Anda di halaman 1dari 9

PPI Brief Series

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

PPI Brief no. 10 / 2019


Realisasi Industri Manufaktur Sel Surya di Indonesia:
Kesempatan Mengejar di Generasi Kedua
Wisnu Ananda dan Ahmad Ibrahim
PPI Brief 1
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

RINGKASAN EKSEKUTIF
• Berkaca dari kondisi saat ini, untuk memenuhi ketetapan pemerintah Indonesia mengenai
pengurangan penggunaan minyak bumi dan proyeksi ambisius bauran energi nasional di
tahun 2025 diperlukan usaha serius terkait penggunaan energi terbarukan khususnya energi
surya. Untuk mengejar proporsi bauran energi terbarukan yang ditargetkan, dibutuhkan
pengembangan bahkan industri manufaktur teknologi sel/panel surya yang potensial dire-
alisasikan di Indonesia.

• Teknologi sel surya berbasis silikon (generasi pertama) umumnya sudah mapan di nega-
ra-negara maju. Sedangkan, produksi sel surya generasi kedua (atau thin film photovoltaic)
saat ini hanya ada di beberapa negara dan riset mengenainya pun diprediksikan masih akan
terus berkembang. Dengan keuntungan sel surya generasi kedua seperti biaya produksi
murah, ketahanan terhadap suhu lingkungan yang panas, dan kinerjanya yang terjaga
ketika langit berawan membuat teknologi ini potensial untuk dikembangkan di Indonesia.

• Bagaimanapun, efisiensi sel surya generasi kedua di skala produksi masih memiliki selisih
yang cukup besar dibandingkan dengan efisiensi di skala penelitian. Selain itu, produksi
massal teknologi ini haruslah terhubung dari hulu ke hilir dalam satu sistem (end-to-end)
yang secara umum membutuhkan biaya kapital yang besar walaupun tidak sebesar manu-
faktur sel surya generasi pertama dari hulu ke hilir.

• Transfer teknologi produksi sel surya generasi kedua dari negara lain untuk kemudian
dikembangkan di dalam negeri bisa menjadi opsi. Kemudian, sumber daya manusia
berkualitas untuk pengembangan lebih lanjut menjadi elemen penting dalam realisasi
industri manufaktur sel surya di Indonesia.

LATAR BELAKANG
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Presiden No. 79 tahun 2014 untuk
mengurangi secara signifikan penggunaan minyak bumi menjadi di bawah 20% dan juga untuk
meningkatkan kontribusi sumber energi terbarukan dari 0,5% menjadi lebih dari 5%. Sementara
itu, diproyeksikan bahwa sasaran bauran energi nasional tahun 2025 untuk bahan bakar fosil
dan energi terbarukan adalah 75% dan 25% (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
2018). Bagaimanapun, pada 2015, kapasitas terpasang dari sel surya fotovoltaik (PV) adalah
77,3 MWp, yang masih sangat rendah dibandingkan dengan target nasional 2200 MWp pada
tahun 2025 (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2014). Padahal, energi surya
merupakan sumber energi yang memiliki potensi tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 208 GW.
Hal ini disebabkan kondisi geografis Indonesia yang sangat strategis sehingga memiliki solar
irradiance (curah cahaya matahari) harian yang tinggi sepanjang tahun yaitu dalam rentang
PPI Brief 2
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

nilai 4,0-6,9 kWh/m2 dengan rata-rata sebesar 4,8 kWh/m2 (IRENA, 2017). Sebagai
perbandingan, Jerman memiliki rata-rata curah cahaya matahari harian sebesar 2,9
kWh/m2, Jepang sebesar 3,9 kWh/m2, dan Tiongkok sebesar 3,8 kWh/m2 (World Bank &
SOLARGIS, 2019). Tapi, dengan curah cahaya matahari yang lebih rendah, ketiga negara
tersebut telah menjadi negara unggulan dalam pemanfaatan energi surya sebagai sumber
energi. Adapun salah satu penyebab lambatnya penetrasi sel surya di Indonesia adalah
masih kurang kokohnya kebijakan pemerintah sebagaimana yang dilaporkan oleh Institute
for Energy Economics and Financial Analysis (Hamdi, 2019). Melengkapi diskursus tentang
kebijakan, Brief ini akan membahas kesempatan penetrasi dan potensi manufaktur sel surya
di Indonesia dari sisi teknologi.

SEL SURYA GENERASI KEDUA


Saat ini teknologi sel surya yang mendominasi pasar dunia adalah generasi pertama yang
berbasis silikon dengan market share sekitar 90-95% (Fraunhofer Institute for Solar Energy
(ISE), 2019). Salah satu faktor dominansi generasi pertama di pasaran adalah karena
teknologinya yang sudah sangat mapan dan sudah terdapat pabrikan-pabrikan pemain
besar penghasil sel surya di dunia. Para pemain besar ini terus berupaya mempertahankan
dominasi pasar PV silikon di dunia. Mereka aktif memberikan insentif bagi kegiatan riset
yang bertujuan untuk menurunkan nilai rasio dolar/watt PV silikon. Salah satu pemain
penting dalam industri sel surya di dunia adalah perusahaan-perusahaan di Tiongkok.
Tahun 2015 merupakan tahun penting karena saat itu Tiongkok berhasil melampaui Jerman
dalam hal jumlah PLTS terpasang yang dimilikinya, yaitu sebesar 43 GW (Nuoshu & Couto
Jr, 2017).

Pasar produksi sel surya di Indonesia juga memiliki kondisi yang serupa. Teknologi yang
digunakan adalah sel surya generasi pertama berbasis silikon. Namun,
perusahaan-perusahaan di Indonesia, baik yang kepemilikannya lokal maupun asing,
semuanya berada di lini terakhir produksi, yaitu perakitan panel surya. Hal ini wajar
dikarenakan lini akhir produksi sel surya berbasis silikon merupakan lini dengan biaya
kapital operasional yang paling terjangkau dari semua lini produksi. Lini terakhir ini juga
tidak membutuhkan penguasaan teknologi yang tinggi.

Selain dari jumlah PLTS terpasang, memang Tiongkok, Jerman, dan Jepang sudah berada di
depan dalam penguasaan teknologi di hulu produksi sel/panel surya. Pengembangan
teknologi ini telah berjalan sejak beberapa dekade yang lalu sehingga tidak heran
perusahaan di negara-negara tersebut sudah punya ekosistem manufaktur dari hulu ke hilir
yang efisien dan rendah biaya sehingga sulit dikejar.
PPI Brief 3
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

Berkaca dari capaian bauran energi yang masih jauh dari target dan besarnya investasi yang
dibutuhkan untuk mendirikan pabrik pengolahan silikon dan manufaktur sel surya generasi
pertama, Indonesia akan terus bergantung pada produsen luar negeri dan hanya bisa
‘bermain’ di hilir. Namun demikian, Indonesia masih bisa mengejar di sel surya generasi
kedua. Teknologi sel surya generasi kedua, menurut kami, adalah pilihan yang tepat untuk
dikembangkan di Indonesia untuk mengejar target bauran energi sekaligus mengembangkan
industri sel surya dalam negeri dibandingkan sel surya generasi pertama yang berbasis
silikon.

Pertama, karena proses produksi generasi kedua yang lebih sederhana. Biaya produksi sel
surya generasi kedua lebih murah dan konsumsi energinya yang lebih rendah. Sebagai
gambaran, proses awal pengolahan silikon menjadi Metal Grade Silicon membutuhkan daya
sekitar 10-30 MW, atau sekitar sepersepuluh listrik yang dihasilkan oleh PLTU Muara
Karang. Sebuah riset yang dilakukan di Pulau Sisilia, Italia, menunjukkan bahwa Energy Pay
Back Time (EPBT) untuk PV silikon yaitu sebesar 1-2 tahun, sedangkan EPBT untuk thin film
PV jenis CdTe dan CIGS sebesar 0,5-1 tahun (Fraunhofer Institute for Solar Energy (ISE),
2019). EPBT adalah waktu yang dibutuhkan produk penghasil energi terbarukan untuk
‘membayar‘ energi yang terpakai saat produksi. Laporan dari Konsorsium Kemandirian
Industri Fotovoltaik Nasional (KKIFN) menyebutkan bahwa untuk menghasilkan modul
surya silikon dari hulu ke hilir dengan kapasitas produksi 60 MWp/tahun dibutuhkan biaya
investasi sebesar 244 juta USD, sedangkan biaya investasi untuk modul surya thin film
hanya sekitar 44 juta USD (Kementerian Perindustrian, 2016).

Kedua, karena sifat alami dari sel surya yang semakin bagus kinerjanya jika suhunya
dingin dan sebaliknya akan semakin buruk kinerjanya jika suhunya panas.
Negara-negara yang banyak mengembangkan teknologi PV mayoritas merupakan negara
subtropis seperti Jerman, Jepang, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Di daerah subtropis,
suhunya relatif lebih rendah sepanjang tahun dibandingkan daerah tropis. Antara sel surya
jenis silikon dan generasi kedua, pada suhu dingin kinerja silikon lebih baik karena lebih
tinggi efisiensinya. Sedangkan pada suhu panas, sel surya jenis silikon mengalami
penurunan kinerja yang signifikan melebihi penurunan kinerja sel surya generasi kedua.
Oleh karena itu sebenarnya silikon lebih cocok di daerah subtropis, sedangkan sel surya
generasi kedua lebih cocok untuk daerah tropis seperti Indonesia (Virtuani, Pavanello, &
Friesen, 2010; Ye, Ding, Reindl, & Aberle, 2013).

Ketiga, kondisi cuaca yang sering hujan atau berawan di Indonesia juga lebih cocok
menggunakan sel surya generasi kedua karena lebih bagus menangkap cahaya matahari
yang terdispersi akibat mendung dibandingkan silikon. Strategi tambahan yang bisa
dilakukan untuk optimalisasi pemanfaatan energi surya terkait kondisi hujan ini yaitu
PPI Brief 4
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

menggabungkannya dengan PLTA, artinya instalasi panel surya bisa dilakukan di waduk
atau danau yang berdekatan dengan lokasi PLTA. Pada saat musim kemarau ketika kinerja
PLTA menurun, PLTS justru mencapai puncaknya. Hal sebaliknya terjadi ketika musim hujan
tiba. Sistem ini telah diterapkan untuk pembangkit campuran PLTA-PLTS atau hybrid
hydro-PV Alto Rabagao di Portugal dan juga di negara tetangga pada bendungan di Ulu
Sepri di Malaysia, meskipun keduanya menggunakan panel surya jenis silikon (Ciel & Terre,
2017).

Terakhir, keandalan sel surya lapisan tipis yang lebih baik terhadap shading yang bisa
disebabkan oleh daun, debu, bayangan, dan sebagainya. Hal ini berimbas pada menurunnya
biaya pemeliharaan yang diperlukan untuk membersihkan permukaan sel surya demi
menjaga kestabilan kinerjanya.

Dengan adanya beberapa faktor keuntungan di atas, beberapa negara sudah memulai untuk
mengembangkan manufaktur sel surya jenis CIGS (copper indium gallium selenide). Pada
2017, Tiongkok telah bersiap untuk memproduksi dan mengkomersialisasi sel surya generasi
kedua jenis CIGS. Pada tahun tersebut telah dibentuk kerjasama antara dua perusahaan
energi terbesar di Tiongkok, Shenhua Group dan Shanghai Electric Group, dengan Manz,
manufaktur asal Jerman yang memiliki hak eksklusif untuk memproduksi sel surya CIGS
dengan salah satu efisiensi yang tertinggi di dunia yaitu sebesar 22,6%. Kerjasama tersebut
bertujuan untuk membangun pabrik CIGS dengan kapasitas 350 MW di Chongqing
(Tiongkok) yang bernilai 282 juta USD. Pabrik tersebut nantinya akan menjadi pabrik CIGS
terbesar kedua di dunia setelah Solar Frontier di Jepang dengan kapasitas 1 GW. Produksi
CIGS yang dilakukan bertujuan untuk mengejar harga yang lebih rendah dari 25 sen dolar
Amerika per Watt. Selain membangun pabrik manufaktur di Chongqing, laboratorium riset
CIGS juga akan dibangun di Beijing (Gifford, 2018).

ANALISA TANTANGAN
Sebelumnya telah disebutkan bahwa panel surya jenis silikon telah menjadi industri yang
lebih mapan dibandingkan dengan fotovoltaik generasi kedua thin film PV, seperti CIGS.
Hal ini menimbulkan preseden utama yang menjadi tantangan pendirian manufaktur sel
surya generasi kedua dalam negeri, yaitu nilai ekonomis yang belum begitu meyakinkan di
atas kertas. Berdasarkan harga PV modul pada bulan Mei tahun 2019 di situs pvinsights.com,
rata-rata harga PV modul silikon juga sudah lebih rendah daripada thin film, yaitu 0,213
USD/Watt untuk PV polisilikon dan 0,248 untuk PV thin film. Kemudian, efisiensi tertinggi
produk jadi sel surya thin film PV (seperti CIGS) hanya sekitar 15%-17%, lebih rendah
dibandingkan PV silikon di pasaran yang berkisar di sekitar 20%. Sehingga optimisasi proses
produksi menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan teknologi
thin film PV agar membuatnya lebih bersaing (Nayak, Mahesh, Snaith, & Cahen, 2019).
PPI Brief 5
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

Adapun tantangan lain dalam mendirikan industri manufaktur thin film PV adalah pabrikan
penghasil PV thin film harus merupakan pabrikan yang terintegrasi (end-to-end). Hal ini
berbeda dengan proses produksi PV silikon yang bisa dipisah-pisah dan dikerjakan oleh
pabrik atau unit usaha yang berbeda. Akibatnya, pendirian pabrik thin film PV mempunyai
risiko yang relatif lebih besar dibandingkan pabrikan silikon. Ini merupakan salah satu
faktor yang membuat orang berpikir ulang jika akan membuat pabrikan thin film. Walaupun
sebenarnya investasi pendirian sebuah pabrik thin film secara end-to-end jauh lebih murah
dibandingkan investasi pendirian pabrikan silikon end-to-end.

Terakhir, aspek ketersediaan bahan baku bisa menjadi tantangan tersendiri melihat dari
tingginya permintaan penggunaan bahan baku utama thin film PV jenis CIGS, yaitu Indium
dan Galium, pada industri elektronik dan semikonduktor lainnya (U.S. Geological Survey,
2019).

Saat ini, dua negara yang lokasinya berdekatan dengan Indonesia, yaitu Malaysia dan
Vietnam, telah memiliki pabrik thin film PV tipe CdTe meskipun keduanya dimiliki oleh
perusahaan asal Amerika Serikat, First Solar. Berada di sabuk Khatulistiwa, Indonesia
dengan potensi energi surya yang besar sudah saatnya tidak hanya menjadi pasar dari
teknologi yang ada, namun juga harus mengembangkannya di Tanah Air. Pertimbangan
pemilihan teknologi bisa melihat dari keunikan kondisi alam Indonesia, investasi dana awal
serta biaya operasional harian yang ditimbulkan, kompleksitas proses serta energi yang
diperlukan, dan juga aspek ketersediaan bahan baku.

REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merekomendasikan kepada pemerintah pusat
Indonesia dan instansi atau stakeholder terkait untuk segera memulai pengembangan
teknologi sel surya thin film. Setidaknya, ada tiga strategi yang bisa dilakukan di awal untuk
mempercepat inisiasi penguasaan teknologi tersebut.

Strategi pertama yaitu mengikuti langkah Tiongkok yang membeli teknologi/paten dari
hulu ke hilir untuk mempercepat terjadinya proses transfer teknologi. Ini dilakukan oleh
salah satu grup perusahaan bernama Hanergy, yang berhasil mengakuisi empat produsen sel
surya thin film (Solibro, 2016).

Strategi kedua yaitu dengan cara membuat inkubator teknologi yang berbasis pasar
khusus untuk sel surya thin film, seperti yang telah dilakukan di Brazil, Singapura, Jerman,
dan Amerika Serikat untuk teknologi sel surya jenis silikon (Moehlecke & Zanesco, 2012).
PPI Brief 6
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

Tentunya dua hal ini perlu diimbangi dengan strategi ketiga, yaitu menarik sumber daya
manusia berkualitas untuk penelitian yang berkelanjutan dalam mengatasi tantangan
yang telah disebutkan.

Sebagai penutup, selain investasi modal, penguasaan teknologi perlu menjadi perhatian
pemerintah Indonesia dalam mewujudkan program-program ke depan, khususnya terkait
target capaian proporsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional. Penguasaan
teknologi teknologi sel surya thin film juga selayaknya dapat menjadi pilihan bagi industri
nasional untuk dapat terus memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk
panel surya yang terus meningkat hingga 60% di tahun 2019 sesuai dengan Permenperin
Nomor 05/M-IND/PER/2/2017.
PPI Brief 7
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

TENTANG PENULIS
Wisnu Ananda adalah mahasiswa doktoral di kelompok riset
Electronic Properties of Materials, University of Vienna dengan
topik riset “Structural Characterization and Electrical Properties of
CZTS Solar Cells” dan merupakan anggota Divisi Pendidikan PPI
Austria.

Ahmad Ibrahim adalah mahasiswa doktoral di School of Materials


Science and Engineering, Nanyang Technological University, dan
merupakan anggota Pusat Kajian dan Gerakan PPI Dunia
2018/2019.

PPI Brief adalah analisis bulanan PPI Dunia atas Kondisi nasional dan internasional terkini.
Kritik dan saran bisa ditujukan langsung ke pusgerak@ppidunia.org

Dewan Redaktur: Ahmad Rizky M. Umar, Bening Tirta Muhammad, dan Tim Pusat Kajian &
Gerakan PPI Dunia 2018/2019

REFERENSI
Ciel & Terre. (2017). Projects Reference List.

Fraunhofer Institute for Solar Energy (ISE). (2019). Photovoltaics Report. Freiburg.

Gifford, J. (2018). The weekend read: CIGS is back, back again. Retrieved from https://ww-
w.pv-magazine.com/2018/07/21/the-weekend-read-cigs-is-back-back-again/

Hamdi, E. (2019). Indonesia’s Solar Policies: Designed to Fail?

IRENA. (2017). Renewable Energy Prospects: Indonesia, a REmap analysis.


PPI Brief 8
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mneral. (2014). Solar PV Feed in Tariff in Indonesia:
Regulation and Framework Conditions.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2018). Handbook Of Energy & Economic
Statistics of Indonesia. Jakarta.

Kementerian Perindustrian. (2016). Telaahan Penguatan Struktur Industri Fotovoltaik Melalui


Tinjauan Teknologi dan Rantai Nilai. Jakarta.

Moehlecke, A., & Zanesco, I. (2012). Development of Silicon Solar Cells and Photovoltaic
Modules in Brazil: Analysis of a Pilot Production. Materials Research, 15(4), 581–588. https://-
doi.org/10.1590/s1516-14392012005000084

Nayak, P. K., Mahesh, S., Snaith, H. J., & Cahen, D. (2019). Photovoltaic solar cell technologies:
analysing the state of the art. Nature Reviews Materials, 4(4), 269–285. https://-
doi.org/10.1038/s41578-019-0097-0

Nuoshu, H., & Couto Jr, F. (2017). Can Brazil replicate China’s successful solar industry ?
Solibro. (2016). Solibro GMBH Company Presentation.

U.S. Geological Survey. (2019). Mineral Commodity Summaries 2019: U.S. Geological Survey.

Virtuani, A., Pavanello, D., & Friesen, G. (2010). Overview of Temperature Coefficients of
Different Thin Film Photovoltaic Technologies. 25th European Photovoltaic Solar Energy
Conference and Exhibition / 5th World Conference on Photovoltaic Energy Conversion, 6-10
September 2010, Valencia, Spain, (January), 4248–4252. https://-
doi.org/10.4229/25thEUPVSEC2010-4AV.3.83

World Bank, & SOLARGIS. (2019). Global Horizontal Irradiation Map.

Ye, J. Y., Ding, K., Reindl, T., & Aberle, A. G. (2013). Outdoor PV module performance under
fluctuating irradiance conditions in tropical climates. Energy Procedia, 33, 238–247. https://-
doi.org/10.1016/j.egypro.2013.05.064

Anda mungkin juga menyukai