Jakarta merupakan salah satu kota terbersih di Indonesia. Pada tahun 2010, lima
wilayah kota di Jakarta meraih penghargaan Bangun Praja kategori "Kota
Terbersih dan Terindah di Indonesia" (dulu disebut "Adipura"). Salah satu faktor
penentu keberhasilan tersebut adalah keberadaan
kawasan Menteng dan Kebayoran Baru yang asri dan bersih.
Selain Menteng dan Kebayoran Baru, banyak wilayah lain di Jakarta yang sudah
bersih dan teratur. Permukiman ini biasanya dikembangkan oleh pengembang
swasta, dan menjadi tempat tinggal masyarakat kelas menengah. Pondok Indah,
Kelapa Gading, Pulo Mas, dan Cempaka Putih, adalah beberapa wilayah
permukiman yang bersih dan teratur. Namun di beberapa wilayah lain Jakarta,
masih nampak permukiman kumuh yang belum teratur. Permukiman kumuh ini
berupa perkampungan dengan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, serta
banyaknya rumah yang dibangun secara berhimpitan di dalam gang-gang sempit.
Beberapa wilayah di Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi
antara lain, Tanjung Priok, Johar Baru, Pademangan, Sawah Besar, dan Tambora.
Taman kota
Jakarta memiliki banyak taman kota yang berfungsi sebagai daerah resapan air.
Taman Monas atau Taman Medan Merdeka merupakan taman terluas yang
terletak di jantung Jakarta. Di tengah taman berdiri Monumen Nasional yang
dibangun pada tahun 1963. Taman terbuka ini dibuat oleh Gubernur
Jenderal Herman Willem Daendels (1870) dan selesai pada tahun 1910 dengan
nama Koningsplein. Di taman ini terdapat beberapa ekor kijang dan 33 pohon
yang melambangkan 33 provinsi di Indonesia.[37]
Taman Suropati terletak di kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Taman berbentuk
oval dengan luas 16,322 m2 ini, dikelilingi oleh beberapa bangunan Belanda
kuno. Di taman tersebut terdapat beberapa patung modern karya artis-
artis ASEAN, yang memberikan sebutan lain bagi taman tersebut, yaitu "Taman
persahabatan seniman ASEAN".[38]
Taman Lapangan Banteng merupakan taman lain yang terletak di Gambir, Jakarta
Pusat. Luasnya sekitar 4,5 ha. Di sini terdapat Monumen Pembebasan Irian Barat.
Pada tahun 1970-an, taman ini digunakan sebagai terminal bus. Kemudian pada
tahun 1993, taman ini kembali diubah menjadi ruang publik, tempat rekreasi, dan
juga kadang-kadang sebagai tempat pertunjukan seni.
Taman Langsat merupakan tempat penampungan bibit tanaman, namun pada saat
ini telah ditingkatkan fungsinya menjadi area penyuluhan pertamanan dan
beberapa fasilitas yang dapat dipergunakan untuk umum. Fasilitas yang
disediakan antara lain :
- Tempat kursus atau seminar
- Jogging Track
- Lapangan tenis
- Area koleksi tanaman, sebagai fasilitas pengenalan jenis tanaman.
- Tempat pameran Flora dan fauna di alam terbuka.
Taman Langsat
Permasalahan Lingkungan
Provinsi DKI Jakarta terbagi dalam 5 wilayah Kota dan 1 Kabupaten. Semuanya
berstatus administratif (tidak memiliki otonomi sendiri). Status daerah
otonomberada pada tingkat provinsi. Kabupaten Kepulauan Seribu adalah satu-
satunya kabupaten yang bersifat administratif di Indonesia. Wilayah DKI Jakarta
berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten dan Laut Jawa. Di
selatan bagian Timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota
Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Sebelah Selatan bagian Barat berbatasan dengan
Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Tangerang Selatan.
Sedangkan sebelah Utara terdapat Laut Jawa.
Kota Jakarta Barat terdiri dari 8 kecamatan dan 56 kelurahan. Kota Jakarta Pusat
terdiri dari 8 kecamatan dan 44 kelurahan. Jakarta Selatan terdiri dari 10
kecamatan dan 65 kelurahan. Jakarta Timur terdiri dari 10 kecamatan dan 65
kelurahan. Kota Jakarta Utara terdiri dari 6 kecamatan dan 32 kelurahan.
Kabupaten Kepulauan Seribu terdiri dari delapan kecamatan dan 56 kelurahan 2
kecamatan dan 6 kelurahan.
Adapun luas dari setiap Kota dan Kabupaten di DKI Jakarta adalah sebagai
berikut:
Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai
merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan
endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena
tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium. Di wilayah bagian utara baru
terdapat pada kedalaman 10-25 m, makin ke selatan permukaan keras semakin
dangkal 8-15 m. Pada bagian tertentu juga terdapat lapisan permukaan tanah yang
keras dengan kedalaman 40 m.
Masalah Aktual
Meski ada niat untuk terus mengembangkan luasan RTH, namun dalam
pelaksanaan di lapangan kerap berbenturan dengan kepentingan yang lain, dan
RTH yang selalu dikorbankan. Hal ini antara lain terlihat pada RTH Pemakaman
Menteng Pulo, yang kian menyusut karena pembangunan jalan, pendirian gedung
dan sebagainya yang menelan lahan pemakaman sekitar 1 hektar lebih.
Sementara pada saat yang sama, luas RTH Taman juga menyusut karena banyak
berubah menjadi area komersial. Bahkan tak jarang taman-taman kota yang
berada di areal pemukiman berubah fungsi menjadi tempat parkir atau tempat
pembuangan sampah sementara. Berbeda dengan kota-kota di negara maju
seperti Singapura, Melbourne, Sydney, London, Tokyo, atau New York, konsep
pembangunan RTH Taman (interaktif), kerap asing dengan lingkungan sekitarnya.
Tidak terintegrasinya pengelolaan ruang hijau dan biru menyebabkan banyak situ
di Jakarta hilang tak berbekas, dan yang masih tersisa umumnya dalam keadaan
rusak. Areal Ruang Terbuka Biru biasanya dipenuhi pemukiman liar, menjadi
tempat pembuangan limbah, atau tempat pembuangan sampah, dan kemudian
diuruk untukdialihfungsikan. Departemen Kimpraswil (2003) mencatat 16 situ di
Jakarta dari luas semula 168,42 ha dipastikan sudah menyusut. Misalnya Situ
Rorotan, Jakarta Utara, Situ Rawa Kendal, Situ Rawa Ulujami di Jakarta Selatan,
dan Situ Rawa Penggilingan di Jakarta Timur telah hilang tak berbekas.
Pengelolaan RTH dan RTB (Ruang Terbuka Biru) selama ini jadi tanggung jawab
instansi yang berbeda. RTH menjadi tanggung jawab Dinas Pertamanan dan
Pemakaman sedangkan RTB menjadi wewenang Dinas Pekerjaan Umum
khususnya unit pengelola tata air. Akibatnya, disatu sisi pengelolaan RTH kurang
mencapai target sementara RTB banyak terbengkalai. Adalah kenyataan, saat ini
hampir semua situ/telaga di Jakarta mengalami degradasi kualitas yang serius.
2. Pencemaran Udara
Meningkatnya laju polusi udara di DKI Jakarta adalah akibat kurangnya ruang
terbuka hijau (RTH) kota, yakni bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces)
suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi
(endemik, introduksi) untuk mendukung manfaat langsung dan/atau tidak
langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan,
kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Kurangnya RTH
kota akan mengakibatkan kurangnya kemampuan ekosistem kota untuk menyerap
polusi.
Adapun reaksi masyarakat terhadap kondisi udara yang semakin tercemar adalah
selain tetap meminta kepada pemerintah agar menambah RTH juga membiasakan
diri memakai masker. Namun kesadaran untuk melakukan pemeriksaan kualitas
gas kendaraan atau melakukan penanaman pohon atas inisiatif sendiri masih
kurang. Pada hal akibat udara semakin tercemar, biaya kesehatan yang
membebani masyarakat jadi meningkat. Data Komite Penghapusan Bensin
Bertimbel (KPBB menyebutkan bahwa di tahun 2010 warga Jakarta harus
membayar Rp 38 triliun untuk biaya pengobatan karena menderita Ashma,
Bronkitis, infeksi pernapasan akut, pneumonia, hingga jantung koroner yang
disebabkan pencemaran udara. Sementara parameter pencemaran udara pada 2011
hingga 2012 mencapai 60 mikro gram per meter kubik. Artinya berada
diatas standar nasional yakni h 50 mikro gram per meter kubik, dan standar World
Health Organization (WHO) 20 mikro gram per meter kubik.
Air menjadi sumber masalah yang serius bagi DKI Jakarta. Di musim hujan banjir
menggenangi kota, sedangkan di musim kemarau terjadi defisit air bersih. Daya
dukung lingkungan untuk menyediakan air bersih bagi warga kota juga semakin
terbatas, sementara tingkat kebutuhan air bersih terus meningkat. Beberapa
masalah yang terkait dengan lingkungan hidup adalah degradasi kualitas air akibat
pencemaran, hilangnya sumber air akibat pemanfaatan areal daerah aliran sungai
dan situ, serta tingginya pemanfaatan air tanah sehingga menyebabkan penurunan
permukaan tanah.
Mengenai pencemaran air, Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jakarta
(2011) menyebutkan bahwa 90 persen air tanah di Jakarta sudah tercemar oleh
logam, nitrat dan e-coli. Pencemaran tidak hanya terjadi pada air tanah, tapi juga
pada sumber-sumber air yang memasok jaringan pelayanan publik. Sedangkan air
dari sumur penduduk selain umumnya telah tercemar oleh bakteri, juga terdapat
kandungan logam bahkan pada sebagian wilayah terasa asin karena kadar garam
meningkat. Air tanah di beberapa tempat Sementara air di sungai-sungai sudah
sulit didaur ulang akibat pencemaran yang parah. Bahkan menurut Kementerian
Lingkungan Hidup, air sungai Ciliwung di wilayah Jakarta sudah “no class.”
Pemerintah telah berusaha menurunkan beban pencemaran sungai Ciliwung,
namun tidak mudah. Beban pencemaran ideal menurut KLH berkisar 7.019
kilogram per hari. Sedangkan saat ini beban pencemaran Ciliwung berada
pada kisaran 29.231 kg per hari. Artinya, perlu penurunan beban pencemaran
sekitar 76 persen agar kembali normal.
Degradasi kualitas dan ketersediaan air juga terjadi akibat eksploitasi air tanag
yang massif. Akibat keterbatasan akses air dari jaringan publik, warga terpaksa
memanfaatkan air tanah untuk berbagai keperluan. Hal ini menyebabkan
pencemaran air tanah, permukaaan tanah dan intrusi air asin. Sistem sanitasi kota
yang buruk menyebabkan berbagai zat pencemar semakin mudah masuk ke ceruk
(aquifer) air di dalam tanah. Sedangkan akibat pengurasan air tanah yang
massif,ceruk air (aquifer) yang semula berisi air tawar, kini dimasuki air asin dari
laut. Beberapa sumber melaporkan, saat ini intrusi air asin sudah mencapai
beberapa wilayah di tengah kota Jakarta. Dengan demikian ancaman korosi
terhadap logam yang menjadi fondasi bangunan sulit dihindarkan.
Saat ini, sampah telah menjadi permasalahan serius hampir di semua kota di
Indonesia. Di Jakarta, volume sampah setiap hari rata-rata sekitar 6000 ton, dan
lazimnya mengalami peningkatan sekitar 15% pada momentum tertentu seperti
lebaran, natal dan tahun baru. Volume sampah juga meningkat pada musim hujan,
musim pernikahan, musim hajatan, musim order percetakan, musim belanja,
musim buah rambutan, maka bisa bertambah ribuan ton lagi.
Penanggulangan sampah di perairan laut dan pantai hingga saat ini belum
maksimal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sampah di sepanjang Pantura
Jakarta. Kendalanya adalam fasilitas kebersihan yang minim, dan kesadaran
masyarakat Jakarta akan kebersihan yang sangat rendah. Tumpukan sampah itu
tidak hanya berasal dari daratan, tetapi juga laut. Fasilitas kebersihan yang
dimiliki Sudin Kebersihan Jakarta Utara hanya lima kapal pengambil sampah.
Satu berukuran besar dan empat lainnya kecil. Namun, kapal yang kerap
rusak Dengan lima kapal itu, kapasitas pengangkutan sampah hanya sebanyak 45-
50 kubik sampah dari pantai. tu hanya sampah dari Muara Baru dan hutan
mangrove di Kapuk, sedangkan sampah di wilayah yang lain belum bisa
tertangani.
5. Pencemaran Laut
Bahkan Teluk Jakarta merupakan perairan laut paling kotor urutan 3 di dunia.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2011) sedikitnya 21 perusahaan besar
membuang limbahnya ke perairan Teluk Jakarta. Pencemaran laut oleh Limbah
B3 (Bahan Berbahaya Beracun) dan logam berat berpengaruh terhadap kualitas
hasil laut. Karena itu sejumlah pakar mengingatkan agar berhati-hati menyantap
hasil laut yang sudah tercemar sebab bukan bukan kesehatan yang bakal diperoleh
melainkan kemungkinan besar, tingkat kesuburan justru akan menurun dan angka
kecerdasan pun bakal berkurang..
Saat ini diprediksi terdapat 14 ribu kubik sampah dari limbah rumah tangga dan
limbah industri, yang mencemari teluk seluas 2,8 kilometer persegi itu. Seluruh
limbah tersebut mengalir melalui 13 anak sungai yang bermuara di teluk tersebut.
Jika hal tersebut tidak segera ditangani, dikhawatirkan akan mengancam
kelestarian hutan bakau dan terumbu karang. Sekalipun demikian, pencemaran
yang berasal dari daratan atau land base pollution menyumbang 80 persen
terhadap pencemaran perairan teluk. Baik akibat bahan organik, bahan berbahaya
dan beracun (B3) seperti logam dan pestisida, pencemaran minyak dan sedimen,
pencemaran organisme patogen dan eksotik, serta detergen
Sejak tahun 1979, para peneliti di Badan Atom Nasional (Batan) telah mendapati
bahwa kadar logam berat dalam air di Teluk Jakarta sudah tergolong tinggi.
Bahkan di beberapa lokasi seperti Muara Angke kadar logam beratnya cenderung
meningkat. Meskipun tercemar parah, sampai saat ini masih banyak saja udang,
kerang-kerangan, dan beberapa jenis ikan yang hidup di Teluk Jakarta yang dijual
dan dikonsumsi penduduk Jakarta. Kerang hijau, sebagai contohnya, masih jadi
komoditas favorit karena harganya yang lebih murah sehingga terjangkau untuk
dikonsumsi. Sebenarnya pencemaran Teluk Jakarta bukan hanya berasal dari
darat, karena memang ada banyak sekali sungai yang bermuara ke teluk ini.
Pencemaran juga bisa datang dari laut. Sebab tidak sedikit kapal yang membuang
limbah dan mencemari teluk Jakarta ini. Karena itu pengawasannya sebenarnya
ada di masyarakat.
6.Ancaman Banjir
Banjir yang terjadi di Jakarta selain karena faktor alam juga merupakan dampak
kerusakan lingkungan yang parah di kawasan Jakarta Depok, Bogor, Bekasi dan
Tanggerang. Dimaksud dengan faktor alamiah adalah adanya muara dari 13
sungaidi DKI Jakarta, kondisi topografi DKI Jakarta yang hampir 40% berada di
bawah permukaan air laut, dan naiknya muka air laut sebagai dampak pemanasan
global (global warming). Sedangkan faktor manusia antara lain adalah, kebiasaan
sebagian warga masyarakat membuang sampah di sungai dan badan air lainnya,
pemanfaatan bantaran sungai untuk pemukiman, konservasi lahan di hulu daerah
aliran sungai (DAS), berkurangnya daerah terbuka hijau sebagai daerah resapan
air, hilangnya sejumlah situ sebagai tempat parkir air dan lain sebagainya.
Secara umum banjir disebabkan oleh rusaknya bendungan dan saluran air rusak,
seperti terjadi pada bencana di situ gintung, penebangan hutan secara liar dan
tidak terkendali, kiriman atau bencana banjir bandang, keadaan tanah tertutup
semen, paving atau aspal, hingga tidak menyerap air, pembangunan tempat
permukiman dimana tanah kosong diubah menjadi jalan gedung, tempat parkir,
hingga daya serap air hujan tidak ada.
Saat ini, banjir telah menjadi bencana bencana yang rutin terjadi setiap tahun baik
di DKI Jakarta maupun di daerah-daerah lain di Indoenesia. Dan paling sering
memakan korban yang tidak sedikit, baik jiwa, harta maupun sarana dan prasarana
bagi kehidupan masyarakat. Puluhan ribu hektar sawah dan taanaman lain gagal
panen, jalan dan jembatan rusak, serta ribuan rumah yang rusak dan hancur.
Misalnya, banjir yang terjadi di Jakarta pada Agustus 2010 telah meluruhkan
Jakarta. Wilayah-wilayah yang tergenang air antara lain Kalibata, Bukit Duri, dan
Bidara Cina, segitiga emas Kuningan. Bahkan sentra bisnis di jalan Sudirman
(Bendungan Hilir, Semanggi, Dukuh Atas), Kuningan, serta seputaran Sarinah-
Sabang-Thamrin tenggelam. Di Kelapa Gading hanya menyisakan atap rumah dan
lampu jalan.
Akibatnya, listrik mati dan air ledeng mampet. 70 ribu sambungan telepon putus.
Jakarta berubah seperti rawa-rawa purba. Lebih dari dua per tiga wilayahnya
terendam. Kawasan Sunter—sentra industri otomotif nasional—lumpuh selama
sepekan. 100 mobil Toyota tenggelam Begitu pula di Pulogadung, mesin-mesin
tak dapat dioperasikan karena terendam air.
Berbagai upaya untuk mengatasi ancaman banjir telah dilakukan sejak Jaman
Kerajaan Tarumanegara dengan pembangunan saluran air dari hulu hingga hilir.
Juga pada masa kolonial Belanda dengan pembangunan Kanal Banjir Barat.
Sekarang pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah
membangun Kanal Banjir Timur (KBT) dan merevitalisasi Kanal Banjir Barat
(KBB) dengan harapan dapat membebaskan 207 wilayah DKI Jakarta dari
ancaman banjir. Namun upaya tersebut diperkirakan “hanya” mengurangi
sebagian resiko dan dampak banjir. Artinya, ancaman banjir tetap menjadi
persoalan yang akut bagi Jakarta di masa mendatang terutama banjir lokal.
Resiko dan dampak banjir yang terjadi dalam dua dekade terakhir sangat terasa
menimbulkan penderitaan bagi warga masyarakat secara luas antara lain
disebabkan:
b. Belum ada strategi dan skenario baku dari pemerintah dalam menghadapi
resiko dan dampak banjir;
c. Belum/tidak ada strategi mitigasi dan adaptasi menghadapi banjir yang
berkesinambungan.
Wilayah kumuh