Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat, mencampur,
meracik formulasi obat, identifikasi, kombinasi, analisis dan
standarisasi/pembakuan obat serta pengobatan, termasuk pula sifat-sifat obat dan
distribusinya serta penggunaan yang aman (Syamsuni, 2006).
Dalam ilmu farmasi juga mempelajari sifat-sifat fisik suatu molekul zat
karena merupakan dasar dalam penyusunan formula sediaan obat dimana sifat
fisika molekul obat lah yang akan memengaruhi aspek-aspek formulasi zat obat
hingga menjadi sebuah sediaan farmasi yang memenuhi syarat. Dalam suatu
sediaan farmasi, tiap senyawa yang terkandung dalam suatu sediaan diharapkan
dapat stabil baik secara fisika, kimia maupun mikrobiologi.
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu obat
atau sediaan farmasi biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan
memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke tangan pasien yang membutuhkan.
Sehingga dalam hal ini, dalam pembuatan obat harus diketahui waktu paruh suatu
obat.
Waktu paruh suatu obat dapat memberikan gambaran stabilitas obat, yaitu
gambaran kecepatan terurainya obat atau kecepatan degradasi kimiawinya. Panas,
asam-asam, alkali-alkali, oksigen, cahaya, kelembaban dan faktor-faktor lain
dapat menyebabkan rusaknya obat. Pentingnya mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi staabilitas obat ini berguna agar seorang farmasi dapat
menentukan perlakuan pada setiap sediaan untuk menjaga kondisi optimum dalam
stabilitas obat.
Ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan obat, yang pertama adalah
labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu, termasuk struktur kimia masing-
masing bahan dan sifat kimia fisika dari masing-masing bahan. Yang kedua
adalah faktor-faktor luar, seperti suhu, cahaya, kelembaban, dan udara, yang
mampu menginduksi atau mempercepat reaksi degradasi bahan. Mekanisme

1
degradasi dapat disebabkan oleh pecahnya suatu ikatan, pergantian spesies, atau
perpindahan atom-atom dan ion-ion jika dua molekul bertabrakan dalam tabung
reaksi (Moechtar, 1989).
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan praktikum stabilitas obat untuk
mengetahui faktor suhu dalam stabilitas obat paracetamol tablet serta waktu paruh
dari sediaan tersebut.
1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
1.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami faktor suhu dan waktu kestabilan obat, waktu
paruh (usia simpan suatu zat), dan penggunaan data kinetika kimia untuk
memperkirakan stabilitas suatu obat.
1.2.2 Tujuan Percobaan
1. Mengetahui dan memahami tingkat reaksi penguraian suatu zat
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan obat
3. Dapat menentukan usia simpan suatu zat
1.3 Prinsip Percobaan
Penentuan kestabilan paracetamol dengan menentukan waktu paruh, dan
lama penyimpanan, yang dipengaruhi oleh suhu yang berbeda yaitu pada suhu
400c dan 600 c, menggunakan Spektrofotometri UV-Vis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi
kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama
penyimpanan ( Connors,et al.,1986).
Pada pembuatan obat harus diketahui waktu paro suatu obat. Waktu paro
suatu obat dapat memberikan gambaran stabilitas obat, yaitu gambaran kecepatan
terurainya obat atau kecepatan degradasi kimiawinya. Panas, asam-asam, alkali-
alkali, oksigen, cahaya, kelembaban dan faktor-faktor lain dapat menyebabkan
rusaknya obat. Mekanisme degradasi dapat disebabkan oleh pecahnya suatu
ikatan, pergantian spesies, atau perpindahan atom-atom dan ion-ion jika dua
molekul bertabrakan dalam tabung reaksi (Moechtar, 1989).
Menurut Voight, R. (1994), ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan
obat yaitu :
1. Labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu, termasuk struktur kimia
masing-masing bahan dan sifat kimia fisika dari masing-masing bahan.
2. Faktor-faktor luar, seperti suhu, cahaya, kelembaban, dan udara, yang
mampu menginduksi atau mempercepat reaksi degradasi bahan.
Skala kualitas yang penting untuk menilai kestabilan suatu bahan obat
adalah kandungan bahan aktif, keadaan galenik, termasuk sifat yang terlihat
secara sensorik, secara miktobiologis, toksikologis, dan aktivitas terapetis bahan
itu sendiri. Skala perubahan yang diijinkan ditetapkan untuk obat yang terdaftar
dalam farmakope. Kandungan bahan aktif yang bersangkutan secara internasional
ditolerir suatu penurunan sebanyak 10% dari kandungan sebenarnya (Voight, R.,
1994).
Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana reaksi
penguraian dari larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam (H+) atau
basa (OH-) dengan menggunakan katalisator yang dapat mempercepat reaksi
tanpa ikut bereaksi dan tidak mempengaruhi hasil dari reaksi. (Ansel, 1989).

3
Kestabilan dari suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal itu penting mengingat sediaannya
biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan juga memrlukan waktu yang
lama untuk sampai ketangan pasien yang membutuhkannya. Obat yang disimpan
dalam jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan
hasil urai dari zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat membahaykan jiwa
pasien. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
kestabilan suatu zat hingga dapat dipilih suatu kondisi dimana kestabilan obat
tersebut optimum. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004).
Stabilitas fisik dan kimia bahan obat baik dan tersendiri dengan bahan –
bahan dari formulasi yang merupakan kriteria paling penting untuk menentukan
suatu stabilitas kimia dan farmasi serta mempersatukannya sebelum
memformulasikan menjadi bentuk-bentuk sediaan (Ansel, 1989).
Kestabilan suatu sediaan farmasi dapat dievaluasi dengan test stabilitas
dipercepat dengan mengamati perubahan kosentrasi pada suhu yang tinggi
(Lachman, 1994).
Proses laju merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan bagi setiap orang
yang berkaitan dengan bidang kefarmasian. Beberapa prinsip dan proses laju yang
berkaitan dimasukkan dalam rantai peristiwa ini: Kestabilan dan tak
tercampurkan. Proses laju umumnya adalah sesuatu yang menyebabkan
ketidakaktifan obat melalui penguraian obat, atau melalui hilangnya khasiat obat
karena perubahan bentuk fisik dan kima yang kurang diinginkan dari obat
tersebut.
Yang perlu diperhatikan dari faktor disolusi adalah kecepatan berubahnya
obat dalam bentuk sediaan padat menjadi bentuk larutan molekular. Proses
absorpsi, distribusi, dan eliminasi Beberapa proses ini berkaitan dengan laju
absorbs obat ke dalam tubuh, laju distribusi obat dalam tubuh, dan laju
pengeluaran obat setalah proses ditribusi dengan berbagai faktor, seperti
metabolisme, penyimpanan dalam organ tubuh, dan melalui jalur-jalur pelepasan.
Kerja obat pada tingkat molekular obat. Obat dapat dibuat dalam bentuk yang

4
tepat dengan menganggap timbulnya respon dari obat merupakan suatu proses laju
(Martin, 1990).
Menurut Martin (1990), kecepatan dekomposisi obat ditunjukkan oleh
kecepatan perubahan mula-mula satu atau lebih reaktan dan ini dinyatakan dengan
tetapan kecepatan reaksi k, yang untuk orde ke satu dinyatakan sebagai harga
resiprok dari detik, menit, dan jam. Kecepatan terurainya suatu zat padat
mengikuti reaksi orde nol, orde satu, ataupun orde dua, yang persamaan tetapan
kecepatan reaksinya seperti tercantum dibawah ini:
Orde nol : K = c
t
Orde 1 : K = 2,302 Log Co atau K = 2,302 Log C
t C t Co – X
Orde 2 :K=X
Co(Co – X)t
Dimana:
k = tetapan kecepatan reaksi
Co = konsentrasi mula-mula zat
C = konsentrasi zat pada waktu t
X = jumlah obat yang terurai pada waktu t
C = Co – X = konsentrasi mula-mula jumlah yang terurai pada waktu t.
Orde reaksi dapat ditentukan dengan beberapa metode, yaitu:
Metode Substitusi Data yang terkumpul dari hasil pengamatan jalannya suatu
reaksi disubstitusikan ke dalam bentuk integral dari persamaan berbagai orde
reaksi. Jika persamaan itu menghasilkan harga k yang tetap konstan dalam batas-
batas variasi percobaan, maka reaksi dianggap berjalan sesuai dengan orde reaksi
tersebut. Metode Grafik Plot data dalam bentuk grafik dapat digunakan untuk
mengetahui orde reaksi tersebut. Jika konsentrasi diplot terhadap t dan didapatkan
garis lurus, reaksi adalah orde nol. Reaksi dikatakan orde pertama bila log (Co –
X) terhadap t menghasilkan garis lurus bila 1 / (Co – X) diplot terhadap t (jika
konsentrasi mula-mula sama). Jika plot 1 / (Co – X)2 terhadap t menghasilkan

5
garis lurus dengan seluruh reaktan konsenrasi mula-mulanya, reaksi adalah orde
ketiga.
Metode Waktu Paruh Waktu yang dibutuhkan oleh suatu obat untuk terurai
setengahnya dari konsentrasi mula-mula adalah waktu paruh. Dalam reaksi orde
nol, waktu paruh sebanding dengan konsentrasi awal (Co) seperti pada tabel
waktu paruh:
Orde Persamaan orde reaksi Persamaan waktu paruh
0X = k.t t1/2 = Co / 2k
1 log Co =k.t
(Co – X) 2,303
t½ = 0,693 / k
2X = k.t
Co(Co – X) t ½ = 1 / Co.k
(Martin, 1990)
Tidak tergantung dari karakter jalannya proses jalannya penguraian
(perubahan kimia, fisika dan mikrobiologis) adalah terpenting untuk mengetahui
waktu yang mana bahan obat atau sistem bahan obat dibawah persyaratan
lingkungan tertentu. Memenuhi tuntutan yang telah dilaporkan. Untuk mendeteksi
perbandingan stabilitas maka dipakai 2 metode yakni (1) tes daya tahan waktu
panjang yang mengantarkan bahwa obat selama ruang waktu yang diminati
disimpan di bawa persyaratan penyimpanan (suhu, cahaya, udara dan
kelembapan) yang dituntut atau diharapkan di dalam lemari pendingin atau ruang
pendingin dan dalam jarak waktu yang cocok dan pada akhir percobaan dikontrol
kandungan bahan obat atau nilai efektifnya, sifat mikrobiologis, maupun sifat
sensoris dan keadaan galeniknya yang dapat dideteksi dengan metode fisika. (2)
tes daya tahan dipercepat dilakukan dibawah pembebanan panas, dengan ini
digunakan membuat peraturan kinetika reaksi, lagi pula penguraian dipelajari
pada suhu yang lebih tinggi daripada suhu ruang dan kemudian diekstrapolasikan
pada suhu penyimpanan (Voight, 1995).
Degradasi kimia konstituen dalam sebuah produk obat sering menyebabkan
kerugian dalam potensi, misalnya, hidrolisis cincin b-laktam hasil benzilpenisilin

6
dalam aktivitas antimikroba yang lebih rendah. dalam contoh beberapa produk
degradasi dari obat mungkin degradasi beracun suatu eksipien dapat menimbulkan
masalah stabilitas fisik atau mikrobiologis. Pada umumnya, reaksi kimia
berlangsung lebih mudah dalam keadaan cair daripada dalam keadaan padat
sehingga masalah stabilitas serius lebih umum ditemui dalam obat cair (Walter,
1994).
Stabilitas farmasi harus diketahui untuk memastikan bahwa pasien
menerima dosis obat yang diresepkan dan bukan hasil ditemukan degradasi efek
terapi aktif. farmasi diproduksi bertanggung jawab untuk memastikan ia
merupakan produk yang stabil yang dipasarkan dalam batas-batas tanggal
kedaluwarsa. apoteker komunitas memerlukan pengetahuan tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi stabilitas bahwa ia benar dapat menyimpan obat-obatan,
pemilihan wadah yang tepat untuk mengeluarkan obat tersebut, mengantisipasi
interaksi ketika pencampuran beberapa bahan obat, persiapan, dan
menginformasikan kepada pasien setiap perubahan yang mungkin terjadi setelah
obat telah diberikan (Parrot, 1978).
Menurut Ansel (1985) Ketidakstabilan yang terpenting adalah secara fisika :
1. Perubahan struktur kristal
Banyak bahan obat menunjukkan sifat polimorf artinya mereka
berkemampuan muntuk muncul dalam modifikasi yang berlainan. Selama
penyimpanan dapat berlangsung perubahan polimorf, yang disebabkan perubhan
lingkungan dalam sediaan obat yang tidak dapat dilihat secara orgaleptik, tetapi
umumnya menyebabkan perubahan dalam sikap pelepasan dan sikap
rebsorbsinya.
2. Perubahan keadaan distribusi
Melalui efektivitas gravitasi pada cairan sistem berfase banyak
memungkinkan terjadi munculnya pemisahan, yang mula-mula terasakan hanya
sebagai pergeseran tingkat dispersitas yang dapat dilihat secara mikroskopis,
tetapi dalam stadium yang lebih maju dapat juga dilihat secara makroskopis
sebagai sedimentasi atau pengapungan . Perubahan konsistensi dan agregat
Sediaan obat semi padat seperti salep dan pasta selama penyimpanannya

7
seringkali mengeras kemudia yang dalam kasus ekstrim mengarahnya padda suatu
kerugian daya penerapannya.
3. Perubahan perbandingan kelarutan
Pada sistem dispersi monokuler misalnya larutan bahan obat dapat
menyebabkan terlampauinya produk kelarutan, dengan demikian terjadi
pemisahan (pengendapan) dari bahan terlarut melampaui perubahan konsentrasi
yang disebabkan oleh penguapan bahan pelarut atau melalui perubahan suhu.
4. Perubahan perbandingan hidratasi
Melalui pengambilan atau pelepasan dari cairan perbandingan hidratasi
senyawa dipengaruhi dan denggan demikian menentukan sifat. Contoh yang jelas
nyata adalah pencairan atau menjadi kotornya ekstrak disebabkan oleh
higroskopisitas yang besar dari sediaan ini.
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 1979; Rowe, et al. 2009)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Alkohol, Etanol, Etil alkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Berat molekul : 46,07
Rumus Struktur :

H3C OH

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap


dan mudah bergerak; bau khas ; rasa. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasa
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform
P dan eter P
Khasiat : Antiseptik (menghambat pertumbuhan mikroba
pada bagian tubuh), desinfektan (antimikroba,
untuk mensterilkan peralatan)

8
Kegunaan : Sebagai desinfektan dan pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, di tempat sejuk, jauh dari nyala api
2.2.2 Paracetamol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : ACETAMINOPHEN
Nama Lain : Paracetamol
Rumus Molekul : C8H9NO2
Berat Molekul : 151,16 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur atau hablur putih, tidak berbau, rasa pahit.


Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%) P, dalam 40 bagian gliserol P, dan dalam
bagian propilengliko; larut dalam alkali hidroksida.
Kegunaan : Sebagai sampel
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

9
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Percobaan
Dilaksanakannya praktikum farmasi fisika dengan percobaaan stabilitas obat
pada tanggal 20 November 2019. Pukul 07.00 WITA yang bertempat di
Laboratorium Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan
Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan diantaranya : gelas beaker, gelas ukur, kuvet,
lumpang dan alu, oven, pengaduk, pipet mikro, pipet tetes, spatula,
spektrofotometri UV-Vis, stopwatch, timbangan, dan vial.
3.2.2 Bahan
Adapun bahan-bahannya yaitu alkohol 70%, alkohol 96%, paracetamol, dan
tisu.
3.2 Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%.
3. Digerus obat paracetamol tablet dan ditimbang sebanyak 0,01 gram
4. Dilarutkan paracetamol dengan alkohol 96 % sebanyak 10 mL untuk
membuat pengenceran 1000 ppm
5. Dipipet 1 mL dari larutan 1000 ppm untuk membuat larutan 100 ppm
6. Dipipet 1 mL larutan 100 ppm untuk membuat larutan 10 ppm
7. Dibuat larutan blangko sebanyak 10 mL
8. Dimasukkan ke empat larutan standar dan larutan blangko dalam vial
9. Dimasukkan ke empat larutan standar dan larutan blangko ke dalam kuvet
10. Diukur serapan absorbansi/sampel menggunakan spektrofotometri UV-Vis
11. Diambil larutan sampel yang mendekati range 0,2-0,8 yaitu sampel 40 ppm
dimana absorbansinya 0,7
12. Dibuat 4 vial

10
13. Dimasukkan dalam oven pada suhu 40oC Selama 10 dan 20 menit pada 2
vial pertama, dan 2 vial berikutnya untuk suhu 60oC selam 10 dan 20 menit
14. Dilakukan perbandingan absorbansi yang didapatkan.

11
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Perhitungan
a. 1.000.000 1.000 ppm; 10 ml
M1×V1 = M2×V2
1.000.000 × V1 = 1.000 × 10 mL
10.000
V1 =
1.000.000
V1 = 0,01 g
b. 1.000 ppm 100 ppm; 20 ml
M1×V1 = M2×V2
1.000 × V1 = 100 × 20 mL
2000
V1 =
1000
V1 = 2 mL ad 20 mL
c. 100 ppm 10 ppm; 10 ml
M1×V1 = M2×V2
100 × V1 = 10 × 10 mL
100
V1 =
100
V1 = 1 mL ad 10 mL
d. 10 ppm 3 ppm; 10 ml
M1×V1 = M2×V2
10 × V1 = 3 × 10 mL
30
V1 =
10
V1 = 3 mL ad 10 mL
e. 10 ppm 1 ppm; 10 ml
M1×V1 = M2×V2
10 × V1 = 1 × 10 mL

12
10
V1 =
10
V1 = 1 mL ad 10 mL
f. 10 ppm 2 ppm; 10 ml
M1×V1 = M2×V2
10 × V1 = 2 × 10 mL
20
V1 =
10
V1 = 2 mL ad 10 mL
g. 10 ppm 4 ppm; 10 ml
M1×V1 = M2×V2
10 × V1 = 4 × 10 mL
40
V1 =
10
V1 = 4 mL ad 10 mL
4.1.2 Tabel Pengamatan
No Kadar Paracetamol (ppm) Absorbansi (A)
1 1 0,344
2 2 0,444
3 3 0,601
4 4 0,733

13
KURVA BAKU
0.8
0.7
ABSORBANSI

f(x) = 0.12 x + 0.12


0.6 R² = 0.98
0.5
0.4
0.3 Linear ()
0.2
0.1
0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
KONSENTRASI (PPM)

4.1.3 Data Pengamatan


Waktu (menit) Suhu 40º C Suhu 60º C
10 0,838 0,893
20 0,740 0,739

a. Waktu 10 menit Suhu 40º C


y = a + bx
0,838 = 0,19950 + 0,13240x
-0,13240x = 0,19950 – 0,838
−0,6385
x=
0,13240
= -4,82250
= 4,82
b. Waktu 20 menit Suhu 40º C
y = a + bx
0,740 = 0,19950 + 0,13240x
-0,13240x = 0,19950 – 0,740
−0,5405
x=
0,13240

14
= -4,08232
= 4,08
c. Waktu 10 menit Suhu 60º C
y = a + bx
0,839 = 0,19950 + 0,13240x
-13240x = 0,19950 – 0,839
−0,6395
x=
0,13240
= - 4,83005
= 4,83
d. Waktu 20 menit Suhu 60º C
y = a + bx
0,739 = 0,19950 + 0,13240x
-0,13240x = 0,19950 – 0,739
−0,1795
x=
0,13240
= - 135574
= 1,35
4.1.4 Perhitungan Konsentrasi Asam Mefenamat
Waktu (menit) Suhu 40º C Suhu 60º C
10 4,82 4,83
20 4,08 1,35
4.1.5 Perhitungan Koefisien Kolerasi (Suhu 30º C)
Waktu (menit) Konsentrasi (C) Log C 1/log C
10 4,82 0,6830 1,4641
20 4,08 0,6106 1,6377

4.1.6 Perhitungan Koefisien Kolerasi (Suhu 60º C)


Waktu (menit) Konsentrasi (C) Log C 1/ log C
10 4,83 0,6839 1,4622
20 1,35 0,1303 7,6745

4.1.7 Perhitungan Orde Reaksi


a. Suhu 40º C

15
Orde Regresi Hasil
a 5,56
0 b -0,074
r -1
a 0,7554
1 b -7, 24 x 10-3
r -1
a 1,2905
2 b 0, 0736
r 1

b. Suhu 60º C
Orde Regresi Hasil
a 8,31
0 b -0,348
r -1
a 1,2375
1 b -0,05536
r -1
a -4, 7501
2 b 0,00097
r 1

4.1.8 Orde Koefisien Kolerasi (r)


Orde Suhu 30º C Suhu 60º C
0 -1 -1
1 -1 -1
2 1 1

4.1.9 Penentuan Nilai Mutlak K


Suhu B K
40º C 0,0008 0,0008
60º C 0,00057 0,00057

4.1.10 Penentuan nilai K pada suhu 25ºC, suhu 30oC dan 60oC
Keterangan :
Suhu (ºK) = 273 + Suhu ºC
a. Untuk suhu 25ºC
= 273 + 25

16
= 298 K
b. Untuk Suhu 30ºC
= 273 + 40
= 313 K
c. Untuk Suhu 60ºC
= 273 + 60ºC
= 333 K
4.1.11 Nilai I/T (α)
a. Untuk Suhu 25ºC
1
=
298
= 3,355 x 10-3
b. Untuk Suhu 40ºC
1
=
313
= 3,194 x 10-3
c. Untuk Suhu 60ºC
1
=
333
= 3,003 x 10-3
Suhu (ºC) Suhu (K) I/T x 10-3 K Log K
25 298 3,355
30 313 3,194 0,0008 -3,0969
60 333 3,003 0,00057 -3,224

4.1.12 Perhitungan untuk Suhu 25ºC pada orde 2


Log K : Log A - Ea
Regresi : x dan Log K
y = a + bx
y = -30,4378 + 8897,86 (3,355 x 10-3)
= 8.867,42 x (3,355 x10-3)
= 29,750
y = log K

17
K = antilog y
= antilog 29,750
= 5,6234
4.1.13 Perhitungan Waktu Paruh
Orde nol
1
t1/2 =
cok
1
=
1000 x 5,6234
1
=
5623,4
= 0,000177 menit
4.1.14 Waktu Lama Penyimpanan
1 co
T90 = x
g k
1 1000
= x
g 5,6234
1000
=
50,61
= 19,75894092 menit
4.2 Pembahasan
Stabilitas obat adalah kemampuan suatu obat untuk mempertahankan sifat
dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat
(identitas, kekuatan, kualitas, kemurnian) dalam batas yang ditetapkan sepanjang
periode penyimpanan dan penggunaan sehingga mampu memberikan efek yang
baik dan menghindari efek toksik. Stabilitas adalah faktor penting kualitas,
keamanan dan kemanjuran dari produk obat. Sebuah produk obat, yang tidak
cukup stabil, dapat mengakibatkan perubahan fisik (seperti kekerasan, menilai
pembubaran, pemindahan fase dll) serta karakteristik kimia (pembentukan risiko
tinggi dekomposisi zat) (Joshita, 2008).
Laju reaksi atau kecepatan reaksi menyatakan banyaknya reaksi yang
berlangsung per satuan waktu. Laju reaksi menyatakan konsentrasi zat terlarut

18
dalam reaksi yang dihasilkan tiap detik reaksi. Berdasarkan eksperimen, laju
reaksi meningkat tajam dengan naiknya suhu (Martin, 1990).
T1/2 adalah periode penggunaan dan penyimpanan yaitu waktu dimana suatu
produk tetap memenuhi spesifikasinya jika disimpan dalam wadahnya yang sesuai
dengan kondisi atau waktu yang diperlukan untuk hilangnya konsentrasi
setengahnya. Sedangkan T90 adalah waktu Sedangkan T90 adalah waktu yang
tertera yang menunjukkan batas waktu diperbolehkannya obattersebut dikonsumsi
karena diharapkan masih memenuhi spesifikasi yangditetapkan (Martin, 1990).
Pada praktikum stabilitas obat ini bahan yang digunakan adalah
Paracetamol. Dimana dilakukan penentuan stabilitas obat Paracetamol
menggunakan metode grafik berdasarkan nilai konstanta kecepatan reaksi, waktu
paruh (T1/2) dan T90 (waktu kadaluarsa) dan menggunakan instrumen UV-Vis
pada berbagai suhu yaitu suhu 40oC dan 60oC. Dimana panjang gelombang untuk
Paracetamol adalah 247 nm.
Degradasi yang menyebabkan paracetamol tidak stabil adalah peristiwa
hidrolisis yang memecah paracetamol menjadi p-aminofenol dan asam asetat, dan
hal ini dapat terjadi selama penyimpanan obat, sehingga kontrol kualitas dan
penetapan waktu kadaluwarsa obat sangat diperlukan, selain itu penting untuk
memformulasikan obat sedekat mungkin denga pH optimumnya untuk
memperoleh sediaan yang lebih stabil selama penyimpanan (Connors, et al.,
1986).
Adapun tujuan dilakukan pada berbagai suhu 40oC dan 60oC dimaksudkan
untuk membedakan atau mengetahui pada suhu berapa obat dapat stabil dengan
baik dan pada suhu berapa obat akan terurai dengan cepat. Jika menggunakan
suhu yang tinggi kita mampu mengetahui penguraian obat dengan cepat.
Sedangkan jika menggunakan suhu kamar dalam pengujian maka butuh waktu
yang lama untuk dapat terurai atau terdegradasi walaupun sebenarnya dalam suhu
kamarpun paracetamol sudah dapat terdegradasi.
Proses yang dikerjakan dalam praktikum ini yaitu, disiapkan alat dan bahan
yang akan digunakan, kemudian dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
dengan menggunakan tisu, guna menghambat atau membunuh mikroba. Menurut

19
Tjay (2007), alkohol 70% bersifat sebagai desinfektan yang bertujuan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Setelah membersihkan alat,
dilakukan pengenceran larutan menjadi 1000 ppm, 100 ppm, 10 ppm,1 ppm, 2
ppm,3 ppm dan 4 ppm. Menurut Tortora (2010), pengenceran ini bertujuan untuk
menurunkan konsentrasi dari larutan atau sampel yang digunakan
Digerus obat paracetamol dan ditimbang secara seksama 0,01 gram lalu di
larutkan dalam 10 ml alkohol 96% untuk membuat 1000 ppm, adapun tujuan
penambahan alkohol adalah untuk melarutkan paracetamol, karena jika dilihat
dari pemerian paracetamol menurut Dirjen POM (1979), yakni larut dalam 70
bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40
bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P; larut dalam larutan
alkalihidroksida, maka dipilih pelarut yang cocok yaitu alkohol atau etanol,
setelah dilarutkan dengan alcohol, selanjutnya diaduk menggunakan batang
pengaduk. Tujuan dilakukan pengadukan menurut Pience (2005) yaitu untuk
membentuk larutan yang homogen dan mempercepat proses pelarutan, karena
apabila suatu zat padat dimasukkan ke dalam pelarut, maka akan terjadi proses
pelarutan dimana partikel-partikel atau molekul-molekul zat padat akan terlepas
dari struktur padatnya kemudian berinteraksi dengan molekul-molekul pelarut
membentuk larutan yang homogen.
Paracetamol yang telah dilarutkan, kemudian diambil 2 ml dari
pengenceran 1000 ppm dan ditambahkan alkohol 96% sampai 10 ml untuk
membuat larutan 100 ppm yang digunakan sebagai larutan sampel. Kemudian
diambil lagi 1 ml dari pengenceran 100 ppm dan ditambahkan alkohol sampai 10
ml dan dimasukkan ke dalam botol vial sebagai pengenceran 10 ppm, 1 ml untuk
pengenceran 1 ppm, 2 ml untuk pengenceran 2 ppm, 3 ml untuk pengenceran 3
ppm, dan 4 ml untuk pengenceran 4 ppm. Kemudian larutan tersebut dimasukkan
kedalam vial yang berukuran 10 mL, dan beri label pada setiap masing masing
vial. Banyaknya larutan stock dan aquadest yang digunakan berdasarkan
perhitungan untuk pengenceran paracetamol yang telah dilakukan sebelumnya.
Keempat hasil pengenceran dan larutan blanko kemudian dimasukkan
kedalam kuvet untuk diukur serapan absorbansinya menggunakan

20
spektrofotometri UV-VIS. Menurut Miller (2000), tujuan dari pengukuran
menggunakan spektrofotometer dalam percobaan ini adalah mengukur transmitans
atau absorbans suatu sampel yang dinyatakan dalam fungsi panjang gelombang.
Setelah mengukur nilai absorbansi dari keempat sampel tersebut diambil
Paracetammol 4 ppm yang diperoleh hasil 0,733 µm alasan kita memilih ini
karena pengenceran parasetamol 4 ppm yang paling mendekati range pembacaan
pada spektrorofotometri. Menurut Suharman (1995), analisis dengan
spektrofotometri UV-Vis Pembacaan A (0,2-0,8) atau %T (15-65%) akan
memberikan persentase kesalahan analisis yang dapat diterima.
Stabilitas suatu obat akan di pengaruhi oleh suhu, karena Menurut Alifa
(2012), suhu yang tinggi dapat mempengaruhi semua reaksi kimia. Kenaikan suhu
akan mempercepat reaksi kimia suatu obat. Karena suhu yang terlalu tinggi akan
menyebabkan stabilitas obat menjadi berkurang dan akhirnya menyebabkan
penurunan dari kadar suatu obat.
Pada kali ini menggunakan dua botol vial sampel yang akan di masukkan
ke dalam oven bersuhu 400C dan dua botol vial pada suhu 600C, yang masing-
masing selama 10 menit, dan 20 menit. Menurut Anwar (2012), alasan
dilakukannya variasi suhu tersebut yaitu agar diketahui pada suhu berapa suatu
sediaan secara optimum dapat stabil dan untuk mengetahui pengaruh temperatur
terhadap kecepatan reaksi suatu obat, sedangkan penggunaan variasi waktu
dilakukan untuk mengetahui dimana pada setiap waktu, kestabilan suatu sediaan
atau obat makin berkurang atau batas kadaluarsa obat semakin cepat. Setelah
dimasukkan kedalam oven, sampel diukur kembali nilai absorbansinya. Telah
diperoleh nilai absorbansi pada suhu 400C selama 10 menit adalah 0,838 A dan
waktu 20 menit 0,740 A. Sedangkan nilai absorbansi pada suhu 60 0C pada waktu
10 menit adalah 0,893 A, dan waktu 20 menit 0,739 A. Sehingga dapat diperoleh
waktu paruh pada suhu 25oC adalah 0,000177 menit, dan lama waktu
penyimpanan paracetamol adalah 19,75894092 menit.
Beberapa kemungkinan kesalahan yaitu kurang telitinya praktikan saat
mengambil sampel paracetamol yang akan diencerkan, kurang teliti dalam

21
membuat pengenceran pada larutan stok dan kurang tepat saat pembacaan pada
spektrofotometer penggunaan kuvet.

22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Tingkat reaksi penguraian setengah obat paracetamol dalam tubuh adalah
0,000177 menit.
2. Stabilitas sediaan farmasi sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu semakin
tinggi suhu semakin menurun stabilitas dari obat, semakin lama pemanasan
semakin turun stabilitas dari obat tersebut. Faktor lain yaitu cahaya,
kelembaban, oksigen dan mikroorganisme, ukuran partikel, pH, kelarutan,
dan bahan tambahan kimia.
3. Usia simpan obat paracetamol yaitu 19,7589 menit.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Untuk laboratorium
Saran kami kepada pihak jurusan agar memperhatikan keadaan laboratorium
dan melengkapi alat-alat praktikum yang masih kurang untuk kepentingan
bersama
5.2.2 Saran untuk asisten
Agar lebih sabar dalam membimbing praktikan dan diharapkan kepada
asisten agar lebih mengawasi dan tegas kepada praktikan yang mengganggu
kenyamanan praktikan lainnya yang sedang memperhatikan.
5.2.1 Saran untuk praktikan
Agar lebih berhati-hati saat melakukan praktikum dan tetap menjaga
kebersihan laboratorium.

23

Anda mungkin juga menyukai