Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

“EPILEPSI”

Disusun oleh:

Causa Alina 1102016045

Febri Irwansyah 1102016070

Pembimbing:

dr. Yunilasari, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 30 AGUSTUS – 09 OKTOBER 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD KABUPATEN BEKASI
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf


pada anak, yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar,
gangguan tumbuh kembang, menentukan potensi dan kualitas hidup anak pada masa yang
akan datang. Epilepsi dapat terjadi pada wanita maupun pria, tanpa memandang umur dan
ras. 1

Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 2005,


epilepsi yang didefinisikan secara konseptual merupakan kelainan otak dengan ditandai
kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik secara terus- menerus dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, dan sosial dari kondisi ini. 3

Menurut data World Health Organization (WHO), diperkirakan sekitar 50 juta


orang di dunia yang menderita epilepsi, menjadikannya salah satu penyakit neurologi
yang paling umum secara global. Hampir 80% orang yang menderita epilepsi tinggal di
negara berpendapatan rendah dan menengah.18

Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan


pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40-50% terjadi
pada anak-anak.15

2
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. N

Usia : 7 Tahun 3 Bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Cibitung, Bekasi

Tanggal Pemeriksaan : 31 Agustus 2021

Berat Badan : 16 kg

Tinggi Badan : 112 cm

II. IDENTITAS ORANG TUA PASIEN

Nama Ibu : Ny. Y

Usia : 37 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Alamat : Cibitung, Bekasi

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Nama Ayah : Tn. A

Usia : 40 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Alamat : Cibitung, Bekasi

Pekerjaan : Wiraswasta

3
III. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada pasien dan alloanamnesis pada


ayah dan ibu pasien di ruang bangsal inap RSUD Kabupaten Bekasi, hari selasa 31
Agustus pukul 10.00 WIB
A. Keluhan Utama

Kejang 3x sejak ± 12 jam SMRS.

B. Keluhan Tambahan

Muntah ≥ 5x sejak ± 12 jam SMRS

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien An. N datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal 30 Agustus
2021 dengan keluhan Kejang 3x dan muntah > 5x sejak ± 12 jam SMRS. Pasien sudah
memberikan diazepam 5 mg per rektal, tetapi kejang tidak membaik. Orang tua pasien
mengatakan kejang dialami ± 5 menit, kelojotan dan setelah kejang pasien tertidur.
Muntah berisi makanan dan cairan bewarna bening tetapi tidak disertai mual. Keluhan
demam, batuk dan pilek disangkal oleh pasien.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat epilepsy sejak umur 1 tahun. Pasien rutin meminum obat
asam valproate 2x5ml. Riwayat asma, alergi, penyakit jantung bawaan, DM , dan trauma
disangkal orang tua pasien.

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat DM, asma, kejang, hipertensi, alergi, dan penyakit jantung bawaan pada
keluarga disangkal orang tua pasien.

F. Riwayat Lingkungan dan Kebiasaan


Kegiatan dirumah diisi dengan bermain hp, menonton tv, dan belajar jarak jauh

G. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Ibu dengan G2P2A0, ibu pasien mengeluh mual dan muntah saat kehamilan.
Pasien lahir secara normal dengan berat lahir 3200 gram dan langsung menangis di Klinik
bidan.

4
H. Riwayat Imunisasi
✓ Hepatitis B : 0 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
✓ BCG : 1 bulan
✓ Polio : 1 bulan, 2 bulan,3 bulan, 4 bulan
✓ DPT- HiB : 2 bulan,3 bulan, 4 bulan
✓ Campak : 9 bulan
✓ Kesimpulan : Imunisasi dasar sesuai rekomendasi IDAI

I. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

a. Pertumbuhan
Pasien lahir dengan berat badan 3200 gram tetapi keluarga lupa tentang panjang
badan. Saat ini pasien berusia 7 tahun 3 bulan dengan berat badan 16 kg dan tinggi
badan 112 cm.

b. Perkembangan

Usia Motorik kasar Motorik halus Bicara Sosial

3 bulan Angkat kepala Menggenggam Tertawa Senyum


dan miring benda ketika diajak
miring bicara

6 bulan Duduk tanpa


sanggahan

9 bulan Berdiri tanpa Memanggil Tepuk tangan


berpegangan mama papa

16 bulan Berjalan Minum dari


gelas

20 bulan Berlari Mencoret Berbicara Memakai


coret sepatah dua sendok
patah kata

Kesan : Tidak terdapat gangguan tumbuh kembang

J. Riwayat Nutrisi
Pasien hanya mendapatkan ASI ekslusif selama 6 bulan dan dilanjutkan dengan
susu formula. Makan nasi dan lauk sehari 2-3 kali porsi sedang, makan sayur & buah tidak
setiap hari. Tidak terdapat penurunan nafsu makan.
5
IV. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

a. Keadaan Umum : Sedang

b. Kesadaran : Composmentis

c. Tanda Vital

• Tekanan darah : 110/70


• Nadi : 89x/menit
• Respirasi : 22x/menit
• SpO2: 98%
• Suhu : 36,5oC

B. Status Gizi

Antropometri

• Berat Badan : 16 kg

• Tinggi Badan : 112 cm

BB/U = (BB aktual x 100%) : BB baku untuk umur

= (16 kg x 100%) : 23 kg = 69,5% = Gizi buruk

TB/U = (TB aktual x 100%) : TB baku untuk umur

= (112 cm x 100%) : 115 cm = 97% = Tinggi baik

BB/TB= (BB aktual x 100%) : BB baku untuk TB aktual

= (16kg x 100%) : 19 kg = 84% = 70-90% = Gizi kurang

6
C. Status Lokalis
• Kulit : Turgor elastis, ikterik (-)
• Kepala : Normocephal, rambut berwarna hitam, tidak mudah dicabut
• Leher : Trakea ditengah, JVP : 5 - 2 cm H2O,tidak ada pembesaran KGB
• Mata : Mata cekung, Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor
3mm/3mm,
• Hidung : Tidak ada kelainan
Mulut : bibir tidak pucat, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis
THORAX
• PARU-PARU
Inspeksi : Normochest, pergerakan dinding dada simetris,
Palpasi : Fremitus vocal dan fremitus taktil paru kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : napas vesikuler, rhonki -/- , wheezing -/-
7
• JANTUNG
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS 5, pada garis midclavikularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS IV linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri atas pada ICS IV linea parasternalis sinistra
Batas kiri bawah pada ICS V linea axilla anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung reguler normal, murmur (-), gallop (-)

● ABDOMEN
Inspeksi : Perut tampak datar, tampak purpura
Auskultasi : Bising usus (+) normal 5x/menit
Palpasi : Hepar dan lien tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-), turgor kembali
cepat.
Perkusi : Timpani keempat kuadran abdomen, shiffting dullness (-)

● EKSTREMITAS
Ext atas : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2 detik
Ext bawah : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2 detik

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 30/8/21 Satuan Nilai Normal

Hemoglobin 11,8 g/dL 12.0 – 16.0

Hematokrit 35 % 38.0 – 47.0

Eritrosit 4,95 10^6/ L 4.20 – 5.40

MCV 70 fL 80 – 96

MCH 24 pg/mL 28 – 33

MCHC 34 g/dL 33 – 36

Trombosit 519 H 10^3/ L 150 – 450

8
Leukosit 13,2 H 10^3/ L 5.0 – 10.0

GDS 117 mg/dl 80-170

Hitung jenis

30/8/21 Satuan Nilai Normal

Basophil 0 % 0.0 – 1.0

Eosinophil 1 % 1.0 – 6.0

Neutrophil 83 H % 50 – 70

Limfosit 11 L % 20 – 40

NLR 7,55 H < = 5.80

Monosit 6 % 2–9

LED 40 H mm/jam <10

Paket Elektrolit

Natrium 146 mmol/L 136 -146

Kalium 4,0 mmol/L 3.5 – 5.0

Klorida 105 mmol/L 98 - 106

VII. RESUME
Pasien an. N datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal 30 Agustus
2021 dengan keluhan Kejang 3x dan muntah > 5x sejak ± 12 jam SMRS. Orang tua pasien
sudah memberikan diazepam 5 mg per rektal, tetapi kejang tidak membaik. Orang tua
pasien mengatakan kejang dialami ± 5 menit, kelojotan dan setelah kejang pasien tertidur.
Muntah berisi makanan dan cairan bewarna bening tetapi tidak disertai mual. Keluhan
demam, batuk dan pilek disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat epilepsy sejak
berusia 1 tahun dan mengkonsumsu obat as. Valproat secara rutin. Pasien lahir

9
normal dengan berat 3200 gram dan langsung menangis. Riwayat imunisasi lengkap.
Tidak ada gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Status gizi pasien buruk . Pada
pemeriksaan fisik TTV dalam batas normal, Dari pemeriksaan fisik mata pasien cekung.
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan peningkatan kadar Trombosit dan leukosit.
Pada hitung jenis terdapat peningkatan neutrophil dan LED, serta penurunan limfosist.

VIII. DIAGNOSIS KERJA


✓ Epilepsi
✓ Dehidrasi ringan-sedang

IX. DIAGNOSIS BANDING


- Syncope

X. PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa
• Tirah baring
• IVFD KAEN 3B 42 cc/jam
• pantau klinis,TTV, PF (tanda perdarahan), H2TL

Medikamentosa
• Ranitidine 2x20 mg IV

• Ondansetron 3x1,5 mg IV

• Diazepam 1,5 mg IV

• Asam valproate 2x300 mg IV

XI. EDUKASI

- Menjelaskan tentang penyakit pasien kepada orang tuanya

- Memberi edukasi untuk menjaga pola makan dan kesehatan

XII. PROGNOSIS

- Ad Vitam : Dubia ad Bonam

- Ad Sanactionam : Dubia ad Bonam

- Ad Functionam : Dubia ad Bonam


10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. EPILEPSI
1.1 DEFINISI

Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang dapat
disertai hilangnya kesadaran.7 Berdasarkan International League Against Epilepsy
(ILAE) pada tahun 2005, epilepsi yang didefinisikan secara konseptual merupakan
kelainan otak dengan ditandai kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik
secara terus-menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, dan sosial dari
kondisi ini. 3

Kejang/ bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya


muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang
bersifat transien. 5

1.2 EPIDEMIOLOGI
Menurut data World Health Organization (WHO), diperkirakan sekitar 50 juta
orang di dunia yang menderita epilepsi, menjadikannya salah satu penyakit neurologi
yang paling umum secara global. Hampir 80 % orang yang menderita epilepsi tinggal
di negara berpendapatan rendah dan menengah.18 Insidensi pada anak lebih tinggi
dibanding dewasa dan sering dimulai sejak usia bayi. Insidensi epilepsi pada anak di
negara berkembang berkisar 40 kasus/ 100.000 anak per tahun 5. Di Indonesia terdapat
paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000
kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40-50% terjadi pada anak-anak. 15

1.3 ETIOLOGI
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai
kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu : 3

11
Tabel 1. Etiologi Epilepsi
Kejang Fokal
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor neoplasma
f. Displasia
Kejang Umum
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif

1.4 FAKTOR RESIKO

Faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak terjadi saat prenatal, natal dan postnatal
sebagai berikut :
Tabel 2. Faktor Risiko Epilepsi
1. Prenatal
a) Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun)
b) Kehamilan dengan eklampsi dan hipertensi
c) Kehamilan primipara atau multipara
d) pemakaian bahan toksik
2. Natal
a) Asfiksia
b) Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram)
c) Kelahiran prematur dan postmatur
d) Partus lama
e) Persalinan dengan alat
3. Postnatal
a) Kejang demam

12
b) Trauma kepala
c) Infeksi SSP
d) Gangguan metabolik

1.5 MANIFESTASI KLINIS

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu : 11
1) Kejang parsial : Berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum.
Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya
masih baik.
a. Kejang parsial sederhana : Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,
femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.

b. Kejang parsial kompleks : Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang
parsial sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme

2) Kejang umum : Berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum.
Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans : Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehinggasering tidak terdeteksi.

b. Kejang Atonik : Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota
badan,leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.

c. Kejang Mioklonik : Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat
dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.

d. Kejang Tonik-Klonik : Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran


hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase
klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena
otonom yangterjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut
jantung.

13
e. Kejang Klonik : Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi
kejangyang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.

f. Kejang Tonik Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

1.6 PATOFISIOLOGI

Pada celah sinaptik saraf terdapat membran postsinaptik yang mengandung reseptor
pengikat neurotransmitter, yang jika berikatan dengan reseptor akan terjadi perubahan
lokal sistem elektrik neuron, yang dapat berupa eksitasi dan inhibisi pada impuls saraf
sehingga terjadi aksi potensial yang dapat menimbulkan serangan epilepsi. 16

i. Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi

Patofisiologi epilepsi berdasarkan mekanisme tidak seimbangnya eksitasi dan


inhibisi. Aktivitas kejang sangat dipengaruhi oleh perubahan eksitabilitas sel-sel saraf dan
hubungan antar sel-sel saraf. Kejang dapat dipicu oleh eksitasi ataupun inhibisi pada sel
saraf. Glutamat yang dilepaskan dari terminal presinaps akan berikatan dengan reseptor
glutamat yang disebut reseptor ionotropik glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub
tipe yaitu NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan non-NMDA (kainate dan amino-3-
hydroxy-5-methyl-isoxasole propionic acid atau AMPA). Ikatan glutamat dengan reseptor
non-NMDA akan menghasilkan neurotransmisi eksitasi tipe cepat yang disebut excitatory
postsynaptic potential (EPSP). Sementara itu, ikatan glutamat dengan reseptor NMDA
akan menghasilkan tipe EPSP yang lebih lambat. 16

ii. Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi


Neurotransmitter inhibisi primer pada otak adalah GABA. GABA yang dilepaskan
akan berikatan dengan reseptor GABA-A dan menyebabkan masuknya ion Cl- ke dalam sel
neuron. Masuknya ion Cl- ini akan meningkatkan muatan negatif dalam neuron postsinaps dan
mengakibatkan hiperpolarisasi, perubahan pada potensial membran ini disebut inhibitory
postsynaptic potential (IPSP). Reseptor GABA-B terletak pada terminal presinaptik dan
membran postsinaptik. Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik maka
reseptor GABA-B akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan cetusan
elektrik sel saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan mengakibatkan eksitasi
dan mencetuskan epilepsi. 16
14
1.7 KLASIFIKASI KEJANG EPILEPSI

Gambar 2. Klasifikasi tipe kejang sesuai klasifikasi ILAE 2017

15
Klasifikasi yang diperluas memberikan tingkatan nama kejang yang lain, dibuat
atas rangka klasifikasi dasar. Pengaturan secara vertikal kategori dari onset fokal tidak
secara hierarki, menamai tingkat kesadaran adalah opsional. Kejang fokal dapat
diklasifikasikan kejang fokal dengan kesadaran (sesuai dengan istilah 1981 “kejang parsial
sederhana”) atau kejang fokal dengan gangguan kesadaran (sesuai istilah 1981 “kejang
parsial kompleks”). Kejang fokal sadar atau kejang fokal dengan gangguan kesadaran
secara opsional dapat diklasifikasikan dengan menambahkan salah satu istilah onset motor
atau onset nonmotor dibawah, mencerminkan tanda dan gejala yang awal selain kesadaran.
Sebagai alternatif, sebuah nama kejang fokal dapat menghilangkan penyebutan kesadaran
karena tidak dapat diterapkan atau tidak diketahui dan mengklasifikasikan kejang fokal
secara langsung berdasarkan karakteristik motor atau nonmotor sejak awal. 4

fokal motor onset meliputi aktivitas: atonik (hilangnya tonus fokal), tonik
(kekakuan fokal yang terus berlanjut), klonik (menyentak, berirama fokal), mioklonik
(ireguler, fokal menyentak yang singkat), atau spasme epilepsi (fokal fleksi atau ekstensi
lengan dan fleksi batang tubuh). Perbedaan antara klonik dan mioklonik tidak terlalu jelas,
namun klonik menampilkan berkelanjutan, sering tersentak stereotip, sedangkan
mioklonik kurang teratur dan berlangsung lebih singkat. Perilaku fokal motorik yang tidak
terlalu jelas lainnya termasuk aktivitas hiperkinetik (mengayuh, meronta-ronta) dan
automatisme. Automatisme adalah keadaan lebih atau kurang terkoordinasi, tanpa tujuan,
aktivitas motorik yang berulang. Beberapa automatisme tumpang tindih dengan aktivitas
motor lainnya, contohnya, aktivitas mengayuh atau hiperkinetik, sehingga klasifikasi terasa
masih ambigu. Klasifikasi ILAE 2017 memasukkan aktivitas mengayuh termasuk ke
dalam aktivitas hiperkinetik dibanding dengan kejang automatisasi. 4

Kejang fokal motor dengan behavior arrest termasuk penghentian pergerakan dan
tidak responsif. Kejang fokal autonomik muncul dengan sensasi gastrointestinal, sensasi
panas atau dingin, palpitasi, perubahan respiratori dan efek autonomik lainnnya. Kejang
fokal kognitif bisa diidentifikasi ketika pasien melaporkan atau memunculkan defisit pada
bahasa, berpikir atau terkait fungsi kortikal yang lebih tinggi dan ketika gejala ini melebihi
manifestasi kejang lainnya. Deja vu, jamais vu, halusinasi dan ilusi adalah contoh
fenomena kognitif abnormal yang diinduksi. Kejang fokal emosional muncul dengan
perubahan emosi, termasuk ketakutan, cemas, agitasi, marah, paranoid, kesenangan,
16
ekstasi, tertawa (gelastik), atau menangis. Kejang fokal sensori bisa menghasilkan sensasi
somatosensori, olfaktori, visual, auditori, gustatori, sensasi panas-dingin atau vestibular. 4

Klasifikasi kejang onset umum mirip dengan klasifikasi tahun 1981, dengan
penambahan beberapa tipe baru. Kesadaran biasanya terganggu pada kejang onset umum,
jadi tingkat kesadaran tidak digunakan sebagai pengklasifikasi untuk kejang ini. Subdivisi
utama terbagi menjadi motor dan nonmotor (absence). Istilah “motor” dan “nonmotor
(absence)” hadir untuk memungkinkan karakterisasi dari motor atau nonmotor kejang
onset umum yang tidak bisa dikatakan hal lain, tetapi istilah “motor” dan ”nonmotor
(absence)” dapat dihilangkan bila nama kejang tersebut ambigu, contohnya “kejang tonik
umum”. Kata “umum” dapat dihilangkan untuk kejang seperti absence yang hanya hadir
dengan onset umum. 4

Kejang dengan onset tidak diketahui dapat dibagi menjadi motor atau nonmotor.
Manfaat utama dari klasifikasi ini adalah untuk kejang tonik- klonik yang awalnya
dikaburkan. Informasi lebih lanjut memungkinkan untuk reklasifikasi sebagai kejang onset
umum atau fokal. Spasme epileptik atau behavior arrest merupakan kemungkinan lain dari
kejang yang tidak diketahui onsetnya. Kejang behavior arrest dengan onset yang tidak
diketahui dapat menggambarkan focal impaired awareness seizure dan an absence seizure.
Jika sebuah peristiwa tidak jelas merupakan kejang, maka kejadian tersebut tidak boleh
disebut sebagai kejang yang tidak terklasifikasi; klasifikasi ini diperuntukkan bagi kejadian
yang tidak biasa yang menyerupai kejang, namun tidak dapat dikarakteristikkan. 4

Setiap klasifikasi kejang memiliki derajat ketidakpastian. Sekelompok ilmuwan


mengadopsi pedoman umum dari tingkat kepastian 80% bahwa onset adalah fokal atau
umum; jika tidak kejang harus terdaftar sebagai kejang dengan onset tidak diketahui. 4
Daftar istilah Glossary. 4

1. Absence, typical (absans, tipikal) : Onset mendadak, gangguan aktivitas yang sedang
berlangsung, tatapan kosong, mata deviasi ke atas secara singkat. Biasanya pasien akan
tidak respon saat diajak bicara. Durasinya dari beberapa detik sampai setengah menit
dengan pemulihan yang cepat. Kejang absans adalah kejang dengan onset umum.
2. Absence, atypical (absans, atipikal) : Sebuah kejang absans dengan perubahan tonus yang
lebih jelas dari absans tipikal atau onset dan/atau penghentian tidak tiba-tiba, sering

17
dikaitkan dengan aktivitas spike yang umum, lambat, dan ireguler.
3. Atonic (atonik) : Kelemahan tonus otot secara tiba-tiba tanpa kejadian mioklonik atau tonik
sebelumnya yang berlangsung 1-2 detik, melibatkan kepala, tubuh, rahang, otot anggota
tubuh.
4. Automatism (automatisme) : Aktivitas motorik yang kurang terkoordinasi biasanya terjadi
saat kesadaran terganggu dan pasien biasanya (tidak selalu) mengalami amnesia
sesudahnya. Hal ini sering menyerupai gerakan volunter dan mungkin terjadi dari
kelanjutan yang tidak tepat dari aktivitas motorik preiktal.
5. Autonomic seizure (kejang autonomik) : Perubahan fungsi sistem saraf otonom yang
melibatkan kardiovaskular, pupil, gastrointestinal, sudomotor, vasomotor, dan
termoregulator.
6. Aura : Sebuah fenomena iktal subjektif pada pasien tertentu, yang bisa mendahului kejang
yang dapat diamati.
7. Awareness (kesadaran) : Pengetahuan tentang diri sendiri dan lingkungan.

8. Bilateral : Kedua sisi kanan dan kiri, walaupun manifestasi dari kejang bilateral dapat
simetris dan asimetris.
9. Clonic (klonik) : Menyentak, simetris atau asimetris, berulang secara teratur dan
melibatkan kelompok otot yang sama.
10. Consciousness (kesadaran) : Keadaan pikiran dengan aspek subjektif dan objektif terdiri
dari rasa diri sebagai entitas unik, kesadaran, responsif, dan ingatan.
11. Epileptic spams (spasme epileptik) : Fleksi yang tiba-tiba, ekstensi atau campuran ekstensi-
fleksi otot-otot yang didominasi proksimal dan trunkal yang biasanya terus-menerus
daripada gerakan mioklonik tapi tidak berlanjut seperti kejang tonik. Kondisi yang
mungkin terjadi meringis, kepala mengangguk, atau gerakan yang halus. Spasme infantil
adalah bentuk yang paling dikenal, namun spasme dapat terjadi pada semua umur.
12. Eyelid myoclonia (mioklonia kelopak mata) : Kelopak mata menyentak dengan frekuensi
minimal tiga kali per detik, biasanya dengan deviasi mata ke atas, biasanya berlangsung
>10 detik, sering dicetuskan oleh penutupan mata. Mungkin ada atau tidak adanya kaitan
dengan hilangnya kesadaran.
13. Gelastic (gelastik) : Tertawa atau cekikan, biasanya tanpa alasan yang jelas dan tidak
terkontrol.
14. Generalized tonic-clonic (tonik-klonik umum) : Kontraksi tonik bilateral atau kadang-
kadang asimetris dan kemudian kontraksi klonik bilateral otot somatik, biasanya dikaitkan

18
dengan fenomena otonom dan hilangnya kesadaran. Serangan ini melibatkan jaringan di
kedua belahan otak pada awal kejang.
15. Behavior arrest (perilaku terhenti) : Aktivitas berhenti (jeda), pembekuan, imobilisasi,
seperti dalam behavior arrest seizure.
16. Impaired awareness (gangguan kesadaran) : Gangguan atau kehilangan kesadaran fokal,
yang sebelumnya disebut kejang parsial kompleks.
17. Motor (motor) : Melibatkan otot-otot dalam bentuk apapun. Kejadian motor bisa terdiri
dari kenaikan (positif) atau penurunan (negatif) pada kontraksi otot untuk menghasilkan
gerakan.
18. Myoclonic (mioklonik) : Tiba-tiba, singkat (<100 msec) kontraksi tunggal; atau multipel
dari otot atau kelompok otot topografi (aksial, ekstremitas proksimal, distal). Mioklonus
kurang rutin berulang dan kurang berkelanjutan dibanding klonus.
19. Myoclonic-atonic (mioklonik-atonik) : Tipe kejang umum dengan sentakan mioklonik
yang menyebabkan komponen motorik atonik, jenis ini sebelumnya disebut myoclonic-
astatic.
20. Myoclonic-tonic-clonic (mioklonik-tonik-klonik) : Satu atau beberapa sentakan dari
tungkai secara bilateral, diikuti dengan kejang tonik-klonik. Sentakan awal dapat dianggap
sebagai periode singkat klonus atau mioklonus. Kejang dengan karakteristik ini sering
terjadi pada epilepsi mioklinik remaja.
21. Nonmotor (nonmotor) : Tipe kejang fokal atau kejang umum dimana aktivitas motorik
tidak menonjol.
22. Propagation (propagasi) : Penyebaran aktivitas kejang dari satu tempat di otak ke otak
lainnya, atau melibatkan jaringan otak tambahan.
23. Responsiveness (responsif) : Kemampuan untuk bereaksi secara tepat dengan gerakan atau
ucapan saat dihadapkan dengan stimulus.
24. Seizure (kejang) : Kejadian sementara sebagai tanda dan/atau gejala akibat aktivitas saraf
otak yang berlebihan secara abnormal atau tidak sinkron.
25. Tonic (tonik) : Peningkatan kontraksi otot yang berlanjut, berlangsung beberapa detik
sampai menit.
26. Tonic-clonic (tonik-klonik) : Terdiri dari tonik diikuti fase klonik.
27. Unaware (tidak sadar) : Istilah ini digunakan sebagai singkatan untuk gangguan kesadaran.
28. Unclassified (tidak terklasifikasi) : Mengacu pada jenis kejang yang tidak dapat dijelaskanoleh
klasifikasi ILAE 2017 baik karena informasi yang tidak memadai atau fitur klinis yang tidak
biasa.
19
1.8 DIAGNOSIS

Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2014 diagnosis


epilepsi ditegakkan dengan tiga kondisi, yaitu:

1. Setidaknya dua kejang tanpa provokasi terpisah >24 jam


2. Terdapat satu kejang tanpa provokasi (atau refleks) dan kemungkinan kejang
selanjutnya mirip dengan risiko rekurensi umum (setidaknya 60%) setelah dua kejang
tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang
3. Diagnosis sindrom epilepsi. 3

Diagnosis epilepsi pada anak dan remaja dapat ditegakkan oleh dokter spesialis
anak yang sudah dilatih dan/atau pakar di bidang epilepsi. Diagnosis epilepsi merupakan
diagnosis klinis yang terutama ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik-
neurologis. 5

A. Anamnesis
Untuk mendiagnosis epilepsi anamnesis yang lengkap dan rinci mengenai kejadian
sangat diperlukan, terutama penjelasan dari orang tua atau keluarga yang menyaksikan
kejadian. 5

1. Anamnesis untuk menentukan apakah serangan yang terjadi merupakan kejang


atau bukan.

20
2. Anamnesis untuk menentukan bentuk kejang
Anamnesis dilakukan untuk menentukan bentuk kejang, seperti: Kejang
tonik (kaku), klonik (kelojotan), umum atau fokal; Kejang umum tonik- klonik
(kaku-kelojotan); Tiba-tiba jatuh (atonik); Bengong, tidak berespon ketika
dipanggil atau ditepuk merupakan tipe kejang absans; Bayi tampak seperti kaget
berulang kali (spasme); Gerakan menyentak (jerks) pada ekstremitas merupakan
tipe kejang mioklonik; Episode bingung dan kehilangan kesadaran; Perasaan tiba-
tiba merasa mual atau sakit ulu hati, halusinasi visual/auditori, rasa kesemutan
dapat ditemukan pada kejang fokal. Keadaan tersebut dinamakan aura, yang
dideskripsikan sebagai stimulasi sensorik sebelum bangkitan muncul. Aura juga
dapat berupa merasa pernah berada di suatu tempat / de ja vu. 5

3. Anamnesis lain yang perlu ditanyakan

I. Pada keadaan apa bangkitan / kejang tersebut muncul ?


II. Apa yang dilakukan anak sebelum bangkitan muncul ?
III. Berapa kali anak kejang dalam sehari, berapa lama kejang berlangsung?
IV. Apa yang terjadi setelah kejang berhenti? Apakah anak terlihat bingung/
mengantuk/ lemas atau tidur?
V. Adakah gangguan fungsi otonom?
VI. Apakah bentuk bangkitan selalu sama?
VII. Bagaimana riwayat kehamilan, persalinan dan pascanatal untuk mengetahui faktor
risiko yang bisa mengakibatkan kelainan struktur otak,
VIII. Riwayat penyakit terdahulu seperti trauma kepala, infeksi SSP, perdarahan
intrakranial, penyakit lain yang disertai penurunan kesadaran
IX. Riwayat perkembangan anak
X. Riwayat epilepsi dalam keluarga. 5

B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis perlu dilakukan dengan
saksama, untuk mencari petunjuk ke arah sindrom tertentu sebagai etiologi epilepsi.

1. Pemeriksaan fisik umum


Pemeriksaan fisik umum dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, misalnya: trauma kepala, tanda-tanda infeksi, kelainan

21
kongenital, kecanduan alkohol atau napza, kelainan pada kulit (neurofakomatosis),
lingkar kepala, dan tanda-tanda keganasan. 8

2. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal
atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit
pascabangkitan, akan tampak defisit neurologis terutama tanda fokal yang tidak jarang
dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti: paresis Todd (hemiparesis setelah kejang yang
terjadi sesaat), gangguan kesadaran pascaiktal, afasia pascaiktal.8 Juga dilakukan evaluasi
psikologis. 9

C. Diagnosis sindrom epilepsy


Setelah menegakkan diagnosis epilepsi dan mengetahui tipe kejang, perlu
ditentukan apakah epilepsi pasien termasuk dalam sindrom klinis tertentu. Sindrom
epilepsi mengacu pada kumpulan gejala yang menggabungkan tipe kejang, EEG, dan
gejala pencitraan yang cenderung muncul bersamaan. Sindrom epilepsi sering memiliki
gejala yang tergantung dengan usia, seperti umur saat onset dan remisi, pemicu kejang,
variasi diurnal, dan kadang prognosis. Juga mungkin memiliki komorbiditas yang khas
seperti intelektual dan disfungsi psikiatri, bersamaan dengan temuan spesifik dari EEG dan
studi pencitraan. Terdapat banyaksindrom epilepsi yang telah diketahui. 1

D. Pemeriksaan penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang baku untuk menegakkan diagnosis epilepsi,


pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis epilepsi dengan
lebih lengkap atau menegakkan sindrom epilepsi. Epilepsi bisa ditegakkan meskipun
pemeriksaan penunjang normal. 5

1. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG rutin dilakukan pada setiap kejadian paroksismal bangkitan/


kejang. Walaupun EEG dilakukan secara rutin pada kejang tanpa provokasi pertama dan
pada (dugaan) epilepsi, EEG bukan pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis
epilepsi. Rekam EEG dilakukan selama 30 menit terdiri dari rekaman tidur dan bangun
tanpa menggunakan obat premedikasi. Pemeriksaan EEG dilakukan setelah kejang
kedua, namun dapat dilakukan setelah kejang pertama bila diperlukan. Gambar EEG saja
tanpa memandang informasi klinis tidak dapat menyingkirkan maupun menegakkan
diagnosis epilepsi. 5
22
Pada gambaran EEG perlu diperhatikan frekuensi dan amplitudo gelombang irama
dasar, ada tidak adanya asimetri, serta ada tidaknya aktivitas epileptiform yang dapat
berupa gelombang paku, gelombang tajam, paku ombak, tajam ombak, paku multipel,
burst suppression, dan hipsaritmia.
Peran EEG pada epilepsi adalah sebagai berikut:
i. Membantu menentukan tipe kejang
ii. Menunjukkan lokalisasi fokus kejang apabila ada, serta penyebarannya
iii. Membantu menentukan sindrom epilepsi
iv. Pemantauan keberhasilan terapi
v. Membantu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat dihentikan. 5
2. Pencitraan
Pencitraan berperan untuk mendeteksi lesi otak yang mungkin menjadi faktor
penyebab epilepsi atau kelainan neurodevelopmental yang menyertai. Magnetic
resonance imaging (MRI) merupakan pencitraan pilihan untuk mendeteksi kelainan yang
mendasari epilepsi. Indikasi MRI pada anak dengan epilepsi adalah sebagai berikut:

i. Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG


ii. Pemeriksaan neurologis yang abnormal, misalnya adanya defisit neurologis fokal,
stigmata kelainan neurokutan, tanda malformasi otak, keterlambatan perkembangan
yang bermakna, atau kemunduran perkembangan
iii. Anak berusia <2 tahun
iv. Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simtomatik, contohnya spasme infantil atau
sindrom Lennox-Gastaut
v. Epilepsiintraktabel
Kegagalan mengontrol bangkitan dengan lebih dari dua OAE lini pertama dengan
rata-rata serangan lebih dari 1 kali/ bulan selama 18 bulan dan interval bebas
bangkitan tidak lebih dari tiga bulan
vi. Status epileptikus 5, 17
Untuk menentukan etiologi, memperkirakan prognosis, dan merencanakantatalaksana
klinis yang sesuai dilakukan pencitraan, selain pencitraan pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan sitogenetik, metabolik, dan analisis kromosom. 5

23
1.9 DIAGNOSIS BANDING 21

A. SYNCOPE

Epilepsi Syncope
Pencetus Tidak biasa Biasa (misal: emosi)
Posisi tegak, kondisi padat,
Susasana Apapun
panas, stress, emosi
Berangsur, merasa gelap/mual,
Awal Mendadak, aura +/-
berkeringat
Warna kulit Pucat/merah (flushed) Biasanya pucat
Inkontinensia Sering terjadi Jarang
Lidah tergigit Sering terjadi Sangat jarang
Muntah Jarang Sering terjadi
Tonik/tonik-klonik, klonik Lemas tanpa gerakan, mungkin
Fenomena
menonjol dengan amplitude ada sentakan klonik kecil
motoric
& frekuensi biasa singkat, inkoordinasi atau tonik
Pernafasan Mendengkur, mulut berbusa Dangkal lambat
Cedera Sering terjadi Jarang
Pasca serangan Bingung, mengantuk, tidur Cepat siuman tanpa rasa bingung
Lama Beberapa menit ± 10 detik

B. PSEUDOSEIZZURE
Penyebab kejang pseudoseizure sama sekali tidak berhubungan dengan gangguan
aktivitas listrik dalam otak. Pseudoseizure adalah gejala kejang yang disebabkan oleh
kondisi psikologis berat. Pseudoseizure merupakan gangguan psikologis, biasanya banyak
pada orang dewasa terutama perempuan. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) juga
dapat menjadi penegak diagnosis pseudoseizure dengan memperhatikan keabnormalan
aktivitas sel saraf otakdan membedakannya dengan aktivitas otak pengidap epilepsi saat
kejang.

24
C. HISTERIA

Epilepsi Histeria

• Bangkitan/ kejang dapat timbul setiap • Bangkitan timbul biasanya saat


saat penderita dikelilingi banyak orang
• Wajah cenderung sianotik • Muka tidak sianotik
• Epileptic Cry (+)
• Mengerang berbentuk kalimat Panjang
• Terdapat kejang tonik/klonik
(histeris)
• Refleks kornea mata (-)
• Terdapat gerakan-gerakan tertentu
• Mata juga membalik keatas
• Refleks Plantar, sewaktu bangkitan • Refleks kornea positif

dapat ekstensor • Refleks plantar selama bangkitan


• Sewaktu bangkitan dapat terjadi: luka- normal
luka, lidah tergigit, air liur, mengompol
• Sewaktu bangkitan tidak terjadi luka

D. KEJANG DEMAM

Penyebab kejang demam biasanya non-intrakranial. Bangkitan pada kejang


demam terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 derajat celcius pada usia antara 6
bulan sampai 5 tahun. Kejang demam pada anak-anak biasanya disebabkan oleh:
Infeksi. Diagnosa banding epilepsi dengan kejang demam berdasarkan penyebab dan
gejalanya. Gejala epilepsi biasanya bukan hanya terjadi kejang, tapi dapat berupa
penurunan kesadaran, bengong, tonus otot melemah.

1.10 TATALAKSANA

Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :


a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari
faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri.
Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan
dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika
kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan
obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti,
maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. 12
25
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari
serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai
kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-
sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi
penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini
dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan
sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai
pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu 14

1) Terapi medikamentosa
Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi lini pertama,
menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan: dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Jika bangkitan tidak dapat
dihetikan dengan OAE lini pertama dosis maksimal, monoterapi lini kedua dimulai. 17

Panduan memilih OAE lini pertama:

1. Phenobarbital
Phenobarbital digunakan untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 4-6 mg/kg/hari terbagi
dalam dua dosis.17 Efek sampingnya adalah mengantuk, pusing, agresif hiperaktivitas
paradoksikal pada anak. 6
2. Phenytoin
Phenytoin digunakan untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5-7 mg/kg/hari terbagi dalam
dua dosis.17 Efek sampingnya adalah hiperplasia gingiva dan hirsutism pada anak-anak
dengan penggunaan jangka panjang. 6
3. Valproic acid
Valproic acid digunakan untuk epilepsi umum, parsial dan absans. Dosis 15-40 mg/kg/hari
terbagi dalam 2-3 dosis.17 Efek sampingnya adalah peningkatan berat badan, gangguan
kognitif, dan gangguan fungsi hati. 5
4. Carbamazepine
Carbamazepine digunakan untuk epilepsi parsial. Dosis 10-30 mg/kg/hari terbagi dalam 2-3
dosis.17 Efek sampingnya adalah sakit kepala, diplopia, penglihatan kabur, kemerahan,
gangguan pencernaan, hiponatremia, dan neutropenia. 6
Panduan memilih OAE lini kedua:
26
1. Topiramate
Topiramate digunakan untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5-9 mg/kg/hari terbagi
dalam 2-3 dosis.17 Efek sampingnya adalah sulit konsentrasi, gangguanmemori, masalah
perilaku dan kognitif, berat badan turun, asidosis metabolik, nefrolitiasis,oligohidrosis, dan
hipertermi. 6
2 Levetiracetam
Levetiracetam untuk epilepsi umum, parsial, absans, dan mioklonik. Dosis 20-60
mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis.17 Efek sampingnya adalah pusing dan gangguan
kepribadian. 6
3 Oxcarbazepine
Oxcarbazepine digunakan untuk epilepsi parsial dan benign rolandic epilepsy. Dosis 10-30
mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis.17 Efek sampingnya adalah hiponatremia, muntah, dan
mengantuk. 6
4 Lamotrigine
Lamotrigine digunakan untuk epilepsi umum, parsial, absans, dan mioklonik. Dosis 0,5-5
mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis. 17 Efek sampingnya adalah alergi pada kulit, aritmia
jantung, dan kematian secara tiba-tiba. 6

Politerapi (kombinasi 2-3 OAE) perlu dipertimbangkan, jika bangkitan tidak bisa
dihentikan dengan monoterapi lini kedua. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin.
Dalam penelitian prospektif, anak-anak yang menerima politerapi dilaporkan secara
signifikan lebih tinggi memiliki risiko efek samping obat. Kegagalan monoterapi berisiko
epilepsi refrakter (intraktabel) yaitu kegagalan mengontrol bangkitan dengan lebih dari dua
OAE lini pertama dengan rata-rata serangan lebih dari satu kali per bulan selama 18 bulan
dan interval bebas bangkitan tidak lebih dari tiga bulan. Penderita epilepsi refrakter lebih
berisiko mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.17

Tujuan pengobatan adalah untuk mencapai kontrol penuh bangkitan dengan toksisitas
minimal. Secara umum disepakati bahwa monoterapi harus menjadi pengobatan awal untuk
epilepsi yang baru didiagnosis pada anak-anak. Jika satu OAE tidak bekerja, obat kedua harus
diperkenalkan saat anak masih menerima obat pertama. Semua perubahan terapi, apakah
menambah atau mengganti OAE perlu disepakati orang tua dan pasien. Perlu dipertimbangkan
interaksi yang mungkin terjadi saat memperkenalkan OAE baru. Jika kontrol bangkitan dicapai

27
dengan obat baru, OAE yang tidak efektif dihentikan bertahap, tergantung efektivitas, efek
samping, dan parahnya kekambuhan. Namun jika masih tidak terkontrol, maka dapat diberikan
dosis maksimum kedua obat. Pemberian OAE ketiga hanya dapat dilakukan jika bangkitan
tidak dapat diatasi dengan penggunaan dua obat pertama dengan dosis maksimum. 17

Politerapi tidak dapat dihindari pada anak-anak epilepsi yang resisten obat. ILAE
mendefinisikan epilepsi resisten terhadap obat sebagai: kegagalan uji coba yang adekuat
dari dua obat yang ditoleransi dan dipilih secara tepat dan menggunakan jadwal OAE, baik
sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi, untuk mencapai bebas bangkitan yang
berkelanjutan. Pada anak-anak dengan epilepsi resisten obat, OAE lain harus ditambahkan
sampai kontrol tercapai. Kemudian penting untuk menghentikan bertahap OAE yang tidak
efektif atau tidak ditoleransi, karena jika tidak, seorang anak akan mendapat empat atau
lima OAE. Hal ini meningkatkan risiko interaksi dan efek samping.17

Sebelum memulai politerapi, beberapa hal patut dipertimbangkan adalah apakah


diagnosis sudah tepat, apakah kepatuhan minum obat sudah baik; dan apakah pilihan dan dosis
OAE sudah tepat.17

Politerapi OAE pada epilepsi refrakter : 17


1. Valproic + Ethosuximid (Digunakan untuk bangkitan absence)
2. Carbamazepine + Valproic (Digunakan untuk bangkitan parsial/ kompleks)
3. Valproic + Lamotrigine (Digunakan untuk bangkitan parsial/ bangkitan umum)
4. Topiramate + Lamotrigine (Digunakan untuk bangkitan parsial/ bangkitan umum)

2) Terapi Pembedahan
Operasi epilepsi yang melibatkan reseksi atau, lebih jarang, pemutusan atau
jaringan epilepsi, merupakan terapi efektif untuk pasien tertentu dengan resistan terhadap
obat epilepsy. Kelayakan untuk operasi ditentukan berdasarkan investigasi, termasuk
pemantauan video-EEG, MRI struktural, fluorodeoxyglucose positron emission
tomography, emisi foton tunggal ictal dan interiktal computed tomography, MRI
fumgsional, dan pengujian neuropsikologis. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menggambarkan "zona epileptogenik" (yaitu jumlah minimum korteks yang jika direseksi,
terputus atau rusak akan menyebabkan bebas kejang) dan mendefinisikan morbiditas risiko
pasca-operasi. 19

28
Beberapa pasien juga memerlukan intrakranial EEG, baik sebagai
elektrokortikografi intra-operatif atau rekaman operasi ekstra, untuk meningkatkan
lokalisasi zona epileptogenik. Probabilitas kebebasan kejang setelah operasi tergantung
pada banyak faktor, termasuk jenis epilepsi, hasil penyelidikan pra-bedah, etiologi yang
mendasari, sejauh mana reseksi, dan durasi follow up. Wiebe et all. mengacak 80 pasien
dengan epilepsi lobus temporal resistan terhadap tatalaksana dengan reseksi lobus temporal
anterior atau terapi AED lanjutan. Pada satu tahun pertama , 23/40 pasien yang menjalani
operasi (58%) bebas dari serangan seizure dibandingkan hanya 3/40 pasien yang dirawat
secara medis (8%) (P <0,001).

Pada Kelompok bedah dilaporkan memiliki kualitas hidup lebih baik secara
subjektif dibandingkan dengan kelompok medis. Pada tahun 2003, American Academy of
Neurology merekomendasikan bahwa pasien dengan kegagalan penghentian kejang fokal
dengan AED lini pertama harus dipertimbangkan untuk di rujuk ke pusat operasi epilepsi.

Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang


menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan
terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan
jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :

a) Lobektomi temporal
b) Eksisi korteks ekstratemporal
c) Hemisferektomi
d) Callostomi

3) Terapi nutrisi 10,2


Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang
dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari
obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun
mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara
pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikandan mengontrol terjadinya
kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan
yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan.
Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanantinggi lemak. Rasio kebutuhan berat
lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian
diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg.
29
Diet ketogenik adalah konsumsi lemak tinggi, protein yang cukup, diet rendah
karbohidrat yang merupakan terapi lini pertama terapi untuk defisiensi glukosa tipe 1
sindrom dan defisiensi kompleks dehidrogenase piruvat, dan terbukti efektif pengobatan
untuk epilepsi anak resisten obat. Dalam uji coba secara acak, 28/73 anak ditugaskan untuk
diet (38%) memiliki > 50% pengurangan kejang pada 3 bulan follow-up dibandingkan 4/72
kontrol (6%) (P <0,0001) . Lima anak dalam kelompok diet (7%) memiliki > 90%
pengurangan kejang dibandingkan dengan tidak ada kontrol (P =0,06).

4) Terapi lainnya
Terapi neuromodulator dapat diterapkan pada pasien dengan epilepsi yang resistan
terhadap obat yaitu dengan stimulasi otak pada nukleus anterior pada thalamus. Stimulasi
kortikal responsif, yang memberikan stimulasi listrik ketika elektrokortikografi mendeteksi
aktivitas abnormal melalui loop tertutup yang ditanamkan pada tubuh. Perawatan ini dapat
menyebabkan pengurangan kejang, tetapi jarang membuat pasien bebas kejang.

Farmakogenomik adalah studi tentang variasi dalam gen-enzim yang mengkodekan


enzim-enzim yang memetabolisme, transporter dan target obat, dan bagaimana variasi ini
memengaruhi disposisi obat dan responnya. Skrining HLA-B * 1502 sangat disarankan
pada individu berisiko tinggi sebelum memulai carbamazepine (misalnya, Cina, Thailand,
India, Melayu, Filipina dan Penduduk Indonesia). Untuk beberapa epilepsi genetik, obat
dengan presisi gen sudah menjadi kenyataan. Contoh utama adalah sindrom defisiensi
glukosa tipe 1, di mana mutasi dominan pada SLC2A1 mengakibatkan gangguan
pengambilan glukosa oleh otak. Pasien-pasien ini merespon ketogenic diet, yang
menyediakan otak dengan substrat energi alternatif. Contoh lain adalah epilepsi dependen
piridoksin yang disebabkan oleh mutasi resesif dalam ALDH7A1, yang membutuhkan
perawatan yang cepat dengan pyridoxine.

Mengidentifikasi penyebab molekuler epilepsi juga memungkinkan pencegahan atau


minimalisasi efek merugikan AED. Dalam SCN1Akaitan epilepsi, AEDs pemblokiransaluran
natrium, seperti carbamazepine, dapat memperberat kejang. Dalam epilepsi karena mutasi
POLG, penghindaran valproate dianjurkan karena peningkatan risiko gagal hati.

30
1.11 KOMPLIKASI

Bila serangan epilepsy sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan terjadi
kerusakan pada organ otak, dimana tingkat kerusakan biasanya bersifat irreversible dan
jika sering terjadi dengan jangka waktu yang lama sering sekali membuat pasien menjadi
cacat.

1.12 PROGNOSIS

Pada kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas


terjadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara
menghindari faktor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari. Penanganan
pada kasus epilepsi saat serangan merupakan faktor penting penentuan prognosis.

Kekambuhan setelah bangkitan pertama terjadi kurang dari setengah pada anak atau
dewasa muda dengan EEG normal, neuroimaging normal, dan tidak ada riwayat penyebab
epilepsi simptomatis.

Bangkitan yang pertama kali timbul pada usia tua lebih mudah diobati dibandingkan
pada kelompok usia yang lebih muda, dengan persentase kejadian bebas kejang 60%-70%
dengan monoterapi. Kejang yang tidak ditangani juga dapatmenimbulkan bahaya seperti jatuh,
fraktur, cedera kepala, sudden death, dan status epileptikus.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Lestari, S. M. P. & Mudapati, A. 2014, ‘Faktor-Faktor yang Terdapat pada Kejadian


Epilepsi anak usia ≤ 5 Tahun di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun
2012-2014’ , Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, vol. 1, no. 3
2. Cai Q-Y, Zhou Z-J, Luo R, Gan J, Li S-P, Mu D-Z, et al. Safety and tolerability of the
ketogenic diet used for the treatment of refractory childhood epilepsy: a systematic
review of published prospective studies. World J Pediatr [Internet]. 2017 Dec 12 [cited
2021 Sept 9];13(6):528–36. Available from: http://link.springer.com/10.1007/s12519-
017-0053-2
3. Fisher, R. S., Acevedo, C., Arzimanoglou, A., Bogacz, A., Cross, J. H., Elger, C. E.,
Junior,
4. E., Forsgren, L., French, J. A., Glynn, M., Hesdorffer, D. C., Lee, B. I., Mathern, G.
W., Moshe, S. L., Perucca, E., Scheffer, I. E., Tomson, T., Watanabe, M. & Wiebe, S.
2014, ‘A practical clinical definition of epilepsy’ , Epilepsia, vol. 55, no. 4, pp. 475-
482.
5. Fisher, R. S., Cross, J. H., D’Souza, C., French, J.A., Haut, S.R., Higurashi, N., Hirsch,
E.,
6. Jansen, F. E., Lagae, L., Moshe, L. S., Peltola, J., Perez, E. R., Scheffer, I. E., Bonhage,
A. S., Somerville, E., Sperling, M., Yacubian, E. M. & Zuberi, S. M. 2017, ‘Instruction
manual for the ILAE 2017 operational classification of seizure types’, Epilepsia, vol.
58, no. 4, pp. 531-542.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016, Epilepsi pada Anak, Mangunatmadja, I.,
Handryastuti. S. & Risan N. M. (ed), Badan penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.
8. Incecik, F., Herguner, O. M., Altunbasak, S., Mert. G. & Kiris, N. 2014, Risk of
recurrence after discontinuation of antiepileptic drug therapy in children with epilepsy’,
Journal of Pediatric Neurosciences, vol. 9, no. 2, pp.100- 104.
9. Kristanto, A. 2017, ‘Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah
Denpasar-Bali’ , Intisari Sains Medis, vol. 8, no. 1, pp. 69-73.
10. Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2014, Pedoman Tatalaksana
Epilepsi, 5th edn, Pusat Penerbitan dan Percetakkan Unair, Surabaya, accessed on 15th
May 2020, available at: https://online.fliphtml5.com/rlkrg/bzjx/#p=9

32
11. Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2016, Panduan Praktik klinis
neurologi, Epilepsi pada Anak,pp. 279, accessed on 06th June 2020, available at:
http://snars.web.id/ppkneurologi/ppkneurologi.pdf
12. Perucca P, Scheffer IE, Kiley M. The management of epilepsy in children and adults.
2018 [cited 2021 Sept 9]; Available from:
https://www.mja.com.au/system/files/issues/208_05/10.5694mja17.00951.pdf
13. Rudolph;A.M. Gangguan Kejang pada Bayi dan Anak. In: Rudolph pediatric. ECG;
2007. p. 2134–40.
14. Sareharto TP BT. Penatalaksanaan Kejang. In: Putranti A, editor. Buku Ajar llmu
Kesehatan Anak Semarang: Semarang: Balai Penerbit UNDIP; 2011. p. 138–9.
15. Scheffer, I. E., Berkovic, S., Capovilla, G., Connolly, M. B., French, J., Guilhoto, L.,
Hirsch, E., Jain, S., Mathern, G. W., Moshe, L. S., Nordli, D. R., Perucca, E., Tomson,
T., Wiebe, S., Zhang, Y. H. & Zuberi, S. M. 2017, ‘ILAE classification of the epilepsies
: Position paper of the ILAE commission for Classification and Terminology’ ,
Epilepsia, vol. 58, no. 4, pp. 512-521.
16. Shorvon SD (Simon D. Handbook of epilepsy treatment : forms, causes, and therapy in
17. children and adults. Blackwell Pub; 2005. 304 p.
18. Suwarba, I. G. N. M. 2011, ‘Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak’ ,
Sari Pediatri, vol. 13, no. 2, pp. 123-128.
19. Vera, R., Dewi, M. A. R. & Nursiah. 2014, ‘Sindrom Epilepsi pada Anak’, MKS, vol.
46, no. 1, pp. 72-76.
20. Wijaya, J. S., Saing, J. H. & Destariani, C. P. 2020, Politerapi Anti-Epilepsi pada
Penderita Epilepsi Anak, vol. 47, no. 3, pp. 191-194.
21. World Health Organiization (WHO). 2019, Epilepsy fact sheet, accessed on 21th March
2020, available at: https://www.who.int/news-room/fact- sheets/detail/epilepsy.
22. Ryvlin P, Cross JH, Rheims S. Epilepsy surgery in children and adults. Lancet Neurol
[Internet]. 2014 Nov [cited 2018 Nov 6];13(11):1114–26. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25316018.

33

Anda mungkin juga menyukai