Anda di halaman 1dari 5

Imunologi - P4

RESPONS IMUN PADA INFEKSI

Setiap orang dihadapkan pada berbagai jenis mikroba di sekitarnya yang setiap saat siap untuk
menyerang, tetapi setiap saat tubuh berupaya untuk mempertahankan diri. Hasil akhir konfrontasi
ini sangat bergantung pada hasil interaksi antara mikroba dengan individu yang diserangnya. Reaks
tubuh terhadap infeksi berbeda-beda tergantung pada jumlah dan fungsi limfosit T-helper (Th), T-
supresor (Ts), dan T-sitotoksik (Tc) yang teraktivasi, jumlah dan fungsi sel B yang memproduksi
antibodi, dan juga bergantung pada jumlah sel memory. Berbeda dengan respons imun terhadap
antigen sederhana, respons imun terhadap patogen sangat kompleks. Pola reaksi imunologik
bergantung pada jenis dan sifat mikroba yang menyerangnya. Di lain pihak berbagai jenis mikroba
mempunyai bermacam-macam cara untuk menghindar dari reaksi itu. Sudah diketahui bahwa pada
dasarnya antigenitas mikroba itu kompleks; suatu virus yang sederhana sekalipun dapat
mengekspresikan berbagai jenis antigen, dan parasit cukariotik pun dapat mempunyai beberapa
ratus antigen potensial pada permukaannya, sedangkan setiap antigen mempunyai beberapa ratus
epitop yang berbeda.

Di samping itu berbagai jenis mikroba dapat melepaskan zat anti-khemotaktik, membentuk
kapsul anti-fagositik, resistensi terhadap sistem pembunuhan yang terdapat pada fagosit,
melepaskan enzim-enzim dan mengelabui sistem imun dengan membentuk analog sitokin dan
superantigen. Karena itu dapat dimengerti bahwa respons imun terhadap infeksi merupakan proses
yang sangat kompleks. Beberapa jenis mikroba dilawan oleh sistem imun segera setelah mikroba itu
masuk. Suatu perlawanan yang sengit dalam jangka waktu pendek dilakukan oleh sistem imun,
yang dapat berakhir dengan kemenangan pejamu atau kemenangan patogen. Hal ini merupakan ciri
khas infeksi akut yang disehabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme ekstraseluler termasuk
kokus gram positif dan negatif. Ada kalanya, patogen berlindung di dalam sel pejamu sehingga
tidak terjangkau oleh mekanisme respons imun dan dapat hidup di dalam sel walaupun mekanisme
respons imun aktif. Hal ini merupakan ciri khas infeksi dengan mikororganisme intrascluler.

Pada sebagian besar infeksi, ada keseimbangan antara kemampuan sistem pertahanan tubuh
untuk melawan infeksi dengan kemampuan mikroorganisme untuk menghindar dari sistem
pertahanan tubuh. Namun demikian, manifestasi penyakit infeksi dapat terjadi bila respons imun
pejamu terhadap infeksi tidak adekuat atau tidak tepat (inappropriate).
RESPONS IMUN TERHADAP INFEKSI SECARA UMUM
Respons imun memegang peran penting dalam melindungi tubuh terhadap infeksi. Walaupun
demikian berbagai bukti yang dikumpulkan bertahun-tahun menunjukkan bahwaaspek
patologikyangtampak padapenyakitinfeksiseringkali tidak disebabkan aksi langsung dari patogen
agresor melainkan merupakan akibut dari respons imun. Pada situasi demikian, ada reaksi
hipersensitivitas yang meningkatkan dan memodulasi respons imun yang berakibat kerusakan
jaringan. Pada situasi lain mikroba, baik dengan cara meniru (mimicry) antigen sendiri,
menginduksi proliferasi sel-sel self-reactive atau dengan meningkatkan ckspresi MHC dan molekul
ko-stimulasi pada sel-sel yang terinfeksi, dapat menimbulkan penyakit autoimun. Bahwa berbagai
jenis mikroba dilawan oleh komponen respons imun yang berbeda-beda telah diketahui sejak awal
tahun 1950-an, pada saat mana pertama kali diketahui bahwa antibodi dapat merusak hukteri
ekstraseluler. Kemudian, dengan ditemukannya berbagai komponen tepons imun yang berperan
dalam melawan infeksi, mekanisme perlindungan tubuh dan patogenesis penyakit infeksi-pun mulai
terungkap.

Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dipengaruhi oleh struktur dan
patogenitas bakteri. Bergantung pada struktur dinding sel, mikroba digolongkan dalam golongan
bakteri gram-positif, gram-negatif, mikobakteria dan spiroketa. Lapisan luar bakteri gram-
negatifyang terdiri atas lipid merupakan komponen yang penting karena ia biasanya peka terhadap
mekanisme lisis oleh komplemen dan sel-sel sitotoksik tertentu, sedangkan untuk membunuh
golongan yang lain umumnya diperlukan fagositosis. Ada dua sifat patogenitas bakteri, yaitu sifat
toksik tanpa invasif dan invasif tanpa toksisitas. Namun, sebagian besar bakteri mempunyai sifat
gabungan antara keduanya, yaitu sifat invasif disertai aktivitas toksin secara lokal dan produksi
enzim-enzim yang merusak jaringan sehingga bakteri dapat menyebar. Contoh bakteri yang tidak
invasif tetapi toksik adalah C. difteria dan V. cholerae. Untuk melawan jenis bakteri ini neutralizing
antibody sudah cukup, tetapi untuk membunuh sebagian besar jenis mikroba yang lain diperlukan
mekanisme fagositosis. Bakteri gram-negatif umumnya dapat dibunuh langsung oleh sel NK dengan
cara melisiskan membran sel bakteri, sedangkan sel T-sitotoksik akan merusak membran sel yang
terinfeksi bakteri intraselular sehingga bakteri keluar dan dihancurkan dengan cara lain.

Respons imun bawaan dan sistem imun didapat terhadap patogen harus dilihat sebagai suatu
jejaring (network) sinyal humoral dan interaksi antar-sel antara sel-sel imun dan sel-sel inflamasi
yang memodulasi aktivasi, proliferasi dan diferensiasi sel efektor yang mampu mengenali,
membunuh dan menghancurkan patogen. Jaringan dan sel-sel imun dari sistem imun bawaan
mengenali patogen secara alami dan bukan melalui mekanisme spesifik, dengan menggunakan
pattern recognition receptors (PRR) pada permukaan sel, sitoplasmik dan humoral yang mengikat
molekul-molekul PAMP's Toll like receptor (TLR) merupakan anggota keluarga reseptor PRR yang
banyak dipelajari dan memegang peran penting pada pengenalan dan transduksi sinyal untuk
aktivasi sel efektor dalam menyingkirkan agen infeksius.

Ada beberapa gambaran umum respons imun terhadap mikroba yang dap dirangkum sebagai
berikut:
a. P
ertahanan terhadap mikroba diperantarai oleh mekanisme efektor imunitas bawaan (non-
spesifik) maupun imunitas didapat (spesifik). Berbagai jenis mikroba dapat melawan respons
imun nonspesifik, dan dalam keadaan demikian proteksi terhadap mikroba tersebut sangat
bergantung pada respons imun spesifik, dalam arti bahwa sistem imun spesifik meningkatkan
lungsi sistem imun nonspesifik.
b. R
espons imun non-spesifik terhadap mikroba memegang peranan penting dalam menentukan
respons imun spesifik yang akan berlangsung.
c. D
alam upaya melawan mikroba secara efektif, sistem imun mampu memberikan respons yang
spesialistik dan berbeda terhadap berbagai jenis mikroba. Karena berbagai mikroba berbeda
satu dengan lain dalam pola invasi dan kolonisasi dalam pejamu, maka eliminasinya
memerlukan sistem efektor yang berbeda-beda.
d. S
urvival dan patogenisitas mikroba sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba itu untuk
menghindar dari sistem imun pejamu.
e. K
erusakan jaringan dan penyakit sebagai konsekuensi infeksi pada umumnya disebabkan oleh
respons pejamu terhadap mikroba serta produknya dan bukan disebabkan oleh mikroba
bersangkutan.

1. M
ekanisme pertahanan pada permukaan tubuh
Lini pertama pertahanan tubuh terhadap mikroba diperankan oleh mekanisme barrier pada
permukaan tubuh, misalnya kulit dan permukaan epitel yang mempunyai akses dengan dunia luar.
Pada umumnya respons imun pada bagian tubuh ini merupakan mekanisme respons imun bawaan
atau non-spesifik. Respons non-spesifik alamiah selain mencakup barrier pada permukaan tubuh,
juga mencakup sekresi substansi-substansi tertentu, misalnya asam lemak yang diproduksi oleh
kulit yang biasanya toksik untuk sebagian besar mikroba, lisozim dulum saliva, air mata dan sekret
hidung, IgA, aktivitas fagosit dan komplemen serta aktivitas flora nomal yang merupakan sistem
pertahanan eksternal. Flora nomal daput memproduksi asam laktat dan protein antimikroba yang
disebut colinin. Mekanisme barrier dan sistem pertahanan tubuh ekstemal terbukti sangat efektif.
Kulit dan permukaan epitel atau mukosa merupakan sistem proteksi yang sangat potensial yang
menghambat masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh. Pada hakekatnya hanya sebagian
mikroorganisme patogen di sckitar kita mempunyai akses ke jaringan, kecuali bila terjadi gangguan
pada fungsi barrier. Di lain pihak beberapa jenis mikroorganisme patogen mengekspresikan atau
menghasilkan substansi tertentu pada permukaannya yang menyebabkan mikroorganisme itu dapat
melekat pada permukaan epitel atau mukosa kemudian merusaknya. Melekatnya mikroorganisme
pada epitel Sidak selalu diskuti oleh penetrasi, walaupun berbagai upaya dilakukan oleh
mikonganisme untuk melawan barrier tersebut, misalnya dengan mengeluarkan protease yang
merusak IgA dan lain-lain.

2. M
ekanisme pertahanan sistemik
Mekanisme pertahanan lini kedua diawali dengan pengenalan komponen- komponen umum
mikroorganisme oleh sistem imun secara sistemik. Seperti halnya respons imun terhadap antigen
secara umum, mekanisme pertahanan sistemik terhadap mikroorganisme secara garis besar juga
digolongkan dalam respons imun selular dan respons imun humoral. Respons mana yang lebih
berperan bergantung pada jenis mikroorganisme penyebab infeksi. Pada umumnya respons selular
berperan dalam pertahanan terhadap mikroorganisme intraselular, sedangkan respons imun humoral
lebih berperan pada infeksi dengan mikroorganisme ekstraselular khususnya infeksi dengan
mikroba piogenik Bila mikroorganisme dapat masuk ke dalam jaringan, ia pertama-tama akan
dilawan oleh komponen-komponen sistem imun bawaan atau non-spesifik yang didominasi oleh
aktivitas fagosit polimorfonuklear (PMN) dan sel-sel mononuklear (monosit-makrofag) Banyak
komponen mikroorganisme yang dapat dideteksi oleh fagosit tanpa pengenalan lebih dahulu melalui
Teseptor spesifik pada permukaan sel T maupun sel B. Jenis pengenalan ini merupakan mekanisme
bawaan dengan spektrum luas yang timbul sebelum aksivasi sel T pesifik dan terbentuknya antibodi
spesifik. Hal ini menghasilkan perlindungan terhadap infeksi yang dirangsang oleh komponen-
komponen umum mikroorganisme. Pengenalan antigen bakteri tanpa bergantung pada limfosit ini
mengakibatkan beberapa konsekuensi. Salah satu di antaranya adalah aktivasi komplemen melalui
jalur altenatif. Bakteri gram positif mengandung peptidoglycan dalam dinding selnya yang mampu
mengaktifkan jalur alternatif komplemen melalui pembentukan C3-convertase. Aktivasi
komplemen dapat menyebabkan kematian bakteri, khususnya bakteri yang mempunyai lapisan luar
lipid yang peka terhadap kompleks litik C5b-9. misalnya bakteri gram negatif. Aktivasi komplemen
ini juga menyebabkan penglepasan faktor khemotaktik C3a dan C5a. Hal ini menyebabkan
kontraksi otot polos dan degranulasi mastosit, penglepasan histamin dan leukotrien serta aktivasi
neutrofil dan peningkatan permeabilitas kapiler yang semuanya memudahkan pemusnahan bakteri
Konsekuensi yang lain adalah penglepasan sitokin oleh makrofag, khususnya TNF dan IL-1.
Penglepasan sitokin ini mengakibatkan aktivasi sistemik makrofag dan peningkatan adhesi sel-sel
itu pada endotel dan mempermudah migrasi fagosit ke tempat terjadinya infeksi. Penglepasan
sitokin IFN-y oleh sel NK, yang mampu mengaktivasi makrofag, juga merupakan salah satu
konsekuensi lain. Dengan cara di atas banyak mikroorganisme non-patogen maupun 1.5 yang
patogen yang umumnya ekstraselular dapat disingkirkan dari jaringan tanpa memerlukan reaksi
imun spesifik. Dari uraian di atas tampak bahwa PMN dan monosit/makrofag memegang peran
yang penting dalam reaksi pertahanan tubuh pada fase ini Sel makrofag disebut sebagai fagosit
profesional, yang mempunyai reseptor untuk fragmen Fe dan C3 pada membrannya. Reseptor-
reseptor ini memperlancar fagositosis mikroorganisme yang dilapisi oleh Ig atau C3. Jenis fagosit
lain yang termasuk fagosit profesional tetapi fakultatif adalah sel epitel, endotel fibroblast dan sel-
sel lain yang dapat membunuh mikroorganisme dalam kondisi tertentu, tanpa memerlukan bantuan
lg atau C3. Sekalipun sel-sel PMN merupakan efektor utama dalam melawan patogen, mikroba
intraseluler gkali tidak terjangkau oleh sel-sel efektor ini. Karena masa hidup PMN yang sangat
pendek (kurang dari 1 hari) dan mempunyai daya antimikroba yang sangat kuat, PMN merupakan
biotop yang kurang tepat untuk bakteri intraseluler. Sebaliknya, makrofag yang mempunyai masa
hidup yang panjang dalam keadaan istirahat dan hanya mempunyai daya antimikroba yang sedang.
maka makrofag merupakan biotop yang lebih cocok untuk bakteri intraseluler, dan mikroba dapat
hidup di dalamnya untuk waktu yang lama. Pembunuhan bakteri intraseluler yang efektif, seringkali
memerlukan terjadinya lisis sel terinfeksi. Lisis ini antara lain diperankan oleh sel NK dan sel T-
sitotoksik yang dapat menyebabkan lisis melalui beberapa cara.

Anda mungkin juga menyukai