tahun ke-19. Pada saat itu raja-raja Langkat
meminta perlindungan Kesultanan Siak. Tahun 1850 Aceh
mendekati Raja Langkat supaya kembali ke bawah pengaruhnya,
namun pada 1869 Langkat menandatangani akad dengan
Belanda, dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877.
Periodisasi Kesultanan Langkat
1. 1568-1580 : Panglima Dewa Shahdan
2. 1580-1612 : Panglima Dewa Sakti, anak raja sebelumnya
3. 1612-1673 : Raja Kahar bin Panglima Dewa Sakdi, anak raja
sebelumnya
4. 1673-1750 : Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar, anak
raja sebelumnya
5. 1750-1818 : Raja Kejuruan Hitam (Tuah Hitam) bin Bendahara
Raja Badiuzzaman, anak raja sebelumnya
6. 1818-1840 : Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja
sebelumnya

24
7. 1840-1893 : Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah
Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja
sebelumnya
8. 1893-1927 : Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat
Shah bin Sultan Haji Musa, anak raja sebelumnya
9. 1927-1948 : Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah
bin Sultan Abdul Aziz, anak raja sebelumnya
10. 1948-1990 : Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil
Rahmad Shah, anak raja sebelumnya, sebagai pemimpin keluarga
kerajaan
11. 1990-1999 : Tengku Mustafa Kamal Pasha bin Sultan Mahmud
Abdul Jalil Rahmad Shah, saudara raja sebelumnya
12. 1999-2001 : Tengku Dr Herman Shah bin Tengku Kamil, cucu
Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah
13. 2001-2003 : Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad
Shah al- Haj bin Tengku Murad Aziz, cucu Sultan Abdul Aziz
Abdul Jalil Rahmad Shah, gelar Sultan dipakai Kembali.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia


yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang.
Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman, seorang
bangsawan Palembang keturunan Jawa pada tahun 1659. Masa kejayaan
Kesultanan Palembang berlangsung pada abad ke-17 dan ke-18. Pada masa
kejayaannya ini Palembang tampil sebagai poros penting dalam jaringan
perdagangan di perairan Malaka dan pantai utara Jawa. Penulis Inggris,
Marsden, menggambarkan pelabuhan Palembang merupakan pelabuhan yang
sangat ramai. Banyak kapal berkunjung di pelabuhan ini, dari Jawa, Madura,
Bali dan Sulawesi. Masa berakhirnya Kesultanan Palembang tidak terpisahkan
dari keberhasilan Belanda dalam memaksa Sultan Badaruddin II untuk
menghentikan perlawanannya.

2. Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Melayu, dan kesudahan


dijadikan anggota dari Sriwijaya. Pada kesudahan masa zaman ke-14 Jambi
merupakan pengikut Majapahit, dan pengaruh Jawa masih terus mewarnai
kesultanan Jambi selama masa zaman ke-17 dan ke-18. Kerajaan jambi
mengalami kejayaan pada masa Sultan Abdul Kahar yang memerintah sampai
tahun 1643. Pada jamannya, kerajaan melayu Jambi terus mengalami
kemajuan. Hal ini disebabkan karena Portugis menguasai malaka pada tahun
1511. Akhirnya, para pedagang itu memilih Jambi.

3. Sejarah kesultanan Sumatera Utara terdapat beberapa macam kerajaan.


a. Kerajaan Heru Deli Tua , Sejak akhir abad ke-16 nama Haru telah berubah
menjadi Ghuri dan kemudian di awal abad ke-17 menjadi “Deli”, tetapi

26
berkali-kali pula Aceh harus mengirimkan ekspedisi militer yang kuat untuk
menaklukan Deli (bekas wilayah Haru atau Sumatera Timur) pada saat itu.
Pada akhir abad ke-16 M Haru/ Gori telah lenyap dan lahirlah nama DELI.
b. Kesultanan Deli , Adanya nama “Deli” (Dilley, Dilly, Delli, Delhi) sebenarnya
sudah tercantum di dalam Daghregister VOC Belanda di Malaka dimulai sejak
april 1641 M. ketika datang surat dari Onderkoopman Janszoon Menie dari
“Maccam Chochel” (makam Tauhid, Ibukota Imperium Melayu Johor-Riau)
c. Kesultanan Serdang , Nama Serdang berasal dari nama sebuah pohon serdang,
daunnya itu dipergunakan untuk atap rumah. Berkisar di tahun 1723 M
d. Kesultanan Langkat , Kesultanan Langkat adalah kerajaan yang dahulu
memerintah di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kesultanan
Langkat adalah monarki yang berusia paling tua di antara monarki-monarki
Melayu di Sumatera Timur.

B. Saran

Kami selaku penulis mohon maaf jika ada kesalahan maupun kekurangan
dalam penulisan makalah ini dan meminta agar pembaca jika ada keganjalan
referensi pada makalah kami mohon untuk memberikan kritik maupun saran
untuk meningkatkan pemahaman kami dalam menulis makalah agar dapat
lebih baik lagi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Mardanas Safwan, Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1852) ,


(Jakarta: Bharata,2004)

Nawiyanto dan Endrayadi, Eko Crys, Kesultanan Palembang Darussalam,


( Jember : Jember University Press, 2016)
Hartono margono, dkk, Sejarah sosial jambi, (jakarta: kemendikbud, 1984)
Adrianus Chatib, Kesultanan Jambi Dalam Konteks Sejarah Nusantara,
(Jambi: Kementrian Agama RI, 2013)
Lindayanti, Dkk, Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, ( Jambi: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2013)
Lubis, Fauziah ,dkk, Dinamika Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Utara,
( Yogyakarta : Atap Buku, 2019)

28

Anda mungkin juga menyukai