Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

SARKOPENIA DAN IMPLIKASI KLINIS


PADA PASIEN LANSIA

Oleh:

Jericho Immanuela O. / 1815080

Pembimbing:

dr. Vera, Sp.PD-KGer

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Definisi Sarcopenia
Sarcopenia berasal dari kata Yunani sarx, yang berarti "otot" dan penia,
yang berarti "kehilangan". Pertama kali digunakan pada tahun 1988 untuk
menggambarkan hilangnya massa otot rangka seiring dengan bertambahnya usia.

Epidemiologi Sarcopenia
Prevalensi sarkopenia bervariasi dari 6 hingga 24% pada orang di bawah
70 tahun hingga >50% pada orang di atas 80 tahun, tergantung pada definisi dan
ukuran massa otot. Prevalensi lebih tinggi untuk pria di atas usia 75 tahun (58%)
daripada wanita (45%). Dalam penelitian serupa, prevalensi berdasarkan massa
kerangka total yang ditentukan oleh DXA adalah 10% untuk pria dan 8% untuk
wanita antara 60 dan 69 tahun dan 40 dan 18%, masing-masing, untuk pria dan
wanita di atas 80 tahun.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis Sarcopenia

Menurut The European Working Group on Sarcopenia in Older People


(EWGSOP), diagnosis sarkopenia dapat ditegakkan bila didapatkan setidaknya
dua dari tiga kriteria berikut: massa otot rendah, kekuatan otot buruk, dan
performa fisik yang kurang. Penurunan massa otot adalah massa otot kurang dari
2 kali standar deviasi referensi populasi laki-laki atau perempuan dewasa muda
yang sehat di daerah tersebut. Kriteria diagnosis tersebut sulit diterapkan di
Indonesia karena belum ada data normatif besaran massa otot pada populasi
dewasa muda serta data reterensi kekuatan otot pada berbagai kelompok usia
dan jenis kelamin. Selain itu, hingga kini belum ada standar teknik
pengukuran besaran massa otot untuk usia lanjut (Morley et al. 2008)
Adapun pemeriksaan penunjang untuk menentukan diagnosis sarkopenia
sebagaimana di bawah ini:
Selain menggunankan algoritma di atas, bisa juga dengan screening
menggunakan SARC-F kuesinoner.

Jika nilainya ≥ 4, maka kemungkinan sarcopenia

 Dual energy X-ray absorptiometry (DEXA)


DEXA secara klinis aplikatif dan mudah ditoleransi. Pengukurannya berdasarkan
penyangatan relatif dua energi X ray yang berbeda pada tubuh.Waktu pengukuran
sangat singkat dan paparan radiasinya minimal. Sehingga menghasilkan tiga
model komponen tubuh yaitu lemak, tulang dan mineral, serta jaringan bebas
lemak. Juga bisa menghasilkan analisis regional, terutama distribusi jaringan
bebas lemak pada ekstremitas dan lemak tubuh sehingga memungkinkan untuk
mengukur massa otot total dan massa otot appendikular, yang kemudian
dijumlahkan massa otot keempat ekstremitas. Data penelitian terkini menyatakan
bahwa perhitungan persentase massa otot skelet (massa otot total /berat x100)
menghasilkan estimasi perhitungan sarkopenia dengan kegemukan yang
dibandingkan dengan appendicular muscle mass (Lee et al. 2013). Meskipun
tidak semahal CT dan MRI, DEXA masih relatif mahal, sehingga pasien harus
pergi ke center yang mempunyai fasilitas tersebut, selain itu membutuhkan
personel yang terlatih sehingga tidak bisa dilakukan secara rutin di praktek klinis
dan terbatas digunakan pada penelitian (Rubbieri, Mossello & Di Bari 2014). Cut-
off point untuk diagnosis sarkopenia berdasarkan teknik yang dipilih dan
ketersediaan penelitian yang menjadi rujukan. EWGSOP merekomendasikan
penggunaan pengukuran yang normatif (dewasa usia muda) dibandingkan
dengan nilai rujukan prediksi di populasi, dimana cut-off points pada 2 standar
deviasi kurang dari nilai rujukan rerata (Cruz-Jentoft 2010) Cut-off point dengan
metode DEXA adalah:
 Skeletal muscle mass index (SML), didefinisikan dengan otot skeletal
appendikular /tinggi2 (kg/m2). SMI 2 standar deviasi di bawah mean pada
dewasa muda akan menghasilkan cut-off point sarkopenia yang spesifik
terhadap gender (Baumgartneref al. 1998).
 Massa bebas lemak appendikular (appendicular lean mass) dibagi dengan
tinggi kuadrat (aLM/ht2) dan apendicular lean mass di justifikasi dengan
tinggi dan massa lemak tubuh. Persentil yang spesifik terhadap gender
telah dijadikan cutoff'point pada setiap metode (Newman 2003).
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Patogenesis Sarcopenia

a) Neuromuscular aging
Hilangnya neuron adalah proses progresif dan tidak dapat dibalik yang
meningkat seiring bertambahnya usia. Regenerasi saraf terkait usia dapat
berkontribusi penting terhadap efek usia pada otot. Beberapa tingkat sistem
saraf dipengaruhi oleh usia, termasuk korteks motorik, sumsum tulang
belakang, neuron perifer, dan sambungan neuromuskuler. Dalam sumsum
tulang belakang, ada penurunan substansial dalam jumlah neuron motor
alfa, dan mungkin ada kerugian preferensial pada neuron motor yang
memasok unit motorik cepat. Laporan lain telah mencatat penurunan
terkait usia dalam serat saraf perifer dan perubahan selubung mielin
mereka.
b) Age-related changes in hormones levels and sensitivity
Penuaan dikaitkan dengan modifikasi produksi hormon dan sensitivitas
terutama yang berkaitan dengan hormon pertumbuhan (GH) / insulin-like
growth factor-I (IGF-1), kortisosteroid, androgen, estrogen, insulin.
Hormon-hormon ini dapat memengaruhi kondisi anabolik dan katabolik
untuk metabolisme protein otot yang optimal. Penurunan kadar GH / IGF
sering ditunjukkan pada orang tua dan ini disejajarkan dengan perubahan
komposisi tubuh, yaitu, peningkatan lemak visceral dan penurunan massa
tubuh tanpa lemak dan kepadatan mineral tulang.
Penuaan dikaitkan dengan testosteron rendah yang dapat menyebabkan
penurunan massa otot dan kekuatan tulang, dan dengan demikian
menyebabkan lebih banyak fraktur dan komplikasi.
c) Age-related changes in inflammatory factors
Peningkatan level sirkulasi tumor necrosis factor-alpha (TNF-α),
interleukin (IL) -6, IL-1, dan C-reactive protein (CRP) terlihat pada orang
tua. Sekarang ditetapkan bahwa jaringan adiposa adalah organ endokrin
aktif yang mengeluarkan hormon dan sitokin yang mempengaruhi status
inflamasi sistemik. Adiposit atau makrofag yang menginfiltrasi dalam
jaringan adiposa menghasilkan adipokin dan sitokin proinflamasi, seperti
IL-6 dan TNF-α, yang menginduksi produksi CRP di hati. (Honda et al.)
menemukan bahwa pemborosan energi-protein umum terjadi pada pasien
penyakit ginjal stadium akhir yang kelebihan berat badan dan berhubungan
dengan peradangan.
d) Role of myokines in muscle-fat crosstalk
Otot kerangka adalah organ endokrin, yang oleh sekresi faktor-faktor
seperti hormon dapat mempengaruhi metabolisme dalam jaringan dan
organ. Dianalogikan dengan adipokin, sitokin, dan faktor-faktor lain yang
dikeluarkan dari jaringan adiposa, protein yang diturunkan otot disebut
miokin. Protein yang dikeluarkan oleh otot yang diturunkan adalah sitokin
IL-6. Saat ini, jelas bahwa banyak molekul pensinyalan tambahan
diproduksi dengan mengerutkan serat otot dan daftar miokin saat ini
termasuk IL-6, IL-8, IL-15, faktor neurotropik yang diturunkan dari otak
(BDNF), faktor penghambat leukemia (LIF), follistatin-like 1 dan
fibroblast growth factor-21 (FGF-21). Miokin bertindak dalam mode auto,
para- atau endokrin dan dengan demikian memiliki implikasi besar pada
metabolisme dan sifat otot lainnya serta distal organ. IL-6 menginduksi
penyerapan glukosa dan asam lemak β-oksidasi dalam otot, merangsang
glukoneogenesis hati dan menginduksi lipolisis dalam lemak. Demikian
pula, IL-15 tampaknya terlibat dalam crosstalk jaringan otot-adiposa.
Konsentrasi IL-8 lokal yang tinggi mungkin terlibat dalam angiogenesis
yang diinduksi oleh olahraga dan karenanya meningkatkan kapiler otot
rangka.
BAB IV
IMPLIKASI KLINIS SARCOPENIA PADA PASIEN LANSIA

a) Resiko Jatuh
Jatuh didefinisikan sebagai kehilangan keseimbangan mendadak yang
menyebabkan adanya kontak anggota tubuh selain kaki dengan tanah.
Berdasarakan hasil penelitian, dari 232 sampel, sebanyak 106
mengalami sarcopenia (45,69 %) berdasarkan algoritme EWSGOP.
Dari 106 kelompok sarkopeni, 27 subjek pernah mengalami jatuh
(25,5%).
Dalam penelitian disebutkan, bahwa masa otot mencapai ukuran
maksimum saat usia 30 tahun, yang selanjutnya akan menurun sebesar
3-8% tiap decade. Dua mekanisme yang terlibat dalam penurunan
masa otot, adalah: turunnya jumlah serabut otot, dan hilangnya
hubungan antara serabut otot.
Resistance exercise dapat menghambat dan mempengaruhi sarcopenia
dalam beberapa mekanisme. Pada tingkat serabut otot, resistence
exercise menetralisir berbagai mekanisme yang terlibat dalam proses
terjadinya sarcopenia. Resistance exercise memicu perubahan positif
pada proses inflamasi, apoptosis, regenerasi serabut otot, dan fungsi
dan anatomi serabut otot.
b) Membuat Lansia Kurang Mandiri
Penurunan masa otot dan daya tahan otot pada pasien dengan
sarcopenia menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan
fungsional dan penurunan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
Sehingga lansia dengan sarcopenia memiliki ketergantungan dengan
anggota keluarga lainnya. Ketergantungan ini membuat lansia
menjadi tidak aktif, tidak produktif sehingga membuat kualitas
hidupnya menurun.
c) Obesitas Sarcopenia
Suatu keadaan dimana terdapat kondisi sarcopenia dan obesitas pada
seseorang. Hal ini terjadi pada saat seseorang mengalami penurunan
masa otot dan kenaikan jaringan lemak dalam tubuh. Kondisi
sarcopenia pada kondisi obesitas akan memperburuk keadaan pasien.
Hal ini terjadi dengan mekanisme ketidakseimbangan proporsi lemak
dengan otot dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot. Selain itu
bisa juga terjadi akibat lemak yang aktif memproduksi pro-
inflammatory cytokines, yang memiliki efek negatif dalam
mempertahankan masa otot dan meningkatkan jaringan lemak lebih
banyak. Bisa juga diakibatkan karena protein yang dihasilkan oleh
lemak dapat menyebabkan resistensi insulin, sehingga memberikan
efek katabolisme pada otot sehingga terjadi penurunan masa dan
kekuatan otot.
d) Sarco-osteoporosis and osteosarcopenic obesity
Pasien dengan osteoporosis dan sarcopenia (Sarco-osteoporosis)
memiliki resiko lebih besar untuk mengalamai fraktur. Pasien dengan
obesitas sebagai tambahan dalam penyakit sarco-osteoporosis akan
menyebabkan kelainan metabolik yang berdampak pada fungsi fisik
dan kualitas hidup penderita.

Terlepas dari adanya kelainan metabolik, peningkatan jaringan lemak


total dan/ abdominal akan menyebabkan peningkatan produksi sitokin
pro-inflamasi, serta beberapa gangguan hormone akan menyebabkan
kehilangan masa otot maupun jaringan tulang melalui beberapa
mekanisme.
e) Hipercortisolaemia
Hiperkortisolaemia terbukti memperparah hilangnya masa otot dan
kekuatan otot yang berhubungan dengan bed rest. Cortisol merupakan
hormone yang di produksi ketika seseorang dalam keadaan stress.
Dalam kasus ini sarcopenia terbukti berhubungan dengan proses stress
oksidatif dan proses inflamasi. Kortisol memediasi kerusakan otot
sehingga asam amino dalam jaringan otot dipecah menjadi gula,
melalui proses yang disebut glukoneogenesis, sehingga masuk akal
jika kortisol dapat menyebabkan penyusutan otot, sekaligus
menghambat sintesis protein.

f) Infeksi Pada Penderita Sarcopenia


Penderita sarcopenia cenderung tidak banyak melakukan aktifitas.
Terkadang pasien hanya diam saja di tempat tidur. Imobilisasi yang
terjadi pada penderita sarcopenia dapat menyebabkan terjadinya ulkus
decubitus. Apabila sudah terjadi ulkus, maka yang ditakutkan adalah
infeksi. Apabila sudah berat dapat berujung sampai sepsis.
BAB V
KESIMPULAN

Sarcopenia adalah keadaan yang dijumpai pada hampir semua lansia,


biasanya ditemukan pada lansia dengan usia > 80 th, dan di temukan lebih
banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Sarcopenia dapat
didiagnosis dengan melihat dari masa otot yang berkurang, kecepatan dan
performa yang berkurang. Implikasi klinis pasien sarcopenia adalah resiko
jatuh dan berkurangnya kemandirian pada penderita. Selain itu dapat juga
terjadi kondisi obesitas sarcopenia, karena penimbunan lemak karena
obesitas dapat memicu kondisi sarcopenia.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.bps.go.id/publication/download.html
Narici et al. 2010.
Mokdad AH, Bowman BA, Ford ES, et al. The continuing epidemics of obesity
and diabetes in the United States. JAMA. 2001;286:1195–1200.
Melton LJ, 3rd, Khosla S, Crowson CS, et al. Epidemiology of sarcopenia. J Am
Geriatr Soc. 2000;48:625–630
Sarcopenia in the elderly: diagnosis, physiopathology and treatment.
Malafarina V, Uriz-Otano F, Iniesta R, Gil-Guerrero L
Maturitas. 2012 Feb; 71(2):109-14..
Sarcopenia: etiology, clinical consequences, intervention, and assessment.
Lang T, Streeper T, Cawthon P, Baldwin K, Taaffe DR, Harris TB
Osteoporos Int. 2010 Apr; 21(4):543-59
Nair, B. K. (2016). Geriatric Medicine.
Decreased axosomatic input to motoneurons and astrogliosis in the spinal cord of
aged rats.
Kullberg S, Ramírez-León V, Johnson H, Ulfhake BJ Gerontol A Biol Sci
Med Sci. 1998 Sep; 53(5):B369-79..
Effects of ageing on the motor unit: a brief review.
Doherty TJ, Vandervoort AA, Brown WF
Can J Appl Physiol. 1993 Dec; 18(4):331-58..
Physiopathological mechanism of sarcopenia.
Boirie Y
J Nutr Health Aging. 2009 Oct; 13(8):717-23..
The mediating role of C-reactive protein and handgrip strength between obesity
and walking limitation.
Stenholm S, Rantanen T, Heliövaara M, Koskinen S
J Am Geriatr Soc. 2008 Mar; 56(3):462-9.
Edward F. Adolph distinguished lecture: muscle as an endocrine organ: IL-6
and other myokines.
Pedersen BK
J Appl Physiol (1985). 2009 Oct; 107(4):1006-14.
Sarcopenic obesity: definition, cause and consequences.
Stenholm S, Harris TB, Rantanen T, Visser M, Kritchevsky SB, Ferrucci
L
Curr Opin Clin Nutr Metab Care. 2008 Nov; 11(6):693-700.
Skeletal muscle cutpoints associated with elevated physical disability risk in
older men and women.
Janssen I, Baumgartner RN, Ross R, Rosenberg IH, Roubenoff R
Am J Epidemiol. 2004 Feb 15; 159(4):413-21

Anda mungkin juga menyukai