Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HADITS PUASA RAMADHAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hadits

Dosen Pengampu:

Moh. Fodhil, M.Pd

Disusun Oleh :

Hafif Azizah (2001011937)

Joni Heriyanto (2001011952)

Auliyatul Latifah (2001011962)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS KH. A. WAHAB HASBULLAH

TAMBAKBERAS JOMBANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ HADITS PUASA
RAMADHAN” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari makalah ini untuk memenuhi tugas
Bapak Moh. Fodil M.Pd pada bidang studi Hadits. Setelah itu, makalah ini bertujuan untuk
menambah wawasan tentang topik masalah bagi para pembaca dan juga bagi para penulis.
Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Moh. Fodhil M.Pd yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari,
makalah yanag kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jombang, 14 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………….....i

KATA PENGANTAR……………………………………………………….......ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………......iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……...….......................…….......1

B. Rumusan Masalah ……....................................…….....…..2

C. Tujuan Penulisan ......................……………………...........2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Puasa Ramadhan..........................…………......3

B. Hadits yang menjelaskan tentang puasa ramadhan.….…....6

C. Hikmah Puasa....................................................................13

BAB III PENUTUP

A. Simpulan ...................................………………….……......16

DAFTAR PUSAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang padanya pikiran (akal) dan perasaan (hati).

Keberadaan dari dua hal di atas telah menghadirkan lingkungan yang positive dan negative.

Dua kondisi lingkungan tersebut telah dipengaruhi oleh kedekatan seorang hamba kepada

Tuhannya yaitu Allah Swt. Apabila telah terjalin kedekatan yang kuat antara diri seorang

hamba kepada Tuhannya, maka lingkungan di sekitarnya akan bernuansa positive atau

penuh kedamaian dan kesejahteraan. Namun, apabila tidak terjalin, maka yang akan terjadi

di sekitar lingkungannya berupa kondisi yang negative seperti, ketidak-adilan yang

disebabkan nuansa kehidupan di sebagian besar masyarakat dunia dalam beraktivitas yang

penuh dengan kerakusan dan kesombongan. Hal tersebut menjadi kajian utama yang akan

menjadi pembahasan dalam tulisan yang berjudul hakikat puasa ramadhan dalam persfektif

tasawuf (tafsir Q.S Al-Baqarah: 183).

Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan pendidikan, kepedulian sosial dan bulan

yang penuh dengan kepekaan diri seorang hamba atas intruksi Allah Swt. Bagian yang

terakhir, merupakan bagian utama yang ingin dijangkau oleh kalangan hamba Allah Swt., di

bulan yang berisikan rahmat, maghfirah dan pelepasan atau menjauhkan siksa api neraka

bagi yang berpuasa. Ramadhan identic dengan puasa dan merupakan jargon utama dari

aktivitas ibadah lainnya yang dilakukan oleh seorang hamba Allah Swt. Oleh karena itu,

puasa akan memberikan pendidikan, kepedulian sosial, dan jalan menuju kedekatan diri

seorang hamba kepada Allah Swt., melalui kepekaannya dalam menghubungkan makna

1
ibadah yang telah dilakukannya dengan kondisi perbuatan individu dan sosialnya sehari-

hari.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Puasa Ramadhan

2. Hadits yang menjelaskan tentang puasa ramadhan

3. Hikmah Puasa

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian puasa ramadhan

2. Untuk mengetahui hadits yang tentang menjelaskan puasa ramadhan

3. Untuk mengetahui apa saja Hikmahnya berpuasa

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Puasa

Ahs-Shiyam secara bahasa berarti menahan. Orang yang diam disebut shaa'im, karena

menahan dari perkataan. AI Qur'an menyebutkan maksud dari lafazh ash-shiyam,

"sesungguhnya aku telah bemadzar berpuasa (tidak bicara) untuk Tuhan Yang Maha

Pemurah." (Qs. Maryam [19] 26l)

Adapun menurut hukum syar'i, ash-shiyam berarti menahan diri dari halhal tertentu

dengan suatu niat (ketika melakukannya) pada waktu yang telah ditentukan.

Sedangkan Saumu, menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segala sesuatu”, seperti

menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.

Sedangkan menurut istilah, Saumu adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya,

satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan

beberapa syarat.

Menurut para ahli :

1. Menurut Muhammad Asad, puasa adalah the obstinence of speech memaksa diri untuk

tidak bercakap-cakap dengan perkataan yang negatif, contohnya seperti memfitnah,

berbohong, mencaci maki dll.

2. Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, puasa bisa menjadikan orang mampu membiasakan diri

untuk dapat bersifat dengan salah satu dari sifat Allah swt, sifat tidak makan minum

3
meskipun untuk sementara waktu, sekaligus dapat menyerupakan diri dengan orang-

orang yang muroqobah.

3. Menurut Yusuf Al Qardawi, puasa sebagai sarana pensucian jiwa dan raga dari segala

hal yang memberatkan dalam kehidupan dunia sekaligus bentuk manifestasi rasa

ketaatan seseorang dalam melaksanakan perintah Allah swt, dalam hal meninggalkan

segala larangan untuk melatih jiwa dalam rangka menyempurnakan ibadah kepadaNya.

4. Menurut Syeikh Mansur Ali Nashif, puasa dapat menjadi benteng dan pemelihara dari

perbuatan-perbuatan maksiat. Dikatakan demikian karena puasa dapat menghancurkan

nafsu syahwat, bahkan dapat memelihara dari pelakunya dari api neraka.

Kewajiban puasa ditetapkan pada bulan Sya'ban tahun 2 Hijriah, menurut ijma'ulama,

setelah penetapan kewajiban puasa tersebut, Rasulullah SAW telah melakukan puasa

sebanyak sembilan kali Ramadhan.

Selain puasa Ramadhan merupakan kewajiban yang sangat mulia, ia adalah salah satu

dari rukun Islam yang lima. Al Qur'an, Sunah, dan ijma'ulama telah menyatakan hal

tersebut.

Allah SWT berfirman, "Telah diwajibkan atas kalian berpuasa."(Qs. Al Baqarah [2]:

183).

Rasulullah SAW bersabda, "Islam didirikan atas lima perkara, -beliau menyebutkan

salah satunya- adalah berpuasa daripada bulan Ramadhan." (HR. Bukhari [8] dan Muslim

[160. Selain dari hadits tadi, hadits tentang kewajiban berpuasa sangatlah banyak. Dengan

demikian, kaum muslim sepakat bahwa orang yang mengingkari kewajiban berpuasa berarti

telah kufur.

4
Mengenai keutamaan berpuasa, banyak hadits yang menyinggungnya, diantaranya

adalah hadits qudsi yang menyebutkan,

Artinya : "Setiap amal bni Adam (manusia) adalah untuk dirinya, kecuali puasa. ( hal ini

karenakan) puasa untukku dan aku pula yang akan membalasnya.” (HR. Bukhori [1085] dan

Muslim[1151].

Adapun macam-macam Puasa: Puasa wajib atau puasa fardhu terdiri dari puasa fardhu

ain atau puasa wajib yang harus dilaksanakan untuk memenuhi panggilan Allah ta’ala yang

disebut puasa ramadhan. Sedangkan puasa wajib yang terdiri dalam suatu hal sebagai hak

Allah SWT atau disebut puasa kafarat. Selanjutnya puasa wajib untuk memenuhi panggilan

pribadi atas dirinya sendiri dan disebut puasa nadzar. Puasa sunat atau puasa tathawwu’

yang meliputi puasa enam hari bulan syawal, puasa senin kamis, puasa hari Arafah (tanggal

9 Zulhijjah, kecuali bagi orang yang sedang mengerjakan ibadah haji tidak disunatkan),

puasa hari Syura (10 Muharram), puasa bulan Sya’ban puasa tengah bulan (tanggal 13, 14,

dan 15 bulan Qomariyah). Puasa makruh, yaitu puasa yang dilakukan terus menerus

sepanjang masa kecuali pada bulan haram, disamping itu makruh puasa pada setiap hari

sabtu saja atau tiap jumat saja. Puasa haram yaitu haram berpuasa pada waktu-waktu tertentu

misalnya Hari raya Idul Fitri (1 Syawal), Hari raya Idul Adha (10 Zulhijjah), Hari-hari

Tasyriq (11, 12 dan 13 Zulhijjah). 4 Firman Allah swt.

5
B. Hadits Yang menjelaskan tentang puasa ramadhan

“Daripada Ibn Umar (r.a), beliau berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah (s.a.w)

bersabda: “Jika kamu melihat anak bulan, maka berpuasalah dan apabila kamu melihatnya

lagi, maka berbukalah. Jika kamu terhalang oleh mendung hingga tidak melihatnya, maka

perkirakanlah ia oleh kamu.” (Mutafaq ‘alaih)

Menurut riwayat Muslim disebutkan: “Dan apabila kamu terhalang oleh awan, maka

perkirakanlah tiga puluh hari.” Menurut riwayat al-Bukhari dikatakan: “Maka

sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh hari.” Menurut riwayat al-Bukhari yang

juga melalui Abu Hurairah (r.a) disebutkan sebagai berikut: “Maka sempurnakanlah

bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”

Makna Hadis

Puasa Ramadhan wajib dilakukan setelah melihat anak bulan petanda masuknya bulan

Ramadhan. Untuk melihat anak bulan tidak perlu disyaratkan bahawa itu disaksikan oleh

seluruh kaum muslimin. Apa yang penting adalah anak bulan itu benar-benar dilihat dan

dapat dibuktikan. Berita seorang yang adil sudah memadai untuk menyambut kedatangan

puasa, dan dua orang yang adil untuk menyambut kedatangan Syawal.

6
Jika penglihatan terhalang oleh awan, baik untuk masuknya ataupun keluarnya bulan

Ramadhan, maka bilangan bulan digenapkan menjadi tiga puluh hari. Para ulama melarang

daripada mengambil kira pendapat pakar astronomi untuk membuktikan anak bulan,

sekalipun khusus diamalkan untuk diri mereka sendiri.

Analisis Lafaz

ُ َ‫وهُ ف‬OO‫“ إِ َذا َرأ ْيتُ ُم‬apabila kamu melihat anak bulan Ramadhan, maka berpuasalah.
‫و ُموا‬OO‫ص‬

Meskipun lafaz Ramadhan tidak disebutkan sebelumnya, tetapi ia masih dapat difahami

melalui konteks hadis yang menunjukkan masalah itu.

‫أ َ ْف ِطرُوا‬Oَ‫وهُ ف‬O‫“ َوإِ َذا َرأَ ْيتُ ُم‬apabila kamu melihat anak bulan Syawal, maka berbukalah (yakni

berhentilah kamu puasa).

‫إ ِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم‬OOOَ‫“ ف‬berasal dari perkataan “‫يئ‬OOO‫“ غممت الش‬yang bermaksud apabila engkau

menutupi sesuatu. Makna yang dimaksudkan di sini ialah apabila penglihatan kamu

terhalang oleh awan hingga tidak dapat melihat anak bulan.

“ُ‫ه‬Oَ‫“ فَا ْق ُدرُوال‬berasal dari perkataan “‫دير‬OO‫“ التق‬yang bermaksud perkirakanlah oleh kamu

bilangannya menjadi genap tiga puluh hari.

“ ‫“ َولِ ُم ْسلِم‬menurut riwayat Muslim melalui Nafi’ dari Ibn Umar (r.a) disebutkan bahawa :

“Rasulullah (s.a.w) menyebutkan tentang bulan Ramadhan. Untuk itu, baginda

memberi isyarat dengan kedua-dua tangannya, lalu bersabda: “Bulan Ramadhan itu sebegini,

7
sebegini, dan sebegini (sedangkan dalam isyarat yang ketiga baginda menekukkan ibu

jarinya untuk menyatakan bilangan dua puluh sembilan). Maka berpuasalah kamu kerana

melihat anak bulan (Ramadhan), dan berbukalah kamu kerana melihatnya (anak bulan

Syawal). Jika kamu terhalang oleh cuaca mendung, maka perkirakanlah untuknya tiga puluh

hari.”

Nafi’ al-Adawi, nama panggilannya adalah Abu Abdullah al-Madani, merupakan

salah seorang ulama kenamaan. Dia meriwayatkan hadis daripada Ibn Umar, Abu Lubabah,

Abu Hurairah, Aisyah, dan para sahabat yang lain. Keduadua anaknya yang bernama Abu

Bakar dan Umar telah meriwayatkan hadis daripadanya, begitu pula Ayyub dan Ibn Juraij

serta Malik dan sejumlah ulama yang lain. Al-Bukhari berkata: “Sanad yang paling sahih

ialah daripada Malik, daripada Nafi’, daripada Ibn Umar.” Al-Ajali, Ibn Kharrasy dan al-

Nasai berkata: “Nafi’ seorang yang tsiqah.” Hammad ibn Zaid berkata: “Nafi’ meninggal

dunia pada tahun 120 Hijriah.”

‫ ِه‬OOOOْ‫ب بِيَ َدي‬ َ َ‫ف‬,“baginda menggerak-gerikan kedua-dua telapak tangannya atau


َ ‫ َر‬OOOO‫ض‬

memukulkan salah satunya kepada yang lain seperti mana yang dijelaskan di dalam kedua-

dua riwayat yang selainnya. Riwayat yang pertama mengatakan: “Dan menepukkan kedua-

dua telapak tangannya”, sedangkan riwayat yang kedua mengatakan: “Dan menelungkupkan

kedua-dua telapak tangannya.”

َّ
‫ ْه ُرهَ َك َذا‬O‫الش‬,“Nabi (s.a.w) mengisyaratkan dengan membuka semua jari-jarinya yang

sepuluh sebanyak tiga kali untuk menunjukkan bilangan hari-hari dalam satu bulan, tetapi

pada kali yang ketiga baginda menekukkan ibu jarinya untuk mengisyaratkan kurang satu

hari yang bererti jumlah keseluruhannya adalah dua puluh sembilan. Apa yang dimaksudkan

8
di sini ialah satu bulan itu adakalanya berjumlah dua puluh sembilan hari dan tidak semua

bulan berjumlah tiga puluh hari.

“‫إن أُ ْغ ِم َي َعلَ ْي ُك ْم‬O


ْ Oَ‫“ف‬jika ada hambatan untuk melihatnya kerana awan atau sebabsebab

yang lain.

“ َ‫“فَا ْق ِدرُوالَهُ ثَاَل ثِين‬jika anak bulan tidak dapat kamu lihat sesudah dua puluh sembilan

hari, maka perkirakanlah bilangannya menjadi satu bulan sempurna, yakni kamu

menyempurnakan bilangannya menjadi tiga puluh hari. “

َّ ‫“ َولِ ْلبُخَا ِر‬menurut lafaz yang dikemukakan oleh al-Bukhari melalui Abdullah ibn
‫ي‬

Umar (r.a) diseb bahawa Rasulullah (s.a.w) bersabda:

“Satu bulan itu terdiri daripada dua puluh sembilan malam, maka janganlah kamu

berpuasa sebelum melihat anak bulan. Jika kamu mengalami mendung, maka

sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh.

” ُ‫“ َولَه‬juga oleh al-Bukhari.

َ‫ث أَبِي هُ َري َْرة‬


ِ ‫فِي َح ِدي‬, lafaznya disebutkan sebagai berikut: Muhammad ibu Ziad telah

menceritakan kepada kami: “Aku pernah mendengar Abu Hurairah (r.a) bercerita bahawa

Nabi (s.a.w) atau Abu al-Qasim pernah bersabda:

9
“Berpuasalah kamu kerana melihat anak bulan (Ramadhan), dan berbukalah kamu

kerana melihatnya (anak bulan Syawal). Jika kamu terhalang oleh sesuatu, maka

sempurnaknalah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”

Muhammad ibn Ziyad al-Jumahi, nama panggilannya adalah Abu al-Harits al-

Madani al-Basri. Dia meriwayatkan hadis daripada Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, dan

lain-lain. Telah diambil riwayat hadis daripadanya oleh Ibrahim ibn Thahman, Syu’bah, dua

ulama bernama Hammad dan al-Rabi’ ibn Muslim serta sejumlah ulama yang lain. Dia

dinilai tsiqah oleh Imam Ahmad, Ibn Mu’in, dan al-Nasa’i.

“‫“ ُغبِّ َي‬tertutup atau terlindung.

Fiqh Hadis

1. Puasa bulan Ramadhan itu hukumnya wajib.

2. Permulaan puasa adalah setelah melihat anak bulan.

3. Disyariatkan menyempurnakan bilangan bulan menjadi tiga puluh hari apabila anak

bulan tidak dapat dilihat pada hari yang kedua puluh sembilan.

4. Wajib berbuka pada hari raya aidil fitri.

5. Tidak boleh merujuk kepada pendapat pakar astrologi dan pakar astronomi dalam

menentukan anak bulan.

Daripada Ibn Umar (r.a), beliau berkata: “Orang ramai berhimpun untuk melihat anak

bulan dan aku memberitakan kepada Nabi (s.a.w) bahawa aku telah melihatnya, lalu baginda

berpuasa dan menyuruh orang ramai untuk berpuasa.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan

dinilai sahih oleh al-Hakim dan Ibn Hibban).

10
Makna Hadis

Pada mulanya kesaksian untuk menetapkan puasa dilakukan oleh dua orang saksi

lelaki yang adil, kerana berlandaskan kepada satu hadis yang mengatakan:

“Berpuasalah kamu kerana melihat anak bulan dan berbukalah kerana melihatnya.

Jika kamu terhalang oleh sesuatu, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi

tiga puluh hari, kecuali apabila ada dua orang saksi lelaki yang melihatnya.”

Hadis ini menjadi pegangan segolongan ulama terkemuka di mana mereka tidak

membolehkan berpegang dengan berita satu orang untuk memulakan berpuasa, sedangkan

ulama lain pula membolehkan berpegang dengan berita satu orang untuk memulakan puasa

kerana berlandasan kepada hadis ini. Rasulullah (s.a.w) membolehkan kesaksian Ibn Umar

dan memerintahkan kepada orang ramai untuk puasa. Ini menunjukkan berita yang

disampaikan oleh satu orang dalam masalah memulakan puasa boleh diterima, namun

dengan syarat hendaklah orang itu bersifat adil, kerana kesaksian orang yang tidak adil tidak

dapat diambil kira.

Analisis Lafaz

“‫تَ َرا َءى النَّاسُ ْال ِهاَل َل‬,“orang ramai berhimpun untuk melihat anak bulan. Makna asal kata

“‫راءى‬OOO‫“ ت‬ialah sebahagian kaum melihat sebahagian yang lain, yakni mereka saling

memandang antara satu sama lain.

11
‫صيَا ِم ِه‬ َ َّ‫صا َم َواَ َم َرالن‬
ِ ِ‫اس ب‬ َ َ‫“ف‬baginda berpuasa dan menyuruh orang ramai berpuasa kerana

berlandaskan kepada kesaksian Ibn Umar semata yang telah melihat anak bulan.

Fiqh Hadis

Untuk membuktikan anak bulan bulan Ramadhan cukup dilihat oleh seorang saksi

lelaki. Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahawa cukup untuk membuktikan

anak hilal bulan Ramadhan secara mutlak melalui penglihatan (rukyat) seorang yang bersifat

adil. Saksi itu mestilah seorang lelaki dan merdeka. Tetapi untuk membuktikan anak bulan

bulan yang selainnya seperti bulan Syawal maka itu tidaklah memadai, kecuali dengan

kesaksian dua orang lelaki yang adil lagi merdeka.

Imam Malik berkata: “Anak bulan bulan Ramadhan dan bulan Syawal baru dapat

dibuktikan melalui kesaksian dua orang lelaki yang adil atau jemaah yang berjumlah ramai

yang sekurang-kurangnya terdiri daripada lima orang. Ini berlaku bagi lembaga khusus yang

menangani masalah melihat anak bulan. Adapun bagi seseorang yang tidak menangani

urusan ini, maka cukup dibuktikan hanya dengan kesaksian satu orang yang bersifat adil.”

Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya berkata: “Apabila di atas langit terdapat

halangan seperti awan atau jerebu, maka kesaksian satu orang yang bersifat adil boleh

diterima bagi membuktikan anak bulan bulan Ramadhan, meskipun dia adalah hamba

sahaya atau seorang wanita. Oleh kerana masalah ini adalah masalah yang berkaitan dengan

agama dan kesaksian orang yang bersifat adil dapat diterima dalam masalah-masalah agama,

maka tidak disyaratkan mengucapkan kata-kata kesaksian. Apapun, untuk membuktikan

anak bulan selain bulan Ramadhan, seperti bulan Syawal mestilah dengan kesaksian dua

orang lelaki yang merdeka atau seorang lelaki merdeka dengan dua orang wanita merdeka,

tetapi dengan syarat semua mereka bersifat adil, sebagaimana disyaratkan pula

12
mengucapkan kata-kata kesaksian, kerana adanya kaitan hak hamba-hamba Allah dengan

perkara itu, lain halnya dengan puasa Ramadhan yang merupakan hak Allah (s.w.t) semata.

Jika di atas langit tidak terdapat halangan, maka dalam membuktikan bulan Ramadhan dan

bulan yang selainnya diharuskan adanya kesaksian sejumlah orang yang telah diyakini

mereka bersifat jujur. Ini kerana berita selain mereka dalam keadaan seperti itu jelas keliru,

sehingga berita mereka pun tidak boleh diterima.” Imam Abu Hanifah sendiri mengatakan

cukup dengan kesaksian dua orang (lelaki) yang melihat anak bulan, sekalipun di atas langit

tidak terdapat halangan.

C. Hikmah Puasa

Puasa mempunyai hikmah dan rahasia yang agung, diantaranya:

1. puasa merupakan bentuk katatan yang paling mulia dan suatu rahasia antara hamba

dengan Tuhannya. Punsa juga berfungsi sebagai puncak barometer dalam melaksanakan

amanah.

2. Puasa menghiasi diri dengan keutamaan sifat sabar yang terhimpun dalam tiga bentuk

sabar, yaitu: sabar dalam ketaatan kepada Allah SWT, sabar dalam menjauhi maksiat,

dan sabar dalam menerima cobaanAllah SWT.

3. Puasa adalah latihan menghadapi penderitaan berupa kekurangan. Karena rasa lapar

mengingatkan seorang hamba akan nikmat-nikmat Allah SWT (yang telah diberikan

kepadanya terus-menerus) sehingga mengingatkan dirinya pada saudara-saudaranya

yang fakir, menderita, dan kekurangan sepanjang masa.

4. puasa memiliki fungsi kesehatan, karena mampu memberikan relaksasi dan waktu

istirahat (dari pengisian dan pengosongan) bagi alat pencemaan. Dengan demikian, alat

pencernaan bisa beristirahat serta mengembalikan vitalitas dan kekuatannya.

13
Alhasil, puasa merupakan suatu ibadah mulia yang menghimpun seluruh budi pekerti

dan menghindarkan dari semua perbuatan jahat. Karenanya , Allah SWT mewajibkan puasa

kepada umat terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an, "Wahai omngorang yang

beriman, sesunguhnya telah di wajibkan berpuasa atas kalian sebagaimana telah di wajibkan

atas orang-orang sebelum kamuu agar kamu bertakwa”.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara bahasa puasa yaitu Ahs-Shiyam yang berarti menahan. Orang yang diam

disebut shaa'im, karena menahan dari perkataan. Adapun menurut hukum syar'i, ash-

shiyam berarti menahan diri dari hal-hal tertentu dengan suatu niat (ketika

melakukannya) pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan Saumu, menurut bahasa

Arab adalah “menahan dari segala sesuatu”. Sedangkan menurut istilah, Saumu adalah

menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit

fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan beberapa syarat.

Adapun macam-macam Puasa :

Puasa wajib atau puasa fardhu terdiri dari puasa fardhu ain atau puasa wajib yang

harus dilaksanakan untuk memenuhi panggilan Allah ta’ala yang disebut puasa

ramadhan. Sedangkan puasa wajib yang terdiri dalam suatu hal sebagai hak Allah SWT

atau disebut puasa kafarat. Puasa makruh, yaitu puasa yang dilakukan terus menerus

sepanjang masa kecuali pada bulan haram, disamping itu makruh puasa pada setiap hari

14
sabtu saja atau tiap jumat saja. Puasa haram yaitu haram berpuasa pada waktu-waktu

tertentu.

B. Hikmah puasa

Adapun beberapa hikmah puasa, puasa memiliki banyak hikmah antara lain :

1. Puasa merupakan bentuk katatan yang paling mulia dan suatu rahasia antara

hamba dengan Tuhannya.

2. Puasa adalah latihan menghadapi penderitaan berupa kekurangan. Karena rasa

lapar mengingatkan seorang hamba akan nikmat-nikmat Allah SWT.

3. Puasa menghiasi diri dengan keutamaan sifat sabar yang terhimpun dalam tiga

bentuk sabar, yaitu: sabar dalam ketaatan kepada Allah SWT, sabar dalam

menjauhi maksiat, dan sabar dalam menerima cobaanAllah SWT.

15
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi H.M Nor Hasanuddin. 2010. Ibanah Al-Hakam Syarah Bulugh Al-Maram (Jilid kedua),

Kuala Lumpur: Al-Hidayah Publication.

16

Anda mungkin juga menyukai