serius dalam bidang kesehatan di Indonesia. World Health Organisation (WHO) mencatat,
7,8 juta dari 23 juta balita di Indonesia mengalami stunting.
WHO juga telah menetapkan batas toleransi stunting maksimal 20 persen atau seperlima dari
jumlah seluruh balita. Sementara, angka stunting pada balita Indonesia berada pada angka
35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen balita dikategorikan sangat pendek dan 17,1 persen
dikategorikan pendek.
Kabupaten Gorontalo, misalnya, menjadi salah satu kabupaten percontohan lantaran berhasil
menurunkan angka stunting cukup signifikan. Pos Gizi menjadi inovasi yang terus
dikembangkan di Desa Haya-Haya, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo.
Namun, pada tahun 2017 kegiatan pos gizi desa telah diintegrasikan dengan dana desa.
"Tujuan kami melaksanakan ini bukan semata-mata untuk pemerintah, tetapi mengubah
mindset masyarakat. Kegiatan ini kami laksanakan pada awal setiap tahun," ujar Kepala Desa
(Ayahanda Desa) Haya-haya Kecamatan Limboto Barat Yasin Ingo.
"Bila ditemukan penyakit penyerta, maka terlebih dahulu dilakukan perawatan sampai pulih,
baru diikutsertakan dalam pos gizi," ujarnya.
Hasil pendataan tersebut kemudian disampaikan pada musyawarah masyarakat desa yang
dipimpin oleh kepala desa (Ayahanda Desa), untuk menentukan tempat dan waktu
pelaksanaan pos gizi.
Selama 12 hari berturut-turut, peserta pos gizi bayi (6-11 bulan) dan balita (12-59 bulan)
beserta ibunya dikumpulkan di Pos Gizi. Mereka akan dipantau penambahan berat badannya,
diajarkan personal hygiene, diberikan permainan, serta orangtua didampingi kader diajarkan
memasak makanan berat menggunakan bahan pangan lokal.
Menu yang digunakan (diajarkan) dalam pos gizi tersebut disusun oleh petugas gizi
Puskesmas. Adapun jumlah kalori yang terkandung antara 300-500 kkal dengan protein 5-12
gram. Salah satu hal yang menarik adalah adanya tata tertib yang harus dipenuhi oleh para
peserta, yaitu harus datang tepat waktu dan tidak boleh membawa snack, susu dan uang jajan.
"Anak harus diberikan sarapan atau makan siang 3 jam sebelum jam makan pos gizi. Selain
itu, semua ibu balita harus berpartisipasi aktif, tidak membentak atau menakut-nakuti anak,"
ujar salah satu kader Pos Gizi, Nur Ain Djafar.
Editors’ picks
Baca juga: Cerita Pengguna KRL Jabodetabek Antre Tiket dari Subuh
Setiap desa dan kelurahan di Kabupaten Gorontalo telah melaksanakan intervensi gizi kurang
dan pencegahan stunting melalui kegiatan Pos Gizi tersebut.
"Semua di Kabupaten Gorontalo, kasus gizi intervensinya melalui pos gizi. Di kabupaten
kami ada 196 desa dan 9 kelurahan 9. Jadi Pos Gizi totalnya ada 205", ujar Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Gorontalo Roni Sampir.
Selain pos gizi, apabila ditemukan permasalahan gizi berat, pos gizi desa akan merujuk kasus
gizi dengan penyulit ke Therapeutic Feeding Center (TFC) Kabupaten Gorontalo yang ada di
empat wilayah, yakni Puskesmas Rawat Inap Boleyohuto, Puskesmas Batudaa, Puskesmas
Telaga, dan Puskesmas Tibawa.
Setelah mendapatkan perawatan lebih intensif, pasien yang telah dipulihkan di TFC, akan
ditindaklanjuti oleh pos gizi desa setelah kembali ke desanya.
Dengan upaya tersebut, Kabupaten Gorontalo telah berhasil menurunkan prevalensi stunting
(tinggi badan/usia) Balita usia 0-59 bulan dari 40,7% (2015) menjadi 32,3% (2017).
Prevalensi Baduta (anak usia di bawah dua tahun) usia 0 hingga 24 bulan pun mengalami
penurunan. Pada 2015 prevalensi mencapai 32,3%, tahun 2016 menurun jadi 28,4% dan pada
2017 menjadi 24,8%.
Baca juga: Kisah Salim, Veteran 98 Tahun Wujudkan Mimpi ke Tanah Suci
Menteri Kesehatan RI Nila Farid Moeloek mengapresiasi inovasi yang dilakukan oleh
Kabupaten Gorontalo tersebut. Dia berharap, hal itu bisa dicontoh oleh daerah-daerah
lainnya.
"Inovasi positif ini bagus sekali, kita perlu sosialisasikan contoh-contoh yang baik seperti
ini," ujar Nila.
Menurut Nila, diperlukan upaya pelibatan masyarakat untuk mengetahui apa itu stunting,
serta bersama-sama melakukan upaya untuk pencegahan stunting mulai dari remaja putri
(calon ibu) tidak anemia dan ibu hamil tidak kekurangan energi, serta memantau tumbuh
kembang bayi.
Hal ini perlu disadari dan diintervensi secepatnya agar anak-anak Indonesia tumbuh menjadi
generasi sehat, tinggi dan cerdas.
"Stunting kan kekurangan gizi kronis ya, masa untuk memperbaiki ada di anak usia 2 tahun.
Masih bisa sampai 5 tahun tapi sulit, hanya sedikit (15%). Jadi, jangan nunggu anak terlanjur
stunting. Terlambat itu," imbuhnya.
Menurut dia, selain berdampak pada kesehatan, anak-anak yang terkena stunting juga
berpengaruh terhadap bonus demografi.
"Betul, ada 30 persen (anak stunting). Kalau kita punya 10 anak, misalnya, pasti ada 3 anak
kita yang gak pandai. Kita rugi. Makanya kami mengejar bonus demografi. Siapa sih yang
ingin anaknya gak pandai?" tutur Nila.
Topic:
Kemenkes
Menteri Kesehatan
Gizi Anak Indonesia
gizi buruk
stunting