Menurut Havighurst, tugas perkembangan tiap individu memiliki 6 fase, namun dalam
permasalahan yang terdapat di artikel ini dan berdasarkan grafik jumlah peserta didik yang
melakukan PJJ, hanya terdapat 4 fase tugas perkembangan, yaitu:
1) Tugas perkembangan fase kanak-kanak awal: Diwakili anak-anak PAUD usia 3-5
tahun, di fase ini kanak-kanak membutuhkan pengenalan dengan lingkungannya,
lebih ekspresif dalam mengungkapkan perasaannya, dan lebih emosional. Namun,
pandemi menyebabkan 7,4 juta anak PAUD melakukan PJJ di rumah yang
menyebabkan berkurangnya interaksi anak dengan lingkungan secara langsung, lebih
sulit mengungkapkan perasaan melalui media digital, secara emosional mereka
kurang terkontrol karena kurangnya pengawasan langsung dari orangg tua dan guru.
2) Tugas perkembangan fase kanak-kanak akhir: Diwakili anak-anak SD/ MTs/
sederajat dengan rentang usia 6-12 tahun, di fase ini mereka perlu memulai belajar
bergaul secara rukun dengan teman sebaya dan mempelajari keterampilan fisik yang
diperlukan untuk permainan tertentu. Sekitar 28,6 juta siswa SD/ MTs/ sederajat harus
mengalami PJJ yang mengakibatkan hilangnya interaksi dan aktifitas secara langsung
dengan teman sebaya yang harusnya bisa didapatkan saat sekolah tatap muka.
Bahkan, menurut artikel ini sekitar 20% anak merindukan teman-teman sekolah
maupun bermainnya.
3) Tugas perkembangan fase remaja: Diwakili anak-anak SMP dan SMA usia 12-18
tahun, di fase ini mereka lebih aktif daripada fase-fase sebelumnya, memperoleh
kebebasan diri, dan mereka kurang stabil sehingga masih sangat membutuhkan
bimbingan orang tua dan guru. Sekitar 24,4 juta siswa SMP dan SMA harus
melakukan PJJ di rumah yang mengakibatkan terhambat keaktifan remaja, tidak dapat
memperoleh kebebasan diri karena terus melakukan semua kegiatan di rumah (merasa
bosan dan terkekang), dan kurang memperoleh bimbingan dan pengawasan dari guru
secara langsung. Bahkan, sekitar 47% remaja dan anak mengalami rasa bosan karena
terlalu lama berada di rumah akibat PJJ.
4) Tugas perkembangan fase dewasa awal: Diwakili oleh peserta didik pendidikan
tinggi dengan rentang usia 19-25 tahun. Di fase ini mereka memulai suatu jabatan,
menerima tanggung jawab sebagai warga negara, dan menemukan kelompok sosial
yang cocok. Sekitar 6,7 mahasiswa Pendidikan tinggi melakukan PJJ yang
mengakibatkan adanya hambatan saat mengadakan diskusi organisasi yang
fasilitasnya terbatas, sulit mencari kelompok sosial yang cocok karena tidak bisa
berinteraksi dan menilai kelompok tersebut secara langsung.
2. Materi 2: Fase Perkembangan
Menurut Hurlock, dalam fase perkembangan, terdapat 5 prinsip perkembangan, yaitu:
1) Dasar-dasar permulaan adalah sikap kritis
2) Peran kematangan dan belajar
3) Mengikuti pola tertentu yang dapat diramalkan
4) Semua individu berbeda
Berdasarkan artikel ini, kegiatan PJJ akan menghambat sikap kritis seorang individu,
karena kegiatan ini mengakibatkan banyak siswa yang kurang memahami materi yang
disampaikan pengajar, sehingga membuat mereka jadi kurang kritis. Sekitar 35% siswa yang
melakukan PJJ di rumah merasa khawatir tertinggal pelajaran karena sulitnya mencerna
materi dari pengajar melalui media digital seperti Zoom, Google Meet, dan lain-lain. Peran
kematangan dan belajar juga akan berkurang karena proses PJJ membuat siswa belajar
dengan kurang maksimal, sehingga mereka tidak bisa mengembangkan karakteristik yang
secara potensial sudah ada pada tiap individu yang diwariskan dari genetik.
Yang ketiga adalah mengikuti pola tertentu yang dapat diramalkan. Perkembangan
setiap individu tidak akan pernah berubah dan selalu sama, perbedaannya hanya terdapat
pada kecepatan. Perbedaan kecepatan ini bergantung pada intelektual seorang individu.
Kegiatan PJJ mungkin saja dapat menghambat intelektual seorang individu, karena proses
belajar menjadi kurang maksimal. Keempat, semua individu berbeda. Hal ini bisa disebabkan
oleh faktor lingkungan, seperti lingkungan sekolah dan lingkungan teman sebaya yang
kurang bisa berinteraksi secara langsung dan individu akan kehilangan masa-masa
beradaptasi langsung dengan lingkungan.
PAUD terdiri dari anak-anak pada fase phallic, yaitu 3-5 tahun. Pada masa PJJ,
tentunya proses pembelajaran tidak maksimal, oleh karena itu peran orang tua sangat lah
penting dalam mengawasi PJJ ini, terlebih, anak pada fase ini senang apabila ditemani
dengan orang tua yang berlainan jenis kelamin. Masa sekolah dasar terjadi pada fase laten,
yaitu 5-12 tahun. Di fase ini, anak mulai beradaptasi dengan kegiatan sekolah dan bermain,
PJJ tentunya kurang dapat mengembangkan anak dalam fase ini, karena anak memerlukan
interaksi dan sosialisasi secara langsung dengan teman sebaya dan lingkungan sekolahnya
karena SD merupakan tingkatan sekolah pertama bagi anak. Dan tahap terakhir berada pada
jenjang SMP, yaitu fase genital dimana usia anak 12 tahun atau puber. Di fase ini anak
memiliki tingkat emosional yang sangat tinggi, dengan adanya PJJ, banyak anak yang kurang
bisa memahami materi pembelajaran dan tugas yang banyak mengakibatkan mereka mulai
merasa jenuh dan lelah, akhirnya mereka mudah marah saat berada di rumah. Di masa puber
ini, terjadi kematangan seksualitas. Jika tidak diawasi dengan baik, bisa saja mereka
menggunakan media elektronik dan digital untuk memuaskan hasrat seksual mereka, karena
selama PJJ anak-anak akan menguras cukup lama di depan layar digital.
Sedangkan pada tahap Identity vs Identity Confusion pada usia 12-18 tahun,
merupakan masa pubertas yang ditandai dengan pencarian jati diri dengan mencoba banyak
hal. Dengan adanya PJJ, remaja menjadi kurang bisa bersosialisasi dan berinteraksi langsung
dengan lingkungan sekitarnya, sehingga mereka tidak bisa menemukan perannya di tengah
masyarakat dan tidak menemukan jati dirinya.
Sedangkan orang tua merupakan model yang tidak kalah pentingnya juga
dibandingkan guru. Orang tua merupakan bahan pengamatan terdekat dari seorang anak.
Oleh karena itu di masa PJJ ini, orang tua harus lah mengawasi anaknya agar dapat memfilter
mana kah model yang baik untuk ditiru dan mana yang tidak. Orang tua tentunya juga harus
memberikan contoh perilaku dan moral yang baik di depan anak.
Yang ketiga adalah exosystem, meliputi lingkungan kerja orang tua, kenalan saudara
baik adik, kakak, atau saudara lainnya, dan peraturan dari pihak sekolah. Lingkungan ini juga
berpengaruh bagi kondisi anak terutama selama PJJ karena jika lingkungan ini kurang baik
dan kurang mendukung, maka akan menghambat proses PJJ anak. Yang keempat adalah
Macrosystem, di dalam lingkungan ini, pemerintah sangat berperan penting pada proses PJJ
anak, seperti mengakomodasi paket data, buku teks, buku bergambar, dan alat membuat
kesenian. Yang kelima adalah chronosystem, yang merupakan lingkungan terluar dari
seorang anak, seperti keadaan teknologi. Dalam kondisi PJJ, teknologi tentunya juga sangat
penting, karena jika teknologi tidak memadai, seperti perangkat computer, laptop, dan ponsel
pintar, maka PJJ tidak akan berlangsung dengan baik dan akan terhambat. Karena menurut
survei, sebanyak 7% siswa tidak memiliki perangkat yang memadai untuk melakukan proses
PJJ.
Lalu ada down sindrom. Anak dengan gangguan ini memerlukan bimbingan yang
lebih jauh dibandingkan dengan anak normal lainnya, terutama di masa PJJ. Yang kelima
adalah Tunadaksa, yaitu keadaan dimana seorang anak mengalami gangguan otot atau cacat
tubuh. Dalam masa PJJ tentunya mereka juga memerlukan bantuan dan dukungan orang tua
dalam mengakses pembelajaran online. Yang keenam adalah Tunalaras, yaitu seseorang yang
mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi, sehingga dalam proses PJJ orang tua perlu
mendukung anaknya agar orang tua bisa menenangkan emosi mereka ketika mereka merasa
tertekan. Yang terakhir adalah Autis. Anak dengan gangguan ini mengalami hambatan dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, jadi di masa PJJ orang tua tentunya harus
membantu anak berinteraksi dengan teman dan gurunya dari media digital.
Dalam pemberlakuan kegiatan PJJ, semua pihak tentunya bertanggung jawab dalam
hal ini. Pihak pertama adalah pemerintah. Pemerintah tidak hanya harus mengakomodasi
proses PJJ dengan paket data setiap bulan (karena sebanyak 28% peserta PJJ mengeluhkan
butuh paket data untuk proses PJJ), namun pemerintah juga harus memberikan buku teks,
buku bergambar, dan alat dalam membuat kerajinan atau kesenian. Selain itu, pemerintah
seharusnya membedah kembali kurikulum PJJ bagi para ABK (Anak Berkebutuhan Khusus),
karena masa-masa seperti ini tentunya menyulitkan mereka dalam melakukan proses
pembelajaran, dengan dibuatnya kurikulum PJJ untuk para ABK, mereka akan merasakan
keadilan dalam bidang Pendidikan yang memang seharusnya merupakan hak semua anak.
Pihak selanjutnya adalah guru dan sekolah. Mereka selaku pemegang sektor
pendidikan merupakan pihak yang paling berperan dalam proses PJJ. Mereka harus bisa
menciptakan lingkungan dan proses PJJ yang menyenangkan, sehingga para siswa tidak
jenuh dan frustasi dalam proses ini. Para guru juga harus lebih giat lagi dalam memberikan
materi-materi pembelajaran, sehingga para siswa dapat memahaminya dengan baik. Karena
menurut survey, 10% guru yang melakukan PJJ hanya memberikan tugas yang tidak sesuai
dengan level belajar siswa, dan sebanyak 38% peserta didik merasa kurang dibimbing oleh
gurunya.
Pihak terakhir yang keberadaannya paling dekat dengan anak adalah orang tua. Orang
tua harus lah memberi dukungan, pengawasan, dan perhatian lebih pada anak dalam
menghadapi PJJ. Berkomunikasi dengan anak dan guru sangat lah penting agar tua tau
bagaimana perkembangan anak mereka. Orang tua tentunya tidak boleh menggunakan
kekerasan baik verbal maupun fisik dalam menghadapi anak nya, karena itu hanya akan
berdampak buruk dan membuat anak menjadi semakin frustasi.
DAFTAR PUSTAKA
Belajar, Asik. 2015. “6 Tahap Tugas-Tugas Perkembangan”, https://www.asikbelajar.com/6-
tahap-tugas-tugas-perkembangan/, diakses pada 28 Juni 2021 pukul 13.06