Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN LANJUT USIA (LANSIA)


DENGAN MASALAH IMPECUNITY/POVERTY
(PENURUNAN/TIADA PENGHASILAN)

OLEH:
LUKMAN HANDOYO, S.KEP.
NIM 131713143090

1
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS (P3N)
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS
AIRLANGGA
SURABAYA
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. 1


DAFTAR ISI ............................................................................................. 2
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3
1.1 Konsep Lansia dan Proses Penuaan ....................................................... 3
1.1.1 Definisi Lansia ....................................................................... 3
1.1.2 Batasan Lansia ....................................................................... 3
1.1.3 Teori Penuaan ........................................................................ 4
1.1.4 Tahapan Proses Penuaan ........................................................ 4
1.1.5 Perubahan Fisik dan Psikososial pada Lansia ......................... 5
1.2 Konsep Impecunity pada Lansia .......................................................... 11
1.2.1 Definisi Impecunity pada Lansia........................................... 11
1.2.2 Perubahan Fisik Lansia yang Berhubungan dengan
Impecunity ........................................................................... 11
1.2.3 Faktor Lain Penyebab Ketidaklayakan Bekerja
pada Lansia .......................................................................... 12
1.2.4 Dampak Impecunity pada Lansia .......................................... 12
1.2.5 Peran Perawat pada Lansia yang Mengalami Impecunity ...... 13
1.2.6 WOC Impecunity pada Lansia .............................................. 15
1.3 Konsep Teori Carol A. Miler ............................................................... 16
1.3.1 Filosofi Teori ....................................................................... 16
1.3.2 Terminologi dalam Teori...................................................... 16
BAB 2 ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PADA KLIEN LANSIA
DENGAN IMPECUNITY ......................................................... 18
2.1 Pengkajian Fokus ................................................................................ 18
2.2 Diagnosa Keperawatan yang dapat Muncul ......................................... 19
2.3 Tujuan, Kriteria Hasil, dan Intervensi Keperawatan ............................ 19
REFERENSI ........................................................................................... 23

2
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Lansia dan Proses Penuaan


1.1.1 Definisi Lansia
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas. Lebih lanjut Maryam (2008) juga mendefinisikan lansia
sebagai seseorang yang telah berusia lanjut dan telah terjadi perubahan-
perubahan dalam sistem tubuhnya.
Namun berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh Orimo et al.
(2006), peneliti asal Jepang, yang menjelaskan bahwa lansia merupakan orang
yang berusia lebih dari 75 tahun. Definisi tersebut berdasar pada hasil riset
yang telah dilakukannya dengan menemukan fakta bahwa: 1) lansia di Jepang
yang berusia 65 tahun atau lebih ternyata masih bisa melakukan aktifitas fisik
tanpa keluhan dan hambatan berarti; 2) arteri serebral pada lansia tampak
belum mengalami penuaan dan penurunan fungsi; dan 3) lansia penderita
diabetes mellitus yang berumur 65 tahun masih menunjukkan tingkat
kemandirian yang tinggi untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi definisi lansia
dari penelitian tersebut memang tidak bisa digunakan secara global karena
faktor budaya dan lingkungan juga berpengaruh terhadap proses penuaan.

1.1.2 Batasan Lansia


WHO dalam Kunaifi (2009) membagi lansia menurut usia ke dalam empat
kategori, yaitu:
1. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun
2. Lansia (elderly) : 60-74 tahun
3. Usia tua (old) : 75-89 tahun
4. Usia sangat lanjut (very old) : lebih dari 90 tahun

3
1.1.3 Teori Penuaan
Ada empat teori pokok dari penuaan menurut Klatz dan Goldman, (2007), yaitu:
1. Teori Wear and Tear
Tubuh dan sel mengalami kerusakan karena telah banyak digunakan
(overuse) dan disalahgunakan (abuse).
2. Teori Neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh
yaitu dimana hormon yang dikeluarkan oleh beberapa organ yang
dikendalikan oleh hipotalamus telah menurun.
3. Teori Kontrol Genetik
Teori ini fokus pada genetik memprogram genetik DNA, dimana kita
dilahirkan dengan kode genetik yang unik, dimana penuaan dan usia hidup
kita telah ditentukan secara genetik.
4. Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu.
Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron
yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktivitas tinggi,
karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu
molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya
satu elektron pada molekul lain.

1.1.4 Tahapan Proses Penuaan


Proses penuaan dapat berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut
(Pangkahila, 2007):
1. Tahap Subklinik (usia 25-35 tahun)
Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,
yaitu hormon testosteron, growth hormon dan hormon estrogen.
Pembentukan radikal bebas dapat merusak sel dan DNA mulai
mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar,
karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal.

4
2. Tahap Transisi (usia 35-45 tahun)
Pada tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang
sebanyak satu kilogram tiap tahunnya. Pada tahap ini orang mulai merasa
tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai
merusak ekspresi genetik yang dapat mengakibatkan penyakit seperti
kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit jantung koroner dan
diabetes.
3. Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas)
Pada tahap ini penurunan kadar hormone terus berlanjut yang meliputi
DHEA, melatonin, growth hormon, testosteron, estrogen dan juga hormon
tiroid. Terjadi penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan
bahan makanan, vitamin dan mineral. Penyakit kronis menjadi lebih nyata,
sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan.

1.1.5 Perubahan Fisik dan Psikososial pada Lansia


1) Perubahan Fisik pada Lansia
Menurut Maryam (2008), perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lanjut
usia adalah :
1. Sel
Perubahan sel pada lanjut usia meliputi: terjadinya penurunan jumlah sel,
terjadi perubahan ukuran sel, berkurangnya jumlah cairan dalam tubuh dan
berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak,
otot, ginjal, darah, dan hati, penurunan jumlah sel pada otak, terganggunya
mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5-
10%.
2. Sistem Persyarafan
Perubahan persyarafan meliputi : berat otak yang menurun 10-20% (setiap
orang berkurang sel syaraf otaknya dalam setiap harinya), cepat
menurunnya hubungan persyarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk
bereaksi khususnya dengan stress, mengecilnya syaraf panca indra,
berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf

5
penciuman dan perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan
ketahanan terhadap sentuhan, serta kurang sensitif terhadap sentuan.
3. Sistem Pendengaran
Perubahan pada sistem pendengaran meliputi: terjadinya presbiakusis
(gangguan dalam pendengaran) yaitu gangguan dalam pendengaran pada
telinga dalam terutama terhadap bunyi suara, nada-nada yang tinggi, suara
yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kta,50% terjadi pada umur diatas 65
tahun. Terjadinya otosklerosis akibat atropi membran timpani. Terjadinya
pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkatnya keratinin.
Terjadinya perubahan penurunan pendengaran pada lansia yang
mengalami ketegangan jiwa atau stress.
4. Sistem Penglihatan
Perubahan pada sistem penglihatan meliputi: timbulnya sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola),
terjadi kekeruhan pada lensa yang menyebabkan katarak, meningkatnya
ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat
dan susah melihat pada cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi,
menurunnya lapang pandang, serta menurunnya daya untuk membedakan
warna biru atau hijau. Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi
adalah ukuran pupil menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan
juga terhadap akomodasi, lensa menguning dan berangsur-angsur menjadi
lebih buram mengakibatkan katarak, sehingga memengaruhi kemampuan
untuk menerima dan membedakan warna-warna. Kadang warna gelap
seperti coklat, hitam, dan marun tampak sama. Pandangan dalam area yang
suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat dalam
cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko cedera. Sementara cahaya
menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan untuk
membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal itu dapat
mempengaruhi kemampuan fungsional para lansia sehingga dapat
menyebabkan lansia terjatuh.

6
5. Sistem Kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler meliputi: terjadinya penurunan
elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku,
menurunnya kemampuan jantung untuk memompa darah yang
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya, kehilangan
elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer
untuk oksigenasi, perubahan posisi yang dapat mengakibatkan tekanan
darah menurun (dari tidur ke duduk dan dari duduk ke berdiri) yang
mengakibatkan resistensi pembuluh darah perifer.
6. Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Perubahan pada sistem pengaturan tempertur tubuh meliputi: pada
pengaturan sistem tubuh, hipotalamus dianggap bekerja sebagai
thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi
berbagai faktor yang mempengaruhinya, perubahan yang sering ditemui
antara lain temperatur suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologik
kurang lebih 35°C, ini akan mengakibatkan metabolisme yang menurun.
Keterbatasan refleks mengigil dan tidak dapat memproduksi panas yang
banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot.
7. Sistem Respirasi
Perubahan sistem respirasi meliputi: otot pernapasan mengalami
kelemahan akibat atropi, aktivitas silia menurun, paru kehilangan
elastisitas, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri menurun,
karbon dioksida pada arteri tidak berganti, reflek dan kemampuan batuk
berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun, sering
terjadi emfisema senilis, kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan
otot pernapasan menurun seiring pertambahan usia.
8. Sistem Pencernaan
Perubahan pada sistem pecernaan, meliputi: kehilangan gigi, penyebab
utama periodontal disease yang bisa terjadi setelah umur 30 tahun, indra
pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa
asin, asam dan pahit, esofagus melebar, rasa lapar nenurun, asam lambung
menurun, motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun, peristaltik

7
lemah dan biasanya timbul konstipasi, fungsi absorpsi melemah, hati
semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah
berkurang.
9. Sistem Perkemihan
Perubahan pada sistem perkemihan antara lain ginjal yang merupakan alat
untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urine, darah masuk
keginjal disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang disebut nefron
(tempatnya di glomerulus), kemudian mengecil dan nefron menjadi atrofi,
aliran darah ke ginjal menurun sampai 50% sehingga fungsi tubulus
berkurang, akibatnya, kemampuan mengkonsentrasi urine menurun, berat
jenis urine menurun. Otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, sehingga
kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan buang air seni
meningkat. Vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga terkadang
menyebabkan retensi urine.
10. Sistem Endokrin
Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin meliputi: produksi semua
hormon turun, aktivitas tiroid, BMR (basal metabolic rate), dan daya
pertukaran zat menurun. Produksi aldosteron menurun, Sekresi hormon
kelamin, misalnya progesterone, estrogen, dan testoteron menurun.
11. Sistem Integumen
Perubahan pada sistem integumen, meliputi: kulit mengerut atau keriput
akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit cenderung kusam,
kasar, dan bersisi. Timbul bercak pigmentasi, kulit kepala dan rambut
menipis dan berwarna kelabu, berkurangnya elestisitas akibat
menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh,
jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.
12. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi: tulang kehilangan
densitas (cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang
menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan, tendon mengerut dan
mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut otot mengecil sehingga
gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi tremor, aliran darah ke

8
otot berkurang sejalan dengan proses menua. Semua perubahan tersebut
dapat mengakibatkan kelambanan dalam gerak, langkah kaki yang
pendek, penurunan irama. Kaki yang tidak dapat menapak dengan kuat
dan lebih cenderung gampang goyah, perlambatan reaksi mengakibatkan
seorang lansia susah atau terlambatmengantisipasi bila terjadi gangguan
terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan jatuh.
2) Perubahan Psikososial pada Lansia
Berdasarkan beberapa evidence based yang telah dilakukan terdapat perubahan
psikososial yang dapat terjadi pada lansia antara lain:
1. Kesepian
Septiningsih dan Na’imah (2012) menjelaskan dalam studinya bahwa
lansia rentan sekali mengalami kesepian. Kesepian yang dialami dapat
berupa kesepian emosional, situasional, kesepian sosial atau gabungan
ketiga-tiganya. Berdasarkan penelitian tersebut beberapa hal yang dapat
memengaruhi perasaan kesepian pada lansia diantaranya: a) merasa tidak
adanya figur kasih sayang yang diterima seperti dari suami atau istri, dan
atau anaknya; b) kehilangan integrasi secara sosial atau tidak terintegrasi
dalam suatu komunikasi seperti yang dapat diberikan oleh sekumpulan
teman, atau masyarakat di lingkungan sekitar. Hal itu disebabkan karena
tidak mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan di kompleks
hidupnya; c) mengalami perubahan situasi, yaitu ditinggal wafat pasangan
hidup (suami dan atau istri), dan hidup sendirian karena anaknya tidak
tinggal satu rumah.
2. Kecemasan Menghadapi Kematian
Ermawati dan Sudarji (2013) menyimpulkan dalam hasil penelitiannya
bahwa terdapat 2 tipe lansia memandang kematian. Tipe pertama lansia
yang cemas ringan hingga sedang dalam menghadapi kematian ternyata
memiliki tingkat religiusitas yang cukup tinggi. Sementara tipe yang kedua
adalah lansia yang cemas berat menghadapi kematian dikarenakan takut
akan kematian itu sendiri, takut mati karena banyak tujuan hidup yang
belum tercapai, juga merasa cemas karena sendirian dan tidak akan ada
yang menolong saat sekarat nantinya.

9
3. Depresi
Lansia merupakan agregat yang cenderung depresi. Menurut Jayanti,
Sedyowinarso, dan Madyaningrum (2008) beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya depresi lansia adalah: a) jenis kelamin, dimana
angka lansia perempuan lebih tinggi terjadi depresi dibandingkan lansia
laki-laki, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan hormonal, perbedaan
stressor psikososial bagi wanita dan laki-laki, serta model perilaku tentang
keputusasaan yang dipelajari; b) status perkawinan, dimana lansia yang
tidak menikah/tidak pernah menikah lebih tinggi berisiko mengalami
depresi, hal tersebut dikarenakan orang lanjut usia yang berstatus tidak
kawin sering kehilangan dukungan yang cukup besar (dalam hal ini dari
orang terdekat yaitu pasangan) yang menyebabkan suatu keadaan yang
tidak menyenangkan dan kesendirian; dan c) rendahnya dukungan sosial.

Berdasarkan konsep lansia dan proses penuaan yang telah dijabarkan, maka
lansia rentan sekali menghadapi berbagai permasalahan baik secara fisik maupun
psikologis. Kane, Ouslander, dan Abrass (1999) menjabarkan permasalahan yang
sering dihadapi lansia ke dalam 14 masalah atau yang sering disebut 14i Sindrom
Geriatri (Geriatric Syndrome). Keempat belas masalah tersebut adalah: 1)
Immobility (penurunan/ketidakmampuan mobilisasi); 2) Instability
(ketidakseimbangan, risiko jatuh); 3) Incontinence (inkontinensia urin/alvi, tidak
mampu menahan buang air kecil/besar); 4) Intelectual Impairment (penurunan
fungsi kognitif, demensia); 5) Infection (rentan mengalami infeksi); 6) Impairment
of Sensory/Vision (penurunan penglihatan, pendengaran); 7) Impaction (sulit buang
air besar); 8) Isolation (rentan depresi/stres sehingga lebih sering menyendiri); 9)
Inanition (kurang gizi); 10) Impecunity (penurunan penghasilan); 11) Iatrogenesis
(efek samping obat-obatan); 12) Insomnia (sulit tidur); 13) Immunedeficiency
(penurunan daya tahan tubu); 14) Impotence (impotensi).
Pada paper ini hanya akan dijelaskan satu dari empat belas masalah, yakni
Impecunity atau penurunan penghasilan.

10
2.1 Konsep Impecunity pada Lansia
2.1.1 Definisi Impecunity pada Lansia
Impecunity atau yang dalam bahasa Indonesia berarti kemiskinan
merupakan suatu kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan jauh lebih rendah
dari rata-rata pendapatan sehingga tidak banyak memiliki kesempatan untuk
mensejahterakan dirinya (Suryawati, 2005). Pada konteks kemiskinan yang dialami
oleh lansia maka hal penting yang harus dipertanyakan adalah mengapa lansia bisa
sampai mengalami kemiskinan.
Berbagai teori telah menyebutkan dan fakta telah membuktikan bahwa
ketika seseorang memasuki usia lanjut maka akan terjadi proses penurunan fungsi
tubuh. Penurunan fungsi tubuh tersebut dapat memengaruhi produktivitas lansia
ketika bekerja. Sehingga fenomena yang terjadi pada lansia adalah adanya fase
pension baik bagi pekerja formal maupun informal. Pada lansia pekerja formal
terdapat sistem batasan usia maksimum seseorang dipekerjakan sehingga ia akan
diberhentikan dari pekerjaanya. Sedangkan orang dengan pekerjaan informal (misal
berdagang) memang tidak ada pensiun atau pemberhentian bekerja namun
penurunan fungsi tubuh seiring bertambahnya usia pasti akan memaksa seseorang
untuk menurunkan intensitas pekerjaannya atau justru menghentikannya sendiri.
Miller (2009) mengemukakan bahwa fase berhenti kerja atau pensiun pasti
akan dialami oleh seluruh lansia dan pada saat itu mengakibatkan pendapatan
(uang) menurun serta perubahan peran dan status sosial. Pada fase tersebut tugas
lansia adalah harus mampu beradaptasi dengan masa pensiun dan penurunan
pendapatan yang terjadi (Rosdahl dan Kowalski, 2012).
Dari uraian diatas maka dapat penulis tarik kesimpulan bahwa impecunity
pada lansia adalah suatu kondisi dimana lansia mengalami penurunan atau bahkan
kehilangan pendapatan dikarenakan ketidakmampuan lansia untuk bekerja secara
produktif karena perubahan fungsi tubuh yang terjadi.

2.1.2 Perubahan Fisik Lansia yang Berhubungan dengan Impecunity


Berikut beberapa perubahan pada lansia serta dampak yang terjadi yang
karenanya lansia dapat dikatakan sudah tidak memenuhi lagi kriteria untuk bekerja
secara produktif sehingga terjadi penurunan pendapatan:

11
1) Penurunan penglihatan, akan mengakibatkan kesulitan dalam
beraktivitas sehari-hari, berisiko jatuh, dan kecelakaan/insiden lainnya
(Wang, C.W., et al., 2014).
2) Demensia/penurunan daya ingat, akan menyebabkan lansia butuh
pendampingan dalam berbagai kegiatan, terutama kegiatan instrumental
(bepergian, mencuci, menelepon, dan lain sebagainya) dan pemenuhan
kebutuhan dasar (Ananta & Wulan, 2011).
3) Penurunan kekuatan otot, akan menyebabkan lansia kesulitan
melakukan kegiatan fungsional seperti kemampuan mobilitas dan
aktivitas perawatan diri (Utomo, 2010).
4) Penurunan pendengaran, berisiko tinggi terjadi kesalahan dalam
berkomunikasi (Ciorba, et al., 2012).

2.1.3 Faktor Lain Penyebab Ketidaklayakan Bekerja pada Lansia


Menurut Turner dan Helms (1995) lansia sudah tidak layak dipekerjakan
karena:
1) Pekerja lanjut usia adalah pekerja yang lambat dalam bekerja, kurang
(bahkan tidak dapat) memenuhi persyaratan standar produktivitas yang
ditentukan perusahaan.
2) Pekerja lanjut usia banyak yang tidak fleksibel, sulit dilatih dan
dikembangkan karena mereka sulit untuk dapat menerima perubahan.
3) Gaji pekerja lanjut usia akan menambah beban perusahaan yang
rasionya sudah tidak realistis lagi dengan peningkatan kinerjanya.

2.1.4 Dampak Impecunity pada Lansia


1) Dampak Bagi Lansia itu Sendiri
Penurunan penghasilan bagi lansia akan menyebabkan stres dan depresi
(Kurniasih, 2013). Selain itu lansia yang cenderung benar-benar tidak
melakukan kegiatan apa-apa setelah pensiun juga berisiko tinggi
mengalami depresi (Hayati dan Nurviyandari, 2013). Bahkan pada lansia
laki-laki dapat terjadi gangguan konsep diri dikarenakan perannya sebagai

12
kepala keluarga yang mencari nafkah tidak lagi berjalan optimal (Lee &
Smith, 2009).
2) Dampak Bagi Pembangunan Sosial-Ekonomi
Orlicka (2015) dalam studinya menjelaskan bahwa peningkatan populasi
usia lanjut dan kemiskinan yang terjadi pada lansia dapat berdampak pada
pembangunan ekonomi bagi pemerintah. Selain itu penelitian yang
dilakukan oleh Dethier et al. (2011) turut mendukung dengan menjabarkan
terdapat korelasi antara berapa jumlah uang pensiun yang didapat seorang
lansia dengan tingkat kemiskinan dan kesejahteraan suatu wilayah.

2.1.5 Peran Perawat pada Lansia yang Mengalami Impecunity


1) Memberikan Pelayanan Konseling
Lansia yang mengalami penurunan pendapatan cenderung akan mudah stres
dan depresi. Ketika hal itu terjadi maka perawat harus menggunakan teknik
komunikasi terapeutik yang tepat untuk memberikan intervensi
keperawatan. Perawat harus menjadi pendengar yang baik, menunjukkan
sikap empati, menggali kemampuan yang masih dimiliki lansia,
memotivasi, dan memberi pujian pada kegiatan tercapai yang dilakukan.
2) Mengadakan Pelatihan/Terapi Okupasi
Perawat di era globalisasi dituntut untuk dapat terampil dan kreatif dalam
berbagai bidang. Karena keterampilan dan tingkat kreativitas seorang
perawat dapat menjadi role model dan ditularkan pada kliennya. Pada kasus
ini, perawat dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan yang masih bisa
dilakukan oleh lansia untuk kemudian dijadikan sebuah wirausaha guna
menambah penghasilan. Selain itu terapi okupasi juga dapat meningkatkan
persepsi kebermaknaan hidup, mengurangi stres, meningkatkan
keterampilan, dan meningkatkan produktivitas lansia (Kaharingan et al.,
2015; Ponto et al., 2015; Umah, 2012). Contoh: pemberdayaan lansia untuk
membuat anyaman, crafting, atau pembudidayaan TOGA.
3) Advokasi Asuransi Kesehatan Pemerintah
Bagi lansia-lansia yang tidak memiliki asuransi kesehatan sedang ia dalam
kondisi miskin, maka perawat wajib mengadvokasi dari mulai memberikan

13
penyuluhan hingga membantu pendaftaran asuransi kesehatan pemerintah
tersebut agar jika lansia sakit maka tidak akan terlalu dibebani secara
finansial.

14
2.1.6 WOC Impecunity pada Lansia
Usia lanjut: perubahan fungsi tubuh pada lansia

Demensia/penurunan daya ingat: Penurunan kekuatan otot dan Penurunan pendengaran: risiko
Penurunan penglihatan:
mudah lupa, sulit fokus tulang rapuh: risiko jatuh, tidak miss komunikasi dalam bekerja
kesulitan beraktifitas,
kesulitan membaca, kuat berdiri lama, tidak kuat
risiko jatuh, mata mudah mengangkat barang berat, gerakan
lelah lamban

Penurunan produktivitas bekerja

Pensiun/pemberhentian kerja

Lansia laki-laki sebagai kepala


Penurunan pendapatan, kebutuhan sehari-hari
keluarga tidak dapat memenuhi
Kejadian sakit pada diri kurang terpenuhi
kebutuhan keluarga
sendiri/keluarga

Pembiayaan tidak optimal, Kemiskinan/Impecunity/Poverty


MK: Gangguan Konsep Diri:
tidak ada asuransi
Penampilan Peran Tidak Efektif

Pengobatan/terapi tidak efektif Ketidakadekuatan sistem


pendukung dan strategi koping
MK: Manajemen Kesehatan
Keluarga Tidak Efektif MK: Koping Tidak Efektif
15
2.2 Konsep Teori Carol A. Miller (Alligood, 2014; Miller, 2012)
2.2.1 Filosofi Teori
Model teori yang diperkenalkan oleh Carol disebut teori konsekuensi
fungsional untuk promosi kesehatan bagi lansia (Functional Consequences Theory
for Promoting Wellness in Older Adults). Perawat dapat menggunakan model
keperawatan ini di berbagai situasi dimana tujuan dari keperawatannya ialah
promosi kesehatan bagi lansia. Teori ini dikembangkan untuk menjelaskan
pertanyaan seperti: apakah keunikan dari promosi kesehatan untuk lansia? dan
bagaimana penerapan keperawatan untuk kebutuhan kesehatan bagi lansia?.

2.2.2 Terminologi dalam Teori


The Functional Consequences Theory terdiri dari teori tentang penuaan,
lansia, dan keperawatan holistik. Konsep domain keperawatan adalah orang,
lingkungan, kesehatan, dan keperawatan dihubungkan bersama secara khusus
dalam kaitannya dengan lansia.
1) Functional Consequence
Mengobservasi akibat dari tindakan, faktor risiko, dan perubahan terkait
usia yang mempengaruhi kualitas hidup atau aktivitas sehari-hari dari
lansia. Efek tersebut berhubungan dengan semua tingkat fungsi, termasuk
tubuh, pikiran, dan semangat. Konsekuensi fungsional yang positif atau
negatif adalah efek-efek yang bisa diamati dari tindakan, faktor risiko dan
perubahan terkait umur yang mempengaruhi kualitas hidup atau kegiatan
sehari-hari dari lansia. Faktor-faktor risiko bisa berasal dari lingkungan atau
berasal dari pengaruh fisiologi dan psikososial. Dampak-dampak fungsional
positif ketika mereka membantu level performa tertinggi dan jumlah
ketergantungan yang paling kecil. Sebaliknya mereka negatif ketika
berinterferensi dengan level fungsi atau kualitas hidup seseorang.
2) Negative Functional Consequences
Hal-hal yang menghambat fungsi dari lansia atau kualitas hidup dari lansia.
Dampak-dampak fungsional negatif biasanya terjadi karena kombinasi
perubahan terkait usia dan faktor-faktor resiko yang dijelaskan dalam
contoh gangguan performa visual. Hal ini juga bisa disebabkan oleh

16
intervensi, di mana kasus intervensi menjadi faktor-faktor resiko. Misalnya,
konstipasi yang berasal dari penggunaan obat analgesik adalah contoh dari
konsekwensi fungsional negatif yang disebabkan oleh sebuah intervensi.
Dalam kasus ini obat merupakan intervensi untuk nyeri dan faktor resiko
untuk gangguan fungsi pencernaan.
3) Positive Functional Consequences (Wellness Outcomes)
Hal-hal yang memfasilitasi tingkat tertinggi fungsi dari lansia secara baik,
sedikit ketergantungan, dan kualitas hidup terbaik. Konsekuensi fungsional
positif bisa berasal dari tindakan tooatmis atau intervensi sengaja. Seringkali
lansia membawa dampak fungsional positif ketika mereka mengompensasi
perubahan-perubahan terkait usia dengan atau tanpa maksud sadar. Misalnya
seorang lansia mungkin meningkatkan jumlah cahaya untuk membaca atau
mulai menggunakan kacamata tanpa menyadari bahwa tindakan tersebut
mengompensasi perubahan-perubahan terkait umur. Misalnya seorang wanita
mungkin memandang ketidakmampuan post menopausal untuk menjadi hamil
sebagai efek positif penuaan. Akibatnya, hubungan seksual mungkin lebih
memuaskan pada masa lansia.

17
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
PADA KLIEN LANSIA DENGAN IMPECUNITY

2.1 Pengkajian Fokus


2.1.1 Data Demografi
1) Jenis Kelamin
Laki-laki yang mengalami penurunan pendapatan cenderung berisiko
depresi lebih tinggi dibandingkan perempuan karena laki-laki merupakan
kepala keluarga yang mempunyai peran besar dalam keluarga (Lee dan
Smith, 2009).
2) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan lansia dapat mempengaruhi pendapatan uang
pensiunan dan mekanisme koping yang dilakukan (Hayati, 2014).
3) Anggota Keluarga
Kaji berapa jumlah anggota keluarga inti dan berapa orang yang sekiranya
masih dalam masa pembiayaan klien.
4) Pekerjaan Terdahulu dan Penghasilan
Pekerjaan lansia sebelum pensiun/berhenti bekerja perlu dikaji. Tidak
semua pekerjaan apalahi yang bukan pegawai akan dapat uang pensiun.
Selain itu jumlah uang pensiunan juga dapat memengaruhi tingkat stress
dan depresi lansia (semakin rendah jumlah uang pensiun yang diterima
maka semakin tinggi tingkat stress dan depresi) (Kurniasih, 2013).
2.1.2 Riwayat Kesehatan Dahulu dan Sekarang
Perlu dikaji terkait penyakit yang pernah diderita untuk memprediksi
apakah lansia tersebut dapat terserang penyakit yang sama lagi dikemudian hari
atau justru menderita komplikasi akibat penyakit primernya terdahulu. Hal
tersebut berkaitan dengan pembiayaan yang mungkin akan dibebankan pada
lansia apalagi jika lansia tersebut tidak memiliki keanggotaan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN).

18
2.1.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara komprehensif (head to toe/per sistem) wajib
dilakukan meski tidak ada keluhan berarti yang dirasakan lansia guna
mengantisipasi penyakit degeneratif.

2.2 Diagnosa Keperawatan yang Dapat Muncul


1) Koping Tidak Efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan sistem
pendukung/strategi koping
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, D.0096, Kategori:
Psikologis, Subkategori: Integritas Ego
2) Penampilan Peran Tidak Efektif berhubungan dengan faktor
ekonomi
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, D.0125, Kategori:
Relasional, Subkategori: Interaksi Sosial
3) Manajemen Kesehatan Keluarga Tidak Efektif berhubungan
dengan kesulitan ekonomi
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, D.0115, Kategori: Perilaku,
Subkategori: Penyuluhan dan Pembelajaran

2.3 Tujuan, Kriteria Hasil, dan Intervensi Keperawatan


Referensi Berdasarkan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria
Intervensi Keperawatan NIC/Evidence Based
Keperawatan Hasil/NOC
Practice
Koping Tidak Setelah dilakukan 1) Bina hubungan saling Intervensi nomor 1, 2, 3,
Efektif b.d. tindakan keperawatan percaya dengan klien 4: merupakan standar
ketidakade- selama…..x….jam, dan/atau keluarga intervensi yang ada pada
kuatan sistem klien mampu 2) Berikan kesempatan NIC.
pendukung/ menghadapi klien untuk
strategi koping permasalahan yang mengungkapkan Intervensi nomor 5: studi
dihadapi dengan perasaannya, bantu yang dilakukan oleh
menggunakan klien identifikasi Surbakti (2008)
mekanisme koping stressor mengungkapkan bahwa

19
adaptif yang 3) Berikan dukungan lansia pensiun yang
ditunjukkan dengan: pada klien apabila mempunyai tingkat
1) Ekspresi wajah telah mengungkapkan depresi rendah ternyata
klien tampak perasaanya menggunakan strategi
tenang, tidak cemas 4) Ajarkan alternatif koping adaptif yang
2) Klien koping yang berorientasi ego yaitu
mengungkapkan konstruktif dengan rutin
dengan verbal 5) Ajarkan klien untuk melaksanakan dan
tentang perasaan menggunakan strategi menjadwalkan
yang lebih baik koping berorientasi hobi/kesukaannya dan
3) Klien menunjukkan ego yaitu dengan berupaya untuk
perilaku yang memfasilitasi dan meningkatkan
konstruktif dalam menjadwalkan secara religiusitas dengan
kegiatan sehari-hari berkala klien membiasakan diri selalu
melakukan hobinya mengadu dan berdoa
serta membantu klien kepada Tuhan YME
untuk meningkatkan apabila ada masalah.
religiusitas, latih klien
untuk senantiasa Intervensi nomor 6:
berdoa dan mengadu Suprapto (2013) dalam
kepada Tuhan YME studinya memaparkan
setiap kali ada bahwa konseling
masalah. logoterapi dapat
6) Gunakan pendekatan meningkatkan
konseling logoterapi kebermakanaan hidup
pada lansia.
Penampilan Setelah dilakukan 1) Diskusikan dengan Intervensi nomor 1 dan 2:
Peran Tidak tindakan keperawatan klien hal-hal apa saja merupakan standar
Efektif b.d. selama…..x….jam, yang masih dapat intervensi yang ada pada
faktor ekonomi klien mampu menerima dilakukan dan NIC.
diri terhadap peran sekiranya
yang diembannya menghasilkan

20
karena kondisinya yang 2) Bangun kepercayaan Intervensi nomor 3:
sekarang ditunjukkan diri klien dengan Penelitian yang
dengan: memberi motivasi dan dilakukan oleh
1) Klien pujian Kaharingan et al. (2015)
mengungkapkan 3) Ajarkan suatu menunjukkan bahwa
secara verbal tentang keterampilan okupasi kegiatan terapi okupasi
kepuasannya pada lansia yang diajarkan kepada
sekarang menjalani lansia membuat lansia
peran dalam semakin memaknai dan
keluarga menghargai hidup.
2) Klien mampu
menjalani perannya
saat ini dengan
strategi koping yang
adaptif
Manajemen Setelah dilakukan 1) Anjurkan keluarga Intervensi nomor 1:
Kesehatan tindakan keperawatan untuk mendukung penelitian yang dilakukan
Keluarga selama…..x….jam, lansia senantiasa Wulandhani, et al. (2014)
Tidak Efektif klien mampu memeriksakan menunjukkan bahwa
b.d. kesulitan menunjukkan kesehatannya secara semakin tinggi dukungan
ekonomi kemampuan mengatur rutin keluarga maka semakin
kesehatan keluarga 2) Advokasi klien untuk termotivasi lansia untuk
dengan efektif mendapatkan memeriksakan
menggunakan pembiayaan apabila kesehatannya.
kemampuan/sumber belum mempunyai
daya yang tersedia yang keanggotaan asuransi Intervensi nomor 2:
ditunjukkan dengan: kesehatan pemerintah merupakan standar
1) Klien dan keluarga 3) Berikan pendidikan intervensi yang ada di
menunjukkan kesehatan terkait NIC.
perilaku hidup pemanfaatan
bersih dan sehat pelayanan posyandu Intervensi nomor 3: hasil
secara rutin lansia, risiko studi Yuliani (2015)

21
2) Klien dan keluarga kesehatan lansia dan menunjukkan bahwa
berpartisipasi aktif pencegahannya, serta pendidikan kesehatan
dalam kegiatan penyakit umum yang berpengaruh terhadap
kesehatan di sering terjadi di peningkatan partisipasi
masyarakat masyarakat klien lansia ke posyandu
(posyandu, kerja lansia.
bakti, senam, dan
lain sebagainya)

22
REFERENSI

Alligood, M. R., 2014. Nursing Theorist and Their Work. USA: Elsevier Health
Sciences.

Ananta, L. A. W. & Wulan, R., 2011. Pola Aktivitas Sehari-Hari pada Pasien
Demensia di Instalasi Rawat Jalan RS. Baptis Kediri. Jurnal STIKES RS
Baptis Kediri, 4(2).

Bulechek, G., 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). 6th ed. Missouri:
Elsevier Mosby.

Ciorba, A., Bianchini, C., Pelucchi, S. & Pastore, A., 2012. The Impact of Hearing
Loss on The Quality of Life of Elderly Adults. Clinical Interventions in
Aging, Volume 7, pp. 159-163.

Dethier, J. J., Pestieau, P. & Ali, R., 2011. The Impact of A Minimum Pension on
Old Age Poverty and Its Budgetary Cost: Evidence from Latin America.
Revista de Economia del Rosario, 14(2), pp. 135-163.

Ermawati & Sudarji, S., 2013. Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lanjut Usia.
Psibernetika Universitas Bunda Mulya, 6(1).

Hayati, R. & Nurviyandari, D., 2014. Depresi Ringan pada Lansia Setelah
Memasuki Masa Pensiun. Depok: Skripsi Universitas Indonesia.

Jayanti, Sedyowinarso & Madyaningrum, 2008. Faktor-Faktor yang


Mempengaruhi Tingkat Depresi Lansia di Panti Werdha Wiloso Wredho
Purworejo. Jurnal Ilmu Keperawatan, 3(2), pp. 133-138.

Kaharingan, E., Bidjuni, H. & Karundeng, M., 2015. Pengaruh Penerapan Terapi
Okupasi Terhadap Kebermaknaan Hidup pada Lansia di Panti Werdha Damai
Ranamuut Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp), 3(2).

Kane, R. L., Ouslander, J. G. & Abrass, I. B., 1999. Essentials of Clinical


Geriatrics. 4th ed. New York: McGraw-Hill, Health Professions Division.

Klatz, R. & Goldman, R., 2007. The Official Anti Aging Revolution: Stop the Clock,
Time is on Your Side for a Younger, Stronger, Happier You. 4th ed. United
States: Basic Health Publications, Inc.

Kunaifi, A., 2009. Hubungan Tingkat Kepuasan Interaksi Sosial dengan Tingkat
Depresi Lansia di Panti Werdha Surabaya. Surabaya: Skripsi Universitas
Airlangga.

23
Kurniasih, D., 2013. Stres dan Strategi Coping Lansia pada Masa Pensiun yang
Berstatus Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
Yogyakarta: Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.

Lee, J. & Smith, J. P., 2009. Work, Retirement, and Depression. J Popul Ageing,
Volume 2, pp. 57-71.

Maryam, R. S., 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.

Menteri Negara Sekretaris Negara RI, 1998. Undang-Undang Nomor 13 Tahun


1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Jakarta: Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan.

Miller, C. A., 2009. Nursing for Wellness in Older Adults. US: Lippincott Williams
& Wilkins.

Moorhead, S., 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement of


Health Outcomes. 5th ed. Missouri: Elsevier Sounder.

Orimo, H. et al., 2006. Reviewing the Definition of Elderly. Geriatric Gerontol Int,
Volume 6, pp. 149-158.

Orlicka, E., 2015. Impact of Population Ageing and Elderly Poverty on


Macroeconomic Aggregates. Procedia Economics and Finance, Volume 30,
pp. 598-605.

Pangkahila, W., 2007. Anti-Aging Medicine: Memperlambat Penuaan


Meningkatkan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Ponto, D. L., Bidjuni, H. & Karundeng, M., 2015. Pengaruh Penerapan Terapi
Okupasi Terhadap Penurunan Stres pada Lansia di Panti Werdha Dama
Ranomuut Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp), 3(2).

PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI.

Rosdahl, C. B. & Kowalski, M. T., 2012. Textbook of Basic Nursing. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins.

Septiningsih, D. S. & Na'imah, T., 2012. Kesepian pada Lanjut Usia: Studi tentang
Bentuk, Faktor Pencetus, dan Strategi Koping. Jurnal Psikologi Universitas
Diponegoro, 11(2).

Suprapto, H. U. H., 2013. Konseling Logoterapi untuk Meningkatkan


Kebermaknaan Hidup Lansia. Jurnal Sains & Prakti Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang, 1(2).

24
Surbakti, E. P., 2008. Stres dan Koping Lansia pada Masa Pensiun Di Kelurahan
Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar. Medan:
Skripsi Universitas Sumatera Utara.

Suryawati, C., 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. Jurnal


Manajemen Pelayanan Kesehatan, 8(3).

Turner, J. S. & Helms, D. B., 1995. Lifespan Development. Columbia: Harcourt


Brace College Publishers.

Umah, K., 2012. Terapi Okupasi: Training Keterampilan Pengaruhi Tingkat


Depresi pada Lansia. Journal of Ners Community, 3(1).

Utomo, B., 2010. Hubungan antara Kekuatan Otot dan Daya Tahan Otot Anggota
Gerak Bawah dengan Kemampuan Fungsional Lanjut Usia. Surakarta: Tesis
Universitas Sebelas Maret.

Wang, C.-W., Chan, C. L. & Chi, I., 2014. Overview of Quality of Life Research
in Older People with Visual Impairment. Advances in Aging Research,
Volume 3, pp. 79-94.

Wulandhani, S. A., Nurcahayati, S. & Lestari, W., 2014. Hubungan Dukungan


Keluarga dengan Motivasi Lansia Hipertensi dalam Memeriksakan Tekanan
Darahnya. JOM PSIK, 1(2).

Yuliani, Agustina, R. & Rachmawati, K., 2015. Pendidikan Kesehatan Terhadap


Pengetahuan Lansia dalam Memanfaatkan Posyandu Lansia. Jurnal
Keperawatan dan Kesehatan Unlam, 3(1).

25

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai