PENDAHULUAN
1
2. Warga negara biasanya menggantungkan masalah pemenuhan
kesejahteraan pada negara, sementara di sisi lain negara mempunyai
keterbatasan untuk memenuhi segala tuntutan.
3. Bagaimana warga memanfaatkan berbagai saluran untuk
menyampaiakan pemenuhan pelayanan dasar mereka termasuk saluran-
saluran informal seperti tokoh, lembaga komunal termasuk pasar
sebagai alternatif kelas menengah (Mas’udi W dan cornelis lay, 2018).
Pilpres 2019 dimasa mendatang tentu tidak lepas dari adanya isu
kesejahteraan dimana masyarakat sangat berharap pada negara untuk memenuhi
segala tuntutan meskipun negara mempunyai keterbatasan terhadap akses dan
tuntutan serta masyarakat memanfaatkan pemenuhan pelayanan dasar seperti
saluran informal. Sebagai alternatif untuk memenuhi segala tuntutan yang berada
pada pelayanan dasar. Pilpres 2019 di masa mendatang menjadikan ajang para
aktor-aktor politik untuk bertarung memenangkan hati masyarakat melalui isu
kesejahteraan. Tak jarang para aktor politik menurut kajian tentang politik
patronase dalam pemilu Indonesia tahun 2014 (Aspinall dan Sukmajati, 2015)
menyatakan bahwa berbagai skema kesejahteraan sering dikembangkan terutama
bertujuan untuk memperoleh dukungan elektoral dan dikelola dengan memelihara
ikatan klientelisme.
Target utama dari aktor-aktor politik dalam pilpres yaitu kelompok yang
berpendapatan rendah dan rakyat miskin. Sejumlah kajian yang menyatakan bahwa
kesejahteraan, dalam bentuk kemakmuran ekonomi adalah prasyarat untuk
perkembangan demokrasi. Kaitan antara pembangunan ekonomi dan demokrasi
telahmendorong banyak negarawan barat dan komentator politik untuk
memutuskan bahwa problem politik mendasarkan kepada tekanan dari
industrialisasi yang cepat. (Lipset, 2007:35).
Kemakmuran ekonomi mendorong peningkatan jumlah penduduk yang
berpendidikan, menumbuhkan kelas sadar politik, penegakan hukum yang baik dan
kompetesi ekonomi yang jujur. Dalam momentum pilpres 2019 mendatang hal
mendasar yang mesti dipenuhi masyarakat dalam memilih pemimpin dengan
2
rasionalitas yaitu melalui pendidikan politik yang baik di suatu negara. Sedangkan
kajian lain menyatakan bahwa demokrasi ialah syarat yang mesti dipenuhi oleh
negara-negara yang memiliki esensi demokrasi mekanisme memilih pemimpin
melalui kontestasi mendapatkan suara rakyat sehingga pemimpin yang terpilih
tersebut bisa membuat keputusan-keputusan politik sebuah negara. (Schumpeter,
2003:411). Terkait dengan isu pilpres 2019 dimasa mendatang yaitu negara
menyelenggarakan suatu kesempatan dimana masyarakat dengan bebas dan
merdeka untuk menerima segala visi misi yang digaungkan oleh para kandidat dan
program-program yang dicanangkan para aktor-aktor politik ataupun menolak
program-program maupun visi misi aktor yangtidak sesuai dengan keinginan dan
kondisi rakyat dengan tidak memilih pasangan di hari pencoblosan.
Indonesia akan menjajaki babak baru dalam praktek demokrasi yakni
dengan selenggara pemilihan presiden serta wakil presiden, pemilihan DPR, DPD,
DPRD provinsi,DPRD kabupaten/kota pada tahun 2019 mendatang. Kegiatan
pemilu pilpres pada tahun 2019 mendatang di Indonesia menggunakan sistem
plurality sistem. Sistem plurality yang dikenal sebagai first-past-the-post (FPTP).
FPTP adalah sistem pemilu yang sederhana karena seseorang kandidat perlu
memiliki suara yang lebih banyak dari pada penantangnya yang lain. Cara memilih
presiden dan wakil presiden dengan sistem suara terbanyak atau suara mayoritas.
Pemilihan umum pada tahun 2019 tentunya menggunakan rambu-rambu UU yang
mendasari terlaksananya pemilu dengan asas secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, adil ( LUBERJURDIL). Landasan undang-undang pemilu di
Indonesia yaitu berdasarkan uu no. 7 tahun 2017. Dalam undang-undang telah
dijelaskan bahwa kampanye serta pemungutan suara dilakukan secara serentak.
Pada pilpres 2019 ini untuk menghindari terjadinya kecurangan yang tidak
sehat dalam hal kampanye maupun saat pemilihan terlaksana. Dengan
terlaksananya pilpres di tahun 2019 mendatang memungkinkan terjadinya
tantangan-tantangan yang terkait dengan isu saat kampanye maupun isu-isu
tantangan yang terjadi saat pemilihan umum terlaksana. Dalam tulisan ini penulis
akan mengutarakan beberapa isu terkait dengan kampanye pilpres di tahun 2019.
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalah yang dapat diambil
dari makalah yang berjudul Refleksi Pra Pemilu 2019 adalah sebagai berikut:
1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah yang berjudul Refleksi
Pra Pemilu 2019 adalah :
4
1.4.1 Memberi wawasan kepada praja mengenai Pra pemilu 2019.
5
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pemilu
6
7. Threesholds, jenis treeshold umum digunakan dengan menggunakan
persentase yang tetap dari suara nasional atau distrik.
Partai politik adalah sarana politik yang mengatur tentang elit-elit politik
dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan
mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri,
mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut
menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam rangka memahami partai politik sebagai salah satu komponen infrastruktur
politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai partai politik, yakni:
7
rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
4. Miriam Budiardjo: Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama
dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.
8
BAB 3
PEMBAHASAN
Pemilu 1955 diadakan dua kali berdasarkan amanat UU No. 7 Tahun 1953.
Keduanya dibedakan berdasarkan tujuannya Pemilu pertama yang dilaksanakan
pada tanggal 29 September 1955 diadakan untuk memilih anggota-anggota DPR.
Pemilu kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan
Konstituante. Pada pemilu pertama diikuti oleh 118 peserta yang tediri dari 36
partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan, sedangkan untuk
Pemilu kedua diikuti oleh 91 peserta yang terdiri dari 39 partai politik, 23
organisasi kemasyarakatan, dan 29 perorangan.
Pemilu 1971
Pemilihan Umum kedua ini terjadi pada Masa Orde Baru berasaskan UU
No.15 Tahun 1969. Dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 1971 dengan tujuan pemilihan
anggota DPR dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel
daftar. 10 partai politik ikut dalam pemilu ini; Partai Nadhalatul Ulama, Partai
Muslim Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiiah,
Partai Nasionalis Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Murba dan Sekber Golongan Karya.
Pemilu 1977-1997
Menggunakan sistem yang sama pada sistem yang digunakan pada Pemilu
1971, Pemilu yang terjadi di Masa Orde Baru ini diawali pada tanggal 2 Mei 1977.
Berkat terjadinya fusi (peleburan) parpol peserta Pemilu, Pemilu 1977-1997 diikuti
hanya 3 peserta;
9
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai
NU, Parmusi, Perti, dan PSII.
2. Partai Golongan Karya (GOLKAR)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari PNI,
Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba.
Pemilu 1999
Pemilu 2004
Pada Pemilu 2004, masyarakat dapat secara langsung memilih DPR, DPD,
DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu 2004 diselenggarakan secara
serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota DPR, 128 Anggota
DPD serta DPRD periode 2004-2009. Sedangkan untuk pemilihan presiden dan
wakil presiden dilaksanakan pada 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004
(putaran II). Pemilu 2004 menunjukan kemajuan dalam demokrasi kita.
Pemilu 2009
Pemilu 2009 merupakan pemilihan umum kedua setelah Pemilu 2004 yang
diikuti pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Ketentuan dalam
pemilihan presiden dan wakil presiden ini ditentukan bahwa pasangan calon terpilih
adalah pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan
sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah
10
provinsi di Indonesia. Peserta pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009
diikuti oleh 44 Partai Politik (Parpol), yang terdiri dari 38 partai nasional dan 6
partai lokal Aceh.
Pemilu 2014
Diadakan dua kali pada tanggal 9 April 2014 dengan tujuan pemilihan para
anggota legislatif, disusul 3 bulan setelahnya pada tanggal 9 Juli 2014 dengan
tujuan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah 2014 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2014) untuk memilih 560 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2014-2019.
11
Legeslatif yang dimana diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu sendiri sebenarnya
baru akan dilaksanakan tahun 2002, oleh karena desakan berbagai pihak, kemudian
presiden habibie berhasil melaksanakan pemilu lebih cepat yakni pada tahun 1999.
12
dan kedua dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua). Setelah
keluarnya putusan MK tersebut, pada 18 Agustus 2009, KPU menetapkan SBY-
Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2009-2014
13
Banyak faktor yang membuat seorang tokoh menjadi menarik secara
emosional. Sosok yang bisa ditampilkan sebagai merakyat, elegan, sederhana, dan
apa adanya akan secara emosional menarik ketika komparasinya adalah sosok yang
terkesan protokoler, penuh dengan prosedural, karismatik, tapi terisolasi dari
publik. Ilustrasi pendekatan ini telah dapat kita lihat bagaimana Jokowi yang
berhasil memenangkan Pilpres 2014 karena berhasil menempatkan diri sebagai
sosok yang secara emosional menarik bagi umumnya pemilih saat itu.
Kedua, endorsement; melalui pendekatan ini seorang voter memilih
presiden karena rekomendasi dan garansi dari pihak luar yang dipercayainya. Pihak
luar itu bisa tokoh masyarakat (kiai, ulama, akademisi, ilmuwan), kerabat dekat,
ataupun kelompok-kelompok sosial seperti ormas, organisasi profesi, dan lain-lain.
Maka tidak mengherankan mengapa para capres membutuhkan dukungan dari
tokoh-tokoh berpengaruh di masyarakat, organisasi profesi, dan ormas karena
semua entitas dan personifikasi tersebut mampu memberikan endorsement kepada
para pemilih untuk memutuskan memilih tokoh yang dirujuknya.
Ketiga, familiarity; pemilih memilih karena tokoh yang bersangkutan telah
dikenal atau diketahui sebelumnya. Ini biasanya berlaku untuk kalangan kader dan
simpatisan dari partai-partai yang mendukung sang capres.
Teori kedua adalah yang dikemukakan oleh James Buchanan (seorang
peraih Nobel Ekonomi 1986) dengan teori terkenalnya yang disebut Rational
Choice. Pandangan Buchanan memegang prinsip dasar bahwa ketika seorang
melakukan pilihan pastilah yang menguntungkan dirinya. Sebab pada prinsipnya
manusia ketika mengambil keputusan tertentu berangkat dari pertimbangan utama
untuk memperjuangkan kepentingannya, tidak terkecuali ketika mengambil
keputusan dalam pemilihan umum.
Prabowo vs Jokowi
Kalau kita cermati lebih lanjut, pendekatan bounded rationality lebih tepat
digunakan oleh para penantang yang belum pernah menduduki kursi presiden.
Maka kalau Prabowo menggunakan strategi yang merujuk pada bounded
14
rationality adalah suatu hal yang niscaya untuk memenangkan konstestasi. Tapi,
bagi Jokowi cara-cara pendekatan ini seperti dukungan kiai, ormas, organisasi
profesi, tokoh berpengaruh tampaknya tidak bisa diandalkan lagi.
Yang wajib bagi seorang petahana adalah memastikan bahwa mayoritas
pemilih yakin kepentingan mereka sudah diakomodasi oleh petahana selama ia
menjabat. Kalau tidak demikian, maka petahana tidak akan mampu meyakinkan
pemilih untuk memilihnya kembali. Oleh karena itu mengapa pada menjelang akhir
masa jabatannya seorang presiden petahana di Amerika Serikat misalnya pasti
menjaga dua hal penting untuk memenangkan pemilu, yakni inflasi dan angka
pengangguran.
Tentu akan ada bobot yang lebih diprioritaskan, tergantung pada aspirasi
publik lebih menghendaki inflasi yang rendah atau pengangguran yang rendah.
Inflasi yang rendah menunjukkan akses voter terhadap barang dan jasa menjadi
lebih mudah. Terlebih terkait dengan barang kebutuhan dasar seperti sandang,
pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan, rendahnya angka
pengangguran menunjukkan petahana telah berhasil menciptakan lapangan kerja
untuk para pemilih.
Ingat, inflasi dan pengangguran yang kita maksudkan di sini bukan angka-
angka statistik, tetapi hal yang dirasa dan dialami oleh para voter. Hal ini karena
untuk petahana akan berlaku pendekatan rational choice. Kalau mereka menilai
puas dengan kinerja petahana tentulah peluang besar bagi petahana untuk dipilih
kembali dan jika sebaliknya makan penantang lah berpeluang besar untuk menang.
Bounded rationality kurang relevan digunakan para voter dalam
menentukan pilihannya bagi seorang petahana. Sebagai contoh seorang santri dari
kiai karismatik tidak akan tertarik memilih petahana yang di-endorse oleh kiainya
di bilik suara, jika dia tahu bahwa kehidupan ekonomi, sosial, politiknya selama era
petahana berkuasa tidak membaik. Apalagi kalau yang terjadi yang sebaliknya,
walaupun tentunya sang santri tidak berani menunjukkan secara terang-terangan
perbedaan pilihan politiknya tersebut kepada kiai yang dihormatinya.
15
Artinya, seorang petahana tidak bisa lagi mengandalkan penampilannya
yang merakyat misalnya, kalau ternyata kebijakan-kebijakannya dinilai rakyat
menyulitkan. Penampilan merakyat jadi tidak bermakna ketika rakyat tidak
merasakan dampak perbaikan kehidupannya selama petahana berkuasa, karena
telah berlaku rational choice dalam benak para pemilih. Berbeda dengan penantang
yang belum pernah berkuasa, ia dengan penampilan yang merakyat akan melebih
menjual dibanding petahana yang melakukan hal yang sama karena berlaku prinsip
bounded rationality dalam benak para pemilih.
Dunia politik perlu melihat bahwa persaingan adalah segala sesuatu yang
wajar dan alamiah. Baik institusi maupun aktor politik dituntut untuk menerima
normalnya persaingan di dalam dunia politik. Dalam iklim demokrasi, persaingan
tidak dapat dielakkan. Menghilangkan persaingan berarti menyeret sistem
politiknya menjadi sistem otoriternya, absolut, dan meniadakan alternatif.
Persaingan politik akan mendorong semua pihak yang terlibat terus menerus
dalam proses pembelajaran politik. Dengan adanya persaingan masing-masing
pihak akan saling berlomba untuk menjadi yang terbaik. Hal ini mendorong pihak
16
yang berkompetisi untuk terus memutar otak supaya selalu up-to-date dengan
kondisi dalam masyarakat. Kompleksitas kondisi masyarakat membuat cara
pemecahan yang berhasil di masa lampau menjadi cepat usam. Selain itu,
masyarakat pun tidak henti-hentinya memberikan ide dan gagasan mengenai
permasalahan tertentu. ini membuat kontestan politik membuat harus selalu belajar
dan mengamati setiap perubahan yang ada dalam masyarakat.
Pasal 28E UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan setiap orang untuk
memeluk agama, beribadat menurut agamanya, dan meyakini kepercayaannya. Kita
juga telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik PBB sehingga menjadi
hukum positif kita. Pasal 18 Ayat 2 Kovenan itu berbunyi: "Tidak seorangpun dapat
dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama
atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya." Urusan hati nurani Prinsip-
prinsip kebebasan beragama/kepercayaan itu sebetulnya sudah kita tuntaskan dalam
debat-debat penyusunan UUD di masa lalu, yaitu ketika kita memilih untuk
menjalankan negara ini dengan prinsip "kedaulatan rakyat". Kita tidak memilih
kedaulatan "Tuhan" karena kita tidak ingin menjadikan "hal yang amat tinggi" itu
diturunkan dan direndahkan dalam pertengkaran politik. Tuhan (dan ayat sucinya)
adalah urusan hati nurani, bukan urusan negara.
17
dalam Koalisi Indonesia Kerja yaitu PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, Nasdem,
Hanura, PKPI, Perindo, dan PSI, dengan total kursi di DPR 60,4 persen. Pasangan
kedua adalah Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang diusung oleh koalisi partai
yang terdiri dari Gerindra, PKS, PAN, Berkarya.
Pilpres 2019 dan 2014 mempunyai kemiripan dari segi rivalitas yaitu antara
Joko Widodo dan Prabowo Subianto Pada Pilpres 2014 koalisi pendukung Prabowo
Subianto adalah : Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan
Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai
Demokrat. Koalisi partai pendukung Joko Widodo adalah : Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem,
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), PKPI.
Secara umum Pada Pilres 2014 Joko Widodo memenangkan Pilpres dengan
margin yang tipis, dinamika politik pada saat itu juga cukup panas. Pada pilpres
2019 tokoh sentralnya masih sama yaitu Joko Widodo yang akan bertanding
melawan Prabowo Subianto, dengan cawapresnya masing-masing. Persamaan
tokoh sentral ini membuat hasil Pilpres 2014 menjadi rujukan penting dalam
penyusunan strategi dan prediksi Pilpres 2019.
Pada Pilpres 2014 tergambar propinsi yang menjadi basis massa pendukung
Joko Widodo atau Prabowo Subianto. Joko Widodo pada pilpres 2014 kalah
signifikan (dengan capaian suara di bawah 45%) di Sumatera Barat (23%), Nusa
Tenggara Barat (28%), Gorontalo (37%), Jawa Barat (40%), Banten (43%) dan
Aceh (45%).
Prabowo Subianto pada 2014 kalah telak (dengan capaian suara di bawah 45% di
Papua (26%), Sulawesi Barat (27%), Sulawesi Selatan (29%), Bali (29%), Papua
Barat (32%), Kepulauan Bangka Belitung (33%), Jawa Tengah (33%), Nusa
Tenggara Timur (34%), Kalimantan Timur (37%), Kalimantan Barat (40%),
Kepulauan Riau (40%), DIY (44%), dan Sumatera Utara (45%).
18
Meskipun data perolehan suara pada 2014 tersebut di atas dapat menjadi
gambaran, namun ada beberapa faktor koreksi yang bisa merubah hasil diatas
secara siginifikan pada Pilpres 2019.
Pertama calon Wakil Presiden yang berbeda, Joko Widodo yang pada
Pilpres 2014 bersama Jusuf Kalla, pada Pilpres 2019 akan bersama KH Ma’ruf
Amin. Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 bersama Hatta Radjasa, pada Pilres
2019 akan bersama Sandiaga S Uno. Meskipun komposisi cawapres tersebut akan
mempengaruhi peta kekuatan berdasarkan basis massa masing-masing, namun
kekuatan Capres sebagai tokoh utama masih sangat dominan.
Kedua Koalisi Partai Politik yang berbeda. Pada Pilpres 2014 Joko Widodo
diusung oleh : PDI Perjuangan (PDIP), PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI.
Sementara pada 2019 Joko Widodo akan diusung oleh koalsisi partai yang terdiri
dari PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, Nasdem, Hanura, PKPI, Perindo, dan PSI.
Prabowo Subianto pada 2014 diusung oleh koalisi Partai yang terdiri Gerindra,
Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Demokrat.
Koalisi partai ini tentu akan mempengaruhi bentuk dukungan dari kepala
daerah sesuai dengan partai pengusungnya yang diperkirakan akan mambawa basis
massanya, walaupun pada Pilpres 2019 ini anomali politik terjadi. Beberapa Kepala
Daerah yang diusung oleh partai pengusung Prabowo Subianto justru memberikan
dukungan kepada Joko Widodo.
Ketiga Menguatnya politik identitas. Hal ini terjadi dan dipicu oleh Pilkada
DKI 2017 yang menggunakan isu agama sangat kuat, sehingga terjadi polarisasi di
masyarakat. Pengaruh ini akan cukup kuat terutama pada basis-basis massa relijius
fundamental.
19
Fokus Provinsi Padat
Jika mengacu pada hasil Pilpres 2014, maka diperkirakan ada enam propinsi
yang diprediksi terjadi persaingan ketat. Enam propinsi ini yaitu Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. Pada Pilpres 2014
enam propinsi tersebut mempunyai jumlah suara sah antara 5-23 juta tiap propinsi,
dengan total perolehan suara lebih enam propinsi tersebut dari 60% jumlah suara
nasional.
Media cenderung netral dalam pemberitaan, ari enam media tersebut, terdapat
1.681 pemberitaan terkait dengan kontestasi pilpres sepanjang Maret 2019. Detik.com
penyumbang pemberitaan terbanyak yakni 790. Diikuti Antaranews.com 377 berita,
Kompas.com 368 berita, Kompas 64 berita, Republika 46 berita, dan Jawa Pos 36 berita.
20
Namun, pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin
mendapat porsi pemberitaan lebih banyak dengan 906 berita. Sementara itu, capres-
cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebanyak 590 berita.
Pemberitaan yang menyebutkan keduanya atau berita umum seperti KPU
dan Bawaslu sebanyak 185.
Isu-isu yang diangkat keenam media tersebut berada dalam kategori yang
realistis. Seperti paslon 01 lebih banyak pemberitaan karena statusnya sebagai
petahana sehingga media lebih aktif dalam memberitakan.
21
setiap negara mencerminkan bahwa negara itu telah benar-benar menganut system
demokrasi. Banyak dampak positif dari adanya kebijakan yang ada dalam UU
Keterbukaan Informasi Publik UU No 14 tahun 2008 yang secara garis besar
menjelaskan mengenai aktifitas yang mengambarkan betapa pentingnya
keterbukaan informasi publik hingga di harapkan publik dapat berpartisipasi dalam
setiap program. Untuk mewujudkan good governance dengan adanya undang-
undang yang mengatur tentang Keterbukaan Informasi Publik sangatlah perlu.
Undang-undang keterbukaan informasi publik ini akan mengawal pemerintah
berlangsung transparan dalam seluruh proses pemerintahan.
22
dalam lembaga tersebut yang tujuannya adalah sebagai sarana publik dalam hal ini
masyarakat untuk mengetahui sejauh mana pemerintahnya bisa melaksanakan tugas
dan fungsi kepada masyarakat itu sendiri. Transparansi dalam dunia pemerintahan
meliputi bidang keuangan, arus informasi, alur organisasi, serta kegiatan yang
dilakukan.
23
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
Pemilihan umum adalah mekanisme memilih pemimpin-pemimpin yang
akanmeduduki jabatan politik strategis tertentu didalam lembaga-lembaga politik
formal, yakni lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di tingkat pusat dan daerah
Pemilihan Presiden di Indonesia dilaksanakan 5 tahun sekali setelah pemilu
legislatif berlangsung. Akan tetapi berbeda untuk Pilpres tahun 2019 yang mana
antara pemilu legislatif dan eksekutif berlangsung dalam satu waktu yang sama.
Oleh sebab itu diharapkan terlaksananya pemilihan presiden yang
berlangsung secara jujur, adil dan bijaksana sehingga terlihat bahwa indonesia
merupakan yang dewasa akan demokrasi.
4.2 SARAN
Kiranya setiap insan politik yang terlibat dalam kontestasi politik dapat
menunjukkan dan menjadi contoh penerapan cara berpolitik yang benar dan
tentunya berlandaskan asas demokrasi yang murni sesuai yang diamanatkan
Pancasila dan UUD 1945.
24
DAFTAR PUSTAKA
25