Anda di halaman 1dari 6

Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60

https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut


pada Anak Autisme

Ervon Veriza1*, Hendry Boy1

¹Prodi DIV Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes RI Jambi, Indonesia


*Corresponding Author: ervonveriza@gmail.com

Abstrak

Salah satu anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak autis, merupakan salah satu sumber daya bangsa Indonesia
yang kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan, tidak hanya sebagai obyek pembangunan tetapi juga sebagai
subyek pembangunan. Anak berkebutuhan khusus memerlukan pelayanan yang bersifat khusus, seperti pelayanan
medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan
ketergantungan akibat kelainan yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mendalam tentang perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut di Sekolah Khusus Harapan Mulia Jambi Selatan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif menggunakan
indepth interview dengan triangulasi sumber yaitu orang tua/pengasuh, guru-guru dan psikolog yang membina di SLB
Harapan Mulia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada
anak autis tergantung pada ibu atau pengasuhnya. Berdasarkan faktor pendukung dalam perilaku pemeliharaan
kesehatan gigi yaitu ketersediaan sarana pelayanan kesehatan gigi dan mulut masih kurang. Sebagian besar informan
mencari pelayanan kesehatan gigi/dokter gigi yang sudah dikenal atau dipercaya, tidak ramai, tidak terlalu lama
antri/menunggu. Faktor pendorong/penguat perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada anak autis di
rumah adalah ibunya atau pengasuhnya, sedangkan di sekolah adalah guru pendampingnya.
Kata Kunci: Autisme, Kesehatan gigi dan mulut, Perilaku pemeliharaan

Abstract

Children with special needs is one of Indonesia's human resources whose quality must be improved in order to play a
role, not only as the object of development but also as the subject of development. Children with special needs need to
be identified and identified from the group of children in general, because they require special services, such as medical
services, special education and specific exercises aimed at reducing the limitations and dependence of the disorder
suffered, and foster self-reliance in the community. The purpose of this study was to obtain in-depth information about
dental and oral health care behavior in children with autism in Harapan Mulia Special School in South Jambi.
Qualitative research method using indepth interview with triangulation of source that is parent or caregiver, teachers
and psychologist who build in SLB Harapan Mulia. The results show that the behavior of maintaining good oral hygiene
in children with autism depending on the mother or caregiver. Supporting factors include the availability of dental and
oral health facilities are still lacking, most of the informants looking for dental services or dentists who are known or
trusted, not crowded so that children can also be comfortable and children not too long waiting. Reinforcing factor the
behavior of maintaining good oral hygiene in children with autism at home is his mother or caregiver, while in school is
a teacher companion.
Keywords: Autism, Health behaviour , Maintenance of oral and dental health.

55
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Pendahuluan anak normal. Anak berkebutuhan khusus tidak bisa


Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, menjalankan aktifitas kehidupan sehari-hari secara
2013) menyebutkan bahwa angka permasalahan normal sehingga perlu bantuan orang lain
gigi dan mulut di Indonesia mencapai 25,9 % atau disekitarnya. Hal ini sejalan dengan hasil
mengalami peningkatan 2,5 % dari Riskedas tahun penelitian Putri (2014), yang menyatakan bahwa
2007. Hal ini disebabkan banyak faktor tingkat kebersihan gigi dan mulut pada siswa-siswi
diantaranya adalah perilaku pemeliharaan SLB-A bertambah baik sesudah mendapat
kesehatan gigi dan mulut yang masih belum bimbingan penyikatan gigi disertai pembimbingan
konsisten/menetap sebagai perilaku yang langgeng. secara lisan pada setiap kunjungan pendidikan.
Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut Menurut penelitian Indahwati, Vivie dkk, anak
diperlukan oleh semua elemen masyarakat, mulai berkebutuhan khusus merupakan anak yang
dari anak-anak sampai lansia, baik manusia dalam memiliki keterbatasan mental, fisik dan emosi
kondisi normal maupun yang berkebutuhan yang berbeda dengan anak normal, sehingga
khusus. Menurut WHO jumlah anak berkebutuhan mereka memerlukan bantuan dalam menjaga
khusus di Indonesia sekitar 7-10 % dari total kebersihan gigi dan mulutnya (Vivie, 2015).
jumlah anak. Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ) Menurut teori Lawrence Green, kesehatan
yaitu anak dengan keterbatasan fisik dan mental individu / masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor
yang memiliki keterbatasan kondisi fisik pokok yaitu faktor perilaku dan faktor diluar
perkembangan, tingkah laku atau emosi. perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan
Masalah sosial pada anak berkebutuhan oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi, faktor
khusus mempengaruhi kebutuhan pendidikan anak- pendukung dan faktor pendorong. Faktor
anak tersebut diantaranya adalah ABK memiliki pendukung bagi anak berkebutuhan khusus
pengetahuan yang masih kurang khususnya diantaranya yaitu penyediaan pelayanan kesehatan.
pengetahuan di bidang kesehatan gigi dan mulut. Ketersediaan pelayanan kesehatan bagi anak
Pengetahuan tentang cara memelihara kesehatan berkebutuhan khusus harus sesuai dengan
gigi yang rendah mendukung tingginya angka peraturan Kemenkes 2010 yang menyebutkan
karies pada anak berkebutuhan khusus. Hal ini bahwa pelayanan kesehatan bagi seluruh
berarti bahwa anak-anak berkebutuhan khusus masyarakat tanpa diskriminasi (non-diskriminasi),
memerlukan jenis pelayanan kesehatan lebih dari begitu pula dengan faktor pendorong pelayanan
yang dibutuhkan oleh anak normal secara umum. kesehatan seperti petugas kesehatan, orang tua,
(Tugalow dkk, 2015). Terkait dengan guru atau pengasuhnya juga memegang peran
permasalahan gigi dan mulut pada anak penting bagi perubahan perilaku bagi anak-anak
berkebutuhan khusus, Tugalow dkk, (2015) juga berkebutuhan khusus.
menyatakan bahwa status karies gigi pada anak Sekolah Khusus Harapan Mulia adalah
berkebutuhan khusus di SLB YPAC Manado sekolah swasta yang mendidik anak-anak
dengan Indeks DMF-T sebesar 4,4 termasuk berkebutuhan khusus terutama anak autisme. Pada
kategori sedang. Kesehatan gigi dan mulut pada sekolah ini terdapat psikologi klinik khusus yang
anak berkebutuhan khusus lebih rendah ikut membantu mendidik perkembangan anak-anak
dibandingkan dengan anak normal, hal tersebut di sekolah tersebut. Sekolah tersebut memiliki
dikarenakan kesulitan yang dialami oleh anak siswa sebanyak 130 orang. Pada survei awal
berkebutuhan khusus yaitu rendahnya kemampuan pemeriksaan gigi pada anak autisme di Sekolah
motorik serta kognitifnya (Supriyani, Ririn; Khusus Harapan Mulia, dari 5 anak yang diperiksa
Anggraini, 2014). ditemukan 3 orang anak mengalami karies, yang
Dalam jurnal” Tooth brushing intervention kemungkinan disebabkan karena pemeliharaan
Programe Among Children with mental kesehatan gigi dan mulut yang masih kurang.
Handicap” cit Tugalow,2015 menyebutkan bahwa Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kebersihan gigi dan mulut serta penyakit secara mendalam faktor pendukung (ketersediaan
periodontal merupakan masalah terbesar yang sumber daya kesehatan) dan faktor pendorong
dialami penyandang cacat. Anak berkebutuhan (sikap dan perilaku orang tua/pendamping) dalam
khusus memiliki tingkat kesehatan dan kebersihan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada anak
mulut yang lebih rendah jika dibandingkan dengan autis di Sekolah Khusus Harapan Mulia.

56
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Metode Penelitian “Dulu pernah umur 7 tahun pada saat gigi


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif depannya berlubang dibawa ke puskesmas,
dengan wawancara mendalam pada orang tua pada saat dibawa ke puskesmas untuk
murid, guru-guru, kepala sekolah dan pemilik membersihkan giginya yang berlubang tetapi
Yayasan. Triangulasi sumber pada penelitian ini ditolak orang puskesmas karena anaknya
dilakukan kepada informan yaitu orang tua anak berkebutuhan khusus”
berkebutuhan khusus dan pengasuhnya, sedangkan
informan kunci adalah guru, dan psikolog yang Hasil wawancara mendalam tentang apakah
membina ABK di SLB Harapan Mulia. Informan jauh tempat pelayanan kesehatan/ dokter gigi dari
yang bersedia diwawancarai sebanyak 14 orang ibu tempat tinggal ? sebagian besar anak autis dibawa
yang mempunyai anak autis. Wawancara dilakukan ke pelayanan kesehatan/dokter gigi yang sudah
oleh 2 orang peneliti dan dibantu dengan pembantu kenal dengan keluarga walaupun jauh. Hal ini
lapangan untuk mencatat dan merekam hasil dapat dilihat dari hasil cuplikan wawancara
wawancara. Informan kunci diwawancarai setelah mendalam pada beberapa ibu anak autis sebagai
peneliti selesai mewawancarai semua informan. berikut:

Hasil dan Pembahasan “agak jauh dari tempat tinggal, karena


pelayanan kesehatan yang dikunjungi
Faktor pemungkin/pendukung (enabling factor) memang udah biasa karena percaya”
Enabling factor yaitu tersedianya pelayanan
kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Faktor pemungkin mencakup berbagai
Pada hasil wawancara mendalam untuk keterampilan dan sumber daya yang perlu untuk
mengetahui dimana anak autis memeriksakan melakukan perilaku kesehatan. Sumber daya
giginya atau berobat jika sakit gigi menunjukkan meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, dan
bahwa hampir semua anak autis jarang melakukan keterjangkauan/kemudahan memperoleh sumber
pemeriksaan gigi ke pelayanan kesehatan atau daya/sarana tersebut seperti biaya, jarak,
dokter gigi karena sebagian besar anak tidak ada ketersediaan transportasi, jam buka dan
keluhan tentang kesehatan gigi dan mulut. Jika ada keterampilan petugas kesehatan. Dari hasil
keluhan, ibu biasanya pergi ke dokter gigi yang wawancara dengan informan hampir semua anak
tidak ramai karena takut anaknya lama menunggu autis jarang melakukan pemeriksaan gigi ke
dan mengganggu pasien lainnya. Hal ini dapat pelayanan kesehatan atau dokter gigi karena
dilihat dari cuplikan hasil wawancara mendalam sebagian besar anak tidak ada keluhan tentang
dengan ibu dari anak autis : kesehatan gigi dan mulut, jika ada keluhan ibu
biasanya pergi ke dokter gigi yang tidak ramai
“Pergi ke dokter gigi yang tidak ramai karena takut anaknya lama menunggu dan
pasiennya supaya anak tidak lama menunggu mengganggu pasien lainnya. Beberapa informan
antri dan anak tidak mengganggu pasien lain” mengatakan anaknya agak sulit untuk
dipegang/diperiksa oleh orang lain apalagi anak
Hasil wawancara mendalam tentang apakah belum mengenalnya, maka anak tidak mau
mudah mendapatkan pelayanan kesehatan gigi dan dilakukan pemeriksaan, biasanya anak autis harus
mulut atau dokter gigi yang mau merawat anak didampingi oleh ibunya atau orang terdekatnya
autis? Sebagian besar orang tua tidak seperti guru atau terapisnya. Hal ini sesuai dengan
memberitahukan ke dokter giginya bahwa anaknya hasil penelitian Sengkey, dkk (2015) Anak –anak
autis karena malu, ada seorang ibu yang autis biasanya kurang merasakan kontak sosial dan
mengatakan kepada petugas kesehatan bahwa mereka cenderung menyendiri dan menghindari
anaknya autis, lalu tidak menerima anaknya untuk kontak dengan orang lain (Sengkey, dkk, 2015).
berobat di pelayanan kesehatan lagi karena anak Fasilitas pelayanan kesehatan gigi bagi anak
ketakutan ketika duduk di kursi gigi dengan lampu autis belum tersedia dengan kemudahan
dan suara mesin giginya membuat anak berteriak- memperolehnya dan keterampilan petugas
teriak. seperti terlihat dalam cuplikan sebagai kesehatan gigi dalam memberikan pelayanan
berikut : kesehatan gigi dan mulut pada anak berkebutuhan
khusus. Salah seorang informan mengatakan

57
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

bahwa anaknya yang autis pernah berobat ke dulu disikat” (103)


puskesmas lalu disaat anak duduk di kursi gigi dan “ bisa melakukan sikat gigi sendiri tetapi
mesin dihidupkan anaknya berteriak ketakutan lalu harus dibimbing karena berkumur belum bisa
petugas kesehatan tidak mampu menanganinya dan (sikat gigi belum sempurna) ibu yang selalu
menolak untuk dilakukan perawatan. Hal ini sama membantu membersihkan gigi anaknya” (104)
dengan yang diteliti Megawati (2013) kesulitan
yang dialami para tenaga kesehatan gigi pada saat Sebagian besar anak autis mau diperiksa
menangani anak berkebutuhan khusus, kendala giginya bila didampingi oleh orang terdekatnya
yang dihadapi di ruang praktek, karena pada seperti ibunya, suster atau guru pendampingnya di
umumnya penyandang autis sulit beradaptasi pada Sekolah Harapan Mulia. Hal ini terlihat pada
lingkungan baru. Klinik perawatan gigi dianggap cuplikan hasil wawancara mendalam pada ibu anak
sebagai tempat baru sehingga mereka sulit autis sebagai berikut:
beradaptasi, sehingga menyebabkan mereka
ketakutan atau menunjukkan reaksi lainnya saat “ anak kalau mau diperiksa dokter gigi harus
berada di ruang perawatan gigi. Oleh karena itu membawa guru pendampingnya, namanya bu
menurut Megawati (2013) anak autis Intan karena michael lebih mendengarkan
membutuhkan penanganan komprehensif yang gurunya” (101)
melibatkan berbagai ahli di sejumlah bidang yaitu “ anak mau diperiksa kalau pergi bersama ibu
pakar kedokteran, pakar kedokteran gigi, psikolog dan bapaknya, anak mau diperiksa bila tidak
serta pendidik. Teknik perawatan pada anak autis dipaksa” (104)
adalah TSD (Tell-Show-Do) yaitu dengan “ bersama ibu karena anak lebih dekat dengan
kunjungan yang berulang dan pengenalan terhadap ibu, anak mau dilakukan pemeriksaan gigi bila
peralatan kedokteran gigi, dapat membuat anak disuruh dan ditemani dengan ibunya” (106)
familiar terhadap lingkungan ruang praktik, hindari
tindakan yang dapat menimbulkan rasa sakit pada Faktor penguat adalah faktor yang
penderita, menghindari suara bor atau handpiece menentukan apakah tindakan kesehatan gigi anak
karena anak autis sensitivitas tinggi terhadap suara, autis memperoleh dukungan atau tidak. Sumber
cahaya, bau dan warna menghendaki perhatian penguat pada anak autis adalah orang tua terutama
yang khusus untuk mengurangi ataupun ibu/pengasuhnya, guru dan psikolog nya. Hampir
menghindarkan stimulasi sensoris. semua informan mengatakan bahwa anaknya
belum sempurna dalam menjaga kebersihan gigi
Faktor pendorong/penguat (reinforcing factor) dan mulutnya, harus selalu di dampingi oleh ibu
Faktor penguat adalah faktor yang atau pengasuhnya dalam membersihkan giginya
menentukan apakah tindakan kesehatan setiap hari. Menurut Anisyah, Ika (2014) peranan
memperoleh dukungan atau tidak. Sebagian besar orang tua sangat penting baik di rumah maupun di
informan yang diwawancarai mengatakan rumah sakit, ketika perawatan gigi di rumah, orang
kebersihan gigi dan mulut anak dijaga oleh tua bisa mengajarkan anak dengan memberikan
ibu/pengasuhnya yaitu menyuruh dan contoh di depan cermin yang besar agar anak bisa
mengingatkan untuk menyikat gigi setiap hari. Hal langsung melihat dengan jelas apa yang dilakukan
ini dapat dilihat dari beberapa cuplikan hasil orang tuanya, setelah itu bimbinglah anak
wawancara dengan ibu anak autis sebagai berikut: melakukan apa yang dilakukan orang tuanya mulai
dari memegang sikat gigi, menggunakan pasta gigi
“ anak sudah bisa menyikat gigi sendiri sejak dan gerakan menyikat giginya.oleh karena itu
masuk sekolah harapan mulia, tetapi Suster sikap dan praktik orang tua terutama ibu sangatlah
Dewi selalu membantu membersihkan gigi berperan dalam mempengaruhi status kesehatan
agar bersih karena michael menyikat gigi gigi anak-anak mereka (Green, terjemah Mamdy,
hanya yang mau dia sikat saja”(102) dkk, 2007).
“ anak menyikat gigi sendiri tetapi disikat Penguatan lain dalam meningkatkan perilaku,
ulang dengan ibu karena kurang bersih” seperti dalam buku Kent and Blinkhorn (2005)
“ bisa menyikat gigi sendiri, tetapi caranya penguatan (reinforcement) diberikan kepada anak
asal-asalan maka ibu menyikat ulang gigi yang menurut dan dapat bekerjasama dalam
anak dan sesuai keinginan anak mana yang perawatan gigi seperti memberi pujian atau hadiah

58
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

kecil berupa gambar tempel atau makanan yang sehari pagi, siang dan sore. Pantangannya
disukainya. Hal ini sejalan dengan apa yang yaitu susu, keju, gandum, jagung, kalau salah
dikatakan informan kunci (psikolog) bahwa untuk makan anak akan langsung terjadi perubahan
kepatuhan anak autis caranya dengan pemberian jadi eror, marah-marah, ketawa-ketawa
reward setiap yang dilakukan anak sesuai dengan sendiri, hentak-hentak kaki” (103)
perintah, rewardnya pada anak-anak dengan
makanan kalau sudah besar bisa dengan pujian. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan
Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan oleh informan kunci yaitu gurunya, kepala
mulut pada anak berkebutuhan khusus sekolahnya dan psikolog. Terlihat dari hasil
(autisme) cuplikan wawancara sebagai berikut:
Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut adalah tindakan untuk memelihara kesehatan “ Disekolah anak-anak autis yang baru masuk
gigi dan mulut yaitu berapa kali menyikat gigi maka dibantu dalam menyikat giginya tetapi
sehari, kapan waktunya, dan mengkonsumsi setelah beberapa bulan anak akan mandiri,
makanan yang dapat menyehatkan gigi dan mulut, maka anak menyikat gigi sendiri tetapi tetap
mengurangi makanan yang merusak gigi. Dari harus diingatkan, pada anak autis teratur
hasil wawancara mendalam sebagian besar anak kegiatannya karena sudah rutinitas dan anak
menyikat gigi setiap hari ada yang 2 kali sehari, autis sangat konsisten dan terkonsep kepatuhan
ada yang 3 kali sehari dan ada juga yang hanya 1 anak autis memiliki pantangan dalam makanan
kali sehari, dengan waktu yang bervariasi terlihat yang dikonsumsi” (guru neni)
dari hasil cuplikan wawancara sebagai berikut: “ Metode terapi anak autis menggunakan
metode ABA yaitu applied behavior analyze
“ menyikat gigi 3 x sehari, pagi waktu mandi, yaitu bagaimana meminimalkan perilaku
siang setelah makan disekolah dna malam negatif dan memaksimalkan perilaku positif
sebelum tidur” (101) dengan metode reward dan efek jera sehingga
“ menyikat gigi 3 x sehari yaitu pagi setelah anak menjadi patuh untuk kemudian baru bisa
bangun tidur, pagi setelah sarapan dan malam memasukkan program apa pada anak. Anak
sebelum tidur” (103) autis pantangannya yaitu diet CF (Casein
“ 1 x sehari pagi saja karena jam tidur anak Free), GF (Glutein Free) SF (Sugar Free) dan
terlalu sore bangunnya, dan waktu mandi elektronik” (kepala sekolah)
terburu-buru jadi menyikat gigi kadang tidak “ Menggunakan metode behavior dari Lovaz
terlaksana” (104) yaitu ABA (applied behavior analyze) yaitu
membantu anak lebih rileks, lebih fokus dan
Untuk konsumsi makanan yang menyehatkan lebih baik kontak matanya.” (psikolog)
dan merusak gigi, hampir semua informan
mengatakan anak mereka diet, yaitu tidak boleh Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
makan yang manis-manis, susu,gandum dan mulut adalah tindakan untuk memelihara kesehatan
penyedap rasa. Sedangkan anak-anak setiap hari gigi dan mulut yaitu berapa kali menyikat gigi
diberi buah-buahan yang dianjurkan agar terapinya sehari, kapan waktunya, dan mengkonsumsi
berjalan dengan baik. Hal ini bisa terlihat dari hasil makanan yang dapat menyehatkan gigi dan mulut,
cuplikan wawancara mendalam sebagai berikut: mengurangi makanan yang merusak gigi, serta
pemeriksaan gigi rutin. Dari hasil wawancara pada
“ anak diet makanan yang dilarang untuk informan sebagian besar anak autis menyikat gigi
mereka seperti makanan yang manis-manis, frekuensinya sudah tepat yaitu minimal 2 kali
chiki atau yang ada penyedap ras, jadi sehari tetapi ada yang lebih, hanya saja waktunya
makanan dibuat sendiri di rumah, dan makan menyikat gigi masih banyak yang kurang tepat
buah-buahan setiap hari” (101) yaitu pada saat mandi pagi dan mandi sore. Hal
“ Makanan dimasak sendiri, makan 4 x sehari, tersebut dalam analisis tingkah laku bahwa
makanan manis adalah pantangan anak, anak menyikat gigi sering dikaitkan dengan mandi,
makan buah rutin tiap hari seperti semangka, bahwa setiap orang mandi pasti akan menyikat
pir, melon, buah naga dan lain lain” (102) gigi. Pemacu tingkah laku tergantung pada dampak
“ Makanan dibuat sendiri oleh ibu, makan 3 x dari tingkah laku tersebut, contohnya bila

59
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

seseorang melakukan suatu tindakan dan Daftar Pustaka


pengaruhnya dirasakan menguntungkan orang
tersebut pasti akan mengulangi tindakan tersebut. Anisyah, I. (2014). Perawatan gigi anak” Spesial”
(Kent and Blinkhorn, 2005) Media clipping.
Pada konsumsi makanan yang menyehatkan Green, L et. al (2007)” Perencanaan pendidikan
gigi dan mengurangi makanan yang merusak gigi kesehatan sebuah pendekatan diagnostik”
dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa diterjemahkan oleh Mamdy, Zulazmy ; Tafal,
semua informan mengatakan anaknya selalu Zarfiel ; Kresno, Sudarti. Departemen
makan buah-buahan yang dianjurkan dokter atau Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jakarta.
terapisnya, sedangkan makanan yang merusak gigi Putri, M. H. (2014)” Pengaruh pendidikan
seperti makanan yang manis dan melekat tidak penyikatan gigi dengan Menggunakan model
dikonsumsi oleh anak autis karena makanan rahang dibandingkan dengan metode
tersebut adalah makanan pantangan/makanan yang pendampingan terhadap tingkat kebersihan
tidak boleh dikonsumsi anak autis. Karena gigi dan mulut siswa-siswi tunanetra SLB-A
pantangan makanan tersebut maka sebagian besar Bandung” Majalah Kedokteran Bandung,
anak autis yang di teliti di sekolah khusus harapan volume 46 no. 3 September 2014.
mulia giginya bagus tanpa karies, karena salah satu Kemenkes RI. (2010). Pedoman pelayanan
faktor terjadi karies yaitu makanan terutama kesehatan anak di sekolah luar biasa (SLB)
karbohidrat yang manis dan melekat, makanan bagi petugas kesehatan” Jakarta : Dirjen Bina
tersebut tidak dikonsumsi oleh anak autis. kesmas Kemenkes, 2010
Pada pemeriksaan rutin gigi anak autis ke Kemenkes RI. ( 2013). Riset kesehatan dasar tahun
pelayanan kesehatan atau dokter gigi, semua 2013.
informan mengatakan belum pernah memeriksakan Kent,G.G., & Blinkhorn, A.S. (2005). Pengelolaan
gigi anaknya kecuali ada keluhan, menurut tingkah laku pasien pada praktik dokter gigi.
Anisyah (2014) kebanyakan orang tua tidak Jakarta : EGC
mengetahui apa yang sedang terjadi pada gigi anak Kresno, S. dkk (2000). Aplikasi metode kualitatif
berkebutuhan khusus karena anak tersebut tidak dalam penelitian kesehatan . Depok.
mengatakan kepada orang tuanya jika terjadi gigi Mahfoedz & Zein (2005). Pemeliharaan kesehatan
yang goyang, ada gigi yang tumbuh dan lainnya gigi dan mulut pada balita dan ibu hamil.
kecuali jika orang tuanya yang memeriksanya. Megawati, J. (2013). Perawatan gigi anak autis.
Oleh karena itu peranan orang tua dalam http ://joglosemar.co
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut sangat Notoatmodjo, S. (2010). Promosi kesehatan : teori
besar mengingat keterbatasan dari anak dan aplikasi . Edisi revisi. Yogyakarta :
berkebutuhan khusus tersebut. Rineka Cipta.
Sengkey, M. dkk. (2015). Status kebersihan gigi
Simpulan dan Saran dan mulut pada anak autis di kota Manado.
Jurnal E-Gigi vol. 3 Nomor 2, Juli –
Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan Desember 2015
mulut pada anak autis tergantung dari ibu atau Tugalow, dkk. (2016). Gambaran status karies
pengasuhnya ketika berada di rumah sedangkan di pada anak berkebutuhan khusus di SLB
sekolah perilaku pemeliharaan kesehatan gigi YPAC Manado. Jurnal E-Gigi Vol. 3, Nomor
dibantu oleh guru pendamping. Keluarga mencari 2 Juli-Desember 2015.
sarana pelayanan kesehatan gigi dan mulut ke
klinik gigi/dokter gigi yang sudah dikenal,
dipercaya dan tidak ramai agar anak tidak terlalu
lama antri/menunggu.

60

Anda mungkin juga menyukai