Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia menjadi sebagai salah satu Negara dengan tuingkat perkembangan yang cukup
baik, hal ini didukung dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional,
kondisi tersebut ditandai dengan adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang pelayanan kesehatan.
Seiring dengan perkembangan itu maka angka harapan hidup manusia akan bertambah
pula, akibatnya jumlah.
Sugandi (2017) menjelaskan bahwa lanjut usia pada umumnya mengalami
perubahan perubahan pada jaringan tubuh yang disebabkan oleh proses penuaan dan
degenerasi pada organ organ tubuh, khususnya sistem traktus urinarius.Kondisi ini dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari pada lansia yang berdampak pada penurunan kualitas
hidup.
Kelenjar prostat adalah salah satu organ tubuh pria khususnya pada lansia, yang paling
sering mengalami ganggua, yaitu pembesaran prostat jinak atau benign prostate
hyperplasia yang selanjutnya disingkat BPH.Dalam hal ini kelenjar periutera mengalami
pembesaran, sedangkan jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul. BPH
akan timbul seiring dengan bertambahnya usia.
Menurut WHO tahun 2002 terdapat kurang lebih 60 juta penderita benign
hyperplasia, 400 juta di Negara industri dan 200 juta di Negara berkembang termasuk
Indonesia. Sedangkan pada tahun 2013 populasi pasien Benigna prostat hyperplasia rata
rata perbulan sebanyak 30 pasien.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep dasar medis padaBPH ?
2. Bagaimana konsep dasar keperawatan pada BPH ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep dasar medis pada BPH
2. Mampu memahami konsep dasar keperawatan pada BPH

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Medis


1. Definisi
Hiperplasia prostat atau BPH (Benigna Prostate Hiperplasia) adalah pembesaran
progresif dan kelenjar prostat. Bersifat jinak disebabkan oleh hipeplasi beberapa
atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars
prostatika.
Beniqna prostat hyperplasia (BPH) adalah suatu penyakit pembesaran atau
hipertropi dari dari prostat.Kata- kata hipertropi seringkalimenimbulkan
kontrovensi dikalangan klinik karena sering rancu dengan hyperplasia.Hipertropi
bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diketahui
oleh jumlah (Kuantitas).
Namun, hiperplasi merupakan pembesarna ukuran sel (kualitatif) dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel (kuantitatif).BPH seringkali menyebabkan gangguan
dalam eliminasi urine karena pembesaran prostat yang cenderung kearah depan
menekan vesik urinaria.
Dari beberapa pengertian diatas maka penulis menarik kesimpulan
bahwa BPH ( Benigna Prostate Hipeplasia) adalah hipertropi atau pembesaran
progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia
beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra
pars prostatika yang ditemukan pada usia lanjut.
2. Anatomi Fisologi
Sistem reproduksi pria meliputi organ-organ reproduksi.Spermatogenesis dan
hormon pada pria.Orga reproduksi pria terdiri atas organ reproduksi dalam dan
organ reproduksi luar.

3
a. Organ
reproduksi Dalam
Orga reproduksi dalam pria terdiri dari :
1) Testis
Testis (gonad jantan) berbentuk oval dan terletak di dalam kantung pelir
(skrotum). Testis berjumlah sepasang (testes=jamak) Testis terdapat
dibagian tubuh disebelah kiri dan kanan. Testis kiri dan kanan dibatasi oleh
suatu sekatyang terdiri dari serat jaringan ikat dan otot polos.testis adalah
sepasang struktur oval, agak gepeng dengan panjang 4 cm sampai 5 cm
(1,5 inci sampai 2 inci) dan berdiameter 2,5 cm (1 inci)
Fungsi testis, terdiri dari :
a) Membentuk gamet-gamet baru yaitu spermatozoa, dilakukan di tubulus
seminiferous
b) Menghasilkan hormone testosterone, dilakukan oleh sel interstitial.
Bersama dengan epididymis, testis berada dalam skrotum. Dinding
yang memisahkan testis dengan epididymis disebut dengan dengan
tunica vaginalis. Tunica vaginalis dibentuk dari peritoneum
abdominalis yang mengadakan migrasi kedalam skrotum saat
berkembangnya genetalia interna pria.

4
1. Turnika albuginca adalah kapsul jaringan ikat yang membungkus
testis dan merentang kea rah dalam untuk membaginya menjadi
sekitar 250 lobulus.
2. Tubulus seminiferous, tempat berlangsungnya spermatogenesis,
terlilit dalam lobules. Epitelium germinal khusus yang melapisi
tubulus seminiferus mengandung sel sel batang ( spermatogenia)
yang kemudian menjadi sperma : sel sel sertoli yang menopang dan
memberi nutrisi sperma yang sedang berkembang : dan sel sel
interstitial (leydig) yang memiliki fumngsi endokrin.
2) Saluran pengeluaran
Saluran pengeluaran pada organ reproduksi dalam pria terdiri dari
epididymis, vas deferens, saluran ejakulasi dan uretra.
a) Epididimis
Merupakan saluran berkelok-kelok di dalam skrotum yang keluar
dari testis. Epididimis berjumlah sepasang disebelah kanan dan kiri.
Epididimis berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara sperma
sampai menjadi matang dan bergerak menuju vans deferens.
b) Vas Deferens
Vas deferens (saluran sperma dari testis ke kantong sperma)
Vas deferens atau saluran sperma (duktus deferens) merupakan saluran
lurus yang mengarah ke atas dan merupakan lanjutan dari
epididimis.Vas deferens tidak menempel pada testis dan ujung
salurannya terdapat di dalam kelenjar prostat. Vas deferens berfungsi
sebagai saluran tempat jalannya sperma dari epididimis menuju
kantung semen atau kantung mani (vesikula seminalis).
c) Saluran Ejakulasi
Saluuran ejakulasi merupakan saluran poendek yang menghubungkan
kantung semen dengan uretra.Saluran ini berfungsi untuk mengeluarkan
sprema agar masuk kedalam uretra.
d) Uretra

5
Uretra merupakan saluran akhir reproduksi yang terdapat didalam
penis.Uretra berfungsi sebagai saluran kelamin yang berasal dari
kantung semen dan saluran untuk membuang urin dari kantung kemih.
3) Kelenjar asesoris
Selama sperma melalui saluran pengeluaran, terjadi penambahan berbagai
getah kelamin yang dihasilkan oleh kelenjar assesoris.Getah- getah ini
berfungsi sebagai memepertahankan kelangsungan hidup dan pergerakan
sperma. Kelenjar asesoris merupakan kelenjar kelamin yang terdiri dari
vesikula seminalis , kelenjar prostat dan kelenjar cowper.
a) Vesikula seminalis
Vesikula seminalis atau kantung semen adalah kelenjar berlekuk-lekuk
yang terletak di belakang kantung kemih.Dinding vesikula seminalis
menghasilkan makanan yang merupakan sumber makanan bagi sperma.
Cairan vesika seminalis bersifat basa (alkalis) dan menyumbangkan
60% dari komposisi total cairan semen. Kandungan cairan vesika
seminalis mengandung mukus, fruktosa (yang menyediakan sebagian
besar energi yg digunakan oleh sperma), enzim pengkoagulasi, asam
askorbat, dan protasglandin.
b) Kelenjar prostat
Kelenjar Prostat merupakan organ yang berfungsi untuk memproduksi
dan menyimpan sejenis cairan yang akan menjadi sebagian besar air
mani “semen”. Prostat ialah kelenjar eksokrin berukuran sebesar buah
kenari yang terletak antara kandung kemih dan penis, di depan rektum.
Cairan yang dikeluarkan prostan memberikan nutrisi dan melindungi
sperma. Selama ejakulasi, prostat akan membuat cairan ini keluar
melalui uretra, bersamaan dengan sperma membentuk cairan mani.
fungsi kelenjar prostat yang diantaranya yaitu: Fungsi utama prostat
ialah mengeluarkan 30-35% atau satupertiga cairan dari air mani.
Cairan ini berfungsi untuk memberikan nutrisi dan perlindungan
terhadap sperma agar dapat bertahan dalam lingkungan vagina.

6
Prosta mengandung jaringan otot polos, sehingga turut membantu untuk
memompa air mani keluar melalui penis dengan kekuatan yang cukup
untuk masuk ke dalam vagina untuk membantu sperma membuahi ovul.
Prostat yang mengelilingi bagian uretra dapat berfungsi sebagai katup
yang mencegah urin keluar kecuali apabila memang ada rangsangan
buang air kecil. Sistem saraf prostat akan membantu proses terjadinya
ereksi penis.
c) Kelenjar cowper
Kelenjar cowpwer ( kelenjar bulbouretra) merupakan kelenjar
yang salurannya
Langsung menuju uretra.Kelenjar cowpwer menghasilkan getah yang
bersifat alkali (basa).
b. Organ reproduksi Luar
Organ reproduksi luar pria terdiri dari penis dan skrotum.
1) Penis
Pada sistem urinaria, penis berfungsi sebagai saluran keluarnya
urin.Namun dalam sistem reproduksi, penis memiliki dua fungsi yaitu
sebagai saluran keluarnya cairan semen dan sebagai alat kopulasi. Meski
penis memiliki 2 saluran yang berbeda, hal ini tidak membuat kedua cairan
ini keluar secara bersamaan. Mengapa demikian ?karena pada saat terjadi
ejakulasi atau proses pengeluaran sperma, otot otot pada kandungkemih
akan mengerut untuk mencegah sperma masuk dan urin yang berada
didalamnya juga tidak keluar bersama sperma.
Pada penis terdapat tiga tabung erektil, tabung tabung ini yang
menyebabkan penis bersifat erektil. Tabung tabung tersebut adalah
sepasang corpora cavernosa dan sebuah corpora spongiosa dan ketiganya
akan berakhir pada gland penis. Tabung tersebut dikelilingi oleh jaringan
ikat dan banyak otot polos. Ketiga tabung inilah yang berperan dalam
proses ereksi dan ejakulasi. Penis juga di dilapisi oleh kulit yang tipis dan
halus dengan bagian ujung melipat yang disebut preputium. Pada kulit
penis juga sama seperti kulit pada umumnya yang memiliki kelenjar

7
keringat, kelenjar lemak, dan folikel rambut. Saat anak laki laki dikhitan
maka bagian preputium lah yang akan di potong.
2) Skrotum
Skrotum adalah kantung pembungkus testis, yang berfungsi sebagai
pengatur suhu testis. Hal ini merupakan kegiatan yang sangat penting pada
proses spermatogenesis agar suhu tetap stabil sehingga spermatogenesis
tetap terjadi. Pada skrotum terdiri dari lapisan subkutan, otot polos, serta
lapisan kulit. Kulit pada skrotum memiliki lipatan-lipatan, lipatan lipatan
ini yang memungkinkan skrotum bisa mengendur menjauhi tubuh saat
cuaca panas dan mengerut mendekati tubuh saat suhu rendah atau dingin.

3.Etiologi
a. Peningkatan DHT (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hyperplasia. Testosteron yang dihasilkan
oleh sel leydin jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90% dari
seluruh produksi testosteron.Sedang yang 10% dihasilkan oleh kelenjar
adrenal.Sebagian besar testosteron dalam keadaan terikat dengan protein dalam
bentuk serum. Bendung hormon (SHB) sekitar 20% testosteron berada dalam keadaan
bebas dan testosteron bebas inilah yang memegang peranan dalam proses terjadinya
pembesaran prostat testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan
menembus membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT
heseplar kompleks yang akan mempengaruhi asam RNA yang menyebabkan
terjadinya sintyesis protein sehingga dapat terjadi profilikasi sel.
b. Ketidakseimbangan estrogen-testosterone
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon
tertosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hyperplasia stroma pada prostat.
c. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor
dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hyperplasia stroma dan
epitel, sehingga akan terjadi BPH.

8
d. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup
sroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori sistem sel
Sistem sel yang meningkat akan menyebabkan proliferasi sel transit dan
memicu terjadinya benigna prortat hyperplasia.

4. Patofisiologi
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron
estrogen, karena produksi testoteron menurun dan terjadi konversi testoteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa diperifer. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomik. Pada tahap awal setelah
terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat,
dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih
dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut tuberkulasi. Fase penebalan
detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.Apabila keadaan ini berlanjut maka
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
berkontraksi sehingga terjadi retensi urine.
Biasanya ditemukan gejala obstruksi dan iritasi.Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi sehingga kontraksi menjadi terputus.Gejala iritasi terjadi karena
pengsongan kandung kemih yang tidak sempurna saat miksi atau pembesaran prostat
yang menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, vesika sering berkontraksi
meskipun belum penuh. Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi
urine sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine dalam kandung kemih
dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu
saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.
Karena produksi urine terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi menampung urine
sehingga tekanan intra vesika terus meningkat melebihi tekanan tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga menimbulkan inkontinensia paradoks.Retensi kronik

9
menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidrouter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat apabila terjadi infeksi. Sisa urine yang terjadi selama
miksi akan menyebabkan terbentuknya batu endapan yang dapat menyebabkan
hematuria, sistisis dan pielonefritis.

5. Manifestasi Klinik
BPH merupakan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata lebih dari 50
tahun. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak obstruksi saluran
kencing, sehingga klien kesulitan untuk miksi.Berikut ini adalah beberapa gambaran
klinis pada klien BPH (Muttaqin & Sari, 2012).
a) Gejala prostatismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urine) : kondisi ini
dikarenakan oleh kemampuan vesika urianaria yang gagal mengeluarkan urine
secara spontan dan reguler, sehingga volume urine masih sebagian besar tertinggal
didalam vesika.
b) Retensi Urine
Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, terjadi hisistansi,
intermitensi, urine menetes, dorongan mengejan yang kuat saat miksi, dan retensi
urine.Retensi urine sering dialami oleh klien yang mengalmi BPH kronis.Secara
fisiologis, vesika urinaria memiliki kemampuan untuk mengeluarkan urine melalui
kontraksi otot detrusor. Namun, obstruksi yang berkepanjangan akan membuat
beban kerja m. Detrusor semakin berat dan pada akhirnya mengalami
dekompensasi.
c) Pembesaran Prostat;
Hal ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT) anterior.Biasanya didapatkan
gambaran pembesaran prostat dengan konsistensi jinak.
d) Inkontinesia.
Inkontinesia yang terjadi menunjukan bahwa m. Detrusor gagal melakukan kontraksi.
Dekompensasi yang berlangsung lama akan mengiritabilitas serabut syaraf
urinarius, sehingga control untuk miksi hilang.

10
6. Derajat Benign Prostat Hyperplasia

Benign Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya:

a. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1-2 cm, sisa urine
kurang 50 cc, pancaran lemah necturia, berat ± 20 gram.

b. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas badan
tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih
teraba, sisa urine 50-100 cc dan beratnya ± 20-40 gram.

c. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tidak teraba, sisa urine lebih
100 cc, penonjolan prostat 3-4 cm, dan beratnya 40 gram.

d.Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti
gagal ginjal, hydroneprosis.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan klinik dilakukan untuk mengetahui apakah pembesaran prostat ini bersifat benigna
atau maligna dan untuk memastikan tidak adanya penyakit penyerta lain. Berikut
pemeriksaannya (Grace, 2006) :
a. Urinalisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red Blood Cell) dalam urine
yang memanifestasikan adanya pendarahan/hematuri.
b. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan iterna dalam
abdomen.Sampel yang diambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel
darah merahnya.
c. Ureum, elektrolit dan serum kratini
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data
pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH, karena obstruksi
yang berlangsung kronis sering kali menimbulkan hidronefrosis yang lambat
laun akan memperberat fungsi ginjal dan pada akhirnya menjadi gagal ginjal.

11
d. PA (Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel jaringan akan
dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat
benigna atau maligna, sehingga akan menjadi landasan untuk streatment
selanjutnya.
e. Catatan harian berkemih
Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine, sehingga akan terlihat bagaimana siklus
rutinitas miksi dari pasien. Data ini menjadi bekal untuk membandingkan pola
eiminasi urine yang normal.
f. Uroflowmetri
Dengan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur pancaran urine. Pada
obtruksi dini seringkali pancaran melemah bahkan meningkat.Hal ini disebabkan
obstruksi dari kelenjar prostat pada traktus urinarius.Selain itu, volume residu
urine juga harus diukur.Normalnya residu urine < 100 ml. Namun, residual yang
tinggi membuktikan bahwa vesika urinaria tidak mampu mengeluarkan urine
secara baik karena adanya obstruksi.
g. USG Ginjal dan vesika urinaria
USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari BPH,
misalnya hidronephrosis. Sedangkan USG pada vesika urinaria akan
memperlihatkan gambaran pembesaran kelenjar prostat.

8. Penatalaksanaan Medik
Penyakit BPH merupakan penyakit bedah, sehingga terapi bersifat simptomatis
untuk mengurangi tanda gejala yang diakibatkan oleh obstruksi pada saluran kemih.
Terapi simptomatis ditujukan untuk merelaksasi otot polos prostat atau dengan
menurunkan kadar hormonal yang mempengaruhi pembesaran prostat, sehingga
obstruksi akan berkurang. Jika keluhan masih bersifat ringan, maka observasi
diperlukan dengan pengobatan simptomatis untuk mengevaluasi perkembangan
klien.Namun, jika telah terjadi obstruksi/ retensi urine, infeksi, vesikolithiasis,
insufisiensi ginjal, maka harus dilakukan pembedahan.

12
1. Terapi simptomatis

Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu merelaksasi


otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka. Obat golongan 5-alfa-
reduktase inhibitor mampu menurunkan kadar dehidrotestosteron intraprostat,
sehingga dengan turunnya kadar testosteron dalam plasma maka prosta akan
mengecil.

2. TUR-P (Transuretral Resection Prostatectomy)


Tindakan ini merupakan tindakan pembedahan non insisi, yaitu pemotongan
secara elektris prostat melalui meatus uretralis. Jaringan prostat yang membesar
dan menghalangi jalannya urine akan dibuang melalui elektrokauter dan
dikeluarkan melalui irigasi dilator. Tindakan ini memiliki banyak keuntungan,
yaitu meminimalisir tindakan pembedahan terbuka, sehingga masa penyembuhan
lebih cepat dan tinggat resiko infeksi bisa ditekan.

3. Pembedahan terbuka (prostatectomy)


Tindakan ini dilakukan jika prostat terlalu besar diikuti oleh penyakit penyerta
lainnya, misalnya tumor vesika urinaria, vesikolithiasis, dan adanya adenoma
yang besar.

9. Komplikasi
Pembesaran prostat jinak (BPH) kadang-kadang dapat mengarah pada komplikasi
akibat ketidakmampuan kandung kemih dalam mengosongkan urin. Beberapa
komplikasi yang mungkin dapat timbul antara lain:
a. Infeksi saluran kemih.
b. Penyakit batu kandung kemih.
c. Retensi urin akut atau ketidakmampuan berkemih.
d. Kerusakan kandung kemih dan ginjal.

Komplikasi-komplikasi tersebut dapat muncul apabila pembesaran prostat jinak yang


terjadi tidak diobati secara efektif.

13
B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian 11 Pola Gordon

1) Pola persepsi dan Manajemen kesehatan


Data Objektif:
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua
Data Subjektif :
Perawat perlu mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa yangdideritanya?
Dan apa penyebab sakitnya saat ini ?pasien biasanya tidak memperdulikan hal
ini, karena sering mengatakan bahwa sakit yang dideritanya pengaruh umur yang
sudah tua.

2) Pola Nutrisi Dan Metabolic


Data Objektif:
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada
abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH,
sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan
Data Subjektif :
Perawat perlu mengkaji apakah klien merasa mengalami penurunan berat badan

3) Pola eliminasi
Data subjektif:
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keraguan dalam memulai aliran urin,
aliran urin berkurang, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria.

Data objektif:
Mengobservasi drainase kateter untuk mengetahui adanya pendarahan
dengan mengevaluasi warna urin, pengosongan kandung kemih inkomplit.
Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah,
pendarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatn viskositas, warna keruh,

14
gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada
kemungkinan terjadinya konstipasi.
4) Pola latihan-aktivitas
Data subjektif:
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan
terpasang traksi kateter selama 6-24 jam.Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksimasih diperlukan, klien
juga merasa nyeri pada prostat dan pinggang.
Data objektive:
Klien dengan BPH aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga.

5) Pola istirahat dan tidur


Data Subjektif:
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu,
disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus
dimana hal ini dapat mengganggu kenyamanan klien.
Data Objektif :
Mengkaji berapa lama klien tidur dalam sehari

6) Pola Konsep diri dan persepsi diri


Data Subjektif:
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatannya
Data Objektif:
Mengkaji kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

7) Pola kognitif-perceptual
Data Subjektif:
Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya
terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien
mengalami hal itu.

15
Data Objektif:
Jadi perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien, bagaimana status
neurologis klien, apakah ada gangguan?

8) Pola peran dan hubungan


DataObjektif :
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang
dideritanya.Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien
dengan lingkungan sekitar.
Data Subjektif :
Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan dengan klien dengan
keluarga dan masyarakat sekitar?Apakah ada perubahan peran selama
klien sakit?

9) Pola reproduksi-seksual
Dataobjektif :
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya.
Datasubjektif :
Mengkaji inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan
kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada
prostat.

10)Pola pertahanan diri dan toleransi stress


Data objektif :
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stress karena memikirkan
pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak
bisa melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari
perubahan tingkah laku dan kegelisahan klien.

16
Data subjektif :
Perawat perlu mengkaji bagaimana klien menghadapi masalah yang
dialami?Apakah klien menggunakan obat-obatan untuk mengurangi
stresnya?

11) Pola keyakinan dan nilai


Dataobjektif:
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti
gangguan dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya.
Datasubjektif :
Perawat juga perlu mengkaji apakah ada pantangan dalam agama
klien untuk proses pengobatan?

2. Diagnosa Keperawatan
a.Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

b.Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keengganan melalui pergerakan

c.Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi

d.Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis

e.Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan fungsi tubuh

f.Gangguan pola tidur berhubungan dengan imobilisasi

g. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini

h. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan terjadinya retensi urine

3. Intervensi Keperawatan

1. Dx :Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik


NOC : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam nyeri dapat teratasi
dengan kriteris hasil :

17
a. Kontrol Nyeri :
1. Mengenali kapan nyeri terjadi dipertahankan pada skala 3 ditingkatkan ke skala 4
2. Menggunakan tindakan pengurangan (nyeri) tanpa analgesik dipertahankan
pada skala 3 ditingkatkan ke skala 4
3. Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri dipertahankan pada skala 3
ditingkatkan ke skala 4
NIC : Manajemen Nyeri :
1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri
dan faktor pencetus.
2. Berikaninformasimengenainyeri, sepertipenyebabnyeri, berapalama
nyeriakandirasakan, danantisipasidariketidaknyamanan akibatprosedur.
3. Dukungistirahat/ tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri.
4. Berikan individu penurun nyeri yang optimal dengan peresepan analgesik
(mis, nitrogliserin, penyekat beta, analgesik, dan morfin sulfat).
5. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri.

2. Dx :Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keengganan melalui pergerakan


NOC :Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam hambatan mobilitas
fisik dapat teratasi dengan kriteris hasil :
a. Pergerakan :
1. Keseimbangan dipertahankan pada skala 4 ditingkatkan pada skala 5
2. Cara berjalan dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada skala 4
3. Gerakan otot dipertahankan pada skala 4 ditingkatakan pada skala 5
4. Gerakan sendi dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada skala 4

NIC :Peningkatan Mekanika Tubuh :


1. Kaji komitmen pasien untuk belajar dan menggunakan postur (tubuh) yang
benar.
2. Kaji pemahaman pasien mengenai mekanika tubuh dan latihan (misalnya,
mendemonstrasikan kembali teknik melakukan aktivitas/latihan yang benar).

18
3. Edukasi pasien tentang pentingnya postur (tubuh) yang benar untuk
mencegah kelelahan, ketegangan atau injuri.
4. Kaji kesadaran pasien tentang abnormalitas muskuloskeletalnya dan efek
yang mungkin timbul pada jaringan otot dan postur.
5. Monitor perbaikan postur (tubuh) / mekanika tubuh pasien.

3. Dx :Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi


NOC :Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2x24 jam defisiensi pengetahuan
dapat teratasi dengan kriteris hasil :
a. Manajemen penyakit akut :
1. Monitor tanda dan gejala penyakitdipertahankan pada skala 4 ditingkatakan
pada skala 5
2. Monitor tanda dan gejala komplikasi dipertahankan pada skala4
ditingkatakan pada skala 5
3. Menggunakan sumber informasi yang terkemuka dipertahankan pada skala 4
ditingkatakan pada skala 5
NIC : Pengajaran : Proses penyakit
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien terkait dengan proses penyakit yang spesifik.
2. Jelaskan patofisiologi penyakit dan bagaimana hubungannya dengan anatomi
dan fisiologi, sesuai kebutuhan.
3. Riview pengetahuan pasien mengenai kondisinya.
4. Jelaskan tanda dan gejala yang umum dari penyakit.
5. Diskusikan pilihan terapi/penanganan
6.Jelaskan alasan dibalik manajemen/terapi/penanganan yang direkomendasikan.

4. Dx :Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis


NOC :Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam infeksi dapat teratasi
dengan kriteris hasil :
a. Keparahan infeksi :
1. Kemerahandipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada skala 4

19
2. Demam dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada skala 4
3. Nyeri dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada skala 4
NIC : Kontrol infeksi :
1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan untuk setiap pasien.
2. Ganti peralatan perawatan per pasien sesuai protokol institusi.
3. Berikan terapi antibiotik yang sesuai.
4. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan
harus melaporkannya kepada penyedia perawtan kesehatan.
5. Dx :Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan fungsi tubuh
NOC : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam disfungsi seksual
dapat teratasi dengan kriteris hasil :
a. Fungsi seksual :
1. Menahan diri dari penggunaan obat yang memberikan efek yang tidak
diharapkan pada fungsi seksual dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan
pada skala 4
2. Mengekspresikan kenyamanan dengan ekspresi seksual dipertahankan pada
skala 3 ditingkatakan pada skala 4
3. Mengekspresikan kemampuan untuk melakukan aktivitas seksual meskipun
mengalami ketidaksempurnaan fisik dipertahankan pada skala 3
ditingkatakan pada skala 4
NIC : Koseling seksual :
1. Bangun hubungan terapeutik, didasarkan pada kepercayaan dan rasa hormat
2. Dorong pasien untuk mengungkapkan ketakutan dan untuk bertanya mengenai
fungsi seksual
3. Diskusikan efek dari perubahan seksualitas pada orang terdekat pasien
4. Monitor timbulnya stress, kecemasan dan depresi sebagai kemungkinan
penyebab dari disfungsi seksual
5. Libatkan pasangan pasien pada saat konseling sesering mungkin, sesuai
kebutuhan
6. Dx :Gangguan pola tidur berhubungan dengan imobilisasi

20
NOC :Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam gangguan pola tidur
dapat teratasi dengan kriteris hasil :
a. Tidur :
1. Pola tidur dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada skala 4
2. Kualitas tidur dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada skala 4
3. Perasaan segar setelah tidurdipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada
skala 4
4. Mudah bangun pada saat yang tepat dipertahankan pada skala 4 ditingkatkan
pada skala 5
NIC :Peningkatan tidur :
1. Tentukan pola tidur/aktivitas pasien
2. Monitor/catat pola tidur pasien dan jumlah jam tidur
3. Anjurkan pasien untuk memantau pola tidur
4. Bantu untuk menghilangkan situasi stress sebelum tidur
5. Bantu pasien untuk membatasi tidur siang dengan menyediakan aktivitas
yang meningkatkan kondisi terjaga, dengan tepat
7. Dx : Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
NOC :Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam ansietas dapat
teratasi dengan kriteris hasil :
a. Tingkat Kecemasan :
1. Tidak dapat beristirahat dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada
skala 4
2. Perasaan gelisah dipertahankan pada skala 4 ditingkatakan pada skala 5
3. Rasa cemas yang disampaikan secara lisandipertahankan pada skala 3
ditingkatakan pada skala 4

4.Peningkatan tekanan darah dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada


skala 4
NIC :PenguranganKecemasan
1. Jelaskansemuaprosedurtermasuksensasi yang akandirasakan yang
mungkinakandialamiklienselamaprosedur (selamadilakukan).

21
2. Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan, dan prognosis.
3. Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan cara yang tepat.
4. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi, dan ketakutan.
5. Atur penggunaan obat-obatan untuk mengurangi kecemasan secara tepat.
8. Dx : Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan terjadinya retensi urine
NOC :Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam gangguan
eliminasi urine dapat teratasi dengan kriteris hasil :
a. Eliminasi urine :
1. Pola eliminasi dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada skala 4
2. Mengosongkan kantung kemih sepenuhnya dipertahankan pada skala 3
ditingkatakan pada skala 4
3. Jumlah urine dipertahankan pada skala 3 ditingkatakan pada skala 4
NIC : Perawatan retensi urin
1. Lakukan pengkajian komprehensif sistemperkemihan focus terhadap
inkontinensia (misalnya urin output, pola berkemih, fingsi kognitif,
masalah saluran perkemihan sebelumnya)
2. Berikan privasi dalam melakukan eliminasi
3. Gunakan kekuatan sugesti dengan menggunakan air yang mengalir atau
dengan menyiram toilet
4. Berikan waktu yang cukup untuk pengosongan kandung kemih (10
menit)

4. Discharge Planning

Menurut Muttaqin dan sari (2012) ada beberapa hal penting yang harus
diinformasikan kepada klien untuk rencana pemulangan, yaitu :

a. Anjurkan klien agar tidak terlibat dalam segala bentuk aktivitas yang
menyebabkan efek valsava mengangkat benda berat.

22
b. Anjurkan agar menghindari perjalanan dengan motor dalam jarak jauh dan
latihan berat, yang dapat meningkatkan kecenderungan pendarahan.

c. Klien diingatkan untuk minum cukup cairan untuk mencegah dehidrasi, yang
meningkatkan kecenderungan terbentuknya bekuan darah dan menyumbat
aliran urine.

d. Anjurkan untuk menghindari makanan yang pedas, alkohol dan kopi yang
dapat menyebabkan ketidaknyamanan.

e. Anjurkan pasien untuk minum obat secara teratur.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

23
BPH ( Benigna Prostate Hipeplasia) adalah hipertropi atau pembesaran progresif dari
kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau semua
komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika yang
ditemukan pada usia lanjut.Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan
keseimbangan testoteron estrogen, karena produksi testoteron menurun dan terjadi
konversi testoteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa diperifer. Bila perubahan
mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomik.

B. Saran
Untuk mencegah terjadinya BPH ( Benigna Prostate Hipeplasia), maka sebaiknya
harus mengindari faktor-faktor yang dapat mengakibatkan BPH. Sebagai perawat, kita
harus lebih memperhatikan dan menjalankan intervensi demi kesembuhan klien. Selalu
melakukan evaluasi, agar dapat mengetahui intervensi apa yang harus ditambahkan,
ditingkatkan, dan dipertahakan demi tingkat kesembuhan klien.

DAFTAR PUSTAKA

 Haryono. R,(2013). Keperawatan medical bedah system perkemihan.

Yogyakarta : raphe publishing

 Herdman, T. Heather & Shigemi Kamitsuru (2015). NANDA Internasional

24
Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10.

Jakart: EGC

 Mutaqqin. A & sari. K, (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan System

Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

 Mutaqqin. A & sari. K, (2014). Asuhan Keperawatan Gangguan System

Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

 Nanda internasional, (2015-2017). Diagnosis keperawatan definisi &

klasifikasi edisi 10. Penerbit buku kedokteran: EGC

 Prabowo. E. & Pranata. E.A, (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.

Yogyakarta: Nuha Medika.

 Suharyanto. T & Madjid. A, (2013). Asuhan keperawatan pada klien dengan

gangguan system perkemihan. Jakarta: TIM

25

Anda mungkin juga menyukai