Anda di halaman 1dari 6

MEMBONGKAR KESALAHAN FAHAM MATERIALISME

Oleh : Sofyan Munawar

Pendahuluan
Lihatlah sekeliling kita dari tempat duduk kita. Akan kita dapati bahwa segala
sesuatu di ruangan ini adalah “buatan” dindingnya, pelapisnya, atapnya, kursi tempat
duduk, gelas diatas meja, dan pernak-pernik tak terhitung lainnya. Tidak ada satu pun
yang berada di ruang anda terwujud atas kehendak anda sendiri. Gulungan tikar
sederhana pun dibuat oleh seseorang; benda-benda itu tidak terjadi dengan spontan atau
secara kebetulan.
Orang yang hendak membaca sebuah buku tersebut ditulis oleh pengarangnya
karena alasan tertentu. Tak pernah terpikir olehnya bahwa buku tersebut muncul secara
kebetulan. Begitu pula, orang yang memandang suatu pahatan tidak sangsi sama sekali
bahwa pahatan tersebut dibuat oleh seorang pemahat. Hal ini tidak hanya berlaku pada
karya seni: batu bata yang bertumpukan pun pasti dikira oleh siapa saja bahwa tumpukan
batu bata itu disusun oleh seseorang dengan rencana tertentu. Karena itu, dimana saja
terdapat suatu keteraturan, baik besar maupun kecil, pasti ada penyusun dan penjaganya.
Jika pada suatu hari seseorang berkata dan menyatakan bahwa besi mentah dan batu bara
bersama-sama membentuk baja secara kebetulan, kemudian membentuk menara Eiffel
secara lagi-lagi kebetulan, tidakkah ia dan orang yang mempercayainya akan dianggap
gila?.
Jika kita mengambil segenggam tanah dan memperhatikannya, disini pun kita
bisa menemukan banyak makhluk hidup dengan karakteristik yang berlainan. Dikulit
kepala kitapun terdapat banyak makhluk hidup yang namanya tidak kita kenal. Di perut
semua makhluk hidup terdapat jutaan bakteri atau organisme uniselular yang membantu
proses pencarnaan. Populasi hewan di dunia ini jauh lebih banyak dari pada populasi
manusia. Jika kita juga mempertimbangkan dunia flora, kita melihat bahwa tidak ada
satu noktah pun dibumi ini yang tertebar di suatu bidang seluas lebih dari jutaan
kilometer persegi itu mempunyai sistem tubuh yang berlainan, kehidupan yang berbeda,
dan pengaruh yang berbeda terhadap keseimbangan lingkungan. Pernyataan bahwa
semua ini muncul secara kebetulan tanpa maksud atau tujuan, itu adalah suatu
kebodohan. Tidak ada makhluk hidup yang muncul melalui kehendak atau upaya
mereka sendiri. Tidak ada peristiwa kebetulan yang basa menghasilkan sistem-sistem
yang serumit itu.
Semua bukti ini mengarahkan kita kepada suatu kesimpulan bahwa alam semesta
berjalan dengan “kesadaran” (consciousness) tertentu. Selanjutnya, apa sumber
kesadaran ini? Tentu saja bukan makhluk-makhluk yang terdapat didalamnya. Tidak ada
sesuatu pun yang menjaga keserasian tatanan ini. Keberadaan dan keagungan Tuhan
terungkap dengan sendirinya melalui bukti-bukti yang tak terhitung di alam semesta.
Sebenarnya, tidak ada seorang pun di bumi ini yang tidak akan menerima kenyataan
bukti ini dalam hati sanubarinya. Sekalipun demikian, mereka sering mengingkarinya
“karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakininya”.

Materialisme itu Apa?


Materialisme ialah sistem pemikiran yang menganggap bahwa zat itu merupakan
suatu makhluk yang mutlak dan menolak segala keberadaan kecuali keberadaan zat.
Dengan berakar pada filsafat Yunani Kuno dan semakin diterimanya materialisme ini di
abad ke-19, sistem pemikiran ini menjadi terkenal dalam bentuk materialisme dialektis
Karl Marx. Pertanyaan tentang bagaimana alam semesta berasal, kemana bergeraknya,
dan bagaimana hukum-hukum alam mempertahankan keteraturan dan keseimbangan
selalu menjadi topik yang menarik. Para ilmuan dan pakar membahas subjek ini dengan
tiada henti dan telah menghasilkan beberapa teori.
Teori yang berlaku sampai abad ke-20 ialah bahwa alam semesta mempunyai
ukuran yang tidak terbatas, ada tanpa awal, dan terus ada selama-lamanya. Menurut
pandangan ini – yang disebut ‘model alam semesta statis’ – alam semesta tidak
mempunyai awal ataupun akhir. Dengan mengacu filsafat meteriali, pandangan ini
menolak adanya Pencipta sambil masih berpendapat bahwa alam semesta merupakan
sekumpulan zat yang konstan, stabil, dan tidak berubah.
Kita dapat menganggap filsafat sebagai suatu jalan yang membentang sepanjang
sejarah. Kita menemukan beragam jalan filsafat yang dapat membawa kita kepada
berbagai permasalahan. Tidak mudah menemukan batas-batas antarjalan filsafat itu
secara tegas, sebab setiap jalan memiliki ciri khas dan aneka ragam panorama yang
saling bertukar.
Kekhasan dan corak panorama filsafat akan terbukti ketika kita berani menjalani
salah satu dari berbagai jalan itu. Jalan filsafat yang bertautan dengan materi merupakan
jalan yang paling kentara, sebab di sekitar kita sebagian besar hal menampilkan diri
dalam sifat kematerialannya secara langsung yang dapat dilihat dan diraba. Jalan filsafat
materil merupakan jalan permenungan yang mengarah kepada hal-hal bendawi.
Alam pikiran Yunani yang paling tua sekalipun telah mengenal materi. Jika
Thales berbicara tentang air, Anaximander bicara tentang zat campuran asli sumber
segala sesuatu, Anaximenes bicara tentang udara, dan Heraklitos bicara tentang api
sebagai prinsip yang mengatur segala sesuatu. Disini materi memiliki ciri-ciri kemajuan
dan kemanusiaan bahkan ketuhanan. Oleh karena itu kita tidak hanya mengambil satu
pengertian dari sejarah filsafat, melainkan itu harus kita fahami dan keseluruhan
pertautan filosof tentang arti materi dari berbagai pandangan dunia dan pola
kebudayaan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering tercengang tatkala memperhatikan
bagaimana orang lain menilai sesuatu dengan suatu cara yang berlainan, yang sama
sekali baru bagi kita. Pengetahuan mengenai filsafat dapat memperkaya kita dengan
kekayaan batin yang melimpah. Filusuf/Yunani sering berbicara tentang materi mati
namun mengandung banyak arti, bahkan kadang-kadang arti yang bertalian dengan
materi itu. Dari udara mereka mengenal kembali nafasnya sendiri, dalam api mereka
menemukan kembali kecerahan kehidupan jiwa.
Pemikiran semacam ini bukan semata produk alam pikiran primitive. Di
kemudian hari juga timbul pertanyaan, “apakah didalam materi itu tidak terkandung pula
hal-hal lain selain anggapan ilmiah semata?” dengan kata lain, sebenarnya bukan filusuf
zaman dulu yang telah “iseng” menambah-nambahkan sesuatu kepada materi, tetapi
kitalah yang telah sengaja menanggalkan sesuatu yang materi. Pada zaman renaissance
muncul sederet pemikir, diantaranya Paraceltus dan Jakob Boehme yang banyak
berbicara tentang daya hidup unsur-unsur materi. Menurut mereka dunia dalam dan
dunia luar tidak bisa dipisahkan. Pada saat mereka mengatakan duka-nestapa yang
benar-benar pahit, geram yang merupakan hasrat dari amarah sebenarnya adalah api.
Juga dikemudian hari, di zaman Romantik pelukisan materi seperti itu tampil kembali.
Di alam pemikiran dewasa ini Gaston Bachelard menyebut – nyebut tentang
psikonalisa unsur – unsur. Dengan panjang lebar ia mengemukakan bahwa air, api tanah
dan udara merupakan unsur – unsur asli. Di alam dunia ini semua unsur tersebut tidak
hanya sekedar kebetulan saja bergandengan dengan perasaan – perasaan tertentu dalam
karya sastra. Dalam setiap unsur ada sesuatu yang seolah –olah mendorong penyair
untuk memproyeksikan ide –ide kesusastraan tersebut.
Apakah ini bukan sekedar proyeksi atau ungkapan belaka? Atau, tidaklah sang
pujangga itu sungguh – sungguh menemuakan sesuatu yang esensial dalam materi?
Bachelard menjawab ya untuk pertanyaan tersebut. Materi bukan seperti
anggapan manusia modern yang memandangnya semata sebagai benda yang tak
manusiawi akibat pengaruh dari aliran ilmu alam tertentu. Kita temukan suatu jalan
permenungan materi yang mampu menyingkap hubungan penuh rahasia antara zat dan
unsur – unsur asal. Suatu jalan yang bermula pada alam pikiran masa lalu dan yang
kemudian pada saat tertentu bisa ditemukan kembali.
Manusia modern lebih mengenal materi sebagai wujud , yang dapat dihadapi dan
diselidiki secara objektif. Materi tidak memiliki sifat kemanusiaan, karena sifat
manusiawi adalah milik manusia yang tersusun atas materi – materi. Bagian – bagian
materi memang memiliki sifat saling tarik menarik dengan dayanya, namun tidak dalam
arti manusiawi seperti halnya daya tarik dua orang pribadi yang saling mencintai,
ataupun daya tarik sebuah alam pikiran yang besar.
Dalam dirinya sendiri materi memang tidak memiliki hasrat ataupun nafsu.
Namun ia dapat memiliki sifat rasa asin, manis, pahit ataupun indah dan jelek. Akan
tetapi anggaran ini sudah tidak lagi cocok dengan uraian materi eksak. Garis pikiran ini
ditemukan sekitar tahun 3000 SM semasa Demokritus hidup. Demokritus mengajarkan
bahwa realitas selalu tersusun atas bagian – bagian terkecil, “atomoi”, yang pada
dirinya tidak memiliki sifat – sifat harum, berwarna, manis, pahit dan sebagainya. Sifat –
sifat tersebut muncul pada manusia sendiri, yaitu pada saat atomoi – atomoi itu
menyentuh indera manusia.
Dalam hal ini atomisme Demokritus sangatlah modern. Dunia terlepas dari
mansia. Realitas didefinisikan sekedar sebagai kumpulan dari bagian – bagian terkecil
yang tidak memiliki kualitas seperti warna dan wewangian yang menyebabkan
pengalaman – pengalaman manusia dan hanya dapat ditentukan secara kuantitatif
melalui bilangan jumlah dan “athesis”. Sejak Galileo, Kepler dan Newton, pelukisan
kuantitatif menyebabkan ilmu pengetahuan dapat maju dengan pesat.
Garis lain yang dapat ditarik dari pengertian materi adalah garis pandangan
materialistis. Garis ini pun bertolak dari Demokritus. Para penganutnya tidak hanya
memperhatikan hal – hal bendawi yang terdri atas bagian – bagian materi yang kecil,
melainkan juga memperhatikan manusia yang badani dan jiwani. Penganut – penganut
materlialisme kita ditemukan di sepanjang sejarah, seperti Hobbes, Lametrie, Moleschot.
Jiwa yang tidak berdzat mereka ingkari dan jika pun mau melihatnya ia hanya dilihat
sebagai produk dari molekul – molekul otak, misalnya. Materialisme dialektik dari
Marx, Engels dan Lenin menganggap ruhani dan kesadaran sebagai suatu bentuk materi
tertentu.
Bertentangan dengan pandangan materialisme filusuf Yunani awal dan
atomisme, sepanjang sejarah berfikir telah muncul pula suatu visi baru yang tampil
dalam karya Plato, materi murni itu tidak berwarna, tidak bersuara, tidak berbentuk dan
tidak memiliki ukuran besar. Materi murni sulit dikatakan disini. Plato menganggap
materi murni sebagai ketiadaan. Ia tiak mengingkari adanya materi itu, tetapi materi itu
dianggapnya terbatas dan selalu diselubungi bentuk. Materi dari sekitar benda – benda
kita ada sebatas kita mengenalinya, dan dengan demikian kita selalu mengambil bagian
dalam bagian sebuah benda. Materi pada dirinya sendiri tidak berketentuan. Dalam
pengertian ini materi adalah kekosongan yang tak menentu, sebuah ketiadaan. Begitu
kata Plato.
Aristoteles mengemukakan pengertian materi yang searah. Bagi Aristoteles
materi tanpa bentuk nyata – nyata tidak bisa dipikirkan, karena itu kita tidak dapat
berkata apa – apa tentangnya. Karena itu apa yang disebut “Materi Pertama” bukanlah
keberadan yang dapat dinyatakan sepenuhnya, ia hanya satu kemungkinan dari sekian
banyak keberadaan. Segala materi telah berbentuk didalam dunia. Memang kita dapat
mengatakan bahwa sebongkah marmer belumlah “memiliki bentuk” jika dibandingkan
dengan patung yang sudah jadi. Akan tetapi jika ditinjau dari kumpulan marmer itu
sendiri, tanpa diperbandingkan dengan patung yang sudah jadi atau dengan bentuk
manapun, maka gumpalan marmer yang kasar itupun sesungguhnya telah berbentuk:
bukankan ia telah memiliki wujud, garis – garis kasar, ukuran berat dan sebagainya?
Materi yang sama sekali tidaka tau belum memiliki bentuk hanyalah merupakan satu
kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan; sedangkan gumpalan marmer itu,
dibanding dengan pernyataan diri atau “enthelecie” dari patung memang baru
merupakan kemungkinan, akan tetapi dalam dirinya sendiri ia telah menjadi sesuatu
yang nyata – nyata ada. Demikianlah Aristoteles menunjukan adanya suatu skala bentuk
yang setiap kali membekas pada suatu materi tertentu, juga pada materi yang memiliki
derajat rencana yang paling rendah. Batas terendah terdapat pada apa yang disebut
“materi pertama” itu.
Pemikiran tentang materi di dalam alam pikiran modern terbagi jadi dua arah;
pertama mazhab marburg, suatu aliran Neo Kantian yang membahas ketiadaan materi.
Filsuf- fisuf seperti Cohen dan Natorp mengatakan bahwa pengetahuan ilmiah seolah
telah melarutkan sebuah benda materil. Sebuah benda selalu dijabarkan menjadi
serangkaian bagian-bagian yang sangat kecil, mula-mula molekul kemudian atom, dan
bagian-bagian ini ternyata masih dapat diuraikan lebih lanjut kedalam bidang- bidang
dan daya-daya yang rumusan secara matematis. Akhirnya karya ilmiah itu hanyalah
tinggal rumus- rumusnya saja. Bagi ahli-ahli fikir seperti mereka benda merupakan
sesuatu yang terus menerus mengelak
Kelanjutan dari alam pikiran tentang tak tertangkapnya materi itu kita temukan
pula didalam ilmu alam dewasa. Dalam ilmu alam materi benar- benar data dilarutkan
kedalam rumus-rumus matematis yang menunjukkan kecepatan gerak, struktur riak
gelombang, kekuatan dari bidang tenaga, dan sebagainya.
Pernyataan tentang materi itu sendiri, misalnya, apakah materi itu terdiri atas
bagian- bagian kecil ataukah seluruhya merupakan energi? Sulit menjawabnya. Ilmu
alam modern sangat kesulitan membahas filsafat atau metafisika. Ia lebih suka
menguraikan gejala- gejala dan menyusun model- model untuk mejelaskannya. Dengan
membatasi diri pada model-model itu, secara positip timbul pertanyaan tentang apakah
materi itu sendiri- diluar rumus- rumus matematis- adalah sebuah teori dan memiliki
kemungkinan untuk dikenal? Dalam ilmu pengetahuan alam pertanyaan itu sebenarnya
tak berharga. Selain terdapat persamaan pandangan dengan Plato, ditemukan pula
perbedaan bawa didalam bahasan ilmu alam tidak disajikan suatu filsafat, karena itu
tiada gunanya menyebut materi dengan suatu ketiadaan.
Masih ada suatu pandangan lain tentang materi. Pandangan ini didapatkan dari
Ilmu biologi. Pada dasarnya pandangan ini pernah dibahas oleh Aristoteles. Dalam
sistematika pemikirannya biologi atau dunia organis menjadi fokus perhatian. Materi
disini tidak hanya terbentuk dari luar melainkan inheren ada didalam materi. Dalam
alam pikiran Aristoteles, keseluruhan kenyataan merupakan suatu organ yang hidup,
penuh gerak dan terarah kepada suatu tujuan.
Materialisme mencoba menguraikan materi sebagai suatu maujud objektif. Untuk
mendukung hal ini ia menunjuk kepada berbagai segi ilmu alam. Ilmu pengetahuan alam
terus meneliti lebih dalam lagi, setelah filsafat alam abad pertengahan yang dipengaruhi
Aristoteles dapat diterobos. Materi itu sendiri selalu terkait dengan tenaga-tenaga yang
timbul secara mekanis dan dengan satuan-satuan kuantitas yang menentukan tempat dan
gerak materi. Dalam pada itu ilmu alam modern – dengan cara penelitiannya itu – tidak
suka menyajikan suatu filsafat atau suatu pandangan dunia. Ia lebih suka membatasi diri,
dalam arti yang positif ilmiah hanya sampai menerangkan, melukiskan, menunjukkan
relasi-relasi dan meramalkan kejadian-kejadian.
Materialisme lebih dari sekedar ilmu. Ia merupakan suatu cara untuk
menjelaskan kejadian-kejadian di dunia ini. Apabila kita berbicara tentang materi seperti
kita berbicara tentang bahan asal benda-benda disekitar kita, maka lagi-lagi kita harus
melampaui batas-batas tertentu manakala kita menjadikannya sebagai suatu pandangan
hidup. Materialisme memandang seluruh kenyataan, juga manusia secara menyeluruh,
sebagai suatu kebendaan yang bisa kita hadapi secara objektif.
Sejarah materialisme menunjukkan bahwa adalah tidak mungkin memisahkan
materi, mengasingkannya dari dalam dirinya sendiri. Maka kita tidak dapat menyusun
suatu pandangan dunia yang bertopang hanya pada pengertian materi, sebab materi
sendiri merupakan resultan dari suatu isolasi dan pertautan sehari-hari atau pertautan
secara ilmiah yang lebih luas. Materi tidak ada pada dirinya sendiri. Hal ini telah
terbukti sejak filsuf-filsuf awal yang tampak dengan sendirinya dari pandangan dunia
yang mereka anut. Akan tetapi materialisme sendiri menunjuk kearah itu. Atomisme
Demokritos memberikan hasil praktis dan sekaligus memberikan suatu ajaran moral
yang tinggi. Di ujung jalan sejarah lain terdapat ajaran materialisme dialektis dari Engels
dan Lenin yang juga diarahkan kepada praktik. Disinipun materi justru dilihat secara
dialektis artinya diuraikan dalam peralihan-peralihan yang dinamis, oleh karena materi
ini tidak mungkin dilihat secara terpisah, melainkan selalu harus bersangkutan dengan
wilayah kemanusiaan menuju kepada kemajuan dan pembaruan sosial.

Anda mungkin juga menyukai