Anda di halaman 1dari 11

PROPOSAL

KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM

Disusun Guna Memenuhi Tugas: Metodologi Penelitian

Dosen Pengampu : Dr. H. Didiek Ahmad Supadie, MM.

Disusun oleh:

Milia Yuliasari (30501202503)

JURUSAN SYARI’AH FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

TAHUN AJARAN 2014


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara bahasa poligini adalah ikatan perkawinan dimana laki-laki mengawini lebih dari
seorang perempuan pada waktu yang bersamaan. Sebaliknya, jika perempuan yang memiliki
suami lebih dari satu pada waktu yang bersamaan disebut poliandri. Kedua-duanya (baik
poligini maupun poliandri) disebut poligami.
Dalam islam poligami dibolehkan maksimal sampai empat orang dalam waktu yang
bersamaan berdasarkan Al-Qur’an. Dalil yang digunakan dari Al-Qur’an untuk
membolehkannya adalah Surat An-Nisa’ ayat 3:
          
          
        
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Dalam ayat di atas, Allah SWT mengingatkan kepada para wali anak-anak yatim, bahwa
jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim perempuan yang berada
di bawah asuhan mereka, maka lebih baik mengawini perempuan-perempuan lain yang disenangi
satu sampai empat orang. Dan jika mereka khawatir pula tidak sanggup berlaku adil terhadap
isteri-isteri mereka, maka kawinilah satu orang saja atau buak-budak yang dimiliki.

Menurut ath-Thabari ada beberapa penafsiran tentang maksud khawatir dalam ayat
diatas:
1. para wali khawatir tidak dapat berlaku adil dalam memberi mahar jika mengawini
anak-anak yatim yang berada di bawah perwaliannya dibandingkan jika mereka
mengawini perempuan-perempuan lain yang setara,
2. jika para wali mengawini perempuan-perempuan lebih dari empat orang
dikhawatirkan mereka kesulitan memberikan nafkah kepada mereka sehingga
mengambil harta anak-anak yatim yang di bawah perwaliannya untuk memenuhi
nafkah itu sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang-orang Quraisy sebelum
Islam,
3. jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang
berada di bawah perwaliannya, harusnya mereka lebih khawatir lagi tidak dapat
berlaku adil terhadap isteri-isteri mereka. Oleh sebab itu jangan kawin lebih dari
empat pada waktu yang bersamaan dan kalau masih khawatir tidak dapat berlaku
adli lebih baik kawini seorang perempuan saja, dan
4. sebagaimana mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim
yang berada di bawah perwaliannya, seharusnya mereka juga khawatir untuk
berbuat zina terhadap perempuan-perempuan. Oleh sebab itu kawinilah satu
sampai empat perempuan yang baik-baik bagi mereka.
Dari empat penafsiran yang disebutkan di atas, penafsiran yang pertamalah yang paling
banyak dianut oleh para muffasir lain. Az- Zamakhsyari, ar-Razi, Ibn Katsir dan al-Alusi juga
menyebutkan pengertian seperti itu dalam kitab tafsir mereka. Tetapi kekhawatiran tidak dapat
berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang berada di bawah perwalian itu tidaklah menjadi
syarat dibolehkannya poligami. Artinya tanpa ada kekhawatiran itu pun seorang laki-laki
muslim diizinkan berpoligami asal yakin dapat berlaku adil terhadap isteri-isternya. Satu-
satunya syarat boleh berpoligami dalam ayat ini hanyalah kemampuan untuk berlaku adil.
Betulkah laki-laki dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya, bukankah ada ayat yang
menyatakan:
          
          
  
129. dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa suami tidak akan sanggup berlaku adil terhadap isteri-
isterinya walaupun diabsangat ingin berbuat demikian. Apakah tidak terjadi pertentangan ayat
ini dengan ayat 3 sebelumnya?
Menurut para mufassir tidak ada pertentangan antara kedua ayat tersebut, karena keadilan
yang tidak akan bisa dipenuhi oleh suami adalah keadilan sampai kepada perkara hati atau
perasaan kasih saying secara batin. Yang dituntut dari seorang suami hanyalah keadilan secara
lahir, baik yang menyangkut nafkah, giliran bermalam atau hubungan badan yang dapat diukur
dan diatur. Sedangkan perasaan adalah sesuatu yang tidak dapat diukur secara pasti dan tidak
dapat dimiliki oleh siapapun. Sekalipun misalnya seorang suami dapat berlaku adil dalam
mengatur giliran hubungan sebadan malam permalam, tapi dia tidak akan dapat membaginya
secara adil sampai kepada rasa saying, nafsu dan kualitas hubungan seksualnya. Dalam masalah
kasih saying misalnya, Aisyah lebih disayangi Rasulullah SAW dibandingkan isteri-isteri beliau
yang lainnya, menurut Aisyah Rasulullah SAW membagi secara adil untuk isteri-isteri beliau.
Dalam pemahaman Hamka, sekalipun beristeri lebih dari satu diinzinkan dengan syarat
yang ketat, tapi beristeri satu saja lebih terpuji. Pendapat ini didasarkan Hamka kepada
pemahaman ujung ayat 3 surat An-Nisa’ yaitu “yang demikian itulah yang lebih memungkinkan
kamu terhindar dari berlaku sewenang-wenang”. Bagi Hamka, poligami disamping sangat berat,
juga menuntut tanggung jawab yang sangat besar dan menyita banyak waktu dan pikiran untuk
memperhatikan dan melayani keinginan beberapa isteri yang satu sama lain memiliki watak dan
keinginan yang berbeda-beda. Belum lagi tugas dan tanggung jawab menjaga kerukunan antar
sesama anak-anak yang berlainan ibu.
Sekalipun bagi Hamka, berlaku adil dalam poligami itu adalah sesuatu yang sangaat berat
untuk dipikul, namun Hamka tidak sampai menafikan sama sekali kemungkinan dapat berlaku
adil. Penafian kemungkinan berlaku adil yang ada dalam surat An-Nisa’ ayat 129 dipahami
hamka sebagai keadilan yang menyangkut perkara hati. Dalam hal ini Hamka menulis “yang
tidak sanggup mengadilkannya itu ialah hati. Belanja rumah tangga bisa di adilkan bagi yang
kaya. Pergiliran hari dan malampun bisa di adilkan. Tetapi cinta tidaklah bisa diadilkan, apakah
lagi syahwat dan naafsu setubuh. Kecenderungan kepada yang seorang dan kurang cenderung
kepada yang lain, adalah urusan hati belaka. Siapakah yang dapat memaksa hati manusia?”.
Walaupun berlaku adil secara lahir itu masih mungkin dilakukan, tapi memang tidak
mudah mewujudkannya, sehingga Al-Qur’an mengingatkan dari pada tidak mampu berlaku adil
lebih baik kawin dengan satu orang saja. Sekarang timbul pertanyaan, kalau memang poligami
itu sangat berat, kenapa islam tidak melarangnya saja? Dalam pandangan Hamka, islam tidak
melarang poligami karena beberapa pertimbangan:
1. untuk menyalurkan secara sah dan sehat gelora seksual yang dimiliki oleh laki-laki.
Jika poligami dilarang, bagi yang tidak sanggup menahan nafsunya dan tidak dapat
memenuhinya dengan satu orang isteri, maka dia akan mudah terjatuh pada
perzinaan. Hamka mengakui betapa beratnya perjuangan batintiap-tiap laki-laki yang
beristeri satu orang, terutama pada zaman mudanya, sebab dia terjadi dari darah dan
daging. Hanya kekhawatiran tidak dapat berlaku adil serta memikirkan tanggung
jawab yang berat mendidik anak-anak dengan segala resikonya yang menghalanginya
menikah lagi,
2. untuk mengatasi problem yang muncul di masyarakat tatkala jumlah perempuan ,ebih
banyak dari laki-laki karena berbagai macam sebab, misalnya akibat peperangan,
karena laki-lakilah yang lebih bayak mati dalam peperangan, bukan perempuan.

Untuk mengatasi problem ini hanya ada tiga alternatif:

a. perempuan yang lebih itu tidak diberi keinginannya, biar sampai mati tetap tidak
mendapatkan suami,
b. laki-laki diberi kebebasan, disamping satu orang isteri yang sah, dibolehkan
memelihar gundik atau perempuan piaraan. Dalam ungkapan lain pintu perzinaan
dibuka seluas-luasnya,
c. laki-laki diperbolehkan beristeri lebih dari satu. Masing-masing isteri memiliki
hak dan kewajiban yang sama, dan anak-anak yang dilahirkan menjadi anak yang
sah dan menjadi tanggung jawab bapaknya.

Menurut Hamka, dari tiga alternatif itu yang ketigalah yang realities dan dapat
dipertanggung jawabkan.

B. Identifikasi Masalah
1. Perkawinan
2. Keadilan dalam berpoligami
3. Poligami yang diperbolehkan
4. Syarat-syrat diperbolehkannya berpoligami
5. Larangan adanya berpoligami
6. Ekonomi
7. Perceraian

C. Batasan Masalah
1. Keadilan dalam poligami
2. Poligami yang diperbolehkan
3. Larangan adanya berpoligami
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep adil dalam poligami menurut hukum islam?
2. Bagaimana poligami yang dibolehkan menurut hukum islam?
3. Apa saja larangan untuk bepoligami?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep adil dalam poligami menurut hukum islam
2. Untuk mengetahui poligami yang diperbolehkan menurut hukum islam
3. Menjelaskan apa saja larangan berpoligami.
F. Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui ketentuan adil dalam berpoligami
2. Untuk mencari tahu batasan apa saja untuk berpoligami
3. Untuk mencari tahu faktor-faktor yang melatarbelakangi berpoligami
4. Untuk mengetahui hukum islam terhadap orang yang berpoligami.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritis
Seperti dijelaskan oleh Abdurrahman Ghazali (2003) kata-kata poligami terdiri
dari kata poli dan gami. Secara etimologi, poli artinya banyak sedangkan gami artinya
istri. Jadi, poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu
seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, atau seorang laki-laki beristri lebih dari
seorang tetapi dibatasi paling banyak empat orang. Penjelasan serupa diberikan pula oleh
Amiur Nuruddin (2004) dan Azhari Akmal Tarigan (2004) bahwa poligami merupakan
salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus
kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang
bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidak adilan jender.
Bahkan para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran
islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada sisi lain
poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normative yang tegas dan
dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan
prostitusi.
Kajian berikut ini sebisanya akan melihat persoalan poligami ini lebih jernih dan
berupaya untuk mendudukan perbedaan yang ada secara lebih proposional.
Seperti dijelaskan oleh Perspektif Fikih poligami memiliki akar sejarah yang
cukup panjang, sepanjang sejarah peradaban manusia itu sendiri. Sebelum islam datang
kejazirah arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab.
Poligami pada masa itu dapat disebut poligami tak terbatas. Lebih dari itu tidak ada
gagasan kreadilan diantara para istri. Suamilah yang menentukan sepenuhmya siapa yang
paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Para istri harus
menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan.
Allah SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan syarat
berlaku adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah tempat tinggal, pakaian, giliran
dan segaala hal yang bersifat lahiriyah. Jika tidak bisa belaku adil maka cukup satu istri
saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
          
          
        
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Berkaitan dengan masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip
oleh Masyfuk Zuhdi1, sebagai berikut:
Islam memandang poigami lebih banyak membawa resiko atau madharat dari pada
manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka
mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudaah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam
kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian poligami itu tidak bisa menjadi sumber
konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isti-istrinya, maupun
konflik antara istri dengan anak-anaknya masing-masing. Karena itu hukum asal dalam
perkawinan menurut islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah
menetralisasi sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga
yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka
dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati atau dengki dan suka mengeluh dalam
kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan
keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan bila dalam keadaan darurat,
misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut islam anak itu merupakan salah satu dari tiga
human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa
amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang sholeh yang selalu berdoa untuknya.
Maka dalam mkeadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis
hasil laboratories, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi
nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran
waktu tinggalnya.
Dalam hal apa suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya ketika bepoligami?
Suami wajib berlaku adil tehadap istri-istrinya dalam urusan: pangan, pakaian, tempat
tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya yang bersifat kebendaan, tanpa
membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi

1
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. Gita Karya, 1988), cet,ke-1, hal.12)
dengan yang berasal dari golongan bawah. Jika masing-masing istri mempunyai anak yang
jumlahnya berbeda atau jumlahnya sama tapi biaya pendidikannya berbeda, tentu saja dalam hal
ini harus menjadi pertimbangan dalam meberikan keadilan.
Pada masa sekarang ini, mungkin pendapat yang paling menarik perhatian kita adalah
pendapat dari golongan anti poligami yang mengatakan bahwa melarang poligami itu adalah
salah satu keharusan untuk menerapkan kebebasan masyarakat primitif yang kemudian
meningkat dan menurunnya keadaan wanita. Di sisi lain yang tidak begitu mempermasalahkan
poligami justru berpendirian bahwa poligami adalah salah satu usaha untuk membimbing
wanita untuk meningkat dari suasana kehidupan yang diliputi oleh kegelisahan, kehinaan dan
terlantar menuju kehidupan yang mulia, dimana wanita wajib merasakan kebahagiaan, kesucian
dan kemuliaan dibawah naunganya.2
Dalam pasal 58 KHI dinyatakan bahwa untuk memperoleh izin pengadilan agama
harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 5 Undang-Undang No.1 tahun 1974,
yaitu:
1. Adanya persetujuan dari istri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak mereka.
Dalam hukum islam terutama dalam hal perkawinan, sebenarnya mempunyai
tujuan yang sangat mulia yaitu untuk mengangkat derajat wanita, dalam hal ini mungkin
perlu diuraikan lebih jauh karena banyaknya kesalahpahaman seolah-olah islam
mengizinkan pergudikan yang sangat merendahkan derajat kaum wanita. Hal ini erat
sekali hubunganya dengan masalah perkawinan Rasulullah SAW dengan Siti Juwariyah
dan Siti Sofiyah serta dengan Siti Mariyah dari Mesir. Ketiganya termasuk ma malakat
aima nukum (apa yang dijadikan milik oleh tangan kananmu) hanya bedanya Siti
juwariyah dan Siti Sofiyah itu tawanan perang perempuan. Sedangkan Siti Mariyah
seorang jariyyah dari Mesir persembahan dari raja Muquaqis. Kedudukan wanita seperti
ini dalam masyarakat arab lebih rendah dari wanita merdeka. Mereka mempunyai tugas
melayani nafsu majikannya. Hal inilah yang kemudian disebut dengan pergundikan.3

2
Abdul nasir taufiq, poligami ditinjau dari segi agama, sosial dan perundang-undangan , hlm. 11-12.
3
S. Ali Yasir, di balik poligami Rasulullah SAW, hlm. 61.
Kemudian islam datang untuk menghapus perbudakan dan pergundikan yang
telah tersebar di seluruh dunia. Cara islam menghapus dua macam perbuatan buruk yang
sangat merendahkan martabat manusia itu adalah :
1. Menganjurkan membebaskannya
2. Menganjurkan orang merdeka agar mengawini mereka ( yang beriman)
sebagaimana Allah perintahkan dalam Firman-Nya yang berbunyi:

25

Muhammad Ali As-Sabuni menyatakan bahwa para ulama fiqh berbeda pendapat
tentang hukum menikah:
1. Mazhab Dohiriyah mengatakan bahwa nikah hukumnya wajib sehingga dosa
bagi seseorang yang tidak menjalankannya.
2. Mazhab Syafi’iyah mengatakan bahwa nikah hukumnya mubah saja dan tidak
berdosa bagi yang meninggalkanya.
3. Mazhab Jumhur (al-Malikiyah, al-Ahnaf dan al-Hanabilah) mengatakan
bahwa hukum perkawinan adalah mustahab dan mandub tidaklah menikah itu
wajib.
Dari sekilas telaah pustaka yang telah ditemukan dan dicantumkan bahwa yang
perlu diperhatikan dalam pembahasan tentang bagaimana menerapkan posisi adil
sehingga tidak mengesankan kepada hukum islam yang seakan-akan mempersulit atau
mengesankan bahwa penerapan hukum terlalu dipermudah dengan seenaknya, terutama
sekali dalam hal ini adalah dalam hal boleh atau tidaknya menjalankan poligami sesuai
dengan surat an-Nisa’ ayat 129 yang menyebutkan:

129
Dalam ayat ini diisyaratkan bahwa sekali-kali kamu tidak akan berbuat adil di
antara istri-istrimu dalam hal perasaan cinta di dalam mu’asyarah kepada para istri-
istrinya (dalam hubungan seksual) walaupun kamu sangat menghendakinya, dan istri-
istrimu nanti bagaikan tidak juga janda dan tidak pula seorang yang memiliki suami tidak
pula berada dalam bumi dan tidak pula di langit.
      

Dalam hal ini Sekh Muhammad Abduh menerangkan bahwa haram berpoligami bagi
seorang yang merasa khawatir akan tidak berlaku adil. Namun demikian tidaklah diambil
pengertian dari haram itu, seperti sebagian membahas, bahwa akad nikah itu batal atau
gugur karena hukum haram itu berada di luar akad. Jadi tidak mengakibatkan batalnya
akad karena kadang-kadang seseorang khawatir kalau-kalau ia menganiaya tetapi
ternyata ia tidak menganiayanya, atau kadang-kadang ia betul-betul menganiayanya pada
suatu ketika kemudian ia taubat dan selanjutnya berlaku adil. Jadi ia dapat hidup
bersama-sama dengan istrinya secara kehidupan yang halal.4

B. Kajian Penelitian Terdahulu yang Relevan


Dalam penelitian ini, menurut hemat dan pengetahuan penyusun belum ada yang
membahas secara mendetail tentang konsep adil dalam poligami. Penyusun hanya
menemui 2 buah skripsi yang mengulas tentang poligami. Pertama adalah skripsi yang
berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Poligami dalam Masyarakat Muslim
di Kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur”. Dalam skripsi tersebut banyak membahas
fenomena poligami yang terjadi dalam masyarakat duren Sawit, masyarakat yang
melakukan praktik poligami tidak memperhatikan masalah keadilan terutama dalam
bidang materi. Kedua skripsi yang berjudul “Poligami Menurut Imam Abu Hanifah dan
as-Syafi’I, dalam skripsi ini banyak membahas perbedaan pendapat yang mendasar dari
kedua tokoh tersebut tentang poligami. Jadi, menurut penyusun pembahasan yang
diangkat mengenai konsep adil dalam poligami ini belum ada yang membahas, sehingga
penelitian ini bukan merupakan penelitian ulang atau duplikasi.

4
Abdul nasir taufiq, Poligami, hlm. 147.

Anda mungkin juga menyukai