Anda di halaman 1dari 19

SEPUTAR SISTEM DAN MUTU

PENDIDIKAN NASIONAL

Oleh
I Ketut Nuarca

Program Studi Sastra Jawa Kuno


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana
Agustus 2017

1
PENGANTAR

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (human development index-


HDI) sebagaimana dipublish UNDP sekarang ini menduduki posisi yang
sangat memprihatinkan bila dibandingkan negara-negara tetangga yang
tergabung dalam keanggotaan ASEAN. HDI adalah indikator yang
digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia
(SDM) yang dikembangkan melalui tiga faktor yakni derajat kesehatan
masyarakat, tingkat ekonomi masyarakat dan pendidikan masyarakat.
Laporan yang dipublish UNDP memperlihatkan peringkat HDI Indonesia
berada di posisi yang sangat rendah, bahkan terendah di ASEAN dan lebih
rendah dari Vietnam, negara yang baru saja bangkit dari keterpurukan akibat
perang yang berkepanjangan.
Setiap bangsa di manapun akan menjadi besar diukur dari sumber
daya manusia (SDM)nya. Semakin tinggi peradaban suatu bangsa maka
akan berdampak pula terhadap kualitas SDMnya. Pengembangan mutu
sumber daya manusia itu sendiri menjadi tanggung jawab institusi
pendidikan. Karena itu pembangunan di sektor pendidikan perlu dirancang
secara terencana dan diarahkan bagi upaya pengembangan sumber daya
manusia berkualitas di masa depan. Rendahnya kualitas SDM memiliki
korelasi secara langsung dengan rendahnya mutu pendidikan dan rendahnya
mutu pendidikan berkait dengan sistem pendidikan itu sendiri.
Masih hangat dalam ingatan kita, beberapa tahun menjelang
memasuki milenium ketiga, sebagaimana harapan banyak orang negara ini
akan mencapai banyak kemajuan di dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat baik dalam bidang ekonomi, pendidikan dan sosial

2
kemasyarakatan. Tetapi sebagaimana kita alami bersama semua harapan
tersebut sulit diujudkan. Perekonomian berada di titik rendah dan tingkat
kesejahteraan masyarakat menurun secara drastis. Selain itu masyarakat
juga merasakan hidup dalam suasana kurang nyaman akibat kerusuhan serta
konflik horisontal terjadi di mana-mana ditambah lagi pertentangan antar
elit di pemerintahan terjadi sangat tajam. Singkatnya, negara telah dilanda
krisis multi dimensi yang terjadi secara berkelanjutan. Kondisi negara
seperti ini dikaitkan dengan mutu SDM yang sangat rendah sebagai akibat
kegagalan sistem pendidikan nasional.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membahas serta mencarikan
solusi tentang permasalahan itu tetapi hanya sekedar memberikan gambaran
secara global mutu pendidikan nasional yang ada sekarang ini dengan data-
data pendukung yang relatif terbatas. Semoga tulisan yang singkat ini ada
manfaatnya.

Penulis.

3
DAFTAR ISI

Pengantar ............................. 1

Pendahuliuan ............................. 5

Hakikat Fungsi dan Tujuan Pendidikan .................. 8

Mutu Pendidikan Nasional ........................ 10

Kualitas Guru dan Dosen ........................ 13

Penutup ............................. 16

Daftar Pustaka ............................ . 19

4
Pendahuluan

Di pengujung tahun 2017 yang baru saja kita lewati masyarakat

dikejutkan oleh pernyataan menteri keuangan Indonesia Sri Mulyani yang

mengkritisi kualitas pendidikan nasional Indonesia sekarang ini yang tidak

sesuai dengan harapan. Pada hal sesuai perintah undang-undang anggaran

yang disediakan negara untuk sektor pendidikan sudah cukup tinggi yakni

20% dari keseluruhan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Anggaran yang tinggi ternyata tidak serta merta membawa berpengaruh

pada peningkatan kualitas pendidikan, bahkan kualitas pendidikan nasional

kita di mata dunia termasuk katagori cukup rendah sekarang ini.

Pernyataan Sri Mulyani ini merujuk pada data dari Global Human

Capital Report 2017 yang dirilis World Economic Forum (WEF).

Berdasarkan atas laporan tersebut diperoleh informasi kualitas pendidikan

nasional kita berada pada peringkat ke 53 dunia sementara Vietnam

menduduki peringkat 8 dunia.

Sebagaimana diketahui Vietnam adalah salah satu negara anggota

ASEAN yang baru saja bangkit dari keterpurukan akibat perang yang

berkepanjangan. Komitmen negara ini untuk menjadikan negaranya sejajar

dengan negara-negara lainnya cukup tinggi hal ini tampak dari

pengembangan program di sektor pendidikan. Indonesia dan Vietnam

5
adalah dua negara yang sama-sama memiliki komitmen tinggi dalam

pengembangan sumber daya manusia melalui pembangunan di sektor

pendidikan. Kedua negara masing-masing mengalokasikan anggaran untuk

sektor pendidikan sebesar 20% dari anggran pendapatan dan belanja negara

(APBN) tetapi dari segi hasil yang dicapai sangat berbeda. Tentu ini perlu

menjadi bahan kajian untuk mengenali faktor-faktor penyebabnya.

Banyak kalangan menilai sistem pendidikan nasional sekarang ini

tidak mampu menghasilkan sumber daya manusia yang mempunyai daya

saing tinggi dalam memasuki dunia kerja. Salah satu penyebabnya adalah

akibat sistem pendidikan yang diterapkan selama ini lebih mengedepankan

aspek kognitif sementara aspek lain kurang mendapatkan perhatian. Hal ini

terlihat dalam implementasi metode dan strategi pembelajaran yang

diterapkan di lapangan. Dalam praktek sehari-hari di satuan-satuan

pendidikan baik pada satuan pendidikan non formal maupun formal mulai

dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi guru serta dosen

lebih banyak asyik sendiri berceramah di hadapan peserat didik sementara

anak-anak lebih banyak terpaku di tempat. Guru serta dosen dalam hal ini

adalah pelaku aktif yang mengajarkan ilmu sementara murid diposisikan

sebagai objek pasif yang kurang kritis, kurang kreatif dan lebih banyak

mendengarkan, menyimak dan mencatat dengan baik. Model pembelajaran

seperti ini oleh Paulo Freire (1972) dikritik sebagai pendidikan gaya bank

(banking system of education), yaitu model pendidikan yang membelenggu

6
kreativitas dan daya kritis siswa sehingga menghasilkan output yang kurang

mandiri. Makna pendidikan cenderung diterjemahkan sekedar sebagai

transfer of knowledge sehingga apa yang disampaikan guru atau dosen

itulah yang menjadi pengetahuan bagi peserta didik. Murid hanya dibebani

dengan hafalan-hafalan teori sekedar hanya untuk dapat menjawab soal-soal

ujian tetapi tidak sanggup untuk menerjemahkannya ke dalam realitas

sosial. Dari satu sisi model pembelajaran seperti ini cukup berhasil

menjadikan siswa mampu menghafal materi pelajaran dengan baik tetapi

dari sisi output yang dihasilkan menjadi kurang mandiri.

Sistem pendidikan yang lebih menekankan pada pemahaman aspek

kognitif dan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik dominan

mengembangkan kemampuan belahan otak kiri sementara pengembangan

kemampuan belahan otak kanan yang mampu memelihara kestabilan emosi

serta kepribadian kurang ditumbuhkembangkan. Hal ini berdampak pada

pengembangan kepribadian anak yang terabaikan. Pada hal hakikat

pendidikan yang sebenarnya adalah untuk menghasilkan insan-insan yang

unggul di masa depan serta memiliki kepribadian yang tangguh. Aspek

pengembangan seni, budaya dan agama yang secara konseptual diyakini

mampu mengembangkan keluhuran nilai-nilai moral dan budi pekerti

belum banyak dikembangkan dalam implementasi pembelajaran di

lapangan. Anak-anak lebih banyak dijejali berbagai pengetahuan dan

7
informasi kognitif yang kadang-kadang belum tentu relevan dengan tingkat

kematangan dan perkembangan usia serta psikologis anak.

Hakikat Fungsi dan Tujuan Pendidikan

Pendidikan yang terlalu dominan mengedapankan aspek

pengembangan kognitif telah mengubah orientasi belajar peserta didik

menjadi semata-mata untuk meraih nilai tinggi. Hal ini dapat mendorong

siswa untuk mengejar nilai dengan berbagai cara. Bahkan guru atau dosen

pun terkadang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan siswa. Pada

satuan pendidikan dasar dan menengan hal ini seringkali dijumpai setiap

tahun pada momen pelaksanaan ujian nasional. Peristiwa-peristiwa yang

sempat mengemuka di media yang terjadi pada setiap pelaksanaan ujian

nasional (UN) cukup dapat dijadikan gambaran yang menguatkan hal

tersebut. Para guru kerap menggunakan cara-cara yang kurang patut hanya

sekedar agar siswa berhasil lulus, bahkan bila perlu hingga lulus 100%.

Tindakan-tindakan kurang terpuji yang kerap terjadi di masyarakat

seperti tawuran antar pelajar, kerusuhan, pelecehan seks, penyalahgunaan

obat-obat terlarang, pembegalan dsan lain-lain sering dikaitkan dengan

kegagalan sistem pendidikan modern yang kurang memberi ruang bagi

proses pembentukan karakter siswa sejak dini. Terjadinya kerusakan

lingkungan hidup misalnya, tidak dapat diartikan masyarakat tidak memiliki

pengetahuan tentang bagaimana menjaga dan melestarikan lingkungan,

tetapi manusia tidak melakukannya secara konsisten dalam tindakan nyata.

8
Contoh lain tentang kebiasaan siswa merokok juga tidak dapat diartikan

mereka tidak memiliki pengetahuan tentang bahaya merokok tetapi mereka

tetap melakukannnya dalam kebiasaan sehari-hari. Semua ini dapat terjadi

akibat sistem pendidikan konvensional yang hanya bertumpu pada

pengembangan aspek kognitif dengan mengesampingkan aspek-aspek lain.

Pendidikan yang berhasil adalah bila dapat mengejawantahkan

hakikat dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional sesuai amanat U.U. No.

20 tahun 2003 tentang sisdiknas terutama pasal 3. Dalam pasal ini

dijelaskan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan nasional

untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab. Hakikat dari fungsi dan tujuan

pendidikan nasional ini sebenarnya, setidak-tidaknya menurut Benyamin

Bloom apa yang disebut dengan domain kognitif, domain afektif dan

domain psikomotor. Ketiga domain ini oleh Isjoni (2006: 43) dijelaskan

sebagai berikut.

Domain kognitif identik dengan fungsi pendidikan untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa dan tujuan pendidikan seperti berilmu dan

cakap. Kognitif berarti pengetahuan, karena itu bila siswa telah

9
menyelesaikan pendidikan maka diharapkan akan memiliki kemampuan,

pandai, cerdas serta memiliki wawasan intelektual. Domain afektif seperti

tersirat dalam fungsi pendidikan nasional adalah membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermatabat serta tujuan pendidikan nasional untuk

menjadikan peserta didik manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, demokratis dan bertanggung jawab.

Dengan demikian bila telah menyelesaikan pendidikan diharapkan ada

perubahan sikap dan perilaku pada diri siswa. Siswa akan melakukan

sesuatu yang didasarkan pada pikiran dan perilaku mulia sehingga ia

memiliki kepribadian luhur, memiliki etika moral dan rasa tanggung jawab.

Domain psikomotor dalam konteks fungsi dan tujuan pendidikan nasional

adalah mampu mengembangkan kemampuan, kreatif dan mandiri. Dengan

demikian bila siswa telah menyelesaikan pendidikan diharapkan mampu

melakukan sesuatu serta trampil. Bila sudah trampil maka kemandirian dan

jiwa kreatif dapat tertanam pada diri siswa. Jadi siswa tidak lagi merasa

tergantung pada orang lain.

Mutu Pendidikan

Hasil survei yang pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu oleh

Political and Economic Risk Consultant (PERC), sebuah lembaga riset

yang berkantor di Hongkong memperjelas anggapan tentang buruknya

10
sistem pendidikan nasional selama ini. Hasil survei ini menyatakan sistem

pendidikan nasional kita termasuk yang terburuk di kawasan Asia karena

dari 12 negara yang disurvei Indonesia menduduki urutan ke-12 di bawah

Vietnam. Korea Selatan menduduki urutan pertama terbaik menyusul

Singapura, Jepang, Taiwan, India dan Malaysia (Kompas, 5 September

2001). Survei yang dilakukan untuk melihat profil kualitas tenaga kerja di

negara Asia ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk mendapatkan tenaga

kerja yang berkualitas harus dilihat dari kualitas sistem pendidikan di suatu

negara. Artinya bila suatu negara memiliki sistem pendidikan yang baik

akan mampu menghasilkan tenaga kerja yang baik. Begitu sebaliknya bila

sistem pendidikannya tidak baik tentu SDM yang dihasilkan juga tidak akan

memenuhi harapan. Sekalipun data yang dikutip sudah relatif lama tetapi

gambaran tentang kondisi pendidikan kita sekarang ini setidaknya masih

relevan dengan hasil studi tersebut.

Kualitas pendidikan yang rendah didukung lagi oleh data yang

dikeluarkan Balitbang Depdiknas (2003). Dari sekitar 146.052 SD di

Indonesia ternyata hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia

dalam katagori The Primary Years Program. Dan dari 20.918 SMP di

Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapatkan

pengakuan dunia dalam katagori The Middle Years Program, serta dari

8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah yang mendapatkan pengakuan

dunia dalam katagori The Diploma Program (Samba, 2007: 8).

11
Untuk jenjang Pendidikan Tinggi sebagaimana ditulis Supriyo dalam

Pikiran Rakyat edisi 18 Juni 2007 yang memanfaatkan hasil publikasi

majalah Times (2006) dalam ”Times Higher Education Supplement”, ada

empat Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia yang selama ini dipercaya

dapat menghasilkan SDM yang berkualitas ternyata baru mampu

menempati peringkat 200-an dalam jajaran universitas terbaik dunia tahun

2006. Universitas Indonesia (UI) menduduki peringkat ke-250, Institut

Teknologi Bandung (ITB) peringkat ke-259, Universitas Gadjah Mada

(UGM) meringklat ke-270 dan Universitas Diponogoro Semarang (UNDIP)

peringkat ke-459.

Peringkat yang rendah ini didukung lagi oleh angka partisipasi kasar

Pendidikan Tinggi yang rendah pula. Data tahun 2004 menyebutkan jumlah

penduduk usia 19-24 tahun yang mendapatkan kesempatan belajar di

perguruan tinggi relatif rendah, yakni sekitar 14,62% padahal sampai tahun

2004 APS pendidikan usia 16-18 tahun sudah mencapai 53,5%. Rendahnya

APK Pendidikan Tinggi memperkuat pandangan yang selama ini terlanjur

berkembang bahwa Perguruan Tinggi selama ini memang terbukti menjadi

”kebutuhan mewah” masyarakat yang baru dapat dinikmati oleh sebagian

kecil saja dari penduduk Indonesia. Negara-negara lain seperti Singapore,

12
Korea serta Jepang sudah mencapai lebih dari 30%, bahkan APK

Pendidikan Tinggi Korea Selatan telah mencapai 75%.

Kualitas Guru dan Dosen

Berita tentang rendahnya kualitas guru pernah dimuat harian Jawa

Post edisi Sabtu, 4 Oktober 2008 halaman 3. Selanjutnya Prof. Dr.

Baedhowi (mantan Dirjen PNFI Kemdiknas) dalam pidato pengukuhan

sebagai guru besar di Universitas Negeri Solo seperti dilansir harian

Kedaulatan Rakyat 14 Nopember 2009 hal 20 menguatkan pendapat

tentang rendahnya kualitas guru di tanah air. Bahkan secara detail dikatakan

sampai akhir tahun 2009 ini baru sekitar 1.043.000 guru (sekitar 40%) yang

kualifikasi akademiknya memenuhi persyaratan minimal sebagaimana

diatur PP. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.

Baedhowi lebih jauh juga menyampaikan, program sertifikasi guru

yang memiliki tujuan positif untuk mengetahui tingkat kompetensi guru ada

kecenderungan diapresiasi untuk motivasi finansial. Hal ini diketahui dari

hasil kajian yang dilakukan Ditjen PMPTK pada tahun 2008 di lima

provinsi (Sumbar, Jatim, Jateng, Sulsel dan NTB) yang melibatkan masing-

masing 2600 guru yang sudah sertifikasi dan 2600 guru yang belum

mengikuti sertifikasi. Hampir semua responden menyatakan motivasi utama

mereka ingin segera ikut sertifikasi adalah terkait dengan tambahan

penghasilan, yakni untuk mendapatkan tunjangan profesi.

13
Sementara guru yang telah lulus sertifikasi melalui penilaian

portofolio ternyata tidak serta merta kinerja dan kompetensinya meningkat

baik kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi

profesional maupun dalam kompetensi sosial, bahkan ada gejala kinerja

mereka menurun. Kenyataan ini menunjukan dengan sertifikasi saja

agaknya belum cukup untuk mewujudkan adanya peningkatan kompetensi

dan kinerja guru, mungkin masih ada cara lain lagi yang perlu dipikirkan.

Kualitas dosen juga tidak luput dari kritik. Harian Seputar Indonesia

edisi Jumat, 5 September 2008 halaman 5 memuat artikel berjudul

”Kualitas Dosen Setara Guru SD”. Dalam satu hal artikel ini dapat dinilai

merendahkan posisi dosen terutama bagi mereka yang merasa sudah banyak

berbuat dan berkarya sesuai dengan tugas utamanya dalam melaksanakan tri

darma perguruan tinggi. Artikel tersebut sebenarnya tidak dimaksudkan

untuk melemahkan arti pengabdian para dosen yang sudah mengabdikan

dirinya pada tiga tugas utama (tri darma) baik di bidang pendidikan,

penelitian maupun pengabdian masyarakat. Apalagi beberapa dosen di Bali

(Universitas Udayana) ada yang telah melakukan penelitian dengan sangat

gemilang di mana hasil-hasilnya telah diakui negara lain bahkan telah

dipatenkan.

Penilaian mutu dosen setara guru SD dikutip dari pendapat seorang

pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Prof. Dr. HAR Tilaar.

Acuannya jelas, yakni U.U. No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di

14
dalam undang-undang ini secara tegas diatur bahwa pengajar Pendidikan

Tinggi untuk program sarjana (S1) sekurang-kurangnya harus bergelar

magister (S2), sementara untuk program Pasca Sarjana harus bergelar

Doktor (S3). Penilaian Guru Besar di atas cukup beralasan mengingat

sampai saat ini sebagian besar kualifikasi pendidikan para dosen di

Indonesia masih bergelar sarjana.

Pendapat di atas didukung oleh pengakuan Direktur Ketenagaan

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas yang menyatakan 60.000

dari sekitar 120.000 (sekitar 50,65%) dosen yang ada belum memenuhi

persyaratan pendidikan minimal pengajar universitas. Di pihak lain, hasil

survei Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) pada periode

Desember 2007-Febroari 2008 juga menemukan sekitar 67% dosen bergelar

sarjana dengan kompetensi mengajar terbatas.

Rendahnya kualitas dosen tentu secara langsung akan mempengaruhi

mutu lulusan perguruan tinggi. Karena itu upaya peningkatan mutu serta

kompetensi dosen harus menjadi prioritas garapan agar para lulusan

nantinya mempunyai daya saing tinggi dalam mengahadapi persaingan

global.

15
Penutup
Sistem pendidikan nasional kita sekarang memang sedang beranjak

menuju perubahan. Sejak satu dasa warsa ini pemerintah sudah mengambil

kebijakan yang cukup signifikan dalam rangka meningkatkan mutu

pendidikan. Tetapi sebagaimana kita sadari pembangunan sektor

pendidikan memang hasilnya tidak dapat segera dirasakan oleh masyarakat.

Demikian pula perubahan tersebut tidak dapat dalam sekali waktu langsung

memperlihatkan hasil yang dapat dirasakan karena pembangunan sektor

pendidikan merupakan investasi jangka panjang (human investment) yang

hasil-hasilnya baru dapat dirasakan dalam dekade-dekade berikutnya.

Kesungguhan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan

memang terasa semakin menguat. Ini dapat dilihat melalui kebijakan-

kebijakan yang diambil pemerintah di antaranya:

1) Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah pendidikan sekarang ini

tidak lagi menganut sistem sentralistik. Pemerintah memberikan

otonomi kepada sekolah-sekolah (termasuk Perguruan Tinggi) untuk

mengelola pendidikan secara mandiri. Pemberian otonomi seperti ini

dapat memberi peluang yang lebih luas kepada sekolah untuk mengelola

sumber daya serta mendorong partisipasi masyarakat untuk bersama-

sama memajukan serta meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu ekses

yang sangat jelas terlihat dengan pemberlakuan otonomi pendidikan

16
adalah terjadinya peningkatan beaya pendidikan yang harus ditanggung

masyarakat. Beberapa penyelenggara pendidikan terkesan secara

sengaja memanfaatkan kebijakan otonomi untuk mengembangkan

manajemen sekolah yang menyerupai perseroan terbatas sehingga yang

terjadi adalah apa yang disebut sebagai manajemen sekolah beaya tinggi

yang sudah tentu sangat memberatkan masyarakat. Sebagian masyarakat

menilai hal ini sebagai bentuk telah terjadinya liberalisasi pendidikan di

Indonesia Lembaga-lembaga pendidikan akhirnya terkesan sebagai

lembaga elite yang semakin dijauhi masyarakat karena hanya

diperuntukan bagi kalangan tertentu sementara masyarakat yang berasal

dari golongan kecil akan semakin terpinggirkan. Bila ini terjadi terus-

menerus maka tujuan pendidikan untuk menjadikan masyarakat cerdas

dan bermutu sebagaimana diamanatkan undang-undang sangat jauh dari

harapan.

2) Pemerintah mengamandemen UUD 1945 pasal 31 tentang pendidikan

yang sudah tentu memberi harapan baru bagi masyarakat secara luas.

Perubahan ini akan mendorong bagi terciptanya sistem pendidikan yang

lebih berkualitas karena secara eksplisit ”memerintahkan” negara untuk

mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kuangnya 20% dari

APBN/APBD. Kebijakan ini tentu dapat memberi harapan baru bagi

terselenggaranya pendidikan yang lebih merata dan ”nyaman”.

17
3) Pemerintah juga melakukan perubahan undang-undang sisdiknas

sebagaimana terlihat dalam U.U. No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas.

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah ini memberikan peluang

agar nantinya mutu pendidikan kita tidak terlalu jauh tertinggal dari mutu

pendidikan negara-negara tetangga. Untuk itu ke depan harapan kita tentu

bangsa ini nantinya dapat menempatkan sektor pendidikan sebagai skala

prioritas agar harapan tersebut dapat terujud.

18
DAFTAR PUSTAKA

Freire, Paulo. 1972. Pedagogy of the Oppressed. Translated by Myra


Bergman Ramos. New York: Herder and Herder.

Goleman, Daniel. 1998. Working With Emotional Intelligence. New


York : Bantam Books.

Isjoni, 2006. Pendidikan Sebagai Investasi Masa Depan.


Jakarta : Yayasan Obor.

Ki Supriyo. 2007. ”Terjebak Teori Barat” dalam Pikiran Rakyat


edisi 18 Juni 2007.

Patton, P. 1997. Emotional Intelligence in the Workplace : Bridging


the Gap Between What We Know and What We Do.
Singapore : SNP Publishing Pte Ltd.

Samba, Sujono. 2007. Lebih Baik Tidak Sekolah. Yogyakarta : LkiS

U.U. RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Jakarta : Departemen


Pendidikan Nasional.

19

Anda mungkin juga menyukai