Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang


Pemilihan umum (pemilu) merupakan mekanisme memilih pemimpin
pemimpin yang akan menduduki jabatan politik strategis tertentu didalam lembaga-
lembaga politik formal yakni, lembaga eksekutif dan lembaga legislatif baik
ditingkat daerah maupun di tingkat pusat (Darmawan,2015:144). Dalam hal ini
yang dimaksud dengan pemimpin yang akan akan menduduki jabatan politik ialah
orang-orang yang mempunyai kekuasaan terhadap arah kebijakan dimasa
mendatang terhadap negeri didaerah maupun dipusat yang mempunyai pengaruh
jabatan politik yang dimana dipilih melalui alat atau mekanisme rakyat untuk
memilih pemimpin.
Pelaksanaan pemilihan umum terkait pilpres 2019 di Indonesia hendaknya
mengakfektifitas kegiatan pemilu dalam kerangka tersebut demokrasi pusat ke
daerah yang mampu menghasilkan pemimpin serta mampu menghidupkan asas
governability.Menurut Azka Governability merupakan keseimbangan pemerintahan
dan kemampuan memerintah, governability dipengaruhi oleh sejumlah partai,
tingkatpolarisasi antar partai, partisipasi partai dalam pemerintahan, serta hubungan
antara mayoritas legislatif dan eksekutif (Edward, 2018:115). Di Indonesia terkait
dengan dilaksanakan pilpres 2019 dimasa mendatang harus adanya kematangan
dalam demokrasi dalam penelitian Savirani dan Tornquist (2015) “Power, Walfare,
And Democracy” (PWD) pada tahun 2015 (Mas’udi, 2018) menyimpulkan tiga
temuan pokok dalam isu kesejahteraan.
1. Demokratisasi Indonesia telah memasuki babak baru yang melampaui
demokrasi formal yang sebatas penyelenggaraan pemilu. Hal ini terkait
pilpres 2019 mendatang yaitu biasanya para kandidat akan mengangkat
fenomena-fenomena yang berkaitan dengan isu kesejahteraan dalam
kampanyenya.

1
2. Warga negara biasanya menggantungkan masalah pemenuhan
kesejahteraan pada negara, sementara di sisi lain negara mempunyai
keterbatasan untuk memenuhi segala tuntutan.
3. Bagaimana warga memanfaatkan berbagai saluran untuk
menyampaiakan pemenuhan pelayanan dasar mereka termasuk saluran-
saluran informal seperti tokoh, lembaga komunal termasuk pasar
sebagai alternatif kelas menengah (Mas’udi W dan cornelis lay, 2018).
Pilpres 2019 dimasa mendatang tentu tidak lepas dari adanya isu
kesejahteraan dimana masyarakat sangat berharap pada negara untuk memenuhi
segala tuntutan meskipun negara mempunyai keterbatasan terhadap akses dan
tuntutan serta masyarakat memanfaatkan pemenuhan pelayanan dasar seperti
saluran informal. Sebagai alternatif untuk memenuhi segala tuntutan yang berada
pada pelayanan dasar. Pilpres 2019 di masa mendatang menjadikan ajang para
aktor-aktor politik untuk bertarung memenangkan hati masyarakat melalui isu
kesejahteraan. Tak jarang para aktor politik menurut kajian tentang politik
patronase dalam pemilu Indonesia tahun 2014 (Aspinall dan Sukmajati, 2015)
menyatakan bahwa berbagai skema kesejahteraan sering dikembangkan terutama
bertujuan untuk memperoleh dukungan elektoral dan dikelola dengan memelihara
ikatan klientelisme.
Target utama dari aktor-aktor politik dalam pilpres yaitu kelompok yang
berpendapatan rendah dan rakyat miskin. Sejumlah kajian yang menyatakan bahwa
kesejahteraan, dalam bentuk kemakmuran ekonomi adalah prasyarat untuk
perkembangan demokrasi. Kaitan antara pembangunan ekonomi dan demokrasi
telahmendorong banyak negarawan barat dan komentator politik untuk
memutuskan bahwa problem politik mendasarkan kepada tekanan dari
industrialisasi yang cepat. (Lipset, 2007:35).
Kemakmuran ekonomi mendorong peningkatan jumlah penduduk yang
berpendidikan, menumbuhkan kelas sadar politik, penegakan hukum yang baik dan
kompetesi ekonomi yang jujur. Dalam momentum pilpres 2019 mendatang hal
mendasar yang mesti dipenuhi masyarakat dalam memilih pemimpin dengan

2
rasionalitas yaitu melalui pendidikan politik yang baik di suatu negara. Sedangkan
kajian lain menyatakan bahwa demokrasi ialah syarat yang mesti dipenuhi oleh
negara-negara yang memiliki esensi demokrasi mekanisme memilih pemimpin
melalui kontestasi mendapatkan suara rakyat sehingga pemimpin yang terpilih
tersebut bisa membuat keputusan-keputusan politik sebuah negara. (Schumpeter,
2003:411). Terkait dengan isu pilpres 2019 dimasa mendatang yaitu negara
menyelenggarakan suatu kesempatan dimana masyarakat dengan bebas dan
merdeka untuk menerima segala visi misi yang digaungkan oleh para kandidat dan
program-program yang dicanangkan para aktor-aktor politik ataupun menolak
program-program maupun visi misi aktor yangtidak sesuai dengan keinginan dan
kondisi rakyat dengan tidak memilih pasangan di hari pencoblosan.
Indonesia akan menjajaki babak baru dalam praktek demokrasi yakni
dengan selenggara pemilihan presiden serta wakil presiden, pemilihan DPR, DPD,
DPRD provinsi,DPRD kabupaten/kota pada tahun 2019 mendatang. Kegiatan
pemilu pilpres pada tahun 2019 mendatang di Indonesia menggunakan sistem
plurality sistem. Sistem plurality yang dikenal sebagai first-past-the-post (FPTP).
FPTP adalah sistem pemilu yang sederhana karena seseorang kandidat perlu
memiliki suara yang lebih banyak dari pada penantangnya yang lain. Cara memilih
presiden dan wakil presiden dengan sistem suara terbanyak atau suara mayoritas.
Pemilihan umum pada tahun 2019 tentunya menggunakan rambu-rambu UU yang
mendasari terlaksananya pemilu dengan asas secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, adil ( LUBERJURDIL). Landasan undang-undang pemilu di
Indonesia yaitu berdasarkan uu no. 7 tahun 2017. Dalam undang-undang telah
dijelaskan bahwa kampanye serta pemungutan suara dilakukan secara serentak.
Pada pilpres 2019 ini untuk menghindari terjadinya kecurangan yang tidak
sehat dalam hal kampanye maupun saat pemilihan terlaksana. Dengan
terlaksananya pilpres di tahun 2019 mendatang memungkinkan terjadinya
tantangan-tantangan yang terkait dengan isu saat kampanye maupun isu-isu
tantangan yang terjadi saat pemilihan umum terlaksana. Dalam tulisan ini penulis
akan mengutarakan beberapa isu terkait dengan kampanye pilpres di tahun 2019.

3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalah yang dapat diambil
dari makalah yang berjudul Refleksi Pra Pemilu 2019 adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana Sejarah Pemilu dan Karakteristik Pemilih di Indonesia?


1.2.2 Bagaimana tingkat persaingan partai politik dalam pra pemilu 2019?
1.2.3 Bagaimana upaya yang dilakukan partai politik dalam usaha
mememangkan pemilu?
1.2.4 Bagaimana Peran media dalam pra pemilu 2019?

1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah yang berjudul Refleksi
Pra Pemilu 2019 adalah :

1.3.1 Menjelaskan bagaimana Sejarah Pemilu dan Karakteristik Perilaku


Pemilih di Indonesia.
1.3.2 Mendeskripsikan kepada pembaca bagaimana tingkat persaingan partai
politik dalam pra pemilu 2019
1.3.3  Menjelaskan upaya untuk yang dilakukan partai politik dalam usaha
mememangkan pemilu.
1.3.4 Menjelaskan bagaimana Bagaimana Peran media dalam pra pemilu
2019?

1.4 Manfaat penelitian


Ada tiga manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari makalah yang
berjudul penyaluran beras miskin yang tidak tepat sasaran adalah:

4
1.4.1 Memberi wawasan kepada praja mengenai Pra pemilu 2019.

1.4.2 Menambah pengetahuan, mengembangkan dan meningkatkan kemampuan


berpikir melalui makalah serta dapat menambah wawasan bagi mahasiswa
Ilmu Pemerintahan.

1.5 Metode penelitian


Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan makalah yang
berjudul Refleksi Pra Pemilu 2019 ini adalah metode studi pustaka, yaitu
metode yang pengumpulan datanya dengan mencari dari berbagai
buku,literatur,catatan,majalah, dan laporan yang berkaitan dengan masalah
yang ingin dipecahkan.
Alasan penulis menggunakan metode ini adalah karena pada dasarnya
permasalahan yang akah dibahas banyak bersumber dari buku-buku yang
tersedia di perpustakaan.

5
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Pemilu

Pemilihan umum adalah mekanisme memilih pemimpin-pemimpin yang


akanmeduduki jabatan politik strategis tertentu didalam lembaga-lembaga politik
formal, yakni lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di tingkat pusat dan daerah
(Darmawan,2015:144). Pemilihan umum adalah sebuah sarana untuk mewujudkan
sistem demokrasi dalam sebuah negara. Inti dari pemilu adalah penyampaian suara
rakyat untuk membentuk sebuah lembaga perwakilan atau pemerintahan yang
memiliki tugas menyelenggarakan sebuah negara. (Edward,2018:115).
Menurut ikhsan (darmawan,2018:145) Jenis pemilihan umum didunia antara
lain :
1. Plurality sistem atau dikenal dengan first-past-the post, adalah sistem
pemilu yang sederhana karena seseorang kandidat perlu memiliki suara
yang lebih banyak daripada penantang yang lain.
2. Sistem majority adalah sistem yang lebih kompleks daripada sistem
plurality
3. Sistem proporsional biasa digunakan hanya pada wilayah yang bertingkat
dan banyak, sehingga tidak mungkin mendistribusikan satu kursi diantara
banyak partai politik, kecuali pada basis kronologis
4. Jenis district melihat pilihan pertama yang berkaitan degan district
magnitude
5. Jenis electoral formula melihat pilihan kedua melibatkan metode dimana
kursi didistribusikandidalam tiap distrik.
6. Tiers, kebanyakan negara dengan sistem proporsional menempatkan sebuah
pengikat (tier) distrik (baik nasional maupun lokal).

6
7. Threesholds, jenis treeshold umum digunakan dengan menggunakan
persentase yang tetap dari suara nasional atau distrik.

8. Preference pilihan ini ada di negara dengan sistem proporsional dengan


daftar tertutup, dimana pemilih tidak diizinkan untuk mengekspresikan
pilihan untuk calon individu dan anggota dipilih dengan patokan daftar
partai politik
9. Mixedsystem, secara teknis memang tidak mudah namun sangatlah
mungkin untuk menggabungkan sistem pemilu berbeda secara bersam-sama
dengan tujuan menggabungkan sistem.

Partai politik adalah sarana politik yang mengatur tentang elit-elit politik
dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu  negara yang bercirikan
mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri,
mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut
menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.

Dalam rangka memahami partai politik sebagai salah satu komponen infrastruktur
politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai partai politik, yakni:

1. Carl J. Friedrich: Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir


secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah
bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada
anggota  partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil. 
2. R.H. Soltou: Partai politik adalah sekelompok warga  negara  yang sedikit
banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan
memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan
melaksanakan kebijakan umum mereka. 
3. Sigmund Neumann: Partai politik adalah organisasi  dari aktivis-aktivis politik
yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan

7
rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham. 
4. Miriam Budiardjo: Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama
dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.

8
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 PERJALANAN PEMILU DI INDONESIA


Pemilu 1955

Pemilu 1955 diadakan dua kali berdasarkan amanat UU No. 7 Tahun 1953.
Keduanya dibedakan berdasarkan tujuannya Pemilu pertama yang dilaksanakan
pada tanggal 29 September 1955 diadakan untuk memilih anggota-anggota DPR.
Pemilu kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan
Konstituante. Pada pemilu pertama diikuti oleh 118 peserta yang tediri dari 36
partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan, sedangkan untuk
Pemilu kedua diikuti oleh 91 peserta yang terdiri dari 39 partai politik, 23
organisasi kemasyarakatan, dan 29 perorangan.

Pemilu 1971

Pemilihan Umum kedua ini terjadi pada Masa Orde Baru berasaskan UU
No.15 Tahun 1969. Dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 1971 dengan tujuan pemilihan
anggota DPR dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel
daftar. 10 partai politik ikut dalam pemilu ini; Partai Nadhalatul Ulama, Partai
Muslim Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiiah,
Partai Nasionalis Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Murba dan Sekber Golongan Karya.

Pemilu 1977-1997

Menggunakan sistem yang sama pada sistem yang digunakan pada Pemilu
1971, Pemilu yang terjadi di Masa Orde Baru ini diawali pada tanggal 2 Mei 1977.
Berkat terjadinya fusi (peleburan) parpol peserta Pemilu, Pemilu 1977-1997 diikuti
hanya 3 peserta;

9
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai
NU, Parmusi, Perti, dan PSII.
2. Partai Golongan Karya (GOLKAR)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari PNI,
Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba.

Pemilu 1999

Mengingat jaraknya yang berdekatan, persiapannyapun tergolong singkat,


pelaksanaan pemilu 1999 ini tetap dilakukan sesuai jadwal, yakni 7 Juni 1999.
Tidak seperti yang diprediksi dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya,
ternyata Pemilu 1999 dapat terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang
berarti. Pemilu 1999 menandai pemilihan pertama pada Masa Reformasi.
Dilakukan serentak di seluruh Indonesia. Dari Pemilu 1999 inilah demokrasi di
Indonesia bangkit. Terbukti melalui jumlah peserta yang ikut dalam pemilihan.
Terdapat 48 Partai Politik menjadi peserta pemilu saat itu.

Pemilu 2004

Pada Pemilu 2004, masyarakat dapat secara langsung memilih DPR, DPD,
DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu 2004 diselenggarakan secara
serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota DPR, 128 Anggota
DPD serta DPRD periode 2004-2009. Sedangkan untuk pemilihan presiden dan
wakil presiden dilaksanakan pada 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004
(putaran II). Pemilu 2004 menunjukan kemajuan dalam demokrasi kita.

Pemilu 2009

Pemilu 2009 merupakan pemilihan umum kedua setelah Pemilu 2004 yang
diikuti pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Ketentuan dalam
pemilihan presiden dan wakil presiden ini ditentukan bahwa pasangan calon terpilih
adalah pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan
sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah

10
provinsi di Indonesia. Peserta pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009
diikuti oleh 44 Partai Politik (Parpol), yang terdiri dari 38 partai nasional dan 6
partai lokal Aceh.

Pemilu 2014

Diadakan dua kali pada tanggal 9 April 2014 dengan tujuan pemilihan para
anggota legislatif, disusul 3 bulan setelahnya pada tanggal 9 Juli 2014 dengan
tujuan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah 2014 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2014) untuk memilih 560 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2014-2019.

3.2 PEMILU PASCA REFORMASI

Pemilihan Presiden di Indonesia dilaksanakan 5 tahun sekali setelah pemilu


legislatif berlangsung. Akan tetapi berbeda untuk Pilpres tahun 2019 yang mana
antara pemilu legislatif dan eksekutif berlangsung dalam satu waktu yang sama.
Pemilu 1999 merupakan pemilu transisi masa reformasi. Seharusnya pemilu kalau
menurut jadwa dilakukan pada tahun 2002, akan tetapi guna mendapatkan
pemerintahan yang legal dan mendapatkan kepercayaan dari publik, maka pemilu
dipercepat. Pemilu Presiden tahun 1999 berbeda dengan Pemilu Presiden 2004,
2009 dan yang terbaru 2014. Pemilu Presiden masih menggunakan cara voting
anggota MPR-DPR, sedangkan untuk pemilu presiden tahun 2004, 2009 dan 2014
menggunakan mekanisme pemilihan secara langsung dipilih oleh rakyat.Pemilu
Presiden 1999Pemilihan umum demokratis pertama di Indonesia diselenggarakan
pada tanggal 20 Oktober 1999.

Pemilihan umum ini merupakan pemilihan umum terakhir di Indonesia yang


diselenggarakan secara tidak langsung. Sebelum Pemilu Presiden dilakukan Pemilu

11
Legeslatif yang dimana diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu sendiri sebenarnya
baru akan dilaksanakan tahun 2002, oleh karena desakan berbagai pihak, kemudian
presiden habibie berhasil melaksanakan pemilu lebih cepat yakni pada tahun 1999.

Pada pemilu 1999 dilakukan netralitas birokrasi. Birokrasi yang selama


Orde Baru dimobilisasi untuk mendukung dan menjadi bagian integral dari Golkar
berusaha dinetralisasikan untuk tidak memihak salah satu partai politik. PNS tidak
diperkenankan menjadi anggota dan pengurus partai politik. kalau ada PNS yang
menjadi anggota atau pengurus partai politik harus mendapatkan ijin atasannya dan
kemudian melepaskan jabatan negerinya.

Pada saat Pilpres 1999, Presiden Bj Habibie tidak bisa mencalonkan


menjadi peserta Pemilu hal ini dikarenakan pidato pertanggungjawabannya ditolak
oleh DPR. Pemilihan Presiden pun dilakukan pada tahun 1999 dengan sistem yang
masih sama pada masa orde baru, yaitu mekanisme voting di lembaga MPR. Pada
peraturan intern MPR yang menyatakan bahwa hanya fraksi yang mempunyai
paling sedikit 70 kursi yang dapat mencalonkan seorang presiden. Sehingga
berbagai partai harus melakukan lobi politik

Pemilhan Presiden pada tahun 2004 merupakan pemilihan presiden secara


langsung dipilih oleh rakyat. Pemilihan Presiden secara langsung pertama kali
dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pasangan
calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum legislatif. Untuk dapat mengusulkan, partai
politik atau gabungan partai politik harus memperoleh sekurang-kurangnya 5%
suara suara secara nasional atau 3% kursi Dewan Perwakilan Rakyat.

Pemillihan Presiden 2009,Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon


yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20%
suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di
Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi
persyaratan tersebut, 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama

12
dan kedua dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua). Setelah
keluarnya putusan MK tersebut, pada 18 Agustus 2009, KPU menetapkan SBY-
Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2009-2014

Pemilihan umum Presiden 2014 dilaksanakan pada tanggal 9 Juli. Menurut


UU Pemilu 2008, hanya partai yang menguasai lebih dari 20% kursi di Dewan
Perwakilan Rakyat atau memenangi 25% suara populer dapat mengajukan
kandidatnya. Pada Pemilu Presiden 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sudah tidak bisa mencalonkan diri menjadi kandidat presiden. Oleh karena itu,
Pilpres 2014 diikuti oleh pasangan baru. Pada Pemilu Presiden 2014 diikuti oleh 2
pasang presiden dan wakil presiden.

3.3 KARAKTERISTIK PERILAKU PEMILIH INDONESIA

perilaku pemilik suara (voter) dalam mengambil keputusan politik


menjelang pilpres, dua teori tentang perilaku pengambilan keputusan manusia.
Teori pertama, Bounded Rationality. Teori ini digagas oleh oleh Herbert Simon
yang juga seorang peraih Nobel Ekonomi pada 1978.
Bounded rationality terjadi karena kemampuan kognitif manusia terbatas
untuk mengolah semua informasi yang ada ditambah pula adanya keniscayaan
asimetris informasi. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan orang sering
melakukan heuristik atau mengambil jalan pintas dalam berpikir untuk membuat
keputusan atau penilaian tertentu. Tidak terkecuali dalam pengambilan-
pengambilan keputusan politik, para voter umumnya menggunakan heuristik.
Mondak (1994) mengatakan bahwa dengan menggunakan heuristik dapat
membantu individu untuk mengatasi hambatan-hambatan yang diakibatkan
terbatasnya informasi tentang politik. Dalam konteks bounded rationality ini,
setidaknya ada tiga jenis heuristik yang akan digunakan para pemilih ketika
menentukan pilihan. Pertama, pendekatan affect referral; memilih kandidat yang
paling menarik atau yang lebih disukai secara emosional.

13
Banyak faktor yang membuat seorang tokoh menjadi menarik secara
emosional. Sosok yang bisa ditampilkan sebagai merakyat, elegan, sederhana, dan
apa adanya akan secara emosional menarik ketika komparasinya adalah sosok yang
terkesan protokoler, penuh dengan prosedural, karismatik, tapi terisolasi dari
publik. Ilustrasi pendekatan ini telah dapat kita lihat bagaimana Jokowi yang
berhasil memenangkan Pilpres 2014 karena berhasil menempatkan diri sebagai
sosok yang secara emosional menarik bagi umumnya pemilih saat itu.
Kedua, endorsement; melalui pendekatan ini seorang voter memilih
presiden karena rekomendasi dan garansi dari pihak luar yang dipercayainya. Pihak
luar itu bisa tokoh masyarakat (kiai, ulama, akademisi, ilmuwan), kerabat dekat,
ataupun kelompok-kelompok sosial seperti ormas, organisasi profesi, dan lain-lain.
Maka tidak mengherankan mengapa para capres membutuhkan dukungan dari
tokoh-tokoh berpengaruh di masyarakat, organisasi profesi, dan ormas karena
semua entitas dan personifikasi tersebut mampu memberikan endorsement kepada
para pemilih untuk memutuskan memilih tokoh yang dirujuknya.
Ketiga, familiarity; pemilih memilih karena tokoh yang bersangkutan telah
dikenal atau diketahui sebelumnya. Ini biasanya berlaku untuk kalangan kader dan
simpatisan dari partai-partai yang mendukung sang capres.
Teori kedua adalah yang dikemukakan oleh James Buchanan (seorang
peraih Nobel Ekonomi 1986) dengan teori terkenalnya yang disebut Rational
Choice. Pandangan Buchanan memegang prinsip dasar bahwa ketika seorang
melakukan pilihan pastilah yang menguntungkan dirinya. Sebab pada prinsipnya
manusia ketika mengambil keputusan tertentu berangkat dari pertimbangan utama
untuk memperjuangkan kepentingannya, tidak terkecuali ketika mengambil
keputusan dalam pemilihan umum.

Prabowo vs Jokowi
Kalau kita cermati lebih lanjut, pendekatan bounded rationality lebih tepat
digunakan oleh para penantang yang belum pernah menduduki kursi presiden.
Maka kalau Prabowo menggunakan strategi yang merujuk pada bounded

14
rationality adalah suatu hal yang niscaya untuk memenangkan konstestasi. Tapi,
bagi Jokowi cara-cara pendekatan ini seperti dukungan kiai, ormas, organisasi
profesi, tokoh berpengaruh tampaknya tidak bisa diandalkan lagi.
Yang wajib bagi seorang petahana adalah memastikan bahwa mayoritas
pemilih yakin kepentingan mereka sudah diakomodasi oleh petahana selama ia
menjabat. Kalau tidak demikian, maka petahana tidak akan mampu meyakinkan
pemilih untuk memilihnya kembali. Oleh karena itu mengapa pada menjelang akhir
masa jabatannya seorang presiden petahana di Amerika Serikat misalnya pasti
menjaga dua hal penting untuk memenangkan pemilu, yakni inflasi dan angka
pengangguran.
Tentu akan ada bobot yang lebih diprioritaskan, tergantung pada aspirasi
publik lebih menghendaki inflasi yang rendah atau pengangguran yang rendah.
Inflasi yang rendah menunjukkan akses voter terhadap barang dan jasa menjadi
lebih mudah. Terlebih terkait dengan barang kebutuhan dasar seperti sandang,
pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan, rendahnya angka
pengangguran menunjukkan petahana telah berhasil menciptakan lapangan kerja
untuk para pemilih.
Ingat, inflasi dan pengangguran yang kita maksudkan di sini bukan angka-
angka statistik, tetapi hal yang dirasa dan dialami oleh para voter. Hal ini karena
untuk petahana akan berlaku pendekatan rational choice. Kalau mereka menilai
puas dengan kinerja petahana tentulah peluang besar bagi petahana untuk dipilih
kembali dan jika sebaliknya makan penantang lah berpeluang besar untuk menang.
Bounded rationality kurang relevan digunakan para voter dalam
menentukan pilihannya bagi seorang petahana. Sebagai contoh seorang santri dari
kiai karismatik tidak akan tertarik memilih petahana yang di-endorse oleh kiainya
di bilik suara, jika dia tahu bahwa kehidupan ekonomi, sosial, politiknya selama era
petahana berkuasa tidak membaik. Apalagi kalau yang terjadi yang sebaliknya,
walaupun tentunya sang santri tidak berani menunjukkan secara terang-terangan
perbedaan pilihan politiknya tersebut kepada kiai yang dihormatinya.

15
Artinya, seorang petahana tidak bisa lagi mengandalkan penampilannya
yang merakyat misalnya, kalau ternyata kebijakan-kebijakannya dinilai rakyat
menyulitkan. Penampilan merakyat jadi tidak bermakna ketika rakyat tidak
merasakan dampak perbaikan kehidupannya selama petahana berkuasa, karena
telah berlaku rational choice dalam benak para pemilih. Berbeda dengan penantang
yang belum pernah berkuasa, ia dengan penampilan yang merakyat akan melebih
menjual dibanding petahana yang melakukan hal yang sama karena berlaku prinsip
bounded rationality dalam benak para pemilih.

3.4 TINGKAT PERSAINGAN PARTAI POLITIK DALAM PRA


PEMILU 2019

1. Intensitas Persaingan Politik

Salah satu perubahan yang cukup mendasar pasca reformasi adalah


persaingan politik yang semakin tinggi di Indonesia. Dalam era keterbukaan dan
demokratisasi, bahkan negara-negara yang tadinya totaliter, termasuk Indonesia
pada masa orde baru, pun harus belajar menerapkan demokrasi sesungguhnya.

2. Persaingan politik sebagai kewajaran

Dunia politik perlu melihat bahwa persaingan adalah segala sesuatu yang
wajar dan alamiah. Baik institusi maupun aktor politik dituntut untuk menerima
normalnya persaingan di dalam dunia politik. Dalam iklim demokrasi, persaingan
tidak dapat dielakkan. Menghilangkan persaingan berarti menyeret sistem
politiknya menjadi sistem otoriternya, absolut, dan meniadakan alternatif.

3. Proses Pembelajaran politik

Persaingan politik akan mendorong semua pihak yang terlibat terus menerus
dalam proses pembelajaran politik. Dengan adanya persaingan masing-masing
pihak akan saling berlomba untuk menjadi yang terbaik. Hal ini mendorong pihak

16
yang berkompetisi untuk terus memutar otak supaya selalu up-to-date dengan
kondisi dalam masyarakat. Kompleksitas kondisi masyarakat membuat cara
pemecahan yang berhasil di masa lampau menjadi cepat usam. Selain itu,
masyarakat pun tidak henti-hentinya memberikan ide dan gagasan mengenai
permasalahan tertentu. ini membuat kontestan politik membuat harus selalu belajar
dan mengamati setiap perubahan yang ada dalam masyarakat.

4. Persaingan dan inovasi politk

Urgensi inovasi begitu tinggi, sayangnya tidak semua bentuk-bentuk


institusi yang dekat dengan publik cukup sadar dengan ketatnya dunia saat ini.
Eksekutif dan Legislatif sering menjadi biang keladi lambatnya kesejahteraan,
faktanya di Negara kita sendiri, Indonesia, kita seringkali gagap inovasi dan
disrupsi (meminjam istilah Rhenald Kasali) akhirnya lambat berubah dan terkejut
dengan perubahan, kesejahteraan kita hanya begini-begini saja.

5. Hal yang dipersaingkan

Pasal 28E UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan setiap orang untuk
memeluk agama, beribadat menurut agamanya, dan meyakini kepercayaannya. Kita
juga telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik PBB sehingga menjadi
hukum positif kita. Pasal 18 Ayat 2 Kovenan itu berbunyi: "Tidak seorangpun dapat
dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama
atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya." Urusan hati nurani Prinsip-
prinsip kebebasan beragama/kepercayaan itu sebetulnya sudah kita tuntaskan dalam
debat-debat penyusunan UUD di masa lalu, yaitu ketika kita memilih untuk
menjalankan negara ini dengan prinsip "kedaulatan rakyat". Kita tidak memilih
kedaulatan "Tuhan" karena kita tidak ingin menjadikan "hal yang amat tinggi" itu
diturunkan dan direndahkan dalam pertengkaran politik. Tuhan (dan ayat sucinya)
adalah urusan hati nurani, bukan urusan negara.

Pilpres 2019 akan diikuti oleh dua pasang capres-cawapres. Pasangan


pertama adalah Joko Widodo-Ma’ruf Amin, yang diusung oleh sembilan partai

17
dalam Koalisi Indonesia Kerja yaitu PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, Nasdem,
Hanura, PKPI, Perindo, dan PSI, dengan total kursi di DPR 60,4 persen. Pasangan
kedua adalah Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang diusung oleh koalisi partai
yang terdiri dari Gerindra, PKS, PAN, Berkarya.

Pilpres 2019 dan 2014 mempunyai kemiripan dari segi rivalitas yaitu antara
Joko Widodo dan Prabowo Subianto Pada Pilpres 2014 koalisi pendukung Prabowo
Subianto adalah : Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan
Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai
Demokrat. Koalisi partai pendukung Joko Widodo adalah : Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem,
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), PKPI.

Secara umum Pada Pilres 2014 Joko Widodo memenangkan Pilpres dengan
margin yang tipis, dinamika politik pada saat itu juga cukup panas. Pada pilpres
2019 tokoh sentralnya masih sama yaitu Joko Widodo yang akan bertanding
melawan Prabowo Subianto, dengan cawapresnya masing-masing. Persamaan
tokoh sentral ini membuat hasil Pilpres 2014 menjadi rujukan penting dalam
penyusunan strategi dan prediksi Pilpres 2019.

Pada Pilpres 2014 tergambar propinsi yang menjadi basis massa pendukung
Joko Widodo atau Prabowo Subianto. Joko Widodo pada pilpres 2014 kalah
signifikan (dengan capaian suara di bawah 45%) di Sumatera Barat (23%), Nusa
Tenggara Barat (28%), Gorontalo (37%), Jawa Barat (40%), Banten (43%) dan
Aceh (45%).

Prabowo Subianto pada 2014 kalah telak (dengan capaian suara di bawah 45% di
Papua (26%), Sulawesi Barat (27%), Sulawesi Selatan (29%), Bali (29%), Papua
Barat (32%), Kepulauan Bangka Belitung (33%), Jawa Tengah (33%), Nusa
Tenggara Timur (34%), Kalimantan Timur (37%), Kalimantan Barat (40%),
Kepulauan Riau (40%), DIY (44%), dan Sumatera Utara (45%).

18
Meskipun data perolehan suara pada 2014 tersebut di atas dapat menjadi
gambaran, namun ada beberapa faktor koreksi yang bisa merubah hasil diatas
secara siginifikan pada Pilpres 2019.

Pertama calon Wakil Presiden yang berbeda, Joko Widodo yang pada
Pilpres 2014 bersama Jusuf Kalla, pada Pilpres 2019 akan bersama KH Ma’ruf
Amin. Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 bersama Hatta Radjasa, pada Pilres
2019 akan bersama Sandiaga S Uno. Meskipun komposisi cawapres tersebut akan
mempengaruhi peta kekuatan berdasarkan basis massa masing-masing, namun
kekuatan Capres sebagai tokoh utama masih sangat dominan.

Kedua Koalisi Partai Politik yang berbeda. Pada Pilpres 2014 Joko Widodo
diusung oleh : PDI Perjuangan (PDIP), PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI.
Sementara pada 2019 Joko Widodo akan diusung oleh koalsisi partai yang terdiri
dari PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, Nasdem, Hanura, PKPI, Perindo, dan PSI.
Prabowo Subianto pada 2014 diusung oleh koalisi Partai yang terdiri Gerindra,
Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Demokrat.

Koalisi partai ini tentu akan mempengaruhi bentuk dukungan dari kepala
daerah sesuai dengan partai pengusungnya yang diperkirakan akan mambawa basis
massanya, walaupun pada Pilpres 2019 ini anomali politik terjadi. Beberapa Kepala
Daerah yang diusung oleh partai pengusung Prabowo Subianto justru memberikan
dukungan kepada Joko Widodo.

Ketiga Menguatnya politik identitas. Hal ini terjadi dan dipicu oleh Pilkada
DKI 2017 yang menggunakan isu agama sangat kuat, sehingga terjadi polarisasi di
masyarakat. Pengaruh ini akan cukup kuat terutama pada basis-basis massa relijius
fundamental.

19
Fokus Provinsi Padat

Jika mengacu pada hasil Pilpres 2014, maka diperkirakan ada enam propinsi
yang diprediksi terjadi persaingan ketat. Enam propinsi ini yaitu Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. Pada Pilpres 2014
enam propinsi tersebut mempunyai jumlah suara sah antara 5-23 juta tiap propinsi,
dengan total perolehan suara lebih enam propinsi tersebut dari 60% jumlah suara
nasional.

Mengingat hasil pilpres ditentukan perolehan total nasional, maka


diperkirakan masing-masing tim sukses akan fokus pada kantong-kantong suara
yang dipertimbangkan pula dengan kemudahan akses dan logistik. Keenam propinsi
tersebut, hanya 1 propinsi di luar pulau Jawa yaitu Sumatera Utara relatih mudah
dijangkau dari Jakarta yang menjadi basis Tim Kampanye Nasional.

Fokus pada enam propinsi inilah yang diperkirakan akan menjadikan


sebagai propinsi dengan persaingan yang sangat ketat dalam Pilpres 2019. Tanpa
mengabaikan propinsi yang lain, namun melihat realita bahwa kemenangan Pilpres
dihitung dari jumlah total suara nasional, maka menjadi sangat wajar dan logis jika
pada enam propinsi tersebut masing-masing Tim Kampanye akan mencurahkan
seluruh tenaganya untuk merebut kantong-kantong suara.

Dengan perkiraan tersebut maka enam propinsi tersebut di atas patut


mendapat perhatian ekstra dari penyelenggara pemilu, aparat keamanan dan
intelijen, agar Pilpres 2019 berjalan dengan aman dan tertib, meskipun persaingan
sangat ketat

3.5 PERAN MEDIA DALAM PRA PEMILU 2019

Media cenderung netral dalam pemberitaan, ari enam media tersebut, terdapat
1.681 pemberitaan terkait dengan kontestasi pilpres sepanjang Maret 2019. Detik.com
penyumbang pemberitaan terbanyak yakni 790. Diikuti Antaranews.com 377 berita,
Kompas.com 368 berita, Kompas 64 berita, Republika 46 berita, dan Jawa Pos 36 berita.

20
Namun, pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin
mendapat porsi pemberitaan lebih banyak dengan 906 berita. Sementara itu, capres-
cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebanyak 590 berita.
Pemberitaan yang menyebutkan keduanya atau berita umum seperti KPU
dan Bawaslu sebanyak 185.

Isu-isu yang diangkat keenam media tersebut berada dalam kategori yang
realistis. Seperti paslon 01 lebih banyak pemberitaan karena statusnya sebagai
petahana sehingga media lebih aktif dalam memberitakan.

media daring lebih mendominasi daripada media cetak. Hal itu


menggambarkan minat pembaca terkait dengan pilpres lebih banyak di media
daring. Pasalnya, media daring lebih mudah diakses dan fleksibel.

Di sisi lain, dua pasangan capres-cawapres saling menerima pemberitaan


yang positif dan negatif. Jokowi-Amin dinilai lebih banyak menerima pemberitaan
positif dengan 84 berita ketimbang Prabowo-Sandi yang hanya 48 berita. hal itu
menguntungkan calon petahana karena pencoblosan tinggal beberapa hari lagi.
Namun, Jokowi-Amin lebih banyak diberitakan negatif, yakni 24 berita, sedangkan
Prabowo-Sandi 22 berita.

Di sisi lain, berdasarkan pemantauan Yayasan Satu Dunia, kedua kubu


pasangan capres-cawapres diperkirakan sudah menghabiskan lebih dari Rp2 miliar
untuk beriklan kampanye di media televisi.

Direktur Yayasan Satu Dunia, Firdaus Cahyadi, mengatakan pemantauan


jumlah, durasi, hingga waktu penayang-an iklan kampanye di televisi sangat
penting diperhatikan. Hal tersebut akan bisa memperkirakan jumlah dana kampanye
yang dikeluarkan setiap kubu.

3.6 KETERSEDIAAN DAN KEMUDAHAN AKSES INFORMASI


Keterbukaan informasi publik merupakan bukti adanya demokrasi dan
transparansi kepada masyarakat. Tujuan utama adanya keterbukaan informasi di

21
setiap negara mencerminkan bahwa negara itu telah benar-benar menganut system
demokrasi. Banyak dampak positif dari adanya kebijakan yang ada dalam UU
Keterbukaan Informasi Publik UU No 14 tahun 2008 yang secara garis besar
menjelaskan mengenai aktifitas yang mengambarkan betapa pentingnya
keterbukaan informasi publik hingga di harapkan publik dapat berpartisipasi dalam
setiap program. Untuk mewujudkan good governance dengan adanya undang-
undang yang mengatur tentang Keterbukaan Informasi Publik sangatlah perlu.
Undang-undang keterbukaan informasi publik ini akan mengawal pemerintah
berlangsung transparan dalam seluruh proses pemerintahan.

3.7 SEMANGAT EMANSIPASI


Mengenang emansipasi dalam demokrasi, kita harus bersyukur atas
perjuangan sosok Kartini yang memperjuangkan emansipasi perempuan dan
melakukan perubahan tatanan sosial agar kaum perempuan mempunyai hak yang
sama dengan kaum laki-laki. Keberhasilan perjuangan emansipasi perempuan
sekarang sudah mulai di unduh dan menampakkan hasil dalam Negara demokrasi.
Dalam negara demokrasi pengakuan perempuan atas dasar prinsip persamaan
derajat, dalam semua wilayah dan tataran kehidupan public menjadi penting.
Terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan.

Hak perempuan 30 persen duduk di lembaga legislatif di Indonesia sebagai


penghargaan hakiki. Sejalan legalitas dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perempuan dalam demokrasi
menjadi salah satu penentu arah keadilan dan keberadaban dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Karena perempuan tidak lagi berada di “dapur” sebagai
kanca wingking, namun duduk bersama dalam menegakkan tatanan kehidupan
demokrasi Negara.

3.8 MASYARAKAT TRANSPARANSI


Transparansi adalah aspek dimana lembaga pemerintah wajib untuk
membuka pintu selebar-lebarnya terhadap publik mengenai apa saja yang ada

22
dalam lembaga tersebut yang tujuannya adalah sebagai sarana publik dalam hal ini
masyarakat untuk mengetahui sejauh mana pemerintahnya bisa melaksanakan tugas
dan fungsi kepada masyarakat itu sendiri. Transparansi dalam dunia pemerintahan
meliputi bidang keuangan, arus informasi, alur organisasi, serta kegiatan yang
dilakukan.

Transparansi dalam dunia pemerintahan menjadi hal yang sangat krusial.


Hal ini terjadi karena berkaitan dengan kualitas dari lembaga pemerintahan itu
sendiri. Ketika lembaga pemerintahan memiliki kualitas yang sangat bagus, maka
dapat dipastikan lembaga tersebut transparan atau terbuka terhadap masyarakat,
bahkan mempersilahkan kepada masyarakat untuk melihat apa saja yang ada dalam
lembaga tersebut. Namun bila lembaga pemerintahan memiliki kualitas yang buruk,
maka dapat dipastikan lembaga tersebut memiliki tingkat transparansi yang buruk
yang dapat ditandai dari lembaga yang akan berusaha menutup-nutupi tentang
kondisinya, bahkan akan berusaha mencegah masyarakat untuk masuk ke
dalamnya. Akhirnya masyarakat akan tidak percaya dengan lembaga tersebut.

3.9 ORIENTASI MASYARAKAT


Hal terpenting dari orientasi publik adalah rakyat dan masyarakat itu
sendiri.karena merekalah yang akan menentukan siapa pemennamg dan siapa
pecundang.orientasi publik atau masyarakat dalam hal ini diartikan sebagai semua
aktivitas atau usaha publik yang bertujuan menjadikan masyarakat sebagai tujuan
awal dan utama dalam setiap aktivitas politik.untuk itu perlu adanya unit dari suatu
partai politik yang tidak hanya bertugas sebatas mengumpulkan informasi
melainkan juga menyediakan solusi yang diharapkan.sehingga komunikasi antara
masyarakat dapat berjalan dengan baik.

23
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
Pemilihan umum adalah mekanisme memilih pemimpin-pemimpin yang
akanmeduduki jabatan politik strategis tertentu didalam lembaga-lembaga politik
formal, yakni lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di tingkat pusat dan daerah
Pemilihan Presiden di Indonesia dilaksanakan 5 tahun sekali setelah pemilu
legislatif berlangsung. Akan tetapi berbeda untuk Pilpres tahun 2019 yang mana
antara pemilu legislatif dan eksekutif berlangsung dalam satu waktu yang sama.
Oleh sebab itu diharapkan terlaksananya pemilihan presiden yang
berlangsung secara jujur, adil dan bijaksana sehingga terlihat bahwa indonesia
merupakan yang dewasa akan demokrasi.

4.2 SARAN
Kiranya setiap insan politik yang terlibat dalam kontestasi politik dapat
menunjukkan dan menjadi contoh penerapan cara berpolitik yang benar dan
tentunya berlandaskan asas demokrasi yang murni sesuai yang diamanatkan
Pancasila dan UUD 1945.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Firmanzah.2010.Persaingan Legitimasi Kekuasaan, Dan Marketing Politik.Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia
2. mediaindonesia.com/read/detail/228916-media-massa-dinilai-netral-dalam-pilpres-
2019
3. https://www.idntimes.com/news/indonesia/amelinda-zaneta/peran-media-
mewujudkan-pemilu-2019-jujur-dan-netral/full
4. http://www.neraca.co.id/article/106671/persaingan-ketat-dalam-pilpres-2019-
terjadi-di-enam-provinsi
5. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/09/06/sejarah-pemilu-di-indonesia
6. https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum

25

Anda mungkin juga menyukai