Anda di halaman 1dari 9

Laporan Pendahuluan Hipoglikemia

Pipit Lestari/1206218890

1. Definisi
Hipoglikemia adalah kondisi di kadar gula darah dalam kapiler <4mmol/l atau <60mg/dL
(Brackerindge et al.,2005). Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatdaruratan yang
dapat terjadi akibat gangguan pada insulin maupun hipoglimia yang tidak bergantung
pada insulin. Terdapat dua jenis hipoglimia yaitu hipoglikemia yang disebabkan oleh
kelebihan penyuntikan insulin untuk asupa kalori dan tingkat olahraga pasien sehingga
menyebabkan kadar gula darah drop, biasa disebut syok insulin (Sherwood,2009).
Penyebab lain adalah akibat tumor pada sel beta pancreas yang menyebabkan sel beta
terlalu peka dengan kehadiran glukosa, sehingga isel beta memproduksi lebih banyak
insulin yang mendorong glukosa masuk ke sel. Kondisi ini disebut hipoglimia reaktif
(Sherwood, 2009).
Hipoglikemi akut dapat menyebabkan morbiditas pada pasien dengan penyakit kronik
atau pada lansia. Akan tetapi pada umumnya kejadian hipoglikemia yang terjadi pada
pasien di IGD adalah akibat dari DM. Hipoglikemia menyebabkan 3% kematian pada
pasien dengan DM tipe 1 (Ford et al, 2013). Hipoglikemia yang umumnya terjadi di IGD
adalah akibat dari managemen DM (Ford et al, 2013).
Hipoglikemia akut menunjukkan gejala Triad Whipple. Triad Whipple meliputi (Ford et
al., 2013):
a. Keluhan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah. Gejala otonom seperti
berkeringat, jantung berdebar-debar, tremor, lapar.
b. Kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L). Gejala neuroglikopenik seperti
bingung, mengantuk, sulit berbicara, inkoordinasi, perilaku berbeda, gangguan visual,
parestesi, mual sakit kepala.
c. Hilangnya dengan cepat keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.

2. Etiologi dan Patofisiologi


Penyebab terjadinya hipoglikemia dibedakan menjadi dua yaitu hipoglikemia yang
berhubungan dengan insulin dan yang tidak berhubungan dengan insulin. Hiperglikemia
yang berhubungan dengan insulin salah satunya adalah insulinoma, penggunaan insulin
eksogen (seperti pada DM), penggunaan obat sulfonylurea, dan hipoglikemi autoimun
(Habberman & Ghosh, 2008). Hipoglikemia yang tidak termediasi insulin biasanya
terjadi akibat penggunaan alcohol, defisiensi kortisol, gagal ginjal, gagal hati, sepsis, dan
tumor pada sekresi TGF II.
Pada pasien dengan DM, hipoglikemia adalah salah satu komplikasi yang sering terjadi
yang menyebabkan pasien masuk ke IGD. Hipoglikemia pada pasien DM biasanya
berhubungan dengan regimen pengobatan DM. Terapat beberapa factor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya hipoglikemia pada pasien DM, yaitu
a. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pasien
1. pengurangan/keterlambatan makan
2. kesalalahan dosis obat
3. latihan jasmani yang berlebihan
4. penurunan kebutuhan insulin
 penyembuhan dari penyakit
 nefropati diabetic
 hipotiroidisme
 penyakit Addison
 hipopituitarisme
5. Hari-hari pertama persalinan
6. penyakit hati berat
7. Gastro paresis diabetic
b. Faktor-faktor yang berkaitan dengan tindakan medis
1. pengendalian glukosa darah yang ketat
2. pemberian obat-obat yang mempunyai potensi hiperglikemik
penggantian jenis insulin.

Patofisiologi
Fisiologi normal pada saat tubuh mengalami hipoglikemia adalah penekanan sekresi
insulin pada kondisi dan pelepasan hormone aksi cepat seperi glucagon dan epinefrin
pancreas, polipeptida dari pankreas, norepinephrine, kortisol dari korteks adrenal,
hormon pertumbuhan dari anterior kelenjar di bawah otak.
Glukagon bertindak untuk meningkatkan produksi glukosa endogen melalui peningkatan
glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyediakan tiga karbon substrat glukosa (laktat,
piruvat, alanin, dan gliserol). Epinefrin meningkatkan glukosa endogen Epinefrin
memiliki efek yang serupa denan glukagon pada produksi glukosa hepatic tapi juga dapat
merangsang produksi glukosa renal. Epinefrin memiliki fungsi penting untuk mengurangi
sekresi insulin yang dirangsang oleh intake glukosa.
Apabila terjadi pemanjangan periode hipoglikemia akibat dari kegagalan system defense
pertama hal yang terjadi adalah berkurangnya penyerapan glukosa di jaringan perifer
yang memberikan. Aktivasi simpatis gugup sistem (baik melalui beredar katekolamin dan
persarafan langsung) meningkatkan lipolysis pada jaringan adipose yang menghasilkan
pelepasan asam lemak bebas (FFA). Hal ini berkonstribusi pada sparing glukosa karena
jaringan mendapatkan energy dari oksidasi asam lemak. Akan tetapi pelepasan epinefrin
dan norepinefrin pada saat terangsanya saraf simpatis menyebabkan gejala seperti
perspitasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar (Black & Hawks, 2009;
Smeltzer, et al, 2012).
Apabila terjadi hipoglikemia berkepanjangan hormon pertumbuhan dan kortisol
memainkan peran penting. Bahkan, counterregulatory yang tindakan hormon
pertumbuhan dan kortisol pada peningkatan produksi glukosa dan pembuangan glukosa
menahan tidak menjadi jelas sampai 4 jam setelah timbulnya hipoglikemia.

Apabila mekanisme counterhypoglikemia tidak mampu mengatasi kondisi hipoglikemi


makan sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik.
Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan
berkonsentrasi, sakit kepala,vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, pati rasa di daerah
bibir serta lidah, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku
yang tidak rasional, penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan. Kombinasi dari gejala
ini (di samping gejala adrenergik) dapat terjadi pada hipoglikemia sedang. Pada
hipoglikemia berat fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan yang sangat berat,
sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemia yang
di deritanya. Gejalanya dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan
kejang, sulit di bangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran (Black & Hawks,
2009; Smeltzer, et al, 2012). Pada pasien dengan DM tipe 1 dan DM tipe 2, seringkali
mekanisme counterregulasi hipoglikemi mengalami gangguan akibat dari hipoglikemia
berulang. Hal ini menyebabkan tubuh mengubah batas ambang reaksi untuk
countregulasi hiperglikemia. Kondisi ini menyebabkan terjadinya hiperglikemia tanpa
gejala (Desimon & Weinstock, 2016).
3. Manifestasi Klinis
Gejala hipoglikemia diklasifikasikan menjadi:
 Gejala awal atau Fase I yaitu gejala-gejala aktivas pusat autonom dan hipotalamus
sehingga hormon epinefrin di lepaskan, gejala awal ini merupakan peringatan karena
saat itu pasien masih sadar sehingga dapat di ambil tindakan yang perlu untuk
mengatasi hipoglikemia lanjut (Wolfson, 2010). Gejala ini meliputi (Black & Hawk,
2012) :
- Lapar        
- Mual-muntah
- Pucat,kulit dingin
- Sakit kepala
- Nadi cepat
- Hipotensi
 Fase II yaitu gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi
otak,karena itu di namakan gejala neurologist.
o Sakit kepala
o Pandangan kabur
o Kelemahan
o Bingung
o Koma
o Kesulitan dalam berfikir
o Ketidakmampuan dalam berkonsentrasi
o Perubahan dalam sikap emosi
o Kejang
4. Pengkajian Primer
1. Airways : Kaji kepatenan jalan napas klien, klien dengan hipoglikemia dapat
mengalami penurunan kesadaran yang menyebabkan lidah jatuh, kaji adanya benda
padat lain yang mungkin ada seperti aspirasi makanan akibat muntah.
2. Breathing : kaji frekuensi nafas, bunyi nafas, ada tidaknya penggunaan otot bantu
pernafasan, klien pada tahap awal biasanya gelisah, terjadi peningkatan RR,
3. Circulation : kaji HR pasien, capillary refill, palpitasi, persipitasi, kaji kemungkinan
adanya
4. Dissability : Kaji GCS klien, klien dengan hipoglikemia akan mengalami penurunan
kesadaran.
5. Expossure: kaji apakah ada trauma, kaji kemungkinan klien mengalami jatuh, karena
hipoglikemia pasien memiliki risiko jatuh yang tinggi.
5. Pengkajian Sekunder
1. Riwayat Penyakit
a) Tanda dan Gejala: Kaji tanda gejala hipoglikemia (lihat manifestasi klinis)
b) Alergi : Tanyakan apakah klien memiliki alergi makanan
c) Pengobatan: Tanyakan pada klien obat-obatan yang digunakan dan kapan terakhir
kali diminum
d) Riwayat Penyakit: Tanyakan pada klien riwayat penyakit: lihat kemungkinan DM,
tumor pancreas, gagal ginjal, penyakit hati (lihat etiologi).
e) Makanan Terakhir: Tanyakan pada klien makanan apa yang terakhir dimakan,
kapan waktu makan terakhir.
f) Penyebab: Tanyakan penyebab atau awal dirasakannya gejala pada klien.
g) Nyeri/kenyamanan: gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)Tanda :
Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati. Kaji PQRST untuk
menlai nyeri.
2. Pengkajian Head to Toe
3. Pengkajian Psikososial : Kaji adanya sttress, tergantung pada orang lain, masalah
finansial yang berhubungan dengan kondisi . Tanda : Ansietas, peka rangsang
4. Pemeriksaan Penunjang
6. Masalah Keperawatan
1. Dx: Ketidakefektivan Bersihan Jalan Napas bd Penurunan Kesadaran
Tanda dan Gejala
- Obstruksi jalan napas (lidah jatuh)
- Perubahan pola napas
- Perubahan RR
- Cyanosis
- Dispnea
- Kelelahan
Faktor yang berhubungan
Gangguan neuromuscular.
Tujuan Tindakan
Mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka dengan menahan palatum
tidak menempel pada epiglottis yang dapat menutup jalan akibat pasien tidak
sadar
Intervensi
Manajemen Jalan Napas
- Kaji suara napas pasien
- Posisikan health tilt chin lift
- Pasang OPA, apabila pasien koma. NPA apabila pasien masih sadar.
- Monitor RR, Suara napas, saturasi oksigen
Terapi Oksigen
- Kolaborasi pemberian oksigen nasal kanul 2-3 l/menit
- Monitor aliran oksigen
2. Defisit Volume Cairan bd Muntah
3. Risiko Injury
7. Penanganan Kegawatdaruratan
1. Glukosa oral
Setelah dignosa hipoglikemi ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler,
berikan 15 gram glukosa oral, berikan makanan karbohidrat sederhana kurang lebih 60
kalori.
2. Glukosa intravena
Pada pasien koma hipoglikemi diberikan injeksi glukosa 50% intravena 25 mL yang
diencerkan 2 kali
Injeksi glukosa 50% intravena 25 mL
1 flash Bila kadar glukosa 60-90 mg/dL 1 flash dapat meningkatkan kadar
2 flash Bila kadar glukosa 30-60 mg/dL
glukosa 25-50 mg/dL.
3 flash Bila kadar glukosa < 30 mg/dL
Kadar glukosa yang diinginkan >
120 mg/dL
3. Bila belum sadar, dilanjutkan infus maltosa 10% atau glukosa 10% kemudian
diulang 25 cc glukosa 40% sampai penderita sadar.
4. Injeksi metil prednisolon 62,5 – 125 mg intravena dan dapat diulang. Dapat
dikombinasi dengan injeksi fenitoin 3 x 100 mg intravena atau fenitoin oral 3 x 100
mg sebelum makan.
5. Injeksi efedrin 25 -50 mg (bila tidak ada kontra indikasi) atau injeksi glukagon 1 mg
intramuskular. Kecepatan kerja glukagon sama dengan pemberian glukosa intravena.
Bila penderita sudah sadar dengan pemberian glukagon, berikan 20 gram glukosa
oral dan dilanjutkan dengan 40 gram karbohidrat dalam bentuk tepung untuk
mempertahankan pemulihan. Bila koma hipoglikemia terjadi pada pasien yang
mendapat sulfonilurea sebaiknya pasien tersebut dirawat di rumah sakit, karena ada
risiko jatuh koma lagi setelah suntikan dekstrosa. Pemberian dekstrosa diteruskan
dengan infus dekstrosa 10% selama ± 3 hari. Monitor glukosa darah setiap 3-6 jam
sekali dan kadarnya dipertahankan 90-180 mg%. Hipoglikemia karena sulfonilurea
ini tidak efektif dengan pemberian glukagon.
8. Algoritma

Sumber: Department of Emergency Medicine, Vanderbilt University Medical Center


dalam Ford (2013)

9. Pemantauan (Ford et al., 2013)


- Pantau GDS setiap jam
- Pantau tanda vital setiap jam
- Evaluasi tanda dan gejala seperti RR, HR, kesadaran.
10. WOC (terlampir)
11. Referensi
Black, J.M., & Hawks, J.K. (2009). Medical Surgical Nursing. Eight Edition. Singapore:
Saunders Elsevier
Brackenridge, A., Wallbank, H., Lawrenson, R. A., & Russell‐Jones, D. (2006).
Emergency management of diabetes and hypoglycaemia. Emergency Medicine
Journal : EMJ, 23(3), 183–185. http://doi.org/10.1136/emj.2005.026252
Desimone ME, Weinstock RS.(2016) Non-Diabetic Hypoglycemia. [Updated 2016 Mar
25]. In: De Groot LJ, Chrousos G, Dungan K, et al., editors. Endotext [Internet].
South Dartmouth (MA): MDText.com, Inc.; 2000-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK355894/
Ford, W., Self, W. H., Slovis, C., & McNaughton, C. D. (2013). Diabetes in the
Emergency Department and Hospital: Acute Care of Diabetes Patients. Current
Emergency and Hospital Medicine Reports, 1(1), 1–9.
http://doi.org/10.1007/s40138-012-0007-x
Habbermann, M., Ghosh, A. (2008). Mayoclinic Internal Medicine. Bhaton: Taylor and
Francis book
Wolfson, A.B. (2010). Harwood-Nuss' clinical practice of emergency medicine.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai