Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN
Congestive Heart Failure (CHF) adalah sindrom klinis (sekumpulan Tanda
dan gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas)
yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. (Marulam, 2014)
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu keadaan dimana jantung
sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme tubuh,
gagalnya aktivitas jantung terhadap pemenuhan kebutuhan tubuh, fungsi pompa
jantung secara keseluruhan tidak berjalan normal. CHF merupakan kondisi yang
sangat berbahaya, meski demikian bukan berarti jantung tidak bisa bekerja sama
sekali, hanya saja jantung tidak berdetak sebagaimana mestinya. (Susanto, 2010)
Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung memompa
darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap
oksigen dan nutrien. Keith, Huon, John, Iain (2008)

B. ETIOLOGI
Penyebab CHF menurut Keith et all (2008) :
1. Hipertensi (10-15%)
2. Kardiomiopati (dilatasi,hipertrofik,restriktif)
3. Penyakit katup jantung
4. Kongenital (defek sputum atrium) (atrial septal defek/ASD), (ventrikel septal
defek/VSD)
5. Aritmia (persisten)
6. Alkohol
7. Obat-obatan
8. Kondisi curah jantung tinggi
9. Perikardium
10. Gagal jantung kanan
C. Macam-macam Gagal Jantung
1. Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala
atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau
tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi
sistolik atau disfungsi diastolik . Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan
berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang
seperti EKG, foto thoraks, biomarker dan ekokardiografi Doppler. Pasien segera
diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik.
2. Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan
jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Gagal jantung
kronis juga didefinisikan sebagai sindroma klinik yang komplek yang disertai
keluhan gagal jantung berupa sesak, fatique baik dalam keadaan istirahat maupun
beraktifitas.
D. Klasifikasi
Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), klasifikasi dari gagal
jantung kongestif yaitu sebagai berikut :
1. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi
belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda
dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal
jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit
jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada
jantungnya (cardiotoxins).
2. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya
kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari
gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien dengan
infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit valvular
asimptomatik.
3. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung
bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan.
Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan
aktivitas berat.
4. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan
ataupun intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan
istirahat, serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat

The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan gagal
jantung dalam empat kelas, meliputi :
1. Kelas I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak
menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
2. Kelas II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal
menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF).
3. Kelas III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu
menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).
4. Kelas IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik
apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat
(severe CHF).
Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA maupun NYHA
memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Klasifikasi menurut AHA berfokus
pada faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, sedangkan klasifikasi
menurut NYHA berfokus pada pembatasan aktivitas dan gejala yang ditimbulkan
yang pada akhirnya kedua macam klasifikasi ini menentukan seberapa berat gagal
jantung yang dialami oleh pasien.

E. PATAFISIOLOGI
Secara patofisiologi CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk
menyalurkan darah, termasuk oksigen yang sesuai dengan kebutuhan metabolisme
jaringan pada saat istirahat atau kerja ringan. Hal tersebut menyebabkan respon
sistemik khusus yang bersifat patologik (selain saraf, hormonal, ginjal dan lainnya)
serta adanya tanda dan gejala yang khas.
Congestive Heart Failure (CHF) terjadi karena interaksi kompleks antara
faktor-faktor yang memengaruhi kontraktilitas, after load, preload, atau fungsi
lusitropik (fungsi relaksasi) jantung, dan respons neurohormonal dan hemodinamik
yang diperlukan untuk menciptakan kompensasi sirkulasi. Meskipun konsekuensi
hemodinamik CHF berespons terhadap intervensi farmakologis standar, terdapat
interaksi neurohormonal kritis yang efek gabungannya memperberat dan
memperlama sindrom yang ada.
Sistem renin angiotensin aldosteron (RAA): Selain untuk meningkatkan
tahanan perifer dan volume darah sirkulasi, angiotensin dan aldosteron berimplikasi
pada perubahan struktural miokardium yang terlihat pada cedera iskemik dan
kardiomiopati hipertropik hipertensif.
Perubahan ini meliputi remodeling miokard dan kematian sarkomer,
kehilangan matriks kolagen normal, dan fibrosis interstisial. Terjadinya miosit dan
sarkomer yang tidak dapat mentransmisikan kekuatannya, dilatasi jantung, dan
pembentukan jaringan parut dengan kehilangan komplians miokard normal turut
memberikan gambaran hemodinamik dan simtomatik pada Congestive Heart Failure
(CHF).
Sistem saraf simpatis (SNS): Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan
peningkatan tahanan perifer dengan peningkatan kerja jantung, takikardia,
peningkatan konsumsi oksigen oleh miokardium, dan peningkatan risiko aritmia.
Katekolamin juga turut menyebabkan remodeling ventrikel melalui toksisitas
langsung terhadap miosit, induksi apoptosis miosit, dan peningkatan respons
autoimun.
a. Disfungsi ventrikel kiri sistolik
1. Penurunan curah jantung akibat penurunan kontraktilitas, peningkatan
afterload, atau peningkatan preload yang mengakibatkan penurunan fraksi
ejeksi dan peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV). Ini
meningkatkan tekanan akhir diastolik pada ventrikel kiri (I-VEDP) dan
menyebabkan kongesti vena pulmonal dan edema paru.
2. Penurunan kontraktilis (inotropi) terjadi akibat fungsi miokard yang tidak
adekuat atau tidak terkoordinasi sehingga ventrikel kiri tidak dapat
melakukan ejeksi lebih dari 60% dari volume akhir diastoliknya (LVEDV).
Ini menyebabkan peningkatan bertahap LVEDV dan kongestive vena
pulmonalis. Penyebab jantung iskemik, yang tidak hanya mengakibatkan
nekrosis jaringan miokard sesungguhnya, tetapi juga menyebabkan
remodeling ventrikel iskemik. Remodeling iskemik adalah sebuah proses
yang sebagian dimediasi oleh angiotensin II (ANG II) yang menyebabkan
jaringan parut dan disfungsi sarkomer di jantung sekitar daerah cedera
iskemik. Aritmia jantung dan kardiomiopati primer seperti yang disebabkan
oleh alkohol, infeksi, hemakromatosis, hipertiroidisme, toksisitas obat dan
amiloidosis juga menyebabkan penurunan kontraktilitas. Penurunan curah
jantung mengakibatkan kekurangan perfusi pada sirkulasi sistemik dan
aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA, menyebabkan peningkatan
tahanan perifer dan peningkatan afterload.
3. Peningkatan ofterload berarti terdapat peningkatan tahanan terhadap ejeksi
LV. Biasanya disebabkan oleh peningkatan tahanan vasikular perifer yang
umum terlihat pada hipertensi. Bisa juga diakibatkan oleh stenosis katup
aorta. Ventrikel kiri berespon terhadap peningkatan beban kerja ini dengan
hipertrofi miokard, suatu respon yang meningkatkan massa otot ventrikel kiri
tetapai pada saat yang sama meningkatkan kebutuhan perfusi koroner pada
ventrikel kiri. Suatu keadaan kelaparan energi tercipta sehingga berpadu
dengan ANG II dan respons neuroendokrin lain, menyebabkan peruubahan
buruk dalam miosit, seperti semakin sedikitnya mitokondria untuk produksi
energi, perubahan ekspresi gen dengan produksi protein kontraktil yang
abnormal (aktin, miosin, dan tropomiosim), fibrosis intestisial, dan penurunan
daya tahan hidup miosit. Dengan berjalannya waktu, kontraktilitas mmulai
menurun dengan penurunan curah jantung dan fraksi ejeksi peningkatan
LVEDV, dan kongesti paru.
4. Peningkatan preload berarti peningkatan LVEDV, yang dapat disebabkan
langsung oleh kelebihan volume intravaskular sama seperti yang terlihat pada
infus cairan intra vena atau gagal ginjal. Selain itu, penurunan fraksi ejeksi
yang disebabkan oleh perubahan kontraktilitas atau afterload menyebabkan
peningkatan LVEDV sehingga meningkatkan preload. Pada saat LVEDV
meningkat, ia akan meregangkan jantung, menjadikan sarkomer berada pada
posisi mekanis yang tidak menguntungkan sehingga terjadi penurunan
kontraktilitas. Penurunan kontraktilitas ini yang menyebabkan penurunan
fraksi ejeksi, menyebabkan peningkatan LVEDV yang lebih lanjut, sehingga
menciptakan lingkaran setan perburukan Congestive Heart Failure (CHF).
5. Pasien dapat memasuki lingkaran penurunan kontraktilitas, peningkatan
afterload, dan peningkatan preload akibat berbagai macam alasan dan
kemudian akhirnya mengalami semua keadaan hemodinamik dan neuro-
hormonal. CHF sebagai sebuah mekanisme yang menuju mekanisme lainnya.
b. Disfungsi ventrikel kiri diastolik
1. Penyebab dari 90% kasus
2. Didefinisikan sebagai kondisi dengan temuan klasik gagal kongestif dengan
fungsi diastolik abnormal tetapi fungsi sistolik normal; disfungsi diastolik
mumi akan dicirikan dengan tahanan terhadap pengisian ventrikel dengan
peningkatan LVEDP tanpa peningkatan LVEDV atau penurunan curah
jantung.
3. Tahanan terhadap pengisian ventrikel kiri terjadi akibat relaksasi abnormal
(lusitropik) ventrikel kiri dan dapat disebabkan oleh setiap kondisi yang
membuat kaku miokard ventrikel seperti penyakit jantung iskemik yang
menyebabkan jaringan parut, hipertensi yang mengakibatkan kardiomiopati
hipertrofi, kardiomiopati restriktif, penyakit katup atau penyakit perikardium.
4. Peningkatan denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi
berkurang dan memperberat gejala disfungsi diastolik. Oleh karena itu,
intoleransi terhadap olahraga sudah menjadi umum.
5. Karena penanganan biasanya memerlukan perubahan komplians miokard yang
sesungguhnya, efektivitas obat yang kini tersedia masih sangat terbatas.
Penatalaksanaan terkini paling berhasil dengan penyekat beta yang
meningkatkan fungsi lusitropik, menurunkan denyut jantung, dan mengatasi
gejala. Inhibitor ACE dapat membantu memperbaiki hipertrofi dan membantu
perubahan struktural di tingkat jaringan pada pasien dengan remodeling
iskemik atau hipertensi.
Sumber (Elizabeth, 2009).
Kontraktilitas Beban sistole Perload CHFkanan
meningkat meningkat
berkurang

Hambatanpengosonga
n ventrikel
F. Pathway ( sumber : Hardhi,2013)
Bebanjantung
Beban tekanan
Disfungsi miokardium berlebihan
meningkat

CHF Defisit pengetahuan


CHF kiri

Gagal pompa ventrikel kiri

Foward failure Backward failure

Cardiac output menurun


Renal LVED ( Left Ventrikular End Diastolic ) naik
flow
Suplai O2
Suplai darah Tekanan vena pulmonalis
Ke otak Glomerular
ke jaringan
filtration rate
Metabolisme Tekanan kapiler paru
Nutrisi anaerob Retensi Na+H2O
Oedema paru
Metabolisme Timbunan
sel asam laktat Cairan masuk dalam alveoli
Lemah
Fatique
Hambatan Ketidakefektifan Gangguan
Intoleransi aktifitas religiositas bersihan jalan pertukaran gas
napas
Gangguan perfusi jaringan
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Dapat terdengar bunyi jantung ketiga
2. Identifikasi radiologis adanya kongesti paru dan pembesaran ventrikel dapat
mengindikasikan Congestive Heart Failure (CHF).
3. Identifikasi pembesaran ventrikel dengan magnetic resonance imaging (MRI)
atau ultrasonografi dapat mengindikasikan adanya Congestive Heart Failure
(CHF).
4. Pengukuran tekanan diastolik akhir ventrikel dengan sebuah kateter yang
dimasukkan ke dalam arteri pulmonalis ( mencerminkan tekanan ventrikel kiri )
atau ke dalam vena kava ( mencerminkan tekanan ventrikel kanan ) dapat
mendiagnosis Congestive Heart Failure (CHF). Tekanan ventrikel kiri biasanya
mencerminkan volume ventrikel kiri.
5. Elektrokardiografi dapat memperlihatkan dilatasi abnormal ruang jantung dan
kelainan kontraktilitas.
6. Pengukuran BNP (Brain Natriuretic Peptide ) serum ( dan sedikit meluas ANP )
memberikan informasi keparahan dan perkembangan penyakit. Kadar normal
bervariasi sesuai usia ( nilai dasar meningkat sesuai usia ) dan jenis kelamin
( meningkat pada wanita dari pada pria), sehingga usia dan jenis kelamin harus
dipertimbangkan saat mengevaluasi hasil pengukuran.
Sumber : ( Elizabeth, 2009 )

H. Penatalaksanaan
1. Penggunaan penyekat beta dan penghambat enzim pengubah angiotensin
(inhibitor ACE) sebagai terapi yang paling efektif untuk CHF kecuali ada
kontraindikasi khusus. Inhibitor ACE menurunkan afterload dan volume plasma.
Penyekat reseptor angiotensin dapat digunakan sebgai inhibitor ACE
2. Diberikan diuretik untuk menurunkan volume plasma sehingga aliran balik vena
dan peregangan serabut otot jantung berkurang.
3. Terapi oksigen mungkin digunakan untuk mengurangi kebutuhan jantung.
4. Nitrat mungkin diberikan untuk mengurangi after load dan preload.
5. Uji coba nitric oxide boosting drug (BiDil) .
6. Penyekat aldosteron ( epleronon ) telah terbukti mengobati gagal jantung
kongestif setelah serangan jantung.
7. Digoksin (digitalis) mungkin diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas.
Digoksin bekerja secara langsung pada serabut otot jantung untuk meningkatkan
kekuatan setiap kontraksi tanpa bergantung panjang serabut otot. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan curah jantung sehingga volume dan peregangan ruang
ventrikel berkurang. Saat ini digitalis lebih jarang digunakan untuk mengatasi
CHF dibandingkan masa sebelumnya.
Sumber : ( Elizabeth, 2009 )
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon pasien terhadap
masalah kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Diagnosa berdasarkan SDKI adalah
:
1. Gangguan Pertukaran Gas (D.0003)
Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan peruahan alveolus kapiler ditandai dengan
Dipsnea, PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardi, pH arteri
meningkat/menurun, bunyi napas tambahan, pusing, penglihatan kabur, sianosis, diaforesis,
gelisah, napas cuping hidung, pola napas abnormal, warna kulit abnormal, kesadaran
menurun.
2. Pola napas tidak efektif (D.0005)
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas ditandai dengan
dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola napas
abnormal, ortopnea, pernapasan pursed-lip, pernapasan cuping hidung, diameter thorax
anterior posterior meningkat, ventilasi semenit menurun, kapasitas vital menurun, tekanan
ekspirasi menurun, tekanan inspirasi menurun, ekskursi dada berubah.
3. Penurunan curah jantung (D.0008)
Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan Preload, perubahan afterload atau
perubahan kontraktilitas ditandai dengan perubahan preload (lelah, edema, distensi vena
jugularis, CVP meningkat/menurun, hepatomegali). Perubahan afterload (dispnea, tekanan
darah meningkat atau menurun, nadi perifer teraba lemah, CRT >3 detik, oliguria, warna
kulit pucat atau sianosis), perubahan kontraktilitas (PND, ortopnea, batuk, terdengar suara
jantung S3 atau S4, EF menurun)
4. Nyeri akut (D.0007)
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (mis, inflamasi, iskemia,
neoplasma) ditandai dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif, gelisah,
frekuensi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat, pola nafas berubah, nafsu makan
berubah, proses berpikir terganggu, menarik diri, berpokus pada diri sendiri, diaforesis.
5. Hipervolemia (D.0022)
Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi ditandai dengan ortopnea,
dipsnea, PND, edema anasarka dan edema perifer, berat badan meningkat dalam waktu
singkat, jugularis venous pressure meningkat, refleks hepatojugularis positif, distensi vena
jugularis, terdengar suara napas tambahan, hepatomegali, kadar HB/Ht turun, oliguria,
intake lebih banyak dari output, kongesti paru.
6. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009)
Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunn aliran arteri dan/atau vena
ditandai dengan pengisian kapiler > 3 detik, nadi perifer menurun atau tidak teraba, akral
teraba dingin, warna kulit pucat, turgor kulit menurun, parastesia, nyeri ektermitas, edema,
penyembuhan luka lambat, indeks ankle brachial <0,90, bruit femoral.
7. Intoleransi Aktivitas (D.0056)
Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan ditandai dengan mengeluh lelah,
frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat, dipsnea saat/setelah aktivitas,
merasa tidak nyaman setelah beraktivitas, merasa lelah, tekanan darah berubah >20% dari
kondisi istirahat , gambaran EKG menunjukan aritmia saat/setelah aktivitas, gambaran EKG
menunjukan iskemia, sianosis.
8. Ansietas (D.0080)
Ansietas dibuktikan dengan kurang terpapar informasi, Merasa bingung, merasa khawatir
dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, sulit berkonsentrasi, Tampak gelisah, tampak
tegang, sulit tidur, Mengeluh pusing, anorexia, palpitasi, merasa tidak berdaya, Frekuensi
napas dan nadi meningkat, tekanan darah meningkat, diaforesis, tremor, muka tampak pucat,
suara bergetar, kontak mata buruk, sering berkemih, berorientasi pada masa lalu.
9. Defisit nutrisi (D.0019)
Defisit Nutrisi dibuktikan ketidakmampuan mencerna makanan, faktor psikologis (mis:
stress, keengganan untuk makan), Berat badan menurun minimal 10 % dibawah rentang
ideal, Cepat kenyang setelah makan, kram/nyeri abdomen, nafsu makan menurun, Bising
usus hiperaktif, otot pengunyah lemah, otot menelan lemah, membran mukosa pucat,
sariawan, serum albumin turun, rambut rontok berlebihan, diare
10. Resiko Gangguan integritas kulit (D.0139)
Resiko gangguan integritas kulit ditandai dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit,
nyeri, perdarahan, kemerahan, hematoma.
Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala bentuk treatment yang dikerjakan oleh perawat
berdasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai tujuan luaran yang
diharapkan (TIm Pokja SIKI DPP PPNI, 2018) diagnosa berdasarkan SIKI :

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi (SIKI)


(SDKI) hasil (SLKI)
1 Kategori : Fisiologis Luaran Utama : Intervensi Utama :
Pertukran Gas pemantauan Respirasi
Subkategori : Respirasi
(L.01003) (I.01014) :
Gangguan pertukaran gas
Setelah dilakukan Tindakan :
(D.0003) berhubungan
tindakan keperawatan
dengan perubahan membran  Monitor frekuensi,
selama 1x7 jam
alveolus-kapiler ditandai irama, kedalaman
diharapkan pertukaran
dengan Dipsnea, PCO2 dan upaya napas.
gas meningkat, dengan
meningkat/menurun, PO2
kriteria hasil :  Monitor pola napas
menurun, takikardi, pH arteri
meningkat/menurun, bunyi 1. Tingkat kesadaran  Auskultasi bunyi
napas tambahan, pusing, meningkat napas
penglihatan kabur, sianosis,
2. Dipsnea menurun  Monitor saturasi
diaforesis, gelisah, napas
oksigen
cuping hidung, pola napas 3. Bunyi napas
abnormal, warna kulit tambahan menurun  Monitor nilai AGD
abnormal, kesadaran
4. Pusing menurun  Monitor hasil x-ray
menurun.
thoraxs
5. Penglihatan kabur
menurun Terapeutik :
6. Diaforesis menurun  Atur interval
pemantauan
7. Gelisah menurun
respirasi sesuai
8. Napas cuping hidung kondisi pasien
menurun
 Dokumentasikan
9. PCO2 membaik hasil pemantauan
10. PO2 membaik Edukasi :
11. PH arteri membaik  Jelaskan tujuan
dan prosedur
12. Sianosis membaik
pemantauan
13. Pola napas
 Informasikan hasil
membaik
pemantauan jika
14. Warna kulit perlu
membaik
2 Kategori : Fisiologis Luaran Utama : pola Intervensi utama :
Napas (L.01004) manajemen jalan napas
Subkategori : Respirasi
( I.01011)
Setelah dilakukan
Pola napas tidak efektif
tindakan keperawatan Observasi :
(D.0005) berhubungan
selama 1x7 jam
dengan hambatan upaya  Monitor pola napas
diharapkan pola napas
napas ditandai dengan
dispnea, penggunaan otot membaik dengan  Monitor bunyi
bantu pernapasan, fase kriteria hasil: napas tambahan
ekspirasi memanjang, pola
1. ventilasi semenit Terapeutik :
napas abnormal, ortopnea,
meningkat
pernapasan pursed-lip,  Pertahankan
pernapasan cuping hidung, 2. Kapasitas vital kepatenan jalan
diameter thorax anterior meningkat nafas dengan head
posterior meningkat, titt dan chin lift
3. Diameter thorax
ventilasi semenit menurun,
anterior posterior  Posisikan semi
kapasitas vital menurun,
menurun fowler atau fowler
tekanan ekspirasi menurun,
tekanan inspirasi menurun, 4. Tekanan ekspirasi  Berikan oksigen
ekskursi dada berubah. meningkat bila perlu
5. Tekanan respirasi Kolaborasi :
meningkat
 Kolaborasi
6. Dipsnea menurun pemberian
bronkodilator
7. Penggunaan otot
bantu napas
menurun
8. Pernapasan pursed
lif menurun
9. Pernapasan cuping
hidung menurun
10. Frekuensi napas
membaik
11. Kedalaman napas
membaik
12. Ekskursi dada
membaik
3 Kategori : Fisiologis Luaran utama : curah Intervensi Utama :
jantung (L.02008) perawatan jantung
Subkategori : Sirkulasi
(I.02075)
Setelah dilakukan
Penurunan Curah Jantung
tindakan keperawatan Observasi :
(D.0008)
selama 1x7 jam
 Identifikasi tanda
Penurunan curah jantung diharapkan curah
gejala primer
berhubungan dengan jantung meningkat
penurunan curah
perubahan Preload, dengan kriteria hasil :
jantung
perubahan afterload atau
1. Tekanan darah
perubahan kontraktilitas  Identifikasi
ditandai dengan perubahan membaik tanda/gejala
preload (lelah, edema, sekunder
2. CRT membaik
distensi vena jugularis, CVP penurunan curah
meningkat/menurun, 3. Dipsnea menurun jantung
hepatomegali). Perubahan
4. Sianosis menurun  Monitor tekanan
afterload (dispnea, tekanan
darah
darah meningkat atau 5. Edema menurun
menurun, nadi perifer teraba  Monitor intake dan
lemah, CRT >3 detik, output cairan
oliguria, warna kulit pucat
 Monitor saturasi
atau sianosis), perubahan
oksigen
kontraktilitas (PND,
ortopnea, batuk, terdengar  Monitor keluhan
suara jantung S3 atau S4, EF nyeri dada
menurun)
 Monitor EKG 12
sadapan
 Monitor aritmia
 Monitor nilai
labolatorium
jantung
 Periksa tekanan
darah dan
frekuensi nadi
sebelum dan
sesudah aktivitas
 Periksa tekanan
darah dan
frekuensi nadi
sebelum pemberian
obat (misalnya
beta blocker, ACE,
inhibitor, calclum
chanel bloker,
digoskin).
Terapeutik :
 Posisi pasien semi
fowler atau fowler
dengan kaki
kebawah atau
posisi nyaman
 Berikan diet
jantung yang
sesuai
 Berikan oksigen
untuk
mempertahankan
saturasi oksigen
>94%
Edukasi :
 Anjurkan
beraktivitas fisik
sesuai toleransi
 Anjurkan
beraktifitas fisik
sesuai toleransi
 Anjurkan pasien
dan keluarga
mengukur intake
dan output cairan
harian
Kolaborasi :
 Kolaborasi
pemberian
antiaritmia kika
perlu
 Rujuk ke program
rehabilitasi
jantung.

Anda mungkin juga menyukai