Anda di halaman 1dari 11

ASAS DEKONSENTRASI OTONOMI DAERAH

OLEH:

ASRI RAHMI

1920112041

MATAKULIAH: HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH:

Dr.Suharizal, S.H., MH
A. PENDAHULUAN
Sejak dibentuknya negara Indonesia, para founding fathers telah menyadari
bahwa negara ini memiliki daerah yang sangat luas, terpisah oleh lautan dan tiap-tiap
wilayah memiliki ciri khas, juga keunikan serta potensi yang beragam. Disadari betul
bahwa negara ini harus dibentuk menjadi negara kesatuan yang dibagi-bagi atas
daerah-daerah yang atas setiap daerahnya diberikan kewenangan untuk mengatur dan
mengurus daerahnya sesuai dengan potensi dan kekhasan daerahnya masing- masing.
Paradigma ini menjadi latar belakang dibentuknya suatu pemerintahan daerah
berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang bertujuan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat daerah dengan cara pemerataan
pembangunan hingga ke daerah. Namun, setelah selama ini negara telah merdeka
dengan beberapa pengaturan mengenai pemerintahan daerah yang pernah berlaku,
mayoritas daerah masih saja tertinggal dan belum merasakan pembangunan dan
perkembangan yang signifikan. Tidak heran pada saat dilakukannya amendemen UUD
1945 pada tahun 1999-2002 salah satu agenda utama perubahan UUD 1945 adalah
mengenai pemerintahan daerah. Akhirnya pada tahun 2000 saat amendemen kedua
dilaksanakan terjadi perubahan pada Pasal 18 UUD 1945 tersebut. Perubahan tersebut
dilakukan baik struktur maupun substansi dari Pasal 18 UUD 1945. Perubahan
tersebut sangat mendasar, yang semula hanya Pasal 18 UUD 1945 saja menjadi Pasal
18, 18A, dan 18B UUD 1945. Penggantian secara menyeluruh ini pun berakibat
kepada penjelasan UUD 1945. Penjelasan yang selama ini ikut menjadi acuan dalam
mengatur pemerintahan daerah menjadi tidak berlaku lagi. Dengan demikian, sumber
konstitusional dari pemerintahan daerah di Indonesia hanyalah pada Pasal 18, 18A, dan
18B UUD 1945.1
Pengaturan lebih lanjut mengenai pemerintahan daerah sekarang ini adalah
melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Pemda 2014). Berlakunya UU Pemda 2014 yang menggantikan UU Pemda 2004
sebelumnya menghasilkan cukup banyak perubahan. Salah satu perubahan tersebut
adalah mengenai dekonsentrasi, yang sebelumnya dalam UU Pemda 2004 dinyatakan
sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai
wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Artinya,

1
Ni'matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2009, hlm. 49.
dekonsentrasi hanya dilakukan atau diselenggarakan oleh gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat dan instansi vertikal saja. Sedangkan menurut aturan dalam UU
Pemda 2014, pengertian dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai
penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Artinya, pada ketentuan ini diatur
bahwa dekonsentrasi bukan hanya dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat dan instansi vertikal saja, tapi bupati atau walikota pun kini dapat
menyelenggarakan urusan pemerintah pusat melalui dekonsentrasi. Hal ini juga
mengandung makna bahwa kedudukan kabupaten dan kota bukan hanya sebagai
daerah otonom melalui desentralisasi, namun juga sebagai wilayah administratif
dengan dekonsentrasi.
Menurut Amrah Muslimin yang dikutip oleh Iskatrinah dalam disertasinya,
dekonsentrasi sebagai pelimpahan sebagian dari kewenangan pemerintah pusat pada
alat-alat pusat yang ada di daerah atau pelaksanaan urusan pemerintah pusat yang tidak
diserahkan kepada satuan pemerintahan daerah, yang dilakukan oleh organ
pemerintahan pusat yang ada di daerah. Pada hakikatnya, alat pemerintah pusat ini
melaksanakan pemerintahan sendiri di daerah dan berwenang mengambil keputusan
sendiri sampai tingkat tertentu berdasarkan tanggung jawab kepada pemerintah pusat,
sebagai pemikul biaya dan tanggung jawab terakhir mengenai urusan dekonsentrasi.
Melalui dekonsentrasi, terbentuklah wilayah administratif.
Juniarto menyebutnya dengan istilah pemerintahan lokal-administratif.
Pemerintahan lokal-administratif dengan daerah administratif dibentuk karena
penyelenggaraan segala urusan-urusan pemerintahan pusat yang berkedudukan di
ibukota negara tidak akan dapat dilaksanakan seluruhnya sendiri oleh pemerintah
pusat.
Pada perkembangannya, kewenangan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi
mengalami pasang surut dalam perubahan struktur pemerintahan di Indonesia. Sejalan
dengan kebutuhan kebangsaan, perubahan struktur pemerintahan melalui peraturan
perundang-undangan yang ada telah mengalami delapan kali perubahan sejak
kemerdekaan. Pada dasarnya, kebijakan dekonsentrasi mendapat perhatian pada
perubahan di tahun 1945 dan 1965. Sedangkan perubahan yang
menyeimbangkan antara desentralisasi dan dekonsentrasi dilakukan sebanyak tiga kali,
yakni tahun 1957, 1974, dan tahun 2004.
Terakhir, dengan berlakunya UU Pemda 2014, pengaturan dalam UU tersebut
juga menggabungkan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Selengkapnya perubahan kebijakan tersebut dapat diperhatikan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Otonomi Daerah lebih
menitikberatkan pada kebijakan dekonsentrasi;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah lebih
menitikberatkan pada kebijakan desentralisasi;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah menggabungkan desentralisasi dan dekonsentrasi ;
4. Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas-Tugas
Pemerintah Pusat Dalam Bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai
Negeri, dan penyerahan Keuangannya Kepada Pemerintahan Daerah
menitikberatkan pada kebijakan dekonsentrasi;
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah menitikberatkan pada kebijakan desentralisasi;
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah menggabungkan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan;
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
menitikberatkan pada kebijakan desentralisasi;
8. UU Pemda 2004 menggabungkan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan; dan
9. UU Pemda 2014 menggabungkan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan.

Pandangan ini pun terjadi pada saat keluarnya UU Pemda 2014 yang
didalamnya mengatur perluasan cakupan dekonsentrasi dari yang sebelumnya hanya
diberlakukan kepada provinsi yang dipimpin oleh gubernur yang memiliki
kedudukan sebagai kepala daerah otonom juga sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah. Kemudian, diberlakukan juga kepada kabupaten dan kota sebagai
penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Oleh karena itu, UU Pemda 2014 ini
dinilai bercorak sentralistik.
B. PEMBAHASAN

Untuk memaknai pengaturan pemerintahan daerah, khususnya yang


tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945, tidak boleh dilepaskan dengan landasannya
yaitu bentuk negara kesatuan. Pengaturan mengenai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) di dalam UUD 1945 dapat ditemukan pada sejumlah pasal, antara
lain:

a. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang
berbentuk Republik;
b. Pasal 25A: Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan undang-undang; dan
c. Pasal 37 ayat (5): Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak dapat dilakukan perubahan.

Sementara itu, pengaturan mengenai pemerintahan daerah dalam UUD 1945


diatur dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945. Dalam konteks bentuk negara,
meskipun bangsa Indonesia memilih bentuk negara kesatuan, tetapi di dalamnya
terselenggara suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya
keragaman antar daerah di seluruh tanah air. Kekayaan alam dan budaya antar daerah
tidak boleh diseragamkan dalam struktur NKRI. Dengan kata lain, bentuk NKRI
diselenggarakan dengan jaminan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah
untuk berkembang sesuai dengan potensi kekayaan yang dimilikinya masing-
masing. Tentunya dengan dorongan, dukungan, dan bantuan yang diberikan oleh
pemerintah pusat.2

Istilah ‘dibagi atas’ (bukan terdiri atas) dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1)
UUD 1945 bukanlah istilah yang digunakan secara kebetulan. Istilah itu langsung
menjelaskan bahwa negara kita adalah negara kesatuan dimana kedaulatan negara
berada di tangan pusat. Hal ini konsisten dengan kesepakatan untuk tetap
mempertahankan bentuk negara kesatuan. Berbeda dengan istilah ‘terdiri atas’ yang
lebih menunjukkan substansi federalisme karena istilah itu menunjukkan letak
kedaulatan berada di tangan negara-negara bagian. Substansi pembagian daerah

2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 79
dalam NKRI yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 ini dimaksudkan untuk
lebih memperjelas pembagian daerah dalam NKRI yang meliputi daerah provinsi
dan dalam daerah provinsi terdapat daerah kabupaten dan kota.

Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa ketentuan baru, yakni Pasal 18, 18A,
dan 18B UUD 1945 telah mengubah format bentuk negara kita dari bentuk negara
kesatuan yang kaku kepada bentuk negara kesatuan yang dinamis. Artinya, pertama,
dimungkinkan untuk dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis
dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kedua, dalam
dinamika hubungan antara pusat dan daerah itu dimungkinkan pula
dikembangkannya kebijakan otonomi yang bersifat pluralistis, dalam arti bahwa
untuk setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda.
Keragaman pola hubungan itu telah dibuktikan dengan diterimanya prinsip otonomi
khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua, yang keduanya
memiliki format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dengan pemerintahan
daerah lain pada umumnya. Pada Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 tidak diberikan
penegasan mengenai dekonsentrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Misalnya, Pasal 18 ayat (2) perubahan UUD 1945 diatur bahwa pemerintah daerah
provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Di bagian lain
disebutkan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat. Namun dalam praktik, dekonsentrasi tetap ada di daerah.

Menurut Jimly Asshiddiqie, seharusnya dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945
tersebut dimuat pula mengenai asas dekonsentrasi, bukan hanya asas otonomi dan
tugas pembantuan. Bahkan dalam sistem federal sekalipun, seperti di Amerika dan
Australia, asas-asas pemerintahan daerah itu selalu mencakup tiga asas, yakni
desentralisasi (otonomi), dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Sebaliknya, menurut
Bhenyamin Hoessein yang dikutip oleh Ni'matul Huda justru berbeda pendapat.
Menurutnya, Pasal 18 ayat (2) ini secara salah menyebut otonomi sebagai asas.
Walaupun demikian, pada ayat ini diisyaratkan hanya dianutnya desentralisasi
(otonomi) dan tugas pembantuan. Asas dekonsentrasi tidak disebut ataupun diatur
dalam UUD 1945. Sikap demikian sangat bijaksana, karena dekonsentrasi sebagai
penghalusan dari sentralisasi. Asas sentralisasi mutlak dianut dalam organisasi
negara. Disamping itu, asas dekonsentrasi memang hampir tidak pernah diatur dalam
konstitusi khususnya Fragmented Field Administration Sistem.3

Senada dengan pendapat tersebut, menurut Bagir Manan dalam pengertian


umum, desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau
wewenang dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat. Dengan demikian,
dekonsentrasi dalam pengertian umum dapat juga dipandang sebagai suatu bentuk
desentralisasi, karena mengandung makna pemencaran kekuasaan. Van der Pot
menggambarkan desentralisasi dengan menyebutkan bahwa tidak semua
peraturan penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dari pusat (sentral).
Pelaksanaan pemerintahan dilakukan baik oleh pusat maupun berbagai badan
otonom. Badan-badan otonom ini dibedakan antara desentralisasi berdasarkan
territorial (territorial decentralisatie) dan desentralisasi fungsional (functioneele
decentralisatie). Bentuk desentralisasi itu menurut Van der Pot dapat dibedakan
antara otonomi dan tugas pembantuan.

Desentralisasi tidak sama dengan otonomi. Desentralisasi bukan asas


melainkan suatu proses. Hal yang merupakan asas adalah otonomi dan tugas
pembantuan. Dekonsentrasi bukan asas tetapi proses atau cara menyelenggarakan
sesuatu. Dekonsentrasi adalah subsistem sentralisasi yaitu cara menyelenggarakan
sistem sentralisasi. Karena itu, sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematik
pemerintahan daerah yang merupakan antitesis dari sentralisasi.

Indonesia merupakan negara kesatuan, yaitu negara yang kekuasaan negaranya


ada di tangan pusat, namun memiliki juga suatu pemerintahan daerah yang
mendapatkan kekuasaan dari pusat melalui penyerahan sebagian kekuasaan yang
ditentukan secara tegas, yang sistem pelaksanaan pemerintahannya dapat
dilaksanakan dengan cara/sistem sentralisasi/dekonsentrasi, desentralisasi dan
medebewind/tugas pembantuan. Pada sistem sentralisasi/dekonsentrasi,
kedaulatan negara baik ke dalam dan ke luar ditangani pemerintah pusat dan
dilimpahkan melalui organ-organ pusat yang terdapat di daerah (dekonsentrasi).
Namun, karena luasnya daerah-daerah di negara kita yang terbagi-bagi atas beberapa
provinsi, kabupaten, dan kota, di samping setiap daerah-daerah memiliki
kemajemukan, kekhususan, kekhasan serta potensi yang besar yang tidak dapat

3
Ni'matul Huda, Op.cit., hlm. 54.
hanya diatur atau diurus oleh pemerintah pusat saja. Daerah-daerah tersebut
memiliki pemerintahan daerah melalui desentralisasi atau penyerahan wewenang
dari pusat dengan maksud untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahannya sendiri sesuai dengan kekhususan dan potensi daerahnya tersebut
demi menyejahterakan rakyat di daerahnya.

Pada praktiknya, desentralisasi yang dimaknai sebagai ‘penyerahan’ sebagian


wewenang memang telah tumpang tindih dengan tugas dan wewenang pusat dalam
bentuk dekonsentrasi atau ‘pelimpahan’ sebagian wewenang dari pusat kepada
pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) dan juga tugas pembantuan.
Penguatan peran pemerintah pusat dengan dekonsentrasi memang secara implisit
bukan sekedar menambah peran yang sebelumnya mengecil, melainkan lebih jauh
dilandasi oleh pemikiran ke depan yakni menjaga kedulatan suatu negara bangsa
(nation-state). Untuk itu, perundangan tersebut memberikan landasan bahwa
pemerintah pusat berhak melakukan intervensi dalam bentuk supervisi, pembinaan,
pengawasan, dan penilaian kinerja otonomi pada pemerintahan daerah. Hak
Pemerintahan Pusat dijalankan secara langsung oleh instansi tingkat pusat (Lembaga
Pemerintahan Non Departemen (LPND)), maupun secara tidak langsung dengan
pelimpahan wewenang melalui aparatnya yang ada di daerah, yaitu gubernur Artinya,
posisi pemerintah provinsi dalam koridor otonomi daerah memiliki dua kedudukan,
yakni sebagai wakil pemerintah pusat dengan menjadikan aparat dekonsentrasi dan
menjadi pelaksana otonomi daerah itu sendiri (aparat desentralisasi).

Begitupun kabupaten dan kota diposisikan sekarang ini memiliki double


function seperti provinsi, yaitu sebagai pelaksana otonomi daerah serta sebagai aparat
dekonsentrasi. Dekonsentrasi dimaknai sebagai proses re-distribusi tanggung jawab
yang bersifat administratif untuk diberikan kepada institusi yang berada dalam sayap
pemerintah pusat. Institusi tersebut diwujudkan dengan cara pembentukan dan
pengoperasionalan berbagai kantor atau institusi pusat yang ditempatkan di berbagai
wilayah atau lembaga pemerintah lain yang berada dibawahnya yang diatur dan
ditetapkan melalui perundangan.

Tarik-menarik mekanisme desentralisasi dan dekonsentrasi ini tidak perlu


dihilangkan, tetapi yang harus dilakukan adalah melakukan penyesuaian dengan
keadaan dan kebutuhan negara, daerah, serta masyarakat. Artinya, dalam keadaan
tertentu, dekonsentrasi dapat diperkuat di samping desentralisasi yang kuat pula,
atau sebaliknya. Dekonsentrasi dapat juga diperluas hingga ke daerah kabupaten dan
kota, atau sebaliknya dekonsentrasi hanya diberlakukan kepada provinsi saja, seperti
dalam UU Pemda 2004. Dapat pula diartikan bahwa pandangan yang menilai
dekonsentrasi sebagai ancaman bagi desentralisasi dan akan mengembalikan negara
ini kepada sistem yang sentralistik adalah pandangan yang keliru, karena pada
dasarnya dekonsentrasi adalah suatu mekanisme pelengkap/komplemen dari
desentralisasi. Keberadaan dekonsentrasi yang bahkan hingga ke kabupaten dan kota
ini adalah suatu keniscayaan, melihat kompleksnya urusan-urusan yang
harus diselenggarakan bukan hanya di tataran pusat tapi juga urusan-urusan
nasional/pusat hingga ke daerah. Selain itu, harus dipahami bahwa ada beberapa
urusan-urusan nasional yang sifatnya harus diberlakukan kepada seluruh daerah di
Indonesia dengan sama, tanpa menghilangkan urusan-urusan wajib daerah yang
kewenangannya diatur dan diurus oleh pemerintah daerah secara penuh. Antara
desentralisasi dan dekonsentrasi dalam NKRI ini bagaikan dua sisi mata uang
(dengan tugas pembantuan menjadi triangle mechanism) yang satu dengan yang
lainnya tidak dapat dipisahkan, tidak saling mengancam atau melemahkan, dan tidak
perlu dipertentangkan. Semua itu perlu dilihat sebagai suatu cara atau sekumpulan
sub-sistem yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya, yang juga membentuk
suatu sistem utuh dari penyelenggaraan pemerintahan dalam pemerintahan daerah.

Perluasan pemberlakuan dekonsentrasi hingga ke kabupaten dan kota sebagai


penanggung jawab urusan pemerintahan umum seperti dikemukakan dalam Pasal 1
angka 9 UU Pemda 2014 adalah suatu hal yang sangat beralasan. Hal ini karena
semakin kompleksnya kebutuhan penyelenggaraan urusan-urusan nasional hingga

daerah, pada luasnya wilayah Indonesia, dan ditambah dengan keinginan untuk
mempercepat pembangunan hingga ke daerah.

Disamping hal-hal tersebut, sesuai dengan fungsi lain dari dekonsentrasi untuk
merekatkan daerah dalam NKRI dan menyelenggarakan urusan nasional/pusat di
daerah, terdapat pula tujuan politis dari dekonsentrasi, yang antara lain adalah untuk
menyerap kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan daerah secara
langsung serta memberikan suatu ‘image’ bahwa pemerintah pusat pun masih
memberikan perhatian kepada daerah. Hal-hal seperti ini penting karena beberapa
daerah, khususnya daerah yang jauh dan terpencil, terkadang merasa
negara/pemerintah pusat sama sekali tidak memperhatikan daerahnya atau bahkan
tidak pernah 'hadir' di daerahnya. Hal ini terkadang memunculkan keinginan-
keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI.

Pengaturan mengenai dekonsentrasi dalam UU Pemda 2014 terdapat pada


beberapa pasal, antara lain:

a. Pasal 1 angka 9: Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan


pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu,
dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggung jawab urusan
pemerintahan umum;

Berdasarkan pengaturan dalam beberapa pasal tersebut, dapat disimpulkan


bahwa gubernur sebagai pemerintah daerah provinsi dapat melaksanakan urusan
pemerintahan wajib berdasarkan desentralisasi, urusan pemerintahan absolut
(pemerintah pusat) berdasarkan dekonsentrasi, dan urusan pemerintahan umum
(kewenangan presiden)³³ berdasarkan dekonsentrasi. Namun, untuk daerah
kabupaten dan kota dengan kepala daerah bupati dan walikota, dapat
melaksanakan urusan pemerintahan wajib berdasarkan desentralisasi dan urusan
pemerintahan umum berdasarkan dekonsentrasi. Dilihat dari perincian urusan
pemerintahan umum dalam Pasal 25 ayat (1) UU Pemda 2014 di atas, urusan-urusan
yang didekonsentrasikan terkait dengan pembinaan kesatuan bangsa, Pancasila,
kerukunan antar dan intra suku, koordinasi antar instansi, ketahanan, penanganan
konflik, dan lain-lain yang bertujuan untuk mempererat persatuan dan kesatuan
negara. Sangat beralasan jika penyelenggaraan dekonsentrasi hingga ke daerah
kabupaten dan kota, karena hal- hal tersebut adalah urusan yang sangat penting bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, urusan-urusan tersebut harus
menjadi kewajiban bersama antara pusat dan daerah demi NKRI yang aman, tentram,
dan utuh.

C. KESIMPULAN

Pengaturan Pasal 1 ayat (9), Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (1) UU Pemda
2014 mengenai dekonsentrasi penyelenggaraan urusan pemerintahan umum hingga
kepada walikota dan/atau bupati adalah pengaturan yang konstitusional, meskipun
dalam UUD 1945 khususnya Pasal 18, 18A, dan 18B yang diatur mengenai
pemerintahan daerah, tidak terdapat pengaturan mengenai dekonsentrasi. Hal ini
dikarenakan dekonsentrasi pada dasarnya merupakan suatu mekanisme yang sangat
wajar dalam sistem pemerintahan daerah. Dekonsentrasi dalam
penyelenggaraannya dapat disandingkan dengan desentralisasi, bahkan
keberadaan dekonsentrasi melengkapi adanya desentralisasi serta tugas
pembantuan. Khususnya di NKRI, yang memiliki wilayah yang luas, yang terdiri dari
daerah-daerah yang memiliki keragaman dan ingin melakukan percepatan
pembangunan hingga ke daerah, maka dekonsentrasi adalah salah satu mekanisme
yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan urusan Pemerintah Pusat di daerah,
yang juga bertujuan untuk melakukan pengawasan, supervisi, dan mempererat
NKRI.

Selain itu, pengaturan dekonsentrasi dalam UU Pemda 2014 ini janganlah


diartikan sebagai pengaturan yang mengarah kepada re-sentralisasi. Karena
pengaturan dekonsentrasi ini pada dasarnya tidak mengancam keberadaan
desentralisasi, tetapi untuk melengkapi desentralisasi dalam lingkup NKRI. Apalagi
jika melihat urusan-urusan pemerintahan umum yang diselenggarakan oleh daerah
kabupaten dan kota berdasarkan dekonsentrasi yang diatur dalam UU Pemda 2014 ini
adalah urusan-urusan yang berkaitan dengan persatuan dan kesatuan negara,
tentunya hal ini adalah bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,
tetapi juga adalah kewajiban dan tanggung jawab dari pemerintah daerah sebagai
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai