Anda di halaman 1dari 3

Pertemuan 8

Keberagaman dan Kesetaraan Bangsa

Keberagaman” dibentuk dari kata “ragam” kemudian membentuk kata “beragam,”


kemudian membentuk kata “keberagaman.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001,
halaman 920) ragam artinya macam atau jenis, sedangkan beragam artinya banyak ragam,
bermacam-macam, berjenis-jenis, berwarna-warni. Dengan demikian, keberagaman adalah perihal
banyak ragam atau perihal bermacam-macam, atau berwarna-warni.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam. Bangsa ini terdiri atas beribu-ribu pulau,
baik pulau besar maupun pulau kecil, terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Sangir Talaud
sampai Rote Ndao. Ribuan pulau itu dihuni oleh sekitar 270-an juta penduduk Indonesia pada saat
ini. Pendudukan Indonesia beragam suku bangsa, beragam agama dan kepercayaan, beragam
bahasa, beragam kebiasaan dan adat-istiadat, beragam budaya, dan lain-lain. Jadilah masyarakat
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragam, bangsa yang majemuk, bangsa yang plural.
Keberagaman bangsa Indonesia ini seringkali dibuat dalam bentuk akronim (dalam arti
positif) menjadi SARA, yakni suku, agama, ras, dan antargolongan. Suku menyangkut kesamaan
etnis atau suku asal-usul karena budaya yang sama, misalnya suku Flores, Bali, Jawa, Toraja,
Batak, Timor, Rote, dan lain-lain. Agama (termasuk kepercayaan) menyangkut keyakinan akan
kehidupan setelah kematian, misalnya agama Islam, Kristen, Katolik, Buda, Hindu, Kongfutsu,
dan aliran kepercayaan (agama tradisional atau agama asli Indonesia). Ras menyangkut asal-usul
ras bangsa di dunia, misalnya, ras Asia, ras Eropa, ras Afrika, ras Mongolia, ras Melanesia, dan
lain-lain. Antargolongan menyangkut kelompok sosial, pilihan politik, profesi, misalnya,
pengusaha, petani, anggota partai politik, profesi guru, pengacara, agamawan, dan lain-lain.
Keberagaman bangsa ini merupakan anugerah atau karunia Tuhan yang Maha Esa. Inilah
modal besar untuk membangun Indonesia menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Bung Karno,
pendiri bangsa Indonesia ini menyebut Indonesia sebagai Taman Sari Indnesia yang di dalamnya
penuh dengan beraneka bunga dan warna-warninya, yang kemudian dilambangkan dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Walaupun berbeda-beda, tetapi
bersatu padu sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur.
Banyak dampak positif yang diperoleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragam dan
majemuk. Namun demikian, kalau keberagaman itu tidak dikelola dengan baik, maka akan
mendatangkan pengaruh buruk. Pengaruh buruk itu, bisa menjadi sumber konflik dan perpecahan.

1
Konflik dan perpecahan itu terjadi karena perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok SARA
yang ada, yang susah dipenuhi oleh negara. Perbedaan kepentingan ini pada dasarnya wajar saja,
yang penting bisa dicarai jalan keluar yang adil dan beradab. Hanya saja, kalau perbedaan
kepentingan itu tidak bisa dicarikan solusinya, maka akan berpotensi untuk desintegrasi (pecah
belah). Suku yang satu berbeda kepentingan dengan suku yang lain. Agama yang satu berbeda
kepentingan dengan agama yang lain. Kelompok masyarakat yang satu berbeda kepentingan
dengan kelompok masyarakat yang lain. Orang kaya berbeda kepentingan dengan orang miskin.
Di samping banyaknya perbedaan kepentingan dalam masyarakat yang beragam, tantangan
yang lain adalah perubahan sosial budaya masyarakat sebagai konsekuensi logis dari hasil belajar
dan perubahan kemajuan dan perkembangan zaman. Apalagi pada era digital sekarang ini, yang
ditandai dengan maraknya media sosial yang berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku
masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kelompok. Dibutuhkan pemerintahan yang
piawai dan kuat dalam mengelola bangsa yang beragam dan majemuk ini. Di samping peran besar
pemerintah, kesadaran dari dalam diri masyarakat sendiri harus kuat untuk tetap mempertahankan
NKRI yang beragam dan majemuk ini. Para pendiri bangsa ini sudah dengan susah payah
menyatukan bangsa yang majemuk ini, jangan kita sebagai negerasi muda bangsa merusaknya. Ini
warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang harus dijaga sampai kapan pun.
Proses perubahan dalam masyarakat tidak datang secara tiba-tiba, melainkan melalui
proses panjang. Perubahan sosial-budaya suatu masyarakat dapat terjadi karena pengaruh faktor
dari luar. Dalam kenyataan mereka tidak pernah mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri.
Di samping itu, keberadaan suatu masyarakat selalu berada di antara komunitas yang lain. Secara
langsung maupun tidak langsung pasti terjadi kontak sosial yang mengakbatkan perubahan sosial.
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi, baik kuantitas
maupun kualitas di setiap masyarakat tidak sama. Ada masyarakat yang dapat berubah dengan
cepat, akan tetapi ada pula yang perubahannya sangat lambat. Cepat lambatnya perubahan yang
terjadi, dipengaruhi oleh banyak factor, termasuk kemampuan otak manusia yang mampu
menciptakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka memenuhi
berbagai kebutuhan hidupnya. Faktor lain adalah perkembangan teknologi informasi, sarana dan
prasarana, terbukanya akses di berbagai wilayah dan fasilitas umum yang semakin lengkap.
Berkembang pula media komunikasi, baik cetak maupun elektronik, seperti surat kabar, majalah,
radio, televisi, internet, video dan sarana lainnya semakin mempercepat perubahan yang terjadi.
Faktor-faktor pendorong perubahan sosial budaya, antara lain sebagai berikut (1) Pengaruh
kontak dengan budaya lain; (2) Sistem pendidikan yang maju; (3) Kuatnya keinginan untuk maju;
(4) Adanya toleransi terhadap perubahan yang menyimpang; (5) Komposisi penduduk yang
2
beragam atau heterogen; (6) Sikap yang terbuka dari berbagai lapisan masyarakat; (7)
Ketidakpuasan masyarakat terhadap aspek-aspek kehidupan yang telah ada; (8) Adanya orioentasi
ke masa depan yang lebih baik; dan (9) Adanya kesadaran bersama bahwa manusia itu pada
dasarnya berusaha untuk terus memperbaiki hidupnya.
Selain faktor-faktor pendorong kemajuan di atas, ada pula faktor-faktor penghambat
kemajuan, antara lain sebagai berikut (1) Kurangnya kontak dengan masyarakat luar; (2)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terhambat; (3) Sikap masyarakat yang sangat
tradisonal; (4) Adanya keinginan untuk mempertahankan tradisi lama; (5) Adanya rasa takut akan
perubahan akan mengikis kebudayan dan adat-istiadat; (6) Adanya prasangka negatif terhadap hal-
hal yang baru; (7) Hambatan yang bersifat ideologis atau keyakinan; (8) Adat dan kebiasaan sosial
masyarakat yang telah mengakar kuat, dan (9) Adanya pandangan bahwa nilai hidup ini pada
dasarnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki.
Semua elemen bangsa diharapkan tidak terus-menerus mencerca negeri ini yang banyak
mengalami persoalan. Momen kebangkitan nasional hendaknya digunakan untuk menumbuhkan
optimisme dan saat untuk berbenah diri secara bersama-sama. Merenungkan kembali cita-cita
bersama berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh
Pembukaan UUD 1945. Pancasila sebagai ideologi yang mulai tergeser dengan eforia reformasi
yang menuntut serba bebas harus dikembalikan pada posisinya sebagai dasar dan cita-cita negara.
Selama reformasi yang dimulai tahun 1998, negara mengabaikan pengembangan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa. Kini tiba saatnya kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Lembaga pendidikan merupakan tempat yang paling strategis sebagai tempat penanaman,
penyemaian, dan pembangunan semangat nasionalisme, sekaligus pewarisan sejarah dan budaya
bangsa. Untuk itu pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan karakter bangsa harus didesain
sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan warga negara yang berwawasan nasionalis,
beragam, majemuk, dan pluralis yang menjadikan keberagaman dan kesetaraan yang ada dalam
bangsa Indonesia ini sebagai kekuatan besar untuk memajukan bangsa dan negara ini. Oleh karen
itu, empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara harus menjadi pedoman utama bagi segenap
warga bangsa ini. Keempat pilar kehidupan berbangsa dan negara itu adalah (1) Pancasila, (2)
UUD 1045, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), (4) Bhineka Tunggal Ika. *

Anda mungkin juga menyukai