Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Melafalkan niat dalam ibadah termasuk masalah furu’iyah, yang diperselisihkan di kalangan
ulama fuqaha, antara yang mengatakan sunnah dan tidak sunnah. Akan tetapi dari segi dalil,
para ulama fuqaha yang mengatakan sunnah, memiliki dalil yang sangat kuat dan otoritatif.
Sebelum menjelaskan dalil kesunnahan melafalkan niat dalam ibadah, ada baiknya kami
paparkan terlebih dahulu, tentang pendapat para ulama fuqaha madzhab yang empat seputar
melafalkan niat.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat

ِ ‫ اَلتَّع‬dan shalat menurut terminologi ialah ibadah


Shalat menurut arti bahasa ‫( اَل ُّدعَا ُء‬doa) atau ‫ْظ ْي ُم‬
yang terdiri dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai dengan
takbiratul ihram (Allahu Akbar) dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.
Shalat juga berarti doa untuk mendapatkan kebaikan atau salawat bagi Nabi Muhammad
SAW.1

Shalat adalah pengakuan hati bahwa Allah SWT sebagai pencipta adalah Agung, dan
pernyataan patuh terhadap-Nya, serta tunduk atas kebesaran dan kemurkaan-Nya yang kekal
dan abadi. Bagi seseorang yang telah melaksanakan shalat dengan penuh penciptaan-Nya,
hubungannya dengan Allah akan kuat, istiqomah dalam beribadah kepada-Nya dan
ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh-Nya.2

B. Rukun Shalat

1
Abdullah Arief Cholil dkk, studi Islam II, Semarang; UNISSULA PRESS, 2010,hlm., 60
2
Ibid, hlm., 61
Kata arkan adalah bentuk plural dari kata rukn, menurut arti bahasa berarti sisi yang kuat,
merujuk pada firman Allah SWT dalam menceritakan Nabi Luth:

‫اوى إِلَى ُر ْك ٍن َش ِد ْي ٍد‬


ِ ‫اَوْ َء‬
Atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).
Q.S. Hud:80
Sedangkan menurut terminologi rukn berarti susuatu yang menjadi bagian dari sesuatu yang
lain dan keabsahannya tergantung pada sesuatu tersebut.3

Rukun-rukun Shalat dapat diringkas sebagai berikut:

1. Niat
2. Berdiri
3. Takbiratul Ihram
4. Membaca surat Al-Fatihah
5. Rukuk dengan Tuma’ninah
6. I’tidal dengan Tuma’ninah
7. Sujud dengan Tuma’ninah
8. Duduk diantara dua sujud
9. Mengucapkan salam
10. tertib4
C. Hukum Melafadzkan Niat

Niat menurut arti bahasa adalah ketetapan hati, sedangkan menurut terminologi syara’, niat
berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu dibarengi dengan pekerjaannya, kecuali
puasa. Ia tidak disyaratkan membarengkan niat dengan pekerjaannya, karena hal itu
menimbulkan kesulitan, mengingat keharusan mengawasi fajar cukup memberatkan bagi
orang yang berpuasa.

Bagi mushalli (orang yang shalat), ia cukup mengatakannya dalam hati tanpa perlu
diucapkan.5

3
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Jakarta; Ikrar Mandiriabadi, Ed.
Revisi. cet. 2, 2010, hlm., 187
4
Abdullah Arief Cholil dkk, studi Islam II, Semarang; UNISSULA PRESS, 2010,hlm., 66-71
5
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Jakarta; Ikrar Mandiriabadi, Ed.
Revisi. cet. 2, 2010, hlm., 187-188
Karenanya, niat tidak perlu dilafadzkan. Bahkan melafadzkan niat adalah bid’ah. Sebab tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, juga oleh para sahabat beliau. Hendaklah seseorang
meniatkan dalam hatinya shalat yang akan ia laksanakan. Seperti shalat zhuhur dan shalat
ashar. Dasarnya dalam hadits Nabi SAW;

ِ ‫إِنَّ َما األَ ْع َما ُل بِالنِّيَا‬


ٍ ‫ت َوإِنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬
‫ئ َما ن ََوى‬

Sesungguhnya segala perbuatan tergantung niat dan sesungguhnya bagi setiap orang apa
yang diniatkannya.
Ulama madzhab berbeda pendapat, bahkan para ahli fiqh dalam satu madzhab juga berbeda
antara yang satu dengan yang lain.

Semua ulama madzhab sepakat bahwa mengungkapkan dengan kata-kata tidaklah diminta.
Sebagaimana mustahil juga secara kebiasaan seseorang berniat melakukan shalat dhuhur
tetapi ia melakukan shalat ashar, dan berniat melakukan shalat fardhu tetapi ia melakukan
shalat sunnah, padahal ia tahu dan dapat membedakan antara dua shalat tersebut.

Ibnu Qayyim berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW kalau menegakkan shalat, beliau
langsung mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) dan beliau tidak mengucapkan
apa-apa sebelumnya, dan tidak pula mengucapkan “ushalli kadza mustaqbilal qiblati arba’a
raka’atin imaman auma’muman” (saya shalat ini atau itu dengan menghadap qiblat empat
rakaat sebagai imam atau makmum), dan tidak pula berkata “ada’an” (melaksanakan) dan
tidak pula “qadha’an” (mengganti), dan tidak pula “fardhol wakti” (shalat fardhu pada
waktu ini). Ini semuanya merupakan bagian dari sepuluh perbuatan bid’ah, karena tidak ada
nash shahih yang menceritakan dengan sanad yang shahih, dan tidak pula dengan sanad yang
dhaif (lemah), dan tidak pula dengan sanad hasan, dari salah seorang tabi’in, dan tidak pula
dari para Imam empat Madzhab.

Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat niat ada
di hati dan bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang
mengetahui orang yang berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam
hati. Allahlah Dzat yang Maha mengetahui apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya
engkau tidak bermaksud untuk berdiri di hadapan dzat yang bodoh sehingga engkau harus
mengucapkan apa yang engkau niatkan namun engkau berdiri karena takut kepadaNya karena
Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang akan membalikkan hatimu.
Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu ’anhum bahwasanya mereka
melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang
baik dengan suara lirih maupun keras.

Menurut Albani
“Adapun melafadzkan niat dengan lisannya maka hal tersebut adalah Bid’ah, menyelisihi
sunnah dan tidak ada seorangpun dari pengikut orang-orang yang taqlid kepada para imam
yang mengucapkannya.

Tempatnya niat menurut kesepakatan para ulama fiqh dan di semua tempat secara wajib
adalah di dalam hati, maka secara pasti tidak cukup dan tidak disyaratkan menggunakan
lisan. Tetapi menurut jumhur ulama, selain golongan Malikiyyah hukumnya adalah
disunnahkan mengucapkan niat, untuk membantu hati untuk menghadirkannya, agar
pengucapannya bisa menolong untuk berdzikir (mengingat). Mereka mengqiyaskan dengan
hadits Rasulullah SAW ketika melaksanakan ibadah haji:

ً ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم يَقُوْ ُل لَبَّ ْيكَ ُع ْم َرةً َو َح ًّجا‬ َ َ‫ض َي هللا ُ َع ْنهُ ق‬
ُ ‫ال َس ِمع‬
َ ِ‫ْت َرسُوْ َل هللا‬ ٍ َ‫ع َْن أَن‬
ِ ‫س َر‬

“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku
sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).

Sedang yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat, karena
hal tersebut tidak pernah di nukil dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan para
sahabatnya, demikian juga tidak dinukil dari para imam yg empat.

Yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat. Dan menurut
Ulama Syafi’iyyah dan Hambaliyyah disunnahkan untuk melafadzkan niat, hanya saja
menurut qoul madzhab Hanabilah disunnahkan melafadzkannya dengan pelan, dimakruhkan
membaca dengan keras dan mengulang-ulangi niat.

Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut
kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam
Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat
membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam
melaksanakan shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti
melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah
niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar)
bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat
dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan
kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut
penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan
(khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat
sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat
shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi
orang yang terkena penyakit was-was.
Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan
empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak
ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan)
menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam
dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti
membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua,
untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara
shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.

Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi
pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat
adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:

ُ‫ف َم ْن أَوْ َجبَ••ه‬ ْ ُّ‫َويُ ْن••دَبُ الن‬


ِ ْ‫اس َولِ ْل ُخ•• رُو‬
ِ َ‫ج ِم ْن ِخال‬ ِ ‫ب وَأِل َنَّهُ أَ ْب َع•• ُد َع ِن‬
ِ ‫الو ْس•• َو‬ َ ‫ْ••ر لِي َُس••ا ِع َد اللِّ َس••انُ القَ ْل‬
ِ ‫ق بِ••ال َم ْن ِويْ قُبَيْ•• َل التَّ ْكبِي‬
ُ ••‫ط‬
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu
(kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan
pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam
melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat
sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan
tidak berdosa. Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena
masalah hukum sunnah adalah menyalahi syari’at Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai