Pendahuluan
Massa otot manusia mengalami perubahan secara konstan. Tiap tahunnya
setelah melewati umur 50 tahun, massa otot akan mengalami penurunan sebesar
1-2%, antara umur 50-60 tahun penurunan sebesar 1,5%, serta penurunan 3%
setelah umur 60 tahun (1). Sarkopenia merupakan salah satu penyebab hilangnya
massa otot. Diperkirakan 5-13% usia tua dengan rentang umur 60-70 tahun
menderita sarkopenia. Jumlah tersebut meningkat 11-50% pada umur 80 tahun
atau lebih (1). Sarkopenia dapat menimbulkan frailty. Beberapa studi
menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap kejadian falls pada orang
yang mengalami penurunan kekuatan otot (1). Jika defisiensi massa otot sudah
ada sebelum terjadi trauma, kehilangan fungsi dan massa otot secara akut akan
membuat pemulihan fungsi normal tubuh tidak akan terjadi. Untuk alasan ini,
lebih dari 50% dari wanita berumur lebih dari 65 tahun dengan patah tulang
panggul akibat terjatuh tidak dapat berjalan lagi (2). Pengobatan sarkopenia
merupakan tantangan, namun hasil yang menjanjikan telah diperoleh dengan cara
latihan daya tahan tubuh yang rutin, pemberian testosteron, estrogen, hormon
pertumbuhan, vitamin D, dan enzim angiotensin-converting inhibitor (ACE
Inhibitor), serta intervensi nutrisi (1).
Beberapa hormon memiliki pengaruh terhadap massa, kekuatan, dan fungsi
otot. Level hormon tersebut akan semakin rendah pada usia tua, serta frekuensi
hormon yang dikeluarkan juga semakin berkurang. Sehingga terapi sulih hormon
bermanfaat untuk mencegah kehilangan massa otot karena faktor usia (2). Oleh
karena itu penting untuk mengetahui secara dini tentang sarkopenia dan
penatalaksanaan khususnya terapi sulih hormon pada penderita sarkopenia.
1
2
Weakness Disability
Disability
Loss of independence
Diagnosis Sarkopenia
Menurut The European Working Group on Sarcopenia in Older People
(EWGSOP), sarkopenia dapat ditegakkan bila diperoleh penurunan massa otot
rangka ditambah salah satu atau lebih dari dua kriteria berikut yaitu kekuatan otot
lemah dan atau performa fisik yang kurang (3,4,5) (Tabel 1).
Pemeriksaan
Kecepatan Berjalan
Penatalaksanaan Sarkopenia
Sarkopenia merupakan kasus yang jarang terjadi. Jika diagnosis itu tercapai,
pengobatan sarkopenia tetap merupakan tantangan bagi kita untuk mengatasinya.
5
Olahraga secara progresif yang dilakukan 2-3 kali per minggu oleh orang tua,
telah menunjukkan peningkatan kecepatan berjalan, naik tangga, dan kekuatan
otot secara keseluruhan (6,11). Nutrisi juga memiliki dampak penting.
Rekomendasi terbaru menyatakan protein yang harus dikonsumsi adalah 0,8 g / kg
/ hari, namun hanya sekitar 40% dari orang di atas usia 70 tahun yang memenuhi
jumlah ini (1,5,6,12). Tambahan asupan kalori 360 kalori per hari dikombinasikan
dengan olahraga telah terbukti meningkatkan kekuatan otot tungkai pada penghuni
panti jompo setelah 10 minggu. Efek serupa terjadi pada pasien kakeksia (1).
Pemberian asam amino esensial tambahan telah terbukti meningkatkan kekuatan
genggaman tangan dan 6-menit berjalan kaki pada subjek lansia setelah 3 bulan
(1,12). Jenis pengobatan lainnya termasuk penggunaan testosteron, estrogen,
hormon pertumbuhan, vitamin D, dan ACE inhibitor (1,5). Selain itu, penelitian
pada hewan baru-baru ini dilaporkan efek menguntungkan dari pengobatan
reseptor aktivin tipe IIB (ActRIIB) dan inhibisi myostatin (1).
Growth Hormone
6
GH Replacement Therapy
IGF-1
PGC-1α
Antioxidant Enzymes
ROS
SARCOPENIA
Namun, beberapa studi juga menunjukkan hasil yang kurang baik setelah
pemberian suplemen GH, bahwa hormon tersebut dapat meningkatkan mortalitas
pada penderita yang mengalami sakit berat dengan malnutrisi. Efek samping yang
lain yang didapatkan antara lain atralgia, edema, efek samping kardiovaskular,
dan resistensi insulin yang membuat penggunaan hormon ini terbatas. Efek
karsinogenik juga terdapat pada GH (3).
Testosteron
Ekaterina dan kawan-kawan dalam penelitian menjelaskan mekanisme
molekular dimana testosteron dapat meningkatkan potensi regeneratif sel satelit
tua dan menekan apoptosis otot rangka serta kemudian membalikkan beberapa
fitur biologis sarkopenia yang terkait penuaan (15). Pemberian testosteron
merangsang pertumbuhan luar biasa dalam massa otot dan kekuatan, baik pada
laki-laki muda maupun tua. Ditunjukkan juga bahwa peningkatan testosteron
dikaitkan dengan hipertrofi serabut otot dan peningkatan yang signifikan dalam
jumlah myonuklear dan sel satelit (15,16).
Testosteron memiliki cara kerja menekan myostatin, menghambat JNK tapi
merangsang Akt signaling. Penekanan terhadap JNK merangsang pertumbuhan
otot dengan tidak hanya menghambat apoptosis sel otot tetapi juga merangsang
proliferasi sel dengan cara melemahkan myostatin yang mengatur p21. Akt dapat
meningkatkan pertumbuhan otot melalui aktivasi langsung Notch signaling serta
melalui modulasi dari beberapa sinyal molekul yang terlibat dalam apoptosis dan
jalur survival remodeling otot. Akt bisa juga menahan caspase-2-mediated death
pathway dan meningkatkan otot pertumbuhan dengan stimulasi metabolisme sel.
Dengan demikian, testosteron melalui stimulasi survival pathway dan dengan
menghambat death pathway akan mengembalikan lingkungan mikro dan
merangsang pertumbuhan otot dalam proses penuaan (15,16). Mekanisme
molekuler dimana testosteron dapat menyebabkan hipertrofi serat otot skeletal
tampak pada Gambar 4.
10
Testosteron
Myostatin
Notch activation
Muscle growth
Estrogen
Estrogen merupakan antioksidan dan menstabilkan membran dan karena itu
memiliki potensi untuk melindungi membran otot dari kerusakan otot akibat
latihan dan untuk melemahkan respon inflamasi. Sejumlah penelitian pada hewan
telah melaporkan kerusakan struktur otot dan gangguan membran otot berkurang
pada saat latihan yang dapat merusak pada hewan pengerat ketika mereka terkena
estrogen (8,18).
Stabilisasi membran otot dengan estrogen juga dapat menekan aktivasi
lisosomal dan non-lisosomal protease pada otot. Penekanan aktivasi calpain (non-
lisosomal protease) pasca-latihan dan aktivasi beta-glukuronidase (lisosomal
protease) dan berkurang kerusakan otot sekunder lebih lanjut telah berulang kali
ditunjukkan pada hewan betina yang diovariektomi dengan pemberian estrogen
terhadap kontrol non-estrogen (18). Estrogen juga dapat bertindak untuk
menstabilkan homeostasis kalsium otot pasca-latihan melalui kemampuannya
untuk meningkatkan aktivitas nitric oxide synthase (NOS) dan dengan demikian
meningkatkan sintesis nitric oxide (NO) dan sinyal dalam otot (8,18). Semua
manfaat ini potensial dari estrogen juga bisa memberikan perlindungan tambahan
pada otot wanita pasca-menopause sehingga mengurangi kerusakan otot dan
peradangan (18).
Meskipun,estrogen memiliki sifat anabolik langsung pada otot, efek yang
ditimbulkan juga dapat dimediasi melalui konversi testosteron. Estrogen dan
testosteron menghambat produksi sitokin katabolik seperti interleukin (IL) -1 dan
IL-6, sehingga dapat dikemukakan bahwa hilangnya hormon-hormon gonad
seiring dengan penuaan bisa memiliki efek katabolik langsung maupun tidak
langsung pada jaringan otot. Baumgartner et al., dalam penelitiannya pada
kelompok wanita lanjut usia menyatakan hasil bahwa terapi pengganti estrogen
tidak menunjukkan efek pada lean body mass. Namun, terapi pengganti estrogen
dapat mencegah penumpukan lemak pusat pada wanita menopause (10). Dalam
penelitian mengenai kekuatan otot dan komposisi tubuh, kedua hormon ini dapat
meningkatkan kekuatan otot, tapi hanya tibolone yang dapat meningkatkan lean
body mass dan menurunkan massa lemak total (3).
Ghrelin
12
hormon pada otot orang muda. (b). Mekanisme kerja hormon pada otot
sarkopenia. (19).
Ringkasan
Sarkopenia adalah epidemi baru yang merupakan ancaman besar bagi
kemerdekaan fungsional dan kualitas hidup individu lanjut usia. Ada bukti yang
berkembang menghubungkan terjadinya sarkopenia terhadap penurunan produksi
testosteron, GH, estrogen dan ghrelin. Uji coba jangka panjang masih diperlukan,
serta perlu ditentukan rasio risiko-manfaat dari terapi tersebut sebelum
direkomendasikan. Pengobatan sarkopenia masih dalam masa perkembangan, dan
perlu dipahami lebih mendalam mekanisme yang terlibat dalam perkembangan
sarkopenia.
15
Daftar Pustaka
1. Von Haehling S, Morley JE, Anker SD.An overview of sarcopenia: fact and
numbers on prevalence and clinical impact. J Cachexia Sarcopenia Muscle
2010; 1: 129-133.
5. Sayer AA, Robinson SM, Patel HP, Shavlakadze T, Cooper C, Grounds MD.
New horizons in the pathogenesis, diagnosis and management of sarcopenia.
Age and Ageing 2013; 42: 145–150.
6. Hairi NN, Bulgiba A, Hiong TG, Mudla I. Sarcopenia in older people. In:
Atwood C. Editor. Geriatrics. Shanghai: InTech; 2012: 29–40.
9. Rolland Y, Czerwinski S, Van Kan GA, Morley JE, Cesari M, Onder G, et al.
Sarcopenia: its assessment, etiology, pathogenesis, consequences and future
perspectives. J Nutr Health Aging 2008; 12(7): 433-450.
10. Kamel HK, Maas D, Duthie Jr EH. Role of hormone in the pathogenesis and
management of sarcopenia. Drugs Aging 2002; 19(11): 865-877.
16
14. Maggio M, Lauretani F, Ceda GP. Sex hormones and sarcopenia in older
persons. Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2013: 16; 3-13.
17. Urban RJ, Bodenburg YH, Gilkison C, Foxworth J, Coggan AR, Wolfe RR,
et al. Testosteron administration to elderly men increases skulutal muscle
strenght and protein synthesis. Am J Physiol 1995; 269: 820-826.
18. Tiidus PM. Benefits of estrogen replacement for skeletal muscle mass and
function in post-menopausal females: evidence from human and animal
study. EAJM 2011; 43: 109-14.