PKN (6 Oktober 2021)
PKN (6 Oktober 2021)
Anggota Kelompok:
Abdul Aziz
Fariz Fadhillah Aurel Winata
Menurut Asvi Warman Adam selaku Sejarawan bahwa dia setuju kepada bu Nani Indra
Ratnawati yang berpendapat bahwa penilaian G30S/PKI bersifat subjektif. Contoh pada 7
korban pada peristiwa 65 yaitu korban yang pertama ialah 6 orang jendral, 1 orang perwira
muda, 1 orang polisi, dan 2 orang perwira menengah (dimana semuanya (10 orang) menjadi
Pahlawan Revolusi G30S/PKI), korban yang kedua adalah 500 ribu orang yang terbunuh
sesudah peristiwa 65, korban yang ketiga ialah orang-orang Indonesia yang berada di luar
negeri saat itu (dimana mereka yang dicabut kewarganegaraannya), korban keempat ialah
Presiden Soekarno karena soekarno secara perlahan hilang akan kekuasaannya, korban kelima
ialah etnis Tionghoa karena peristiwa 65 pemerintah Indonesia menuduh RRC terlibat pada
G30S/PKI karena itu etnis Tionghoa harus membuktikan kesetiaannya pada Indonesia dimana
mereka harus mengganti nama/identitas untuk negara Indonesia, korban keenam yaitu mereka
yang dibuang ke Pulau Buru yang jumlahnya 11 ribu orang dalam waktu yang sangat jelas (10
tahun) dan tempat yang sangat jelas juga (Pulau Buru) dimana mereka juga dikerjakan secara
paksa bahkan dipindahkan tanpa jalur pengadilan, korban ketujuh tentu keluarga dari korban
itu sendiri yang mendapat stigma buruk dimana mereka tidak boleh menjadi pegawai negeri,
menjadi ABRI, dan seterusnya. Sebagai tambahan menurut Asvi Warman Adam kita dapat
memilah satu persatu persoalannya, sebagai contoh melalui hukum yaitu salah satunya yang
terjadi pada para Jendral dan Perwira itu sudah diselesaikan secara hukum (atau bisa dibilang
mereka sudah diadili). Tapi beberapa permasalahan yang lain juga dapat dipilah sebagai contoh
yang terlepas kewarganegaraanya, seharusnya pemerintah minta maaf kepada mereka karena
menurut Asvi yang terlepas kewarganegaraannya tidak bersalah apa-apa dan mereka yang
dibuang ke Pulau Buru selama 10 tahun tanpa proses pengadilan dan disana bekerja paksa
membangun lahan pertanian dimana mereka seharusnya direhabilitasi.
Menurut Usman Hamid, ia menyatakan pendapat yang selurus dengan pendapat Bondan
Kanumoyoso selaku Sejarawan bahwa film yang menceritakan G30S/PKI harus ada revisi agar
lebih kompherensif dengan alasan bahwa sejarah di Indonesia sejak 65 terutama tentang
G30S/PKI mengandung sejarah yang diseragamkan yang dibuat semenarik mungkin hanya
satu versi dan ada juga versi yang lain (sekiranya Usman Hamid menemukan 8 versi) seperti
bahwa kudeta tersebut justru dilakukan oleh faksi Angkatan Darat terhadap kepemimpinan
Soekarno, di dalam Angkatan Darat juga terdapat saksi yang berbeda dan seterusnya. Tetapi
walaupun banyak versi yang beredar dengan didekati berbagai versi kebenaran tapi yang paling
terpenting untuk disorot ialah keadilan untuk mereka yang menjadi korban kekerasan politik
negara. Usman Hamid sendiri menambahkan apa yang dikatakan Sejarawan Asvi Warman
Adam megenai kategori korban pada G30S/PKI, dimana Usman Hamid merasa korban
kedelapan ialah para menteri kabinet dwikora yang ditangkap pada hari-hari itu dan yang kedua
ialah mereka yang terkena dampak negatif karena keputusan Presiden Nomor 28 dan 75 tentang
perlakuan pada golongan C dan mereka yang dianggap terlibat di dalam peristiwa 65 yaitu
peristiwa pengkhianatan pemberontakan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia dan
atau para pengikutnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia pada 30 September 1965
walaupun definisi tersebut mendapatkan banyak bantahan dari para sarjana. Walaupun begitu
lagi-lagi ada hal terpenting yang harus disorot yaitu mengenai hak-hak keperdataan mereka
yang hilang karena Keppres tersebut. Kesimpulannya ada 2 hal yang disorot oleh Usman
Hamid yaitu yang pertama ialah mengenai pentingnya memahami sejarah yang jujur dan yang
kedua untuk mereka yang mengalami ketidakadilan misalnya ayahnya dibunuh atau misalnya
golongan kedua yang berjumlah 500 ribu orang bahkan bisa sampai 3 juta orang.
Menurut Usman Hamid mengenai isu-isu bangkitnya Komunisme pada era sekarang serta
hilangnya diorama pada museum Gedung Kostrad (dimana ini bagian dari sejarah). Yaitu
menurut Usman Hamid memang wajar bahwa pada momen-momen politik elektoral biasanya
ada pertarungan politik dalam pemilu atau di dalam satu situasi politik dimana sekelompok
orang berseberangan dengan orang yang lainnya menggunakan isu PKI untuk menyerang
lawannya karena memang orang yang menyerang ini masih percaya bahwa kebencian terhadap
PKI masih tinggi dimana memang kebencian ini masih di doktrinasi oleh sistem pendidikan
sejarah di Indonesia dan berbagai sistem pemerintahan di masa lalu. Lalu mengenai hilangnya
diorama tentu panglima Kostrad yang paling mengerti dan beliau sudah memverifikasi bahwa
itu tidak ada hubungannya dengan isu isu politik. Sebagai tambahan Usman Hamid ingin
masyrakat kita dapat membicarakan hal seperti ini dan tidak merasa bahwa hal ini (masa lalu)
ialah hal yang tabu untuk didiskusikan.