Anda di halaman 1dari 12

A.

Konsep Lansia dan Proses Penuaan


1. Definisi Lansia
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun ke atas. Lebih lanjut Maryam (2008) juga
mendefinisikan lansia sebagai seseorang yang telah berusia lanjut dan
telah terjadi perubahanperubahan dalam sistem tubuhnya.
Namun berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh Orimo et al.
(2006), peneliti asal Jepang, yang menjelaskan bahwa lansia merupakan
orang yang berusia lebih dari 75 tahun. Definisi tersebut berdasar pada
hasil riset yang telah dilakukannya dengan menemukan fakta bahwa: 1)
lansia di Jepang yang berusia 65 tahun atau lebih ternyata masih bisa
melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan dan hambatan berarti; 2) arteri
serebral pada lansia tampak belum mengalami penuaan dan penurunan
fungsi; dan 3) lansia penderita diabetes mellitus yang berumur 65 tahun
masih menunjukkan tingkat kemandirian yang tinggi untuk memenuhi
kebutuhannya. Tetapi definisi lansia dari penelitian tersebut memang tidak
bisa digunakan secara global karena faktor budaya dan lingkungan juga
berpengaruh terhadap proses penuaan.

2. Batasan Lansia
WHO dalam Kunaifi (2009) membagi lansia menurut usia ke dalam
empat kategori, yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun
b. Lansia (elderly) : 60-74 tahun
c. Usia tua (old) : 75-89 tahun
d. Usia sangat lanjut (very old) : lebih dari 90 tahun

3. Teori Penuaan
Ada empat teori pokok dari penuaan menurut Klatz dan Goldman,
(2007), yaitu:
a. Teori Wear and Tear Tubuh dan sel mengalami kerusakan karena
telah banyak digunakan (overuse) dan disalahgunakan (abuse).
b. Teori Neuroendokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai
hormon bagi fungsi organ tubuh yaitu dimana hormon yang
dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh
hipotalamus telah menurun.
c. Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memprogram
genetik DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang
unik, dimana penuaan dan usia hidup kita telah ditentukan secara
genetik.
d. Teori Radikal Bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme
menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas
dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu
molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal
bebas memiliki sifat reaktivitas tinggi, karena kecenderungan
menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi
suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu
elektron pada molekul lain.

4. Tahapan Proses Penuaan


Proses penuaan dapat berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut
(Pangkahila, 2007):
a. Tahap Subklinik (usia 25-35 tahun) Pada tahap ini, sebagian besar
hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron,
growth hormon dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas
dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh.
Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar, karena itu pada usia
ini dianggap usia muda dan normal.
b. Tahap Transisi (usia 35-45 tahun) Pada tahap ini kadar hormon
menurun sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak satu
kilogram tiap tahunnya. Pada tahap ini orang mulai merasa tidak
muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas
mulai merusak ekspresi genetik yang dapat mengakibatkan
penyakit seperti kanker, radang sendi, berkurangnya memori,
penyakit jantung koroner dan diabetes.
c. Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas) Pada tahap ini penurunan
kadar hormone terus berlanjut yang meliputi DHEA, melatonin,
growth hormon, testosteron, estrogen dan juga hormon tiroid.
Terjadi penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan
bahan makanan, vitamin dan mineral. Penyakit kronis menjadi
lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan.
5. Perubahan Fisik dan Psikososial pada Lansia
a. Perubahan Fisik pada Lansia Menurut Maryam (2008), perubahan-
perubahan fisik yang terjadi pada lanjut usia adalah :
1) Sel Perubahan sel pada lanjut usia meliputi: terjadinya
penurunan jumlah sel, terjadi perubahan ukuran sel,
berkurangnya jumlah cairan dalam tubuh dan berkurangnya
cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot,
ginjal, darah, dan hati, penurunan jumlah sel pada otak,
terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi
atrofis beratnya berkurang 5- 10%.
2) Sistem Persyarafan Perubahan persyarafan meliputi : berat otak
yang menurun 10-20% (setiap orang berkurang sel syaraf
otaknya dalam setiap harinya), cepat menurunnya hubungan
persyarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi
khususnya dengan stress, mengecilnya syaraf panca indra,
berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,
mengecilnya syaraf 6 penciuman dan perasa lebih sensitif
terhadap perubahan suhu dengan ketahanan terhadap sentuhan,
serta kurang sensitif terhadap sentuan.
3) Sistem Pendengaran Perubahan pada sistem pendengaran
meliputi: terjadinya presbiakusis (gangguan dalam
pendengaran) yaitu gangguan dalam pendengaran pada telinga
dalam terutama terhadap bunyi suara, nada-nada yang tinggi,
suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kta,50% terjadi pada
umur diatas 65 tahun. Terjadinya otosklerosis akibat atropi
membran timpani. Terjadinya pengumpulan serumen dapat
mengeras karena meningkatnya keratinin. Terjadinya
perubahan penurunan pendengaran pada lansia yang
mengalami ketegangan jiwa atau stress.
4) Sistem Penglihatan Perubahan pada sistem penglihatan
meliputi: timbulnya sklerosis dan hilangnya respon terhadap
sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola), terjadi kekeruhan
pada lensa yang menyebabkan katarak, meningkatnya ambang,
pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat dan susah melihat pada cahaya gelap, hilangnya daya
akomodasi, menurunnya lapang pandang, serta menurunnya
daya untuk membedakan warna biru atau hijau. Pada mata
bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil
menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga
terhadap akomodasi, lensa menguning dan berangsur-angsur
menjadi lebih buram mengakibatkan katarak, sehingga
memengaruhi kemampuan untuk menerima dan membedakan
warna-warna. Kadang warna gelap seperti coklat, hitam, dan
marun tampak sama. Pandangan dalam area yang suram dan
adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat dalam
cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko cedera.
Sementara cahaya menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan
membatasi kemampuan untuk membedakan objek-objek
dengan jelas, semua hal itu dapat mempengaruhi kemampuan
fungsional para lansia sehingga dapat menyebabkan lansia
terjatuh. 7
5) Sistem Kardiovaskuler Perubahan pada sistem kardiovaskuler
meliputi: terjadinya penurunan elastisitas dinding aorta, katup
jantung menebal dan menjadi kaku, menurunnya kemampuan
jantung untuk memompa darah yang menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volumenya, kehilangan elastisitas
pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer
untuk oksigenasi, perubahan posisi yang dapat mengakibatkan
tekanan darah menurun (dari tidur ke duduk dan dari duduk ke
berdiri) yang mengakibatkan resistensi pembuluh darah perifer.
6) Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh Perubahan pada sistem
pengaturan tempertur tubuh meliputi: pada pengaturan sistem
tubuh, hipotalamus dianggap bekerja sebagai thermostat, yaitu
menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi berbagai
faktor yang mempengaruhinya, perubahan yang sering ditemui
antara lain temperatur suhu tubuh menurun (hipotermia) secara
fisiologik kurang lebih 35°C, ini akan mengakibatkan
metabolisme yang menurun. Keterbatasan refleks mengigil dan
tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi
rendahnya aktivitas otot.
7) Sistem Respirasi Perubahan sistem respirasi meliputi: otot
pernapasan mengalami kelemahan akibat atropi, aktivitas silia
menurun, paru kehilangan elastisitas, berkurangnya elastisitas
bronkus, oksigen pada arteri menurun, karbon dioksida pada
arteri tidak berganti, reflek dan kemampuan batuk berkurang,
sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun, sering
terjadi emfisema senilis, kemampuan pegas dinding dada dan
kekuatan otot pernapasan menurun seiring pertambahan usia.
8) Sistem Pencernaan Perubahan pada sistem pecernaan, meliputi:
kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang bisa
terjadi setelah umur 30 tahun, indra pengecap menurun,
hilangnya sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa asin, asam
dan pahit, esofagus melebar, rasa lapar nenurun, asam lambung
menurun, motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun,
peristaltik 8 lemah dan biasanya timbul konstipasi, fungsi
absorpsi melemah, hati semakin mengecil dan tempat
penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.
9) Sistem Perkemihan Perubahan pada sistem perkemihan antara
lain ginjal yang merupakan alat untuk mengeluarkan sisa
metabolisme tubuh melalui urine, darah masuk keginjal
disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang disebut
nefron (tempatnya di glomerulus), kemudian mengecil dan
nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai
50% sehingga fungsi tubulus berkurang, akibatnya,
kemampuan mengkonsentrasi urine menurun, berat jenis urine
menurun. Otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, sehingga
kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan buang
air seni meningkat. Vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga
terkadang menyebabkan retensi urine.
10) Sistem Endokrin Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin
meliputi: produksi semua hormon turun, aktivitas tiroid, BMR
(basal metabolic rate), dan daya pertukaran zat menurun.
Produksi aldosteron menurun, Sekresi hormon kelamin,
misalnya progesterone, estrogen, dan testoteron menurun.
11) Sistem Integumen Perubahan pada sistem integumen, meliputi:
kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak,
permukaan kulit cenderung kusam, kasar, dan bersisi. Timbul
bercak pigmentasi, kulit kepala dan rambut menipis dan
berwarna kelabu, berkurangnya elestisitas akibat menurunnya
cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh,
jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.
12) Sistem Muskuloskeletal Perubahan pada sistem
muskuloskeletal meliputi: tulang kehilangan densitas (cairan)
dan semakin rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang menurun,
terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan, tendon mengerut dan
mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut otot mengecil
sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi
tremor, aliran darah ke 9 otot berkurang sejalan dengan proses
menua. Semua perubahan tersebut dapat mengakibatkan
kelambanan dalam gerak, langkah kaki yang pendek,
penurunan irama. Kaki yang tidak dapat menapak dengan kuat
dan lebih cenderung gampang goyah, perlambatan reaksi
mengakibatkan seorang lansia susah atau
terlambatmengantisipasi bila terjadi gangguan terpeleset,
tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan jatuh.
b. Perubahan Psikososial pada Lansia
Berdasarkan beberapa evidence based yang telah dilakukan
terdapat perubahan psikososial yang dapat terjadi pada lansia
antara lain:
1) Kesepian
Septiningsih dan Na’imah (2012) menjelaskan dalam studinya
bahwa lansia rentan sekali mengalami kesepian. Kesepian yang
dialami dapat berupa kesepian emosional, situasional, kesepian
sosial atau gabungan ketiga-tiganya. Berdasarkan penelitian
tersebut beberapa hal yang dapat memengaruhi perasaan
kesepian pada lansia diantaranya: a) merasa tidak adanya figur
kasih sayang yang diterima seperti dari suami atau istri, dan
atau anaknya; b) kehilangan integrasi secara sosial atau tidak
terintegrasi dalam suatu komunikasi seperti yang dapat
diberikan oleh sekumpulan teman, atau masyarakat di
lingkungan sekitar. Hal itu disebabkan karena tidak mengikuti
pertemuan-pertemuan yang dilakukan di kompleks hidupnya;
c) mengalami perubahan situasi, yaitu ditinggal wafat pasangan
hidup (suami dan atau istri), dan hidup sendirian karena
anaknya tidak tinggal satu rumah.
2) Kecemasan Menghadapi Kematian
Ermawati dan Sudarji (2013) menyimpulkan dalam hasil
penelitiannya bahwa terdapat 2 tipe lansia memandang
kematian. Tipe pertama lansia yang cemas ringan hingga
sedang dalam menghadapi kematian ternyata memiliki tingkat
religiusitas yang cukup tinggi. Sementara tipe yang kedua
adalah lansia yang cemas berat menghadapi kematian
dikarenakan takut akan kematian itu sendiri, takut mati karena
banyak tujuan hidup yang belum tercapai, juga merasa cemas
karena sendirian dan tidak akan ada yang menolong saat
sekarat nantinya.
c. Depresi
Lansia merupakan agregat yang cenderung depresi. Menurut
Jayanti, Sedyowinarso, dan Madyaningrum (2008) beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya depresi lansia adalah:
1) Jenis kelamin, dimana angka lansia perempuan lebih tinggi
terjadi depresi dibandingkan lansia laki-laki, hal tersebut
dikarenakan adanya perbedaan hormonal, perbedaan stressor
psikososial bagi wanita dan laki-laki, serta model perilaku
tentang keputusasaan yang dipelajari;
2) Status perkawinan, dimana lansia yang tidak menikah/tidak
pernah menikah lebih tinggi berisiko mengalami depresi, hal
tersebut dikarenakan orang lanjut usia yang berstatus tidak kawin
sering kehilangan dukungan yang cukup besar (dalam hal ini dari
orang terdekat yaitu pasangan) yang menyebabkan suatu keadaan
yang tidak menyenangkan dan kesendirian; dan
3) Rendahnya dukungan sosial.

Berdasarkan konsep lansia dan proses penuaan yang telah dijabarkan,


maka lansia rentan sekali menghadapi berbagai permasalahan baik secara
fisik maupun psikologis. Kane, Ouslander, dan Abrass (1999)
menjabarkan permasalahan yang sering dihadapi lansia ke dalam 14
masalah atau yang sering disebut 14i Sindrom Geriatri (Geriatric
Syndrome). Keempat belas masalah tersebut adalah:
1. Immobility (penurunan/ketidakmampuan mobilisasi);
2. Instability (ketidakseimbangan, risiko jatuh);
3. Incontinence (inkontinensia urin/alvi, tidak mampu menahan
buang air kecil/besar);
4. Intelectual Impairment (penurunan fungsi kognitif, demensia);
5. Infection (rentan mengalami infeksi);
6. Impairment of Sensory/Vision (penurunan penglihatan,
pendengaran);
7. Impaction (sulit buang air besar);
8. Isolation (rentan depresi/stres sehingga lebih sering menyendiri);
9. Inanition (kurang gizi);
10. Impecunity (penurunan penghasilan);
11. Iatrogenesis (efek samping obat-obatan);
12. Insomnia (sulit tidur);
13. Immunedeficiency (penurunan daya tahan tubu);
14. Impotence (impotensi).
Pada paper ini hanya akan dijelaskan satu dari empat belas masalah, yakni
Impecunity atau penurunan penghasilan.

B. Konsep Impecunity pada Lansia


1. Definisi Impecunity pada Lansia
Impecunity atau yang dalam bahasa Indonesia berarti kemiskinan
merupakan suatu kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan jauh
lebih rendah dari rata-rata pendapatan sehingga tidak banyak memiliki
kesempatan untuk mensejahterakan dirinya (Suryawati, 2005). Pada
konteks kemiskinan yang dialami oleh lansia maka hal penting yang harus
dipertanyakan adalah mengapa lansia bisa sampai mengalami kemiskinan.
Berbagai teori telah menyebutkan dan fakta telah membuktikan bahwa
ketika seseorang memasuki usia lanjut maka akan terjadi proses penurunan
fungsi tubuh. Penurunan fungsi tubuh tersebut dapat memengaruhi
produktivitas lansia ketika bekerja. Sehingga fenomena yang terjadi pada
lansia adalah adanya fase pension baik bagi pekerja formal maupun
informal. Pada lansia pekerja formal terdapat sistem batasan usia
maksimum seseorang dipekerjakan sehingga ia akan diberhentikan dari
pekerjaanya. Sedangkan orang dengan pekerjaan informal (misal
berdagang) memang tidak ada pensiun atau pemberhentian bekerja namun
penurunan fungsi tubuh seiring bertambahnya usia pasti akan memaksa
seseorang untuk menurunkan intensitas pekerjaannya atau justru
menghentikannya sendiri.
Miller (2009) mengemukakan bahwa fase berhenti kerja atau pensiun
pasti akan dialami oleh seluruh lansia dan pada saat itu mengakibatkan
pendapatan (uang) menurun serta perubahan peran dan status sosial. Pada
fase tersebut tugas lansia adalah harus mampu beradaptasi dengan masa
pensiun dan penurunan pendapatan yang terjadi (Rosdahl dan Kowalski,
2012).
Dari uraian diatas maka dapat penulis tarik kesimpulan bahwa
impecunity pada lansia adalah suatu kondisi dimana lansia mengalami
penurunan atau bahkan kehilangan pendapatan dikarenakan
ketidakmampuan lansia untuk bekerja secara produktif karena perubahan
fungsi tubuh yang terjadi.

2. Perubahan Fisik Lansia yang Berhubungan dengan Impecunity


Berikut beberapa perubahan pada lansia serta dampak yang terjadi yang
karenanya lansia dapat dikatakan sudah tidak memenuhi lagi kriteria untuk
bekerja secara produktif sehingga terjadi penurunan pendapatan: 12
a. Penurunan penglihatan, akan mengakibatkan kesulitan dalam
beraktivitas sehari-hari, berisiko jatuh, dan kecelakaan/insiden
lainnya (Wang, C.W., et al., 2014).
b. Demensia/penurunan daya ingat, akan menyebabkan lansia butuh
pendampingan dalam berbagai kegiatan, terutama kegiatan
instrumental (bepergian, mencuci, menelepon, dan lain sebagainya)
dan pemenuhan kebutuhan dasar (Ananta & Wulan, 2011).
c. Penurunan kekuatan otot, akan menyebabkan lansia kesulitan
melakukan kegiatan fungsional seperti kemampuan mobilitas dan
aktivitas perawatan diri (Utomo, 2010).
d. Penurunan pendengaran, berisiko tinggi terjadi kesalahan dalam
berkomunikasi (Ciorba, et al., 2012).

3. Faktor Lain Penyebab Ketidaklayakan Bekerja pada Lansia


Menurut Turner dan Helms (1995) lansia sudah tidak layak
dipekerjakan karena:
a. Pekerja lanjut usia adalah pekerja yang lambat dalam bekerja,
kurang (bahkan tidak dapat) memenuhi persyaratan standar
produktivitas yang ditentukan perusahaan.
b. Pekerja lanjut usia banyak yang tidak fleksibel, sulit dilatih dan
dikembangkan karena mereka sulit untuk dapat menerima
perubahan.
c. Gaji pekerja lanjut usia akan menambah beban perusahaan yang
rasionya sudah tidak realistis lagi dengan peningkatan kinerjanya.

4. Dampak Impecunity pada Lansia


a. Dampak Bagi Lansia itu Sendiri
Penurunan penghasilan bagi lansia akan menyebabkan stres dan
depresi (Kurniasih, 2013). Selain itu lansia yang cenderung benar-
benar tidak melakukan kegiatan apa-apa setelah pensiun juga
berisiko tinggi mengalami depresi (Hayati dan Nurviyandari,
2013). Bahkan pada lansia laki-laki dapat terjadi gangguan konsep
diri dikarenakan perannya sebagai 13 kepala keluarga yang
mencari nafkah tidak lagi berjalan optimal (Lee & Smith, 2009).
b. Dampak Bagi Pembangunan Sosial-Ekonomi
Orlicka (2015) dalam studinya menjelaskan bahwa peningkatan
populasi usia lanjut dan kemiskinan yang terjadi pada lansia dapat
berdampak pada pembangunan ekonomi bagi pemerintah. Selain
itu penelitian yang dilakukan oleh Dethier et al. (2011) turut
mendukung dengan menjabarkan terdapat korelasi antara berapa
jumlah uang pensiun yang didapat seorang lansia dengan tingkat
kemiskinan dan kesejahteraan suatu wilayah.
5. Peran Perawat pada Lansia yang Mengalami Impecunity
a. Memberikan Pelayanan Konseling Lansia yang mengalami
penurunan pendapatan cenderung akan mudah stres dan depresi.
Ketika hal itu terjadi maka perawat harus menggunakan teknik
komunikasi terapeutik yang tepat untuk memberikan intervensi
keperawatan. Perawat harus menjadi pendengar yang baik,
menunjukkan sikap empati, menggali kemampuan yang masih
dimiliki lansia, memotivasi, dan memberi pujian pada kegiatan
tercapai yang dilakukan.
b. Mengadakan Pelatihan/Terapi Okupasi Perawat di era globalisasi
dituntut untuk dapat terampil dan kreatif dalam berbagai bidang.
Karena keterampilan dan tingkat kreativitas seorang perawat dapat
menjadi role model dan ditularkan pada kliennya. Pada kasus ini,
perawat dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan yang masih
bisa dilakukan oleh lansia untuk kemudian dijadikan sebuah
wirausaha guna menambah penghasilan. Selain itu terapi okupasi
juga dapat meningkatkan persepsi kebermaknaan hidup,
mengurangi stres, meningkatkan keterampilan, dan meningkatkan
produktivitas lansia (Kaharingan et al., 2015; Ponto et al., 2015;
Umah, 2012). Contoh: pemberdayaan lansia untuk membuat
anyaman, crafting, atau pembudidayaan TOGA.
c. Advokasi Asuransi Kesehatan Pemerintah Bagi lansia-lansia yang
tidak memiliki asuransi kesehatan sedang ia dalam kondisi miskin,
maka perawat wajib mengadvokasi dari mulai memberikan 14
penyuluhan hingga membantu pendaftaran asuransi kesehatan
pemerintah tersebut agar jika lansia sakit maka tidak akan terlalu
dibebani secara finansial.
REFERENSI
Alligood, M. R., 2014. Nursing Theorist and Their Work. USA: Elsevier Health
Sciences.
Ananta, L. A. W. & Wulan, R., 2011. Pola Aktivitas Sehari-Hari pada Pasien
Demensia di Instalasi Rawat Jalan RS. Baptis Kediri. Jurnal STIKES RS
Baptis Kediri, 4(2).
Ciorba, A., Bianchini, C., Pelucchi, S. & Pastore, A., 2012. The Impact of
Hearing
Loss on The Quality of Life of Elderly Adults. Clinical Interventions in
Aging, Volume 7, pp. 159-163.
Dethier, J. J., Pestieau, P. & Ali, R., 2011. The Impact of A Minimum Pension on
Old Age Poverty and Its Budgetary Cost: Evidence from Latin America.
Revista de Economia del Rosario, 14(2), pp. 135-163.
Ermawati & Sudarji, S., 2013. Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lanjut
Usia.
Psibernetika Universitas Bunda Mulya, 6(1).
Hayati, R. & Nurviyandari, D., 2014. Depresi Ringan pada Lansia Setelah
Memasuki Masa Pensiun. Depok: Skripsi Universitas Indonesia.
Jayanti, Sedyowinarso & Madyaningrum, 2008. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Tingkat Depresi Lansia di Panti Werdha Wiloso Wredho
Purworejo. Jurnal Ilmu Keperawatan, 3(2), pp. 133-138.
Kaharingan, E., Bidjuni, H. & Karundeng, M., 2015. Pengaruh Penerapan Terapi
Okupasi Terhadap Kebermaknaan Hidup pada Lansia di Panti Werdha
Damai
Ranamuut Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp), 3(2).
Kane, R. L., Ouslander, J. G. & Abrass, I. B., 1999. Essentials of Clinical
Geriatrics. 4th ed. New York: McGraw-Hill, Health Professions Division.
Klatz, R. & Goldman, R., 2007. The Official Anti Aging Revolution: Stop the
Clock,
Time is on Your Side for a Younger, Stronger, Happier You. 4th ed. United
States: Basic Health Publications, Inc.
Kunaifi, A., 2009. Hubungan Tingkat Kepuasan Interaksi Sosial dengan Tingkat
Depresi Lansia di Panti Werdha Surabaya. Surabaya: Skripsi Universitas
Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai