Anda di halaman 1dari 4

REKAPAN DIALOG “MENGINGAT SEJAK

SEJARAH” YANG DITAYANGKAN DI TVRI

Anggota Kelompok:
Abdul Aziz
Fariz Fadhillah Aurel Winata

Kelas XII MIPA 3


Mengingat Jejak Sejarah
Narasumber:

• Nani Indra Ratnawati Nurrachman Sutojo (Putri dari Pahlawan Revolusi)


• Bondan Kanumoyoso
• Prof. Asvi Warman Adam (Sejarawan)
• Usman Hamid

Apa yang terjadi pada 30 September 1965?


Menurut Sejarawan (Bondan Kanumoyoso) bahwa kita memperingati hari tragis G30S/PKI
pada 30 September, padahal peristiwa yang tragis itu terjadi pada 1 Oktober tepatnya terjadi
pada pagi hari jadinya memperingati pada 30 September itu kurang tepat karena pada saat itu
belum terjadi apa-apa.
Menurut pengalaman Nani Indra Ratnawati Nurrachman Sutojo selaku puteri dari Pahlawan Revolusi
bahwa pada 30 September adalah sejarah yang subjektif dan tentu saja terkait dengan pengalaman yang
menyedihkan, dimana pada 30 September atau 1 Oktober banyaknya korban yang menderita/tidak
sampai mengalami keadilan dan itu adalah konsukuensi yang harus ditanggung dalam suatu bangsa
sehingga dalam hal ini jika berkata mengenai pengalaman diri sendiri maka sifatnya subjektif.

Menurut Asvi Warman Adam selaku Sejarawan bahwa dia setuju kepada bu Nani Indra
Ratnawati yang berpendapat bahwa penilaian G30S/PKI bersifat subjektif. Contoh pada 7
korban pada peristiwa 65 yaitu korban yang pertama ialah 6 orang jendral, 1 orang perwira
muda, 1 orang polisi, dan 2 orang perwira menengah (dimana semuanya (10 orang) menjadi
Pahlawan Revolusi G30S/PKI), korban yang kedua adalah 500 ribu orang yang terbunuh
sesudah peristiwa 65, korban yang ketiga ialah orang-orang Indonesia yang berada di luar
negeri saat itu (dimana mereka yang dicabut kewarganegaraannya), korban keempat ialah
Presiden Soekarno karena soekarno secara perlahan hilang akan kekuasaannya, korban kelima
ialah etnis Tionghoa karena peristiwa 65 pemerintah Indonesia menuduh RRC terlibat pada
G30S/PKI karena itu etnis Tionghoa harus membuktikan kesetiaannya pada Indonesia dimana
mereka harus mengganti nama/identitas untuk negara Indonesia, korban keenam yaitu mereka
yang dibuang ke Pulau Buru yang jumlahnya 11 ribu orang dalam waktu yang sangat jelas (10
tahun) dan tempat yang sangat jelas juga (Pulau Buru) dimana mereka juga dikerjakan secara
paksa bahkan dipindahkan tanpa jalur pengadilan, korban ketujuh tentu keluarga dari korban
itu sendiri yang mendapat stigma buruk dimana mereka tidak boleh menjadi pegawai negeri,
menjadi ABRI, dan seterusnya. Sebagai tambahan menurut Asvi Warman Adam kita dapat
memilah satu persatu persoalannya, sebagai contoh melalui hukum yaitu salah satunya yang
terjadi pada para Jendral dan Perwira itu sudah diselesaikan secara hukum (atau bisa dibilang
mereka sudah diadili). Tapi beberapa permasalahan yang lain juga dapat dipilah sebagai contoh
yang terlepas kewarganegaraanya, seharusnya pemerintah minta maaf kepada mereka karena
menurut Asvi yang terlepas kewarganegaraannya tidak bersalah apa-apa dan mereka yang
dibuang ke Pulau Buru selama 10 tahun tanpa proses pengadilan dan disana bekerja paksa
membangun lahan pertanian dimana mereka seharusnya direhabilitasi.
Menurut Usman Hamid, ia menyatakan pendapat yang selurus dengan pendapat Bondan
Kanumoyoso selaku Sejarawan bahwa film yang menceritakan G30S/PKI harus ada revisi agar
lebih kompherensif dengan alasan bahwa sejarah di Indonesia sejak 65 terutama tentang
G30S/PKI mengandung sejarah yang diseragamkan yang dibuat semenarik mungkin hanya
satu versi dan ada juga versi yang lain (sekiranya Usman Hamid menemukan 8 versi) seperti
bahwa kudeta tersebut justru dilakukan oleh faksi Angkatan Darat terhadap kepemimpinan
Soekarno, di dalam Angkatan Darat juga terdapat saksi yang berbeda dan seterusnya. Tetapi
walaupun banyak versi yang beredar dengan didekati berbagai versi kebenaran tapi yang paling
terpenting untuk disorot ialah keadilan untuk mereka yang menjadi korban kekerasan politik
negara. Usman Hamid sendiri menambahkan apa yang dikatakan Sejarawan Asvi Warman
Adam megenai kategori korban pada G30S/PKI, dimana Usman Hamid merasa korban
kedelapan ialah para menteri kabinet dwikora yang ditangkap pada hari-hari itu dan yang kedua
ialah mereka yang terkena dampak negatif karena keputusan Presiden Nomor 28 dan 75 tentang
perlakuan pada golongan C dan mereka yang dianggap terlibat di dalam peristiwa 65 yaitu
peristiwa pengkhianatan pemberontakan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia dan
atau para pengikutnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia pada 30 September 1965
walaupun definisi tersebut mendapatkan banyak bantahan dari para sarjana. Walaupun begitu
lagi-lagi ada hal terpenting yang harus disorot yaitu mengenai hak-hak keperdataan mereka
yang hilang karena Keppres tersebut. Kesimpulannya ada 2 hal yang disorot oleh Usman
Hamid yaitu yang pertama ialah mengenai pentingnya memahami sejarah yang jujur dan yang
kedua untuk mereka yang mengalami ketidakadilan misalnya ayahnya dibunuh atau misalnya
golongan kedua yang berjumlah 500 ribu orang bahkan bisa sampai 3 juta orang.
Menurut Usman Hamid mengenai isu-isu bangkitnya Komunisme pada era sekarang serta
hilangnya diorama pada museum Gedung Kostrad (dimana ini bagian dari sejarah). Yaitu
menurut Usman Hamid memang wajar bahwa pada momen-momen politik elektoral biasanya
ada pertarungan politik dalam pemilu atau di dalam satu situasi politik dimana sekelompok
orang berseberangan dengan orang yang lainnya menggunakan isu PKI untuk menyerang
lawannya karena memang orang yang menyerang ini masih percaya bahwa kebencian terhadap
PKI masih tinggi dimana memang kebencian ini masih di doktrinasi oleh sistem pendidikan
sejarah di Indonesia dan berbagai sistem pemerintahan di masa lalu. Lalu mengenai hilangnya
diorama tentu panglima Kostrad yang paling mengerti dan beliau sudah memverifikasi bahwa
itu tidak ada hubungannya dengan isu isu politik. Sebagai tambahan Usman Hamid ingin
masyrakat kita dapat membicarakan hal seperti ini dan tidak merasa bahwa hal ini (masa lalu)
ialah hal yang tabu untuk didiskusikan.

Mencari Kebenaran dalam Sejarah


Menurut Prof. Asvi Warman Adam, ia setuju mengenai pandangan Soekarno dalam pidato
nawaksaranya. “Jika kita menelaah peristiwa G30S/PKI dimana itu ialah pertemuan dari 3 hal,
yaitu pertama keblingernya pimpinan PKI, yang kedua adanya subversi nekolim jadi adanya
peran dari pihak asing (lebih tepatnya seperti negara asing atau seperti CIA), yang ketiga ada
oknum yang tidak bertanggung jawab walaupun Soekarno tidak secara konkrit menyebut
oknum yang tidak jelas itu siapa” Ujarnya. Asvi Warman Adam sendiri percaya oknum yang
tidak jelas itu tidak berjumlah tunggal dan kedua dalangnya ada unsur dalam negeri serta unsur
dari luar negeri.
Menurut pengalaman Nani Indra Ratnawati, traumatik dari pengalaman itu tersimpan pada
ingatannya, walaupun pengalaman itu tidak seperti rekaman melainkan seperti potret fotografi.
Trauma itu dapat muncul lagi dalam berbagai bentuk ketika yang bersangkutan dihadapkan
oleh situasi yang serupa yang dialami ketika itu, sehingga penyelesaiannya ialah
menghadapinya. Cara menghadapinya ada berbagai hal, seperti pada buku Kunang-Kunang di
Langit Malam yang ditulis oleh putra-putri keluarga pahlawan revolusi, itu juga termasuk terapi
karena menceritakan apa yang terjadi dirumah masing-masing pada 1 Oktober 1965 di dini
hari. Menurut Nani Indra Ratnawati kita disini tidak membicarakan benar/tidak tetapi mengenai
dialami atau dirasakan. Perjalanan trauma itu dapat berubah ketika pada hal ini kita menjumpai
sesuatu peristiwa yang menghentak kesadaran kita seperti tertulis pada buku Nani Indra
Ratnawati Kenangan yang Tak Terucap - saya, ayah, dan tragedi 65. Kesadaran itu sadar pada
diri Nani Indra Ratnawati ketika dia dan anaknya yang baru berusia 8 tahun menonton film
G30S/PKI dan ketika film itu menayangkan jenazah-jenazah para pahlawan revolusi ia melihat
bahwa sebenarnya film tersebut bukan untuk anak-anak. Peristiwa yang kedua yang dirasakan
Nani Indra Ratnawati ialah ketika ia berada di New York dan kebetulan tetangga disebelahnya
ialah korban dari Holocaust, tetangganya ialah seorang perempuan tua yang masih menyisakan
ekspresi kecantikannya sebagai perempuan (karena beliau ialah penyanyi), pada suatu ketika
tetangganya mengajak Nani Indra Ratnawati untuk minum teh sore dan secara tidak langsung
Nani Indra Ratnawati melihat tato angka di lengannya, tetangganya itu tahu Nani Indra
Ratnawati melihatnya dan menyuruhnya untuk memegang lengannya. Peristiwa ketiga yaitu
pada 2003 Persatuan Pelajar Indonesia mengadakan acara sarasehan mengenai 1965 dan
mereka mengundang Nani Indra Ratnawati serta mengundang para eksil yang ada di luar
negeri, disitu Nani Indra Ratnawati merasa perlu untuk mendatangi pertemuan tersebut karena itu
adalah kewajiban dia sebagai dosen, tetapi karena hal tersebut Nani Indra Ratnawati sadar bahwa
dirinya harus segera berdamai dengan dirinya sendiri.

Rekonsiliasi Bagi Penyitas 65


Menurut Asvi Warman Adam. Prof. Asvi Warman Adam sendiri sudah banyak melihat buku
tentang 65 selama 20 tahun ini, pertama buku-buku itu diterjemahkan kepada Bahasa indoensia
dan selanjutnya di dalam kurikulum sejarah Indonesia diajarkan mengenai peristiwa yang pahit
itu tidak dalam versi pada orde baru, kita harus berpikir bagaimana cara mengajarkan peristiwa
yang sangat dahsyat yang memakan korban sangat banyak yang menyimpulkan perubahan
yang sangat besar bagi Indonesia dan itu tidak boleh lagi ditutup-tutupi. Harapan Prof Asvi
Warman Adam sendiri ialah berubahnya pengajaran sejarah pada kurikulum di Indonesia dan
dapat menyampaikan peristiwa yang merubah wajah Indonesia bisa dipahami oleh generasi
muda sebaik-baiknya tanpa ada perasaan dendam dan semacamnya tetapi lebih mengerti
persoalan yang terjadi pada masa lampau itu.
Menurut Nani Indra Ratnawati. Ia ingin berhentinya membuat sejarah kekerasan dan dalam hal
ini kalo kita memang mengakui bahwa kita negara konstitusi maka pertama-tama adalah
adanya keadaban publik.

Anda mungkin juga menyukai