Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dianggap sebagai bagian dari

proses pertambahan usia. Peningkatan usia harapan hidup akan

meningkatkan prevalensi BPH. BPH berkembang sebagai fenomena ketat

terkait usia hampir semua laki-laki, mulai sekitar 40 tahun. Prevalensi

BPH yang telah di teliti dalam beberapa penelitian otopsi diseluruh dunia,

sekitar 10% untuk laki-laki berusia 30-an, 20% di usia 40-an, mencapai

50% sampai 60% berusia 60-an, dan 80% sampai 90% di usia 70 dan 80-

an.

BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di

Indonesia setelah batu saluran kemih dan diperkirakan ditemukan pada

50% pria di atas 60 tahun. Di Rumah Sakit Umum abdoel moeloek selama

tahun 2019 terdapat 103 penderita dengan BPH yang menjalani operasi,

dari total 1161 penderita urologi yang menjalani operasi. BPH

memberikan keluhan yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini

akibat dari pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya

obstruksi pada leher buli-buli dan uretra. Pada usia 60 tahun nodul

pembesaran prostat tersebut terlihat sekitar 60 persen, tetapi gejala baru

dikeluhkan pada sekitar 30-40 persen, sedangkan pada usia 80 tahun nodul

1
terlihat pada 90 persen yang sekitar 50 persen diantaranya sudah mulai

memberikan gejala-gejalanya (Roehrborn, 2012).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi BPH misalnya

usia, riwayat keluarga, meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan

tinggi lemak hewani, olahraga, merokok, minuman beralkohol, penyakit

Diabetes Mellitus, aktifitas seksual dan kelebihan berat badan (obesitas).

Kelebihan berat badan merupakan salah satu masalah kesehatan pada abad

ke 21. Kelebihan berat badan adalah salah satu faktor risiko dari berbagai

penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus tipe 2, hipertensi, penyakit

jantung, dan kanker. Pada BPH, kelebihan berat badan menyebabkan

terjadinya perubahan keseimbangan testosteron-estrogen karena produksi

testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen

pada jaringan adiposa di perifer. Selain kelebihan berat badan, usia juga

mempengaruhi pertumbuhan prostat. Dengan pertambahan usia, kadar

testosteron mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun

lebih cepat pada usia 60 tahun ke atas. Laki-laki yang memiliki usia ≥ 50

tahun memiliki risiko lebih tinggi dibanding dengan laki-laki yang berusia

< 50 tahun. Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon

testosteron yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah

menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5-α reduktase.

DHT inilah yang secara langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel

kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan

kelenjar prostat (Roehrborn, 2012).

2
Penelitian ini menyelidiki bagaimana kelebihan berat badan

mempengaruhi prostat dengan membandingkan dan menganalisis usia dan

BPH. Dari uraian pada latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk

meneliti lebih lanjut tentang : Hubungan usia Dengan Kejadian Benign

Prostatic Hyperplasia Di RSUD DR.H Abdul Moeloek Bandar

Lampung Pada Periode Januari-Februari 2019.

1.2 Rumusan Masalah

Apa hubungan usia dan kejadian BPH ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan usia dengan kejadian BPH.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik dari pasien dengan BPH bedasarkan usia.

2. Mengetahui karakteristik dari pasien BPH

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Peneliti

3
1. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan

mengenai teori yang berkaitan dengan penderita BPH di RSUD

Abdul Moeloek Bandar Lampung.

2. Dapat memberi masukan tambahan bagi kegiatan penelitian

berikutnya yang lebih spesifik.

1.4.2 Ilmu Pengetahuan

Sebagai bahan tambahan untuk penelitian lebih lanjut tentang BPH

dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

1.4.3 Institusi

Sebagai bahan masukan untuk Rumah Sakit Abdul Moeloek

tentang hubungan usia dan BPH.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

2.1.1 Anatomi Prostat

Berat prostat pada orang dewasa normal kira-kira 20 gram. Prostat

terletak retroperitoneal, melingkar leher kandung kemih dan urethra serta

dipisahkan dari alat-alat tubuh yang dilingkarinya ini oleh suatu simpai.

Mula-mula prostat terdiri atas 5 lobus yakni lobus posterior, medius,

anterior dan 2 buah lobus lateralis, tetapi selama perkembangan

selanjutnya ketiga lobus anterior, medius dan posterior bersatu dan disebut

lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tidak

tampak karena terlalu kecil dan lobus lain-lain tampak homogen berwarna

keabu-abuan, dengan kista kecil-kecil berisi cairan seperti susu. Kista-kista

ini ialah kelenjar-kelenjar prostat ( Patologi UI ).

5
Gambar 2.1 Prostat Normal (Robbins, 2007)

2.1.2 Fisiologi Prostat

Prostat ialah suatu alat tubuh yang bergantung kepada pengaruh

endokrin dan dapat dianggap imbangan (counterpart) dari pada payudara

pada wanita.

Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti, tetapi

jelas bahwa pengembirian menyebabkan kelenjar prostat mengecil. Pada

binatang percobaan ternyata apabila kelenjar hipofisis diangkat, maka

prostat akan mengecil dan atrofi ini dapat dicegah dengan pemberian

testosteron. Jadi prostat di pengaruhi oleh hormon androgen.

Percobaan selanjutnya menunjukkan bahwa prostat akan membesar

setelah pemberian estrogen pada binatang yang dikebiri. Tenyata bagian

yang peka terhadap estrogen ialah bagian tengah sedangkan bagian tepi

peka terhadap androgen. Karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang

mengalami hiperplasia, yaitu disebabkan ekskresi androgen berkurang

sehingga estrogen bertambah relatif atau absolut. Sel-sel epitel kelenjar

6
prostat dapat membentuk enzim fosfatase asam yang paling aktif bekerja

pada pH 5. Enzim ini sangat sedikit sehingga tidak dapat di ukur dalam

darah. Pada neoplasma prostat pembentukan enzim cukup banyak,

sehingga dapat diukur dalam darah (Patologi UI).

2.1.3 Definisi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Benign hyperplasia prostat (BPH) merupakan kelainan yang sering

ditemukan. Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi

sebenarnya ialah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan

prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Sjamsuhidajat, De

Jong, 2012).

Prostat normal terdiri dari elemen kelenjar dan stroma yang

mengelilingi uretra. Parenkim prostat dapat dibagi menjadi beberapa regio

yang secara biologis berbeda, yang terpenting adalah zona perifer, sentral,

transisional dan periuretra. Jenis lesi proliferatif pada setiap regio berbeda.

Sebagai contoh, sebagian besar lesi hiperplastik terjadi di zona sentral dan

transisional dalam prostat, sedangkan sebagian besar karsinoma (70%

hingga 80%) timbul di zona perifer (Robbins, 2007).

BPH adalah pertumbuhan berlebihan sel-sel prostat yang tidak

ganas. BPH kadang tidak menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus

berkembang, pada akhirnya akan mendesak uretra yang mengakibatkan

rasa tidak nyaman pada penderita.

7
Gambar 2.2. Aliran Urin Yang Normal (NKUDIC, 2006).

Gambar 2.3. Aliran Urin Yang Normal (NKUDIC, 2006).

2.1.4 Epidemiologi BPH

BPH menjadi masalah global pada pria usia lanjut. Di dunia, hampir 30

juta pria menderita BPH. Pada usia 40 tahun sekitar 40%, usia 60-70 tahun

meningkat menjadi 50% dan usia lebih dari 70 tahun mencapai 90%.

Diperkirakan sebanyak 60% pria usia lebih dari 80 tahun memberikan

gejala Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Di Amerika Serikat,

8
hampir 14 juta pria menderita BPH. Prevalensi dan kejadian BPH di

Amerika Serikat terus meningkat pada tahun 1994-2000 dan tahun 1998-

2007. Peningkatan jumlah insiden ini akan terus berlangsung sampai

beberapa dekade mendatang ( Parsons, 2010, Girman, 1998 ).

Di Indonesia, BPH merupakan penyakit tersering kedua setelah

batu saluran kemih. Diperkirakan sekitar 5 juta pria usia diatas 60 tahun

menderita LUTS oleh karena BPH. Di RSCM ditemukan 423 kasus BPH

pada tahun 1994-1997 dan RS Sumber Waras ditemukan sebanyak 617

kasus pada tahun yang sama. BPH merupakan masalah serius yang harus

diperhatikan karena dapat mempengaruhi kualitas hidup pada pria usia

lanjut (Wei dkk, 2005, Verhame dkk, 2002).

2.1.5 Tanda dan Gejala BPH

Gejala klinis BPH terjadi pada hanya sekitar 10% laki-laki yang

mengidap kelainan ini. Karena hiperplasia nodular terutama mengenai

bagian dalam prostat, manifestasinya yang tersering adalah gejala

obstruksi saluran kemih bawah. Gejala ini mencakup kesulitan memulai

aliran urin (hesitancy) dan interupsi intermiten aliran urin sewaktu

berkemih. Pada beberapa pasien dapat terjadi obstruksi total aliran kemih

yang menyebabkan peregangan kandung kemih yang nyeri dan kadang-

kadang hidronefrosis. Gejala obstruksi sering disertai oleh urgency,

frequency, dan nokturia, yang semuanya menunjukan iritasi kandung

9
kemih. Kombinasi urin residual di kandung kemih dan obstruksi kronis

meningkatkan resiko infeksi saluran kemih (Robbins, 2007).

Pada pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus

sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan didalam

rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur, harus diperhatikan

konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal),

apakah asimetris, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat

diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah

sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin

yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui

dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin

lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi

melakukan intervensi pada hiperplasia prostat (Sjamsuhidajat, De Jong,

2012).

2.1.6 Etiologi BPH

Penyebab BPH belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan

berdasarkan faktor histologi, hormon dan faktor perubahan usia, di

antaranya:

a. Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan

enzim 5- a reduktase diubah menjadi DHT yang merangsang

pertumbuhan kelenjar prostat.

10
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron: estrogen

berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel prostat,

rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan

testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada

mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat

jadi lebih besar.

c. Teori interaksi stroma-epitel: setelah sel-sel stroma

mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma

mensintesis suatu growth factors yang selanjutnya

mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intakrin dan

autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.

Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel

maupun sel stroma.

d. Berkurangnya kematian sel prostat. Pada jaringan normal,

terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan

kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai

pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru

dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya

jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan

jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat

sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.

e. Teori sel stem. Untuk menggantikan sel-sel yang telah

mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Di dalam

11
kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang

mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.

Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon

androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun dapat

menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-

sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas

sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma

maupun sel epitel (Purnomo, 2014).

Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya

BPH, yaitu adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada

pasien dengan kelainan kongenital berupa defisiensi 5- a reduktase, yaitu

enzim yang mengkonversi testosteron ke DHT, kadar serum DHT-nya

rendah, sehingga prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan,

kadar testosteron serum menurun disertai meningkatnya konversi

testosteron menjadi estrogen pada jaringan periperal. Tindakan kastrasi

sebelum masa pubertas dapat mencegah pembesaran prostat benigna.

Penderita dengan kelainan genetik pada fungsi androgen juga mempunyai

gangguan pertumbuhan prostat. Dalam hal ini, barangkali androgen

diperlukan untuk memulai proses BPH, tetapi tidak dalam hal proses

pemeliharaan. Estrogen berperan dalam proses pembesaran stroma yang

selanjutnya merangsang pembesaran epitel (Purnomo B, 2014).

12
2.1.7 Faktor-faktor Resiko BPH

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah :

1. Kadar Hormon

Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan

peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi

androgen yang lebih poten yaitu dihydrotestosteron (DHT)

oleh enzim 5a-reductase, yang memegang peran penting

dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat(Sjamsuhidajat, De

Jong, 2012).

2. Usia

Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan

pada buli (otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan.

Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan kemampuan

buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses

adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat,

sehingga menimbulkan gejala ( Rahardjo D, 2003).

Testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang

secara keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut

mencakup testosteron, dihidrotestosteron dan androstenesdion.

Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5-alfa-

reduktase menjadi dihidrotestosteron. Sesuai dengan

pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun secara

perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60

13
tahun keatas. Laki-laki yang memiliki usia ≥ 50 tahun

memiliki risiko lebih tinggi dibanding dengan laki-laki yang

berusia < 50 tahun (Roehrborn, 2012).

3. Ras

Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar

untuk terjadi BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia

memiliki insidensi BPH paling rendah (Roehrborn, 2012).

4. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan

risiko terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga

yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang mengidap

penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang lain

untuk dapat terkena BPH. Bila satu anggota keluarga

mengidap penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali bagi yang

lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi

2-5 kali (Roehrborn, 2012).

5. Obesitas

Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan

kemampuan seksual, tipe bentuk tubuh yang mengganggu

prostat adalah tipe bentuk tubuh yang membesar di bagian

pinggang dengan perut buncit, seperti buah apel. Beban di

14
perut itulah yang menekan otot organ seksual, sehingga lama-

lama organ seksual kehilangan kelenturannya, selain itu

deposit lemak berlebihan juga akan mengganggu kinerja testis.

Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang

berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan

sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses

kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada laki-laki

biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen. Salah satu

cara pengukuran untuk memperkirakan lemak tubuh adalah

teknik indirek, di antaranya yang banyak dipakai adalah Body

Mass Indeks (BMI). BMI diukur dengan cara berat badan (kg)

dibagi dengan kuadrat tinggi badan (m). Interpretasinya

(WHO) adalah overweight (BMI 25-29,9 kg/m2) dan obesitas

(BMI > 30 kg/m2). Pengukuran BMI mudah dilakukan, murah

dan mempunyai akurasi tinggi. (Walsh, Patrick C, 2003)

6. Pola Diet

Kekurangan mineral penting seperti seng, tembaga,

selenium berpengaruh pada fungsi reproduksi pria. Yang

paling penting adalah seng, karena defisiensi seng berat dapat

menyebabkan pengecilan testis yang selanjutnya berakibat

penurunan kadar testosteron. Makanan tinggi lemak dan

rendah serat juga membuat penurunan kadar testosteron.

Walaupun kolesterol merupakan bahan dasar untuk sintesis zat

15
pregnolone yang merupakan bahan baku DHEA

(dehidroepian-androsteron) yang dapat memproduksi

testosteron, tetapi bila berlebihan tentunya akan terjadi

penumpukan lemak pada perut yang akan menekan otot-otot

seksual dan mengganggu testis, sehingga kelebihan lemak

tersebut justru dapat menurunkan kemampuan seksual. Akibat

lebih lanjut adalah penurunan produksi testosteron, yang

nantinya mengganggu prostat (Rahardjo D, 2003, Nugroho A,

2002).

7. Aktivitas Seksual

Kalenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab

untuk pembentukan hormon laki-laki. BPH dihubungkan

dengan kegiatan seks berlebihan dan alasan kebersihan. Saat

kegiatan seksual, kelenjar prostat mengalami peningkatan

tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika suplai darah ke

prostat selalu tinggi, akan terjadi hambatan prostat yang

mengakibatkan kalenjar tersebut bengkak permanen. Seks

yang tidak bersih akan mengakibatkan infeksi prostat yang

mengakibatkan BPH. Aktivitas seksual yang tinggi juga

berhubungan dengan meningkatnya kadar hormon testosterone

(Rahardjo D, 2003).

8. Kebiasaan Merokok

16
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok

meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga

menyebabkan penurunan kadar testosteron (Walsh, Patrick C,

2003).

9. Kebiasaan Minum-minuman Beralkohol

Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan

vitamin B6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat

penting untuk kelenjar prostat. Prostat menggunakan zink 10

kali lipat dibandingkan dengan organ yang lain. Zink

membantu mengurangi kandungan prolaktin di dalam darah.

Prolaktin meningkatkan penukaran hormon testosteron kepada

DHT ( NKUDIC, 2007, Gass R, 2002).

10. Olah raga

Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur,

berpeluang lebih sedikit mengalami gangguan prostat,

termasuk BPH. Dengan aktif olahraga, kadar

dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat

memperkecil risiko gangguan prostat. Selain itu, olahraga akan

mengontrol berat badan agar otot lunak yang melingkari

prostat tetap stabil. Olahraga yang dianjurkan adalah jenis

yang berdampak ringan dan dapat memperkuat otot sekitar

pinggul dan organ seksual. Yang baik apabila dilakukan 3 kali

dalam seminggu dalam waktu 30 menit setiap berolahraga,

17
olahraga yang dilakukan kurang dari 3 kali dalam seminggu

terdapat sedikit sekali perubahan pada kebugaran fisik tetapi

tidak ada tambahan keuntungan yang berarti bila latihan

dilakukan lebih dari 5 kali dalam seminggu. Olahraga akan

mengurangi kadar lemak dalam darah sehingga kadar

kolesterol menurun ( Dharmojo B, Martono H, 2000).

11. Penyakit Diabetes Mellitus

Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah >

110 mg/dL mempunyai risiko tiga kali terjadinya BPH,

sedangkan untuk laki-laki dengan penyakit Diabetes Mellitus

mempunyai risiko dua kali terjadinya BPH dibandingkan

dengan laki-laki dengan kondisi normal (Bridge Sophie Bain,

2007, Parsons J. Kellog, dkk, 2006).

2.1.8 Patofisiologi BPH

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi saluran kemih

adalah penderita harus menunggu keluarnya kemih pertama, miksi

terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah, dan

rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas

otot detrusor bearti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit

ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal

berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama

sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena

18
pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran

prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika

sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi

skor untuk menentukan berat keluhan klinis.

Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin

sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung

kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini

berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita

tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi pada suatu saat

vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika

terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada

tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks.

Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,

hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakkan ginjal dipercepat bila

terjadi insfeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan

sehingga menyebabkan hernia/hemoroid.

Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di

dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan

hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi

refluks, dapat terjadi pielonefritis (Sjamsuhidajat, De Jong, 2012).

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang BPH

19
Dengan pemeriksaan radiologik, seperti foto polos perut dan

pielografi intravena, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan,

misalnya baru saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikulum kandung

kemih. Kalau dibuat foto setelah miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran

prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung

kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat dapat diperkirakan

apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau

ujung distal ureter membengkak keatas berbentuk seperti mata kail.

Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau

penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram

retrograd.

Ultrasonografi dapat dilakukan transabdominal atau transrektal

(transrectal ultrasonography, TRUS). Selain itu untuk mengetahui

pembesaran prostat, pemeriksaan ultrasonograpy dapat pula menentukan

volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti

divertikulum, tumor dan batu. Dengan ultrasonograpi transrektal, dapat di

ukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan

besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik.

Pada USG suprapubik didapatkan :

 Pembesaran kelenjar pada zona sentral

 Nodul hipoechoid atau campuran echogenic

 Kalsifikasi antara zona sentral

 Volume prostat > 30 ml

20
CT-scan atau MRI jarang dilakukan.

Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila ada anamnesis ditemukan

hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria.

Pemeriksaan untuk ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor

didalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah

datang dari muara ureter, atau batu radolusen di dalam vesika. Selain itu,

sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan

mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke

dalam uretra (Sjamsuhidajat, De Jong, 2012).

2.1.10 Penatalaksanaan BPH

Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat I-IV digunakan

untuk menentukan cara penanganan.

Derajat Colok Dubur


I Penonjolan Prostat, batas <50 mL

atas mudah diraba


II Penonjolan prostat jelas, 50-100 mL

batas atas dapat dicapai


III Batas atas prostat tidak >100 mL

dapat diraba
IV Retensi urin total

Tabel 2.1 Derajat BPH (Sjamsuhidajat, De Jong, 2012)

21
Penderita derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan bedah

diberikan pengobatan konservatif, misalnya dengan penghambat

adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin, terazosin, dan tamsulosin.

Keuntungan obat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap

keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun.

Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan.

Biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral

resection, TUR). Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%.

Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.

Pada derajat tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh

pembedah yang cukup berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah

cukup berat sehingga reseksi tidak akan sesuai dalam satu jam, sebaiknya

dilakukan pembedahan terbuka.

Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesika,

retropubik atau perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat

sayatan perut bagian bawah menurut Pfannenstiel; kemudian prostat

dienukleasi dari dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat

sekaligus untuk mengangkat batu buli-buli atau divertikelektomi apabila

ada divertikulum yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik menurut

Millin dikerjakan melalui sayatan kulit Pfannenstiel dengan membuka

simpai prostat tanpa membuka kandung kemih, kemudian prostat

dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan, yaitu tanpa membuka

22
kandung kemih sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti bila

membuka vesika. Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai kalau

diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam kandung kemih.

Kedua cara pembedahan terbuka tersebuh masih kalah dibandingkan

dengan cara TUR, yaitu morbiditasnya yang lebih lama, tetapi dapat

dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat

bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan lagi.

Pada hipertrofi derajat empat, tindakan pertama yang harus segera

dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan

memasang kateter atau sistomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih

lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR

atau pembedahan terbuka.

Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk

dilakukan pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan

memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini

ialah gejala hipotensi, seperti pusing, lemas, palpitasi dan rasa lemas.

Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat

antiandrogen yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan

konservatif ini ialah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan

efek samping obat.

Pengobatan lain yang invasif minimal ialah pemanasan prostat

dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui

antena yang dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut

23
transurethral microwave thermothrapy (TUMT) ini, hasil perbaikan kira-

kira 75% untuk gejala objektif.

Pada penanggulangan invasif minimal lain, yang disebut

transurethal ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)

digunakan cahaya laser. Dengan cara ini, diperoleh juga hasil yang cukup

memuaskan.

Uretra di daerah prostat dapat juga diatasi dengan balon yang

dikembangkan di dalamnya (transurethral ballon dilatation, TUBD).

TUBD ini biasanya memberi perbaikan yang bersifat sementara.

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2012)

2.2 Kerangka Teori

Kerangka teori ini gambaran dari teori dimana suatu problem riset

berasal atau dikaitkan :

24
Genetik

Kadar lemak
Pola makan jenuh dalam Psikis dan lingkungan
tubuh

Umur Berat Badan

Sel adiposa

Estradiol

5α-reductase

Testosteron Dihidrotestosterone

Proliferasi sel yang


Keterangan : cepat
Diteliti

Tidak diteliti Pembesaran prostat jinak


2.3 Kerangka konsep

25
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visuaisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap lainnya, atau antara variabel yang

satu dengan yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti.

Independen Dependen

Usia Benign Prostatic


Hyperplasia (BPH)

2.4 Hipotesis

H01: Tidak terdapat hubungan antara usia dengan kejadian BPH.

HA1: Terdapat hubungan antara usia dengan kejadian BPH.

BAB III

26
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik

dengan pendekatan study cross sectional.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Waktu penelitian pada bulan Februari-Maret 2019.

3.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

3.3 Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti.

(Notoatmodjo S, 2002). Populasi yang digunakan dalam penelitian

adalah seluruh pasien yang terdiagnosis BPH di Rumah Sakit Umum

Daerah (RSUD) Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung periode

Februari-Maret 2019.

3.3.2 Sampel

27
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo S,

2012). Apabila besar populasi (N) tidak diketahui maka besar samper

adalah sebagai berikut:

Z2αp.q Z2αp(1-p)
n= =
d2 d2

Dimana:

n : jumlah sampel minimal yang diperlukan

Z : tingkat distribusi normal pada taraf signifikan 5% = 1,96

α : derajat kepercayaan (0,05)

p : jika ditemukan nilai p, maka dapat dilakukan maximal

estimation = 0,5

q : 1-p

d : limit dari error atau presisi absolut (0,05)

maka:

1,962.(0,05).(0,5).(0,5)
n=
(0,05)2
0,04802
n=
0,0025

n= 19,2 atau 20 Responden


3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi

28
1. Pasien terdiagnosis BPH di Poli Urologi RSUD Abdul

Moeloek periode Februari-Maret 2019.

b. Kriteria Eksklusi

1. Terdapat kelainan di buli : batu buli, tumor buli.

2. Karsinoma prostat.

3. Penyakit metabolik.

3.4 Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling.

Teknik accidental sampling adalah teknik yang dilakukan dengan

mengambil kasus atau responden yang ada dan bersedia di suatu tempat

sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo S, 2012). Mengetahui usia

secara langsung pada pasien yang datang ke RSUD Abdul Moeloek

periode Februari-Maret 2017 dengan diagnosa BPH. Data sampel berasal

dari data primer periode Februari-Maret 2017.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau

ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu

konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo S, 2012). Variabel yang terdapat

dalam penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat yang

dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel independen dalam penelitian ini

29
adalah indeks massa tubuh dan usia, sedangkan variabel dependen adalah

BPH.

3.6 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah batasan pada variabel-variabel yang

diamati atau diteliti untuk mengarahkan kepada pengukuran atau

pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta

pengembangan instrumen atau alat ukur.

Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil Skala


operasional ukur ukur
BPH Pasien yang baru Lembar Melihat hasil 0. BPH Nomin
terdiagnosis observasi pemeriksaan al
pertama kali BPH BPH dari 1. Bukan
dan pasien yang rekam medis BPH
akan dan sudah
menjalani operasi
BPH berdasarkan
pemeriksaan
USG, colok
dubur.

30
Usia Usia pasien yang Kuesioner Wawancara 0. ≥ 50 Ordinal
datang dengan tahun
diagnosis BPH 1. < 50
tahun
Tabel 3.1 Definisi Operasional

3.7 Pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pengumpulan data secara primer yang menggunakan lembar

observasi

3.8 Pengolahan data

Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan SPSS 21.

Beberapa tahapan yang harus dilakukan terlebih dahulu guna mendapatkan

data yang valid sehingga saat menganalisis data tidak mendapatkan

kendala. Tahapan tersebut terdiri dari :

1. Editing

Bertujuan untuk mengoreksi kelengkapan data-data yang

dikumpulkan.

2. Coding

31
Pemberian kode pada atribut variabel penelitian untuk memudahkan

dalam analisis data

3. Processing

Memproses agar data dapat dianalisis menggunakan entry data yang

telah terkumpul kedalam komputer.

4. Cleaning

Kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dimasukan apakah ada

kesalahan atau tidak.

3.9 Analisis data

Analisis yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat

untuk menguji hubungan antara dua variabel penelitian yang masing-

masing besifat kategori dengan metode Mann-Whitney.

3.10 Alur Penelitian

Alur penelitian ini dapat dijelaskan melalui gambar dibawah ini :

Populasi pasien yang terdiagnosis


PPJ

Memenuhi kriteria inklusi dan


eksklusi

Primer :

Berdasarkan
32 usia, berat badan,
tinggi badan
Analisa data
Penyajian data
Pengumpulan
IMT data
33

Anda mungkin juga menyukai