Anda di halaman 1dari 19

BAB IV

PEMBAHASAN

Dilaporkan anak perempuan berumur 9 bulan yang dirawat di bangsal anak

RSUD Ulin Banjarmasin sejak tanggal 6 Maret 2018 dengan diagnosis pneumonia

aspirasi + Gizi buruk tipe marasmik + palsi serebral tipe spastik. Diagnosis

ditegakkan berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

Pada anamnesis diketahui anak memiliki permasalahan dalam makannya,

minum susu sedikit-sedikit dan setelahnya susu selalu dimuntahkan. Hal ini

menunjukkan jelasnya gejala anoreksia pada pasien. Pada hasil pemeriksaan fisik

didapatkan tanda dan gejala gizi buruk marasmik yakni, tulang terbungkus kulit,

dimana jaringan lemak di subkutis sangat sedikit, old face, kulit keriput, iga

gambang, baggy pants. Hanya ditemukan kenaikan 200 gram berat badan dari

berat badan lahir, yakni berat badan lahir 3300 gram dan berat badan sekarang

3500 gram. Berdasarkan grafik standar pertumbuhan anak menurut WHO, berat

badan ideal anak usia 9 bulan adalah 8200 gram. Adapun panjang badan ideal

untuk anak usia 9 bulan adalah 70 cm sedangkan, anak pada kasus ini hanya

memiliki panjang badan 59 cm. Status gizi pada pasien ini berdasarkan BB/PB

masih menggunaan acuan WHO Z score ialah <-3 SD (gizi buruk). Hal ini lebih

diperjelas dengan hasil pengukuran LILA pasien yang hanya 8,5 cm.

Berdasarkan teori untuk menegakkan diagnosis gizi buruk pada anak harus

terdapat satu kriteria atau lebih berikut: terlihat sangat kurus, BB/PB atau BB/TB

<-3 SD, LILA <11,5 (untuk anak usia 6-59 bulan) untuk gizi buruk tipe marasmik.

19
20

Adapun jika terdapat satu atau lebih kriteria berikut: Terlihat sangat kurus, edema

minimal pada kedua punggung tangan/kaki, BB/PB atau BB/TB <-3 SD, LILA

<11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan) didiagnosi sebagai gizi buruk tipe

kwasiorkor. Jika terdapat salah satu atau lebih tanda komplikasi berikut, maka

didiagnosis sebagai gizi buruk dengan komplikasi: anoreksia, penurunan BB,

anemia berat, dehidrasi, demam sangat tinggi, penurunan kesadaran. Berdasarkan

BB/PB atau BB/TB anak dikatakan dengan status gizi normal jika berada di lebih

dari sama dengan -2 SD s/d +2 SD, dikatakan gizi lebih jika terletak >+2SD, dan

dikatakan gizi kurang jika Z skor terletak diantara -3 SD s/d <-2 SD.14

Gejala utama yang dapat dilihat pada gizi buruk memiliki dua tipe yakni

tipe kwasiorkor dan marasmus. Marasmus adalah kegagalan tumbuh. Pada kasus

yang lebih berat, pertumbuhan bahkan dapat terhenti sama sekali. Selain itu

didapatkan penurunan aktifias fisik dan keterlambatan perkembangan

psikomotorik. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, akan ditemukan suara

tangisan anak yang monoton, lemah, dan tanpa air mata, lemak subkutan

menghilang dan lemak pada telapak kaki juga menghilang sehingga memberikan

kesan tapak kaki seperti orang dewasa. Kulit anak menjadi tipis dan halus serta

mudah terjadi luka. Kaki dan tangan menjadi kurus karena otot-otot lengan serta

tungkai mengalami atrofi disertai lemak subkutan yang turut menghilang. Pada

pemeriksaan protein serum, ditemukan hasil yang normal atau sedikit meningkat.

Selain itu keadaan yang terlihat mencolok adalah hilangnya lemak subkutan pada

wajah sehingga wajah anak menjadi lonjong, berkeriput dan tampak lebih tua

(old man face). Tulang rusuk tampak lebih jelas. Dinding perut hipotonus dan
21

kulitnya longgar. Berat badan turun menjadi kurang dari 60% berat badan

menurut usianya. Suhu tubuh bisa rendah karena lapisan penahan panas hilang.

Cengeng dan rewel serta lebih sering disertai diare kronik atau konstipasi, serta

penyakit kronik.46

Dengan dasar penyusuaian BB, PB, umur terhadap grafik standar

pertumbuhan WHO dan pengukuran LILA diatas serta pengamatan gejala

komplikasi pada pasien, maka dapat ditegakkan diagnosis bahwa pasien ini masuk

kategori gizi buruk tipe marasmik dengan komplikasi. Dengan ini pula dapat

disimpulkan terdapat kesusuaian antara klinis yang ditemukan pada pasien dengan

teori.

Pada kasus ini selain masalah anak memiliki gizi buruk anak juga telah

terdiagnosis menderita palsi serebral. Berdasarkan tinjauan pustaka, pada anak

dengan palsi serebral dalam anamnesis didapatkan keterlambatan dalam

perkembangan pergerakan seperti tengkurap (5 bulan), duduk (7 bulan), belajar

berdiri (10 bulan), berdiri sendiri (14 bulan), berjalan (15 bulan). Selain itu

didapatkan riwayat faktor risiko terjadinya palsi serebral baik prenatal, perinatal

ataupun postnatal. Faktor resiko prenatal seperti ibu dengan stroke, angiopati

amiloid, ibu dengan autoimmune anti-thyroid atau anti phospholipid antibodies

(APA) yang tingginya level sitokin dalam sirkulasi darah ibu dan janin yang dapat

bersifat toksik pada neuron-neuron otak janin. Selain itu infeksi TORCH pada ibu

dan ibu yang mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol, diduga dapat

mengakibatkan malformasi otak janin. Faktor perinatal yang berhubungan dengan

kejadian palsi serebral seperti bayi yang dilahirkan prematur dapat mengalami
22

perdarahan otak dan perdarahan intraventrikular. Selain itu faktor perinatal lain

seperti trauma mekanis otak pada waktu lahir; biasanya penggunaan forsep yang

tidak adekuat, kontraksi uterus yang berlebihan, bahkan asfiksia selama proses

kelahiran yang terus berkelanjutan. Adapun faktor postnatal yang bisa ditemukan

pada anak dengan palsi serebral adalah trauma kepala, meningitis, encephalitis,

dan kejang.15,16,17

Dari pemeriksaan fisik kasus palsi serebral didapatkan kelainan tonus otot,

kelainan gerak, dan kelainan refleks pada bayi. Sedangkan pemeriksaan

penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan pungsi lumbal, X-Ray,

CTScan, dan MRI, namun demikian pemeriksaan tersebut dapat saja dilakukan

untuk menyingkirkan kecurigaan-kecurigaan mengenai penyakit yang lainnya

saja. Pemeriksaan EEG terutama pada pendenita yang memperlihatkan gejala

motorik, seperti tetraparesis, hemiparesis, atau karena sering disertai kejang.

Pemeriksaan psikologi untuk menentukan tingkat kemampuan intelektual yang

akan menentukan cara pendidikan ke sekolah biasa atau sekolah luar biasa.18,19,20,21

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan ditemukan keterlambatan

perkembangan pada anak ini yang dapat mengarah pada serebral palsi, dimana

anak hingga usia 9 bulan ini tidak bisa tiarap, merangkak ataupun duduk. Selain

itu, ditemukan faktor perinatal yakni kemungkinan trauma mekanis, karena pada

persalinan ibu dilakukan vakum ekstraksi dan kemudian gagal akhirnya dilakukan

SC. Serta terdapat riwayat asfiksia pada anak selama proses kelahiran yang terus

berkelanjutan sehingga, anak harus dirawat di NICU selama 2 bulan. Dari

pemeriksaan fisik ekstremitas belum didapatkan adanya kelainan tonus ataupun


23

refleks. Namun, ditemukan paralisis spastik pada otot menelan menyebabkan

hipersekresi saliva yang berlebihan sehingga air liur tampak menetes. Paralisis

spastik otot menelan ini khas pada palsi serebral tipe spastik.21,22

Ditinjau dari teori, terdapat hubungan antara masalah kesulitan makan

dengan diagnosa palsi serebral pada kasus ini. Pada anak dengan palsi serebralis,

terjadi gangguan motorik, diantaranya terjadi kekakuan otot yang secara

permanen akan menjadi kontraktur, terjadi gerakan abnormal, gangguan

koordinasi otot bicara (disartria), gangguan keseimbangan dan persepsi dalam. 10

Kelainan motorik ini akan cukup banyak dijumpai pada anak. Kelainan ini

disebabkan oleh kerusakan otak yang menetap, tidak progresif, terjadi pada usia

dini yang disebabkan gangguan yang terjadi baik pada periode prenatal , perinatal,

dan postnatal. 70-80% kasus cerebral palsy diperoleh selama masa prenatal dan

sebagian besar penyebab tidak di ketahui.3,4,5

Gangguan motorik diatas mengakibatkan gangguan pemberian makanan,

gangguan mengunyah, tidak dapat menelan, refleks menjadi hiperaktif, dan

ketidakmampuan untuk mengontrol saat makan. Gangguan ini memiliki efek yang

signifikan terhadap pertumbuhan, perkembangan dan status gizi. Faktor- faktor

inilah yang dapat menyebabkan anak-anak penderita palsi serebralis mengalami

kekurangan gizi bahkan menderita gizi buruk seperti pada kasus ini.10

Hasil penelitian mengenai status gizi pada anak dengan palsi serebralis di

Enugu dan Nigeria yang dilaksanakan dari bulan Januari tahun 2002 sampai bulan

Februari tahun 2003, menunjukkan anak dengan palsi serebralis memiliki status
24

gizi lebih rendah dibandingkan subyek kontrol nya.23 Hal ini juga dibuktikan

dalam penelitian Sugiarto di Semarang pada tahun 2012.24

Masalah utama yang dijumpai pada anak yang menderita palsi serebralis

antara lain kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut, dan lidah,

sehingga anak akan tampak selalu berliur. Selain itu karena terjadi gangguan

motorik akan menyebabkan kesulitan makan dan menelan.10 Karena kesulitan

makan dan menelan ini, anak cenderung makan dalam jumlah sedikit dan

memerlukan waktu yang lama, sehingga orang tua cenderung memberikan asupan

protein lebih banyak dibanding karbohidrat, yang membuat asupan kalori pada

hampir seluruh anak sangat kurang dibandingkan dengan angka kecukupan gizi,

dan asupan protein pada sebagian anak berlebihan dibanding dengan angka

kecukupan gizi.24

Manajemen pemberian makan sangat penting untuk membantu

perkembangan dan pertumbuhan anak cerebral palsy. Pemberian makan pada anak

cerebral palsy sangatlah tergantung pada pengasuh.26 Pengetahuan pengasuh yang

baik dapat mempengaruhi perubahan sikap dalam pemberian makan sehingga

berhubungan dengan pemenuhan nutirisi dan kesehatan anak.27,28 Pengetahuan

adalah kunci utama terjalinnya hubungan pemberian makan antara pengasuh

dengan anak cerebral palsy.25 Ada beberapa aspek yang harus dipelajari oleh

pengasuh yaitu keterampilan makan (posisi pemberian dan alat bantu makan),

proses menelan, asupan makanan, pengetahuan dan sikap keluarga/pengasuh pada

waktu makan.25,29 Posisi pemberian makan yang benar serta dukungan fisik dapat

memberikan kenyamanan saat makan. Pengaturan posisi pemberian makan tidak


25

hanya pada pengaturan posisi tempat duduk saja, akan tetapi posisi kepala dan

tubuh juga diperlukan pengaturannya agar pemberian makan menjadi lebih mudah

dan nyaman bagi anak. Pengaturan posisi tubuh yang optimal pada saat makan

dapat dilakukan dengan cara mengatur posisi duduk tegak 90 derajat serta posisi

kepala anak dapat disesuaikan dengan kenyamanan anak saat makan. Selain itu,

juga penggunaan kursi dan fasilitas makan dapat mempengaruhi proses makan.30,31

Tekstur makanan perlu dimodifikasi, untuk memastikan keamanan jalan napas,

memaksimalkan efisiensi makan dan mengurangi kelelahan pada waktu makan.

Dalam hal ini makanan yang lebih kecil sering bisa bermanfaat.32

Selain hal diatas kesesuaian kebutuhan energi yang didapatkan anak juga

jelas mempengaruhi status gizi anak dengan palsi serebral. Penelitian yang

dilakukan di YPAC Semarang menyebutkan bahwa rerata asupan kalori (81,5%)

dan protein (33,3%) pada anak cerebral palsy (n = 27) lebih rendah dari kebutuhan

kalori dan protein individu.1 Asupan energi dan protein di bawah standar Angka

Kecukupan Gizi (AKG) yaitu 77% dapat menyebabkan anak mengalami status

gizi kurang.32,33

Saat ini tidak ada metode yang umum diterima untuk memperkirakan

kebutuhan energi anak-anak dan remaja dengan CP. Yang jelas adalah bahwa

banyak anak-anak dan remaja dengan CP memiliki kebutuhan energi yang

menurun dibandingkan dengan kelompok yang biasa dan bahwa perbedaan ini

meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat kerusakan motorik kasar.35,36,37

Perbedaan ini antara lain karena penurunan tingkat metabolisme basal (terkait

berkurangnya massa tubuh dan menyesuaikan dengan gizi buruk kronis) namun
26

sebagian besar karena pengurangan tingkat aktivitas fisik.37,38 Partisipasi dalam

aktivitas fisik, termasuk rehabilitasi intensif, dapat meningkatkan kebutuhan

energi anak-anak dengan CP dan kebutuhan untuk dipertimbangkan saat

memperkirakan kebutuhan energi. Asupan protein yang memadai sangat penting

untuk membangun dan memperbaiki jaringan, untuk pertumbuhan dan

perkembangan yang memadai pada masa kanak-kanak dan remaja . Saat ini tidak

ada bukti yang menunjukkan bahwa kebutuhan protein anak-anak dan remaja

dengan CP berbeda dengan populasi yang biasanya berkembang, dan karena itu

rekomendasi untuk anak-anak dan remaja yang biasa dapat diterapkan.39

Untuk anak-anak dengan gizi buruk dengan CP, protein dan energi

tambahan mungkin diperlukan untuk mendorong pertumbuhan atau 'mengejar'

pertumbuhan. Secara keseluruhan, asupan protein 2,0g / kg per hari dan

penambahan asupan energi tambahan sebesar 20% harus cukup memadai dalam

kasus ini.39 Perkiraan kebutuhan energi dan protein hanya memberikan titik awal,

dan penilaian dan pemantauan yang berkelanjutan sangat penting untuk dilakukan.

hindari over atau under feeding. Karena sulitnya memperkirakan kebutuhan

nutrisi, penilaian berkelanjutan apakah seorang anak memenuhi kebutuhan

energinya dan proteinnya harus ditentukan melalui kecukupan penambahan berat

badan dan perbaikan dalam ukuran status gizi yang obyektif, dan bukan hanya

berdasarkan laporan asupan makanan. Dengan tidak adanya rekomendasi khusus

untuk digunakan pada individu dengan CP, rekomendasi standar untuk asupan

makanan dari vitamin, mineral dan elemen lain dapat digunakan. Asupan

makanan yang tidak memadai dapat ditangani melalui inklusi makanan yang kaya
27

nutrisi mikronutrien atau melalui suplementasi. Defisiensi mikronutrien yang

terdiagnosis (melalui konsentrasi darah dan / atau serum) cenderung memerlukan

suplementasi tambahan.40

Karena kepadatan energi yang lebih tinggi dari lemak per gram (37kJ atau

9kcal / g) dibandingkan dengan protein dan karbohidrat (17kJ atau 4kcal / g),

penambahan lemak ekstra pada makanan dapat secara signifikan meningkatkan

asupan energi anak tanpa meningkatkan Volume makanan yang dikonsumsi

menggunakan produk biasanya ditemukan di rumah. Lemak dan minyak dapat

ditambahkan saat memasak atau untuk makanan anak saat disajikan. Penyebaran

lemak tinggi dapat digunakan termasuk penyebaran kacang atau alpukat.

Minuman susu dapat diperkuat dengan menggunakan bubuk susu kering, krim dan

/ atau es krim untuk meningkatkan kerapatan energi dan protein. Asupan protein

dapat ditingkatkan lebih lanjut dengan memasukkan protein yang mengandung

makanan pada semua makanan, seperti daging potong dadu atau haluskan yang

ringan, produk susu, telur, kacang lentil dan kacang polong. Jika tidak ada

peningkatan status gizi yang terlihat setelah jangka waktu yang sesuai,

suplementasi dengan suplemen oral dan atau indikasi pemberian pakan enteral

harus dipertimbangkan. Produk modular yang tersedia secara komersial misalnya,

polimer karbohidrat, bubuk protein, gabungan suplemen karbohidrat dan lemak

dapat ditambahkan ke makanan dan cairan untuk meningkatkan kerapatan energi /

protein. Namun, pemberian mikronutrien juga harus dipertimbangkan. Banyak

suplemen gizi oral tersedia secara komersial termasuk produk berbasis jus atau

susu untuk populasi anak-anak dan orang dewasa.32


28

Jika dengan mendapat dukungan nutrisi oral, penambahan berat badan tetap

tidak mencukupi, pemberian tabung enteral mungkin perlu dipertimbangkan.

Pemberian tabung enteral ditunjukkan pada anak-anak CP dengan fungsi saluran

pencernaan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi mereka secara oral.

Meskipun mendapat dukungan nutrisi oral, mereka yang kekurangan gizi parah,

dan mereka yang memiliki kemampuan makan dan disfungsi menelan yang

signifikan (berakibat pada risiko aspirasi paru atau pemberian makan oral yang

berkepanjangan dan menegangkan) .41,42 Ini dapat digunakan sebagai satu-satunya

sumber nutrisi untuk anak-anak dengan palet yang tidak aman, atau untuk

melengkapi asupan oral pada mereka. anak-anak aman untuk mengkonsumsi

beberapa makanan dan atau cairan secara oral.43

Tabung nasogastrik cocok untuk penggunaan jangka pendek, karena mereka

relatif kurang invasif. Pemberian nasogastrik dapat digunakan sebelum penyisipan

gastrostomi untuk memungkinkan rehabilitasi nutrisi sebelum operasi dan sebagai

'uji coba' untuk menilai toleransi dan efisiensi pemberian susu enteral. 34

Penggunaan jangka panjang tidak disarankan karena tabung mudah copot,

penyumbatan dapat terjadi dan dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan iritasi

nasofaring. Untuk pemberian makanan jangka panjang, gastrostomi adalah rute

pilihan karena kenyamanan dan penurunan kebutuhan akan perubahan tabung

yang sering terjadi. Pada anak-anak dengan kelainan neurologis, baik pemberian

makanan melalui nasogastrik dan gastrostomi telah terbukti memperbaiki status

gizi. Post-pyloric (nasojejunal, gastrojejunostomy dan jejunostomy) dapat

diindikasikan pada anak-anak dengan CP dengan refluks gastroesofagus parah dan


29

muntah yang mengakibatkan goyah pertumbuhan dan pada peningkatan risiko

aspirasi.44 Penggunaannya bagaimanapun dibatasi karena komplikasi dan

penggantian tabung. Pemberian lewat lambung tetap menjadi rute pilihan bila

memungkinkan karena lebih fisiologis, penyisipan tabung lebih mudah.45

Selama perawatan, pasien mendapatkan asupan makanan melalui NGT,

telah sesuai dengan rekomendasi diatas. Makanan yang diberikan adalah susu

formula 50 cc per 3 jam, hal ini juga sesuai dengan teori diatas dimana bentuk cair

lebih direkomendasikan. Hanya saja penambahan jenis makanan lain yang lebih

tinggi lemak dan protein dapat dipertimbangkan sesuai dengan rekomendasi di

atas.

Adapun untuk tatalaksana gizi buruk pada kasus ini secara keseluruhan

dapat mengacu kepada guideline tatalaksana gizi buruk Depkes RI. Keadaan

pasien ini termasuk dalam rencana III karena hanya ada tanda

muntah/diare/dehidrasi. Bila ketiga tanda ini ada pada anak dengan gizi buruk

maka dilakukan rencana I. Gizi buruk dengan tanda letargis dan

muntah/diare/dehidrasi dilakukan rencana II, bila tanda letargis saja yang didapat

pada anak dengan gizi buruk maka dilakukan rencana IV sedangkan jika anak gizi

buruk datang tanpa ketiga tanda bahaya tersebut maka dilaksanakan rencana V.15

TANPA BAHAYA & KONDISI


TANPA PENTING I II III IV V
Renjatan (syok) Ada*) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Letargis (tidak sadar) Ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada
Muntah/Diare/Dehidrasi Ada Ada Ada Tidak ada Tidak ada

Tabel 4.1 Rencana penatalaksanaan gizi buruk berdasarkan tanda bahaya


dan tanda penting 14
30

Selain itu, karena terdapat salah satu komplikasi pada kasus gizi buruk maka

pasien harus dirawat inap, sesui dengan bagan berikut:

Gambar 4.1. Alur pemeriksaan gizi buruk 14


31

Berdasarkan alur tatalaksana gizi buruk sesuai rencana III, maka pada saat

muntah atau diare muncul anak harus segera mendapatkan larutan glukosa 50 ml

atau larutan gula pasir 10% secara oral maupun via NGT. Kemudian dalam 2 jam

pertama anak harus mendapatkan ReSoMal setiap 30 menit dengan dosis 5

ml/kgBB setiap kali pemberian via oral ataupun NGT. Catat tanda vital setiap

pemberian ReSoMal. Jika membaik maka dalam 10 jam berikutnya berikan

ReSoMal berselang-seling dengan F75. F-75 diberikan setiap 2 jam dengan dosis

menyesuaikan dengan BB yakni 40 ml. Kemudian tanda vital tetap harus dicatat.

Jika muntah/ diare berkurang maka pemberian F75 diberikan setiap 30 menit

dengan dosis 60 ml. Jika muntah atau diare sudah berhenti dan anak dapat

menghabiskan F75 maka F75 diberikan setiap 4 jam dengan dosis 80 ml. Jika

anak masih menyusu dengann ibu maka berikan ASI antara pemberian F75.14

Semua pemberian cairan diatas harus dihentikan jika didapatkan tanda

berikut: nadi dan frekuensi nafas meningkat, terdapat bendungan vena jugular,

dan edema meningkat. Secara keseluruhan alur tatalaksana ini terangkum dalam

gambar berikut:
32

Gambar 4.2 Rencana Terapi III14


33

Secara keseluruhan ada 10 langkah yang harus dilakukan pada penanganan

gizi buruk. Pada fase stabilisasi, tujuan yang diharapkan adalah untuk menangani

atau mencegah hipoglikemia, hipotermi, dan dehidrasi. Tahap awal yaitu 24-48

jam pertama merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk menyelamatkan jiwa,

antara lain mengkoreksi keadaan dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan

intravena. Cairan yang diberikan ialah larutan Darrow-Glucosa atau Ringer Lactat

Dextrose 5%. Cairan diberikan sebanyak 200 ml/kg BB/hari. Mula-mula

diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama. Kemudian 140 ml sisanya

diberikan dalam 16-20 jam berikutnya. Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh

yang rendah dibawah 360C. Pada keadaan ini anak harus dihangatkan dengan cara

mendekap anak di dadanya ibu atau anggota keluarga lalu ditutupi selimut

(Metode Kanguru). Semua penderita gizi buruk diberikan antibiotik untuk

mencegah komplikasi yang berupa infeksi dengan mempertimbangkan diagnosis,

keparahan, dan keadaan klinis dari anak tersebut.14

Tahap kedua yaitu fase transisi yaitu sebagian besar penderita tidak

memerlukan koreksi cairan dan elektrolit, sehingga dapat langsung dimulai

dengan penyesuaian terhadap pemberian makanan. Pada hari-hari pertama jumlah

kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/kg BB/hari atau rata-rata 50 kalori/kg

BB/hari, dengan protein 1-1,5 g/kg BB/hari. Jumlah ini dinaikkan secara

berangsur-angsur tiap 1-2 hari sehingga mencapai 150-175 kalori/kg BB/hari

dengan protein 3-5 g/kg BB/hari. Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet

tinggi kalori tinggi protein ini lebih kurang 7-10 hari. Cairan diberikan sebanyak

150 ml/kg BB/hari. Formula yang biasa diberikan dalam tahap ini adalah F-75
34

yang mengandung 75kcal/100ml dan 0,9 protein/100ml) yang diberika terus

menerus setiap 2 jam. 14

Vitamin A juga diberikan sebanyak 200.000 IU peroral atau 100.000 IU IM

pada hari pertama kemudian pada hari ke dua diberikan 200.000 IU oral. Vitamin

A diberikan tanpa melihat ada/tidaknya gejala defisiensi Vitamin A untuk

mencegah terjadinya xeroftalmia. Mineral yang perlu ditambahkan ialah kalium

sebanyak 1-2 Meq/kg BB/hari/IV atau dalam bentuk preparat oral 75-100 mg/kg

BB/hari dan Magenseium berupa MgS04 50% 0,25 ml/kg BB/hari atau

magnesium oral 30 mg/kg BB/hari. Dapat diberikan 1 ml vitamin B (IC) dan 1 ml

vitamin C (IM), selanjutnya diberikan preparat oral atau dengan diet. 14

Fase rehabilitasi dimulai saat nafsu makan anak meningkat dan infeksi

yang ada berhasil ditangani. Formula F-75 diganti menjadi F-100 yang dikurangi

kadar gulanya untuk mengurangi osmolaritasnya. Jenis makanan yang memenuhi

syarat untuk penderita gizi buruk adalah susu dan diberikan bergantian dengan F-

100. Dalam pemilihan jenis makanan perlu diperhatikan berat badan penderita.

Dianjurkan untuk memakai pedoman BB kurang dari 7 kg diberikan makanan

untuk bayi dengan makanan utama ialah susu formula atau susu yang

dimodifikasi, secara bertahap ditambahkan makanan lumat dan makanan lunak.

Penderita dengan BB di atas 7 kg diberikan makanan untuk anak di atas 1 tahun,

dalam bentuk makanan cair kemudian makanan lunak dan makanan padat. 14
35

Gambar 4.3 Sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk 14

Pasien pada kasus ini telah mendapatkan alur tatalaksana sesuai dengan

guideline ini di periode perawatan sebelumnya, dan sekarang berada pada fase

tindak lanjut dimana pasien diberikan makanan untuk tumbuh kejar.47

Adapun fisioterapi merupakan planning terapi rawat jalan yang harus

diberikan pada kasus ini. Terapi meliputi latihan berupa passive movement dan

NDT yang dikombinasikan meliputi mobilisasi thrunk, patterning merayap,

fasilitasi supporting reaction pada tangan, fasilitasi menjaga keseimbangan

duduk, general massage. 47

Mobilisasi thrunk dilaksanakan dengan memposisikan pasien duduk

dengan kaki dorsi fleksi, fisioterapis berada di belakang pasien, satu tangan
36

fisioterapis memfiksasi kedua lengan pasien atau sekitar elbow sedangkan tangan

yang lain memfiksasi pelvic. Kemudian lakukan gerakan rotasi trunk ke kiri dan

elongasi sambil menahan pelvic sebelah kanan dan rotasi ke kanan namun pelvic

sebelah kiri ditahan. Lakukan pula elongasi ke arah ekstensi dan mobilisasi ke

arah fleksi. Gerakan ini dilakukan secara bergantian dengan 3 kali pengulanagn

dan tahanan 8 hitungan untuk setiap gerakan. 47

Posisi pasien tidur tengkurap dengan dua orang terapis berada di depan

dan di belakang pasien. Salah satu knee pasien difleksikan diikuti dengan lengan

homolateral keduanya menyatu. Kemudian rotasikan trunk dengan kepala

terangkat dan lengan homolateral menumpu dengan elbow. Lakukan pada sisi

satunya dan ulangi 15 kali pada setiap sisi. 47

Adapun fasilitasi supporting reaction adalah dengan pada tangan. Tujuan

dari stimulasi ini adalah untuk meningkatkann reaksi anak untuk memelihara

posisi dan pola gerak yang dipengaruhi oleh gaya graitasi secara otomatis yaitu

dengan mestimulasi tangan anak tegak di matras. Tahan 30 detik dan ulangi 8

kali. 47

Fasilitasi untuk menjaga keseimbangan duduk dilakukan dengan posisi

pasien berada di depan terapis dan terapis duduk di belakang pasien untuk

menyangga tubuh pasien. Key point of control pada kedua tungkai pasien,

kemudian berikan stimulasi kepada pasien untuk menjaga keseimbangan dengan

base of support. Tahan posisi sampai 1 menit. 47

General massage dilaksanakan dengan memposisikan pasien tidur

terlentang dan terapis berhadapan dengan pasien. Oleskan baby oil pada seluruh
37

area tubuh pasien yang akan di massage dengan teknik stroking atau uasapan

ringan. Massage dimulai dari kaki dengan teknik efflurage, perut, tangan, muka

dan terakhir punggung. Dosis pijatan sebanyak 5 kali setiap area dengan

penekanan yang gentle dan sama. 47

Anda mungkin juga menyukai