Oleh:
Chetrine Andiani - 1315077
Pembimbing:
dr. Adi, Sp.A
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. RH
Umur : 01 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 16 Desember 2017
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn.I
Pekerjaan Ayah : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny.S
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Bandung
Tanggal masuk : 17 Desember 2018
No. RM : 01.404.200
II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh melalui heteroanamnesis terhadap ibu pasien.
A. Keluhan Utama
Mencret
1
menangis, tampak lemas tapi masih mau minum susu. BAK dalam batas
normal. Tidak ada keluhan batuk dan pilek, mimisan ataupun gusi berdarah.
Sehari-hari pasien dan keluarga meminum air dari air kemasan isi ulang.
Pasien meminum ASI dan susu formula dengan botol susu yang dicuci
menggunakan air biasa.
F. Riwayat Kelahiran :
Pasien lahir di bidan dengan berat badan lahir 3100 gram dengan panjang 51
sentimeter, lahir spontan, langsung menangis kuat segera setelah lahir, usia
kehamilan 38 minggu.
2
G. Riwayat Postnatal
Rutin ke puskesmas setiap bulan untuk menimbang badan dan mendapat
imunisasi dasar.
H. Imunisasi
Dasar Ulangan Anjuran
1. BCG √ - - - 6. HIB -
2. DPT √ √ √ - - - 7. MMR -
3. POLIO √ √ √ - - - 8. Hep A -
4. Hep B √ √ √ - - - 9. Cacar air -
5. Campak √ - - -
3
J. Riwayat Makan Minum Anak
1. Usia 0-6 bulan: ASI, frekuensi minum ASI tiap kali bayi menangis dan
tampak kehausan, sehari biasanya lebih dari 5 kali dan lama menyusui 10
menit, bergantian kiri kanan.
2. Usia 6-8 bulan: bubur bayi 2-3 kali sehari satu mangkok kecil, dengan
diselingi dengan ASI jika bayi lapar ditambah susu formula.
3. Usia 8-12 bulan: bubur nasi 3 kali sehari satu mangkok kecil dengan sayur
hijau/wortel, lauk ikan/tempe, dengan diselingi dengan ASI jika bayi
masih lapar ditambah susu formula.
4. Usia 1 tahun - sekarang: diperkenalkan dengan makanan dewasa dengan
sayur bervariasi dan lauk ikan, ayam/tempe, porsi menyesuaikan, 3 kali
sehari, ASI dan susu formula.
Kesan: kualitas dan kuantitas cukup
4
Hidung : Bentuk normal, pernapasan cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa bibir kering (+), lidah kotor (-)
Telinga : Bentuk normal, sekret(-).
Tenggorok : Uvula ditengah, tonsil hiperemis (-), T2-T2 , faring hiperemis (-)
Leher : Trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar
Lymphonodi : Retroaurikuler : tidak membesar
Submandibuler : tidak membesar
Thorax : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Kanan atas : SIC II LPSD
Kanan bawah: SIC IV LPSD
Kiri bawah : SIC IV LMCS
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan =kiri
Palpasi : Sulit dinilai
Perkusi : Sulit dinilai
Auskultasi : VBS (+/+), Rh (-/-), Wh(-/-), stridor(-/-)
Abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : Bising Usus (+) meningkat
Perkusi : tympani
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor
kembali agak lambat.
Urogenital : dalam batas normal
Ekstremitas :
Akral hangat. CRT <2 detik
5
Perhitungan Status Gizi
BB: 8, 9 kg
PB: 74 cm
Z-score BB/Umur SD > -2
Z-score PB/Umurr SD > -2
6
- Eritrosit : 0
- Leukosit : 0
- Pati (amylum) ; -
- Amoeba : -
- Telur cacing : -
- Lain-lain : -
V. RESUME
Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun datang dengan keluhan diare sejak
1minggu SMRS, 5-6 kali sehari dengan banyak ± 120cc, konsistensi cair, ampas
+, lendir -, darah -. Demam naik turun tidak terlalu tinggi. Vomitus 2 kali berisi
cairan dan makanan. Anak menjadi rewel dan sering menangis, namun masih
mau menyusu. Tidak ada batuk dan pilek sebelumnya. Pasien dan keluarga
pasien minum sehari-hari dari air isi ulang. Pasien minum susu formula
menggunakan dot yang dicuci dengan air biasa. Riwayat keluarga 1 minggu
SMRS ayah, ibu dan kakak pasien mengalami diare namun sudah sembuh.
Riwayat imunisasi lengkap. Riwayat perkembangan dan pertumbuhan baik.
Riwayat pemeliharaan prenatal baik. Riwayat kelahiran, lahir spontan dengan
usia kehamilan 38 minggu, pemeliharaan postnatal baik.
Pada pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum sedang, kompos mentis dan
gizi kesan baik. Tanda vital: N: 152 x/menit, RR: 32 x/menit, S=37,5 oC, pada
pemeriksaan fisik ditemukan mata cekung (+/+), air mata (-/-) mukosa bibir
kering, turgor kembali agak lambat dan BU + meningkat. Pemeriksaan
laboratorium tanggal 17 Februari 2019 didapatkan leukositosis, hiponatremia,
hipokalemia dan GDS meningkat.
7
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Diare Akut ec bakteri + dehidrasi ringan sedang
2. Diare Akut ec virus + dehidrasi ringan sedang
IX. PENATALAKSANAAN
Terapi
1. Rawat inap
2. Tirah baring
3. ASI tetap dilanjutkan
4. Berikan oralit 675ml pada 3 jam pertama (rencana terapi B)
5. Infus RL 900cc/24 jam
6. Cefixime syr 2 x ½ cth
7. PCT syrup 3 x 1 cth prn
8. Probiotik 1 bungkus 1x/hari selama 5 hari
9. Zinc kid 20mg/hari selama 10 hari
Monitoring
1. Observasi tanda vital dan keadaan umum
2. Observasi input dan output
Planning
1. Cek feses rutin
2. Cek elektrolit Na, K ulang
X. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam: ad bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Gastroenteritis adalah adanya inflamasi pada membran mukosa saluran
pencernaan dan ditandai dengan diare dan muntah.
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir
dan darah yang berlangsung kurang dari 2 minggu. Pada bayi yang minum ASI
sering frekuensi buang air besarnya lebih dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini
tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Kadang –
kadang pada seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi
konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.
II. EPIDEMIOLOGI
Gastroenteritis akut merupakan salah satu penyakit yang sangat sering
ditemui. Penyakit ini lebih sering mengenai anak-anak. Anak-anak di negara
berkembang lebih beresiko baik dari segi morbiditas maupun
mortalitasnya.Penyakit ini mengenai 3-5 miliar anak setiap tahun dan
menyebabkan sekitar 1,5-2,5 juta kematian per tahun atau merupakan 12 % dari
seluruh penyebab kematian pada anak-anak pada usia di bawah 5 tahun.
Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan
sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai
gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di
Indonesia, hasil Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan
penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 42% dibanding pneumonia 24%,
untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian karena diare 25,2% dibanding
pneumonia 15,5%.
9
III. ETIOLOGI
Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal – oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan
dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak
langsung melalui lalat. ( melalui 4 F = finger, flies, fluid, field).
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara
lain : tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama kehidupan
bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja,
kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang
buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara
penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada
penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara
lain : gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung,
menurunnya motilitas usus, menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan
faktor genetik.
Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus,
bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non
inflammatory dan inflammatory.
Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi
enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh
parasit, perlekatan dan / atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory
diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus secara langsung
atau memproduksi sitotoksin.
Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia
adalah sebagai berikut :
10
Malabsorbsi
1 Malabsorbsi karbohidrat
2 Malabsorbsi lemak : terutama Long Chain Triglyceride
3 Malabsorbsi protein : asam amino, B laktoglobulin
4 Malabsorbsi vitamin dan mineral (Noerasid dan Asnil, 1988)
Keracunan makanan Makanan yang beracun (mengandung toksin bakteri)
merupakan salah satu penyebab terjadinya diare. Ketika enterotoksin terdapat
pada makanan yang dimakan, masa inkubasi sekitar satu sampai enam jam. Ada
dua bakteri yang sering menyebabkan keracunan makanan yang disebabkan
adanya toksin yaitu: 1. Staphylococcus Hampir selalu S. Aureus, bakteri ini
menghasilkan enterotoksin yang tahan panas. Kebanyakan pasien mengalami
mual dan muntah yang berat 2. Bacillus cereus.
IV. PATOFISIOLOGI
Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang
villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu.
11
Sel-sel epitel usus halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk
kuboid yang belum matang sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami
atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik.
Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/tercerna akan
meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus
sehingga cairan beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus
melalui anus, menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang
tidak sempurna.
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang
terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida
dan fungsi penyerapan seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut
bersama (kotransporter) glukosa dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel
yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia
dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian infeksi
virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan rasio
penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat
kompleks, terutama laktosa.
Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun
penderita terganggu imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal.
Kenaikan kerentanan bayi (dibanding dengan anak yang lebih tua dan orang
dewasa) sampai morbiditas berat dan mortalitas gastroenteritis virus dapat
berkaitan dengan sejumlah faktor termasuk penurunan fungsi cadangan usus,
tidak ada imunitas spesifik, dan penurunan mekanisme pertahanan hospes
nonspesifik seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat
memperbesar permeabilitas usus terhadap makromolekul lumen dan telah
dirumuskan menaikkan risiko alergi makanan.
Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang
berhubungan dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP,
dan Ca dependen. Patogenesis terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli
agak berbeda dengan patogenesis diare oleh virus, tetapi prinsipnya hampir
sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa usus halus
12
sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat masuk ke
dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua
bakteri ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut
disentri.mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan
sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi
serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema dan ditemukannya kuman di
alveoli. Stadium ini disebut stadium hapatisasi merah. Selanjutnya, deposisi
fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan
terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut
stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan
tetap normal.
V. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare,
frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah.
Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang,
jarang atau tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang
diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti:
batuk, pilek, otitis media, campak. Tanyakan riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh,
frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu
dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus dan turgor kulit
abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun ubun besar cekung atau
tidak, mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa
mulut dan lidah kering atau basah.
13
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik.
Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan
ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat
dehidrasi yang terjadi.
Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara:
obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare.
Subyektif dengan menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria
MMWR dan lain-lain dapat dilihat pada tabel berikut.
14
3. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak
diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab
dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada
penderita dengan dehidrasi berat. Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur
urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih.
Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur
dan tes kepekaan terhadap antibiotika.
15
Tinja :
Pemeriksaan makroskopik:
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare
meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa
mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau
disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal.
Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang
menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan
mukosa atau parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila
terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E.
Histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC
terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada
infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides.
16
dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat
dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau
dehidrasi berat.
Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara
lain : vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis,
pneumonia, hepatitis, peritonitis dan septik trombophlebitis. Gejala neurologik dari
infeksi usus bisa berupa paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium
glutamat) hipotoni dan kelemahan otot (C. botulinum).
4. Antibiotik selektif
17
Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut.
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan
nafsu makan anak. Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun
terakhir karena memiliki evidence based yang bagus. Beberapa penelitian telah
membuktikannya. Pemberian zinc yang dilakukan di awal masa diare selama 10
hari ke depan secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien.
Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc pada pasien anak penderita
kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang dikeluarkan.
Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara
kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi
fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan,
perkembangan seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta
nafsu makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan
mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan
pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran
cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare.
Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh
usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan
jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat
pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di
negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak masalah
terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang
rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat
menurunkan frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan
risiko terjadinya dehidrasi pada anak.
18
Dosis zinc untuk anak-anak:
ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama
pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti
nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya
perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.
Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau
kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang
lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium
difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu,
pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman
terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada
penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap
antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik
terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh
bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan
permeabilitas membrane terhadap antibiotik.
19
20
21
22
23
VIII. KOMPLIKASI
Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa
diataranya membutuhkan pengobatan khusus.
Gangguan Elektrolit
Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan
berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara
perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya
oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik
menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman.
Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L).
Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak
malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari
hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na
dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer
Laktat atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum
yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam
24
8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh
melebihi 2 mEq/L/jam.
Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian
kalsium glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 – 10 menit
dengan monitor detak jantung.
Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar
K : jika kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3
dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus)
diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 2
mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam berikutnya adalah
(3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB).
Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan
fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan
kalium dapat dikoreksi dengan menggunakan oralit dan memberikan makanan
yang kaya kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.
IX. PENCEGAHAN
Umum :
- Pemberian ASI yang benar.
- Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI.
- Penggunaan air bersih yang cukup.
- Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air
besar dan sebelum makan.
- Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga.
- Membuang tinja bayi yang benar.
25
Khusus :
- Untuk cegah dehidrasi persiapkan oralit di rumah (4 bungkus)
- Imunisasi rotavirus dan campak.
26
BAB III
ANALISIS KASUS
Diagnosis Gastroenteritis dan Dehidrasi Ringan Sedang pada kasus ini berdasarkan :
a. Anamnesis
- Diare
- Muntah
- Demam
- Rewel
- Masih mau menyusu
b. Pemeriksaan fisik
Mata cekung (+/+)
Turgor kulit kembali agak lambat
Bising usus + meningkat
c. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan hematologi ditemukan leukositosis, hiponatremia,
hipokalemia.
d. Penatalaksanaan
Rawat inap, paracetamol 3x1/2cth, cefixime 3x1/2 cth, oralit 675cc 3 jam
pertama, infus RL 900cc/24 jam, zinc 20mg/hari
27
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO, UNICEF. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva.
2006.
2. WHO. Hospital Care for Children. Geneva. 2005.
3. Departemen Kesehatan RI, 2011, Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Pada
Balita, Jakarta, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
4. Lukacik M., Ronald L. Thomas., Jacob V. Aranda. A Meta-Analysis of the
effect of Oral Zinc in the Treatment of Acute and Persistent Diarrhea. 2007.
5. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu kesehatan
anak esensial. Edisi ke-6. Singapura: Elsevier; 2014
6. WHO 2013. Diarrhoeal Disease.
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/index.html