THALASEMIA β MAYOR
Disusun oleh :
Danti Fadhila 1102016046
Hendra Adibia Setiaka 1102016083
Pembimbing :
Dr. Sa’adah, Sp.A
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Thalasemia merupakan penyakit kelainan darah merah yang diturunkan dari kedua orang
tua kepada anak dan keturunannya. Penyakit ini disebabkan karena berkurangnya atau tidak
terbentuknya protein pembentuk hemoglobin utama manusia, hal ini menyebabkan sel darah
merah mudah pecah dan menyebabkan pasien menjadi pucat karena kekurangan darah
(anemia).
Pengobatan penyakit thalasemia sampai saat ini belum sampai pada tingkat
penyembuhan. transplantasi sumsum tulang hanya dapat membuat seorang thalasemia mayor
menjadi tidak lagi memerlukan transfusi darah, namun masih dapat memberikan gen
thalasemia pada keturunannya. Di seluruh dunia tatalaksana thalasemia bersifat simptomatik
berupa transfusi darah seumur hidup.
1
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An.Q
Usia : 12 tahun
No. RM : 166XXX
2
III. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada pasien dan alloanamnesis pada ibu
kandung di ruang unit Thalasemia RSUD Kabupaten Bekasi, hari Selasa 31 Agustus
2021 pukul 11.00 WIB.
A. Keluhan Utama
Kontrol dengan Thalasemia sejak 2010
B. Keluhan Tambahan
Tidak ada
3
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga yang menderita keadaan serupa dengan pasien adalah kakak
kandung dan sepupu dari pasien. Ibu, ayah, paman dan bibi pasien merupakan
pembawa sifat thalasemia. Ibu pasien juga memiliki riwayat hipertensi yang
terkontrol dan alergi telur. Riwayat DM, asma, kejang, dan penyakit jantung
bawaan pada keluarga disangkal ibu pasien.
4
H. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi pasien lengkap sesuai usia.
Hepatitis B : 0, 2, 3, 4 bulan
BCG : 1 bulan
Polio : 1,2,3,4 bulan
DPT- HiB : 2,3,4, 18 bulan
Campak : 9 bulan
Kesimpulan : Imunisasi dasar sesuai rekomendasi IDAI
4 bulan Tengkurap
17 Berjalan Berbicara
bulan sepatah dua
patah kata
5
J. Riwayat Nutrisi
Pasien diberikan ASI sejak lahir hingga usia 2 tahun. MPASI diberikan sejak usia
6 bulan. Makan nasi dan lauk sehari 2-3 kali porsi sedang, makan sayur & buah
tidak setiap hari.
B. Status Gizi
Antropometri
Berat Badan : 31,8 kg
Tinggi Badan : 147 cm
6
C. Status Lokalis
a. Kulit : Turgor elastis, ikterik (-)
b. Kepala : Normocephal, distribusi merata
c. Wajah : Facies cooley (+)
d. Mata : Pupil bulat, isokor, konjungtiva anemis (+/+), sklera
ikterik (-/-)
e. Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung, sekret (-)
f. Telinga : Bentuk normal, sekret (-/-), pembesaran KGB
7
retroaurikuler (-)
g. Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa mulut basah, faring hiperemis
(-), tonsil hiperemis (-)
h. Leher : Pembesaran KGB (-)
i. Thorax
Paru
- Inpeksi : Barrel chest (-), pergerakan dinding dada simetris,
retraksi (-)
- Palpasi : Tidak dilakukan
- Perkusi : Tidak dilakukan
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
- Inpeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Tidak dilakukan
- Perkusi : Tidak dilakukan
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, tidak ada suara tambahan
j. Abdomen
- Inpeksi : Distensi (-), asites (-)
- Auskultasi : Bising usus normal, bruit (-)
- Palpasi : Hepatomegali 1 jari di bawah arcus costae,
splenomegaly S.I, nyeri (-)
- Perkusi : Tidak dilakukan
k. Ekstremitas
Superior Inferior
(dextra/sinistra) (dextra/sinistra)
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
CRT <2”/<2” <2”/<2”
Tonus Normotonus Normotonus
8
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
A. Hematologi
➢ Tanggal = 31 Agustus 2021
B. Serologi
➢ Tanggal = 14 Juni 2021
9
VII. RESUME
Pasien An. Q, datang ke unit Thalasemia RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal
31 Agustus 2021 untuk melakukan kontrol rutin dan transfusi darah. Saat ini pasien dan
orang tua pasien tidak memiliki keluhan. Pasien melakukan transfusi setiap 14 hari
sekali. pasien tidak pernah mengeluhkan adanya reaksi setelah transfusi. Riwayat
keluarga yang menderita keadaan serupa dengan pasien adalah kakak kandung dan
sepupu dari pasien. Ibu, ayah, paman dan bibi pasien merupakan pembawa sifat
thalasemia. Pasien lahir secara normal dengan berat lahir 3900 gram, panjang 51 cm,
Hb 17 dan langsung menangis di bidan. Riwayat imunisasi lengkap. Terdapat
keterlambatan perkembangan. Stasus gizi pasien adalah gizi kurang. Pada pemeriksaan fisik,
tanda-tanda vital dalam batas normal, pada mata didapatkan konjungtiva anemis pada kedua
mata, facies cooley, hepatomegaly 1 jari dibawah arcus costae, splenomegaly S.I. Pada
pemeriksaan laboratorium darah didapatkan penurunan kadar Hb, Ht, Eritrosit, dan
peningkatan ferritin.
X. DIAGNOSIS BANDING
- Anemia defisiensi besi
- Anemia sideroblastic
XI. PENATALAKSANAAN
10
Non-medikamentosa: -
Medikamentosa :
- Transfusi PRC (Hb yang diinginkan – Hb aktual) x 4 x BB = (12 – 9,2) x 4 x 31,8
= 356,16 ml ~ 360 ml = 1 kantong
XII. EDUKASI
- Menjelaskan tentang penyakit pasien kepada orang tuanya
- Memberi informasi mengenai kegunaan dan risiko transfusi darah
- Edukasi mengenai pola penurunan penyakit
- Menghindari makanan yang kaya akan zat besi seperti daging merah, hati untuk
mengontrol kadar besi yang berlebih
XIII. PROGNOSIS
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas 2 suku kata, yaitu
“thalassa” (laut tengah, karena penyakit ini pertama kali terlihat pada orang-orang yang
berasal dari Mediterania) dan “emia” (darah). Thalasemia adalah sekelompok heterogen
anemia hipokromik herediter dengan berbagai derajat keparahan. Berdasarkan
genotipnya thalassemia dibagi menjadi 2 yaitu thalasemia α (alfa) dan β (beta).
3.2 Epidemiologi
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalasemia. Fakta
ini mendukung thalasemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak;
menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat pada hampir seluruh negara di
dunia.
Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan
pembawa sifat thalasemia. Setiap tahun sekitar 300.000- 500.000 bayi baru lahir
disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal
akibat thalasemia β; 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang.
Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalasemia dunia, yaitu
negara dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalasemia yang tinggi. Hal ini
terbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi
gen thalasemia beta berkisar 3-10%. Data Pusat Thalasemia, Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, FKUI- RSCM, sampai dengan bulan Mei 2014 terdapat 1.723 pasien
dengan rentang usia terbanyak antara 11-14 tahun.
Prevalensi penduduk dunia yang memiliki kelainan gen hemoglobin sekitar 7-
8%, sehingga seharusnya di Indonesia terdapat sekitar 20 juta penduduk Indonesia yang
membawa kelainan gen ini. Pada tahun 2016, tercatat 9.121 pasien thalasemia mayor di
12
Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa masih banyak pasien yang belum terdeteksi dan
mendapat pengobatan yang optimal.
13
Hemoglobin (Hb) tersusun atas heme yang merupakan cincin porfirin dalam
ikatan dengan Fe dan globulin yang merupakan protein pendukung. Satu molekul
hemoglobin mengandung 4 sub-unit. Masing-masing sub-unit tersusun atas satu
molekul globin dan satu molekul heme. Globulin terdiri atas 2 pasang rantai
polipeptida, yaitu sepasang rantai α dan sepasang rantai non alpha (β,γ,δ). Kombinasi
rantai polipeptida tersebut akan menentukan jenis hemoglobin. Hb A (2α2β)
merupakan lebih dari 96 % Hb total, Hb F (2α2γ) kurang dari 2% dan Hb A2 (2α2δ)
kurang dari 3%. Pada janin trisemester III kehamilan hampir 100% Hb adalah Hb F.
Setelah lahir, sintesis globin γ makin menurun digantikan oleh globin δ.
14
sel. Kerusakan membran menyebabkan eritropoeisis yang tidak efektif dalam sumsum
tulang, hemolisis sel darah merah dalam sirkulasi, dan pengikatan imunoglobulin dan
komponen komplemen ke membran sel darah merah, memicu hilangnya sel darah
merah di limpa. Anemia yang dihasilkan menyebabkan oksigenasi jaringan berkurang,
peningkatan kadar eritropoeitin dan stimulasi lebih lanjut dari sumsum tulang. Ekspansi
sumsum tulang menyebabkan kelainan bentuk tulang dan osteopenia. Zat yang
dilepaskan dari sel darah merah yang mengalami degenerasi meningkatkan penyerapan
zat besi.
3.4 Klasifikasi
Secara molekuler, thalassemia dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : Thalassemia
alfa dan thalassemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya produksi rantai
polipeptida
1. Thalassemia Alfa
15
A. Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali
atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.
B. ThalassemiaAlfaTrait
Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita mengalami anemia ringan dengan
sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.
C. Hemoglobin H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada
gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan pembesaran
limpa (splenomegali)
D. ThalassemiaAlfaMayor
Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalassemia tipe ini merupakan kondisi
paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai
globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin
16
yang menderita alfa thalassemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami
anemia, membengkak karena kelebihan cairan, pembesaran hati dan limpa.
Janin ini biasanya meengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah
dilahirkan.
2. Thalassemia Beta
Thalassemia 𝜷
ThalassemiaBetaTrait(Minor)
Thalassemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang
mengecil (mikrositer).
B. ThalassemiaIntermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutase tapi masih bisa produksi sedikit rantai
beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari
derajat mutase gen yang terjadi.
C. Thalassemia Mayor (Cooley’s Anemia)
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi
rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa
17
anemia yang berat. Penderita thalassemia mayor tidak dapat membentuk
haemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat
disalurkan ke seluruh tubuh yang lama kelamaan akan menyebabkan
kekurangan O2, gagal jantung kongestif maupun kematian. Penderita
thalassemia mayor memerlukan transfuse darah yang rutin dan perawatan medis
demi kelangsungan hidupnya.
18
c. Urin lebih pekat
d. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat
e. Kulit berwarna kekuningan
f. Pembesaran hati dan limpa
g. Masalah tulang (terutama tulang wajah)
3.6 Diagnosis
Diagnosis thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Manifestasi klinis thalassemia mayor umumnya
sudah dapat dijumpai sejak usia 6 bulan.
1. Anamnesis :
A. Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan. Pada thalassemia
β/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada usia yang lebih tua.
B. Riwayat transfusi berulang; anemia pada thalassemia mayor memerlukan transfusi
berkala.
C. Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang.
D. Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya hepatosplenomegali.
E. Etnis dan suku tertentu; angka kejadian thalassemia lebih tinggi pada ras
Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Thalassemia paling
banyak di Indonesia ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%, dan Makasar 8%..
Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat.
2. Pemeriksaan Fisis
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisis pada anak dengan
thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera ikterik, facies Cooley (dahi
menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi),
hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat,
dan hiperpigmentasi kulit.
3. Laboratorium
a. Darah perifer lengkap (DPL)
19
Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan kadar
hemoglobin mencapai <7 g/dL.
Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV dan
MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapat menyingkirkan
kemungkinan thalassemia trait dan hemoglobinopati.
Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk skrining
pembawa sifat thalassemia (trait), thalassemia δβ, dan
high Persisten fetal hemoglobine (HPFH)13,
Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean
corpuscular haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Thalassemia mayor
biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.
Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia, dan juga pada
anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih sedikit dipengaruhi
oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible to storage changes).
b. Gambaran darah tepi
Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit dan tear-drop),
mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan Pappenheimer, sel target, dan
eritrosit berinti (menunjukan defek hemoglobinisasi dan diseritropoiesis)
Total hitung dan neutrofil meningkat
Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia,
neutropenia, dan trombositopenia.
20
RDW menyatakan variasi ukuran eritrosit. Anemia defisiesi besi memiliki RDW
yang meningkat >14,5%, tetapi tidak setinggi seperti pada thalassemia mayor.
Thalassemia trait memiliki eritrosit mikrositik yang uniform sehingga tidak / hanya
sedikit ditandai dengan peningkatan RDW. Thalassemia mayor dan intermedia
menunjukkan peningkatan RDW yang tinggi nilainya.
Tabel 1. Gambar darah tepi dan analisis Hb thalassemia- β minor dan ADB
RETIKULOSIT
Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien thalassemia
memiliki aktivitas sumsum tulang yang meningkat, sedangkan pada anemia defisiensi
besi akan diperoleh hasil yang rendah.
21
sedangkan HbA masih terdeteksi sedikit pada thalassemia β+. Peningkatan
HbA2 dapat memandu diagnosis thalassemia β trait.
1) Kadar HbA2 mencerminkan derajat kelainan yang terjadi.
2) HbA2 3,6-4,2% pada thalassemia β+ ringan.
3) HbA2 4-9% pada thalassemia heterozigot β0 dan β+ berat.
4) HbA2 lebih dari 20% menandakan adanya HbE. Jika hemoglobin yang
dominan adalah HbF dan HbE, maka sesuai dengan diagnosis thalassemia
β/HbE.
ELEKTROFORESIS HEMOGLOBIN
Beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan Hb varians kuantitatif (electrophoresis cellose acetat membrane), HbA2
kuantitatif (metode mikrokolom), HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit), atau
pemeriksaan elektroforesis menggunakan capillary hemoglobin electrophoresis.
ANALISIS DNA
Analisis DNA merupakan upaya diagnosis molekular thalassemia, yang dilakukan
pada kasus atau kondisi tertentu:
a. Ketidakmampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati dengan pemeriksaan
hematologi:
22
a. Diagnosis thalassemia β mayor yang telah banyak menerima transfusi.
Diagnosis dapat diperkuat dengan temuan thalassemia β heterozigot
(pembawa sifat thalassemia beta) pada kedua orangtua
b. Identifikasi karier dari thalassemia β silent, thalassemia β dengan HbA2
normal, thalassemia α0, dan beberapa thalassemia α+.
c. Identifikasi varian hemoglobin yang jarang.
d. Keperluan konseling genentik dan diagnosis prenatal
23
Anemia sideroblastik dimana didaptkan pula gambaran apusan darah tepi mikrositik
hipokrom dan gejala-gejala anemia, SI tinggi, kadar besi dalam darah tinggi, serta kadar
TIBC (Total Iron Binding Capacity) normal atau berkurang.
3.8 Tatalaksana
A. Transfusi darah
Indikasi transfusi darah
Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk menekan
hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Keputusan
untuk memulai transfusi darah sangat individual pada setiap pasien. Transfusi
dilakukan apabila dari pemeriksaan laboratorium terbukti pasien menderita thalassemia
mayor, atau apabila Hb <7g/dL setelah 2x pemeriksaan dengan selang waktu >2
minggu, tanpa adanya tanda infeksi atau didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan dijumpai,
gagal tumbuh, dan/atau deformitas tulang akibat thalassemia.
a. Profil besi: feritin serum, serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC)
b. Kimia darah berupa uji fungsi hati; SGOT, SGPT, PT, APTT, albumin, bilirubin
indirek, dan bilirubin direk.
c. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin
d. Golongan darah: ABO, Rhesus
e. Marker virus yang dapat ditransmisikan melalui transfusi darah: antigen
permukaan Hepatitis B (HbsAg), antibodi Hepatitis C (anti-HCV), dan antibodi
HIV (anti-HIV).
f. Bone age.
24
transfusi darah sebagai bagian dari upaya patient safety.
e. Darah yang sudah keluar dari bank darah sudah harus ditransfusikan dalam waktu
30 menit sejak keluar dari bank darah. Lama waktu sejak darah dikeluarkan dari
bank darah hingga selesai ditransfusikan ke tubuh pasien maksimal dalam 4 jam.
Transfusi darah dapat dilakukan lebih cepat (durasi 2-3 jam) pada pasien dengan
kadar Hb > 6 gr/dL.
f. Nilai Hb dinaikan secara berlahan hingga target Hb 9 gr/dL. Diuretik furosemid
dipertimbangkan dengan dosis 1 hingga 2 mg/kg pada pasien dengan masalah
gangguan fungsi jantung atau bila terdapat klinis gagal jantung. Pasien dengan
masalah jantung, kadar Hb pratransfusi dipertahankan 10-12 g/dL. Pemberian
transfusi diberikan dalam jumlah kecil tiap satu hingga dua minggu.
g. Interval antar serial transfusi adalah 12 jam, namun pada kondisi anemia berat
interval transfusi berikutnya dapat diperpendek menjadi 8-12 jam.
25
h. Setiap kali kunjungan berat badan pasien dan kadar Hb dicatat, begitu pula dengan
volume darah yang sudah ditransfusikan. Data ini dievaluasi berkala untuk
menentukan kebutuhan transfusi pasien. Pasien tanpa hipersplenisme kebutuhan
transfusi berada di bawah 200 mL PRC/kg per tahun. Prosedur transfusi
mengikuti/sesuai dengan panduan klinis dan laboratoris masing-masing senter.
Pada saat transfusi diperhatikan reaksi transfusi yang timbul dan kemungkinan
terjadi reaksi hemolitik. Pemberian asetaminofen dan difenhidramin tidak terbukti
mengurangi kemungkinan reaksi transfusi.
B. Kelasi besi
Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang di berbagai
sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah komplikasi kelebihan besi
dan menurunkan angka kematian pada pasien thalassemia.
>70%, atau apabila transfusi sudah diberikan sebanyak 10-20 kali atau sekitar 3-5 liter.
Kelasi besi kombinasi diberikan jika kadar feritin serum >2500 ng/mL yang menetap
minimal 3 bulan, apabila sudah terjadi kardiomiopati, atau telah terjadi hemosiderosis
jantung pada pemeriksaan MRI T2* (<20 ms).
Desferoksamin diberikan dengan dosis 30–60 mg/kg per kali, dengan kecepatan
maksimal 15 mg/kg/jam dan total dosis per hari tidak melebihi 4-6 gram. Jarum
dipasang di paha atau perut hingga mencapai dermis dan dihubungkan dengan syringe
pump. Jika pump tidak tersedia maka DFO dapat diberikan secara drip intravena,
dalam NaCl 0,9% 500 mL. Asam askorbat (vitamin C) dapat meningkatkan ekskresi
besi jika diberikan bersamaan dengan desferoksamin, sehingga vitamin C dikonsumsi
per oral dengan dosis 2-4 mg/kg/hari (100-250 mg) segera setelah infus desferoksamin
dimulai.
Desferoksamin tidak disarankan pada pasien anak di bawah usia 2 tahun karena risiko
toksisitas yang lebih tinggi pada usia lebih muda dan pada pasien dengan timbunan
besi minimal. Desferoksamin dengan dosis lebih tinggi yaitu 60-100 mg/kg berat badan
per hari, 24 jam per hari, 7 hari per minggu, secara intravena, diindikasikan pada
pasien dengan hemosiderosis berat dan disfungsi organ vital misalnya kardiomiopati
atau gagal jantung.
27
b. Deferipron (Ferriprox, DFP, L1)
Deferipron merupakan kelator oral yang telah banyak digunakan di dunia. Deferipron
mampu menurunkan timbunan besi dalam tubuh, bahkan lebih efektif menurunkan besi
di jantung dibandingkan desferoksamin. Dosis yang diberikan adalah 75-100 mg/kg per
hari, dibagi dalam 3 dosis, diberikan per oral sesudah makan.
28
Pemantauan respon terapi kelasi besi
Pemantauan timbunan besi dalam tubuh dapat dilakukan dengan beberapa cara.
Pengukuran kadar besi bebas / Labile plasma iron (LPI) atau non transferin bound iron
(NTBI) dan LIC melalui biopsi hati adalah cara paling akurat namun saat ini
pemeriksaan MRI dapat mengukur konsentrasi besi di organ secara non-invasif.
Berikut adalah beberapa batasan target terapi kelasi besi pada pasien thalassemia:
29
Gejala toksisitas kelasi besi perlu diperhatikan pada setiap pasien thalassemia yang
mendapatkan terapi kelasi. Beberapa hal berikut perlu dipantau secara rutin bergantung
pada jenis kelasi besi yang digunakan Kelasi besi dengan DFO
a. Audiologi
Pemeriksaan audiologi baseline perlu dilakukan sebelum memulai terapi kelasi
khususnya DFO. Keluhan seperti gangguan pendengaran dan tinitus perlu dipantau
setiap kunjungan pasien dan audiogram dilakukan setiap tahun. Jika terdapat tuli
atau tinitus awitan baru, maka kelator dapat dihentikan dan audiogram diulang
dalam waktu 1 bulan. Status besi tubuh perlu dievaluasi ulang dan kelasi besi dapat
dimulai kembali setelah pendengaran membaik.
b. Oftalmologi
Keluhan gangguan penglihatan khususnya persepsi warna perlu dipantau setiap
kunjungan karena gangguan penglihatan warna seringkali menjadi gejala paling
dini dari over-chelation. Pemeriksaan rutin oleh dokter spesialis mata dilakukan
setiap tahun untuk menyingkirkan katarak, penurunan tajam penglihatan, buta
senja, dan penyempitan lapang penglihatan.
c. Pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan perlu diperhatikan khususnya pada pasien yang
menggunakan DFO di usia <3 tahun. Gangguan pertumbuhan dapat diantisipasi
dengan pemeriksaan tinggi dan berat badan tiap bulan dan pengukuran kecepatan
pertumbuhan per tahun. Tinggi duduk dinilai setiap 6 bulan untuk mengetahui
pemendekan batang tubuh (truncal shortening).
d. Reaksi alergi dan reaksi lokal Injeksi subkutan desferoksamin dapat menimbulkan
urtikaria lokal dan reaksi alergi lain yang lebih berat. Urtikaria biasanya dapat
diatasi dengan pengenceran desferoksamin 25-30% atau hidrokortison untuk kasus
berat. Pada pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis dapat dilakukan desensitisasi
atau penggantian regimen kelasi besi.
30
e. Nutrisi dan Suplementasi
Idealnya pasien thalassemia menjalani analisis diet untuk mengevaluasi asupan
kalsium, vitamin D, folat, trace mineral (kuprum/ tembaga, zink, dan selenium),
dan antioksidan (vitamin C dan E). Pemeriksaan laboratorium berkala mencakup
glukosa darah puasa, albumin, 25-hidroksi vitamin D, kadar zink plasma, tembaga,
selenium, alfa- dan gamma-tokoferol, askorbat, dan folat. Tidak semua
pemeriksaan ini didapatkan di fasilitas kesehatan. Analisis Cochrane menyebutkan
belum ada penelitian uji acak terkontrol yang melaporkan keuntungan pemberian
suplementasi zink pada thalasemia yang berkaitan dengan kadar zink darah. Namun
pemberian suplementasi zink memberikan manfaat yang bermakna pada kecepatan
tinggi tubuh dan densitas tulang.
Nutrien yang perlu diperhatikan pada pasien thalassemia adalah zat besi. Makanan
yang banyak mengandung zat besi atau dapat membantu penyerapan zat besi harus
dihindari, misalnya daging merah, jeroan, dan alkohol. Makanan yang rendah zat
besi, dapat mengganggu penyerapan zat besi, atau banyak mengandung kalsium
dapat dikonsumsi lebih sering yaitu sereal dan gandum.49,50 Pendapat lain
menyebutkan pasien dalam terapi kelasi besi tidak perlu membatasi diet.
31
REKOMENDASI
C. Splenektomi
Indikasi splenektomi
Transfusi yang optimal sesuai panduan saat ini biasanya dapat menghindarkan
pasien dari tindakan splenektomi, namun splenektomi dapat dipertimbangkan pada
beberapa indikasi di bawah ini:
32
thalassemia umumnya 180 mL/kg/tahun).
b. Kondisi hipersplenisme ditandai oleh splenomegali dan leukopenia atau
trombositopenia persisten, yang bukan disebabkan oleh penyakit atau kondisi
lain.
c. Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah secara signifikan
hingga berkisar 30-50% dalam jangka waktu yang cukup lama. Splenomegali
masif yang menyebabkan perasaan tidak nyaman dan berisiko untuk terjadinya
infark dan ruptur bila terjadi trauma.
3.9 Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi darah
yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat
33
tinggi, sehingga timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit,
jantung dan lain-lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut
(hemokromatosis). Limpa yang besar mudah pecah akibat trauma ringan. Kadang-
kadang ada orang thalasemia dengan tanda hiperspleenisme seperti leukopenia dan
trompositopenia. Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi jika darah telah datang terlebih dahulu
terlebih dahulu terhadap HBSAG. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis,
diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat lingkungan ada
hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin.
3.10 Prognosis
Penderita thalassemia ringan bisa berharap hidup normal. Pasien dengan
thalassemia sedang atau berat memiliki peluang bagus untuk bertahan hidup dalam
jangka panjang selama mereka mengikuti program pengobatannya (transfusi dan terapi
kelasi besi). Penyakit jantung akibat kelebihan zat besi adalah penyebab utama
kematian pada pasien dengan talasemia, jadi mengikuti terapi kelasi besi Anda sangat
penting. Transplantasi sumsum tulang dapat menyembuhkan talasemia. Pasien dengan
talasemia mungkin memerlukan pembedahan untuk memperbaiki masalah tulang.
BAB IV
KESIMPULAN
34
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan
oleh defek genetik pada pembentukan rantai globin. Penyakit ini ditandai dengan
menurunnya atau tidak adanya sintesis salah satu rantai globin yang berperan dalam
pembentukan hemoglobin Prevalensi Thalasemia terbanyak dijumpai di daerah-daerah
yang disebut sebagai sabuk Thalasemia yaitu Mediterania, Timur Tengah, Asia Selatan,
Semenanjung Cina, Asia Tenggara, serta Kepulauan Pasifik
Berdasarkan kelainan klinis, Thalasemia terbagi atas tiga (3) pembagian utama
yaitu: Thalasemia mayor, Thalasemia intermedia, dan Thalasemia minor. Kriteria
utama untuk membagi 3 bagian itu berdasarkan gejala dan tanda klinis, onset awitan,
dan kebutuhan transfusi darah yang digunakan untuk terapi suportif pasien Thalasemia.
Pada β-Thalasemia, Hb A2 meningkat. Pada α-Thalasemia terdapat lebih sedikit globin
rantai α dan berlebihan pada globin β
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan anemia/pucat, ikterus, facies
cooley, hepatosplenomegali, Gizi kurang/buruk, pertumbuhan terhambat/pubertas
terlambat, riwayat transfusi berulang (jika sudah pernah Transfusi sebelumnya), riwayat
keluarga yang menderita Thalasemia, hiperpigmentasi kulit. Pada pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan darah tepi lengkap (hemoglobin, sediaan apus darah tepi,
indeks eritrosit, leukosit, trombosit), analisis hemoglobin (elektroforesis hemoglobin
atau metode HPLC). Tatalaksana Thalasemia adalah Transfusi darah, asam folat,
vitamin E, vitamin C, kelasi besi, splenektomi, transplantasi sel punca.
DAFTAR PUSTAKA
35
1. Liansyah, T. M. and Herdata, H. N. (2018) ‘Aspek Klinis dan Tatalaksana
Thalasemia pada Anak’.
2. Neli, S. et al. (2019) ‘Nutrisi Pasien Thalassemia (Nutrition for Thalassemia
Patients)’, Jurnal Kedokteran, 8, pp. 178–183.
3. Centers for Disease Control and Prevention. Thalassemia Accessed 8/1/2021.
4. Soeparman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid II. FKUI. Jakarta.
5. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana
6. Thalasemia. Jakarta: Kemenkes, 2018
7. Nelson, Behrmen, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol 2.
Jakarta : EGC, 2000.
8. Hassan R dan Alatas H. (2002). Buku kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak bagian 19
Hematologi hal. 419-450, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta
9. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Thalasemia. 2018.
KEMENKES RI
10. Atmakhhumah TD, Wahidiyat PA dkk, 2009. Pencegahan Thalassemia. Health
Technology Assessment (HTA) Indonesia
36