Anda di halaman 1dari 20

Lingkungan

Jakarta merupakan salah satu kota terbersih di Indonesia. Pada tahun 2010, lima
wilayah kota di Jakarta meraih penghargaan Bangun Praja kategori "Kota
Terbersih dan Terindah di Indonesia" (dulu disebut "Adipura"). Salah satu faktor
penentu keberhasilan tersebut adalah keberadaan
kawasan Menteng dan Kebayoran Baru yang asri dan bersih.
Selain Menteng dan Kebayoran Baru, banyak wilayah lain di Jakarta yang sudah
bersih dan teratur. Permukiman ini biasanya dikembangkan oleh pengembang
swasta, dan menjadi tempat tinggal masyarakat kelas menengah. Pondok Indah,
Kelapa Gading, Pulo Mas, dan Cempaka Putih, adalah beberapa wilayah
permukiman yang bersih dan teratur. Namun di beberapa wilayah lain Jakarta,
masih nampak permukiman kumuh yang belum teratur. Permukiman kumuh ini
berupa perkampungan dengan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, serta
banyaknya rumah yang dibangun secara berhimpitan di dalam gang-gang sempit.
Beberapa wilayah di Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi
antara lain, Tanjung Priok, Johar Baru, Pademangan, Sawah Besar, dan Tambora.
Taman kota

Taman Suropati di Menteng, Jakarta Pusat

Jakarta memiliki banyak taman kota yang berfungsi sebagai daerah resapan air.
Taman Monas atau Taman Medan Merdeka merupakan taman terluas yang
terletak di jantung Jakarta. Di tengah taman berdiri Monumen Nasional yang
dibangun pada tahun 1963. Taman terbuka ini dibuat oleh Gubernur
Jenderal Herman Willem Daendels (1870) dan selesai pada tahun 1910 dengan
nama Koningsplein. Di taman ini terdapat beberapa ekor kijang dan 33 pohon
yang melambangkan 33 provinsi di Indonesia.[37]
Taman Suropati terletak di kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Taman berbentuk
oval dengan luas 16,322 m2 ini, dikelilingi oleh beberapa bangunan Belanda
kuno. Di taman tersebut terdapat beberapa patung modern karya artis-
artis ASEAN, yang memberikan sebutan lain bagi taman tersebut, yaitu "Taman
persahabatan seniman ASEAN".[38]
Taman Lapangan Banteng merupakan taman lain yang terletak di Gambir, Jakarta
Pusat. Luasnya sekitar 4,5 ha. Di sini terdapat Monumen Pembebasan Irian Barat.
Pada tahun 1970-an, taman ini digunakan sebagai terminal bus. Kemudian pada
tahun 1993, taman ini kembali diubah menjadi ruang publik, tempat rekreasi, dan
juga kadang-kadang sebagai tempat pertunjukan seni.
Taman Langsat merupakan tempat penampungan bibit tanaman, namun pada saat
ini telah ditingkatkan fungsinya menjadi area penyuluhan pertamanan dan
beberapa fasilitas yang dapat dipergunakan untuk umum. Fasilitas yang
disediakan antara lain :
- Tempat kursus atau seminar
- Jogging Track
- Lapangan tenis
- Area koleksi tanaman, sebagai fasilitas pengenalan jenis tanaman.
- Tempat pameran Flora dan fauna di alam terbuka.

Taman Langsat

Permasalahan Lingkungan
Provinsi DKI Jakarta terbagi dalam 5 wilayah Kota dan 1 Kabupaten. Semuanya
berstatus administratif (tidak memiliki otonomi sendiri). Status daerah
otonomberada pada tingkat provinsi. Kabupaten Kepulauan Seribu adalah satu-
satunya kabupaten yang bersifat administratif di Indonesia. Wilayah DKI Jakarta
berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten dan Laut Jawa. Di
selatan bagian Timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota
Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Sebelah Selatan bagian Barat berbatasan dengan
Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Tangerang Selatan.
Sedangkan sebelah Utara terdapat Laut Jawa.

Kota Jakarta Barat terdiri dari 8 kecamatan dan 56 kelurahan. Kota Jakarta Pusat
terdiri dari 8 kecamatan dan 44 kelurahan. Jakarta Selatan terdiri dari 10
kecamatan dan 65 kelurahan. Jakarta Timur terdiri dari 10 kecamatan dan 65
kelurahan. Kota Jakarta Utara terdiri dari 6 kecamatan dan 32 kelurahan.
Kabupaten Kepulauan Seribu terdiri dari delapan kecamatan dan 56 kelurahan 2
kecamatan dan 6 kelurahan.

Adapun luas dari setiap Kota dan Kabupaten di DKI Jakarta adalah sebagai
berikut:

1. Kota Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2,

2. Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2,

3. Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2,

4. Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2,

5. Kota Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2,

6. Kabupaten Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2.

Di wilayah utara Jakarta membentang garis pantai sepanjang 35 km, yang


menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. Struktur geologis
Jakarta seluruhnya berupa dataran rendah yang terdiri dari
endapan pleistoceneyang terdapat pada ±50 m di bawah permukaan tanah.

Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai
merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan
endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena
tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium. Di wilayah bagian utara baru
terdapat pada kedalaman 10-25 m, makin ke selatan permukaan keras semakin
dangkal 8-15 m. Pada bagian tertentu juga terdapat lapisan permukaan tanah yang
keras dengan kedalaman 40 m.

Kota Jakarta beriklim panas dengan suhu udara maksimum berkisar


32,7°C - 34,°C pada siang hari, dan suhu udara minimum berkisar 23,8°C -25,4°C
pada malam hari. Rata-rata curah hujan sepanjang tahun 237,96 mm, selama
periode 2002-2006 curah hujan terendah sebesar 122,0 mm terjadi pada tahun
2002 dan tertinggi sebesar 267,4 mm terjadi pada tahun 2005, dengan tingkat
kelembaban udara mencapai 73,0 - 78,0 persen dan kecepatan angin rata-rata
mencapai 2,2 m/detik - 2,5 m/detik. (Sumber : Perda No 1 Tahun 2009 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012)

Problematika Lingkungan hidup

Dibanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Daerah Khusus Ibu


Kota Jakarta adalah meruoakan daerah sedang berhadapan dengan
bebagai permasalahan lingkungan hidup yang kompleks, dan hampir membelit
semua aspek dan dimensi kehidupan masyarakatnya. Juga kadar, jenis maupun
cakupannya terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, salah satu
permasalahan menjadi penyebab timbulnya permasalahan berikutnya yang tak
kalah rumitnya.

Hal itu terjadi sebagai akibat tingginya tingkat pertumbuhan pendudukan,


baik darikelahiran maupun karena urbanisasi. Pertambahan jumlah penduduk
yang terus meningkat pada akhirnya menimbulkan tekanan terhadap lingkungan
hidup juga meningkat. Alih fungsi lahan semakin sulit dihindari . Data yang dirilis
oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta, menyebutkan
bahwa dengan rata-rata 100 lubang makam/perhari, maka tiga tahun kedepan DKI
Jakarta bakal mengalami krisis lahan pemakaman.

Dari diskusi dengan berbagai pihak serta pengamatan di lapangan maka


permasalahan lingkungan hidup yang menonjol di DKI Jakarta antara lain:
1. Kerusakan lingkungan di DKI Jakarta ditandai dengan berkurangnya daerah
resapan air, menyusutnya areal terbuka hijau (RT), kerusakan area terbuka
biru (sungai, situ, saluran air, dan perairan pantai) eksploitasi air bawah
tanah dengan berbagai dampak negatifnya (penurunan permukaan tanah,
intrusi air laut, dan sebagainya), abrasi pantai akibat berkurangnya hutan
mangrove di pantai utara, serta sistem drainase kota yang buruk.
2. Pencemaran lingkungan di DKI Jakarta ditandai dengan tingginya tingkat
pencemaran udara, air, dan perairan laut akibat pengelolaan sampah dan
limbah yang belum baik dan benar.

Masyarakat memiliki peranan penting dalam kerusakan dan pencemaran


lingkungan, karena itu seyogyanya mengambil peran yang sama pentingnya dalam
perlindungan lingkungan hidup sebagai implementasi hak dan kewajiban asasi
warga negara yang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945 dan Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Masalah Aktual

1 Alih Fungsi Lahan Ruang Kota

a. Ruang Terbuka Hijau.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) tidak hanya berfungsi sebagai paru-paru kota,


penyerap polusi udara, tapi juga memberikan rasa nyaman. Ia juga bertfungsi
sebagai penyerap air sehingga kota terhindar dari ancaman banjir. Jika berpatokan
pada standar RTH yang berlaku di negara-negara maju yakni 7,81 m2
RTH/penduduk, studi Fakultas Kehutanan IPB (2003) memperhitungkan luas
RTH di Jakarta seharusnya 15.897 ha (21,45 persen dari total luas kota). Ini
berarti dengan target luas RTH 13,94 persen (Rencana Tata Ruang Wilayah
Jakarta 2000-2010), Jakarta di tahun 2010 hanya mampu memiliki kapasitas
resapan air sekitar 54 persen dari kebutuhannya.
Laju pertumbuhan penduduk yang melaju pesat telah mendorong perubahan
fungsi lahan kota secara besar-besaran. Ini tergambar jelas pada citra satelit yang
menunjukan tutupan hutan kota terus menyusut, bahkan nyaris lenyap dari
wilayah DKI Jakarta. Sejak 15 tahun silam, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
telah bertekad menambah luasan RTH. Selain itu juga dilakukan pembagian RTH
atas 4 (empat)kategori yakni: 1. RTH Taman; 2. RTH Privat; 3. RTH
Pemakaman; 4. RTH Pembibitan.

Meski ada niat untuk terus mengembangkan luasan RTH, namun dalam
pelaksanaan di lapangan kerap berbenturan dengan kepentingan yang lain, dan
RTH yang selalu dikorbankan. Hal ini antara lain terlihat pada RTH Pemakaman
Menteng Pulo, yang kian menyusut karena pembangunan jalan, pendirian gedung
dan sebagainya yang menelan lahan pemakaman sekitar 1 hektar lebih.

Sementara pada saat yang sama, luas RTH Taman juga menyusut karena banyak
berubah menjadi area komersial. Bahkan tak jarang taman-taman kota yang
berada di areal pemukiman berubah fungsi menjadi tempat parkir atau tempat
pembuangan sampah sementara. Berbeda dengan kota-kota di negara maju
seperti Singapura, Melbourne, Sydney, London, Tokyo, atau New York, konsep
pembangunan RTH Taman (interaktif), kerap asing dengan lingkungan sekitarnya.

b. Ruang Terbuka Biru

Sebenarnya pembangunan RTH dapat diintegrasikan dengan elemen di sekitarnya


seperti situ, telaga, sungai dan sebagainya. Misalnya dengan menjadikan bantaran
sungai sebagai RTH Taman, begitu pula dengan tepian telaga/situ. Dengan
demikian, yang dikembangkan tidak hanya ruang hijau (green area) tapi juga blue
area (ruang biru). Di Singapura, pengelolaan ruang hijau menyatu dengan ruang
biru, yakni oleh National Parks (NParks) dan Urban Redevelopment Authority
(URA). Lembaga ini menyusun Singapore Green and Blue Plan 2010 yang
memandu penataan RTH termasuk pengembangan situ-situ.

Tidak terintegrasinya pengelolaan ruang hijau dan biru menyebabkan banyak situ
di Jakarta hilang tak berbekas, dan yang masih tersisa umumnya dalam keadaan
rusak. Areal Ruang Terbuka Biru biasanya dipenuhi pemukiman liar, menjadi
tempat pembuangan limbah, atau tempat pembuangan sampah, dan kemudian
diuruk untukdialihfungsikan. Departemen Kimpraswil (2003) mencatat 16 situ di
Jakarta dari luas semula 168,42 ha dipastikan sudah menyusut. Misalnya Situ
Rorotan, Jakarta Utara, Situ Rawa Kendal, Situ Rawa Ulujami di Jakarta Selatan,
dan Situ Rawa Penggilingan di Jakarta Timur telah hilang tak berbekas.

Pengelolaan RTH dan RTB (Ruang Terbuka Biru) selama ini jadi tanggung jawab
instansi yang berbeda. RTH menjadi tanggung jawab Dinas Pertamanan dan
Pemakaman sedangkan RTB menjadi wewenang Dinas Pekerjaan Umum
khususnya unit pengelola tata air. Akibatnya, disatu sisi pengelolaan RTH kurang
mencapai target sementara RTB banyak terbengkalai. Adalah kenyataan, saat ini
hampir semua situ/telaga di Jakarta mengalami degradasi kualitas yang serius.

c. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Tekanan kebutuhan masyarakat menyebabkan daerah aliran sungai yang


seharusnya dapat dijadikan ruang terbuka menjadi sesak karena dimanfaatkan
untuk kebutuhan yang lain. Hal ini terlihat dengan jelas pada Hilir DAS Ciliwung
yang termasuk dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta. Menurut data Kementerian
Lingkungan Hidup lahan hilir DAS Ciliwung seluas 66.152 Ha.

2. Pencemaran Udara

Tingkat polusi udara di DKI Jakarta adalah tertinggi di seluruh Indonesia,


sehinggawajar bila ada yang menyebutnya sebagai “kota polusi.” Pada skala
global, Kota Jakarta termasuk nomor kota dengan pencemaran udara tertinggi 3
setelah kota di Meksiko dan di Thailand. Masih dalam skala global kandungan
partikel debu (particulate matter) dalam udara Jakarta berada pada urutan nomor
9 (yaitu 104 mikrogram per meter kubik. Uni Eropa menetapkan ambang batas
tertinggi 50 mikrogram) dari 111 kota dunia yang disurvei oleh Bank Dunia pada
tahun 2004.

Jumlah hari udara tidak sehat juga meningkat, yakni 22 hari di tahun 2002


menjadi 7 hari di tahun 2003. Hasil penelitian Kelompok Kerja Udara Kaukus
Lingkungan Hidup, pada tahun 2004 dan 2005, jumlah hari dengan kualitas
“udara terburuk” di Jakarta jauh di bawah 50 hari. Tapi pada tahun 2006,
jumlahnya justru naik di atas 51 hari. Menurut BPLhD DKI Jakarta, kandungan
PM-10 (Partikel Debu) yang pernah mengalami penurunan justru kembali
meningkat pada 2011 dan 2012 cenderung mengalami peningkatan, diduga akibat
penurunan aktivitas uji emisi kendaraan bermotor.
Sumber utama pencemaran udara adalah dari gas buang kendaraan bermotor. Hal
ini terjadi selain akibat jumlah kendaraan bermotor terus meningkat tajam,
jugakarena warga masyarakat cenderung enggan melakukan uji emisi, dan
bengkel-bengkel pemeliharaan kendaraan yang tidak melakukan perbaikan
kendaraan secara baik dan benar. Melihat kenaikan jumlah kendaraan bermotor,
maka bisa dipastikan pencemaran udara di Jakarta juga bakal meningkat.

Data Komisi Kepolisian Indonesia, jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di


DKI Jakarta (tidak termasuk kendaraan milik TNI dan Polri) pada bulan Juni 2009
adalah 9.993.867 kendaraan. Padahal jumlah penduduk DKI Jakarta pada bulan
Maret 2009 adalah 8.513.385 jiwa. Artinya, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta
melebihi jumlah penduduk. Sementara tingkat jumlah kendaraan di DKI Jakarta
juga sangat tinggi, yaitu mencapai 10,9 persen per tahun.

Tingginya tingkat kemacetan di jalan juga menjadi penyebab tingginya polusi


udara. Rasio panjang jalan dengan jumlah kendaraan di Jakarta memang timpang.
Saat ini, panjang jalan di DKI Jakarta hanya hanya sekitar 7.650 kilometer dengan
luas 40,1 kilometer persegi atau hanya 6,26 persen dari luas wilayahnya. Padahal,
perbandingan ideal antara prasarana jalan dan luas wilayah adalah 14 persen.
Dengan kondisi yang tidak ideal tersebut, dapat dengan mudah dipahami apabila
kemacetan makin sulit diatasi dan pencemaran udara semakin meningkat.

Meningkatnya laju polusi udara di DKI Jakarta adalah akibat kurangnya ruang
terbuka hijau (RTH) kota, yakni bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces)
suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi
(endemik, introduksi) untuk mendukung manfaat langsung dan/atau tidak
langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan,
kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Kurangnya RTH
kota akan mengakibatkan kurangnya kemampuan ekosistem kota untuk menyerap
polusi.

Adapun reaksi masyarakat terhadap kondisi udara yang semakin tercemar adalah
selain tetap meminta kepada pemerintah agar menambah RTH juga membiasakan
diri memakai masker. Namun kesadaran untuk melakukan pemeriksaan kualitas
gas kendaraan atau melakukan penanaman pohon atas inisiatif sendiri masih
kurang. Pada hal akibat udara semakin tercemar, biaya kesehatan yang
membebani masyarakat jadi meningkat. Data Komite Penghapusan Bensin
Bertimbel (KPBB menyebutkan bahwa di tahun 2010 warga Jakarta harus
membayar Rp 38 triliun untuk biaya pengobatan karena menderita Ashma,
Bronkitis, infeksi pernapasan akut, pneumonia, hingga jantung koroner yang
disebabkan pencemaran udara. Sementara parameter pencemaran udara pada 2011
hingga 2012 mencapai 60 mikro gram per meter kubik. Artinya berada
diatas standar nasional yakni h 50 mikro gram per meter kubik, dan standar World
Health Organization (WHO) 20 mikro gram per meter kubik.

Parameter lainnya adalah tingkat pencemaran Nitrogen Dioksida dan Oksigen,


yang menyebabkan beberapa penyakit. Seperti gangguan fungsi ginjal, kerusakan
pada sistem saraf, hingga penurunan kemampuan intelektual (IQ) pada anak-anak.
Pencemaran udara juga mengakibatkan keguguran, impotensi, jantung koroner,
kanker dan kematian dini. Data yang dirilis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
menunjukan, sebanyak 46 persen penyakit di Jakarta, timbul karena pencemaran
udara. Seperti infeksi saluran pernapasan, asma, dan kanker paru-paru. Jika
kondisi ini dibiarkan, maka bukan mustahil kematian akibat polusi udara semakin
meningkat

3. Pencemaran Air dan Eksploitasi Air Tanah

Pencemaran Air oleh Limbah

Air menjadi sumber masalah yang serius bagi DKI Jakarta. Di musim hujan banjir
menggenangi kota, sedangkan di musim kemarau terjadi defisit air bersih. Daya
dukung lingkungan untuk menyediakan air bersih bagi warga kota juga semakin
terbatas, sementara tingkat kebutuhan air bersih terus meningkat. Beberapa
masalah yang terkait dengan lingkungan hidup adalah degradasi kualitas air akibat
pencemaran, hilangnya sumber air akibat pemanfaatan areal daerah aliran sungai
dan situ, serta tingginya pemanfaatan air tanah sehingga menyebabkan penurunan
permukaan tanah.
Mengenai pencemaran air, Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jakarta
(2011) menyebutkan bahwa 90 persen air tanah di Jakarta sudah tercemar oleh
logam, nitrat dan e-coli. Pencemaran tidak hanya terjadi pada air tanah, tapi juga
pada sumber-sumber air yang memasok jaringan pelayanan publik. Sedangkan air
dari sumur penduduk selain umumnya telah tercemar oleh bakteri, juga terdapat
kandungan logam bahkan pada sebagian wilayah terasa asin karena kadar garam
meningkat. Air tanah di beberapa tempat Sementara air di sungai-sungai sudah
sulit didaur ulang akibat pencemaran yang parah. Bahkan menurut Kementerian
Lingkungan Hidup, air sungai Ciliwung di wilayah Jakarta sudah “no class.”
Pemerintah telah berusaha menurunkan beban pencemaran sungai Ciliwung,
namun tidak mudah. Beban pencemaran ideal menurut KLH berkisar 7.019
kilogram per hari. Sedangkan saat ini beban pencemaran Ciliwung berada
pada kisaran 29.231 kg per hari. Artinya, perlu penurunan beban pencemaran
sekitar 76 persen agar kembali normal.

Sumber pencemaran air di sungai-sungai di Jakarta adalah limbah


domestik. Bahkan menurut media massa sekitar sepertiga dari 6000 ton /hari
sampah di DKI Jakarta masuk (dibuang) ke dalam sungai dan badan-badan air
lainnya (situ, selokan, dan sebagainya). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Indonesia memaparkan data yang dapat menjelaskan bahwa sebagian
besar air sungai diJakarta berkualitas buruk.

Degradasi kualitas dan ketersediaan air juga terjadi akibat eksploitasi air tanag
yang massif. Akibat keterbatasan akses air dari jaringan publik, warga terpaksa
memanfaatkan air tanah untuk berbagai keperluan. Hal ini menyebabkan
pencemaran air tanah, permukaaan tanah dan intrusi air asin. Sistem sanitasi kota
yang buruk menyebabkan berbagai zat pencemar semakin mudah masuk ke ceruk
(aquifer) air di dalam tanah. Sedangkan akibat pengurasan air tanah yang
massif,ceruk air (aquifer) yang semula berisi air tawar, kini dimasuki air asin dari
laut. Beberapa sumber melaporkan, saat ini intrusi air asin sudah mencapai
beberapa wilayah di tengah kota Jakarta. Dengan demikian ancaman korosi
terhadap logam yang menjadi fondasi bangunan sulit dihindarkan.

Ancaman korosi pada fondasi bangunan , dan penurunan permukaan tanah –akibat


pengurasan air tanah— kini sudah menjadi ancaman serius bagi bangunan dan
keselamatan warga. Tanda-tanda terjadinya penurunan permukaan tanah telah
teridentifikasi ketika suatu retakan ditemukan di jembatan Sarinah pada tahun
1978.Penyebabnya, selain eksploitasi air tanah yang massif juga disebabkan oleh
berat bangunan semakin tinggi. Menurut sejumlah sumber tingkat penurunan
permukaan tanah di Jakarta memang bervariasi. Dalam rentang waktu antara 1993
dan 2005 tingkat penurunan tanah terbesar terjadi di Jakarta Pusat pada, dari
3.42m sampai 1.02M atas permukaan laut. Di Jakarta Utara penurunan itu 57 cm,
dari 2.03m ke 1.46m. Di Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan
penurunan itu 2, 11 dan 28 cm.
3. Ancaman Sampah

Sampah Yang Menumpuk

Saat ini, sampah telah menjadi permasalahan serius hampir di semua kota di
Indonesia. Di Jakarta, volume sampah setiap hari rata-rata sekitar 6000 ton, dan
lazimnya mengalami peningkatan sekitar 15% pada momentum tertentu seperti
lebaran, natal dan tahun baru. Volume sampah juga meningkat pada musim hujan,
musim pernikahan, musim hajatan, musim order percetakan, musim belanja,
musim buah rambutan, maka bisa bertambah ribuan ton lagi.

Sampah tidak pernah habis, karena merupakan konsekuensi dari aktivitas


manusia. Bahkan akan selalu bertambah seiring dengan meningkatnya aktivitas
masyarakat. Saat ini sebagian sampah dari kota Jakarta di kirim ke Tempat
Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Bantar Gebang, dan tinggi gunungan sampah
di TPA tersebut yang sudah mencapai minimal 20 meter. Sedangkan di TPA
Sumur Batu (juga di Bekasi) ketinggiannga sudah mencapai 30 meter.

Dari karakteristiknya sampah di Jakarta dan di kota-kota lainnya di Indonesia,


rata-rata 60 - 70% adalah sampah organik, yang didominasi oleh sampah sisa
makanan dan daun-daunan. Sedangkan 40% merupakan sampah non organik
berupa sampah plastik dan sejenisnya. Tidak semua sampah kota Jakarta dapat
terangkut ke TPA, karena itu sebagian lagi dibuang di sembarang tempat, seperti
masuk ke dalam sungai, dan tak sedikit pula yang terbawa aliran sungai sehingga
mengotori laut.

Beberapa cara pengelolaan sampah dengan pendekatan high investment and high


technolog yang pernah diujicoba belum berhasil. Hal yang sama juga terjadi
dalam pengelolaan sampah dengan berbasis masyarakat. Namun Pemerintah Pusat
dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup belakangan semakin gencar
mengkampanyekan pengolahan sampah berbasis lingkungan dan masyarakat,
antara lain melalui kegiatan daur ulang, pemilahan sampah berdasarkan
karakteristiknya sehingga kembali berguna.

Biaya pengolahan sampah memang mahal. Namun tetap menjadi prioritas


mengingat dampak yang ditimbulkannya jauh lebih mahal. Tapi masalah ini
sebenarnya dapat diatasi dengan cara yang lebih mudah dan murah yakni dengan
pengelolaan tradisional yang terorganisir rapi dalam bentuk bank sampah dan
pengembangan kerajinan serta industri berbahan baku sampah, yang telah mulai
banyak ditekuni oleh beberapa pelaku bisnis sampah.

Penanggulangan sampah di perairan laut dan pantai hingga saat ini belum
maksimal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sampah di sepanjang Pantura
Jakarta. Kendalanya adalam fasilitas kebersihan yang minim, dan kesadaran
masyarakat Jakarta akan kebersihan yang sangat rendah. Tumpukan sampah itu
tidak hanya berasal dari daratan, tetapi juga laut. Fasilitas kebersihan yang
dimiliki Sudin Kebersihan Jakarta Utara hanya lima kapal pengambil sampah.
Satu berukuran besar dan empat lainnya kecil. Namun, kapal yang kerap
rusak Dengan lima kapal itu, kapasitas pengangkutan sampah hanya sebanyak 45-
50 kubik sampah dari pantai. tu hanya sampah dari Muara Baru dan hutan
mangrove di Kapuk, sedangkan sampah di wilayah yang lain belum bisa
tertangani.

5. Pencemaran Laut

Pencemaran Laut di Akibatkan Oleh Minyak yang Tumpah


Pencemaran air di Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya tidak hanya terjadi di
daratan tapi juga di perairan laut Teluk Jakarta. Sebagian besar sumber
pencemaran Teluk Jakarta berasal dari daratan, berupa sampah dan limbah cair
yang terbawa oleh aliran sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Namun
belakangan, pencemaran laut juga terjadi akibat buangan dari kapal-kapal, dan
juga berasal dari berbagai aktivitas manusia di Teluk Jakarta. Menurut Subdit
Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan pada Direktorat Pesisir dan Lautan
Departemen Kelautan dan Perikanan, tingkat pencemaran perairan Teluk Jakarta
sudah sangat tinggi.

Bahkan Teluk Jakarta merupakan perairan laut paling kotor urutan 3 di dunia.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2011) sedikitnya 21 perusahaan besar
membuang limbahnya ke perairan Teluk Jakarta. Pencemaran laut oleh Limbah
B3 (Bahan Berbahaya Beracun) dan logam berat berpengaruh terhadap kualitas
hasil laut. Karena itu sejumlah pakar mengingatkan agar berhati-hati menyantap
hasil laut yang sudah tercemar sebab bukan bukan kesehatan yang bakal diperoleh
melainkan kemungkinan besar, tingkat kesuburan justru akan menurun dan angka
kecerdasan pun bakal berkurang..

Saat ini diprediksi terdapat 14 ribu kubik sampah dari limbah rumah tangga dan
limbah industri, yang mencemari teluk seluas 2,8 kilometer persegi itu. Seluruh
limbah tersebut mengalir melalui 13 anak sungai yang bermuara di teluk tersebut.
Jika hal tersebut tidak segera ditangani, dikhawatirkan akan mengancam
kelestarian hutan bakau dan terumbu karang. Sekalipun demikian, pencemaran
yang berasal dari daratan atau land base pollution menyumbang 80 persen
terhadap pencemaran perairan teluk. Baik akibat bahan organik, bahan berbahaya
dan beracun (B3) seperti logam dan pestisida, pencemaran minyak dan sedimen,
pencemaran organisme patogen dan eksotik, serta detergen

Sejak tahun 1979, para peneliti di Badan Atom Nasional (Batan) telah mendapati
bahwa kadar logam berat dalam air di Teluk Jakarta sudah tergolong tinggi.
Bahkan di beberapa lokasi seperti Muara Angke kadar logam beratnya cenderung
meningkat. Meskipun tercemar parah, sampai saat ini masih banyak saja udang,
kerang-kerangan, dan beberapa jenis ikan yang hidup di Teluk Jakarta yang dijual
dan dikonsumsi penduduk Jakarta. Kerang hijau, sebagai contohnya, masih jadi
komoditas favorit karena harganya yang lebih murah sehingga terjangkau untuk
dikonsumsi. Sebenarnya pencemaran Teluk Jakarta bukan hanya berasal dari
darat, karena memang ada banyak sekali sungai yang bermuara ke teluk ini.

Pencemaran juga bisa datang dari laut. Sebab tidak sedikit kapal yang membuang
limbah dan mencemari teluk Jakarta ini. Karena itu pengawasannya sebenarnya
ada di masyarakat.

6.Ancaman Banjir

Banjir yang terjadi di Jakarta selain karena faktor alam juga merupakan dampak
kerusakan lingkungan yang parah di kawasan Jakarta Depok, Bogor, Bekasi dan
Tanggerang. Dimaksud dengan faktor alamiah adalah adanya muara dari 13
sungaidi DKI Jakarta, kondisi topografi DKI Jakarta yang hampir 40% berada di
bawah permukaan air laut, dan naiknya muka air laut sebagai dampak pemanasan
global (global warming). Sedangkan faktor manusia antara lain adalah, kebiasaan
sebagian warga masyarakat membuang sampah di sungai dan badan air lainnya,
pemanfaatan bantaran sungai untuk pemukiman, konservasi lahan di hulu daerah
aliran sungai (DAS), berkurangnya daerah terbuka hijau sebagai daerah resapan
air, hilangnya sejumlah situ sebagai tempat parkir air dan lain sebagainya.

Terjadinya perubahan musim yang ekstrim antara lain ditandai dengan


meningkatnya curah hujan di musim penghujan juga berpotensi menimbulkan
banjir. Sementara naiknya permukaan air laut, hilangnya hutan mangrove di
pesisir pantai menyebabkan terjadinya Rob (banjir pasang air laut) yang kini telah
terjadi di beberapa kawasan Pantai Utara (Pantura) Jakarta.

Secara umum banjir disebabkan oleh rusaknya bendungan dan saluran air rusak,
seperti terjadi pada bencana di situ gintung, penebangan hutan secara liar dan
tidak terkendali, kiriman atau bencana banjir bandang, keadaan tanah tertutup
semen, paving atau aspal, hingga tidak menyerap air, pembangunan tempat
permukiman dimana tanah kosong diubah menjadi jalan gedung, tempat parkir,
hingga daya serap air hujan tidak ada.

Saat ini, banjir telah menjadi bencana bencana yang rutin terjadi setiap tahun baik
di DKI Jakarta maupun di daerah-daerah lain di Indoenesia. Dan paling sering
memakan korban yang tidak sedikit, baik jiwa, harta maupun sarana dan prasarana
bagi kehidupan masyarakat. Puluhan ribu hektar sawah dan taanaman lain gagal
panen, jalan dan jembatan rusak, serta ribuan rumah yang rusak dan hancur.
Misalnya, banjir yang terjadi di Jakarta pada Agustus 2010 telah meluruhkan
Jakarta. Wilayah-wilayah yang tergenang air antara lain Kalibata, Bukit Duri, dan
Bidara Cina, segitiga emas Kuningan. Bahkan sentra bisnis di jalan Sudirman
(Bendungan Hilir, Semanggi, Dukuh Atas), Kuningan, serta seputaran Sarinah-
Sabang-Thamrin tenggelam. Di Kelapa Gading hanya menyisakan atap rumah dan
lampu jalan.

Akibatnya, listrik mati dan air ledeng mampet. 70 ribu sambungan telepon putus.
Jakarta berubah seperti rawa-rawa purba. Lebih dari dua per tiga wilayahnya
terendam. Kawasan Sunter—sentra industri otomotif nasional—lumpuh selama
sepekan. 100 mobil Toyota tenggelam Begitu pula di Pulogadung, mesin-mesin
tak dapat dioperasikan karena terendam air.

Kejadian yang sama kembali terulang pada 25 Oktober 2010 yang


menyebabkantransportasi kotaa lumpuh (hampir total) karena hujan deras yang
mengakibatkan banjir yang pada akhirnya menyebabkan kemacetan di mana-
mana. Perjalanan dari Kuningan ke Kelapa Gading yang biasanya hanya memakan
waktu satu jam berubah menjadi tiga jam

Berbagai upaya untuk mengatasi ancaman banjir telah dilakukan sejak Jaman
Kerajaan Tarumanegara dengan pembangunan saluran air dari hulu hingga hilir.
Juga pada masa kolonial Belanda dengan pembangunan Kanal Banjir Barat.
Sekarang pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah
membangun Kanal Banjir Timur (KBT) dan merevitalisasi Kanal Banjir Barat
(KBB) dengan harapan dapat membebaskan 207 wilayah DKI Jakarta dari
ancaman banjir. Namun upaya tersebut diperkirakan “hanya” mengurangi
sebagian resiko dan dampak banjir. Artinya, ancaman banjir tetap menjadi
persoalan yang akut bagi Jakarta di masa mendatang terutama banjir lokal.

Resiko dan dampak banjir yang terjadi dalam dua dekade terakhir sangat terasa
menimbulkan penderitaan bagi warga masyarakat secara luas antara lain
disebabkan:

a. Rendahnya kesadaran dan kemampuan warga menghadapi datangnya banjir;

b. Belum ada strategi dan skenario baku dari pemerintah dalam menghadapi
resiko dan dampak banjir;
c. Belum/tidak ada strategi mitigasi dan adaptasi menghadapi banjir yang
berkesinambungan.

Selain beberapa permasalahan tersebut, sesungguhnya masih banyak


permasalahan yang aktual dalam kehidupan sosial, seperti pemukiman kumuh,
kebakaran, kemacetan lalu lintas, dan lain-lain yang memiliki pertaliannya dengan
kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup di DKI Jakarta.

Kebersihan Lingkungan DKI Jakarta 


    DKI Jakarta dikenal dengan sebagai ibu kota Republik Indonesia merupakan
kota metropolitan.
    Kota Jakarta memiliki luas wilayah sekitar 650 km 2. Jumblah penduduk DKI
Jakarta pada siang hari adalah 14 juta jiwa sedangkan pada malam hari 9,4 jiwa.
    Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan Peraturan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta No.5 tahun 1988 tentang kebersiahan lingkungan dalam wilayah daerah
khusus ibu kota Jakarta.

Wilayah kumuh

     Kebersihan lingkungan Jakarta merupakan tanggung jawab masyarakat dan


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Penangulangan sampah tidak akan tuntas tanpa
peran serta masyarakat untuk menjaga kebersihan. Agar lingkungan mejadi bersih,
sehat dan nyaman
     Sebagai contoh, permukiman di RW 08 Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan
Gambir Jakarta Pusat kawasan ini salah satu kawasan yang telah menerapkan
prokasih (program kali bersih). Program tersebut didanai oleh USAID dan
swadaya masyarakat digulirkan sejak mei 2006.
    Dalam melakasanakan, empat LSM mitra USAID aktif mendampingi
masyarakat yaitu Mercy Corps, Environmental Servies Program, Health Servies
Program, dan Safe Water System.
    Salah satu MCK yang dibangun di RW 08 Petojo Utara dilengkapi dengan Unit
Pengolahan Limbah dengan teknologi Decentralized Wastewater Treatment
System (DEWATS). Melalui teknologi ini, 90% air limbah dapat dimurnikan
kembali
     Pengolahan air buangan termasuk air sisa mandi dan mencuci dengan baffle
reactor. Disediakan pula biodigester, pengolahan tinja secara anaerob dan mampu
menghasilkan biogas.
     Permasalah yang sedang dihadapi di Kota Jakarta adalah laju pertumbuhan
penduduk dan kepadatan penduduk yang tinggi serta persoalan kebersihan
lingkungan perkotaan dan sampah.
     Sampah dibedakan menjadi sampah anorganik dan sampah organik. Sampah
anorganik adalah sampah yang tidak mudah lapuk / hancur, sering disebut dengan
sampah kering. sampah anorganik dibedakan menjadi dua bagian:
A.    Barang lapuk: sampah yang dapat didaur ulang kembali dalam keadaan tidak
rusak
B.     Bukan barang lapuk: barang yang betuk-betu rusak dan tidak dapat didaur
ulang
Sampah organik adalah sampah yang mudah lapuk / hancur, bukan berbentuk
cairan atau gas sering disebut sampah basah. Sampah organik dapat dibedajan
menjadi tiga bagian:
A.    Sampah organik segar seperti sampah dapur
B.     Sampah organik olahan seperti kertas
C.     Sampah organik pilihan
      Total produksi sampah DKI Jakarta sangat menggangu kenyamanan warga
kota. Sampah yang pada umumnya didomisi oleh bahan organik, seperti sisa
makanan, daun-daunan dan sebagainya yang bersifat biodegradable
      Jikalau rata rata setiap orang menghasilkan 0.,5 – 0,75 kg sampah setiap hari
sehingga bila diasumsikan bahwa 1 kepala keluarga terdiri atas 5 orang maka
setiap rumah tangga akan menghasilkan sekitar 2,5 – 3,75 kg sampah
     Sampah dikawasan permukiman dikumpulkan dari bak sampah masing masing
warga di Tempat Penampungan Sementara (TPS) dipermukiman tersebut dan
setelah itu diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh dinas Kebersiahan
DKI Jakarta.
      Sistem pengolahan sampah terdiri atas 4 macam, yakni:
A.    Daur ulang. sistem ini merupakan salah satu strategi pengelolaan sampah
padat
B.     Pembakaran (Insenerator). System ini dilakukan dengan cara menyortir
dahulu sampah yang akan dibakar.
C.     Sanitary landfill. System pengolahan sampah dengan cara diuruk
D.    Pengomposan. System ini merupakan penguraian dan pemantapan bahan-
bahan organik secara biologis dalam suhu tinggi

1.      Penanganan Sampah DKI Jakarta


   Instasi yang mengurus persoalan sampah di Jakarta adalah Dinas Kebersihan
Provinsi DKI Jakarta. Landasan hukum yang digunakan adalah Perda No.3 Tahun
1998 tentan Kebersiahan Lingkungan di Wilayah DKI Jakarta.
   Keberhasilan pengolahan sampah Jakarta kedepan sangat bergantung pada
keberhasilan penerapan konsep 3R yaitu Reduce (mengurangi),Reuse
(memanfaatkan kembali),dan Recycle (mendur ulang)
   Pada tahun 2010, timbunan sampah per hari diperkirakan mencapai 6.337 ton
dan menjadi 6678 ton pada tahun 2015. Jika sampah sudah bias dikelola sejak dari
rumah tangga,RT, atau sampai kelurhan, persoalan sampah DKI Jakarta tidak lagi
rumit.
   Pola umum penanganan sampah DKI Jakarta dilakukan dalam tiga tahap sebagai
berikut:
a)     Tahap Pengumpulan
Proses pengumpulan sampah dari sumbernya TPS dilakukan oleh petugas
kebersiahan dimasing masing lingkungan
b)    Tahap Pengangkutan
Proses pengangkutan sampah dari TPS menuju TPA dilakukan dengan
mengunakan truk sampah dari kontainer. Salah satu persoalan dalam
membersihkan Jakarta dari sampah adalah kekurangan alat angkut, alat angkut
sampah yang ada di Jakarta hanya 1097 unit. Kekurangan alat angkut sampah
sebanyak 181 unit. Daya angkut truk sampah adalah 20,9 m3 hari per kendaraan.
c)     Tahap Pemusnahan
Sampah yang telah diangkut dari TPS yang dibuang di TPA akhirnya diproses
lebih lanjut disitu. Tahap-tahap pemusnahan sampah adalah: penimbangan
sampah, pembongkaran sampah, penyebaran dan pemadatan sampah, pentupan
sampah dengan tanah (cover soil), dan pengolahan air sampah di Instalasi
Pengolahan Air Sampah (IPAS)
   Dalam rencana pengelolaan sampah akan dibangun tiga sarana ITF
(intermediate Treatment Faciliity) di Pulo gebang (Jakarta Timur), Duri Kosambi
(Jakarta Barat), dan ragunan (Jakarta Barat). ITF bertujuan mengolah sampah
menjadi energy listrik.

2.     Penanganan Sampah yang akan datang


   Pengelolaan sampah di DKI Jakarta hingga kini asih menggunakan pendekatan
end of pipe solution. Pendekatan ini menitik beratkan pengelolaan sampah ketika
sampah itu telah dihasilkan yakni berupa kegiatan pengumpulan,pengangkutan,
dan pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
  Beberapa teknologi tinggi pengolahan sampah dalam penanganan sampah yang
akan dating antara lain: 
a.   Bala press
Teknologi bala press adalah pengolahan sampah dengan pemadatan yang berasal
dari Jerman.
b.   Incinerator skala besar
Teknologi Incinerator skala besar adalah pembakara sampah dengan alat modern
dan berteknologi tinggi.
c.   Galvad
Teknologi Galvad adalah satu konsep yang memanfaatkan gas metan yang
ditimbulkan sampah di TPA untuk dijadikan listrik.
d.   Bio pupuk
Bio pupuk adalah pengolahan sampah berteknologi tinggi untuk menghasilkan
produk berupa pupuk organic dan pupuk cair.
e.   Waste to Energy
Teknologi ini berupaya pula memanfaatkan sampah menjadi listrik melalui
pembangunan listrik tenaga bio massa (PLTBM)
3.     Saluran Air (Pembuangan kotoran)
   Seperti diketahui, selain sisa deterjen, rumah tang menghasilkan limbah dari
dapur dan limbah bekas mandi. Ketiga limbah ini dikenal dengan nama limbah
non kakus (gerywater). Umumnya orang membuang limbah non kakus langsung
ke selokan yang ada didepan rumah, tanpa diolah terlebih dahulu. Akibatnya
sungai yang menjadi tempat bermuaranya selokan menjadi tercemar
     Zat polutan yang terkandung dalam limbah juga bisa menjadi sumber penyakit
seperti kolera, disentri, dan berbagai penyakit lainnya.
     Pengolahan limbah non kakus dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1)   Menanami selokan depan rumah dengan tanaman air yang bisa menyerap zat
pencemaran
2)  Membuat instalasi pengolahan yang sering disebut dengan system pengolahan
air limbah (SPAL).
   Setiap kawasan permukiman sebaiknya dilengkapi dengan system drainase
untuk menyalurkan air buangan rumah tangga.
   Dinas Kebersiah dan dinas pekerjaan umum pemerintah provinsi DKI Jakarta
senantiasa melakukan kegiatan pemeliharaan, perbaikan dan pembangunan
drainase
4.     Ketidak disiplinan warga tentang kebersiahan lingkungan
     Lingkungan yang bersih akan menjauhkan warga masyarakat dari penyakit.
Sebenarnya kesehatan merupakan hak asasi manusia dan setiap manusia berhak
untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai