Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT DALAM

SARKOPENIA

Disusun oleh :
Mellvin Telasman (01073190013)

Pembimbing :
dr Theo Audi Yanto, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM

SILOAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE JANUARI – MARET 2021

TANGERANG
DAFTAR ISI

BAB I.............................................................................................................................................. 3

PENDAHULUAN ..........................................................................................................................

3 BAB

II............................................................................................................................................. 5

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................

2.1 Sarcopenia .............................................................................................................................

5 2.1.1

Epidemiologi .................................................................................................................. 5

2.1.2 Etiologi ........................................................................................................................ 5

2.1.3 Klasifikasi.................................................................................................................... 6

2.1.4 Faktor Resiko..................................................................................................................

7 2.1.5 Patofisiologi..................................................................................................................

10 2.1.6 Gejala

Klinis ................................................................................................................. 13

2.1.7 Diagnosis ......................................................................................................................

13

2.1.7 Tatalaksana ................................................................................................................... 13

BAB III .........................................................................................................................................

22 KESIMPULAN.............................................................................................................................

22 DAFTAR

PUSTAKA ................................................................................................................... 23
BAB I

PENDAHULUAN

Otot rangka adalah organ penting karena menopang tubuh dan memungkinkan pergerakan. Namun, otot
rangka dapat terdegradasi karena penuaan, nutrisi yang buruk, tidak digunakan, dan perubahan kadar
hormonal. Fenomena ini disebut 'sarcopenia', yang diketahui menyebabkan kelemahan, cachexia,
osteoporosis, sindrom metabolik, dan kematian. jurnal1

Sarkopenia pertama kali disajikan oleh Irwin Rosenberg pada tahun 1989 untuk menjelaskan penurunan
massa otot terkait usia. Namun, selama beberapa tahun terakhir definisinya telah diperluas hingga
mencakup massa otot yang rendah dan fungsi otot yang buruk. Memang, Kelompok Kerja Eropa tentang
Sarkopenia pada Orang Tua mengusulkan bahwa massa otot rendah dan fungsi otot rendah (kekuatan
atau kinerja) keduanya dianggap sebagai fitur diagnostik penting dari sarcopenia (Cruz-Jentoft et al.,
2010).
Kriteria klinis untuk sarcopenia bervariasi dari satu negara ke negara lain, meskipun titik potong
umumnya dilaporkan dalam hal massa otot, kekuatan, dan kinerja fisik. jurnal1

Massa otot tungkai secara umum dapat diperkirakan dengan absorptiometri sinar-X energi ganda dan
massa otot rangka apendikuler yang dihitung kemudian dibagi dengan tinggi kuadrat (kg / m2) untuk
menghasilkan indeks massa otot rangka (SMI). Sarkopenia ditunjukkan dengan standar deviasi SMI < 2
di bawah nilai rata-rata untuk pria atau wanita muda yang sehat (Cooper et al., 2013). Selain itu, SMI
memiliki cutoff point spesifik gender, yaitu 7,26 kg / m2 untuk laki-laki dan 5,45 kg / m2 untuk
perempuan (Taaffe et al., 2005). jurnal2

Di sisi lain, kekuatan otot biasanya dinilai dengan mengukur kekuatan genggaman, yang didefinisikan
sebagai kekuatan genggaman maksimum yang diukur. Kriteria diagnostik untuk kekuatan cengkeraman
adalah 26–30 kg untuk pria dan 16–20 kg untuk wanita (Heo et al., 2017). Performa fisik biasanya dinilai
dengan mengukur kecepatan gaya berjalan. 'Sarcopenia dengan mobilitas terbatas' digambarkan sebagai
kecepatan berjalan kebiasaan <1,0 m / detik selama lintasan 4-m atau jarak berjalan kaki <400 m dalam
tes jalan kaki 6 menit (Cooper et al., 2013). jurnal3
Seperti disebutkan di atas, kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan sarcopenia bervariasi dari satu
negara ke negara lain dan sarcopenia dapat dinilai dengan berbagai cara(Alexeyev, 2009). jurnal3

Olahraga merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk kesehatan karena meningkatkan massa
otot, mengurangi lemak tubuh, dan meningkatkan kekuatan otot, daya tahan, fungsi kekebalan, dan
sistem kardiovaskular. Oleh karena itu, olahraga harus dianggap sebagai fitur penting dari strategi
terapeutik pada penderita sarkopenia terkait usia. Terdapat beberapa tipe olahraga yang dapat membantu
mencegah serta melawan sarcopenia , antara lain: aerobik, resistensi, dan latihan gabungan.jurnal1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Sarkopenia

2.2.1 Definisi

Arti kata sarkopenia itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu sarx (otot) dan penia (kemiskinan) yang
berarti kehilangan massa otot. Istilah sarkopenia pertama kali diperkenalkan oleh Irwin Rosenberg et al.

20
1989 sebagai penurunan massa otot secara progresif karena penuaan.

European Working Group on Sarcopenia in Older People (EWGSOP)


mendefiniskan sarkopenia sebagai
sindrom geriatrik yang ditandai dengan kehilangan massa dan kekuatan otot secara progresif dan

4
menyeluruh dengan perubahan hasil klinis berupa disabilitas fisik, kualitas hidup buruk dan kematian.

Secara umum sarcopenia dapat didefinisikan sebagai penyakit kronis yang terjadi pada usia lanjut dan
terjadi secara progresif yang disertai menurunnya status gizi, hilangnya masa otot beserta fungsinya,
dimana akan berakibat turunnya kualitas hidup dan meningkatnya risiko angka morbiditas dan mortalitas

penderita. 1,4

2.2.2 Epidemiologi

berdasarkan suatu penelitian, prevalensi sarcopenia meningkat secara dramatis dengan usia, sebesar 4 %
diantaranya merupakan laki- laki dan 3% wanita pada usia 70-75 dan 16% pria dan 13% wanita berusia
85 atau lebih.1
Sarcopenia biasanya mempercepat sekitar usia 75 tahun - meskipun mungkin terjadi pada orang usia 65
atau 80 dan merupakan faktor terjadinya kelemahan dan kemungkinan jatuh dan patah tulang pada orang

dewasa yang lebih tua. 3

2.2.3 Etiologi

Etiologi dari sarkopenia sebenarnya belum diketahui secara jelas dan terdapat beberapa factor yang dapat
mempengaruhi sarkopenia dari: sistem saraf pusat dan tepi, hormon, nutrisi, imunitas dan perubahan
aktivitas fisik. Pada tingkat molekuler, sarkopenia disebabkan oleh adanya ketidak seimbangan antara

8
degradasi protein dan sintesis protein.

Sarkopenia merupakan kondisi yang dapat terjadi pada lansia sehat dan dewasa muda. Terdapat beberapa
penyebab dari sarkopenia antara lain:

1. Usia primer
2. Penyakit pada organ : jantung, paru-paru, hati, ginjal, dan otak, penyakit inflamasi, keganasan
dan penyait endokrin;
3. Disfungsi mitokondria;
4. Neuropati (hilangnya motor unit);
5. Atherosklerosis;
6. Stress oksidatif;
7. Heritabilitas genetic;
8. Cachexia.

EWGSOP mengkategorikan sarkopenia menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Sarkopenia primer

adalah sarkopenia yang terjadi berkaitan dengan penuaan (age related) dan tidak ada penyebab lain yang

ditemukan menjadi penyebab sarkopenia. Sarkopenia sekunder jika ditemukan satu atau lebih sebagai

penyebab sarkopenia. Berikut tabel etiologi sarkopenia primer dan sekunder.14


Sarcopenia Primer Sarkopenia Sekunder
- Sarkopenia terkait
aktivitas
Jenis - Sarkopenia terkait usia - Sarkopenia terkait
penyakit

- Bed rest , tidak


- Tidak ada penyebab jelas kecuali karena beraktivitas, rekondisi,
Etiologi penuaan zero - gravity
- Kegagalan organ

2.2.4. Klasifikasi

Klasifikasi sarkopenia menurut EWGSOP dapat ditentukan dari beberapa Kriteria, yaitu:  

 Presarcopenia

Pada tahap ini, dapat ditemukan massa otot yang rendah tanpa dampak pada kekuatan otot atau
kinerja secara fisik. Tahap ini hanya dapat diidentifikasi dengan teknik mengukur massa otot
3,6
secara akurat dan mengacu pada populasi standar.

 Sarcopenia

Ditandai dengan rendahnya massa otot, ditambah kekuatan otot rendah atau kinerja fisik yang
3,6
rendah.

 Sarcopenia berat

Diidentifikasi ketika ketiga kriteria definisi terpenuhi (massa otot yang rendah, kekuatan otot
yang rendah dan kinerja fisik yang rendah).Mengenal tahap sarcopenia dapat membantu dalam
3,6
memilih perawatan dan menetapkan tujuan pemulihan yang tepat.

Stadium Massa otot Kekuatan otot Performa fisik


Presarkopenia  - -
Sarkopenia  / normal / normal
Sarcopenia berat   

2.2.5. Faktor Risiko

Faktor risiko dari sarkopenia adalah sebagai berikut.

1. Penuaan

Penuaan merupakan proses fisiologi yang manusia.Penuaan yang diikuti oleh bertambahnya usia pada
seseorang dapat meningkatkan angka kejadian sarkopenia. Perubahan sistem tubuh yang dialami oleh

3
lansia dapat menambah kejadian penyakit otot tersebut. Pada penuaan terjadi dialami oleh perubahan

8
ukuran, jumlah, komposisi otot rangka, arsitektur oto rangka dan protein turnover.

a. Perubahan ukuran, jumlah dan komposisi otot rangka


Penuaan merupakan etiologi primer dari sarkopenia, dimana pada penuaan terjadi perubahan
fisiologi dari sistem tubuh seperti sistem lokomotorik. Perubahan pada sistem lokomotorik salah
3
satunya adalah penurunan massa otot. Penurunan massa otot akan meningkatkan kejadian
sarkopenia dengan melibatkan penurunan ukuran serat otot (atrofi) dan jumlah serat otot
(hipoplasia). Dalam hal ini, sarkopenia pada dasarnya berbeda dengan atrofi karena otot yang
jarang digunakan, dimana pada atrofi hanya terjadi penurunan serat otot. Atrofi serabut tipe II
lebih sering terjadi pada lansia dari pada serabut tipe I. Penelitian yang dilakukan Larsson tahun
1978 menunjukkan bahwa individu dengan usia 55-65 tahun, memiliki perbandingan serabut tipe
I dan II sebanyak 23% dan 42%.Jumlah tersebut lebih kecil dari pada individu dengan usia 20-29
8
tahun.

b. Perubahan arsitektur otot rangka


Perubahan morfologi otot berhubungan dengan sarkopenia yang melibatkan reduksi penipisan

area belah lintang otot dan remodeling arsitektur otot. Arsitektur otot menggambarkan
pengaturan ruang dari serat otot dalam jaringan otot dan merupakan penurunan utama karakter

dari otot mekanik, yaitu hubungan panjang-gaya (L-F) dan gaya-kecepatan (F-V). Hal ini

dikarenakan kekuatan otot tergantung pada


jumlah sarkomer yang tersusun secara paralel pada
cross-sectional area (CSA) sedangkan kecepatan pemendekan otot maksimum tergantung pada
8
jumlah sarkomer yang tersusun seri.
Penelitian yang dilakukan oleh Narici et al. 2003 menunjukkan penurunan sudut yang dibentuk
antara panjang fasikula otot dengan insersio tendo aponeurosis (angle of pennation) yang
disebabkan oleh penuaan. Penurunan panjang fasikula otot menyiratkan hilangnya sarkomer pada
susunan seri dan memprediksi dari hilangnya kecepatan pemendekan otot. Penurunan sudut
pennasi mencerminkan hilangnya sarkomer secara paralel. Perubahan arsitektur otot karena
8
penuaan berperan dalam hilangnya kekuatan otot.

2. Status gizi

Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang
dikonsumsi dan penggunaan zat-zat di dalam tubuh. Perkembangan sarkopenia tidak hanya berhubungan

25
dengan berat badan (BB) kurang, tetapi juga dengan overweight dan obesitas.

3. Perubahan hormone dan imunitas tubuh

Perubahan hormon dan imunitas tubuh berkontribusi pada terjadinya sarkopenia yang ditunjukkan
dengan dengan resistensi atau pemutusan efek dari faktor anabolisme dan katabolisme tubuh. Faktor
yang bertanggungjawab dalam proses anabolik adalah GH, IGF-1, testosteron sedangkan faktor

8
katabolisme tubuh seperti IL-1, 1L-6, tumor necrosis factor- α (TNF-α) dan miostatin.

4. Aktivitas apoptosis dan miofiber

Apoptosis sel otot dapat terjadi karena faktor anabolik dan katabolik yang berubah. Apoptosis terjadi
karena penurunan faktor anabolik (IGF-1) dan peningkatan ekspresi TNF-α yang menstimulasi atrofi
otot. Apoptosis ini berkontribusi pada penurunan mikronukleus sel otot dan mangakibatkan penurunan

19
serabut otot dan memicu sarkopenia.

5. Sitokin pro-inflamasi

Jalur ubiquitin-proteosome adalah mekanisme degradasi protein otot yang menyebabkan peningkatan
sitokin pro inflamasi seperti TNF-α dan IL-6. Peningkatan sitokin pro inflamasi ini tampak pada penuaan
otot rangka. Kadar hormon yang menginduksi katabolisme seperti kortisol juga dapat dikaitkan dengan

19
peningkatan sitokin pro inflamasi karena penuaan.

6. Peningkatan stress oksidatif dan penurunan fungsi mitokondria sel

Metabolisme oksidatif sel menghasilkan reactive oxygen species (ROS) dan produk metabolit yang akan
berakumulasi seiring pertambahan waktu. Hasil metabolisme tersebut dapat merubah bahkan merusak
komponen penting sel terutama mitokondria dan rangkaian basa DNA. Perubahan DNA mitokondria
dapat terjadi karena penambahan usia dan memburuk dengan kejadian sarkopenia. Perubahan tersebut
mungkin memengaruhi rantai transport elektron dan mengganggu respirasi sel, dimana terdapat
hubungan antara penurunan konsumsi oksigen maksimal dengan peningkatan usia dan penurunan massa
otot rangka dan penurunan output jantung serta perubahan pada mitokondria akan menyebabkan respirasi

19
sel otot rendah.

7. Penurunan jumlah alfa motorneuron

Kehilangan sel saraf atau neuron merupakan proses irreversibel progresif yang meningkat seiring
penambahan usia. Degenerasi saraf terkait usia sangat berpengaruh terhadap otot rangka. Beberapa
komponen sistem saraf yang dipengaruhi oleh usia adalah korteks motor, sum-sum tulang belakang,
neuron perifer dan neuromuscular junction. Perubahan-perubahan pada neuromuscular junction terkait
usia pada akhirnya akan menurunkan jumlah alfa motorneuron dan vesikel sinaps serta meningkatkan
luas area terminal sinaps. Perubahan otot rangka sering ditemukan bersamaan dengan proses neuropati

19
kronik yang merupakan faktor dalam menurunkan jumlah jaringan dan massa otot rangka.
8. Asupan protein

Otot rangka dicirikan oleh adanya keseimbangan dinamis antara sintesis protein dari asam amino bebas
dalam sistem seluler dan disosiasi protein otot kedalam asam amino bebas. Penuaan dikaitkan dengan
penurunan ekspresi faktor hormonal yang mendukung sintesis protein dan peningkatan ekspresi baik
faktor endokrin maupun inflamasi yang berperan negatif terhadap keseimbangan protein (peningkatan

19
degradasi protein).

9. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik adalah setiap gerakan yang dihasilkan oleh kontraksi otot rangka dan menghasilkan
peningkatan pengeluaran energi tubuh. Ativitas fisik termasuk kegiatan yang kita lakukan sehari-hari
seperti berdiri dari kursi dan menaiki tangga serta gerakan yang direncanakan untuk meningkatkan
kesehatan seperti berjalan atau bersepeda. Frekuensi aktivitas fisik yang dilakukan secara konsisten
dalam menghasilkan kebugaran jasmani dan peningkatan kesehatan. Pada lansia yang secara fisik lebih
kurang aktif dan memiliki konsekuensi fisiologi pada otot rangka dapat meningkatkan risiko proses

9
sarkopenia.

10. Konsumsi alkohol

Penyalahgunaan alkohol dapat menyebabkan penurunan massa dan kekuatan otot rangka, nyeri otot,
kram, kesulitan berjalan dan risiko jatuh. Fenomena tersebut dikenal sebagai miopati alkoholik. Miopati
alkoholik sendiri merupakan penyakit otot yang disebabkan oleh penggunaan alkohol dengan asupan
tinggi. Miopati alkoholik kronik ditandai dengan adanya atrofi pada serabut tipe II yang mengarah pada

9
pengurangan massa otot (30%).

Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa etanol merupakan zat aktif dari alkohol yang dapat
menyebabkan miopati. Etanol menyebabkan penurunan aktifitas sintesis protein otot rangka hingga

9,19
41%. Pemberian etanol selama 24 jam pada tikus dapat menyebabkan reduksi protein otot rangka,

9,26
RNA dan komponen DNA otot.
Penyalahgunaan alkohol dapat mempengaruhi kerusakan otot rangka, mempercepat proses kerusakan
dan penurunan massa. Hal ini disebabkan karena terdapat gangguan pada sintesis protein otot . Alkohol
bukan penyebab langsung dari kejadian sarkopenia, asupan alkohol yang tinggi merupakan gaya hidup

9
yang dapat mempercepat perkembangan sarkopenia.

11. Merokok

Merokok berhubungan dengan gaya hidup yang buruk seperti rendahnya frekuensi aktivitas fisik dan
gangguan nutrisi. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan kejadian

9
sarkopenia. Penelitian yang dilakukan terhadap 4000 lansia berusia 65 tahun keatas di Cina
menunjukkan bahwa merokok memiliki hubungan dan menjadi salah satu faktor risiko dari

27
sarkopenia.

Beberapa penelitian berusaha menjelaskan mekanisme yang dapat mempercepat berkembangnya


sarkopenia pada perokok aktif. Efek dari kebiasaan merokok dapat menimbulkan rusaknya struktur dan
metabolisme otot. Montes de Oca et al. 2008 melakukan penelitian mengenai efek merokok pada otot
rangka perokok aktif dan non perokok dengan mengeksplorasi otot vastus lateralis yang telah dibiopsi.
Penelitian tersebut menemukan kerusakan struktur dan metabolik pada otot rangka perokok aktif,
termasuk menurunnya area belah lintang serabut tipe I dan kecenderungan serupa pada serabut tipe

28
IIa. Komponen dari rokok dapat meningkatkan stes oksidatif sel dan mengaktifasi jalur yang
meregulasi ligase spesifik otot rangka (E3 ligase MAFbx/atrogin-1 dan inhibitor miostatin). Hasil akhir
dari proses tersebut adalah peningkatan degradasi protein otot rangka dan meningkatkan perkembangan

9,29
akselerasi sarkopenia.
2.2.6 Patofisilogi Sarkopenia

Semua otot rangka dalam tubuh tersusun atas sel-sel multinuklea


r yang disebut serabut atau fiber.
Setiap serabut mengandung protein kontraktil aktin dan miosin, bersamaan dengan protein otot lainnya
membentuk filamen tebal dan tipis. Filament aktin dan miosin tersusun dalam pita periodik terstruktur
yang disebut sarkomer, dan kumpulan beberapa sarkomer membentuk struktur seperti tabung yang
disebut serabut. Setiap serabut otot mengandung sejumlah serabut paralel. Gaya yang dihasilkan oleh
serat otot sebanding dengan jumlah serabut yang dikandung. Otot rangka dipersarafi oleh neuron motor.
Pada otot yang kecil, serabut dipersarafi oleh sedikit neuron motor sedangkan otot yang besar dipersarafi
oleh cabang motor neuron tunggal. Kombinasi dari motor neuron tunggal dan serabut otot yang
19
dipersarafi oleh cabang-cabangnya disebut unit motor.

Gambar 1. Hierarki struktur otot rangka dan serabut otot dalam berkas otot Sarcopenia: Etiology, clinical
19
consequences, intervention and assessment.

Unit motor otot rangka diaktifkan ketika terdapat sinyal yang dihasilkan oleh korteks motor otak. Sinyal
ini bergerak menuju sum-sum tulang belakang dan ditransmisikan sebagai suatu aksi potensial melalui
motor neuron ke setiap serat di unit motor sehingga menghasilkan stimulasi kontraksi. Ketika impuls
saraf mencapai persimpangan antara cabang motor neuron dan serabut otot, Asetilkolin (Ach) dilepaskan
dari ujung akson neuron. Sebuah perubahan gelombang elektrik yang dihasilkan dari sel otot rangka
ketika Ach terikat dengan reseptor di permukaan sel otot, menyebabkan pelepasan kalsium dari

19
retikulum sarkoplasma, yang akan mengaktifkan mesin kontraktil untuk menghasilkan daya.

Daya yang dihasilkan dalam kontraksi otot merupakan interkasi antara komponen aktin dan miosin
dalam sarkomer. Hal ini terjadi ketika komponen myosin menempel pada kerangka aktin. Mengikuti
serangkaian transformasi kimia melalui pemecahan adenosine trifosfat (ATP) oleh aktin, energi bebas
yang dilepaskan digunakan untuk produksi gaya dan pergerakan aktin dalam sarkomer, sehingga
19
menyebabkan seluruh otot mengahsilkan gerakan dan kekuatan.

Unit motor dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan ekpresi spesifik miosin dalam serabut otot. Slow
motor unit (tipe lambat) mengandung jumlah serabut otot yang terdiri dari miosin tipe 1, yang
mentransduksi energi pada tingkat yang relatif lambat.Sehingga respon kecepatan kontraksi otot juga
relatif lambat. Serabut tipe 1 dalam unit motor lambat sangat kaya akan mitokondria dan mioglobin,
yang membuat serabut ini nampak kemerahan dan memiliki kapasitas tinggi untuk pengiriman ATP dari
metabolisme oksidatif trigliserida dan karbohidrat. Proses sintesis oksidatif ATP yang dilakukan oleh
serabut tipe 1 relatif lebih lambat dan dapat dipertahankan untuk jangka waktu lama, sehingga cocok
untuk latihan aerobik seperti lari jarak jauh. Selain itu karena kecepatan kontraksinya rendah maka dapat
19
ditarik dan melawan gravitasi.

Fast fatigable motor units (serabut tipe cepat) menghasilkan lebih banyak kekuatan dan memilki
kecepatan yang lebih tinggi daripada serabut tipe lambat. Unit motor cepat mengandung miosin tipe II
yang memiliki potensial glikolitik lebih tinggi, kapasitas oksidatif rendah dan tentunya kecepatan yang
lebih tinggi namun cepat lelah jika dibandingkan serabut tipe I. Pada saat lambat, aktifitas intensitas
rendah, kekuatan paling besar diperoleh dari serabut tipe I, sedangkan kekuatan latihan tinggi diperoleh
19
kekuatan dari serabut tipe I dan II.

Penurunan massa otot karena usia dikarenakan hilangnya unit-unit motor lambat dan cepat, dan
penurunan signifikan pada unit motor cepat. Selain kehilangan unit motor cepat, terjadi pula atrofi atau
penurunan cross-sectional area (CSA) dari serabut glikolitik tipe II. Unit motor mengalami penurunan
melalui denervasi, terjadi peningkatan beban kerja yang dialihkan kepada unit- unit motor yang bertahan
hidup dan memiliki reson adaptif potensional, unit-unit motor yang tersisa menarik serabut-serabut yang
mengalami denervasi dan mengubah jenisnya menjadi unit motor. Terjadi konversi dari serabut otot tipe
II ke tipe I karena serabut tipe II ditarik kedalam unit-unit motor lambat. Hasil dari konversi tersebut
adalah perubahan kecil persentase CSA serabut tipe I. Persentase total CSA yang diisi oleh serabut tipe I
cenderung meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini akan mempengaruhi penurunan kapasitas
19
pengahasilan tenaga karena perubahan yang terjadi.

Pada otot lansia, pengerahan serabut-serabut yang mengalami denervasi oleh unit-unit motor yang
bertahan hidup menyebabkan pengelompokan jenis- jenis serabut yang sama. Penurunan serabut tipe I
dan tipe II mengakibatkan perubahan-perubahan fungsi otot yang tajam seiring peningkatan usia.
Penurunan unit motor cepat dan penurunan serabut tipe II yang terjadi bersamaan mengakibatkan
penurunan tenaga otot yang dibutuhkan untuk aktivitas harian seperti bangkit dari kursi, menaiki tangga
atau mengembalikan postur tubuh setelah mengalami ketidak seimbangan. Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan oelh Kotska et al. ditemukan bahwa kecepatan tenaga maksimal menurun sebesar 18% pada
36
usia 20-29 tahun dan 50-59 tahun, penurunan 20% usia 60-69 tahun dan 80-89 tahun. Penurunan ini
telah dihubungkan dengan penurunan massa otot dan tenaga per-unit area dan tekanan per-unit area
19
karena komponen jaringan non otot menggantikan serabut otot yang hilang .

Gambar 3. Pengaruh usia pada unit motor menunjukkan serabut muda, penuaan dan sarkopenia.
2.2.7. Gejala Klinis

1. Kekuatan fisik yang berkurang secara progresif

2. Berjalan semakin lambat

3. Performa fisik yang menurun

4. Aktivitas keseharian menurun / menjadi terbatas (functional limitation)

5. Kemandirian menurun

6. Penurunan mobilitas

7. Atrofi otot

8. Kelemahan muskuloskeletal dan kehilangan stamina, yang dapat mengganggu aktivitas fisik.
2,4,6

Meskipun sarcopenia sebagian besar terlihat pada orang yang tidak aktif, fakta bahwa hal itu juga terjadi
pada orang-orang yang tetap aktif secara fisik sepanjang hidup menunjukkan ada faktor lain yang terlibat

dalam pengembangan sarcopenia.2,4

2.2.8. Penilaian dan Diagnosis Sarkopenia

Diagnosis sarkopenia dapat diidentifikasi setelah dilakukan penilaian terhadap tiga kriteria penting

4,14
dalam sarkopenia yaitu: massa otot, kekuatan otot dan performa fisik. Terdapat perbedaan dalam

6
menentukan nilai dari ke tiga kriteria tersebut sehingga berdampak pada interpretasi sarkopenia.

Diagnosis sarkopenia didasarkan pada :


Baru-baru ini European Working Group on Sarcopenia in Older People (EWGSOP), mengusulkan
kriteria diagnostik berikut untuk sarcopenia: 13

1) Massa otot rendah yang dinilai menggunakan indeks massa otot rangka ≤ 8.90kg / m2 (pria) dan
≤ 6.37kg / m2 (wanita);
2) Kekuatan otot rendah (LMS) dinilai dengan kekuatan pegangan <30kg (pria) dan <20kg (wanita);
3) Kinerja fisik rendah (LPP) dinilai dengan kecepatan berjalan ≤ 0.8m / s.

Teknik penilaian dan pencitraan

1. Massa otot

Teknik pencitraan tubuh. Tiga teknik pencitraan telah digunakan untuk memperkirakan massa otot atau
massa-dihitung tubuh ramping tomography (CT scan), magnetic resonance imaging (MRI) dan dual

energy x-ray absorptiometry (DXA).3,6

 DXA adalah metode alternatif selain CT scan dan MRI yang dapat digunakan untuk
membedakan lemak, mineral tulang dan otot. Kelemahan utama adalah bahwa peralatan tidak
3,6
portabel, yang dapat menghalangi penggunaannya dalam studi epidemiologi skala besar.

 CT dan MRI dianggap sistem pencitraan sangat tepat yang dapat memisahkan lemak dari
jaringan lunak lain dari tubuh, membuat metode ini menjadi gold standard untuk memperkirakan
massa otot dalam penelitian. Namun terdapat beberapa keterbatasan yaitu: biaya tinggi, akses

terbatas kekhawatiran tentang paparan radiasi.3

 Pengukuran antropometri. Perhitungan berdasarkan lingkar betis telah digunakan untuk


memperkirakan massa otot. Lingkar betis berkorelasi positif dengan massa otot; lingkar betis <31
cm telah dikaitkan dengan atrofi otot. Namun, perubahan yang berkaitan dengan usia di timbunan
lemak dan hilangnya elastisitas kulit berkontribusi terhadap kesalahan estimasi pada orang tua.
Ada relatif sedikit penelitian memvalidasi pengukuran antropometri pada orang tua dan gemuk;
ini dan pembaur lain membuat langkah-langkah antropometrik rentan terhadap kesalahan dan
dipertanyakan untuk penggunaan individu. Tindakan antropometri rentan terhadap kesalahan dan

tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin dalam diagnosis sarcopenia.3

2. Kekuatan otot

Ada beberapa teknik yang divalidasi lebih sedikit untuk mengukur kekuatan otot. Meskipun
tungkai bawah yang lebih relevan daripada tungkai atas untuk kiprah dan fungsi fisik, kekuatan
genggam telah banyak digunakan dan baik berkorelasi dengan hasil yang paling relevan. Teknik
tersebut meliputi : kekuatan genggaman tangan, kekuatan otot tungkai, dan repeated chair stand
3,6
test.

Kekuatan genggaman tangan merupakan metode yang banyak digunakan untuk menilai kekuatan

otot. Kekuatan genggaman tangan atau hand grip strength (HGS) memiliki hubungan dengan

kekuatan otot tungkai, ekstensi lutut dan CSA otot. Rendahnya ninai HGS dapat menjadi tanda

rendahnya mobilitas dan menjadi prediktor klinis yang baik untuk menentukan kekuatan otot.

HGS merupakan penilaian yang sederhana, mudah dan tidak invasif. Jamar grip dinamometer

atau dinamometer tipe hidrolik merupakan standard baku emas alat untuk penilaian kekuatan otot

tangan.3,6

1. Kinerja fisik

Penilaian kinerja fisik untuk menegakkan diagnosis sarkopenia antara lain: Short Physical
Performance Battery (SPPB), kecepatan jalan biasa, tes jalan 6 menit, tes menaiki tangga dan tes
12
timed go-up.
EWGSOP merekomendasikan penilaian performa fisik dengan menggunakan teknik SPPB.

SPPB terdiri dari tes berjalan biasa selama 4 menit, keseimbangan dan tes duduk berdiri. SPPB

dapat mengevaluasi keseimbangan, kekuatan dan ketahanan. SPPB sering dugunakan karena

menjadi standard penilaian baik untuk pelatihan dan kepentingan klinik. 3

2.2.9. Tatalaksana dan pencegahan

1. Latihan Fisik

Latihan fisik dengan intensitas rendah - sedang diketahui memiliki manfaat bagi penderita sarkopenia.
Latihan fisik dengan intensitas rendah jika dilakukan secara rutin dilakukan setiap hari dapat menjaga
massa otot agar tetap padat. Melatih seluruh otot tubuh sebanyak 10 repetisi setiap hari selama 15 menit
sudah cukup untuk mempertahankan massa otot. 1

Massa otot
berbanding lurus dengan ukuran dari otot itu sendiri yang dimana akan meningkat jika
melakukan aktifitas fisik. Selain itu, secara fisiologis, sintesa protein juga akan meningkat, sehingga
proses metabolisme menjadi lebih lancar. Selain itu, otot yang kuat juga dapat meningkatkan sirkulasi
aliran darah sebab sel-sel mitokondria yang terdapat dalam otot dapat bekerja secara maksimal. Jika
terdapat suatu kondisi yang tidak memungkinkan seseorang untuk berolahraga, manfaatkan setiap
aktivitas sehari-hari merupakan alternatif latihan yang efektif. Seperti naik tangga, berjalan dari tempat
parkir kekantor dan sebagainya. Aktivitas tersebut memiliki repetisi yang cukup untuk menjaga massa
otot tetap padat.1

 Latihan aerobic
Latihan erobik dapat menstimulasi produksi ATP di mitokondria dengan otot rangka, dan
meningkatkan regulasi metabolik, dan fungsi kardiovaskular. Selain itu, latihan aerobic juga
dapat mengurangi ekspresi gen katabolik dan meningkatkan sintesis protein otot menurut
penelitian yang dilakukan oleh Erlich et al., 2016; Konopka dan Harber, 2014; Seo et al., 2016.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Yan et al. 2012 menunjukkan bahwa
latihan resistensi dapat menekan jalur apoptosis di otot rangka. Harber et al. 2012 juga
mendukung latihan aerobic karena berdasarkan penelitian yang dilakukannya, didapatkan bahwa
cycle exercise dapat meningkatkan massa otot dan juga kekuatan otot pada individu berusia 74
tahun sebagai subjek, namun pengaruh terhadap massa otot dan kekuatan otot tidak sebesar
latihan resistensi. 1

 Latihan Tahanan / resistance training

Menitik beratkan pada daya tahan dalam melawan beban. Stimulus hipertrofi otot pada latihan
tahanan jauh lebih kuat jika dibandingkan latihan aerobik (endurance). Dapat digunakan untuk

pencegahan dan penanggulangan sarkopenia.4 Pada sebuah penelitian didapatkkan hasil bahwa
program latihan resistensi progresif dapat meningkatkan tingkat sintesis protein pada orang
dewasa yang lebih tua dalam waktu dua minggu. Latihan resistensi dianggap sebagai strategi
penting untuk mencegah atrofi otot karena merangsang hipertrofi otot dan meningkatkan
kekuatan otot (Johnston et al., 2008) dengan mengubah keseimbangan antara sintesis protein otot

dan degradasi ke arah sintesis (Johnston et al., 2008). 1

 Latihan Kombinasi

Pada sebuah penelitian, ditemukan satu metode yaitu latihan kombinasi antara resistance training
dan juga aerobic training dimana didapatkan hasil yang bermanfaat untuk pencegahan dan
4
penanggulangan sarkopenia. Pada sebuah penelitian didapatkkan hasil bahwa aerobic training
memiliki efek yang lebih rendah pada aspek kekuatan otot dan massa otot jika dibandingkan
dengan resistance training, menurut hasil penelitian dari Heo et al., 2017, resistance training
diketahui tidak efektive dilakukan pada individu yang lebih tua dikarenakan terdapat defisiensi
dari mTOR signaling yang berperan dalam sintesis protein pada otot. Namun, menurut penelitian
yang dilakukan oleh Lee, 2017; Takeshima et al., 2004, didapatkan hasil yang meningkatkan
abilitas dalam berjalan, keseimbangan serta fungsi otot isokinetik pada pasien sarcopenia yang
melakukan latihan kombinasi selama 12 minggu. Didukung juga oleh penelitian yang dilakukan
oleh Gudlaugsson et al. 2013, dimana dilakukan latihan kombinasi pada 117 orang tua selama 6
bulan, dan didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan endurance yang diukur dengan 6-min
1
walking test.

2. Pola Makan

Asupan gizi yang cukup me


miliki peran yang cukup penting dalam mengobati sarcopenia. Pada sebuah
penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa yang lebih tua mungkin membutuhkan lebih banyak
protein / kgBB jika dibandingkan dengan individu yang berusia lebih muda untuk mempertahankan dan
memperkuat massa otot . Pada individu yang lebih tua dibutuhkan asupan protein dari 1,0-1,2 g / kgBB /
hari. Hal ini diakibatkan oleh kenyataan bahwa individu yang lebih tua cenderung untuk mengkonsumsi
kalori yang lebih sedikit, yang dimana dapat menyebabkan kekurangan asupan protein. Oleh karena itu,
menjaga asupan protein yang cukup serta asupan kalori yang cukup merupakan aspek penting dari
pengobatan penyakit ini. Diet yang kaya asam amino seperti: daging dan sereal biji-bijian. Seperti
disebutkan di atas, protein merupakan aspek penting dalam pembentukan massa otot yang berbanding
lurus dengan kekuatan otot itu sendiri, tetapi diet tinggi daging dan sereal biji-bijian harus diimbangi
4
dengan diet tinggi buah-buahan dan sayuran agar efektif dalam mengobati sarcopenia.

3. Suplemen

Ada beberapa bukti untuk mendukung bahwa suplemen creatine juga dapat membantu dalam

pengembangan otot untuk orang dewasa yang lebih tua yang mengikuti program
resistance training.
Suplementasi kreatin dapat meningkatkan kadar fosfokreatin otot dimana akan meningkatkan
kemampuan latihan sehingga dapat meningkatkan proses sintesis otot. Namun terdapat beberapa efek
samping yang dapat ditimbulkan dari suplementasi kreatin seperti nefritis interstitial. Oleh karena itu
suplementasi kreatin sebenarnya bukan merupakan terapi pilihan.4
4. Medikamentosa

Pengobatan sarcopenia dengan obat belum diketahui secara pasti apakah dapat memberikan manfaat
atau tidak, namun terdapat beberapa obat yang sedang diteliti, antara lain yaitu :

 Hormone Replacement Therapy (HRT).

Terapi penggantian hormon telah terbukti dapat meningkatkan massa tubuh lean, mengurangi
lemak , dan mencegah pengeroposan tulang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi
kontroversi seputar penggunaan HRT karena dapat meningkatnya risiko kanker tertentu dalam
penggunaan HRT. Namun terdapat beberapa efek samping yang dapat timbul akibat pemakaian
HRT antara lain: retensi cairan, ginekomastia, dan hipotensi Ortostatik.1,4,6

- Growth Hormone

4,6
Growth hormone diketahui dapat mempertahankan kekuatan otot.

- Testosteron

Testosteron dapat mencegah penurunan massa dan kekuatan otot. 4,6


BAB III
KESIMPULAN

Sarkopenia menggambarkan satu dari sekian banyak perubahan yang tampak nyata yang berkaitan
dengan usia, dimana terjadi suatu kemunduran yang progresif dari massa, kekuatan, dan fungsi otot.

Gejala klinis sarkopenia antara lain kekuatan fisik yang berkurang secara progresif, berjalan semakin
lambat, performa fisik yang menurun, aktivitas keseharian menurun / menjadi terbatas (functional
limitation), kemandirian menurun, penurunan mobilitas, ukuran otot terlihat mengecil.

Diagnosis dari sarkopenia didasarkan atas dua hal yaitu massa otot yang berkurang, kecepatan dan
perfoma yang berkurang, keberhasilan penatalaksanaan pada sarkopenia sangat bergantung pada latihan
fisik, gaya hidup, pola makan,terapi suportif psikologis.

Untuk menanggulangi sarkopeni dan melawan sarkopeni terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan,
namun diantaranya latihan fisik memiliki peran yang paling signifikan dan penting dalam meningkatkan
massa otot serta kekuatan otot, dan dapat meningkatkan kinerja fisik. Dibuktikan oleh penelitian –
penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa latihan aerobic, resistensi, maupun latihan kombinasi
antara keduanya dapat meningkatkan massa otot, kekuatan otot, dan juga kinerja fisik, dimana
merupakan kriteria – kriteria pada sarcopenia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sarcopenia With Aging : Symptoms, Causes and Treatments for Sarcopenia. 2014.

2. Consensus definition of sarcopenia, cachexia and pre-cachexia: Joint document elaborated by

Special Interest Groups (SIG) ‘‘cachexia-anorexia in chronic wasting diseases’’ and ‘‘nutrition in

geriatrics’’.

3. Sarcopenia: European consensus on definition and diagnosis.2014.

4. Osteoporosis & Musculoskeletal Disorders – Sarcopenia. 2014.

5. Factors contributing to neuromuscular impairment and sarcopenia during aging. 2014.

6. Murley JE, Jentoft AJ. Sarcopenia. New Delhi India : Willey Blackwell ; 2012.

7. Sarcopenia: A Primer for Physiatrists. 2014.

8. Wasting Syndrome (cachexia). 2014.

9. Metabolomics Evaluation of Serum Markers for Cachexia and Their Intra-Day Variation in

Patients with Advanced Pancreatic Cancer. 2014.

10. Kortebein P, Means K. Geriatrics. Demons Medical : America. 2013

11. Harisson T. Harisson's Principle of Internal Medicine. In: Resnick W, Wintrobe M, editors.

muscular Dystrophies and Other Muscle Disease. America: McGraw-Hill Companies; 2005.

12. Myasthenia Gravis. Diunduh Tanggal 30 November 2014.


13. Cruz-Jentoft AJ, Baeyens JP, Bauer JM, Boirie Y, Cederholm T, Landi F, et al. Sarcopenia:
European consensus on definition and diagnosis: Report of the European Working Group on
Sarcopenia in Older People. Age and ageing. 2010;39(4):412–23. 

14.

Anda mungkin juga menyukai