Anda di halaman 1dari 2

Ada nasihat menarik disampaikan oleh penulis Amsal 27 : 10 : Jangan datang di rumah

saudaramu pada waktu engkau malang. Kata "saudara" menunjukkan hubungan yang dekat,
bisa pula diartikan sebagai teman atau kenalan. Tentu maksudnya kita tidak dilarang untuk
mendatangi saudara atau teman dalam kemalangan hidup yang kita alami. Silakan saja, karena
biasanya dari teman atau saudara kita bisa mendapatkan pertolongan. Namun, jangan sampai
kita hanya mendatangi atau menghubungi mereka ketika sedang susah atau hanya saat
memerlukan bantuan, tetapi lantas "menghilang" ketika tidak sedang membutuhkan mereka.
Jadi, bagaimana kondisi relasi kita dengan keluarga, saudara, atau teman-teman kita hari ini?
Kapan terakhir kali kita menyapa mereka karena benar-benar ingin menjaga komunikasi dan
mengetahui kabar mereka, bukan karena sedang perlu bantuan? Kiranya nasihat firman hari ini
membuat kita lebih bijak dalam menjalin relasi dengan orang lain, supaya kehadiran kita
diharapkan dan menjadi berkat, bukan menjadi batu sandungan!

God bless us

ketika Musa telah dewasa, ia keluar mendapatkan saudara-saudaranya untuk melihat kerja paksa
mereka. — Keluaran 2:11

Pada awalnya, Musa menyadari bahwa dialah orang yang harus membebaskan bangsanya itu. Dia benar
dalam sudut pandang pribadinya. Namun, dia bukanlah orang yang tepat untuk tugas tersebut sampai
dia terlebih dahulu belajar dilatih, belajar didisiplin oleh Allah, belajar tentang kesatuan yang benar
dengan Allah, dan belajar tentang ketergantungan penuh pada Allah.

Tawar Hati dan Kedewasaan Rohani

Ketika Musa melihat penindasan atas bangsanya, dia merasa yakin bahwa dia harus membebaskan
mereka. Dalam kegeraman yang didorong rasa keadilan, dia mulai membela mereka. Setelah dia
melancarkan pukulannya yang pertama demi Allah dan kebenaran, Allah membiarkan Musa masuk
dalam tawar hati yang dalam, kehilangan semangat, dan mengutusnya ke padang gurun selama empat
puluh tahun.

Pada akhir masa itu, Allah menampakkan diri kepada Musa dan berkata kepadanya, “...bawa umat-Ku...
keluar dari Mesir.” Namun, Musa berkata kepada Allah, “Siapakah aku ini, maka aku ...membawa orang
Israel keluar dan Mesir” (Keluaran 3:10-11).
Pada awalnya Musa telah menyadari bahwa dialah orang yang harus membebaskan bangsa itu. Namun,
dia harus dilatih dan didisiplin oleh Allah terlebih dahulu. Dia benar dalam sudut pandang pribadinya,
tetapi dia bukanlah orang yang tepat untuk tugas tersebut sampai dia belajar tentang persekutuan yang
benar dan kesatuan dengan Allah.

Kita mungkin mempunyai visi tentang Allah dan pemahaman yang jelas mengenai apa yang Allah
kehendaki, tetapi bila kita mulai melakukannya, ada waktunya bagi kita mengalami sesuatu yang serupa
dengan empat puluh tahunnya Musa di padang belantara.

Seperti yang Musa alami, ketika Allah seolah-olah telah mengabaikan segalanya, ketika kita benar-benar
tawar hati, dan ketika kita kehilangan semangat Allah, datang dan menghidupkan kembali panggilan-Nya
kepada kita. Kemudian, kita mulai gentar dan berkata, “Siapakah aku ini, maka aku harus pergi...?” Kita
harus belajar bahwa gerak langkah Allah terangkum dalam – “AKULAH AKU telah mengutus aku
kepadamu” (Keluaran 3:14). Kita juga harus belajar bahwa usaha diri kita sendiri bagi Allah tidak
menunjukkan apa-apa, kecuali sikap tidak hormat bagi-Nya. Kita sendiri harus bersinar melalui
hubungan pribadi dengan Allah agar dapat berkenan kepada-Nya (Matius 3:17).

Kecenderungan kita adalah fokus pada sudut pandang pribadi mengenai banyak hal; kita mempunyai visi
lalu berkata, “Saya tahu, inilah yang Allah inginkan kulakukan.” Namun, kita belum belajar untuk
mengikuti gerak langkah Allah. Jika Anda mengalami suatu masa tawar hati dan kehilangan semangat,
akan ada waktu pertumbuhan kedewasaan bagi Anda pribadi di depan.

Anda mungkin juga menyukai