Anda di halaman 1dari 6

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN

TEKNOLOGI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA
INGGRIS
Kampus Universitas Negeri Jakarta, Jalan Rawamangun Muka, Jakarta 13220 Telp. (021) 4896706

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL (115) TAHUN AJARAN 2021/2022


Mata Kuliah : Estetika
Dosen : Dr. Sudarya Permana, M. Hum.
Diberikan : 29 Oktober 2021
Diserahkan : 4 November 2021

Petunjuk Umum:
 Jawablah semua soal dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
 Pengetikan dilakukan dengan Times New Romans, font 12, dan spasi satu.
 Jawaban diserahkan paling lambat Kamis, 4 November 2021 pukul 23.59 WIB ke
sudaryapermana@unj.ac.id.
 Jawaban yang terindikasi jiplakan antarsejawat keduanya tidak akan dinilai.

Pertunjuk Khusus:
Jawablah soal dengan memerhatikan hal-hal berikut:
 Jawaban terdiri dari 200-400 kata.
 Berikan rujukan/kutipan pendapat pakar untuk setiap argumen utama yang Anda gunakan.
 Pengutipan tidak dilakukan dengan cara menyalin teks aslinya (copy-paste), tetapi dengan
menyampaikannya melalui kata-kata Anda sendiri (paraphrase) terhadap gagasan yang
dimaksudkan penulis aslinya.
 Sebutkan sumber rujukan/kutipan yang Anda gunakan untuk mendukung pengembangan
jawaban dengan menyebutkan nama belakang pakar, tahun, dan halamannya. Pengutipan
dapat dilakukan melalui salah satu contoh berikut:

Teks sumber: Semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek yang mendasar,
yakni wujud, bobot, dan penampilan.

(Sumber: Estetika: Sebuah Pengantar karangan A.A.M. Djelantik, 1999, hlm. 17, diterbitkan
oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia)

Pengutipan:
 Terdapat tiga unsur dalam estetika, yaitu wujud, bobot, dan penampilan (Djelantik,
1999: 17).
 Djelantik (1999: 1) menjelaskan bahwa terdapat tiga unsur dalam estetika, yaitu
wujud, bobot, dan penampilan.
 Menurut Djelantik (1999: 1), terdapat tiga unsur dalam estetika, yaitu wujud, bobot,
dan penampilan.

 Untuk kesemua soal, minimal digunakan enam rujukan/kutipan dan setiap soal diberikan
minimal tiga rujukan/kutipan.
 Rujukan/kutipan yang digunakan berasal dari Kitab Suci, buku, artikel/jurnal ilmiah, surat
kabar, atau majalah.

1
 Tuliskan daftar rujukan/kutipan (references) dengan menggunakan sistem APA (American
Psychological Association). Contoh:

Djelantik, A.A.M. (1999). Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni


Pertunjukan Indonesia.

Cohen, L., Manion, L., dan Morrison, K. (2007). Research Methods in Education (6th
Ed.). New York: Routledge.

Hur, M. H. (2006). “Empowerment in Terms of Theoretical Perspectives: Exploring a


Typology of the Process and Components across Disciplines”. Journal of
Community Psychology. 34(5): 523-540.

 Susunlah daftar rujukan berdasarkan urutan abjad.


 Berikan contoh, data statistik, pengalaman pribadi, dan lain-lain yang dianggap dapat
mendukung dan menguatkan argumentasi Anda jika memungkinkan.

Soal:
1. Jelaskan keterkaitan antara estetika, kebaikan, dan kebenaran.
2. Jelaskan bagaimana warna memiliki peranan dalam estetika.
3. Jelaskan bagaimana seni karikatur merupakan cara yang efektif dalam pengembangan jiwa
estetis seseorang.
4. Apa pendapat Anda tentang struktur atau susunan gedung berikut ditinjau dari aspek keutuhan,
penonjolan, dan keseimbangan sebagai sebuah objek estetis atau karya seni?

“Selamat mengerjakan.”
Nama: Apricelia Amanda Putri Nugroho
NIM: 1202620047
Kelas: 20 DB
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------
Jawaban:
1. Jelaskan keterkaitan antara estetika, kebaikan, dan kebenaran.
Estetika atau keindahan ialah suatu unsur atau entitas yang sangat erat kaitannya dengan
indera penglihatan manusia yang di dalamnya juga terdapat unsur kebaikan dan kebenaran.
Seperti yang didefinisikan oleh Losche dan Howard Morphy (1994: 181), estetika dapat diartikan
sebagai segala sesuatu yang memiliki kaitan dengan bagaimana sesuatu tersebut meminta
perhatian indera visual atau penglihatan manusia, yaitu mata, yang dihasilkan dari individu yang
melihat atau menikmatinya. Sedangkan Darsono Sony Kartika (2004: 2) mengartikan estetika
atau keindahan berdasarkan asal katanya dalam Bahasa Inggris yaitu beautiful yang diambil dari
kata dalam Bahasa Latin, yaitu bellum. Bellum sendiri berakar pada sebuah kata Latin yaitu
bonellum yang memiliki arti kebaikan. Balthasar (1985) memberi pemahaman bahwa estetika
memiliki sebuah nilai kebenaran yang dimana kebenaran tersebut dapat tercapai jika individu
telah berada di tahap suka cita secara bersama.
Balthasar (1985) kemudian juga menyebutkan bahwa dirinya membagi estetika menjadi 3
konsep trilogi, yaitu bonoun yang artinya kebaikan, verun yang artinya kebenaran, dan pulchrum
yang artinya keindahan. Balthasar yang notabene adalah seorang pilar teologi Katolik
menyatakan bahwa Salib Yesus Kristus sangat erat kaitannya dengan nilai estetika. Hal ini
dikarenakan kejadian, peristiwa, dan cerita yang menyeelimuti Salib tersebut sangat
mengagumkan, penuh dengan pengorbanan cinta Yesus Kristus yang tentunya penuh dengan
keindahan, kebaikan, dan juga kebeenaran. Ketika mencintai keindahan, kebenaran, dan
kebaikan yang ada di dunia, seseorang juga telah mencintai Allah secara langsung, sebab bonum,
verum, dan pulchrum yang dicintainya adalah ciptaan Tuhan yang telah dibentuk dengan rupa
yang seindah, sebaik, dan sebenar mungkin. Semua keindahan, kebaikan dan kebenaran yang
duniawi adalah salah satu contoh partisipasi kecil yang menandakan keberadaan Allah yang
adalah bonum, verum, dan pulchrum. Salah satu bentuk memuliakan Sosok Yang Mulia ini, kita
perlu mengimani-Nya. Karena berawal dari iman, kita dapat mencintai dan mengagumi sosok
keindahan-Nya.
Dapat disimpulkan bahwa estetika sangat erat kaitannya dengan kehidupan yang di
dalamnya selalu terdapat unsur kebaikan dan kebenaran. Kebaikan dan kebenaran dalam
kehidupan manusia harus selalu tercermin dalam semua perbuatan yang dilakukan manusia di
dunia yang kemudian kebenaran dan kebaikan ini akan membawa manusia kepada suatu kesuka-
citaan kehidupan. Seperti contohnya, Tuhan memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu
tidak hanya sebatas benar dan baik, tetapi hal tersebut harus dibumbui dengan estetika atau
keindahan, karena Tuhan adalah zat yang mencintai keindahan.

2. Jelaskan bagaimana warna memiliki peranan dalam estetika.

Susanto (2021: 433) mendefinisikan warna sebagai suatu gelombang yang berasal dari
pantulan cahaya terhadap benda yang kemudian diterima oleh indera visual atau penglihatan
atau mata manusia. Kartika (2017: 46) juga memberikan pemahaman mengenai warna yaitu
sebagai unsur yang merepresentasikan objek yang ada di dunia nyata yang kehadirannya
dianggap sebagai perkembangan sifat objek nyata disekitar kita dan menggambarkan suatu
objek sesuai dengan yang kita lihat pada wujud dan bentuk aslinya. Dapat disimpulkan bahwa
warna adalah sebuah unsur dalam estetika yang memberi kesan pada indera penglihatan para
individu yang melihat, sehingga objek-objek nyata yang ada disekitar kita dapat terinterpretasi
dan tergambarkan dengan baik sesuai dengan wujud aslinya di dunia nyata.

Dalam bukunya, Quraish Shihab (1996) menyatakan bahwa estetika adalah ekspresi ruh
dan kebudayaan manusia yang di dalamnya terkandung keindahan yang hakikatnya lahir dari
sisi terdalam manusia atas dasar kecenderungan seniman yang menginginkan keindahan apapun
itu jenisnya. Sedangkan menurut Sudjoko (1988), ia menganggap bahwa estetika merupakan
aspek yang harus selalu ada pada setiap seni yang mengandung kecakapan, kepandaian,
keterampilan, ketangkasan, dan kemahiran dari suatu seniman.

Sehingga, dari definisi warna dan estetika yang telah dikutip dari para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa keterkaitan dan peran warna dengan estetika adalah suatu aspek yang selalu
menjadi satu kesatuan dengan estetika, yang perannya adalah mewakili, merepresentasikan, dan
menggambarkan suatu objek yang tergambar dalam sebuah seni sesuai dengan wujud aslinya
atas dasar kecenderungan keindahan oleh si pembuat seni yang karya seni nya mengandung
kecakapan, kepandaian, keterampilan, ketangkasan, dan kemahiran. Warna akan menambah
kesan yang lebih menarik pada sebuah seni dan akan menambah kekuatan untuk
membangkitkan rasa keindahan yang kemudian kesan itu akan ditangkap oleh indera
penglihatan manusia. Selain itu, warna juga dapat membantu sebagai pengenal dan identitas
suatu objek. Setiap warna juga dapat menggambarkan karakter nya masing-masing. Seperti
contoh, kuning menggambarkan keceriaan dan rasa semangat, sedangkan merah melambangkan
emosi dan amarah yang membara.

3. Jelaskan bagaimana seni karikatur merupakan cara yang efektif dalam


pengembangan jiwa estetis seseorang.

Karikatur adalah sebuah ilustrasi yang merefleksikan kondisi atau peristiwa yang sedang
terjadi saat ini yang lebih menjurus pada arah menyindir, Seperti yang dikemukakan oleh
Sachari (2001: 55-56), beliau mendefinisikan karikatur sebagai salah satu bentuk seni yang
sifatnya berlebihan yang berguna untuk memperlihatkan ciri khas seorang tokoh yang sedang
dibahas, atau makna suatu peristiwa yang sedang diangkat dan dianggap penting. Meski bersifat
menyindir, mengkritik, dan mengandung unsur satiris pendek kepada seorang individu, suatu
komunitas, atau suatu peristiwa, karikatur tetap mengandung sedikit unsur humor sehingga
karikatur juga memiliki fungsi sebagai ilustrasi hiburan. Hal ini turut disampaikan Efix Mulyadi
(2011: 6), ia berpendapat bahwa karikatur adalah suatu karya seni 2 dimensi yang selain
mengandung kritikan dan olokan, ia juga memiliki sedikit unsur humor, sehingga tidak membuat
target sindiran terlalu marah.
Seni karikatur memuat nilai estetika, moralitas, dan penyampaian pesan atau kritikan atas
peristiwa nyata yang sedang hangat di suatu waktu. Untuk itu, seniman karikatur dituntut untuk
bisa mengekspresikan suatu gagasan dengan baik. Gagasan-gagasan yang berbentuk kritikan
tersebut akan dikemas menjadi sebuah ilustrasi yang berfungsi untuk membahas masalah sosial,
namun masih tetap bersifat jenaka. Seniman harus bisa menarik perhatian para pembaca dengan
mengambil topik yang menarik dan dipadukan dengan gambar yang menarik pula, harus
menjadi media komunikasi yang efektif, kritis, kreatif, dan mudah dipahami.
Dengan banyaknya aspek yang perlu diperhatikan dalam pembuatan karikatur, membuat si
seniman harus terus memutar otak dalam pembuatannya. Ini akan membuat jiwa estetis seniman
lambat laun akan semakin tajam karena ia terus mencari dan memperoleh inspirasi.
4. Apa pendapat Anda tentang struktur atau susunan gedung berikut ditinjau dari aspek
keutuhan, penonjolan, dan keseimbangan sebagai sebuah objek estetis atau karya
seni?

Djaelantik (1999: 42) menyatakan bahwa karya seni memiliki 3 struktur, yaitu keutuhan,
penonjolan atau penekanan, dan keseimbangan. Lalu disampaikan juga bahwa dalam keutuhan
terdapat 3 aspek lainnya yaitu kesimetrisan, ritme, dan keharmonisan. Kesimetrisan menurut
Oshborne (1986: 77) dapat diartikan sebagai suatu kondisi satu kesatuan yang menjadi kunci
kesempurnaan dan keindahan dalam suatu karya seni. Dari Menara Pisa yang terletak di Italia
ini dapat terlihat kurangnya aspek kesimetrisan. Posisi dari struktur Menara ini tidak berdiri
dengan tegak lurus, melainkan miring ke sisi kiri Menara. Namun hal ini lah yang menajdi daya
Tarik bangunan ini, dan ini lah yang menjadi alas an mengapa Menara ini disebut sebagai
Menara miring. Aspek kedua dari struktur seni adalah aspek ritme. Kartika (2004: 57)
mendefinisikan ritme sebagai kondisi dimana sebuah karya seni menunjukan adanya unsur
pengulangan secara teratur. Keteraturan ini dapat berupa jarak, tempo, garis, waktu, warna, dan
lain-lain. Pengulangan disini dapat diartikan sebagai ruang kosong antara 2 wujud benda. Dari
gambar Menara Pisa ini, dapat kita lihat bahwa terdapat aspek ritme atau irama pada bangunan
ini, yaitu pengulangan pilar yang disusun secara teratur mulai dari lantai paling dasar hingga
lantai tertinggi. Pilar disusun dengan interval atau ukuran jarak yang sama besar antara 1 pilar
dengan pilar lainnya, sehingga membentuk komposisi yang indah dan terasa nikmat untuk
dipandang. Aspek terakhir dari keutuhan adalah keharmonisan. Menurut Agus Sachari (2004:
68), keharmonisan merupakan suatu kondisi keselarasan dan kesinambungan antara bagian yang
menyusun suatu karya seni, sehingga semuanya terlihat berpadu. Dari Menara Pisa yang terletak
di Italia ini, dapat kita lihat terdapat unsur keharmonisan di dalamnya. Yaitu proporsi bangunan
pada Menara ini memiliki ukuran yang lebih besar dari bawah dan mengecil di atas. Hal ini
berfungsi sebagai penguat pondasi agar bangunan Menara ini tidak mudah roboh, dengan kata
lain, bentuk proporsi seperti ini dapat memperkuat struktur pondasi.

Unsur kedua adalah penonjolan. Penonjolan atau Dominance menurut Fajrul Falah (2018:
18) dapat didefinisikan sebagai aspek yang paling dianggap penting yang ditandai dengan
kontras atau ciri khusus dari sebuah karya seni. Di Menara ini kita dapat menyimpulkan bahwa
unsur yang ingin ditunjulkan adalah posisi Menara yang miring. Hal ini membuat Menara ini
menjadi lebih unik, menarik, dan ikonik. Unsur karya seni yang terakhir adalah keseimbangan.
Suryahadi (1994: 11) mengungkapkan bahwa keseimbangan merupakan suatu perasaan
kesejajaran, kestabilan, dan kekuatan dari sebuah struktur karya seni. Unsur keseimbangan tidak
dapat kita temukan di Menara ini lantaran bentuk strukturnya yang miring ke kiri Menara
sehingga menimbulkan ketidakseimbangan pada bangunan ini.
Referensi
Agus, S. (2004). Seni Rupa Dan Desain. Jakarta: Gelora Aksara Pratama Erlangga.
Balthasar, V., Urs, H. (1982). The Glory of the Lord: A Theology Aesthetics: Volume I:
Seeing the Form. Trans, Erasmo Leiva-Merikakis, San Fransisco: Ignatius Press.
Djaelantik, A.A.M. (1999). Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
Falah, F. (2018). Estetika Batik Tulis Motif “Bintang Laut” Pekalongan, Jawa Tengah.
Kartika, D.S. (2004). Pengantar estetika. Bandung: Rekayasa Sains.
Kartika, D.S. (2004). Seni Rupa Modern. Bandung: Rekayasa Sains.
Kartika, D.S. (2017). Seni Rupa Modern. Bandung: Rekayasa Sains.
Losche., Morphy, H. (1994) “From Dull to Brilliant: The Aesthetics of Spiritual Power
among the Yolngu” dalam Anthropology, Art, and Aesthetics. Jeremy Coote & Anthony Shelton
(eds.). Oxford, New York, Toronto: Oxford University Press Inc.
Mulyadi, E. (2014). Asam Garam Bentara. Jakarta: Bentara Budaya.
Osbourne, H. (1986). “Symmetry as an Aesthetics Factor”. Computer. & Mathematics.
with Applications. Vol. 12B, Nos. I/2. hlm.. 77-82
Sachari, A. (2001). Estetika. Bandung: ITB.
Shihab, Q. (1996). Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Suryahadi, A. (1994). Pengembangan Kreativitas Melalui Seni Rupa. Yogyakarta:
Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran
Guru Kesenian.
Susanto, M. (2012). Diksi Rupa. Yogyakarta: Dictiart Lab.

Anda mungkin juga menyukai