Anda di halaman 1dari 19

Tugas Kelompok Dosen Pengampu

Konseling Trauma M. Hafiz , M.Pd

“UPAYA KONSELOR DALAM MENGATASI TRAUMA DI


KALANGAN MAHASISWA”

Oleh :
Kelompok 6

Anisa Putri : 11940221777


Fahmi Khairi : 11940210325

PRODI BIMBINGAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2021 M / 1442 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah Konseling Traumatik dengan judul “Upaya
Konselor Dalam Mengatasi Trauma di Kalangan Mahasiswa” ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah ikut berkontribusi dan berpartisipasi dalam proses pembuatan
makalah ini.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para penulis dan pembaca, dan untuk kedepannya dapat
menjadikan makalah ini sebagai patokan untuk memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, penulis sadar bahwa
makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis demi
kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 10 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Tujuan Konseling Traumatik .................................... 3
1. Pengertian Konseling Traumatik.................................................. 3
2. Tujuan Konseling Traumatik........................................................ 5
B. Mengidentifikasi Kondisi Traumatik (Pemanfaatan Berbagai
Instrumen) .......................................................................................... 5
C. Upaya Konselor Dalam Mengatasi Trauma di Kalangan
Mahasiswa.......................................................................................... 7
1. Rasional........................................................................................ 7
2. Upaya Konselor Untuk Mengatasi Traumatik di Kalangan
Mahasiswa.................................................................................... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 16
B. Saran................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk hidup yang hidup didunia ini tidak pernah terlepas
dari masalah dan kejadian-kejadian berat yang kadangkala tidak sanggup mereka
hadapi. Kejadian yang dialami oleh individu tersebut dapat menimbulkan rasa
takut yang berlebihan dan dapat mengancam kehidupan yang disebut trauma.
Trauma adalah keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat
dari tekanan jiwa atau cedera jasmaniah sehingga meninggalkan kesan yang
mendalam pada jiwa seseorang. Trauma yang dialami oleh individu harus segera
diatasi agar tidak menimbulkan masalah yang lebih besar nantinya, seorang
konselor sangat berperan dalam memberikan layanan kepada individu yang
mengalami trauma yang disebut juga dengan konseling traumatik.
Seperti kita ketahui bahwa konseling merupakan salah satu bentuk
hubungan yang bersipat membantu, makna bantuan itu sendiri, yaitu sebagai
upaya untuk membantu orang lain agar mampu tumbuh kearah yang dipilihnya
sendiri, mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan mampu
menghadapi krisis-krisis yang dialami dalam kehidupannya. Tugas konselor
adalah menciptakan kondisi-kondisi fasilitatif yang diperlukan bagi pertumbuhan
dan perkembangan klien. Sementara itu, tujuan konseling mengadakan perubaha
nperilaku pada klien sehingga memungkinkan hidupnya lebih produktif dan
memuaskan.
Konseling traumatik adalah upaya klien dapat memahami diri sehubungan
dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik
mungkin. Setiap mahasiswa yang masuk ke Perguruan Tinggi untuk melanjutkan
tingkat pendidikannya pasti membawa harapan untuk dirinya dan juga keluarganya
untuk keadaan yang lebih baik. Ketika memasuki jenjang perkuliahan, itu adalah

1
suatu proses yang dapat menentukan keadaanya di kehidupan selanjutnya.
Akan

2
3

tetapi, trauma yang dihadapi oleh beberapa mahasiswa tentu akan sangat
menggangu harapan mereka tersebut. Maka di sini lah perlunya bimbingan
konseling traumatik agar para mahasiswa tetap dapat melanutkan mimpi dan
harapan mereka.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan tujuan konseling traumatik?
2. Bagaimana cara mengidentifikasi kondisi traumatik dengan memanfaatkan
berbagai instrument?
3. Bagaimana upaya konselor dalam mengatasi trauma di kalangan mahasiswa?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan tujuan konseling traumatik
2. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi kondisi traumatik dengan
memanfaatkan berbagai instrument
3. Untuk mengetahui upaya konselor dalam mengatasi trauma di kalangan
mahasiswa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Tujuan Konsenling Traumatik
1. Pengertian Konseling Traumatik
Sepanjang sejarah kehidupan umat manusia dipermukaan bumi ini,
seiring itu pula keberagaman persoalan muncul silih berganti seolah tidak
pernah habis-habisnya, seperti konflik, kekerasan, dan pertumpahan darah.
Belum lagi problematika alamiah seperti bencana alam; gempa bumi, tsunami,
meletus gunung api, tanah longsor, banjir, dan badai topan. Keberagaman
peristiwa dan pengalaman yang menakutkan tersebut, selain telah memporak-
porandakan kondisi fisik lingkungan hidup, juga merusak ketahanan fungsi
mental manusia yang mengalaminya, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam waktu yang singkat dan jangka panjang. Gambaran peristiwa
dan pengalaman yang demikian dinamakan dengan trauma.1
Dalam pengertiannya konseling merupakan salah satu bentuk hubungan
yang bersifat membantu, makna bantuan itu sendiri yaitu sebagai upaya untuk
membantu orang lain agar mencapai kemandirian, mampu menyelesaikan
masalah yang dihadapinya dan mampu menghadapi krisis-krisis yang dialami
dalam kehidupannya. Tugas konselor adalah menciptakan kondisi-kondisi
fasilitatif yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan klien.
Sementara itu, tujuan konseling mengadakan perubahan perilaku pada klien
sehingga memungkinkan hidupnya lebih produktif dan menjadi normal
kembali. Konseling merupakan bantuan yang bersifat teraupeutis yang
diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku konseli dilaksanakan face to face
antara konseli dan konselor melalui teknik wawancara dengan terentaskan
permasalahan yang dialaminya.

1
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan,
(Bandung: Refika Aditama, 2006), 7

4
5

Trauma berasal dari bahasa Yunani “tramatos” yang artinya luka. Dalam
kamus konseling traumatik adalah pengalaman dengan tiba-tiba mengejutkan
yang meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa seseorang sehingga dapat
merusak fisik maupun psikologis.2 Konseling traumatik adalah upaya konselor
untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui proses hubungan
pribadi sehingga klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah
trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin.3
Konseling traumatik ini berbeda dengan konseling biasa. Perbedaan itu
terletak pada waktu, fokus, aktivitas dan tujuan. Dilihat dari segi waktu,
konseling traumatic pada umumnya memerlukan waktu lebih pendek
dibandingkan dengan konseling biasa. Konseling traumatik memerlukan waktu
satu hingga enam sesi. Sedangkan konseling biasa memerlukan waktu satu
hingga dua puluh sesi. Dilihat dari fokus, konseling traumatik lebih
memerhatikan pada satu masalah, yaitu trauma yang terjadi dan dirasakan.
Sedangkan konseling biasa pada umumnya suka menghubungkan satu masalah
lainnya.
Dilihat dari aktivitas, konseling traumatik lebih melibatkan banyak orang
dalam membantu klien dari yang lebih banyak aktif adalah konselor. Konselor
berusaha untuk mengarahkan, mensugesti, memberi saran, mencari dukungan
dari keluarga dan teman klien, menghubungi orang yang lebih ahli untuk
menanganinya, menghubungkan klien dengan ahli lain, melibatkan orang/agen
berbagai perubahan lingkungan untuk kesembuhan klien.
Konseling traumatik juga merupakan kebutuhan mendesak untuk
membantu para korban mengatasi beban psikologis yang diderita akibat
bencana gempa dan Tsunami. Guncangan psikologis yang dahsyat akibat
kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan sanak keluarga, dan
2
Muhammad Putra Dinata Saragih, Konseling Traumatik, (Jurnal Bimbingan dan
Konseling, Vol. 4 No. 4 Tahun 2017), 93
3
Sutima, Bimbingan dan Konseling Pendidikan Formal, Non formal dan Informal,
(Yogyakarta: CV Andi Offset, 2013), 142
6

kehilangan pekerjaan, bisa memengaruhi kestabilan emosi para korban gempa.


Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah dalam menghadapi petaka,
bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan berujung pada stres berat
yang sewaktu waktu bisa menjadikan mereka lupa ingatan atau gila.
Konseling traumatik dapat membantu para korban bencana menata
kestabilan emosinya sehingga mereka bisa menerima kenyataan hidup
sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit. Konseling traumatik
juga sangat bermanfaat untuk membantu para korban untuk lebih mampu
mengelola emosinya secara benar dan berpikir realistik.
2. Tujuan Konseling Traumatik
Dilihat dari tujuan, konseling traumatik lebih menekankan pada
pilihannya kembali klien pada keadaan sebelum trauma dan mampu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Secara spesifik, Muro dan
Kotman menyebutkan bahwa tujuan konseling traumatik adalah:4
a. Berfikir realistis adalah trauma bagian dari kehidupan.
b. Memproleh pemahaman tentang peristiwa dan situasi yang menimbulkan
trauma.
c. Memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma.
d. Belajar keterampilan baru untuk mengatasi trauma.

B. Mengidentifikasi Kondisi Traumatik (Pemanfaatan Berbagai Instrumen)


Dalam menangani gejala trauma harus dihadapi dengan bijak dan harus
dilakukan oleh para ahli maupun masyarakat sekitar. Oleh karena itu dengan
mengetahui gejala awal dari pengalaman peristiwa trauma tersebut, sehingga akan
memberikan kemudahan dalam pemberian bantuan atau konseling dengan baik.
Dalam melaksanakan konseling seperti ini dengan adanya konsep awal yang
akan menjadi data yang paling penting dipahami sebagai konselor sehingga

4
Ibid, 143
7

mampu tergambar dari segi sifat maupun jenis trauma tersebut, seperti adanya
trauma ringan, trauma sedang dan trauma berat. Untuk menanggulangi trauma
tersebut perlu untuk dideteksi sejauh mana trauma ini akan berkembang, sehingga
jika trauma itu terjadi pada jangka panjang maka itu berasal dari akumulasi
pengalaman atau peristiwa yang buruk. Dan akan menjadi beban yang sangat berat
serta adanya kesukaran dalam proses penyesuaian individu serta menghambat
proses pengembangan suatu emosi maupun sosialnya.
Jadi mengidentifikasi kondisi traumatik dengan pemanfaatan berbagai
instrument dilakukan pertama sekali dengan cara assesmen kondisi awal klien,
yaitu upaya untuk mendeteksi melalui observasi, pemahaman serta analisis
terhadap masalah yang dialami. Maka konselor dapat bertanya pada klien
bagaimana awal terjadinya sehingga seseorang mengalami trauma.
Cara awal yang harus diperhatikan dalam mendiangnosis upaya dapat
menangani terapi selanjutnya yaitu; pertama melakukan planning, kedua action
atau perbuatannya sehingga masalah yang akan dianalisis dapat dikaji dengan
sistematika sistematis. Ketiga yaitu berupa kontrol yang dapat memungkinkan
konselor dengan mengubah cara yang lain intinya yang sesuai dengan masalah
tersebut, keempat yaitu evaluasi untuk melihat prosesnya sejauh mana
perkembangannya.
Secara umum dan keseluruhan dalam melaksanakan proses assesmen awal
kondisi klien sangat penting untuk dilaksanakan yang berguna untuk menentukan
Langkah atau cara yang akan diambil dengan tepat penanganan trauma klien.
Assesmen awal dapat dilakukan dengan berbagai bentuk strategi atau metode baik
itu berupa interview singkat maupun observasi dilihat dari bobot masalahnya.
Apakah klien datang karena berasal dari kesadaran pribadi atau disuruh pihak lain.
Setelah melakukan sebuah assesmen awal pastinya akan mendapatkan hasil
ke tahap selanjutnya untuk mengeksplorasikan masalah serta cara penanganannya
dan mengetahui bagaimana tingkatan trauma menurut klien dengan bantuan
konseling itu baik secara individu maupun kelompok. Sebelum ketahap ini maka
8

sebelumnya konselor terlebih dahulu mengetahui dan memahami serta mempunyai


basic skill yang di dalamnya terdapat knowledge yaitu sejauh mana masing-
masing kemampuan diri dalam menangani suatu kasus trauma, baik skill yaitu
berupa keahlian dalam bertanya, dimulai mendengarkan, mengobservasi dan
memberi solusi maupun keputusan dan attitude yaitu kemampuan dalam sikap atau
pernyataan yang evaluative terhadap suatu obyek baik orang maupun peristiwa.
Selanjutnya penggalian masalah (meminta klien untuk menggambarkan
kejadian traumatik, reaksi kognitifnya, mengenali emosi kejadian). Kemudian
pada tahap pencarian solusi (menginformasikan, mampu mengajak klien untuk
menghadapi perasaan yang tertekan akibat traumanya, menolong klien guna
mengidentifikasi bagaimana cara dalam mengendalikan hal negatif yang ada di
fikirannya). Kemudian mereview serta memberi dukungan kepada klien, konselor
mampu mengevaluasi hasil yang telah didapat dari konseling tersebut serta
menentukan langkah ke babakselanjutnya. Dan sebaiknya konselor terus
memberikan dukungan tinggi kepada konseli.5
C. Upaya Konselor Dalam Mengatasi Trauma di Kalangan Mahasiswa
1. Rasional
Setiap mahasiswa pada saat memasuki suatu perguruan tinggi tentu
membawa harapan dan cita-cita demi sebuah keberhasilan, baik akademik,
maupun karier, Healy menggambarkan bahwa mahasiswa secara
perkembanganberada pada masa remaja akhir yang berusia 18-21 tahun.
Adapun indikasi perilaku yang tampak selam periode ini adalah: (1)
terbentuknya relasi jangka panjang yang di sertai komitmen, (2) Terjadinya
peruses individual dan perkembangan identitas, (3) proses definisi diri dalam
kaitannya dengan penghayatan masa lalu, (4) Adanya tantangan Pendidikan dan
karir serta pengambilan keputusan tentang format hidup, (5) Adanya tantangan
akan ketidakpastian masa depan.

5
Hallen, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 79
9

Lebih lanjut berdasarkan teori perkembangan karier yang disampaikan


oleh Donald E, mahasiswa berada pada tahapan pemilihan karier. Pada tahapan
ini mereka dihadapakan dengan pemilihan karier secara tepat sesuai dengan
preferensi yang telah di siapkan pada tahap sebelumnnya. Hal ini berarti bahwa
dalam tahapan ini hendakanya telah di capai suatu keputusan awal untuk
menghadapi perjalanan hidup yang lebih realitas. Tahapan selanjunya adalah
tahapan penempatan karier. Ciri-ciri dari tahapan ini adalah meningkatnya
tuntutan untuk mandiri dalam berbagai aspek (social, ekonomi, pribadi,
pendidikan, pekerjaan dan juga religi).
Bilamana tahapan-tahapan tersebut dapat dilampaui dengan baik dan
berkesinambungan, maka sangat diharapkan mahasiswa dapat mencapai karier
secara mantap dan matang. Kemantangan karier mengandung arti sebagai
tercapainya perwujudan diri dalam perjalanan hidup yang bermakna, baik bagi
dirinya, orang lain, serta keseluruhan perjalanan hidupnya dan kemantapan
karier itu secara logis menjadi faktor kearah kematangan karier.6
Dalam perjalanannya, tidak sedikitmahasiswa yang mengalami berbagai
kendala dalam belajar, dari mulai permasalahan ekonomi, kesulitan membagi
waktu belajar, lingkungan belajar yang tidak kondusif dan kebiasaan menunda-
nunda tugas belajar. Hasil penelitian Ilfiandra (2008) menunjukan bahwa dari
376 mahasiswa yang menjadi responden 44,08% dari mereka mengalami gejala
prokrastinasi akademik dengan kategori tinggi, 53,55% berada pada kategori
sedang dan 2,07% berada pada kategori rendah. Hasil ini menegaskan bahwa
gejala proraktinasi akademik mahasiswatelah menjadi fenomena umum di dunia
pendidikan tinggi. Hasil ini juga turut mencerminkan bahwa kecendrungan
mahasiswa tidak mampu memilih perilaku yang seharusnya dalan kapasitas
sebagai mahasiswa atau lemahnya inhibisi mahasiswa. Padahal menurut
Nurihsan karakteristik menonjol yang menunjukkan mahasiswa adalah adanya

6
Furqon, Konsep dan Aplikasi Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar, (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2005), 36
10

kemandirian dan kemampuan dalam mengelola diri. Artinya mahasiswa


dipandang mampu dan cukup dewasa untuk mengelola kehidupannya, sehingga
dituntut untuk memberikan yang terbaik pada setiap usaha yang dilakukan dan
mampu memaknai sisi-sisi negatif dari setiap tindakan. Demikian juga dalam
kegiatan akademik, mahasiswa di pandang sudah mampu memaknai bahwa
baik dan buruk kualitas akademik tentunya akan banyak memberikan pengaruh
terhadap masa depan karier dan pekerjaan. Kondisi ini juga terjadi di
lingkungan mahasiswa Universitas PGRI Palembang.
Selain prokrastinasi akademik, trauma belajar pun turut mewarnai
permasalahan belajar mahasiswa. Hasil penelitian Shrap & Buckley (1978)
menunjukkan bahwa keluhan yang disampaikan oleh mahasiswa kepada
psikiater dan psikolog di Universitas London adalah sebagai berikut : 30%
mengalami trauma karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
kampus, 40% jenuh dengan sistem pembelajaran yang ada dan sisanya
mengalami kesulitan bergaul dan mengatur diri (self management). Hasil studi
lain dilaporkan oleh Hirsch & Keniston, 2006 bahwa 50% mahasiswa yang di
dropouts dari perguruan tinggi adalah karena ketidakmampuan mereka
menyesuaikan diri dengan iklim dan tuntutan akademik di perguruan tinggi.
Kondisi tersebut menyebabkan mereka mudah stress dan trauma dalam belajar.
Stephanie (2003) menyampaikan hasil penelitian terkait dengan faktor
penyebab trauma belajar mahasiswa yaitu 19% karena kurang mampu
melakukan interaksi interpersonal, 38% tidak cerdas secara intrapersonal, 28%
karena lingkungan belajar yang tidak kondusif dan 15% karena rendahnya
prestasi akademik.
Tentunya fenomena trauma belajar mahasiswa tidak dapat didiamkan
begitu saja, sebab fakta menunjukkan bahwa persentase mahasiswa yang
mengalami trauma belajar cenderung meningkat seiring dengan lama waktu
kuliah. Artinya, semakin lama mahasiswa kuliah akan semakin berat derajat
trauma belajar yang akan mereka alami, maka tidak heran jikalau Pham, J
11

(2004) menyatakan “learning burnout is actually something a lot more serious


than people just being stressed from school” karena trauma belajar merupakan
fenomena perilaku yang kompleks, unik dan pada sisi tertentu dapat dikatakan
sulit untuk ditebak. Oleh karena itu, pemahaman yang utuh tentang area,
indikator dan penyebab trauma belajar merupakan langkah awal sebelum
merumuskan model intervensi trauma belajar mahasiswa. Kajian terhadap tiga
komponen pokok ini penting dilakukan untuk menghindari pendekatan
intervensi yang bersifat preskriptif dan imperative.7

2. Upaya Konselor Untuk Mengatasi Traumatik di Kalangan Mahasiswa


Layanan bimbingan dan konseling oleh konselor dalam upaya menangani
gangguan psikologis dan trauma mental anak-anak di laksanakan dengan
berbagai metode dan kegiatan. Program-program children center dilaksanakan
melalui aktivitas-aktivitas psikososial dalam layanan bimbingan dan konseling
bagi anak dengan berbagai bentuk layanan pemberian bantuan, yaitu mencakup:
a. Smile Child Center
Fokus utama dalam program ini adalah untuk membantu
perkembangan anak-anak dengan melakukan survey psikologis dan
mengembangkan program bantuan khusus untuk kebutuahan setiap individu
dengan mengutamkan prinsip individual differences. Artinya penanganan
masalah anak yang tergolong rigan, begitu juga sebaliknya. Metode dan
teknik konseling yang di gunakan akan menyesuaikan kepada jenis
permasalahan dan karakteristik masing-masing anak.
Selanjutnya di sediakan tempat sebagai area aman dan nyaman bagi
anakanak untuk melindungi anak dari trauma. Tempat tersebut di desain
sebagai smile child center di mana untuk diberikan kebebasan dan

7
Moch. Edward Romli, Upaya Konselor Untuk Mengatasi Trauma di Kalangan
Mahasiswa, (Prosiding International Seminar & Workshop Post Traumatic Counseling” tanggal 6 - 7
Juni 2012 di STAIN Batusangkar), I71-173
12

kenyamanan untuk mengekspresikan persaannya melalui kegiatan-kegiatan


yang menyenangkan dan suasana keceriaan.
b. Terapi Bermain (Play Therapy)
Terapi bermain di gunakan sebagai media untuk menguatkan
keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak. Aktivitas bermain adalah
kegiatan bebas yang secara spontan dan dilakukan untuk kesenangan
memiliki manfaat yang positif bagi anak yaitu: (a) aspek perkembangan
fisik; anak berkesempatan melakuakan kegiatan yang melibatkan gerakan-
gerakan tubuh yang membuat tubuh anak sehat dan otot-otot tubuh menjadi
kuat, (b) aspek perkembangan motorik halus dan kasar; dalam bermain di
butuhkan gerakan dan koordinasi tubuh (tangan, kaki dan mata).
Manfaat terapi bermain selanjutnya, yaitu (c) pada aspek
perkembangan emosi dan kepribadian; dengan bermain anak dapat
melepaskan ketegangan yang ada dalam dirinya. Anak dapat menyalurkan
perasaan dan menyalurkan dorongan-dorongan yang membuat anak lega dan
relaks, (d) aspek perkembangan kognisi; dengan bermain anak dapat belajar
dan mengembangkan daya pikirnya, (e) media terapi; karena selama bermain
perilaku anak akan tampil lebih bebas dan bermain adalah suatu yang ilmiah
pada diri anak, (f) media intervensi; bermain dapat melatih konsentrasi
(pemusatan perhatian pada tugas tertentu) dan melatih kemandirian anak.8
c. Terapi Emosi Dengan Menggambar
Terapi emosi dengan menggambar dan mewarnai dilaksanakan dengan
tujuan agar anak-anak dapat menyalurkan pengalaman emosinya melalui
media kertas dan alat tulis. Emosi atau perasaan memainkan peran yang
penting dalam kehidupan anak. Emosi dapat menjadi energi yang
mendorong anak untuk bertindak secara konstruktif dan kreatif. Ketika anak-
anak menggambar dan mewarnai gambar-gambar, di butuhkan
pendampingan oleh konselor untuk membantu menginterprestasikan gambar
8
Ibid.
13

yang dibuat oleh anak. Teknik menggambar bermanfaat juga sebagai


sebauah media untuk berkomunikasi dengan anak dan media bercerita
tentang pengalaman emosional anak.9
d. Belajar Sambil Bermain
Anak-anak merupakann aset Negara dan penerus masa depan bangsa.
Kondisi bangunan yang hancur terutama sekolahsekolah tempat anak-anak
belajar sehari, mengakibatkan kegiatan pembelajaran terganggu dan tidak
mungkin bagi siswa untuk melanjutkan pendidikannya. Rusak atau
hilangnya tempat beraktivitas, rumah, halaman termasuk di dalamnya
sekolah merupakan kendala yang perlu di eliminasi. Apalagi bila orangtua
dan guru yang selama ini mendampingi mereka tumbuh dan berkembang
untuk sementara tidak dapat melakukan tugas karena musibah yang di alami.
Hal ini menciptakan suatu kebutuhan bagi anak-anak untuk memulai
pelajaran dan pendidikan secepat mungkin. Untuk itu tenda darurat maupun
lokasi outdoor dijadikan sebagai strategi untuk melibatkan anak dalam
proses belajar mengajar. Proses belajar anak dilaksanakan sambil bermain
untuk mengurangi beban psikologis anak yang masih melekat dalam
ingatannya.
Permainan yang dikemas secara terorganisir dengan substansi materi
belajar dan tetap menyenangkan telah menarik perhatian anak untuk
mengikuti kegiatan belajar sambil bermain. Intervensi psikologis yang
dilaksankan dalam kegiatan belajar sambil bermain ialah (a) situasi emosi
senang atau kegembiraan untuk mengatasi kecemasan dan ketakutan.
Aktivitas bermain dengan outdoor activities dan berolahraga untuk
mengurangi ketegangan anak dan menggantikannya dengan kegembiraan
sehingga anak tidak mengalami gangguan psikologis berlarut-larut, yang
dapat menyebabkan kesulitan belajar pada anak, sehingga siswa sulit
konsentrasi dan malas belajar, (b) stimulasi kognisi untuk menumbuhkan
9
Ibid, 175
14

daya kreativitas dan (c) stimulasi membangkitkan kepedulian pada


lingkungan sekitar. Hal ini dilakukan dengan mengajak anak-anak bermain
permainan yang berlandaskan nilai-nilai masyarakat yaitu gotong royong
sehingga permainan berbasiskan tim/kelompok sesuai untuk hal tersebut.
Selama proses bermain dan belajar bukan dimaksudkan mengambil alih
peran guru. Guru diharapkan berpartisipasi aktif.
Orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan anak dan
mendampingi anak sehingga pengentasan masalah trauma anak dapat
dilanjutkan melalui peran dan pengkondisian anak di rumah masing-masing.
Pendampingan bermain, dengan membaca media untuk menanamkan nilai-
nilai kebersamaan, kemandirian dan kepedulian.10

10
Bid, 176
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegiatan layanan konseling bagi anak korban gempa merupakan bantuan
yang diberikan konselor kepada konseli secara profesional untuk memecahkan
masalah-masalah gangguan psikologis dan trauma-trauma emosional yang dialami
anak-anak akibat bencana gempa. Layanan konseling anak bertujuan agar anak-
anak mampu mengatasi kesulitan dirinya melalui proses konseling yang
dilaksanakan sehingga perkembangan kepribadian dan potensi diri anak menjadi
optimal.
Aktivitas-aktivitas psikososial secara teknis diwujudkan melalui
programprogram yang bersifat edukatif bagi anak, seperti: program smile child
center play therapy, terapi emosi dengan menggambar, dan belajar sambil
bermain. Harapan dari jenis-jenis aktivitas tersebut ialah terbebasnya anak-anak
dari perasaan trauma, shock, kesedihan dan ketakutan yang berlebihan sehingga
dapat menjalani kembali kehidupan yang nomal dan selanjutnya anak-anak dapat
menyelesaikan tugas-tugas perkembangan anak dengan baik.
B. Saran
Dengan ditulisnya makalah yang menjelaskan tentang upaya konselor dalam
mengatasi trauma di kalangan mahasiswa, semoga kita sbagai calon konselor dapat
benar-benar memahami prikologis dari para orang-orang yang mengalami trauma
dan bis amembantu mereka keluar dari zona ketraumaannya agar mereka bisa
melanjtkan hidup dan mimpinya.

15
DAFTAR PUSTAKA
Furqon. Konsep dan Aplikasi Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar. (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy. 2005)

Hallen. Bimbingan dan Konseling. (Jakarta: Ciputat Pers. 2002)

Muhammad Putra Dinata Saragih. Konseling Traumatik. (Jurnal Bimbingan dan


Konseling. Vol. 4 No. 4 Tahun 2017)

Nurihsan, Achmad Juntika. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar


Kehidupan. (Bandung: Refika Aditama. 2006)

Romli, Moch. Edward. Upaya Konselor Untuk Mengatasi Trauma di Kalangan


Mahasiswa. “Prosiding International Seminar & Workshop Post
Traumatic Counseling” tanggal 6 - 7 Juni 2012 di STAIN Batusangkar).

Sutima, Bimbingan dan Konseling Pendidikan Formal, Non formal dan Informal,
(Yogyakarta: CV Andi Offset, 2013)

16

Anda mungkin juga menyukai