Anda di halaman 1dari 14

PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

RUANGAN RAWAT INAP LANTAI 6 PU, RSPAD GATOT SOEBROTO

LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETES MELLITUS

Disusun oleh:
Raisa Minati Ramadhani
0906564196

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS INDONESIA
Januari 2014
PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIKUI
Laporan Pendahuluan: Diabetes Mellitus
Oleh Raisa Minati Ramadhani, 0906564196
Lantai 6 PU, Rumah Sakit Gatot Soebroto, Jakarta

1. DEFINISI
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar
glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2002). Diabetes militus adalah gangguan
metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manisfetasi berupa
hilangnya toleransi karbohidrat.( Price & Wilson, 2005).

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi diabetes yang utama adalah (Smeltzer & Bare, 2002):
o Tipe I
Diabetes mellitus tergantung insulin (insulin dependent diabetes mellitus/ IDDM)
o Tipe II
Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (non insulin dependent diabetes mellitus/ NIDDM)
o Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
o Diabetes mellitus gestasional (gestasional diabetes mellitus)

Perbedaan DM Tipe 1 (IDDM) dan Tipe 2 (NIDDM):


IDDM NIDDM
Faktor genetic, imonologis dan Faktor genetiK, obesitas, dan kelompok
Faktor lingkungan etnis
Defisit insulin absolut Defisit insulin relative
Terjadi sebelum usia 30 tahun Terjadi setelah usia 30 tahun
Penambahan insulin dari luar mutlak Insulin tidak mutlak diperlukan
Komplikasi : akut dan kronik Komplikasi : akut dan kronik

3. ETIOLOGI
a. Genetik
Faktor keturunan memang memegang peranan penting pada kejadian penyakit ini. Apabila
orang tua (salah satu atau keduanya) menderita DM, maka kemungkinan anak-anaknya
menderita penyakit ini lebih besar. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu
sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya
DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen
HLA.
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan
insulin endogen.
c. Virus
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi
selbeta. Virus hepatitis B menyerang hati dan merusak kelenjar pankreas, sehingga sel beta
yang memproduksi insulin menjadi rusak.
d. Penyakit Pankreas
Peradangan pada sel beta mengakibatkan sel tersebut tidak dapat memproduksi insulin.
e. Gaya Hidup
Orang yang kurang gerak badan diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kegemukan dan
kesalahan pola makan.
f. Kelainan Hormonal
Hormon insulin yang kurang jumlahnya atau tidak berfungsi.

4. PATOFISIOLOGI
Penyakit diabetes melitus terjadi akibat berbagai faktor diantaranya virus hepatitis B yang
menyerang hati dan merusak kelenjar pancreas terutama sel Beta, kemudian terjadi gangguan
produksi insulin. Insulin bekerja merubah glukosa dalam darah menjadi energi atau tenaga yang
digunakan oleh sel, juga ikut mengatur metabolisme lemak dan protein dalam tubuh manusia.
Akibat kekurangan hormon insulin, glukosa dalam darah meningkat dan tidak digunakan dengan
baik oleh sel, bahkan glukosa hanya berkumpul di dalam darah dan beredar keseluruh tubuh. Akibat
naiknya kadar gula darah, penderita mengalami kelebihan gula dalam darah yang harus dikeluarkan
melalui urine. Glukosa merupakan zat yang bersifat hipertonik sehingga menyerap cairan tubuh,
terutama cairan ekstra seluler yang kemudian dikeluarkan melalui ginjal. Jika konsentrasi glukosa
dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring
keluar. akibatnya, glukosa tersebut muncul dalam urine (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan diekskresikan ke dalam urine, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit
yang berlebihan. Keadaaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan
yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria), dan rasa haus
(polidipsia).
Difisiensi insulin akan juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat
menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Kondisi fisik
yang terganggu, lesu dan sering mengantuk, meskipun penderita banyak makan (polifagia) tetapi
penderita tidak gemuk dan semakin kurus, sehingga penderita menjadi tidak produktif. DM
mengakibatkan perubahan-perubahan seperti arterosklerosis, diabetik neuropati, diabetik retinopati,
diabetik nefropati dan gangguan fungsi imunitas tubuh.
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenesis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa yang baru dari asam-asam amino serta
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan
lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang
akan mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping
pemecahan lemak. Badan Keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa
tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetic yang diakibatkannya dapat menyebabkan
tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas bau keton dan
bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.
PATOFISIOLOGI (Diagram)

Kerusakan sel α dan β pankreas


Transplantasi
pankreas

Kegagalan Produksi glukagon Peningkatan


Produksi insulin berlebih keton

Meningkatkan Produksi gula


Gula darah dari lemak dan Asidosis
protein

Osmolaritas Nafas bau


meningkat aseton

Polidipsi Poliphagi Membuang Fatique


Poliuri
Massa tubuh

Berat badan turun


Peningkatan gula darah kronik

Diabetik Penyakit pembuluh Diabetik Arterosklerosis


neuropati Darah kecil Retinopati

Gangguan
Diabetik
Kebutaan fungsi imun
nepropathi
- Berkurang
sensasi.
- Mati rasa
Dialisis
&perasaan geli
Transplantasi
pd ekstemitas.
Laser terapi Hipertensi,
Peningkatan
kadar LDL
Infeksi,
Gagal
Gangguan
ginjal penyembuhan
CAD luka
5. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien yang
mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang
normal, atau toleransi glukosa plasma sesudah makan karbohidrat. Adapun gejala klinisnya adalah:
a) Poliuria: sering kencing terutama malam hari. Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa
darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi
osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh
banyak kencing.
b) Polidipsi: Rasa haus yang berlebihan, walaupun cuaca tidak panas. Hal ini disebabkan
pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk
mengimbangi klien lebih banyak minum.
c) Poliphagia: cepat lapar. Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami
starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien
banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah
d) Berat badan menurun secara drastis, badan lemah dan cepat lelah. Hal ini disebabkan kehabisan
glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari
bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka
tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada
di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap
kurus
e) Kesemutan pada jari-jari tangan dan kaki serta gatal-gatal.
f) Penglihatan kabur. Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa-sarbitol fruktasi)
yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa,
sehingga menyebabkan pembentukan katarak.
g) Gairah seks menurun (impotensi pada pria, keputihan dan pruritus vulva pada wanita),
disebabkan oleh meningkatnya kadar gula darah yang dapat mempengaruhi syaraf tepi dan
otonom.
h) Luka sukar sembuh.
i) Ibu-ibu sering keguguran dan melahirkan bayi diatas 4 kg. (Soegondo, 2002, hal. 9)

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostic untuk menegakkan diagnosa DM (Doenges, 2010):
1. Glukosa darah: meningkat 200-100 mg/dL atau lebih.
2. Aseton plasma (keton): Positif secara mencolok.
3. Asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat.
4. Osmolalitas serum: meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/l.
5. Elektrolit:
Na: mungkin normal, meningkat atau menurun
K : normal atau peningkatan semu(perpindahan seluler), selanjutnya akan menurun
F : lebih sering menurun
6. Hemoglobin glikosilat: kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang
mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir (lama hidup SDM) dan
karenanya sangat bermanfaat dalam membedakan DKA dengan kontrol tidak adekuat versus
DKA yang berhubungan dengan insiden(mis: ISK baru).
7. Gas darah arteri: biasanya menunjukkan pH rendah dan penurunan pada HCO3
(asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik.
8. Trombosit darah: Ht meningkat (dehidrasi); leukositosis; hemokonsentrasi,
merupakan respons terhadap stres atau infeksi.
9. Ureum/kreatinin: mungkin meningkat atau normal (dehidrasi/penurunan fungsi
ginjal.
10. Amilase darah: mungkin meningkat yang menindikasikan adanya pankreatitis akut
sebagai penyebab dari DKA>
11. Insulin darah: mungkin menurun/bahkan sampai tidak ada (pada tipe I) atau normal
sampai tinggi (tipe II) yang mengindikasikan insufisiensi insulin/gangguan dalam
penggunaannya(endogen/eksogen). Resisten insulin dapat berkembang sekunder terhadap
pembentukan antibodi(autoantibodi).
12. Pemeriksaan fungsi tiroid: peningkatan aktifitas hormon tiroid dapat meningkatkan
glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
13. Urine: gula dan aseton positif; berat jenis dan osmolalitas mungkin meningkat.
14. kultur dan sensitifitas: kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi
pernafasan dan infeksi luka.

7. PENATALAKSANAAN
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan DM yang bertujuan untuk mencapai kadar glukosa
darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktifitas pasien, yaitu
(Smeltzer & Bare, 2002):
1. Pendidikan kesehatan DM ( Edukasi ).
2. Pengaturan aktivitas.
3. Pengaturan nutrisi ( Diet DM ).
4. Obat oral antihipertensi. ( OHO ).
5. Insulin.

8. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan untuk klien dengan DM (Doenges, 2010):
Aktivitas/istirahat.
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan.
Kram otot, tonus otot menurun. Gangguan tidur/istirahat.
Tanda : Takikardi, dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktivitas.
Letargi/disorientasi, koma.
Penurunan kekuatan otot.
Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi; IM akut.
Klaudikasi, kebas,kesemutan pada ekstremitas.
Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama.
Tanda : Takikardi.
Perubahan tekanan darah postural ; hipertensi.
Nadi yang menurun/ tidak ada.
Disritmia.
Krekles; DVJ (GJK).
Kulit panas, kering, dan kemerahan; bola mata cekung.
Integritas Ego
Gejala : Stres; tergantung pada orang lain.
Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi.
Tanda : Ansietas, peka rangsang.
Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih(poliuria).Nokturia.
Rasa nyeri terbakar, kesulitan berkemih (infeksi),ISK baru/berulang.
Nyeri teka abdomen.
Diare.
Tanda : Urine encer, pucat, kuning.
Urine berkabut, bau busuk (infeksi).
Abdomen keras, adanya asites.
Bising usus lemah dan menurun; hiperaktif (diare).
Makanan/Cairan
Gejala :Hilang napsu makan, haus.
Mual/muntah.
Tidak mengikuti diet; peningkatan masukan glukosa/karbohidrat.
Penurunan berat badan lebih dari periode beberapa hari/minggu.
Penggunaan diuretik.
Tanda : Kulit kering/bersisik,turgor jelek.
Kekakuan/distensi abdomen, muntah.
Pembesaran tiroid.
Bau napas aseton.
Neurosensori
Gejala :Pusing/pening.
Sakit kepala.
Kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia.
Gangguan penglihatan.
Tanda :Disorientasi; mengantuk,letargi,stupor/koma (tahap lanjut).Gangguan memori;kacau mental
Reflek tendon dalam (RTD) menurun (koma).
Aktivitas kejang (tahap lanjut dari DKA).
Nyeri/keamanan
Gejala :Abdomen ang tegang/nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati.
Pernapasan
Gejala :Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan atau tanpa sputum purulen.
Tanda :Lapar udara.
Keamanan
Gejala :Kulit kering, gatal;ulkus kulit.
Tanda : Demam,diaforesis.
Kulit rusak,lesi/ulserasi.
Menurunnya kekuatan umum/rentang gerak.
Parestesi/paralisis otot termasuk otot pernapasan.
Seksualitas
Gejala :Rabas vagina (cenderung infeksi).
Masalah impoten pada pria; kesulitan orgasme pada wanita
.
9. MASALAH KEPERAWATAN
a. Gangguan keseimbangan cairan: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan diuresis osmotik
b. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakcukupan insulin, intake yang kurang
c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa yang tinggi
d. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori-perseptual berhubungan dengan
ketidak seimbangan glukosa atau insulin
e. Kelelahan berhubungan dengan insufiensi insulin.
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang, kurang
pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya informasi.
g. Diagnosa kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan
kurangnya informasi

DAFTAR PUSTAKA
Black, J.M and E.M Jacobs. (1997). Medical Surgical Nursing: Clinical Management for
Continuity of Care. 5th Ed. Philadelphia: W.B Saunders Company.
Doenges, Moorhouse, and Murr. (2010). Nursing care plans: Guidelines for individualizing client
care across the life span edition 8. Philadelphia: FA. Davis Company.
Ignatavicius, D.D and M.L Workman.(2006). Medical Surgical Nursing: Critical Thinking for
Collaborative Care. 5th Ed. Missouri: Elsevier Saunders.
Smeltzer,S.C dan B.G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8 Volume 3. Penerjemah Agung Waluyo dkk. Jakarta: EGC.
Materi Lanjutan

RETINOPATI DIABETIK

1. Definisi
Retinopati diabetik adalah kelainan patologis mata yang disebabkan oleh perubahan dalam
pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata (Smeltzer & Bare, 2002). Retinopati adalah salah
satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa
(Sitompul, 2011). Retinopati diabetik adalah penyakit progresif kronik pada microvaskular retina
yang disebabkan oleh hiperglikemia yang telah lama terjadi dan kondisi lain yang berhubungan
dengan diabetes mellitus, seperti hipertensi (The Royal Collage of Ophthalmologist, 2012).
Berdasarkan ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa retinopati diabetik adalah kelainan
pembuluh darah di retina mata disebabkan oleh hiperglikemia yang berlangsung lama (penderita
Diabetes Mellitus.

2. Klasifikasi
Berikut adalah klasifikasi dari retinopati diabetik berdasarkan dengan standar Early Treatment
Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) (Sitompul, 2011):

Klasifikasi Retinopati DM Tanda pada Pemeriksaan Mata


Derajat 1 Tidak terdapat retinopati DM
Derajat 2 Hanya terdapat microaneurisma
Derajat 3 Retinopati DM non-proliferatif derajat ringan - sedang yang
ditandai oleh mikroaneurisma dan satu atau lebih tanda:
• Venous loops
• Perdarahan
• Hard exudates
• Soft exudates
• Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA)
• Venous beading
Derajat 4 Retinopati DM non-proliferatif derajat sedang-berat yang ditandai
oleh:
• Perdarahan derajat sedang-berat
• Mikroaneurisma
• IRMA
Derajat 5 Retinopati DM proliferatif yang ditandai oleh neovaskularisasi
dan perdarahan vitreous

3. Patofisiologi
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi melalui
beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs)
dan advanced glycation endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel
pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO), prostasiklin,
insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan memperparah kerusakan. Kedua,
hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose
reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian
mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel. Ketiga,
hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C (PKC). Vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF
menstimulasi ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya
ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan sawar
darah retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan
gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor
angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang
memiliki kelemahan pada membran basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan
kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam
retina dan vitreous.

Gambar 1.1 Penampang mata yang mengalami retinopati diabetik


4. Manifestasi Klinik
Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal tidak mengalami gejala penurunan tajam
penglihatan. Apabila telah terjadi kerusakan sawar darah retina, dapat ditemukan mikroaneurisma,
eksudat lipid dan protein, edema, serta perdarahan intraretina. Selanjutnya, terjadi oklusi kapiler
retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan serabut saraf retina sehingga terjadi
hambatan transportasi aksonal. Hambatan transportasi tersebut menimbulkan akumulasi debris
akson yang tampak sebagai gambaran soft exudates pada pemeriksaan oftalmoskopi. Kelainan
tersebut merupakan tanda retinopati DM nonproliferatif. Hipoksia akibat oklusi akan merangsang
pembentukan pembuluh darah baru dan ini merupakan tanda patognomonik retinopati DM
proliferatif. Kebutaan pada DM dapat terjadi akibat edema hebat pada makula, perdarahan masif
intravitreous, atau ablasio retina traksional.

5. Pemeriksaan Diagnostik
Angiografi Fluoresein
Diagnosis dilakukan dengan melihat langsung menggunakan oftalmoskop, atau dengan teknik
angiografi fluoresein (Smeltzer & Bare, 2002). Angiografi fluoresein dapat merekam tipe dan
aktivitas retinopati. Pada teknik ini zat warna disuntikkan ke vena lengan. Zat warna akan dibawa
ke seluruh tubuh, termasuk ke pembuluh darah di retina. Teknik ini memungkinkan dokter spesialis
mata dengan alat khusu melihat pembuluh darah retina secara jelas dan mendapat informasi yang
berguna yang tidak dapat diperoleh dengan oftalmoskop saja. Sebelum dilakukan pemeriksaan ini
maka perlu dilakukan persiapan pasien yang mencakup penjelasan tentang hal-hal berikut:
 Rangkaian langkah-langkah pelaksanaan prosedur
 Kenyataan bahwa prosedur tersebut tidak menimbulkan nyeri
 Efek samping yang dapat terjadi
 Jenis informasi yang dapat diberikan oleh teknik pemeriksaan ini
 Kilatan cahaya kamera mungkin menimbulkan sedikit gangguan rasa nyaman selama
beberapa saat
Funduskopi Direk
Pemeriksaan funduskopi direk bermanfaat untuk menilai saraf optik, retina, makula dan pembuluh
darah di kutub posterior mata (Sitorus, 2011). Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diminta
untuk melepaskan kaca mata atau lensa kontak, kemudian mata yang akan diperiksa ditetesi
midriatikum. Pemeriksa harus menyampaikan kepada pasien bahwa ia akan merasa silau dan
kurang nyaman setelah ditetesi obat tersebut. Risiko glaukoma akut sudut tertutup merupakan
kontraindikasi pemberian midriatikum. Pemeriksaan funduskopi direk dilakukan di ruangan yang
cukup gelap. Pasien duduk berhadapan sama tinggi dengan pemeriksa dan diminta untuk
memakukan (fiksasi) pandangannya pada satu titik jauh. Pemeriksa kemudian mengatur
oftalmoskop pada 0 dioptri dan ukuran apertur yang sesuai. Mata kanan pasien diperiksa dengan
mata kanan pemeriksa dan oftalmoskop dipegang di tangan kanan. Mula-mula pemeriksaan
dilakukan pada jarak 50 cm untuk menilai refleks retina yang berwarna merah jingga dan koroid.
Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan pada jarak 2-3 cm dengan mengikuti pembuluh darah ke arah
medial untuk menilai tampilan tepi dan warna diskus optik, dan melihat cup-disc ratio. Diskus optik
yang normal berbatas tegas, disc berwarna merah muda dengan cup berwarna kuning, sedangkan
cup-disc ratio <0,3. Pasien lalu diminta melihat ke delapan arah mata angin untuk menilai retina.
Mikroaneurisma, eksudat, perdarahan, dan neovaskularisasi merupakan tanda utama retinopati DM.
Terakhir, pasien diminta melihat langsung ke cahaya oftalmoskop agar pemeriksa dapat menilai
makula. Edema makula dan eksudat adalah tanda khas makulopati diabetikum.

6. Penatalaksanaan
Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Retinopati DM
nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita retinopati DM
nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan
rutin setiap 6-12 bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula
signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk mencegah perburukan. Laser
photocoagulation adalah terapi yang akan menghancurkan pembuluh darah yang pecah atau bocor
dan daerah-daerah neovasikularisasi (Smeltzer & Bare, 2002). Setelah dilakukan laser
photocoagulation, penderita perlu dievaluasi setiap 2-4 bulan. Penderita retinopati DM
nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani panretinal laser photocoagulation,
terutama apabila kelainan berisiko tinggi untuk berkembang menjadi retinopati DM proliferatif.
Panretinal laser photocoagulation harus segera dilakukan pada penderita retinopati DM proliferatif.
Tindakan ini dapat menurunkan kecepatan progresifitas retinopati kearah kebutaan. Tujuan tindakan
adalah menghentikan pertumbuhan pembuluh darah baru yang menyebar luas dan pendarahan dari
pembuluh darah yang pecah. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4 bulan pascatindakan. Apabila
terjadi retinopati DM proliferatif disertai edema makula signifikan, maka kombinasi focal dan
panretinal laser photocoagulation menjadi terapi pilihan. Setelah dilakukan terapi
photocoagulation sebagian besar pasien dapat kembali mengerjakan aktivitas yang biasanya
dilakukan pada hari selanjutnya. Biasanya hanya obat tetes mata anastetik yang diperlukan pada
saat terapi dilakukan. Vitrektomi dilakukan pada pasien yang telah menderita gangguan visual
akibat perdarahan vitreus yang tidak sembuh spontan setelah 6 bulan. Tujuannya adalah untuk
memulihkan penglihatan yang masih berfungsi; kesembuhan penglihatan hingga mendekati normal
bukan menjadi prioritas tindakan.

REFERENSI
Sitorus. (2011). Retinopati Diabetik. J Indon Med Assoc, 61(8). 337-341. 6 Jan 2014.
Smeltzer,S.C dan B.G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8 Volume 3. Penerjemah Agung Waluyo dkk. Jakarta: EGC.
The Royal Collage of Ophthamologists. (2012). Diabetic Retinopathy Guidelines. 6 Januari 2014.
www.rcophth.ac.uk.

Anda mungkin juga menyukai