Salah satu masa yang paling penting untuk dicatat dalam perkembangan politik dan pemerintahan Negara kesatuan republik Indonesia adalah masa revolusi kemerdekaan antara tahun 1945 sampai dengan 1949. Urgensinya adalah bahwa pada masa ini pemerintah Indonesia belum dapat menjalankan secara penuh otoritasnya dalam mengatur dan menjalankan sistem pemerintahannya, karena pengakuan kedaulatan secara penuh baru diperoleh melalui Perjanjian Meja Bundar pada tahun 1949, dimana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai bekas jajahan Hindia Belanda. Yang paling penting saat itu adalah bagaimana memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi walaupun pada masa ini pemerintah Indonesia menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik dalam rangka memperkuat NKRI, tetapi justru yang paling pertma dipikirkan adalah bagimana mengatur pemerintahan daerah dalam bingkai NKRI. Itulah sebabnya sehingga undang-undang pertama yang dibuat pada saat itu setelah UUD 1945 adalah UU No. 1 tahun 1945 yang mengatur pemerintahan daerah yang hanya berisi 6 pasal dengan tanpa adanya penjelasan. UU No. 1 tahun 1945 menetapkan adanya 3 jenis daerah otonom (tampa menyebut otoritas masing-masing daerah), yaitu 1) keresidenan; 2) kabupaten; dan 3) kota berotonomi. Sedangkan provinsi yang berjumlah 8 berdasarkan penetapan Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) hanya diarahkan berbentuk daerah administratif tanpa otonomi. Dalam perkembangannya, khusus wilayah provinsi Sumatera berubah menjadi daerah otonom berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 8 tahun 1947. Menurut ketentuan menteri dalam negeri, komite nasional daerah menjadi badan perwakilan rakyat daerah dan bersama-sama dengan kepala daerah menjalankan pemerintahan daerah. Undang – Undang kedua setelah merdeka yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia dalah UU No. 22 tahun 1948. Undang-undang ini menganut sistem otonomi material, artinya undang-undang menentukan secara rinci kewajiban (otoritas) apa saja yang diberikan dari pemerintah pusat kepada daerah, di luar daripada itu menjadi otoritas pemerintah pusat. dalam undang-undang nomor 22 tahun 1948 ini telah dikenal tiga tingkatan daerah yaitu; (i) Provinsi atau daerah tingkat I, (ii) kabupaten dan kota besar sebagai daerah tingkat II; dan (iii) desa atau kota kecil (negeri, marga, lembang) sebagai daerah tingkat III. Masa Demokrasi Liberal (1950 – 1959). Babak kedua dalam perkembanngan sistem pemerintahan di Indonesia, khususnya hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah adalah masa demokrasi liberal. Pada masa ini sistem poltik yang dianut oleh Indonesia adalah sistem yang memberi haluan yang besar kepada kekuatan politik, diakui keberadaanya dan turut menentukan kebijakan. Indikasi sistem politik leiberal ditandai oleh beberapa hal diantaranya adalah; (i) dianutnya sistem multi partai, (ii) pengakuan dan kebebasan kepada semua kelompok idiologis memebentuk partai atau kekuatan politik tertentu, dan (iii) dianutnya sistem parlementer dengan pengakuan adanya kelompok oposisi dalam sistem politik dan pemerintahan. Pada masa tersebut kembali pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok – pokok pemerintahan daerah. Undang-undang ini mengalami penyesuaian dari undang-undang sebelumnya. Tetapi dalam UU No. 1 tahun 1957 ini dianut istilah baru dalam sistem pemerintahan daerah yaitu apa yang disebut dengan daerah swantara sebagai suatu kategorisasi dalam pemerintahan daerah. Dalam UU No. 1 tahun 1957 ini yang disebut dengan daerag swantara adalah daerah yang berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian pada masa ini dikenal juga tiga tingkatan pemerintahan daerah yaitu; (i) daerah swantara tingkat I, (ii) daerah swantara tingkat II, dan (iii) derah swantara tingkat III. Adapun wilayah administratif daerah berdasarkan sebutan swantara bertingkat disesuaikan dengan tingkatan dalam UU No. 22/1948). Perbedaan utama antara UU No. 1 tahun 1957 dengan UU No. 22 tahun 1948 adalah pada subtansi pemberian otonomi kepada daerah. UU. No. 22 tahun 1948 memberikan otonomi materil kepada daerah, artinya otnomi yang dirinci sedemikian rupa sehingga jelas kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah dan selebihnya adalah urusan pemerintah pusat. Sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1957 tidak merinci secara mendalam apa saja yang menjadi kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah, tetapi dalam UU No. 1 tahun 1957 ini sudah dikenal otonomi yang nyata dan seluas-luasnya.
Masa Demokrasi Terpimpin (1960 – 1965)
Masa demokrasi terpimpin ditandai dengan keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959, sebagai tanda berakhirnya UUDS 1950, serta berlakunya kembali UUD 1945. Berlakunya kembali UUD 945 menandai kembalinya era pemerintahan presidensil dengan kewenangan besar ada ditangan presiden. Dengan kewengan yang dipegangnya, presiden Soekarno kemudian menetapkan undang-undang operasional pemerintahan menjadi revolusioner dengan berbagai simbol-simbol perjuangan seperti manifesto politik. Untuk mencapai tujuan politiknya, Soekarno melakukan konsolidasi secara internal melalui penyesuaian-penyesuaian struktur pemerintahan dari pusat sampai daerah. Dalam konteks konsolidasi tersebut Soekarno kemuadian menerbitkan dua peraturan yaitu Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 dan penetapan Presiden No. 5 tahun 1960. Salah satu yang mendapatkan perhatian dari Presiden Soekarno setelah memegang teraju pemerintahan adalah mereposisi hubungan pusat dan daerah, yakni dengan mencabut UU No. 1 tahun 1957 dan menetapkan Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 dan No. 5 tahun 1960. Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan adalah bahwa UU No. 1 tahun 1957 dianggap produk dari sistem yang liberal dan kenyataanya tidak sesuai dengan kehidupan politik yang berkembang dalam konteks demokrasi terpimpin (Affan Gaffar et.al, 2002; 103). Penetapan presiden No. 6 tahun 1959 mengatur tugas dan fungsi kepala derah serta Badan Pemeriksa Harian (BPH), sedangkan Penetapan Presiden no. 5 tahun 1960 mengatur tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat daerah Gotong Royong (DPRGR). Berdasarkan Penetapan Presiden no. 6 tahun 1959, kepala daerah diberi status pegawai negara dan pengangkatannya ditunjuk oleh presiden. Dengan demikian maka kepala daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRGR melainkan kepada Presiden melalui menteri dalam negeri. Sementara itu tugas dan fungsi DPRDR adalah bersama-sama dengan kepala daerah menetapkan peraturan daerah. Kedua penetapan presiden tersebut masih menganut tiga tingkatan pemerintahan daerah, masing- masing: (i) daerah tingkat I, (ii) daerah tingkat II, dan (iii) daerah tingkat III.