“EPILEPSI”
Disusun oleh:
Pembimbing:
2
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N
Berat Badan : 16 kg
Usia : 37 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Usia : 40 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
3
III. ANAMNESIS
B. Keluhan Tambahan
Ibu dengan G2P2A0, ibu pasien mengeluh mual dan muntah saat kehamilan.
Pasien lahir secara normal dengan berat lahir 3200 gram dan langsung menangis di Klinik
bidan.
4
H. Riwayat Imunisasi
✓ Hepatitis B : 0 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
✓ BCG : 1 bulan
✓ Polio : 1 bulan, 2 bulan,3 bulan, 4 bulan
✓ DPT- HiB : 2 bulan,3 bulan, 4 bulan
✓ Campak : 9 bulan
✓ Kesimpulan : Imunisasi dasar sesuai rekomendasi IDAI
a. Pertumbuhan
Pasien lahir dengan berat badan 3200 gram tetapi keluarga lupa tentang panjang
badan. Saat ini pasien berusia 7 tahun 3 bulan dengan berat badan 16 kg dan tinggi
badan 112 cm.
b. Perkembangan
J. Riwayat Nutrisi
Pasien hanya mendapatkan ASI ekslusif selama 6 bulan dan dilanjutkan dengan
susu formula. Makan nasi dan lauk sehari 2-3 kali porsi sedang, makan sayur & buah tidak
setiap hari. Tidak terdapat penurunan nafsu makan.
5
IV. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tanda Vital
B. Status Gizi
Antropometri
• Berat Badan : 16 kg
6
C. Status Lokalis
• Kulit : Turgor elastis, ikterik (-)
• Kepala : Normocephal, rambut berwarna hitam, tidak mudah dicabut
• Leher : Trakea ditengah, JVP : 5 - 2 cm H2O,tidak ada pembesaran KGB
• Mata : Mata cekung, Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor
3mm/3mm,
• Hidung : Tidak ada kelainan
Mulut : bibir tidak pucat, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis
THORAX
• PARU-PARU
Inspeksi : Normochest, pergerakan dinding dada simetris,
Palpasi : Fremitus vocal dan fremitus taktil paru kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : napas vesikuler, rhonki -/- , wheezing -/-
7
• JANTUNG
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS 5, pada garis midclavikularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS IV linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri atas pada ICS IV linea parasternalis sinistra
Batas kiri bawah pada ICS V linea axilla anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung reguler normal, murmur (-), gallop (-)
● ABDOMEN
Inspeksi : Perut tampak datar, tampak purpura
Auskultasi : Bising usus (+) normal 5x/menit
Palpasi : Hepar dan lien tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-), turgor kembali
cepat.
Perkusi : Timpani keempat kuadran abdomen, shiffting dullness (-)
● EKSTREMITAS
Ext atas : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2 detik
Ext bawah : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2 detik
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 30/8/21 Satuan Nilai Normal
MCV 70 fL 80 – 96
MCH 24 pg/mL 28 – 33
MCHC 34 g/dL 33 – 36
8
Leukosit 13,2 H 10^3/ L 5.0 – 10.0
Hitung jenis
Neutrophil 83 H % 50 – 70
Limfosit 11 L % 20 – 40
Monosit 6 % 2–9
Paket Elektrolit
VII. RESUME
Pasien an. N datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal 30 Agustus
2021 dengan keluhan Kejang 3x dan muntah > 5x sejak ± 12 jam SMRS. Orang tua pasien
sudah memberikan diazepam 5 mg per rektal, tetapi kejang tidak membaik. Orang tua
pasien mengatakan kejang dialami ± 5 menit, kelojotan dan setelah kejang pasien tertidur.
Muntah berisi makanan dan cairan bewarna bening tetapi tidak disertai mual. Keluhan
demam, batuk dan pilek disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat epilepsy sejak
berusia 1 tahun dan mengkonsumsu obat as. Valproat secara rutin. Pasien lahir
9
normal dengan berat 3200 gram dan langsung menangis. Riwayat imunisasi lengkap.
Tidak ada gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Status gizi pasien buruk . Pada
pemeriksaan fisik TTV dalam batas normal, Dari pemeriksaan fisik mata pasien cekung.
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan peningkatan kadar Trombosit dan leukosit.
Pada hitung jenis terdapat peningkatan neutrophil dan LED, serta penurunan limfosist.
X. PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa
• Tirah baring
• IVFD KAEN 3B 42 cc/jam
• pantau klinis,TTV, PF (tanda perdarahan), H2TL
Medikamentosa
• Ranitidine 2x20 mg IV
• Ondansetron 3x1,5 mg IV
• Diazepam 1,5 mg IV
XI. EDUKASI
XII. PROGNOSIS
I. EPILEPSI
1.1 DEFINISI
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang dapat
disertai hilangnya kesadaran.7 Berdasarkan International League Against Epilepsy
(ILAE) pada tahun 2005, epilepsi yang didefinisikan secara konseptual merupakan
kelainan otak dengan ditandai kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik
secara terus-menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, dan sosial dari
kondisi ini. 3
1.2 EPIDEMIOLOGI
Menurut data World Health Organization (WHO), diperkirakan sekitar 50 juta
orang di dunia yang menderita epilepsi, menjadikannya salah satu penyakit neurologi
yang paling umum secara global. Hampir 80 % orang yang menderita epilepsi tinggal
di negara berpendapatan rendah dan menengah.18 Insidensi pada anak lebih tinggi
dibanding dewasa dan sering dimulai sejak usia bayi. Insidensi epilepsi pada anak di
negara berkembang berkisar 40 kasus/ 100.000 anak per tahun 5. Di Indonesia terdapat
paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000
kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40-50% terjadi pada anak-anak. 15
1.3 ETIOLOGI
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai
kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu : 3
11
Tabel 1. Etiologi Epilepsi
Kejang Fokal
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor neoplasma
f. Displasia
Kejang Umum
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif
Faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak terjadi saat prenatal, natal dan postnatal
sebagai berikut :
Tabel 2. Faktor Risiko Epilepsi
1. Prenatal
a) Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun)
b) Kehamilan dengan eklampsi dan hipertensi
c) Kehamilan primipara atau multipara
d) pemakaian bahan toksik
2. Natal
a) Asfiksia
b) Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram)
c) Kelahiran prematur dan postmatur
d) Partus lama
e) Persalinan dengan alat
3. Postnatal
a) Kejang demam
12
b) Trauma kepala
c) Infeksi SSP
d) Gangguan metabolik
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu : 11
1) Kejang parsial : Berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum.
Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya
masih baik.
a. Kejang parsial sederhana : Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,
femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks : Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang
parsial sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme
2) Kejang umum : Berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum.
Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans : Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehinggasering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik : Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota
badan,leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik : Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat
dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
13
e. Kejang Klonik : Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi
kejangyang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
1.6 PATOFISIOLOGI
Pada celah sinaptik saraf terdapat membran postsinaptik yang mengandung reseptor
pengikat neurotransmitter, yang jika berikatan dengan reseptor akan terjadi perubahan
lokal sistem elektrik neuron, yang dapat berupa eksitasi dan inhibisi pada impuls saraf
sehingga terjadi aksi potensial yang dapat menimbulkan serangan epilepsi. 16
15
Klasifikasi yang diperluas memberikan tingkatan nama kejang yang lain, dibuat
atas rangka klasifikasi dasar. Pengaturan secara vertikal kategori dari onset fokal tidak
secara hierarki, menamai tingkat kesadaran adalah opsional. Kejang fokal dapat
diklasifikasikan kejang fokal dengan kesadaran (sesuai dengan istilah 1981 “kejang parsial
sederhana”) atau kejang fokal dengan gangguan kesadaran (sesuai istilah 1981 “kejang
parsial kompleks”). Kejang fokal sadar atau kejang fokal dengan gangguan kesadaran
secara opsional dapat diklasifikasikan dengan menambahkan salah satu istilah onset motor
atau onset nonmotor dibawah, mencerminkan tanda dan gejala yang awal selain kesadaran.
Sebagai alternatif, sebuah nama kejang fokal dapat menghilangkan penyebutan kesadaran
karena tidak dapat diterapkan atau tidak diketahui dan mengklasifikasikan kejang fokal
secara langsung berdasarkan karakteristik motor atau nonmotor sejak awal. 4
fokal motor onset meliputi aktivitas: atonik (hilangnya tonus fokal), tonik
(kekakuan fokal yang terus berlanjut), klonik (menyentak, berirama fokal), mioklonik
(ireguler, fokal menyentak yang singkat), atau spasme epilepsi (fokal fleksi atau ekstensi
lengan dan fleksi batang tubuh). Perbedaan antara klonik dan mioklonik tidak terlalu jelas,
namun klonik menampilkan berkelanjutan, sering tersentak stereotip, sedangkan
mioklonik kurang teratur dan berlangsung lebih singkat. Perilaku fokal motorik yang tidak
terlalu jelas lainnya termasuk aktivitas hiperkinetik (mengayuh, meronta-ronta) dan
automatisme. Automatisme adalah keadaan lebih atau kurang terkoordinasi, tanpa tujuan,
aktivitas motorik yang berulang. Beberapa automatisme tumpang tindih dengan aktivitas
motor lainnya, contohnya, aktivitas mengayuh atau hiperkinetik, sehingga klasifikasi terasa
masih ambigu. Klasifikasi ILAE 2017 memasukkan aktivitas mengayuh termasuk ke
dalam aktivitas hiperkinetik dibanding dengan kejang automatisasi. 4
Kejang fokal motor dengan behavior arrest termasuk penghentian pergerakan dan
tidak responsif. Kejang fokal autonomik muncul dengan sensasi gastrointestinal, sensasi
panas atau dingin, palpitasi, perubahan respiratori dan efek autonomik lainnnya. Kejang
fokal kognitif bisa diidentifikasi ketika pasien melaporkan atau memunculkan defisit pada
bahasa, berpikir atau terkait fungsi kortikal yang lebih tinggi dan ketika gejala ini melebihi
manifestasi kejang lainnya. Deja vu, jamais vu, halusinasi dan ilusi adalah contoh
fenomena kognitif abnormal yang diinduksi. Kejang fokal emosional muncul dengan
perubahan emosi, termasuk ketakutan, cemas, agitasi, marah, paranoid, kesenangan,
16
ekstasi, tertawa (gelastik), atau menangis. Kejang fokal sensori bisa menghasilkan sensasi
somatosensori, olfaktori, visual, auditori, gustatori, sensasi panas-dingin atau vestibular. 4
Klasifikasi kejang onset umum mirip dengan klasifikasi tahun 1981, dengan
penambahan beberapa tipe baru. Kesadaran biasanya terganggu pada kejang onset umum,
jadi tingkat kesadaran tidak digunakan sebagai pengklasifikasi untuk kejang ini. Subdivisi
utama terbagi menjadi motor dan nonmotor (absence). Istilah “motor” dan “nonmotor
(absence)” hadir untuk memungkinkan karakterisasi dari motor atau nonmotor kejang
onset umum yang tidak bisa dikatakan hal lain, tetapi istilah “motor” dan ”nonmotor
(absence)” dapat dihilangkan bila nama kejang tersebut ambigu, contohnya “kejang tonik
umum”. Kata “umum” dapat dihilangkan untuk kejang seperti absence yang hanya hadir
dengan onset umum. 4
Kejang dengan onset tidak diketahui dapat dibagi menjadi motor atau nonmotor.
Manfaat utama dari klasifikasi ini adalah untuk kejang tonik- klonik yang awalnya
dikaburkan. Informasi lebih lanjut memungkinkan untuk reklasifikasi sebagai kejang onset
umum atau fokal. Spasme epileptik atau behavior arrest merupakan kemungkinan lain dari
kejang yang tidak diketahui onsetnya. Kejang behavior arrest dengan onset yang tidak
diketahui dapat menggambarkan focal impaired awareness seizure dan an absence seizure.
Jika sebuah peristiwa tidak jelas merupakan kejang, maka kejadian tersebut tidak boleh
disebut sebagai kejang yang tidak terklasifikasi; klasifikasi ini diperuntukkan bagi kejadian
yang tidak biasa yang menyerupai kejang, namun tidak dapat dikarakteristikkan. 4
1. Absence, typical (absans, tipikal) : Onset mendadak, gangguan aktivitas yang sedang
berlangsung, tatapan kosong, mata deviasi ke atas secara singkat. Biasanya pasien akan
tidak respon saat diajak bicara. Durasinya dari beberapa detik sampai setengah menit
dengan pemulihan yang cepat. Kejang absans adalah kejang dengan onset umum.
2. Absence, atypical (absans, atipikal) : Sebuah kejang absans dengan perubahan tonus yang
lebih jelas dari absans tipikal atau onset dan/atau penghentian tidak tiba-tiba, sering
17
dikaitkan dengan aktivitas spike yang umum, lambat, dan ireguler.
3. Atonic (atonik) : Kelemahan tonus otot secara tiba-tiba tanpa kejadian mioklonik atau tonik
sebelumnya yang berlangsung 1-2 detik, melibatkan kepala, tubuh, rahang, otot anggota
tubuh.
4. Automatism (automatisme) : Aktivitas motorik yang kurang terkoordinasi biasanya terjadi
saat kesadaran terganggu dan pasien biasanya (tidak selalu) mengalami amnesia
sesudahnya. Hal ini sering menyerupai gerakan volunter dan mungkin terjadi dari
kelanjutan yang tidak tepat dari aktivitas motorik preiktal.
5. Autonomic seizure (kejang autonomik) : Perubahan fungsi sistem saraf otonom yang
melibatkan kardiovaskular, pupil, gastrointestinal, sudomotor, vasomotor, dan
termoregulator.
6. Aura : Sebuah fenomena iktal subjektif pada pasien tertentu, yang bisa mendahului kejang
yang dapat diamati.
7. Awareness (kesadaran) : Pengetahuan tentang diri sendiri dan lingkungan.
8. Bilateral : Kedua sisi kanan dan kiri, walaupun manifestasi dari kejang bilateral dapat
simetris dan asimetris.
9. Clonic (klonik) : Menyentak, simetris atau asimetris, berulang secara teratur dan
melibatkan kelompok otot yang sama.
10. Consciousness (kesadaran) : Keadaan pikiran dengan aspek subjektif dan objektif terdiri
dari rasa diri sebagai entitas unik, kesadaran, responsif, dan ingatan.
11. Epileptic spams (spasme epileptik) : Fleksi yang tiba-tiba, ekstensi atau campuran ekstensi-
fleksi otot-otot yang didominasi proksimal dan trunkal yang biasanya terus-menerus
daripada gerakan mioklonik tapi tidak berlanjut seperti kejang tonik. Kondisi yang
mungkin terjadi meringis, kepala mengangguk, atau gerakan yang halus. Spasme infantil
adalah bentuk yang paling dikenal, namun spasme dapat terjadi pada semua umur.
12. Eyelid myoclonia (mioklonia kelopak mata) : Kelopak mata menyentak dengan frekuensi
minimal tiga kali per detik, biasanya dengan deviasi mata ke atas, biasanya berlangsung
>10 detik, sering dicetuskan oleh penutupan mata. Mungkin ada atau tidak adanya kaitan
dengan hilangnya kesadaran.
13. Gelastic (gelastik) : Tertawa atau cekikan, biasanya tanpa alasan yang jelas dan tidak
terkontrol.
14. Generalized tonic-clonic (tonik-klonik umum) : Kontraksi tonik bilateral atau kadang-
kadang asimetris dan kemudian kontraksi klonik bilateral otot somatik, biasanya dikaitkan
18
dengan fenomena otonom dan hilangnya kesadaran. Serangan ini melibatkan jaringan di
kedua belahan otak pada awal kejang.
15. Behavior arrest (perilaku terhenti) : Aktivitas berhenti (jeda), pembekuan, imobilisasi,
seperti dalam behavior arrest seizure.
16. Impaired awareness (gangguan kesadaran) : Gangguan atau kehilangan kesadaran fokal,
yang sebelumnya disebut kejang parsial kompleks.
17. Motor (motor) : Melibatkan otot-otot dalam bentuk apapun. Kejadian motor bisa terdiri
dari kenaikan (positif) atau penurunan (negatif) pada kontraksi otot untuk menghasilkan
gerakan.
18. Myoclonic (mioklonik) : Tiba-tiba, singkat (<100 msec) kontraksi tunggal; atau multipel
dari otot atau kelompok otot topografi (aksial, ekstremitas proksimal, distal). Mioklonus
kurang rutin berulang dan kurang berkelanjutan dibanding klonus.
19. Myoclonic-atonic (mioklonik-atonik) : Tipe kejang umum dengan sentakan mioklonik
yang menyebabkan komponen motorik atonik, jenis ini sebelumnya disebut myoclonic-
astatic.
20. Myoclonic-tonic-clonic (mioklonik-tonik-klonik) : Satu atau beberapa sentakan dari
tungkai secara bilateral, diikuti dengan kejang tonik-klonik. Sentakan awal dapat dianggap
sebagai periode singkat klonus atau mioklonus. Kejang dengan karakteristik ini sering
terjadi pada epilepsi mioklinik remaja.
21. Nonmotor (nonmotor) : Tipe kejang fokal atau kejang umum dimana aktivitas motorik
tidak menonjol.
22. Propagation (propagasi) : Penyebaran aktivitas kejang dari satu tempat di otak ke otak
lainnya, atau melibatkan jaringan otak tambahan.
23. Responsiveness (responsif) : Kemampuan untuk bereaksi secara tepat dengan gerakan atau
ucapan saat dihadapkan dengan stimulus.
24. Seizure (kejang) : Kejadian sementara sebagai tanda dan/atau gejala akibat aktivitas saraf
otak yang berlebihan secara abnormal atau tidak sinkron.
25. Tonic (tonik) : Peningkatan kontraksi otot yang berlanjut, berlangsung beberapa detik
sampai menit.
26. Tonic-clonic (tonik-klonik) : Terdiri dari tonik diikuti fase klonik.
27. Unaware (tidak sadar) : Istilah ini digunakan sebagai singkatan untuk gangguan kesadaran.
28. Unclassified (tidak terklasifikasi) : Mengacu pada jenis kejang yang tidak dapat dijelaskanoleh
klasifikasi ILAE 2017 baik karena informasi yang tidak memadai atau fitur klinis yang tidak
biasa.
19
1.8 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi pada anak dan remaja dapat ditegakkan oleh dokter spesialis
anak yang sudah dilatih dan/atau pakar di bidang epilepsi. Diagnosis epilepsi merupakan
diagnosis klinis yang terutama ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik-
neurologis. 5
A. Anamnesis
Untuk mendiagnosis epilepsi anamnesis yang lengkap dan rinci mengenai kejadian
sangat diperlukan, terutama penjelasan dari orang tua atau keluarga yang menyaksikan
kejadian. 5
20
2. Anamnesis untuk menentukan bentuk kejang
Anamnesis dilakukan untuk menentukan bentuk kejang, seperti: Kejang
tonik (kaku), klonik (kelojotan), umum atau fokal; Kejang umum tonik- klonik
(kaku-kelojotan); Tiba-tiba jatuh (atonik); Bengong, tidak berespon ketika
dipanggil atau ditepuk merupakan tipe kejang absans; Bayi tampak seperti kaget
berulang kali (spasme); Gerakan menyentak (jerks) pada ekstremitas merupakan
tipe kejang mioklonik; Episode bingung dan kehilangan kesadaran; Perasaan tiba-
tiba merasa mual atau sakit ulu hati, halusinasi visual/auditori, rasa kesemutan
dapat ditemukan pada kejang fokal. Keadaan tersebut dinamakan aura, yang
dideskripsikan sebagai stimulasi sensorik sebelum bangkitan muncul. Aura juga
dapat berupa merasa pernah berada di suatu tempat / de ja vu. 5
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis perlu dilakukan dengan
saksama, untuk mencari petunjuk ke arah sindrom tertentu sebagai etiologi epilepsi.
21
kongenital, kecanduan alkohol atau napza, kelainan pada kulit (neurofakomatosis),
lingkar kepala, dan tanda-tanda keganasan. 8
2. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal
atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit
pascabangkitan, akan tampak defisit neurologis terutama tanda fokal yang tidak jarang
dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti: paresis Todd (hemiparesis setelah kejang yang
terjadi sesaat), gangguan kesadaran pascaiktal, afasia pascaiktal.8 Juga dilakukan evaluasi
psikologis. 9
D. Pemeriksaan penunjang
1. Elektroensefalografi (EEG)
23
1.9 DIAGNOSIS BANDING 21
A. SYNCOPE
Epilepsi Syncope
Pencetus Tidak biasa Biasa (misal: emosi)
Posisi tegak, kondisi padat,
Susasana Apapun
panas, stress, emosi
Berangsur, merasa gelap/mual,
Awal Mendadak, aura +/-
berkeringat
Warna kulit Pucat/merah (flushed) Biasanya pucat
Inkontinensia Sering terjadi Jarang
Lidah tergigit Sering terjadi Sangat jarang
Muntah Jarang Sering terjadi
Tonik/tonik-klonik, klonik Lemas tanpa gerakan, mungkin
Fenomena
menonjol dengan amplitude ada sentakan klonik kecil
motoric
& frekuensi biasa singkat, inkoordinasi atau tonik
Pernafasan Mendengkur, mulut berbusa Dangkal lambat
Cedera Sering terjadi Jarang
Pasca serangan Bingung, mengantuk, tidur Cepat siuman tanpa rasa bingung
Lama Beberapa menit ± 10 detik
B. PSEUDOSEIZZURE
Penyebab kejang pseudoseizure sama sekali tidak berhubungan dengan gangguan
aktivitas listrik dalam otak. Pseudoseizure adalah gejala kejang yang disebabkan oleh
kondisi psikologis berat. Pseudoseizure merupakan gangguan psikologis, biasanya banyak
pada orang dewasa terutama perempuan. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) juga
dapat menjadi penegak diagnosis pseudoseizure dengan memperhatikan keabnormalan
aktivitas sel saraf otakdan membedakannya dengan aktivitas otak pengidap epilepsi saat
kejang.
24
C. HISTERIA
Epilepsi Histeria
D. KEJANG DEMAM
1.10 TATALAKSANA
1) Terapi medikamentosa
Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi lini pertama,
menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan: dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Jika bangkitan tidak dapat
dihetikan dengan OAE lini pertama dosis maksimal, monoterapi lini kedua dimulai. 17
1. Phenobarbital
Phenobarbital digunakan untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 4-6 mg/kg/hari terbagi
dalam dua dosis.17 Efek sampingnya adalah mengantuk, pusing, agresif hiperaktivitas
paradoksikal pada anak. 6
2. Phenytoin
Phenytoin digunakan untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5-7 mg/kg/hari terbagi dalam
dua dosis.17 Efek sampingnya adalah hiperplasia gingiva dan hirsutism pada anak-anak
dengan penggunaan jangka panjang. 6
3. Valproic acid
Valproic acid digunakan untuk epilepsi umum, parsial dan absans. Dosis 15-40 mg/kg/hari
terbagi dalam 2-3 dosis.17 Efek sampingnya adalah peningkatan berat badan, gangguan
kognitif, dan gangguan fungsi hati. 5
4. Carbamazepine
Carbamazepine digunakan untuk epilepsi parsial. Dosis 10-30 mg/kg/hari terbagi dalam 2-3
dosis.17 Efek sampingnya adalah sakit kepala, diplopia, penglihatan kabur, kemerahan,
gangguan pencernaan, hiponatremia, dan neutropenia. 6
Panduan memilih OAE lini kedua:
26
1. Topiramate
Topiramate digunakan untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5-9 mg/kg/hari terbagi
dalam 2-3 dosis.17 Efek sampingnya adalah sulit konsentrasi, gangguanmemori, masalah
perilaku dan kognitif, berat badan turun, asidosis metabolik, nefrolitiasis,oligohidrosis, dan
hipertermi. 6
2 Levetiracetam
Levetiracetam untuk epilepsi umum, parsial, absans, dan mioklonik. Dosis 20-60
mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis.17 Efek sampingnya adalah pusing dan gangguan
kepribadian. 6
3 Oxcarbazepine
Oxcarbazepine digunakan untuk epilepsi parsial dan benign rolandic epilepsy. Dosis 10-30
mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis.17 Efek sampingnya adalah hiponatremia, muntah, dan
mengantuk. 6
4 Lamotrigine
Lamotrigine digunakan untuk epilepsi umum, parsial, absans, dan mioklonik. Dosis 0,5-5
mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis. 17 Efek sampingnya adalah alergi pada kulit, aritmia
jantung, dan kematian secara tiba-tiba. 6
Politerapi (kombinasi 2-3 OAE) perlu dipertimbangkan, jika bangkitan tidak bisa
dihentikan dengan monoterapi lini kedua. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin.
Dalam penelitian prospektif, anak-anak yang menerima politerapi dilaporkan secara
signifikan lebih tinggi memiliki risiko efek samping obat. Kegagalan monoterapi berisiko
epilepsi refrakter (intraktabel) yaitu kegagalan mengontrol bangkitan dengan lebih dari dua
OAE lini pertama dengan rata-rata serangan lebih dari satu kali per bulan selama 18 bulan
dan interval bebas bangkitan tidak lebih dari tiga bulan. Penderita epilepsi refrakter lebih
berisiko mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.17
Tujuan pengobatan adalah untuk mencapai kontrol penuh bangkitan dengan toksisitas
minimal. Secara umum disepakati bahwa monoterapi harus menjadi pengobatan awal untuk
epilepsi yang baru didiagnosis pada anak-anak. Jika satu OAE tidak bekerja, obat kedua harus
diperkenalkan saat anak masih menerima obat pertama. Semua perubahan terapi, apakah
menambah atau mengganti OAE perlu disepakati orang tua dan pasien. Perlu dipertimbangkan
interaksi yang mungkin terjadi saat memperkenalkan OAE baru. Jika kontrol bangkitan dicapai
27
dengan obat baru, OAE yang tidak efektif dihentikan bertahap, tergantung efektivitas, efek
samping, dan parahnya kekambuhan. Namun jika masih tidak terkontrol, maka dapat diberikan
dosis maksimum kedua obat. Pemberian OAE ketiga hanya dapat dilakukan jika bangkitan
tidak dapat diatasi dengan penggunaan dua obat pertama dengan dosis maksimum. 17
Politerapi tidak dapat dihindari pada anak-anak epilepsi yang resisten obat. ILAE
mendefinisikan epilepsi resisten terhadap obat sebagai: kegagalan uji coba yang adekuat
dari dua obat yang ditoleransi dan dipilih secara tepat dan menggunakan jadwal OAE, baik
sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi, untuk mencapai bebas bangkitan yang
berkelanjutan. Pada anak-anak dengan epilepsi resisten obat, OAE lain harus ditambahkan
sampai kontrol tercapai. Kemudian penting untuk menghentikan bertahap OAE yang tidak
efektif atau tidak ditoleransi, karena jika tidak, seorang anak akan mendapat empat atau
lima OAE. Hal ini meningkatkan risiko interaksi dan efek samping.17
2) Terapi Pembedahan
Operasi epilepsi yang melibatkan reseksi atau, lebih jarang, pemutusan atau
jaringan epilepsi, merupakan terapi efektif untuk pasien tertentu dengan resistan terhadap
obat epilepsy. Kelayakan untuk operasi ditentukan berdasarkan investigasi, termasuk
pemantauan video-EEG, MRI struktural, fluorodeoxyglucose positron emission
tomography, emisi foton tunggal ictal dan interiktal computed tomography, MRI
fumgsional, dan pengujian neuropsikologis. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menggambarkan "zona epileptogenik" (yaitu jumlah minimum korteks yang jika direseksi,
terputus atau rusak akan menyebabkan bebas kejang) dan mendefinisikan morbiditas risiko
pasca-operasi. 19
28
Beberapa pasien juga memerlukan intrakranial EEG, baik sebagai
elektrokortikografi intra-operatif atau rekaman operasi ekstra, untuk meningkatkan
lokalisasi zona epileptogenik. Probabilitas kebebasan kejang setelah operasi tergantung
pada banyak faktor, termasuk jenis epilepsi, hasil penyelidikan pra-bedah, etiologi yang
mendasari, sejauh mana reseksi, dan durasi follow up. Wiebe et all. mengacak 80 pasien
dengan epilepsi lobus temporal resistan terhadap tatalaksana dengan reseksi lobus temporal
anterior atau terapi AED lanjutan. Pada satu tahun pertama , 23/40 pasien yang menjalani
operasi (58%) bebas dari serangan seizure dibandingkan hanya 3/40 pasien yang dirawat
secara medis (8%) (P <0,001).
Pada Kelompok bedah dilaporkan memiliki kualitas hidup lebih baik secara
subjektif dibandingkan dengan kelompok medis. Pada tahun 2003, American Academy of
Neurology merekomendasikan bahwa pasien dengan kegagalan penghentian kejang fokal
dengan AED lini pertama harus dipertimbangkan untuk di rujuk ke pusat operasi epilepsi.
a) Lobektomi temporal
b) Eksisi korteks ekstratemporal
c) Hemisferektomi
d) Callostomi
4) Terapi lainnya
Terapi neuromodulator dapat diterapkan pada pasien dengan epilepsi yang resistan
terhadap obat yaitu dengan stimulasi otak pada nukleus anterior pada thalamus. Stimulasi
kortikal responsif, yang memberikan stimulasi listrik ketika elektrokortikografi mendeteksi
aktivitas abnormal melalui loop tertutup yang ditanamkan pada tubuh. Perawatan ini dapat
menyebabkan pengurangan kejang, tetapi jarang membuat pasien bebas kejang.
30
1.11 KOMPLIKASI
Bila serangan epilepsy sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan terjadi
kerusakan pada organ otak, dimana tingkat kerusakan biasanya bersifat irreversible dan
jika sering terjadi dengan jangka waktu yang lama sering sekali membuat pasien menjadi
cacat.
1.12 PROGNOSIS
Kekambuhan setelah bangkitan pertama terjadi kurang dari setengah pada anak atau
dewasa muda dengan EEG normal, neuroimaging normal, dan tidak ada riwayat penyebab
epilepsi simptomatis.
Bangkitan yang pertama kali timbul pada usia tua lebih mudah diobati dibandingkan
pada kelompok usia yang lebih muda, dengan persentase kejadian bebas kejang 60%-70%
dengan monoterapi. Kejang yang tidak ditangani juga dapatmenimbulkan bahaya seperti jatuh,
fraktur, cedera kepala, sudden death, dan status epileptikus.
31
DAFTAR PUSTAKA
32
11. Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2016, Panduan Praktik klinis
neurologi, Epilepsi pada Anak,pp. 279, accessed on 06th June 2020, available at:
http://snars.web.id/ppkneurologi/ppkneurologi.pdf
12. Perucca P, Scheffer IE, Kiley M. The management of epilepsy in children and adults.
2018 [cited 2021 Sept 9]; Available from:
https://www.mja.com.au/system/files/issues/208_05/10.5694mja17.00951.pdf
13. Rudolph;A.M. Gangguan Kejang pada Bayi dan Anak. In: Rudolph pediatric. ECG;
2007. p. 2134–40.
14. Sareharto TP BT. Penatalaksanaan Kejang. In: Putranti A, editor. Buku Ajar llmu
Kesehatan Anak Semarang: Semarang: Balai Penerbit UNDIP; 2011. p. 138–9.
15. Scheffer, I. E., Berkovic, S., Capovilla, G., Connolly, M. B., French, J., Guilhoto, L.,
Hirsch, E., Jain, S., Mathern, G. W., Moshe, L. S., Nordli, D. R., Perucca, E., Tomson,
T., Wiebe, S., Zhang, Y. H. & Zuberi, S. M. 2017, ‘ILAE classification of the epilepsies
: Position paper of the ILAE commission for Classification and Terminology’ ,
Epilepsia, vol. 58, no. 4, pp. 512-521.
16. Shorvon SD (Simon D. Handbook of epilepsy treatment : forms, causes, and therapy in
17. children and adults. Blackwell Pub; 2005. 304 p.
18. Suwarba, I. G. N. M. 2011, ‘Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak’ ,
Sari Pediatri, vol. 13, no. 2, pp. 123-128.
19. Vera, R., Dewi, M. A. R. & Nursiah. 2014, ‘Sindrom Epilepsi pada Anak’, MKS, vol.
46, no. 1, pp. 72-76.
20. Wijaya, J. S., Saing, J. H. & Destariani, C. P. 2020, Politerapi Anti-Epilepsi pada
Penderita Epilepsi Anak, vol. 47, no. 3, pp. 191-194.
21. World Health Organiization (WHO). 2019, Epilepsy fact sheet, accessed on 21th March
2020, available at: https://www.who.int/news-room/fact- sheets/detail/epilepsy.
22. Ryvlin P, Cross JH, Rheims S. Epilepsy surgery in children and adults. Lancet Neurol
[Internet]. 2014 Nov [cited 2018 Nov 6];13(11):1114–26. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25316018.
33