Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelanggaran hak asasi manusia merupakan permasalahn yang marak
dibicarakan dinegara kita akhir-akhir ini. Berbagai kasus yang terjadi di negara ini
seringkali dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Salah satu hak asasi
manusia yang sedang marakdiperjuangkan adalah hak anak. Termasuk didalamnya
adalah masalah mengenai anakjalanan.
Jumlah anak jalanan akhir-akhir ini meningkat dengan pesat. Peningkatan
jumlah anak jalanan yang pesat ini merupakan fenomena sosial yang perlu
mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata
terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi
anak jalanan yang buruk dimana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya
bahkan sering dilanggar.
Hampir disetiap perempatan-perempatan jalan di kota-kota besar telah
menjadi basis kegiatan anak jalanan. Anak-anak yang seharusnya masih berada
dalam lingkungann bermain dan belajar tetapi mereka sudah mencari nafkah
dengan melakukan kegiatankegiatan di perempatan jalan yang penuh resiko.
Mereka yang seharusnya masih mengenyam masa indah di bawah kasih sayang
dan bimbingan orang tua sudah harus menjalani kehidupan dunia jalanan yang
penuh kekerasan dan ekdploitasi tanpamengenyam pendidikan moral maupun
agama. Padahal anak-anak itu adalah asset pembangunan bangsa yang sangat
berharga untuk masa depan.
Mengkaji fenomena diatas, kelompok kami ingin membuka kesadaran kita
untuk menyimak sisi lain dari kehidupan kita, dimana masih banyak sekali anak
yang tidak mampu menikmati kehidupan yang layak seperti kita. Permasalahan
anak jalanan tersebut membutuhkan solusi yang terbaik karena membawa
pengaruh besar yang menyangkut masalah sosial, moral dan terlebih lagi hak asasi
manusia yang menjadi tanggung jawab kita semua sebagai warga negara untuk
menegakkannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi anak jalanan?
2. Apa saja pelanggaran hak asasi yang terjadi pada anak jalanan?
3. Apa saja upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menangani pelanggaran
hak
asasi yang terjadi pada anak jalanan?

1.3 Tujuan
Makalahini disusununtukmengetahuibentukpelanggaran HAM yang terjadi padaanak
jalanan, sertauntuk mencari solusiuntuk mengurangipelanggaran HAM pada anak
jalanan
2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Anak Jalanan
Berbagai definisi telah dikemukakan oleh kalangan akademisi atau peneliti
maupun kalangan aparat pemerintah yang terkait dengan lembaga swadaya
masyarakat. Adapun beberapa definisi anak jalanan dikemukakan sebagai
berikut :
1. Menurut Ilsa (1996) anak jalanan adalah anak-anak yang bekerja di jalanan.
2. Studi yang dilakukan oleh Soedijar (1989/1990) menunjukkan bahwa anak
jalanan adalah anak yang berusia antara 7-15 tahun yang bekerja dijalanan dan
dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta
membahayakan dirinya sendiri.
3. Direktorat Bina Sosial DKI menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak
yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja mengemis atau menganggur
saja.
4. DepartemenSosial RI mendefinisikananakjalananadalahanak yang
sebagianbesarmenghabiskanwaktunyauntukmencarinafkahatauberkeliaran di
jalananatautempat-tempatumumlainnya.
Menurut Panji Putranto ada dua tipe anak jalanan, yaitu anak yang bekerja di
jalan dan anak yang hidup di jalan.perbedaan antara kedua kategori ini adalah
kontak dengan orang tua. Mereka yang bekerja masih memiliki kontak dengan
orang tua sedangkan yang hidup dijalanan sudah putus hubungan dengan
keluarga. Menurut Azas Tigor Nainggolan menunjukkan ada tiga kategori anak-
anak yang bekerja dijalanan. Pertama, anak-anak miskin perkampungan kumuh
yaitu anak-anak kaum urban yang tinggal bersama orang tuanya di kampung-
kampung yang tumbuh secara liar di perkotaan. Kedua, pekerja anak perkotaan
yaitu mereka hidup dan bekerja tetapi tidak tinggal bersama orang tua. Ketiga,
adalah anak-anak jalanan yang sudah putus hubungan dengan keluarga.
Berdasar definisi-definisi diatas tiga ciri anak jalanan antara lain :
1. Anak-anak jalanan sebagai gejala bagian dari gejala dalam bidang
ketenagakerjaan. Dalam bidang ini, gejala anak jalanan sering dikaitkan
dengan alasan ekonomi keluarga dan kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan. Kecilnya pendapatan orang tua sehingga tidak mampu mencukupi
kebutuhan keluarga memaksa terjadinya pengerahan anak-anak.
2. Anak jalanan sebagai permasalahan sosial. Anak-anak jalanan dipandang
merupakan bukti dari para deviant yang mengancam ketentraman para
penghuni kota lainnya.
3. Anak jalanan sebagai anak-anak yang diperlakukan sebagai orang dewasa.
Akibatnya ia memiliki resiko yang sangat besar untuk dieksploitasi atau
menghadapi masa depan yang suram.
3

2.2 Anak Jalanan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam
beberapa tahun belakangan. Pada tahun 1998, menurut Kementrian Sosial
menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak jalanan sekitar 400%. Dan
pada tahun 1999 diperkirakan jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 50.000
anak dan 10% diantaranya adalah perempuan. Peningkatan jumlah anak jalanan
yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari
berbagai pihak. Perhatian ini tidak sematamata terdorong oleh besarnya jumlah
anak jalanan melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk
dimana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering dilanggar.
Anak jalanan seharrusnya masih berada di sekolah tapi mereka telah
menjalanikehidupan jalanan untuk mencari nafkah. Anak-anak ini tidak dapat
mengakses pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal dalam hal ini
termasuk pendidikan keluarga. Sudah menjadi tugas orang tua untuk memberikan
pendidikan dan perlindungan kepada orang tua. Tetapi jika menilik latar
belakang kepergian anak-anak tersebut meninggalkan rumah orang tuanya karena
kekecewaan terhadap pendidikan sekolah atau kekerasan yang dilakukan orang
tua.
Menurut Kirik Ertanto, latar belakang anak menjadi anak jalanan dapat
disebabkan oleh ddua hal. Pertama, kekecewaan mereka atas pendidikan di
sekolah. Di sekolah ia dicap sebagai anak nakal dan bodoh sehingga sering
dimarahi oleh guru. Kedua, permasalahannya yang dihadapinya di sekolah
biasanya dilaporkan kepada orang tua murid. Laporan ini biasanya menjadi
penyulut kemarahan orang tua bahkan seringkali diikutti dengan kekerasan.
Sedangkan penelitian tim peneliti dari universitas Diponegoro menyatakan
bahwa alasan utama untuk menjadi anak jalanan disebabkan oleh
ketidakharmonisan keluarga dan kurangnya perhatian orang tua (66,7%),
kemiskinan keluarga dan dorongan teman (22,4%), dan lain-lain (10,9%).
Kedua hal tersebut menimbulkan kekecewaan pada diri mereka atas
perlakuan yang ia terima dari dunia pendidikan. Akibatnya hal itu mendorong
mereka untuk pergi ke jalanan mencari kebebasan tanpa beban “pendidikan”.
Padahal pendidikan merupakan salah satu hak asasi mereka tapi justru dianggap
sebagai beban yang harus dihindari. Tetapi bagaimanapun juga hak asasi mereka
itu harus tetap ditegakkan. Mengenai hak asasi memperoleh pendidikan ini
termuat dalam konvensi hak-hak anak 18 PBB pasal 28 disebutkan “mengakui
hak anak atas pendidikan dan dengan tujuan mencapai hak ini secara bertahap
dan berdasarkan kesempatan yang sama”. Selain itu juga dikuatkan oleh hukum
di negara kita yang termuat dalam UUD 1945 pasal 28 C ayat 1 dinyatakan “Hak
utnuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat
pendidikan,dan memperoleh manfaat iptek”. Selain itu juga termuat hak anak
yang meliputi hak perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara
serta memperoleh pendidikan, pengajaran, dalam rangka pengembangan diri dan
tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
4

Bila dikaji berdasarkan dasar hukum diatas, pelanggaran yang terjadi


terhadap anakjalanan diantaranya hak memperoleh perlindungan orang tua dan
masyarakat serta hak memperoleh pendidikan. Didasari alasan tersebut, sangan
perlu dirancang sebuah system pendidikan yang khusus diberikan kepada anak
jalanan sesuai dengan minat mereka, minimal pendidikan mengenai moral,
agama, dan keahlian khusus sebagai bekal bagi masa depan mereka. Sudah bukan
menjadi rahasia umum bahwa dunia jalanan adalah dunia yang penuh dengan
kekerasan dan eksploitasi. Pertarungan demi pertarungan selalu berakhir dengan
kekalahan tanpa ada kemenangan dari pihak manapun. Berbagai penelitian
mengungkapkan situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan. Lebih tragis lagi
kekerasan oleh anak jalanan justru dilakukan oleh petugas keamanan yang
seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka. Menurut penelitian YDA
menyatakan bahwa bahaya terbesar yang paling sering dialami anak jalanan
adalah dikejar polisi dimana 91% anak yang pernah tertangkap mengaku
mengalami penyiksaan. Selain kasuskekerasan yang dialami secara personal,
kekerasan terhadap komunitas juga kerap terjadi. Yang lebih parah lagi anak-
anak jalanan juga mengalami siksaan atau kekerasan dari pihak sindikat yang
secara terselubung mengkoordinasi kerja mereka. Sindikat tersebut
memanfaatkan atau mengeksploitasi anak jalanan untuk menjadi pengemis,
pengamen, pencopet atau bahkan eksploitasi seksual. Fenomena ini dapat
dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang pemanfaatan
atau eksploitasi masyarakat yang termarjinalkan demi pencapaian maksud untuk
meraup keuntungan diataspenderitaan orang lain.
Hal ini merujuk kepada Konvensi Hak Anak 1989 PBB pasal 36menyatakan
“akan melindungi anak terhadap semua bentuk lain dari eksploitasi
yangmerugikan tiap aspek dan kesejahteraan anak.” Kasus-kasus kekerasan yang
dialami oleh anak jalanan yang terungkap ke public hanya sebagian kecil saja
dari kasus-kasus kekerasan yang sering terjadi dalam kehidupan anak jalanan.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatankan bahwa anak jalanan senantiasa
berada dalam situasi yang mengancam perkembangan fisik, mental, sosial
bahkan nyawa mereka. Dalam situasi kekerasan yang dihadapi terus menerus
dalam perjalanan hidupnya, akan membentuk nilai-nilai baru dalam dan tindakan
yang mengedepankan kekerasan sebagai jalan keluar untuk mempertahankan
hidupnya. Ketika memasuki usia dewasa, besar kemungkinan bagi mereka akan
menjadi salah satu pelaku kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak jalanan.
Berkenaaan dengan kekerasan terhadap anak jalanan, hukum nasional kita telah
mengaturnya dalam UUD 1945 pasal 28 ayat 2 yang menyatakan bahwa hak
anak untuk kelangsungan hidup, tunbuh dan berkembang serta hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan demikian tindak
kekerasan terhadap anak jalanan dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran
terhadap hak asasi manusia. Lebih lanjut, kita juga dapat merujuk pada konvensi
Hak-Hak Anak PBB pasal 37 menyatakan, “menjamin anak tidak menjalani
siksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi dan tidak
5

bermanfaat, menjamin untuk tidak dirampas kemerdekaannya secara sewenang-


wenang.” Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir
seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih
bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban
dari kawan-kawannya atau komunita jalannya, misalnya digerayangi tubuh atau
alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan dan sodomi.
Menurut laporan Setara (1999) menyatakan bahwa 30% anak jalanan
perempuan mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Tak jarang
perkosaan dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal ddengan istilah
pangris atau jepeng baris. Anak jalanan perempuan juga diketahui rentan menjadi
korban eksploitasi seksual komersial yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk
tujuan seksual dan pornografi. Indikasi perdagangan anak untuk prostitusi
dengan sasaran anak jalanan perempuan telah dikemukakan oleh Setara (1999).
Sebagai contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Setara di
Semarang menemukan bahwa 46,4% anak jalanan perempuan berada dalam
prostitusi. Menyangkut anak laki-laki, informasi mengenai hal tersebut msih
sangat terbatas. Pada pertengahan tahun 1990-an pernah dikenal suatu kelompok
yang menamakan diri “Balola” yang kepanjangannya adalah bajingan lothe
lanang, yang mangkal di depan sebuah hotel dekat Simpang Lima, Semarang.
Berdasarkan informasi dari anggota komunitas jalanan dan pendamping anak
jalanan, pada pertengahan tahun 190-an di seputar Simpang Lima ada komunitas
anak laki-laki yang dilacurkan dan digunakan oleh para lelaki dewasa yang
disebut Meong. Meskipun berbeda komunitas, pada saat ini di beberapa tempat
juga dijadikan sebagai tempat berkumpul anak laki-laki yang dilacurkan.
2.3 Upaya Untuk Menangani Pelanggaran Hak Asasi Yang Terjadi Pada Anak
Jalanan
Berkaitan dengan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia terhadap
fenomena anak jalanan, tentu perlu kiranya dipikirkan cara pemecahan yang tepat
untuk menangani masalah ini. Selama ini telah dilakukan berbagai upaya
pendampingan anak-anak jalanan oleh organisasi kemasyarakatan (LSM).
Program pendampingan ini bertujuan untuk meningkatkan martabat anak jalanan
dalam aspek kemandirian, literasi, enumerasi, dan keterampilan kerja.
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani masalah anak jalanan
selama ini adalah pendekatan “penjaringan” atau razia oleh polisi untuk dikirim
ke panti-panti rehabilitasi dan memberikan keterampilan untuk anak jalanan.
Namun sepertinya uapaya yang dilakukan pemerintah ini kurang efektif. Untuk
mengatasi masalah anak jalanan memang sangat sulit karena persoalan ini sangat
kompleks. Perlu adanya kerjasama yang baik dari berbagai pihak untuk
menangani masalah ini seperti pemerintah, Organisasi Non-pemerintah (NGO),
organisasi sosial kemasyarakatan, akademisi, dan masyarakatumum.
6

2.4 Instrumen Hukum


Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur dalam
Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak ( Convention on The Rights of The
Child ) tahun 1989*(Convention on The Right of The Child, UNICEF, 1990),
telah di ratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah
meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian Konvensi
PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat
seluruh warga Negara Indonesia. Konvensi Hak-hak anak merupakan instrument
hukum yang berisi rumusan prinsipprinsip universal dan ketentuan norma hukum
mengenai anak. Konvensi hak anak merupakan sebuah perjanjian internasional
mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil, hak
politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya. Secara garis besar Konvensi
Hak Anak dapat dikategorikan sebagai berikut, pertama penegasan hak-hak anak,
kedua perlindungan anak oleh negara, ketiga peran serta berbagai pihak
(pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap
hak-hak anak.
Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat
dikelompokan menjadi:
1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights)
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan
mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi
dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekwensinya menurut Konvensi Hak
Anak negara harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu negara berkewajiban untuk
menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan
pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer.
(Pasal 24).
Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan
programprogram(1) melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan
anak, (2) menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas
penyakit dan kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum
dan sesudah melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada
pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan
dan gizi, (6) mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi
orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan
untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap
pelayanan kesehatan.
Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak
anakuntuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal
7), (2) hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek
dasar jati diri anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3) hak
anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh
perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang
7

tua atau orang lain yang bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak
untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan
lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan
institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal
20), (5) adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik
anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
(Pasal 21), (6) hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh
pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu
mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak
anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal
27 dan 28).
2. Hak terhadap perlindungan (protection rights)
Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak
kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi
anak pengungsi. Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan
anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan
khusus, dan (2) hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli
dalam kehidupan masyarakat negara. Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1)
perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan
dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan,
pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan dari penyalahgunaan obat
bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan
pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan
anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau
diputus telah melakukanpelanggaran hukum.
3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights)
Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun
non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas
pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara
menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2)
mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah
dijangkau oleh setiap anak, (3) membuat imformasi dan bimbingan pendidikan
dan ketrampIlan bagi anak, dan (4) mengambil langkah-langkah untu mendorong
kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.
Terkait dengan itu, juga meliputi (1) hak untuk memperoleh informasi, (2) hak
untuk bermain dan rekreasi, (3) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya,
(4) hak untuk kebebasan berpikir dan beragama, (5) hak untuk mengembangkan
kepribadian,(6) hak untuk memperoleh identitas, (7) hak untuk didengar
pendapatnya, dan (8) hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.
8

4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)


Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala
hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk
berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk
mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3) hak untuk
berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh
imformasi yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat.
Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan
anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya
terakhir. Anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan
hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.
2.5Solusi Yang Relevan Untuk Mengatasi Makin Pesatnya Pertumbuhan Angka
Keberadaan Anak Jalanan
Sejauh ini terdapat tiga model penanganan anak jalanan dengan pendekatan yang
berbeda:
Community Based adalah model penanganan yang berpusat di masyarakat
dengan menitik beratkan pada fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh
masyarakat. Tujuan akhirnya adalah anak tidak menjadi anak jalanan / sekalipun
dijalan, mereka tetap berada dilingkungan keluarga. Kegiatannya biasanya
meliputi: pelatihan peningkatan pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan
pengasuhan anak, dan kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan dan
kegiatan waktu luang.
Street Based adalah kegiatan dijalanan atau penjangkauan penanganan
terhadap anak langsung dilakukan ditempat anak tersebut sering berada, kegiatan
ini berupa pendamingan terhadap anak agar mendapatkan perlindungan dari
orang yang berperan sebagai pengganti orang tuanya. Centre Based adalah
kegiatan di panti, untuk anak-anak yang sudah utus dengan keluarganya. panti
menjadi lembaga pengganti keluarga untuk dan memenuhi kebutuhan anak
seperti kesehatan, pendidikan, keterampilan, waktu luang, makan tempat tinggal,
pekerjaan dan sebagainya.
Selther Based adalah model pendekatan dengan menggunakan rumah singgah
sebagai transit dari aktifitas sehari-hari anak jalanan, rumah singgah umumnya
sebagai sasaran antara bag! anak untuk kembali diperkenalkan pada norma-
norma keluarga. Menurut Soeparman (2000; 2) program penanggulangan anaka
jalanan harus bersifat lintas sektoral, terpadu, komprehensif dan holistik, hal
tersebut mencakup : a. Program penegakan hukum dengan pelaku utama yaitu
jajaran pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
9

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anak jalanan adalah seorang yang berumur dibawah 18 tahun yang


menghabiskan sebagian waktunya atau seluruh waktunya di jalanan mmelakukan
kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan
hidupnya. Berdasarkan hubungan nnya dengan orang tua, anak jalanan dapat
dikategorikan menjadi dua yaitu, anak yang bekerja di jalanan dan anak yang
tinggal di jalanan.Anak jalanan mengalami kehidupan yang keras dalam kondisi
dan situasi yang buruk bahkan hak-haknya banyak terlanggar. Sebagai anak,
mereka tidal lagi mampumenikmatik hak-haknya yang tercakup sebagai hak anak
yang telah diatur dalam perundang-undangan di negara kita. Adapun hak-hak
asasi anak yang sering terlanggar dalam kehidupan anak jalanan diantaranya hak
mendapat perlindungan dari orang tua dan masyarakat, memperoleh pengajaran,
dan hak perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak
perlindungan anak dari eksploitasi dan penyalahgunaan serta hak perlindungan
anak dari eksploitasi dan penyalahgunaan seksual.
Bentuk penyelenggaraan hak asasi manusia yang sering terjadi dalam
kehidupan anak jalanan ddiantaranya eksploitasi oleh oknum-oknum tertentu
untuk menjadi pengemis, pengamen, pencopet, bahkan pelacur oleh sindikat
tertentu, penyalahgunaan seksual baik sodomi maupun perkosaan, tidak adanya
akses pendidikan dan siksaan dan kekerasan dari berbagai pihak. Masalah
pelanggaran hak asasi manusia dalam kehidupan anak jalanan ini menuntut
serangkaian upaya untuk memperjuangkannya agar tidak semaki memperpanjang
daftar pelanggaran hak asasi manusia di negara kita. Akan tetapi menangani
masalah anak jalanan bukanlah hal yang mudah karena kekomplekan
masalahnya. Sehingga untuk mengatasinya diperlukan kerjasama dari berbagai
pihak baik pemerintah, lembaga kemasyarakatan maupun akademisi.
10

Daftar Pustaka

http://anjal.blogdrive.com/archive/11.html
http://alekkurniawan.blogspot.com/2011/06/anak-jalanan-dan-hak-asasi-
manusia.html
http://ninarahayu-ninasblog.blogspot.com/2012/05/ham-untuk-anak-jalanan.html
11

MAKALAH KEWARGANEGARAAN
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Pada Anak Jalanan

Disusun oleh:

Martania Sri Ayu Manik 134190031

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN TAHUN AJARAN 2019/2020
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA
12

Anda mungkin juga menyukai